SKRIPSI BIMO PARIKESIT

Download echosounder, multitransducer echosounder dan multibeam echosounder. Singlebeam ... tidak dapat menyediakan informasi yang lebih detail meng...

6 downloads 48 Views 290KB Size
BAB II DASAR TEORI

2.1 Survei Batimetri Survei batimetri merupakan aktivitas dan proses untuk menentukan posisi titiktitik di dasar perairan dalam suatu sistem koordinat tertentu, sehingga diperoleh model bentuk topografi dasar perairan yang divisualisasikan dalam peta batimetri.

Survei batimetri haruslah mengacu kepada standar minimum ketelitian dari IHO (International Hydrographic Organization) yang tertuang pada publikasi khusus SP 44 (Special Publication 44) tahun 1998, agar memenuhi kualitas peta batimetri yang disyaratkan.

Seperti yang telah disebutkan pada Bab I, proses pembuatan peta batimetri terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap pengumpulan data (collections), pengolahan data (processing) dan penyajian informasi (visualisation) [Rismanto, 2001].

2.2 Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data merupakan bagian pertama dari survei batimetri. Tahap pengumpulan data disini mencakup pengukuran kedalaman menggunakan multibeam echosounder, pengukuran kecepatan akustik, pengamatan pasang surut dan penentuan posisi fiks perum. 2.2.1 Pengukuran kedalaman Pengukuran kedalaman atau pemeruman merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai kedalaman yang bertujuan untuk memperoleh gambaran bentuk topografi dasar perairan. Pengukuran kedalaman dapat dilakukan dengan metode gelombang akustik yang memanfaatkan bantuan teknologi gelombang akustik atau sonar (sound navigation and ranging). Gelombang akustik dipancarkan oleh transduser (pemancar) yang dipasang dibawah wahana apung, menuju dasar perairan dan dipantulkan kembali menuju hidrofon (penerima) sehingga diperoleh nilai kedalaman berdasarkan selang waktu tempuh gelombang

18

akustik pergi-pulang. Metode ini merupakan teknologi yang paling banyak digunakan saat ini. Alat yang digunakan ialah echosounder (alat perum gema). Pengukuran kedalaman yang dapat dicapai hingga 11000 meter, tergantung dari frekuensi gelombang yang digunakan. Karena skripsi ini membahas mengenai pengolahan data multibeam echosounder, maka alat pengukur kedalaman yang digunakan ialah multibeam echosounder. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah selang waktu pemancaran dan penerimaan gelombang akustik. •

Teknologi Echosounder Terdapat tiga jenis sistem echosounder yang umum dikenal, yaitu singlebeam echosounder, multitransducer echosounder dan multibeam echosounder.

Singlebeam echosounder ditemukan sekitar awal abad 20, dengan nama Fathometer, ciptaan Dr. R.A. Fessenden asal Kanada untuk keperluan deteksi gunung es (iceberg). Penggunaan secara massal untuk pembuatan peta batimetri perairan dunia dilakukan sejak terjadi Perang Dunia II, ketika echosounder dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan kapal selam. (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Singlebeam Echosounder

19

Suatu sistem singlebeam echosounder biasanya terdiri atas catu daya, seperangkat perekam data, transduser (pemancar) dan hidrofon (penerima). Transduser memancarkan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu menuju ke dasar perairan secara tegak lurus, kemudian pulsa tersebut dipantulkan kembali dan diterima oleh hidrofon. Umumnya, semakin rendah frekuensinya, kedalaman perairan yang dicapai juga semakin tinggi. Data kedalaman yang diperoleh kemudian dicatat pada alat perekam. Kekurangannya, sistem ini tidak dapat menyediakan informasi yang lebih detail mengenai topografi dasar perairan / laut. Sampai sekitar awal 1970, kebanyakan dari pengukuran kedalaman perairan untuk keperluan pembuatan peta batimetri menggunakan singlebeam echosounder. Setelah itu, dikembangkan metode penyusunan echosounder yang dinamakan Multitransducer Echosounder. Multitransducer Echosounder merupakan sistem yang terdiri atas catu daya, seperangkat perekam data, beberapa transduser dan hidrofon yang disusun secara melintang pada kapal (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Multitransducer Echosounder Konsep dari penentuan kedalaman sama seperti singlebeam echosounder, karena terdapat beberapa transduser, maka cakupan dari pancaran gelombang memungkinkan untuk memetakan dasar perairan secara melintang (sweeping).

20

Namun, cakupan dasar perairan tidaklah mencapai 100 %. Masih terdapat beberapa gap antar pancaran singlebeam echosounder tersebut (tergantung pada bentuk pancaran). Selain itu diperlukan koreksi bagi tiap-tiap echosounder. Echosounder jenis ini banyak dimanfaatkan untuk pemeruman perairan dangkal. Kemudian dikembangkan teknik pemancaran pulsa dengan menggunakan banyak transduser tetapi dalam satu tempat dengan sudut pancar tertentu, yang bernama multibeam echosounder (Gambar 2.3).

Multibeam echosounder ditemukan pada tahun 1950, dikembangkan oleh Angkatan Laut Amerika dan perusahaan General Instruments sekitar tahun 1970 untuk memetakan dasar perairan / laut secara melebar (swathe), dimana peta ini digunakan sebagai navigasi bawah laut untuk armada kapal selamnya. Sistem pertama ini bernama SASS (Sonar Array Sounding Systems), memiliki dua susunan sonar yang terpisah yang diorientasikan secara ortogonal (untuk pemancar dan penerima), metode ini bernama teknik Mills Cross Array.

Gambar 2.3 Multibeam Echosounder Sistem multibeam echosounder terdiri atas catu daya, seperangkat perekam data, dan kumpulan puluhan hingga seratusan transduser serta hidrofon pada satu tempat yang membentuk sudut pancar seperti kipas (fan shaped). Dari sisi

21

penyimpanan data kedalaman, terdapat dua jenis alat perekam yang dapat dipasang pada sistem echosounder, yaitu alat perekam konvensional dan dijital. Alat perekam konvensional terdiri dari pena stylus yang diberi tinta, dimana pena ini digerakan oleh motor penggerak menuliskan data kedalaman hasil pulsa akustik yang telah diolah sistem ke dalam kertas perum gema (echogram). Seiring dengan perkembangan teknologi, ditemukan alat perekam dijital yang memanfaatkan teknologi elektronik dan komputer. Pulsa akustik yang diterima, diolah oleh sistem dan ditampilkan secara langsung pada layar dijital (monitor) dan data ini direkam pada alat penyimpanan dijital seperti hard disk atau disket yang sudah terintegrasi dalam sistem echosounder. •

Konsep Multibeam Echosounder Multibeam echosounder merupakan alat perum gema yang terdiri atas puluhan hingga seratusan transduser dan hidrofon yang terdapat dalam satu tempat dan membentuk sudut pancar seperti kipas dengan menggunakan frekuensi yang sama. Transduser dan hidrofon tersebut disusun dengan spasi tertentu (dalam derajat), sehingga memungkinkan pancaran gelombang akustik memberikan kerapatan sebaik mungkin. Tiap-tiap transduser memancarkan sinyal pulsa akustik dengan karakteristik / kode tertentu, agar karakteristik / kode sinyal yang dipantulkan dari dasar perairan hanya diterima oleh masing-masing hidrofon. Prinsip perambatan gelombang akustiknya sama dengan singlebeam echosounder.

Gambar 2.4 Bentuk pancaran gelombang akustik (a) Bentuk pancaran tunggal, (b) Bentuk pancaran banyak

22

Gelombang akustik memiliki perambatan menyebar ke segala arah. Gambar 2.4(a) di atas merupakan bentuk dari gelombang akustik tersebut. Intensitas tertinggi dari gelombang terdapat pada sumbu utama dan bernilai maksimum pada pancaran utama. Sedangkan pada pancaran sisi, intensitasnya jauh lebih rendah. Untuk sistem multibeam, bentuk pancarannya menjadi lebih besar karena terdiri atas gabungan pancaran tunggal, seperti pada gambar 2.4(b). Pengukuran kedalamannya didasarkan pada selisih pulsa yang merupakan fungsi dari selisih waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal pantul tiap-tiap transduser. Dari pernyataan tersebut, maka kedalaman suatu perairan dapat dinyatakan dengan hubungan, d = ½ . v . ∆t dimana,

(1.1)

d

= kedalaman perairan yang terukur,

v

= cepat rambat gelombang akustik (+ 1500 m/s),

∆t

= merupakan selang waktu antara saat gelombang akustik dipancarkan dengan saat penerimaan kembali gelombang pantulnya.

Penentuan posisi suatu objek didasar laut dilakukan seperti gambar berikut:

Gambar 2.5 Penentuan Posisi objek di dasar laut [Negara, 2004]

23

Untuk menentukan kedalaman d dari objek maka digunakan [Negara, 2004]: d = R . cos θ R

(1.2)

Posisi objek pada sumbu y atau pada arah acrosstrack yaitu: y = R . sin θ R

(1.3)

Posisi objek pada sumbu x atau pada arah alongtrack yaitu: x = R . sin θ P

(1.4)

R = (v.t) / 2

(1.5)

Dimana : R = Jarak antara objek survei dengan transduser v = kecepatan gelombang akustik t = waktu tempuh gelombang akustik

θ

R

= sudut launch / sudut pancaran

θ P = sudut pitch Setelah diperoleh posisi objek relatif terhadap transduser, lalu posisi tersebut ditransformasikan ke dalam sistem koordinat kapal. Prosesnya meliputi translasi dan rotasi koordinat. Translasi koordinat disebabkan adanya offset instalasi transduser terhadap titik referensi kapal atau receiver GPS dan gerakan heave kapal. Rotasi koordinat disebabkan oleh perubahan sudut pancar karena dinamika permukaan laut. Pengaruh gerakan rotasi meliputi rotasi terhadap sudut pitch ( θ p ), roll ( θ r ) dan yaw ( θ y ). Transformasi koordinat untuk rotasi ialah [Nurzatna, 1996]:

 xa     ya  = d   a

x   δ . λ . γ .  y d   

(1.6)

δ =

 cosθ p   0  − sin θ p 

0 sin θ p   1 0  0 cosθ p 

(1.7)

λ =

0 1   0 cosθ r  0 sin θ r 

0   − sin θ r  cosθ r 

(1.8)

24

γ =

 cosθ y   sin θ y  0 

− sin θ y cosθ y 0

0  0 1 

(1.9)

dimana:

δ = matriks untuk pengaruh gerakan pitch λ = matriks untuk pengaruh gerakan roll γ = matriks untuk pengaruh gerakan yaw xa, ya, dan da = koordinat hasil rotasi gerakan pitch, roll dan yaw Untuk koreksi gerakan heave kapal, maka dilakukan translasi koordinat terhadap sumbu d, yaitu,  xa   xa  0         ya  =  ya  +  0  d  d  d   h  b  a

(1.10)

Dimana : dh = nilai gerakan heave db = koordinat hasil translasi gerakan heave Jika offset titik referensi kapal terhadap sumbu xa, ya dan db adalah x0, y0 dan d0 maka hasil transformasi x’, y’ dan d’ untuk translasinya ialah:

 x0   x a   x'         y '  =  y0  +  y a  d  d   d '    0  b

(1.11)

Selain itu, gelombang akustik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti frekuensi pancaran, medium perambatan (suhu, tekanan dan salinitas) dan gerakan kapal. Nilai frekuensi berpengaruh terhadap rentang kedalaman perairan yang dapat dicapai, semakin tinggi frekuensinya, semakin rendah kedalaman yang dapat dicapai. Begitu pula sebaliknya. Untuk medium perambatan, suhu menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman, sedangkan salinitas dan tekanan air semakin meningkat. Pengukuran kecepatan gelombang akustik bertujuan untuk mengetahui kecepatan

25

gelombang akustik pada tiap lapisan kedalaman perairan, dimana dipengaruhi oleh salinitas, suhu dan kedalaman [Lurton, 2002]. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur CTD. Hasil pengukuran tersebut nantinya dkoreksikan pada data kedalaman. Persamaannya sebagai berikut [Medwin, 1975]: v = 1449,20 + 4,6 T – (0,055.T2) + (0,00029.T3) + ((1,34-0,010T) (S-35)) + 0.016 Z

dimana:

(1.12)

v = cepat rambat gelombang akustik (m/s) T = suhu / temperatur (oC) S = salinitas / konduktivitas (o/oo) Z = kedalaman / tekanan (kg/cm2)

Untuk gerakan kapal dipengaruhi juga oleh squat/lift dan draft kapal. Keseluruhan hal tersebut akan berpengaruh pada data hasil pengukuran kedalaman, sehingga diperlukan koreksi data hasil ukuran. Volume data yang besar hasil pemeruman multibeam, menjadikan pengolahan data secara manual menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu diperlukan suatu alat bantu otomatis untuk memprosesnya, berupa perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang ditujukan secara khusus untuk mengolah data survei multibeam. Salah satu perangkat lunak pengolah data multibeam tersebut ialah Caris HIPS.

2.2.1 Pengamatan Pasang Surut Pasang surut laut ialah perubahan naik dan turunnya permukaan laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama matahari dan bulan. Tujuan dari pengamatan pasang surut dalam survei batimetri ialah untuk menentukan bidang referensi kedalaman seperti duduk tengah (mean sea level) atau muka surutan (chart datum) dan penentuan koreksi hasil pengukuran kedalaman agar dapat mengacu pada salah satu bidang referensi vertikal.

26

Duduk tengah merupakan bidang permukaan laut rata-rata yang diperoleh dari merata-ratakan pengamatan tinggi muka air laut pada selang waktu tertentu. Sedangkan, muka surutan merupakan bidang referensi vertikal yang dipilih berada di bawah permukaan air terendah berdasarkan pengamatan pasang surut. Muka surutan harus ditetapkan sedemikian rupa agar air rendah yang mungkin terjadi di daerah itu hampir tidak melebihi (lebih rendah) dari muka surutan tersebut.

Koreksi pasang surut memiliki persamaan sebagai berikut [Rismanto, 2001]:

∆sr = (hDT – Z0) - hML

(1.13)

Dimana :

∆sr = koreksi surutan hML = data kedalaman ukuran hDT = tinggi duduk tengah diatas nol palem Z0 = kedudukan muka surutan relatif terhadap duduk tengah Rentang pengamatan yang umumnya dilakukan bagi keperluan praktis seperti survei batimetri ialah 15 atau 29 piantan (1 piantan = + 25 jam). Untuk pengamatan pasang surut dapat dilakukan dengan bantuan alat, antara lain : a. Palem Merupakan sebuah tongkat yang diberi skala nilai untuk mengetahui kedalaman air laut. Umumnya memiliki panjang 2 hingga 6 meter, dipasang di pantai. Tinggi muka air laut diamati setiap jam secara manual oleh pengamat dan dicatat pada formulir pengamatan pasang surut. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah waktu dan tinggi muka air. b. Pencatat Pasut Otomatis Merupakan suatu alat mekanik yang dapat mencatat kenaikan dan penurunan muka laut secara otomatis. Berupa pelampung diatas permukaan air laut yang digantungkan pada kawat baja, dimana gerakan naik-turunnya pelampung dicatat pada alat perekaman data. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah waktu dan tinggi muka air

27

Untuk keperluan pengikatan terhadap tinggi nol palem, dapat dilakukan pengukuran sipat datar (pengukuran beda tinggi antara dua bidang datar / nivo yang mewakili dua titik di permukaan bumi) dari titik ikat ke palem pengamatan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila terjadi sesuatu terhadap palem tersebut, seperti jatuh, dapat dilakukan rekonstruksi.

2.2.4 Penentuan Posisi Fiks Perum Penentuan posisi fiks perum dilakukan untuk mengetahui koordinat horisontal survei batimetri. Tiap-tiap titik fiks perum mewakili koordinat planimetrik dari data kedalaman. Data titik fiks perum ini kemudian diikatkan pada kerangka dasar horisontal agar diketahui dalam sistem koordinat tertentu. Metode yang digunakan seperti pengikatan kemuka, dimana dilakukan pengukuran sudut dan jarak dari dua titik ikat untuk menentukan posisi suatu titik. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah jarak dan sudut. Atau menggunakan satelit GPS yang dipasang pada kapal survei dengan metode RTK (Real Time Kinematik) dimana penentuan posisi secara real time diferensial dilakukan pada penerima yang bergerak. Stasiun referensi mengirimkan data koreksinya pada kapal dengan menggunakan sistem komunikasi data tertentu. Real time disini diartikan proses yang dilakukan untuk menampilkan koordinat pada saat itu juga. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah posisi satelit, jarak satelit ke penerima, informasi waktu dan lain-lain.

28