BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Download 2 Ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis) sebagai biomarker ... maka dilakukan studi pustaka berdasarkan berbagai literatur, jurnal, dan lapor...

0 downloads 492 Views 215KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Daerah Aliran Sungai ( DAS ) Penelitian ini meliputi suatu wilayah di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari Daerah Aliran Sungai Citarum. Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam (seperti punggung bukit atau gunung) maupun batas buatan (seperti jalan atau tanggul), dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi konstribusi pada aliran sungai yang bersangkutan. Menurut kamus Webster, DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang berfungsi menampung air yang menerima hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke sungai

yang

bersangkutan, dan seterusnya ke danau atau laut (Suripin, 2004). DAS merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor nonbiotik, biotik, dan manusia (Suripin, 2004). Sistem ekosistem tersebut mempunyai sifat tertentu, yang dipengaruhi jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada sudut pandang dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut (Asdak, 2004). Ekosistem suatu DAS merupakan bagian yang amat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS yang bersangkutan. Aktifitas di dalam DAS, yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilir sungai yang bersangkutan, berupa perubahan fluktuasi debit air dan kandungan sedimen serta material terlarut lainnya (Suripin, 2004). Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan mengingat, bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisika melalui daur hidrologi (Asdak, 2004). Ekosistem suatu DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir,

II - 1

pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan darah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. Sedangkan daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik di atas (Asdak, 2004). Perubahan lansekap, termasuk perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan yang dilaksanakan di daerah hulu DAS, tidak hanya akan memberikan dampak di daerah dimana kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir (Asdak, 2004). Jika fungsi dari suatu DAS terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu pula. Misalnya, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan air menjadi sangat berkurang, atau sistem penyaluran air menjadi sangat berlebih. Hal tersebut akan menyebabkan melimpahnya air pada musim hujan dan sangat berkurangnya air pada musim kemarau (Suripin, 2004).

II.2 Tata Guna Lahan dan Perubahan Tata guna Lahan Peningkatan populasi penduduk dalam suatu wilayah dapat menjadi suatu alasan untuk menggunakan dan/atau membuka suatu lahan yang tidak sesuai dengan

peruntukannya.

Sehingga,

hal

demikian

dapat

menyebabkan

ketidakseimbangan lingkungan terutama untuk daerah resapan air dan fungsi penampungan air hujan (danau, sungai). Peningkatan populasi penduduk juga dapat berujung pada perluasan lahan untuk keperluan pertanian dan perkebunan sehingga akan terjadi pembukaan lahan hutan (Skole, 1992). Sementara, perkembangan jaman dan meningkatnya teknologi dapat pula mengakibatkan perubahan tata guna lahan untuk tujuan yang tidak tepat. Sebagai ilustrasi, kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat akibat meningkatnya populasi penduduk, dapat menyebabkan peningkatan berbagai industri. Pada gilirannya,

II - 2

peningkatan dan pembangunan lahan industri akan menyebabkan perubahan lingkungan akibat pencemaran air, udara dan tanah (Skole, 1992). Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air, pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah disebabkan oleh: (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan (4) erosi. Kerusakan tanah oleh salah satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau jasa (Riquier, 1977 dalam Suripin, 2004) Dalam merencanakan tata guna lahan perlu diperhatikan sejumlah kondisi, terutama: tanah, air, iklim, dan sebagainya. Kegiatan manusia juga perlu menjadi perhatian, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Pemanfaatan tata guna lahan harus ditentukan melalui pilihan terbaik, dan tahapan perencanaan untuk menggunakan tanah bagi maksud tertentu (Jayadinata, 1999 dalam Hadisantosa, 2006). Dari faktor nilainya, Chapin menggolongkan lahan dan tanah dalam tiga kelompok, yaitu lahan yang mempuyai (Hadisantosa, 2006): a. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual-beli di pasaran bebas. b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. c. Nilai sosial, yang meupakan hal yang mendasar bagi kehidupan

dan

ditentukan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

II.3 Pencemaran Badan Perairan Besar dampak pencemaran akibat limbah yang masuk dalam lingkungan perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Sutamihardja, 1990 dalam Wardhani, 2005 dan Lloyd, 1992): •

Toksisitas zat pencemar Daya racun zat pencemar logam terhadap organisme di perairan dapat diketahui melalui LC-50. LC-50 adalah kadar suatu zat dalam air yang mampu

II - 3

membunuh 50% hewan uji dalam waktu tertentu, waktu pengamatan adalah 48 atau 96 jam. Makin rendah nilai LC-50, maka daya racun zat pencemar makin tinggi. •

Konsentrasi zat pencemar Tingginya konsentrasi zat pencemar pada badan air akan menyebabkan paparan zat pencemar yang tinggi pada mahluk hidup.



Waktu kontak pencemar dan organisme Waktu kontak dengan zat pencemar akan menentukan konsentrasi pencemar tersebut dalam tubuh organisme. Meskipun demikian, setiap organisme memiliki respon yang berbeda terhadap zat pencemar. Saat terjadi paparan pada tingkat tertentu, ikan dan nekton mampu menghindar. Sebaliknya, bentik tidak dapat berpindah sebagaimana ikan. Namun, pada sungai dengan aliran deras, konsentrasi zat pencemar pada tubuh bentik akan lebih sedikit karena waktu kontaknya lebih singkat dibandingkan pada kondisi aliran lemah



Volume badan air yang menerima zar pencemar Kapasitas badan perairan sangat berperan dalam proses terjadinya pengenceran konsentrasi zat pencemar. Makin besar kapasitas sungai, maka kemampuan sungai untuk melakukan pengenceran akan makin baik, sehingga mampu mengurangi sifat berbahaya dari pencemar pada sungai. Selain faktor –faktor tersebut, intensitas pencemaran juga bergantung pada

komposisi biologi yang ada di lingkungan serta sifat-sifat fisik dan kimiawi media air itu sendiri. Sumber-sumber pencemaran pada badan air, terutama sumber pencemar logam berat dapat berasal dari (Rashed, 2004): 1. Sumber alami. Logam dapat ditemukan di setiap kerak bumi, dalam bebatuan, tanah, dan memasuki badan perairan secara alami melalui proses pelapukan dan erosi 2. Sumber yang berasal dari industri. Proses industri, terutama yang berkaitan dengan pertambangan, pembuatan barang dari logam, serta pelapisan logam. Bahan logam juga dimanfaatkan secara luas pada industri lainsebagai pigmen warna dalam pembuatan cat dan dye manufacture. Beberapa industri yang berpotensi dalam pencemaran logam, diantaranya adalah industri kulit, karet, tekstil, cat, kertas, dll.

II - 4

3. Buangan domestik. Buangan domestik mengandung logam dalam jumlah kecil. Kehadiran logam tersebut berasal dari kosmetik atau pembersih. 4. Sumber pertanian. Logam pada buangan dari pertanian dapat berasal penggunaan pestisida dan pupuk yang mengandung pestisida. 5. Pertambangan. Limpasan dari pertambangan dan tempat pembuangan sampah 6. Polusi udara. Hujan asam yang mengandung berbagai trace element dapat menyebabkan terjadinya pencemaran perairan oleh logam apabila memasuki badan perairan

II. 3. 1 Logam Merkuri (Hg) Logam merkuri (Hg) adalah salah satu trace element yang mempunyai sifat cair pada temperatur ruang dengan spesifik gravity dan daya hantar listrik yang tinggi. Karena sifat-sifat tersebut, merkuri banyak digunakan baik dalam kegiatan perindustrian maupun laboratorium. Dewasa ini, pencemaran yang disebabkan oleh logam-logam berat yang juga merupakan unsur-unsur langka (seng, timah, kadnium, merkuri, arsen, nikel, vanadium dan berilium) merupakan masalah yang serius (Djojosoebagio, 1978 dalam Widodo, 1980). Di antara unsur - unsur logam berat tersebut, merkuri tergolong sebagai salah satu pencemar paling berbahaya. Dalam berbagai bidang, merkuri digunakan secara luas dan diproduksi dalam jumlah yang cukup besar (Budiono, 2003), sehingga dapat berpotensi sebagi sumber pencemar lingkungan di banyak tempat. Beberapa kemungkinan bentuk merkuri yang masuk ke dalam lingkungan perairan alam, yaitu (Sanusi, 1980 dalam Budiono, 2003): ƒ

Sebagai inorganik merkuri, melalui hujan, run-off ataupun aliran sungai. Unsur ini bersifat stabil terutama pada keadaan pH rendah.

ƒ

Dalam bentuk organik merkuri, yaitu phenyl merkuri (C6H5Hg), metilmerkuri (CH3-Hg) dan alkoxyalkyl merkuri atau methyoxy-ethyl merkuri (CH3OCH2-CH2-Hg+). Organik merkuri yang terdapat di perairan alam dapat berasal dari kegiatan pertanian (pestisida).

ƒ

Terikat dalam bentuk suspended solid sebagai Hg2+2 (ion merkuro), mempunyai sifat reduksi yang baik.

II - 5

ƒ

Sebagai metalik merkuri (Hg0), melalui kegiatan perindustrian dan manufaktur. Unsur ini memiliki sifat reduksi yang tinggi, berbentuk cair pada temperatur ruang dan mudah menguap. Merkuri yang terdapat dalam limbah di perairan umum diubah oleh

aktifitas mikroorganisme menjadi komponen metilmerkuri (CH3Hg) yang memiliki sifat racun dan daya ikat yang kuat dengan tingkat kelarutan yang tinggi terutama dalam tubuh hewan air. Hal ini mengakibatkan merkuri terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewanhewan air, sehingga kadar merkuri dapat mencapai level yang berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun kesehatan manusia, sebagai konsumen tertinggi dalam rantai makanan (Sanusi, 1980).

II. 3. 2 Pencemaran Oleh Merkuri Seperti unsur-unsur lainnya, logam berat dapat dijumpai di seluruh lapisan kerak bumi, meskipun jumlahnya relatif kecil. Lingkungan perairan sebagai bagian dari bumi juga dapat mengandung logam berat (Mason, 1991). Mekanisme masuknya merkuri dan perubahan bentuk merkuri di lingkungan bersifat kompleks dan sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat. Untuk dapat memahami fate dan dampak dari emisi merkuri secara anthropogenik, terlebih dahulu harus diketahui proses interaksi biogeokimia yang mempengaruhi kondisi merkuri dalam berbagai bentuk baik secara kimiawi maupun fisik. Pemahaman terhadap hubungan antara kondisi setempat dan tingkat merkuri pada berbagai media dan organisme hidup sangat penting untuk memperkirakan perubahan merkuri baik dalam konsentrasi maupun bentuk. Mekanisme masuknya sumber pencemar merkuri ke lingkungan sehingga menjadi sumber polutan dapat dilihat pada Gambar II.1.

II - 6

Gambar II. 1 Mekanisme Pencemaran Lingkungan Oleh Merkuri (Sumber: The Green LaneTM , 2004)

Seperti yang terlihat pada Gambar II. 1, dua jenis reaksi utama dalam siklus merkuri yang mempengaruhi bentuk merkuri di lingkungan adalah: oksidasi-reduksi dan metilasi-demetilasi. Pada proses oksidasi-reduksi, merkuri dioksidasi ke tingkat valensi yang lebih tinggi (misalnya, dari bentuk Hg0 ke bentuk yang lebih reaktif Hg2+) melalui proses kehilangan elektron, atau direduksi ke tingkat valensi yang lebih rendah.

Proses Oksidasi Merkuri Proses oksidasi elemen merkuri (Hg0) di atmosfer merupakan mekanisme penting dalam proses deposisi merkuri pada tanah dan air. Elemen merkuri (Hg0) relatif mudah tervolatisasi dan terlepas ke atmosfer. Hal ini memungkinkan merkuri terbawa oleh angin selama bertahun – tahun dan kemudian masuk ke lingkungan untuk mengalami siklus selanjutnya. Berbeda dengan Hg0, merkuri dalam bentuk Hg2+ memiliki waktu retensi di atmosfer kurang dari dua minggu.

II - 7

Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang cenderung terlarut dalam air, kurang volatil, dan reaktif. Sehingga, ketika Hg0 berubah menjadi Hg2+, merkuri dapat dengan cepat terbawa dalam hujan, salju, atau teradsorbsi dalam partikel –partikel kecil dan kemudian memasuki lingkungan melalui wet atau dry deposition (The Green LaneTM , 2004).

Proses Metilasi Merkuri Di lingkungan, merkuri berubah menjadi metilmerkuri ketika teroksidasi. Dengan kata lain, Hg2+ berikatan dengan kelompok metil (CH3). Proses metilasi dari Hg2+ sebagian besar merupakan proses biologis yang berakibat pada produksi metilmerkuri (MeHg+) yang bersifat sangat toksik dan dapat terakumulasi dalam organ tubuh makhluk hidup dan terbiomagnifikasi dalam rantai makanan. Pemahaman atas faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan metilmerkuri merupakan hal yang penting mengingat sifat metilmerkuri yang sangat toksik, terbioakumulasi dalam tubuh organisme dan persisten di alam. Bakteri dapat merubah merkuri menjadi metilmerkuri dan membebaskan merkuri

dari sedimen. Dalam kegiatannya bakteri membutuhkan bahan organik atau komponen-komponen karbon, nitrogen dan posphat sebagai makanannya (Goldwater , 1971 ; Wood, 1972 dalam Sanusi, 1980). Sejumlah mikroorganisme, terutama jenis metanogenik (penghasil metan) dan bakteri sulfur diyakini terlibat dalam proses konversi Hg2+ menjadi MeHg dalam kondisi anaerob. Proses metilasi umumnya terjadi pada badan perairan dengan pH rendah dan konsentrasi bahan organik tinggi. Laju dari proses biometilasi merupakan suatu fungsi dari faktor – faktor lingkungan yang mempengaruhi kehadiran ion merkuri, seperti jumlah populasi mikroba penghasil metilmerkuri. Alkalinitas, dan pH, sangat mempengaruhi adsorpsi dari berbagai bentuk merkuri pada tanah, lempung, dan berbagai materi organik, yang kemudian akan mempengaruhi kehadiran ion merkuri di lingkungan Hujan asam juga dapat meningkatkan biometilasi melalui penurunan pH. Selain itu, merkuri dapat berikatan dengan ion sulfide sehingga mencegah terjadinya metilasi. Walaupun demikian, kehadiran sulfat dapat merangsang pertumbuhan dari mikroba penghasil metilmerkuri. Kehadiran zat organik dapat

II - 8

merangsang pertumbuhan populasi mikroba, menurunkan kandungan oksigen, dan kemudian meningkatkan proses biometilasi. Pada temperatur yang hangat, proses biometilasi akan meningkat saat produktivitas biologis tinggi dan menurun pada musim dingin (The Green LaneTM , 2004). Secara umum, bentuk merkuri di lingkungan akan bervariasi sesuai musim seiring dengan perubahan kandungan zat organik, nutrisi, kandungan oksigen, dan interaksi hidrologi dalam ekosistem. II.3 Biomarker Untuk menjaga kualitas air sungai diperlukan suatu kegiatan monitoring, baik terhadap kualitas air permukaan maupun efluent IPAL yang masuk ke sungai. Selain monitoring kualitas fisik dan kimiawi air, salah satu metoda monitoring yang telah dikembangkan adalah biomarker. Prinsip dibalik pendekatan biomarker adalah pengukuran parameter biologis dari suatu biota sebagai indikasi adanya paparan senyawa toksik (Rashed, 2004). Biomarker sering digunakan untuk melakukan suatu penilaian terhadap pengaruh aktivitas yang menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan terpaparnya biota pada suatu lingkungan (air, terestial). Paparan dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu paparan akut dan kronis. Paparan akut terjadi jika manusia terpapar oleh satu senyawa atau lebih yang kemudian memberikan efek dalam waktu singkat. Paparan kronis terjadi jika manusia terpapar oleh senyawa kimia dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama (jam, hari, atau tahun). Efek terhadap kesehatan dari paparan kronis merupakan fungsi dari jalur paparan, metabolisme, serta akumulasi senyawa kimia (Slamet, 2004). Untuk memastikan bahwa seseorang telah terpapar dapat dilakukan dengan pengumpulan informasi melalui kuesioner, data historis, monitoring lingkungan, maupun biomarker. Biomarker sendiri dapat diklasifikasikan sebagai penandaan adanya paparan, penandaan efek, dan penandaan kerentanan. Biomarker sebagai penandaan paparan dari senyawa toksik dapat digunakan dengan menganalisa cairan biologis senyawa toksik tersebut dalam darah, urin, atau bagian lainnya. Jika senyawa toksik mengalami metabolisme dalam tubuh

II - 9

dan menghasilkan metabolit, maka dapat dilakukan analisa adanya metabolit hasil metabolisme tersebut dalam cairan biologis. Sementara efek potensial dapat diukur dengan menganalisa perubahan fungsi seluler (BPLHD, 2004). Biomarker logam berat sudah dikembangkan untuk mengamati paparan magnesium, merkuri, dan sulfat pada manusia. Merkuri dapat diamati dengan menganalisa kadar merkuri dalam urin atau darah. Pengukuran merkuri dalam urin merupakan indikator yang sesuai untuk merkuri anorganik, sedangkan pengukuran merkuri dalam darah dapat mewakili adanya paparan merkuri organik (Autrup, 1996 dalam BPLHD, 2004). Pendekatan melalui biomarker lingkungan, memungkinkan penggunaan elemen responsif pada hewan sebagai alat untuk mengetahui dampak biologis dari paparan oleh senyawa tertentu. Respon yang terjadi dapat berupa biomolekuler, biokimia, sel, atau bahkan tingkat psikologi (Peakal, 1992). Penggunaan biomarker dalam monitoring kualitas air permukaan dapat dilakukan dengan hewan yang terdapat di perairan tersebut. Dalam biomarker perairan, hewan yang digunakan harus memiliki sifat – sifat tertentu, antara lain (Apollania, 1978 dalam Hadisantosa, 2006): a. Hewan tersebut harus representatif terhadap lingkungan, dimana pada perairan tersebut ditemui adanya pencemar; b. Hewan tersebut harus tersedia, dalam arti bahwa jenis hewan yang digunakan terdapat dalam perairan tersebut; c. Hewan tersebut harus terseleksi kesensitifitasannya; d. Hewan tersebut harus berada dalam rantai makanan.

II. 4. 1

Ikan Sebagai Biomarker

Ikan telah banyak digunakan sebagai indikasi tercemar atau tidaknya perairan oleh suatu bahan pencemar. Penggunaan ikan sebagai biomonitoring perairan merupakan salah satu cara terbaik dalam mengindikasikan kandungan logam di badan air (Rashed, 2004). Pengaruh langsung polutan, terutama pestisida terhadap ikan biasa dinyatakan sebagai lethal (akut), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang timbul pada

II - 10

waktu lebih dari 96 jam (empat hari). Sifat toksis yang lethal dan sublethal dapat menimbulkan efek genetik maupun teratogenik terhadap biota yang bersangkutan (Jensen dan Jernelov, 1969; Skerving et al., 1970; Ramel, 1967 dalam FAO, 1971). Pengaruh lethal disebabkan gangguan pada saraf pusat sehingga ikan tidak dapat bergerak atau bernapas yang mengakibatkan cepat mati. Pengaruh sublethal terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi potensi perkembangbiakan, pertumbuhan dan sebagainya (Harjamulia dalam Budiono, 2003). Faktor-faktor

yang

berpengaruh

di

dalam

proses

pembentukan

metilmerkuri merupakan faktor-faktor lingkungan yang menentukan tingkat keracunannya. Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau menstimuli sistem enzimatik yang pada gilirannya dapat menimbulkan penurunan kemampuan adaptasi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar tersebut. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri adalah ginjal, hati dan lensa mata (Sanusi, 1980 dalam Budiono, 2003). Logam berat pada ikan dapat mengakibatkan gangguan pada sistem respirasi dan osmoregulasi (Lloyd, 1992). Logam berat dapat bereaksi dengan fraksi tertentu dari lendir insang dan membentuk gumpalan lendir yang dapat menghambat pernafasan ikan. (Gramich, 1995 dalam Budiono, 2003). Mekanisme pernafasan ikan melalui insang ditunjukkan pada Gambar II. 2. Insang ikan terdiri dari sekumpulan filament yang ditopang oleh kerangka dari gill arch (Gambar II. 2.b). Setiap filament tertutup oleh lapisan tipis yang disebut lamella. Darah mengalir melewati setiap lamella melalui suatu jaringan kapiler. Pada setiap lamella, terjadi proses transfer oksigen antara air yang dengan kandungan oksigen tinggi dan darah dengan kandungan oksigen rendah (Gambar II.2c). Melalui proses ini, ikan dapat mengekstraksi 85% oksigen dari air yang melewati insang mereka (Prentice Hall, 2003).

II - 11

Gambar II. 2. Mekanisme Pernafasan Ikan (Prentice Hall, 2003)

Logam berat juga mengakibatkan kulit ikan kurang tahan terhadap air sehingga proses osmoregulasi (pengontrolan kadar garam dalam cairan tubuh) terganggu (Lloyd, 1992). Mekanisme osmoregulasi pada ikan ditunjukkan pada Gambar II. 3.

Gambar II. 3. Proses Osmoregulasi Pada Ikan (Lloyd, 1992)

II - 12

Selain itu, toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan eksresi dari insang. Unsur-unsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap insang adalah timah, seng, besi, tembaga, kadmium dan merkuri (Budiono, 2003). Pengaruh pencemaran merkuri terhadap ekologi bersifat jangka panjang, meliputi kerusakan struktur komunitas, keturunan, jaringan makanan, tingkah laku hewan air, fisiologi, resistensi maupun pengaruhnya yang bersifat sinergisme. Sedang pengaruhnya yang bersifat linier terjadi pada tumbuhan air, yaitu semakin tinggi kadar merkuri semakin besar pengaruh racunnya (Harris, 1971 dalam Sanusi, 1980). Pada dasarnya, setiap jenis biota air, termasuk ikan, memiliki tingkat sensitifitas yang berbeda untuk setiap logam berat. Perbedaan sensitifitas tersebut berkaitan erat dengan perbedaan aktifitas dari ikan-ikan tersebut (Schweiger, 1957 lihat Sutarjo, 1979 dalam Widodo, 1980). Tingkat toksisitas logam berat juga berhubungan dengan respiratory flow dari masing-masing organisme. Secara tidak langsung kadar oksigen terlarut yang rendah mengharuskan ikan untuk lebih banyak memompa air melalui insangnya sehingga respiratory flow meningkat dan lebih banyak racun akan terserap masuk ke dalam tubuh melalui insang. Dengan demikian, semakin tinggi respiratory flow, meningkat pula toksisitas dari logam berat tersebut. Selain itu ada beberapa ion dari berbagai logam berat yang bersifat sinergisme atau antogonistik satu terhadap yang lain, misalnya Cu mempunyai sifat sinergisme terhadap Cd dan Mg (Lloyd, 1992) Menurut Canli dan Kalay (1998), studi lebih lanjut telah menunjukkan bahwa ikan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi dan mempertahankan logam berat dari lingkungannya serta menunjukkan bahwa akumulasi logam pada jaringan tubuh ikan tergantung pada konsentrasi dan durasi paparan (Hadisantosa, 2006). Faktor – faktor lain yang turut mempengaruhi diantaranya adalah salinitas, temperatur, kesadahan, dan metabolisme tubuh hewan itu sendiri (Lloyd, 1992).

II - 13

Kenyataan di atas, berupa sifat-sifat khas dari ikan terhadap racun logam berat, dan proses bagaimana racun tersebut berada dan berpengaruh pada elemenelemen biologisnya, menjadikan ikan sebagai biomarker yang tepat untuk pencemaran sungai atau badan perairan lainnya.

II. 4. 2 Ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis) sebagai biomarker Pterygoplichthys pardalis termasuk dalam golongan ikan tropis yang dikenal sebagai Plecostomus yang merupakan bagian dari keluarga Armored Catfish (Loricariidae). Sistem klasifikasi dari Liposarcus pardalis diuraikan pada Tabel II. 1. Tabel II. 1. Sistem klasifikasi Pterygoplichthys pardalis Sistem Klasifikasi Kingdom: Phylum: Class: Order: Family: Genus: Species:

Animalia Chordata Actinopterygii Siluriformes Loricariidae Liposarcus P. pardalis

Nama Binomial Pterygoplichthys pardalis (Castelnau, 1855)

Jenis ikan Plecostomus dapat ditemukan pada berbagai wilayah perairan, seperti aliran sungai yang sempit di pegunungan, muara sungai, bahkan pada perairan dengan tingkat pencemaran tinggi. Beberapa nama lain dari species ikan ini diantaranya adalah Hypostomus pardalis, Liposarcus pardalis, Liposarcus varius, dan Liposarcus jeanesianus. Bentuk dan rupa ikan Liposarcus pardalis atau Pterygoplichthys pardalis ditunjukkan pada Gambar II. 4.

II - 14

Gambar II.4. Pterygoplichthys pardalis

Sebagaimana yang terlihat pada Gambar II. 4, karakteristik utama dari golongan Loricariidae adalah mulut penghisap. Bentuk bibir dan mulut memungkinkan ikan untuk makan, bernafas, dan menempel pada objek dengan cara menghisap (Geerinckx, 2007). Liposarcus pardalis dapat tumbuh mencapai 15.75 inchi (40cm). Mulut penghisap pada ikan sapu – sapu memungkinkan jenis ikan ini untuk menempel pada suatu benda di lingkungan mereka, bahkan pada sungai dengan aliran deras. Mulut dan gigi ikan juga beradaptasi terhadap berbagai makanan seperti alga, invertebrata, dan detritus (Geerinckx, 2007). Umumnya, Liposarcus pardalis memiliki batasan territorial tertentu dalam lingkungannya terhadap sesama jenis Plecostomus yang lebih besar . Walaupun ikan sapu – sapu biasa hidup pada perairan dalam, namun mereka memiliki kemampuan untuk menghirup udara dari permukaan air pada musim kemarau atau pada saat kandungan Dissolved Oxygen dalam air rendah (Armbruster, 1998). Keluarga ikan Loricariidae memiliki berbagai strategi reproduksi. Beberapa diantaranya adalah penyimpanan telur pada bagian bawah batu, dan membawa telur. Biasanya induk ikan akan merawat anaknya dengan baik. Sedangkan sang jantan akan menjaga telur atau bahkan setelah menetas. Umumnya, telur akan menetas dalam 4 sampai 20 hari, tergantung pada species ikan.

II - 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. 1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pencemaran merkuri (Hg) pada air permukaan terkait dengan kondisi tata guna lahan di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum. Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilanjutkan dengan analisa laboratorium. Tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar III. 1

Identifikasi Masalah

Pengumpulan Data

Data Sekunder

Observasi

Data Primer

Penentuan Titik Pengambilan Sampel

Pengambilan Sampel Ikan

Preparasi Sampel

Analisa Data

Kesimpulan & Saran

Gambar III. 1 Diagram Alir Tahapan Penelitian Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar III.1, penelitian ini diawali dengan identifikasi masalah di wilayah penelitian baik melalui observasi lapangan, studi pustaka, maupun pengumpulan data sekunder. Hal ini bertujuan untuk

III - 1

memperoleh gambaran permasalahan, selain gambaran wilayah di lokasi penelitian. Setelah memperoleh gambaran permasalahan di lokasi penelitian, maka dilakukan studi pustaka berdasarkan berbagai literatur, jurnal, dan laporanlaporan penelitian terkait yang telah dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kelengapan informasi pendukung yang menunjang penelitian. Studi pustaka tersebut dilakukan sepanjang penelitian sampai penyusunan laporan tugas akhir. Dalam penelitian ini, pengambilan data yang dilakukan meliputi pengambilan data primer dan sekunder. Data sekunder yang digunakan meliputi data kualitas air Sungai Citarum hulu, tata guna lahan, serta jenis dan jumlah industri yang ada pada daerah penelitian. Setelah itu, penelitian dilanjutkan dengan pengambilan ikan Liposarcus pardalis di lapangan, sebagai sampel, dan kemudian dilakukan analisa laboratorium untuk mendapatkan data primer. Data primer yang diambil meliputi hasil analisa konsentrasi merkuri (Hg) pada ikan. Survey lapangan dilakukan untuk mengetahui lokasi pengambilan sampel dan mengetahui kondisi lapangan dimana penelitian dilakukan. Survey lapangan dilakukan sebagai berikut: ƒ

Survey dilakukan di sepanjang aliran Sungai Citarum pada wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum.

ƒ

Melihat penggunaan lahan di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum.

ƒ

Melihat kondisi aliran Sungai Citarum di lokasi penelitian. Dari hasil observasi lapangan, ditetapkan sembilan titik pengambilan

sampel pada Sungai Citarum di wilayah Bantar Panjang berdasarkan adanya aliran anak sungai yang masuk ke Sungai Citarum. Beberapa anak sungai yang bermuara di Sungai Citarum tersebut adalah Sungai Citarik, Cikeruh, dan Cipamokolan. Lokasi titik – titik pengambilan sampel tersebut ditunjukkan pada Gambar III. 2. Sementara koordinat dari setiap titik pengambilan sampel tersebut diukur menggunakan Global Positioning Satellite (GPS).

III - 2

Cipamokolan

Cikeruh

Citarik

IV

IX

VII

VI

V

II

III

I

Citarum Keterangan: I.

Sebelum masuknya Sungai Citarik

II.

Muara Sungai Citarik

III.

Di antara Sungai Citarik dan Cikeruh

IV.

Muara Sungai Cikeruh

V.

Di antara Sungai Cikeruh dan industri daur ulang karung goni

VI.

Setelah industri daur ulang karung goni

VII.

Sebelum masuknya Sungai Cipamokolan

VIII. Muara Sungai Cipamokolan IX.

Setelah masuknya Sungai Cipamokolan

Gambar III. 2. Lokasi Pengambilan Sampel Pengambilan sampel sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya meliputi: ƒ

Pengambilan sampel ikan Liposarcus pardalis. Pengambilan sampel ikan dilakukan untuk mengetahui kandungan merkuri pada ikan.

ƒ

Untuk setiap lokasi pengambilan sampel sebagaimana ditunjukan pada Gambar III.2, sampel diambil pada tiga titik sebagaimana Gambar III. 3.

Gambar III. 3 Titik Pengambilan Pada Setiap Lokasi

III - 3

Analisa data meliputi: ƒ

Kondisi tata guna lahan di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum sesuai titik pengambilan sampel. Identifikasi penggunaan tata guna lahan seperti penggunaan lahan untuk industri, pertanian, dan perikanan.

ƒ

Analisa kandungan Hg pada ikan Liposarcus pardalis sebagai biomarker pada sungai di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum.

ƒ

Evaluasi kontribusi anak sungai Citarum terhadap tingkat pencemaran merkuri di wilayah penelitian Setelah semua data primer dan data sekunder terkumpul, dilakukan

evaluasi terhadap data secara keseluruhan. Sehingga, diperoleh gambaran mengenai pencemaran Hg pada air permukaan terkait dengan kondisi tata guna lahan di wilayah Bantar Panjang sebagai bagian dari DAS Citarum. Dengan demikian, melalui studi ini penyebab sumber pencemaran Hg dapat diidentifikasi sesuai dengan tata guna lahan di wilayah tersebut.

III.2 Metoda Pengukuran Kadar Merkuri Metoda analisa kandungan merkuri (Hg) pada ikan dilakukan berdasarkan metoda SNI 01-2364-1991. Selanjutnya, kandungan merkuri pada sampel ikan dianalisa menggunakan Atomic Adsorbant Spectrofotometer (AAS) dengan tipe graphite. Sebelum proses ekstraksi ikan Liposarcus pardalis sebagai biomarker, terlebih dahulu dilakukan pengukuran terhadap panjang dan berat ikan yang bersangkutan. Ikan yang diambil sebagai sampel memiliki ukuran sebagai berikut: ƒ

Panjang, berkisar antara 15 – 25 cm

ƒ

Berat, berkisar antara 30 – 150 gram. Setelah itu, dilakukan proses ekstraksi pada sampel ikan. Prosedur

ekstraksi sampel ikan ditunjukkan pada Gambar III. 4.

III - 4

Preparasi dan Pengukuran Berat Basah

Penimbangan sampel dan dimasukkan ke dalam beaker glass

Penambahan 10 ml HNO3 pekat dan ditutup dengan gelas arloji

Dibiarkan di atas waterbath hingga larut (3-4 jam

Penambahan H2O2 10% sampai gasnya hilang

Dibiarkan dingin

Disaring dan dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml

Dipindahkan ke botol vial

Analisa sample hasil ekstraksi dengan AAS

Gambar III. 4. Prosedur Ekstraksi Ikan Sebagaimana pada Gambar III. 4, prosedur ekstraksi ikan diawali dengan proses preparasi, yaitu pengambilan bagian tubuh ikan yang akan dianalisa yang kemudian dihaluskan. Analisa kandungan merkuri dilakukan terhadap seluruh bagian tubuh ikan kecuali tulang dan sisik. Setelah itu, dilakukan penambahan 10 ml HNO3 pekat pada 1 gr sampel yang bertujuan untuk melarutkan sampel ikan. Selama proses tersebut, beaker glass yang berisi sampel ditutup dengan gelas arloji. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah menguapnya kandungan merkuri pada sampel, mengingat merkuri memiliki sifat volatil. Setelah sampel larut, dilakukan penambahan H2O2 untuk melarutkan lemak dan protein yang ada. Pada akhir proses ekstraksi tersebut, dilakukan penyaringan larutan sampel ke dalam labu takar 25 ml yang dilanjutkan dengan pengukuran merkuri menngunakan AAS.

III - 5