BAB I PENDAHULUAN

Download Echosounder dan GPS dipasang secara bersama pada kapal survei. Saat melakukan ... dalam SNI 7646:2010 tentang survei hidrografi menggunakan...

0 downloads 136 Views 570KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri. Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto, 2001). Survei batimetri dilakukan dengan cara mengukur kedalaman pada titik-titik tertentu berdasarkan jalur yang telah direncanakan. Sebelum pengukuran harus dibuat rencana jalur survei sesuai wilayah yang akan dipetakan, agar kerepetan data yang diperoleh memenuhi syarat skala peta yang akan dihasilkan dan syarat lainnya. Sementara itu, pengukuran posisi titik dan kedalaman dilakukan secara serentak sehingga diperoleh data koordinat 3D (X, Y, dan Z) pada tiap titik dasar perairan yang diukur. Peralatan dan metode yang digunakan dalam pemetaan dasar perairan bermacam-macam jenisnya, secara umum berbasis pada sistem akustik sebagai pengukur kedalaman dan dikombinasikan dengan metode penentuan posisi. Jenis alat akustik yang dapat digunakan untuk survei hidrografi adalah jenis Singebeam Echosounder dan Multibeam Echosounder (Anonim, 2008), sementara peralatan penentuan posisi yang dapat digunakan adalah GPS (Abidin, 2007), peralatan Echosounder dan GPS dipasang secara bersama pada kapal survei. Saat melakukan pemeruman, kapal survei akan bergerak maju, akibatnya dapat menyebabkan adanya kesalahan teknis. Berdasarkan ketentuan SNI 7646:2010 (Anonim, 2010) tentang survei menggunakan Singlebeam Echosounder menyebutkan bahwa besar kecepatan kapal pada survei batimetri tidak boleh melebihi 7 knot (≈ 3,5 m/s). Menurut aturan ini kecepatan kapal dapat menyebabkan adanya kesalahan squat dan settlement. Squat adalah keadaan dimana haluan kapat lebih tenggelam saat menyesuaikan kecepatannya, sedangkan settlement adalah sifat wahana terapung yang posisinya akan lebih tenggelam saat diam daripada saat bergerak. Kesalahan squat dan 1

2

settlement bersifat teknis, namun itu menunjukkan bahwa secara nyata kecepatan gerak kapal memang memberikan pengaruh pada hasil pengukuran. Selain kesalahan squat dan settlement terdapat pula kesalahan sistematis. Secara matematis kecepatan menyebabkan arah pancaran gelombang suara tidak merambat vertikal, atau ada selang waktu yang menyebabkan kapal telah bergerak maju ketika gelombang suaranya merambat pergi pulang. Akibatnya ukuran kedalaman yang dihasilkan tidak vertikal sedangkan posisi saat awal gelombang dipancarkan berbeda dengan posisi saat gelombang diterima. Prinsipnya kecepatan kapal akan menyebabkan beda kerangka acuan sehingga nlai besaran ukuran berbeda dengan kerangka acuan bumi (diam), atau dalam hal ini terdapat kesalahan matematis terhadap hasil pengukuran alat Singlebeam Echosounder yang diakibatkan oleh gerak kapal. Permasalahan ini dianggap layak untuk diangkat sebagai topik penelitian ini, dengan alasan yang mendasarinya adalah untuk mengkaji perbedaan sistem kerangka acuan akibat kecepatan kapal pada proses survei batimetri menggunakan alat Singlebeam Echosounder dan melakukan perhitungan koreksi terhadap kesalahan akibat kecepatan kapal. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan dengan maksud memasukkan kecepatan kapal sebagai parameter yang berpengaruh pada hasil pengukuran, disesuaikan dengan konsep hukum gerak dan kerangka acuan. Pengaruh kecepatan dan kesalahan yang terjadi pada pengukuran posisi horizontal maupun pengukuran kedalaman menjadi bahan analisis pada penelitian ini.

I.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah faktor kecepatan kapal (bentuk gerak relatif) yang dapat memberi pengaruh kesalahan besaran-besaran ukuran. Gerak kecepatan kapal terjadi pada saat dilakukan pengukuran posisi dan kedalaman titik perum, karena dalam pengukuran titik perum kapal harus bergerak melintasi jalur-jalur ditentukan yang menyebar pada wilayah survei. Berdasarkan teori gerak, kecepatan kapal mempengaruhi hasil pengukuran diakibatkan perbedaan kerangka acuan pengamatan atau dengan kata lain menyebabkan beda nilai besaran jika dibandingkan dengan pengamat diam.

3

Pengaruh tersebut dapat menjadi masalah, sebab dalam pemetaan besaran-besaran (koordinat) yang diukur dan digambarkan adalah besaran berdasarkan kerangka acuan bumi (diam). Permasalahan penelitian ini secara umum terangkum dalam 2 pertanyaan di bawah ini: 1. Bagaimana kecepatan kapal mempengaruhi hasil pengukuran survei hidrografi dengan alat Singlebeam Echosounder jika ditinjau secara matematis? 2. Bagaimana cara pengolahan hasil ukuran tersebut agar sesuai dengan prinsipprinsip pemetaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Perhitungan koreksi hasil pengukuran Singlebeam Echosounder dari kesalahan matematis yang disebabkan oleh pengaruh kecepatan kapal. 2. Analisis terhadap hasil pengujian statistik dari kesalahan yang disebabkan oleh pengaruh kecepatan kapal untuk dibandingkan dengan hipotesis. 3. Penentuan dan penganalisisan pola kesalahan akibat kecepatan kapal berdasarkan faktor nilai ukuran kedalaman dan nilai kecepatan kapal itu sendiri.

I.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan menjadi suatu penghubung antara teori gerak (fisika) dengan teknis pelaksanaan survei hidrografi, dalam hal ini adalah kaitan antara pengaruh kecepatan kapal dengan proses pemeruman menggunakan Singlebeam Echosounder. Sehingga penelitian ini dapat memberikan informasi dan menjelaskan hasil analisis tentang kesalahan sistematis yang diakibatkan oleh faktor kecepatan kapal.

4

I.5. Batasan Masalah

Lingkup penelitian yang dilakukan adalah hitungan pengaruh kecepatan kapal terhadap nilai ukuran hasil survei dengan menganggap terdapat kesalahan sistematis. Agar dapat mengetahui pengaruh tersebut, nilai ukuran hasil survei dengan nilai yang telah dikoreksi akan dianalisis dan diuji secara statistik. Sedangkan lingkup batasan masalah yang dikerjakan dan berkaitan dengan spesifikasi data adalah sebagai berikut: 1. Data ukuran yang digunakan merupakan hasil pengukuran dengan alat berjenis Singlebeam Echosounder tipe Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178C yang terintegrasi dengan antena GPS, alat merupakan milik laboratorium hidrografi jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Lokasi pengukuran adalah waduk Sermo di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Pengukuran dilakukan dengan beberapa sesi yang berbeda pada bulan Desember 2011. 2. Ketelitian ukuran posisi GPS diketahui berdasarkan spesifikasi alat (jenis receiver) dan metode pengukuran yang dilakukan, yaitu secara metode absolut yang dapat diperoleh ketelitian hingga ± 3 m, tetapi karena pembagian tingkat ketelitian mengacu pada orde pengukuran yang terdapat dalam SNI 7646:2010 tentang survei hidrografi menggunakan Singlebeam Echosounder, maka diasumsikan ketelitian GPS masuk dalam orde 1 (± 2 m). 3. Ketelitian kedalaman diketahui dari rumus pemodelan varian ukuran jarak yang mengacu pada informasi standar alat Echosounder yang digunakan. 4. Berkaitan dengan akurasi nilai ukuran kedalaman, nilai kecepatan suara yang digunakan adalah sesuai standar sebesar 1500 m/s, tanpa dilakukan koreksi Barcheck, karena tidak mempengaruhi tujuan penetian ini. Meskipun idealnya koreksi Barcheck harus dilakukan untuk memperoleh nilai kedalaman yang akurat saat pembuatan peta. 5. Posisi 2D hasil pengukuran GPS adalah dalam nilai koordinat proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator).

5

6. Parameter kecepatan dan azimuth diturunkan berdasarkan beda posisi (jarak) dan waktu antar titik, sehingga yang diperoleh hanya nilai rata-rata pada tiap antar posisi bukan nilai sesaat di suatu posisi (realtime).

I.6. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian lain yang pernah dilakukan berkaitan dengan alat Echosounder dan hasil analisisnya antara lain: Knudsen (2009) melakukan penelitian tentang kinerja jangka panjang penggunaan Echosounder, berkaitan dengan tren semakin baiknya metode kalibrasi selama 3 dekade terakhir. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah akurasi pengukuran Echosounder berpotensi ditingkatkan dengan memeriksa nilai kecepatan suara pada jarak dekat dari transducer, sehingga secara otomatis dapat diketahui variasi kecepatan suara terhadap EBA. Kalibrasi perlu dilakukan karena transducer rentan dari kerusakan teknis dan penuaan atau bahkan kombinasi keduanya. Oleh karena itu kalibrasi alat penting dilakukan secara rutin, dengan personel dan lokasi yang berbeda (independen). Menurut penelitian Pramanda (2013), yang melakukan pengujian kedalaman antara alat Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II dengan Fishfinder GARMIN Map Sounder 178C untuk tingkat kepercayaan 95% (-1,96 < to < +1,96) menyebutkan bahwa: “secara statistik berbeda signifikan dengan data kedalaman hasil pengukuran Fishfinder saat posisi transducer berdampingan. Sedangkan saat posisi transducer berseberangan, data kedalaman hasil pengukuran Echosounder ODOM tidak berbeda signifikan dengan data kedalaman hasil pengukuran Fishfinder”. Penyebabnya adalah kepresisian data yang diperoleh, untuk posisi transducer berdampingan standar deviasi beda kedalaman yang diperoleh lebih tinggi (± 0,280 m) daripada posisi transducer berseberangan (± 0,456 m), sehingga untuk tingkat kepresisian menentukan hasil pengujian statistik, karena semakin presisi suatu data maka semakin terlihat perbedaannya (secara statistik) dengan kelompok data lain. Penelitian lain yang berkaitan dengan jenis alat Singlebeam Echosounder berjenis Odom Hydrotrac II dilakukan oleh Septiyadi (2013). Penelitiannya

6

dilakukan dengan cara mengintegrasikankan menjadi satu sistem antara alat Odom Hydrotrac II dengan Software Hydropro version 2.40 untuk melakukan survei batimetri. Data hasil pengukuran dilakukan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95% (±1,96σ), dari dat diperoleh nilai mean error sebesar 0,036 m, nilai standar deviasi (σ) beda kedalaman sebesar ±0,195 m dan nilai to sebesar 1,16. Sehingga nilai to masih di bawah batas toleransi ±1,96. Kesimpulan penelitian ini adalah data ukuran kedalaman yang diperoleh dari sistem Odom Hydrotrac II dengan Software Hydropro masuk batas toleransi pada tingkat kepercayaan 95%. Penelitian berkaitan dengan penentuan posisi horizontal yang menggunakan alat Echosounder tipe Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178C juga pernah dilakukan oleh Mahbub (2011). Penelitiannya dilakukan dengan cara mengatur pengukuran posisi GPS pada Fishfinder dari pengukuran absolut menjadi diferensial (pengukuran relatif) metode NTRIP (Networked Transport of RTCM via Internet Protocol), dan NTRIP akan terhubung dengan stasiun GNSS CORS. Sehingga dibandingkan antara hasil pengukuran diferensial dengan metode absolut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan metode pengukuran menunjukkan perbedaan bentuk terrain dari dasar waduk Sermo, yaitu hasil cut and fill antara DTM (Digital Terrain Model) yang dihasilkan dari data pengukuran metode diferensial dengan DTM yang dihasilkan dari data pengukuran metode absolut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, dengan selisih volume waduk mencapai 98795,72 m3. Hasil penelitian Mahbub (2011) menunjukkan bahwa metode pengukuran GPS merupakan faktor penentu nilai ketelitian posisi yang akan dihasilkan, yaitu diperoleh ketelitian metode diferensial dapat mencapai ± 1 m sedangkan metode absolut disebutkan hanya sekitar ± 6 m. Hasil penelitian Lamarolla (2013) dengan jumlah sampel data yang bertampalan ada 16 data, data yang masuk dalam ketelitian orde khusus ada 7 sampel, sedangkan data yang masuk kedalam ketelitian orde 1 ada 8 sampel, dan untuk orde 2 ada 1 sampel. Standar deviasi terkecil terjadi pada data titik nomor 11 s/d 649 yaitu ±0,11467 m, dan standar deviasi terbesar terjadi di titik nomor 16 s/d 645 yaitu ±0,5125 m. Mengacu pada ketelitian pembuatan Peta Dasar Lingkungan Pantai Indonesia, alat Fishfinder Garmin GPS Map 420S dapat direkomendasikan

7

untuk pembuatan Peta Dasar Lingkungan Indonesia pada perairan yang relatif dangkal. Alat ini memenuhi nilai ketelitian yang mencapai syarat orde 1.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Survei Hidrografi Survei Hidrografi berkaitan dengan perairan, baik berupa kenampakan fisik terrain dasar perairan, fisis dan kimiawi airnya maupun dinamika perairan tersebut seperti pasut dan gelombang. Elemen-elemen penting dari survei hidrografi yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

1.7.1.1. Echo Sounder Suatu alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman air dengan cara memancarkan gelombang akustik dan mencatat interval waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Sistem Echosounder pada umumnya terdiri dari catu daya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik alat, seperangkat perekam data, transducer (pemancar) dan hidrofon (penerima). Cara kerja dari sistem ini mirip dengan sistem indera akustik pada Lumba-Lumba dan Paus, yaitu ada bagian/organ yang memancarkan gelombang suara (SONAR) ke suatu objek (mangsa) lalu dipantulkan dan diterima lagi untuk diterjemahkan oleh otak, sehingga dapat diketahui posisi objek tersebut. Pada alat Echosounder, bagian transducer berfungsi untuk memancarkan gelombang suara dengan frekuensi tertentu menuju ke dasar perairan secara vertikal, kemudian gelombang tersebut dipantulkan kembali dan diterima oleh hidrofon. Umumnya semakin kecil frekuensinya, kedalaman perairan yang dapat ditembus akan semakin tinggi. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima, sehingga data kedalaman yang diperoleh alat perekam merupakan fungsi dari selang waktu dan kecepatan rambat gelombang suara. Sebagaimana yang diuraikan dalam persamaan hitungan dasar yang digunakan untuk menentukan kedalaman perairan sebagai berikut (Soeprapto, 2001): ∆h’ =

vs.dt

...………...................................................................( I.1)

8

Keterangan : ∆h’

: kedalaman dasar perairan yang diukur pada saat pengukuran

vs

: cepat rambat gelombang suara di air : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan : waktu pada saat penerimaan gelombang pantulnya

Umumnya nilai kecepatan rambat gelombang suara (vs) di air adalah 1500 m/s dan bila beda waktu diketahui, maka nilai kedalaman perairan dapat ditentukan (berdasarkan persamaan I.1.) dengan rumus berikut ini (Soeprapto, 2001): ∆h’ = (vs.∆t)

…………................................................................... (I.2)

Keterangan : ∆h’

: kedalaman dasar perairan yang diukur pada saat pengukuran

vs

: cepat rambat gelombang akustik di medium air

Δt

: selang waktu pergi pulang gelombang suara, yaitu saat dipancarkan sampai diterima lagi

Secara geometri, pelaksanaan pengukuran kedalaman dengan Echosounder akan memenuhi gambar I.1 (Pramanda, 2013, modifikasi) berikut: Kapal (Za) Draft Transducer

Kedalaman pada Chart Datum

Keterangan: : Transducer : Chart datum : Topografi dasar perairan

Kedalaman hasil pengukuran

Kedalaman terkoreksi (H)

Barcheck

Gambar I.1. Komponen-komponen penentuan kedalaman

9

Koreksi Draft Transducer adalah koreksi terhadap besarnya nilai panjang tenggelamnya alat (posisi Transducer) dari permukaan air. Nilai ini dapat diketahui dengan cara mengukur atau mengatur jarak tenggelamnya Transducer yang dipasang pada tongkat. Sedangkan koreksi Barcheck berhubungan dengan pengaturan cepat rambat gelombang suara. Pengaturan cepat rambat gelombang suara pada alat biasanya diatur dengan nilai tertentu (standarnya 1500 m/s), tetapi pada kenyataannya kecepatan perambatan gelombang suara tidak selalu sama dengan nilai pengaturan alat karena bermacam faktor pada perairan lokasi pengukuran yang mempengaruhi perambatan suara, proses kalibrasi untuk mengoreksi ketidaktepatan besarnya nilai kecepatan suara inilah yang dimaksud Barcheck. Sehingga nilai dari komponen kedalaman terkoreksi yang dianggap benar merupakan nilai hasil ukuran alat Echosounder yang dikoreksi Barcheck dan koreksi Draft Transducer. Nilai inilah yang akan digunakan untuk menentukan besarnya nilai kedalaman berdasarkan bidang acuan atau chart datum seperti pada gambar I.1.

1.7.1.2. Chart Datum Chart Datum merupakan acuan ketinggian vertikal muka perairan yang dipakai sebagai referensi tinggi sebesar 0 m, untuk peta wilayah dasar laut tinggi bidang referensi yang digunakan adalah muka air terendah atau Lowest Low Water (LWS). Tujuan penggunaan LWS adalah untuk mendukung keperluan pelayaran sehingga kapal-kapal tidak terdampar dan karam karena terjebak di daerah yang menjadi kering saat LWS terjadi. Contoh lain penggunaan LWS adalah untuk penentuan garis pangkal yang menjadi acuan penarikan batas-batas wilayah laut suatu negara. Selain LWS, ada pula muka laut rerata atau Mean Sea Level (MSL) sebagai datum vertikal. Menurut IHO Dictionary, S-32 edisi kelima (Poerbandono, dkk, 2005), MSL merupakan nilai rata-rata tinggi muka air laut yang diperoleh dari stasiun pengamatan pasut selama 19 tahun sehingga mencakup semua siklus pasang surut yang terjadi. MSL biasanya dianggap berimpit dengan bidang Geoid sehingga digunakan sebagai referensi tinggi untuk pemetaan di darat. Di daerah danau atau perairan darat lain, penentuan referensi tingginya dapat menggunakan acuan tinggi muka perairannya (chart datum lokal) atau tingginya diikatkan ke referensi

10

MSL/Geoid sama dengan pemetaan daratan. Pada pekerjaan penelitian ini, nilai koordinat Z diikatkan dari referensi BM yang mengacu pada tinggi dari MSL, jika merujuk ke gambar I.1 maka rumus menghitung Z adalah: Z = Za – H

……….……………………………………………(I.3)

Keterangan: Z

: ketinggian titik yang terukur kedalamannya

Za

: ketinggian muka perairan saat pengukuran

H

: kedalaman terkoreksi (dianggap benar)

1.7.1.3. Penentuan posisi dengan GPS GPS merupakan suatu sistem penentuan posisi atau navigasi berbasis satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat (Abidin, 1999). Selain GPS ada pula sistem navigasi satelit yang dikembangkan oleh negara-negara lain. Cara penentuan posisi sistem ini adalah dengan metode pengukuran jarak antar titik dengan satelit yang diketahui posisinya (pemotongan ke belakang). 3 buah pengukuran jarak sudah cukup untuk mengikat posisi suatu titik di ata permukaan bumi, tetapi 4 ukuran jarak diperlukan untuk menghilangkan bias jam receiver (Abidin, 1999). Sementara metode-metode pengukuran GPS ada 2 macam, yaitu pengukuran absolut dan relatif. Pengukuran absolut adalah pengukuran langsung posisi suatu titik dengan ukuran-ukuran jarak terhadap satelit, menurut Abidin (1999) metode pengukuran absolut ini adalah metode penentuan posisi yang paling mendasar dari GPS. Sedangkan metode pengukuran relatif, posisi suatu titik ditentukan secara relatif terhadap titik lain yang telah diketahui koordinatnya. Tujuannya adalah untuk mengeliminir bermacam bias yang tidak dapat dikoreksi dengan pengukuran absolut, terutama bias yang disebabkan oleh kondisi atmosfer. Dengan demikian akurasi pengukuran relatif lebih baik daripada pengukuran absolut. Sistem koordinat yang diperoleh dari pengukuran GPS adalah koordinat kartesi 3D (x, y, z) geosentris atau pusat sistem berimpit dengan pusat masssa bumi. Sedangkan sistem koordinat kutub (φ, λ, h) atau geodetis mengacu pada bidang referensi WGS 84’ (Abidin, 1999), dengan nilai parameter a dan b masing-masing adalah 6378137 m dan 6356752,3 m. Metode pengukuran absolut pada GPS dengan

11

4 pengukuran jarak (l1, l2, l3, l4) dari satelit beserta sistem koordinatnya pada pekerjaan survei hidrografi ditunjukkan pada gambar I.2 di berikut ini: Satelit (posisi fix)

l1

l3

l2

Z(+)

l4 Antena GPS

Kutub utara

kapal

Meridian standar

Permukaan air Topografi dasar perairan

z

Garis singgung

a b

Meridian pengamat

O

φ

λ

Y(+) x

y

X(+)

Gambar I.2. Pengukuran koordinat survei hidrografi menggunakan sistem GPS Posisi horintal yang dapat diberikan dengan GPS adalah nilai koordinat berdasarkan bidang proyeksi peta sistem proyeksi UTM. Koordinat yang diukur langsung oleh GPS sebenarnya adalah koordinat kartesi 3D geosentris yang kemudian dapat ditransformasikan ke dalam nilai koordinat geodetis dengan datum acuan WGS 84’ (Abidin, 1999). Nilai koordinat geodetis inilah yang digunakan untuk

menghitung

nilai

koordinat

pada

bidang

proyeksi

UTM.

Kaitan

penggunaannya pada survei hidrografi, terkhusus pada alat Singlebeam Echosounder, teknologi GPS yang digunakan merupakan receiver tipe navigasi dengan penentuan posisi secara absolut, tetapi alat ini dilengkapi dengan fasilitas DGPS sebagai koreksi dan output. Fasilitas ini berguna untuk melakukan koneksi terhadap yang dapat

12

mengirimkan koreksi, sehingga proses penentuan posisi selanjutnya tidak lagi secara absolut melainkan secara relatif. Ketelitian pengukuran GPS yang dapat digunakan dalam survei hidrografi berdasarkan metode pengukuran disajikan dalam tabel I.1 berikut (Abidin, 2007): Tabel I.1. Ketelitian Metode Pengukuran GPS No Jenis pengukuran 1 Absolute GPS Kinematic Positionimg 2 DGPS (pseudorange) 3 Differential GPS kinematic Positionimg (off line) 4 Real Time Kinematic (RTK)

Ketelitian 5 m s/d 10 m 1 m s/d 3 m 1 cm s/d 5 cm 1 cm s/d 5 cm

Masalah yang dapat muncul ketika melakukan penentuan posisi titik perum dengan GPS dan pengukuran kedalaman dengan Echosounder adalah ketidaksamaan waktu antara pengamatan satelit GPS dengan waktu proses sounding fix perum (Abidin, 2007). Sehingga saat pemeruman harus diperhatikan untuk mengatur keserentakan antara pengukuran GPS dan pengukuran kedalaman, yaitu diatur untuk sstem waktu GMT dengan selang waktu tertentu untuk pengukuran tiap titik perum. Selain itu pemasangan posisi antena GPS dengan Transducer juga harus diperhatikan (offset), posisi keduanya dapat dipasang sejajar dalam satu garis vetikal, sehingga hasil ukuan posisi (2D) dengan GPS dianggap sama dengan posisi (2D) titik perum yang diukur kedalamannya.

I.7.2. Orde Ketelitian Survei Hidrografi SNI survei hidrografi menggunakan Singlebeam Echosounder (kode: 7646:2010) yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2010 memuat teknis pelaksanaan survei dengan standar klasifikasi derajat ketelitian yang harus dicapai dan standar tersebut dibagi menjadi beberapa orde sebagai berikut: a. Orde khusus (Anonim, 2010) Orde khusus survei hidrografi adalah orde yang memiliki standar ketelitian tertinggi hingga mendekati ketelitian survei rekayasa dan digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis yaitu dengan informasi kedalaman di bawah laut sangat minim atau dalam hal ini karakteristik dasar perairannya berpotensi membahayakan

13

kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang bertanggung jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh ialah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya kapal. Semua sumber kesalahan harus dibuat minimal. Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan Side Scan Sonar, Multi Transducer Arrays Atau Multibeam Echosounder dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100% (semua area terliput survei) dan harus pula dipastikan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar dari 1 meter persegi dapat dicakup oleh kemampuan peralatan perum yang digunakan. Penggunaan Side Scan Sonar dan Multibeam Echosounder mungkin diperlukan di daerah-daerah yang di dalamnya mungkin ditemukan benda-benda kecil dan rintangan bahaya, atau survei untuk keperluan investigasi. b. Orde satu (Anonim, 2010) Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas komersial yang padat, dalam hal ini adalah kedalaman bawah laut dengan luas yang cukup memadai dan kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu membahayakan kapal (misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku terbatas di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan pemeriksaan dasar laut tidak begitu ketat jika dibandingkan orde khusus, namun pemeriksaan dasar laut secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik dasar laut dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal. Pada daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus diyakinkan bahwa untuk kedalaman sampai dengan 40 meter benda-benda dengan ukuran lebih besar dari 2 meter persegi, atau pada kedalaman lebih dari 40 meter, benda-benda dengan ukuran 10% dari kedalaman harus dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan. c. Orde dua (Anonim, 2010) Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu, dan dalam hal ini gambaran batimetri secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar laut yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Hal ini merupakan kriteria

14

yang penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam, di dalam hal ini orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut mungkin diperlukan pada daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik dasar air dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal d. Orde tiga (Anonim, 2010) Orde tiga survei

hidrografi diperuntukkan untuk semua area yang tidak

tercakup oleh orde khusus, orde satu dan orde dua, yaitu pada area dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Rincian komponen-komponen standar teknis pengukuran SNI 7646:2010 (Anonim, 2010) masing-masing orde disajikan pada tabel I.2 berikut ini: Tabel 1.2. Standar Ketelitian Pengukuran Survei Hidrografi No

Deskripsi

Kelas Orde

Orde 1

Orde 2

Orde 3

20 m + 5%

150 m + 5%

5 m + 5% dari

dari

dari

kedalaman

kedalaman

kedalaman

rata-rata

rata-rata

rata-rata

2m

2m

5m

5m

10 m

20 m

20 m

20 m

Khusus

1

Akurasi horizontal

2m

Alat bantu navigasi tetap dan kenampakan yang 2

berhubungan dengan navigasi

3

Garis pantai Alat bantu navigasi

4

terapung

10 m

10 m

20 m

20 m

5

kenampakan topografi

10 m

10 m

20 m

20 m

6

Akurasi kedalaman

a = 0,25 m

a = 0,5 m

a = 1,0 m

a = 1,0 m

b = 0,0075

b = 0,013

b = 0,023

b = 0,023

Catatan: a dan b adalah variabel untuk menentukan ketelitian kedalaman Keterangan: a : kesalahan independen b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen Orde ketelitian survei dalam SNI 7646:2010 masih mengacu pada International Hydrographic Organization (IHO) SP-44 edisi ke 4 dan IHO SP-32

15

edisi ke 5 tahun 1994. Tetapi IHO telah menerbitkan IHO Standards Of Hydrographics Surveys terbaru yaitu IHO SP-44 edisi ke 5 tahun 2008. Terdapat pembaharuan pada pembagian orde ketelitian survei yaitu menjadi orde khusus, 1a, 1b, dan 2. Perubahan mendasar yang terdapat pada IHO edisi ke 5 tahun 2008 adalah pada orde 1a pencarian dasar laut secara penuh diperlukan dan pada orde 1b tidak diperlukan. Sementara orde 3 dihilangkan karena dianggap sama dengan orde 2 (Pramanda, 2013).

I.7.3. Gerak Relatif I.7.3.1. Pengertian gerak relatif Sebuah benda dikatakan bergerak relatif terhadap benda lain jika dalam selang waktu tertentu kedudukan relatif benda tersebut berubah. Dengan demikian bergerak ataupun diam merupakan konsep relatif berdasarkan hubungan antara benda satu dengan benda lain yang menjadi acuannya (pengamat). Gerak tersebut akan teramati berbeda oleh pengamat dari sistem acuan lain. Contoh gerak relatif adalah sebuah kpal yang sedang bergerak pada sebuah lintasan lurus dengan kecepatan 10 m/s ke arah barat, di dalam kapal ada seorang penumpang sedang duduk diam di atas kursi merasa bahwa ia sedang tidak bergerak, tetapi menurut pengamat lain yang diam terhadap tanah, penumpang kapal tersebut diamati sedang bergerak bersama kapal dengan pergeseran (perubahan posisi) tiap waktu sesuai dengan perubahan posisi kapal akibat kecepatannya tadi. I.7.3.2. Pengertian kerangka Acuan Inersial dan transformasi Galileo Kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap disebut sebagai kerangka acuan inersial. Peristiwa-peristiwa yang teramati oleh tiap kerangka acuan inersial akan tampak berbeda. Tetapi hukum-hukum Newton dan fisika lainnya tetap berlaku dalam semua kerangka acuan itu. Perbandingan pengamatan-pengamatan yang dilakukan dalam berbagai kerangka acuan inersial diperlukan proses transformasi antar kerangka acuan. Transformasi antar kerangka acuan pada kecepatan yang jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya dapat menggunakan transformasi Galileo (Gautreau, dkk, 2006). Hubungan antara kerangka acuan diam

16

dan kerangka acuan bergerak dengan kecepatan tetap disajikan pada gambar I.4 di bawah ini: Z(+)

Z’(+) d = v.t benda X X’

x(+) = x’(+) Y(+)

Y’(+)

Gambar I.3. Geometri kerangka acuan Inersial 3 dimensi Gambar I.3. menunjukkan bahwa kerangka acuan S’ bergerak searah dengan sumbu X dengan kecepatan sebesar v terhadap kerangka acuan S, sehingga perbedaan nilai transformasi hanya akan terjadi pada nilai koordinat X dengan X’, sementara nilai besaran Y dan Z masing-masing akan sama dengan Y’ dan Z’. Persamaan transformasi Galileo digunakan untuk mentransformasi nilai-nilai hasil pengamatan berdasar kerangka acuan kapal dengan kecepatan v ke dalam kerangka acuan diam terhadap bumi. Dalam pemetaan nilai besaran-besaran yang diukur harus mengacu pada kerangka acuan diam terhadap bumi. Nilai berdasar acuan diam terhadap bumi inilah yang akan digambarkan menjadi peta. Persamaan transformasi Galileo untuk koordinat dan waktu adalah (Gautreau, dkk, 2006): X’ = X – v.t

…………………………………………………(I.4)

Y’ = Y

…………………………………………………(I.5)

Z’ = Z

…………………………………………………(I.6)

t’ = t

………………………………………………....(I.7)

dan transformasi kebalikannya: X = X’ + v.t

…………………………………………………(I.8)

Y = Y’

…………………………………………………(I.9)

Z = Z’

..………………………………………………(I.10)

t = t’

..……………………………………………....(I.11)

keterangan:

17

(X’, Y’, Z’, t’) : koordinat 4D benda menurut kerangka acuan S’ (X, Y, Z, t)

: koordinat 4D benda menurut kerangka acuan S

v

: kecepatan kerangka acuan S’ terhadap S

Rumus I.4 sampai I.7 merupakan rumus mentransformasikan besaran koordinat (X, Y, Z) menurut kerangka acuan diam (S) ke nilai besaran koordinat (X’, Y, Z’) menurut kerangka acuan bergerak (S’), jika diketahui kecepatan (V) dan waktu perpindahan (t). Sedangkan rumus I.8 sampai I.11 adalah rumus transformasi kebalikan untuk menghitung besaran koordinat menurut kerangka acuan S dari besaran koordinat kerangka acuan S’ yang diketahui. Konsep inilah yang dimaksud transformasi Galilieo, yaitu konsep transformasi terhadap beda kerangka acuan berdasarkan faktor kecepatan.

I.7.3.3. Penerapan transformasi Galileo dalam pemeruman Berdasarkan persamaan nomor I.8 sampai I.11 (atau rumus untuk mentransfomasikan nilai besaran dari kerangka acuan bergerak ke kerangka acuan diam) dan gambar I.5, jika konsepnya diterapkan pada proses sounding untuk pemeruman dengan kapal yang bergerak, maka antara lokasi saat gelombang dipancarkan dan diterima lagi akan berbeda, geometrinya akan mengikuti gambar 1.4 berikut ini:

Vk.∆t

A0 Permukaan air A0

Perambatan gelombang suara

Topografi dasar perairan

Vk

A1

Keterangan: : arah kecepatan kapal : Transducer : topografi dasar perairan

Gambar 1.4. Pergeseran akibat kecepatan kapal

18

Merujuk gambar I.4, A0 adalah posisi saat gelombang dipancarkan sedangkan A1 adalah posisi saat gelombang diteima lagi. Geometri gambar I.4 diperoleh berdasarkan pengamatan oleh pengamat yang diam, sementara bagi pengamat di kapal yang bergerak, antara A0 dan A1 merupakan lokasi yang sama di suatu tempat pada sistem alat pada kapal saat melakukan pengukuran di waktu (t) tertentu. Menurut pengamat yang bergerak gelombang suara akan teramati bergerak benarbenar vertikal, sementara menurut pengamat diam, arah rambat gelombang suara adalah resultan dari arah vertikal kecepatan gelombang dan arah kecepatan kapal. Jika arah gerak kerangka acuan S’ merupakan pengamat di kapal menyimpang dari kerangka acuan diam S sebesar sudut azimuth tertentu (α) maka rumus transformasi Galileo disusun menjadi: X = X’ + Vk . ∆t . sin α

…………………………….………….…(I.12)

Y = Y’ + Vk . ∆t . cos α

…..……………………………………....(I.13)

Z = Z’

…………………………….…………….(I.10)

keterangan: (X’, Y’, Z’)

: koordinat 3D benda menurut kerangka acuan kapal

(X, Y, Z)

: koordinat 3D benda menurut kerangka acuan diam

∆t

: selang waktu

A0

: posisi saat t0 (saat gelombang dipancarkan)

A1

: posisi saat t1 (saat gelombang diterima)

Vk

: kecepatan kapal

α

: azimuth (arah kecepatan kapal)

∆t

: selang waktu perpindahan posisi kapal Persamaan 1.10 menunjukkan bahwa Z dan Z’ mempunyai nilai yang sama

karena perubahan posisi hanya terjadi secara horizontal, meskipun demikian sebenarnya hasil pengukuran kedalaman akan terpengaruh oleh gerak tersebut, yaitu tidak vertikalnya lintasan gelombang suara akibat adanya pergeseran yang disebabkan kecepatan kapal. Sehingga berdasarkan gambar 1.4. proses penurunan rumus koreksi untuk ukuran kedalaman akan memenuhi bentuk segitiga sama kaki berikut:

19

A0A1

A0

A1 ∆h Arah rambat gelombang suara

∆h’

terrain

Ah

Gambar I.5. Geometri kesalahan pengukuran kedalaman

Dengan demikian persamaan kedalaman terkoreksi (∆h) adalah: ∆h =

…………………………………………….…(I.14)

Sesuai gambar I.5, bahwa waktu yang diperlukan bagi kapal untuk menempuh jarak A0A1 sama dengan waktu yang diperlukan bagi sinyal suara untuk menempuh jarak A0Ah lalu jarak AhA0 atau dengan kata lain merupakan selang waktu pengukuran pergi-pulang oleh gelombang suara melalui jarak 2.∆h’. Sehingga dapat dirumuskan: =

……....………………………………………………….…….….…..(I.15)

Dengan demikian: A0A1 = 2Vk

……….…………………………………………………….……(I.16)

Pada bagian selanjutnya nilai

A0A1 dianggap merupakan bentuk kesalahan

horizontal posisi pemeruman akibat pengaruh kecepatan kapal, sehingga kesalahan horizontal akan disimbolkan sebagai fs. Dengan demikian: fs = Vk

…………..……………………..……….……………………………..(I.17)

Nilai kecepatan kapal rata-rata antar titik sebagai pendekatan dapat diperoleh dari hitungan jarak antar titik perum (titik p’ dan titik q’) ukuran GPS dibagi interval waktu tempuh antar titik (∆tpq). Berikut rumusnya:

20

Vk =

..…………………………………….………….(I.18)

=

∆tp’q’ = tq’ – tp’

…………………………….………………………….………..(I.19)

Arah kecepatan kapal atau azimuth pada saat pengukuran kedalaman (αp’p) dapat memakai pendekatan azimuth dari p ke p, sebagaimana gambar berikut: Utara p’

αp’p

p

q’

Gambar I.6. Penentuan arah kecepatan kapal Titik p’ dan q’ adalah lokasi tiik ke-n dan ke-(n+1) yaitu titik-titik saat gelombang dipancarkan dan pengukuran posisi dilakukan secara periodik, sementara titik p adalah posisi hasil proyeksi dari titik di dasar perairan (titik Ah; lihat gambar I.7) yang memantulkan gelombang suara. Sehingga mengacu gambar I.8 nilai azimuth p’p sama dengan p’q’ adalah: αp’p = αp’q’ ……………………………………………………...……………….. (I.20) sehingga: αp’p = arc tan(

) ……….……………………………….….………..….…(I.21)

Dengan demikian rumus koreksi X, Y dan ∆h merupakan pengembangan dari konsep transformasi antar kerangka acuan. Transformasi nilai koordinat X: Xp = Xp’ + Vk

sin(αp’q’) …….……………………………….…….…………(I.22)

Xp = Xp’ +

sin(αp’q’) ……………………...............…………….….…….(I.23)

Xp = Xp’ +

Transformasi nilai koordinat Y:

sin(arc tan(

)) ………………….……(I.24)

21

Yp = Yp’ + Vk

cos(αp’q’) ………………………………….………………....(I.25)

Yp = Yp’ +

cos(αp’q’) ………………………………………………….....(I.26)

Yp = Yp’ +

cos(arc tan(

))……………………….(I.27)

Transformasi nilai kedalaman (∆h): ∆h =

…………………………………………….……….….....….(I.28)

fs = Dp’p =

=

…………………….….…...…(I.29)

Keberadaan tersendiri dari nilai fs diperlukan untuk mempermudah menghitung kedalaman terkoreksi. Karena jika rumus fs disubstitusikan secara langsung akan mempersulit hitungan perambatan kesalahannya.

Keterangan: (Xp,Yp)

: koordinat titik perum terkoreksi berdasar kerangka acuan diam

(Xp’, Yp’)

: koordinat titik perum terukur berdasar kerangka acuan kapal

∆h’

: kedalaman terukur

∆h

: kedalaman terkoreksi

Dp’q’

: jarak antara titik perum terukur ke-i dengan titik perum ke-(i+1)

αp’q’

: azimuth p’q’

vs

: konstanta cepat rambat gelombang suara

Vk

: kecepatan kapal

tp’

: waktu saat di titik P’ (waktu GPS)

tq’

: waktu saat di titik Q’ (waktu GPS)

fs

: kesalahan horizontal akibat kecepatan kapal

I.7.4. Penentuan Standar Deviasi (σ) Nilai ketelitian atau standar deviasi (σ) ukuran dari pengukuran GPS dapat langsung diketahui dari metode pengukuran yang dilakukan (lihat tabel I.1), sedangkan standar deviasi ukuran kedalaman dengan menggunakan alat sounding

22

dapat diperoleh dari suatu pemodelan varian (σ2). Pemodelan varian ukuran kedalaman (∆h’) mengikuti konsep pemodelan varian pengukuran jarak. Pemodelan varian menurut Mikhail untuk pengukuran jarak dihitung menurut persamaan berikut ini (Mikhail, dkk, 1981): = a2 + b2 Di2

……………………………...…………….(I.30)

Dalam hal ini, : varian total jarak pengukuran ke-i : jarak ukuran ke-i b

: ketelitian relatif alat (konstanta pengali)

a

: ketelitian jarak yang tidak tergantung jarak sebenarnya di lapangan (konstanta penambah)

I.7.5. Perambatan Kesalahan Acak Kesalahan acak merupakan suatu kesalahan yang pasti selalu terjadi dalam pengukuran apapun. Menurut Basuki (2006), kesalahan acak/random terjadi karena hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, kesalahan ini dapat disebabkan oleh faktorfaktor yang terjadi di alam maupun dari si pengamat sendiri. Kesalahan ini akan terlihat jika suatu pengukuran dilakukan secara berulang-ulang dan hasil tiap ukuran pasti tidak selalu sama satu sama lain. Semakin banyak hasil ukuran berulang tersebut makan akan konsisten terhadap kurva distribusi normal Gauss, atau dengan kata lain, kurva distribusi normal merupakan representasi sebaran statistik dari nilainilai ukuran berulang sebanyak mendekati tak terhingga. Representasi kesalahan acak dalam teori pengukuran adalah standar deviasi. Jika suatu besaran A dan B tidak diketahui nilai standar deviasinya dan besaran ini merupakan fungsi dari besaran-besaran lain (x, y, z) yang diketahui standar deviasinya, maka standar deviasi besaran A dan B dapat dihitung dengan rumus perambatan kesalahan. Rumus untuk menghitung perambatan kesalahan acak A dan B adalah sebagai berikut: Jika diketahui, A = F(x, y, z) = ax + by + cz

………………...………………………….(I.31)

B = F(x, y, z) = dx + ey + fz

………………………...………………….(I.32)

23

Dan matriks varian-kovarian parameter x, y dan z adalah: ∑xy =

Sehingga untuk menghitung nilai varian A (σA2) dan B (σB2) serta kovariannya (σAB) berdasarkan deret Taylor dengan linierisasi sampai turunan pertama maka perambatan kesalahan untuk menghitung varian besaran A dan B mengikuti persamaan di bawah ini (Widjajanti, 2012):

σA2 = (

)2(σx)2 + ( )2(σy)2 + ( )2(σz)2 + 2.( )( )σxy + 2.( )( )σxz ( )( )σyz

+ 2.

σB2 = (

……………………………...…………….(I.33)

)2(σx)2 + ( )2(σy)2 + ( )2(σz)2 + 2.( )( )σxy + 2.( )( )σxz ( )( )σyz

+ 2.

……………………...…………………….(I.34)

Keterangan: ∑xy

: Matriks Varian-Kovarian besaran ukuran x, y dan z

σA2

: Varian Besaran A

σB2

: Varian Besaran B

σx2

: Varian Besaran x

σy2

: Varian Besaran y

σz2

: Varian Besaran z

σxy

: Kovarian xy

σxz

: Kovarian xz

σyz

: Kovarian yz

Tetapi jika semua pengukuran tidak berkorelasi atau nilai kovarian = 0, maka persamaan tersebut menjadi:

24

)2(σx)2 + ( )2(σy)2 + ( )2(σz)2

σA2 = (

= a2(σx)2 + b2(σy)2 + c2(σz)2

……………………...…………………….(I.35)

)2(σx)2 + ( )2(σy)2 + ( )2(σz)2

σB2 = (

= d2(σx)2 + e2(σy)2 + f2(σz)2

………………………...………………….(I.36)

Penerapan perambatan kesalahan dapat diaplikasikan pada persamaan koreksi kecepatan yang telah diketahui fungsi terhadap masing-masing parameternya, artinya besaran terkoreksi merupakan fungsi dari besaran ukuran, yaitu: 1. Berdasar rumus I.22 diketahui bahwa: Xp = f (Xp’, Dpq, ∆h’, αpq) 2. Berdasar rumus I.25 diketahui bahwa: Yp = f (Yp’, Dpq, ∆h’, αpq) 3. Berdasar rumus I.28 diketahui bahwa: ∆h = f (∆h’, fs) 4. Fungsi jarak: Dp’q’ = f (Xp’, Xq’, Yp’, Yq’) 5. Berdasar rumus I.21 diketahui bahwa: αp’q’ = f (Xp’, Xq’, Yp’, Yq’) 6. Berdasar rumus I.29 diketahui bahwa: fs = f (Xp, Xp’, Yp, Yp’) sehingga:

σD

2

p’q’

σα

pq

2

=

(

=

(

=

)2(σX ’)2 + ( p

(

)2(σX ’)2 + (

)2(σX ’)2 + (

(

)2(σY ’)2 q

q

)2(σY ’)2 +

q

)2(σX ’)2 + (

(

p

)2(σY ’)2 p

………………...………………………….(I.37)

q

p

p

)2(σX ’)2 + (

p

)2(σY ’)2

)2(σY ’)2 + (

q

)2(σX ’)2 + (

(

=

)2(σX ’)2 + (

)2(σY ’)2 + (

q

p

)2(σX ’)2 + ( q

)2(σY ’)2 q

)2(σY ’)2 + p

…………………...……………………….(I.38)

Kemudian dapat dihitung varian koordinat terkoreksi (Xp, Yp)

25

σX 2 = ( )2(σX ’)2 + ( p

p

= 12. (σXp’)2 + (

)2(σD )2 + ( )2(σ∆h’)2 + ( sin(αp’q’))2(σDpq)2 + (

cos(αp’q’))2(σαpq)2

σY 2 = ( )2(σY ’)2 + ( p

p

= 12. (σYp’)2 + (

pq

sin(αp’q’))2(σ∆h’)2 + (

………………………...………………….(I.39)

)2(σD )2 + ( )2(σ∆h’)2 + (

)2(σα )2

pq

cos(αp’q’))2(σDpq)2 + (

(-sin(αp’q’)))2(σαpq)2

(

)2(σα )2

pq

pq

cos(αp’q’))2(σ∆h’)2 +

…………………………...……………….(I.40)

Dan menghitung nilai varian kesalahan horizontal untuk memudahkan menghitung nilai varian kedalaman terkoreksi (∆h):

σf 2 = ( )2(σX )2 + ( )2(σX ’)2 + ( )2(σY )2 + ( )2(σY ’)2 s

p

=

p

p

p

(

)2(σX )2 + (

)2(σX ’)2 + (

(

)2(σY ’)2

………………………..………………….(I.41)

p

p

p

)2(σY )2 + p

σ∆h2 = ( )2(σ∆h’)2 + ( )2(σf )2 s

=

( )2(σ∆h’)2 + ( )2(σf )2 s

Keterangan:

σD

2

p’q’

σα

2

pq

: Varian Jarak p’q” : Varian Azimuth p’q”

σX 2

: Varian Xp (terkoreksi)

σY 2

: Varian Xp (terkoreksi)

p

p

………………………………...………….(I.42)

26

σf 2

: Varian Kesalahan Horizontal

σ∆h2

: Varian Kedalaman (terkoreksi)

s

I.7.6. Uji Kualitas Data Perum Dasar penentukan batas toleransi kesalahan beda kedalaman untuk uji kualitas ini adalah IHO SP-44 tahun 2008 dan SNI 7646:2010 dengan tingkat kepercayaan 95% (± 1,96σ). Sementara rumus yang digunakan untuk menghitung batas toleransi tersebut dapat dilihat pada rumus I.43 berikut: ………...……………...………………………(I.43)

± Keterangan: a : kesalahan independen

b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen d : kedalaman rata-rata (minimal 30 titik perpotongan) Nilai a dan b dalam persamaan I.43 tersebut disesuaikan dengan orde survei yang dilakukan seperti yang tercantum pada tabel I.2.

I.7.7. Uji Statistik Signifikansi Parameter 2 Kelompok Data Pengujian statistik ini dilakukan untuk menganalisis dua kelompok data yang dianggap merupakan representasi suatu objek yang sama, tujuan pengujian adalah untuk menguji apakah antara besaran-besaran pada kelompok data 1 dengan kelompok data 2 sama atau tidak secara ststistik. Pada penelitian ini kelompok data 1 mewakili data koordinat X’, Y’ dan ∆h’ yang merupakan data hasil ukuran, sedangkan kelompok data 2 mewakili data koordinat X, Y dan ∆h yang telah dikoreksi kesalahan kecepatan kapal berdasarkan konsep Transformasi Galileo. Untuk melakukan pengujian ini harus mengetahui nilai data kelompok 1 dan data kelompok 2 beserta masing-masing ketelitiannya (standar deviasi) pada setiap parameter besaran yang akan diuji. Hipotesis yang disusun adalah: H0 : parameter kelompok I sama dengan parameter kelompok II Ha : parameter kelompok I tidak sama dengan parameter kelompok II

27

Hipotesis nol (H0) akan diterima jika memenuhi kriteria hitungan berikut (Widjajanti, 2013): ≤ Tα,F

……...…………………………………….(I.44)

dengan nilai F adalah: ……...…………………………………….(I.45)

F = F1 + F2 Keterangan:

Tα,F : sebaran fungsi T dari tabel T (Student) Si

: nilai ke-i kelompok data 1

Si’ : nilai ke-i kelompok data 2

σSi

: standar deviasi Si

σSi’

: standar deviasi Si’

F1

: derajat kebebasan (Degree Of Freedom) kelompok data 1

F2

: derajat kebebasan (Degree Of Freedom) kelompok data 2

α

: taraf uji atau tingkat kepercayaan

I.8. Hipotesis

Secara teori, suatu benda yang bergerak pasti memiliki kerangka acuan yang berbeda dengan kerangka acuan bumi (diam), dengan demikian besaran-besaran ukurannya juga memiliki perbedaan nilai dengan nilai menurut kerangka acuan bumi (diam) atau terdapat kesalahan. Sehingga nilai ukuran harus dikoreksi agar nilainya sesuai dengan kerangka acuan bumi, karena dalam pemetaan memakai nilai besaran berdasar acuan bumi, persamaan koreksi ini dapat disusun dan dikembangkan sesuai dengan parameter-parameter pengukuran yang harus diketahui (nilai kecepatan dan azimuth), argumen inilah yang menjadi dasar penyusunan hipotesis penelitian ini. Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa “kecepatan kapal memberikan pengaruh beda nilai (kesalahan) pada hasil pengukuran kedalaman dan penentuan posisi yang menggunakan alat Singlebeam Echosounder”.