4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi enzim fibrinolitik
Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan dalam jangka waktu minimal 2 bulan. Kondisi pH, kelembaban, dan nutrisi merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pemeliharaannya. pH yang sesuai untuk P. excavatus adalah netral sekitar pH 6–7 dengan kondisi kelembaban yang tidak terlalu basah. Nutrisi yang diberikan berupa ampas tahu, kotoran sapi, serbuk gergaji, dan sayuran. Kotoran sapi mengandung unsur-unsur nitrogen dan karbon yang cukup tinggi sehingga baik bagi pertumbuhan dan reproduksi cacing. Serbuk gergaji dapat menyerap air yang terkandung dalam media sehingga kondisi media tidak terlalu basah. Ampas tahu dan sayuran selain berfungsi sebagai nutrisi juga berfungsi sebagai zat penginduksi enzim protease karena banyak mengandung protein. Sebelum dilakukan tahap pengisolasian, cacing tanah diinduksi oleh darah sapi segar. Proses induksi ini terbukti dapat meningkatkan kadar enzim fibrinolitik pada cacing tanah (Elyani, 2005). Darah segar merupakan subsrat dari enzim fibrinolitik dan ketika masuk ke dalam tubuh cacing akan menyebabkan produksi enzim fibrinolitik meningkat. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa enzim fibrinolitik dari cacing tanah L. rubellus berada pada hampir seluruh bagian tubuh cacing bagian dalam, seperti pada bagian kerongkongan, tembolok, lambung, dan bagian usus depan (Mihara et al., 1991). Oleh karena itu, proses pengisolasian enzim dilakukan dengan cara menghancurkan tubuh cacing melalui homogenisasi. Sebelum diisolasi, cacing tanah dibersihkan dari medianya melalui pencucian berulang kali, setelah itu cacing dibersihkan dari sisa pakan dan fesesnya melalui perendaman. Cacing yang sudah bersih kemudian dihomogenkan menggunakan homogenizer dan kemudian disentrifugasi untuk dipisahkan dari pengotor padat. Pengotor padat berasal dari matriks tidak terlarut seperti lipid, protein-protein yang terdenaturasi dan sisa-sisa sel yang belum pecah. Kondisi pada proses isolasi enzim sangat berpengaruh pada isolat enzim yang didapatkan.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah kualitas air, pH, dan suhu. Derajat keasaman atau pH merupakan faktor yang sangat penting karena berpengaruh kepada tingkat kestabilan dan aktivitas enzim. Pada penelitian ini, kondisi pH ditentukan oleh bufer yang digunakan selama pengisolasian yaitu bufer Tris-HCl pH 8. Kondisi ini digunakan berdasarkan analisis optimasi pH yang telah dilakukan. Suhu merupakan faktor lain yang juga penting dalam proses pengisolasian. Pada penelitian ini digunakan suhu 4oC, karena pada suhu ini laju pertumbuhan mikroorganisme lambat, sehingga kontaminan pada larutan enzim dapat dicegah. Selain itu, pada suhu ini aktivitas protease kecil sehingga kemungkinan untuk degradasi enzim fibrinolitik baik oleh protease lain maupun oleh dirinya sendiri (autolisis) menjadi rendah. Kualitas air berpengaruh pada kestabilan enzim, ion-ion logam pada air dapat menjadi inhibitor bagi jenis enzim tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan air yang sudah bebas dari ion-ion logam. Pada tahap isolasi ini digunakan pula beberapa senyawa kimia yaitu NaCl yang berfungsi untuk menjaga kondisi fisiologis enzim baik untuk tahap isolasi maupun pemurnian dan NaN3 yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Enzim yang dihasilkan dari tahap isolasi ini merupakan ekstrak kasar enzim yang perlu dimurnikan lebih lanjut. Suhu penyimpanan enzim berpengaruh terhadap aktivitas dan stabilitas enzim. Suhu penyimpanan enzim yang sesuai adalah –20oC karena pada suhu ini enzim menjadi tidak aktif.
4.2
Pemurnian enzim fibrinolitik
Pemurnian enzim yang dilakukan pada penelitian ini meliputi dua tahap yaitu fraksinasi amonium sulfat 60% jenuh dan kromatografi filtrasi gel. Fraksinasi yang dilakukan mengacu pada penelitian yang terdahulu yaitu fraksinasi menggunakan garam amonium sulfat 60% jenuh. Fraksinasi pada penelitian ini bertujuan sebagai proses pemekatan enzim fibrinolitik. Garam merupakan senyawa ionik yang dapat terdisosiasi di dalam larutan. Apabila larutan protein diberi suatu kadar garam yang relatif sedikit, maka ion-ion garam akan berinteraksi ionik dengan protein sehingga protein dapat makin larut dalam larutan, proses ini dinamakan salting in. Akan tetapi, pada proses pemekatan, proses yang digunakan adalah proses salting out, dimana penambahan garam yang berlebih akan menyebabkan persaingan ion garam dan protein untuk mengikat molekul air. Protein yang tidak dapat mengikat molekul air akan beragregrasi dengan protein lainnya membentuk agregat dan mengendap. Protein ini terdenaturasi secara reversibel (Scope, 1982) sehingga apabila ditambahkan suatu bufer yang sesuai, protein tersebut dapat melarut kembali.
28
Dalam penelitian ini penambahan garam (NH4)2SO4 dilakukan sedikit demi sedikit pada larutan ekstrak kasar enzim di atas pengaduk magnetik agar garam terhomogenisasi dengan baik di dalam larutan. Setelah penambahan garam selesai, larutan dibiarkan selama 1 jam untuk memekatkan enzim yang mengendap. Kemudian larutan disentrifugasi untuk memisahkan endapan enzim dengan supernatannya. Endapan enzim yang dihasilkan diresuspensi kembali dengan bufer Tris-HCl, pH 8. Setelah itu, larutan disentrifuga kembali untuk diambil supernatannya yang telah mengandung enzim. Larutan enzim yang dihasilkan dari proses fraksinasi masih mengandung garam, sehingga perlu dimurnikan lebih lanjut. Proses pemurnian selanjutnya adalah melewatkan larutan enzim tersebut pada kolom filtrasi gel. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan filtrasi gel ini adalah fasa diam dan fasa gerak yang digunakan. Pada penelitian ini, digunakan fasa diam berupa kolom yang bernama Sephacryl SH300R. Matriks pada kolom ini adalah dextran dan poliakrilamid yang dapat memisahkan protein pada rentang ukuran 10-1500 kDa. Lumbrokinase telah diidentifikasi memiliki bobot sekitar 23–30 kDa (Mihara, 1991; Nakajima, 1993), sedangkan enzim fibrinolitik dari P. excavatus memiliki bobot molekul 25–30 kDa (Fulyani, 2006) sehingga pemilihan kolom sudah tepat digunakan untuk pemisahan enzim fibrinolitik ini. Fasa gerak yang digunakan untuk mengelusi sampel dari kolom adalah Tris-HCl 20 mM, pH 8, karena pada pH tersebut enzim stabil dan tidak akan rusak selama proses elusi. Detektor yang digunakan untuk mendeteksi protein adalah detektor UV (ultraviolet) pada panjang gelombang 280 nm karena protein memiliki residu triptofan yang dapat terdeteksi pada panjang gelombang tersebut. Sebelum disuntikan pada kolom, sampel disaring terlebih dahulu menggunakan filter 0,02 mm untuk memisahkan mikroorganisme ataupun partikel-partikel pengotor yang masih terdapat pada sampel. Sampel yang keluar dari kolom kemudian ditampung pada pengumpul fraksi-fraksi. Dari hasil kromatogram filtrasi gel (Gambar 4.1) diperlihatkan adanya beberapa puncak protein yang terdeteksi (garis biru). Sedangkan garam (garis hijau) dinyatakan oleh tingkat konduktivitas dari larutan. Fraksi-fraksi yang mengandung protein diuji secara kualitatif menggunakan metode azokaseinolitik dan didapatkan puncak-puncak protein yang memiliki aktivitas azokaseinolitik. Di dalam gambar ditunjukkan oleh lingkaran-lingkaran merah. Fraksi-fraksi ini kemudian dikumpulkan untuk diidentifikasi dan diuji aktivitasnya.
29
Gambar 4.1 Grafik hasil kromatografi filtrasi gel Garis biru: puncak-puncak protein, garis hijau: puncak garam, garis merah: puncak protein yang memiliki aktivitas proteolitik tertinggi
4.3
Uji aktivitas fibrinolitik
Uji aktivitas fibrinolitik merupakan uji identifikasi awal terhadap keberadaan enzim fibrinolitik. Substrat yang digunakan dalam uji ini adalah koagulan darah manusia yang mengandung benang-benang fibrin. Substrat kemudian diberi ekstrak kasar enzim dan enzim hasil filtrasi gel. Blanko yang digunakan adalah substrat yang hanya diberi bufer Tris-HCl 20 mM, pH 8. Hasil uji fibrinolitik terhadap kedua sampel enzim menunjukkan hasil yang positif (Gambar 4.5) karena baik ekstrak kasar maupun enzim hasil pemurnian mampu mencairkan darah yang semula beku. Hal ini membuktikan bahwa terdapat enzim fibrinolitik
30
pada cacing tanah P. excavatus. Identifikasi ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya terhadap cacing tanah P. excavatus.
Gambar 4.2 Hasil uji fibrinolitik (1) Aktivitas ekstrak kasar enzim; dan (2 ) aktivitas enzim hasil pemurnian. A) Gumpalan darah tanpa perlakuan; B) Gumpalan darah + bufer Tris-HCl pH 8; dan C) Gumpalan darah + bufer Tris-HCl pH 8 + enzim
Aktivitas enzim ini mendegradasi benang-benang fibrin secara langsung pada koagulan darah. Benang-benang fibrin merupakan produk degradasi fibrinogen yang bersifat tidak dapat larut (Gambar 4.3). Pada koagulan darah terdapat benang-benang fibrin yang mampu menjaring platelet trombosit, sel darah merah, dan plasma. Enzim fibrinolitik dapat memutuskan ikatan peptida pada fibrin, sehingga menghasilkan produk degradasi yang larut.
Gambar 4.3 Benang fibrin
4.4
SDS-PAGE
Identifikasi enzim dapat dilakukan pula dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Enzim fibrinolitik pada cacing tanah P. excavtus diidentifikasi memiliki bobot molekul sebesar 25–
31
30 kDa (Fulyani,2006). Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa ekstrak kasar enzim dan enzim hasil pemurnian memiliki pita-pita protein pada ukuran 25-30 kDa (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Hasil SDS-PAGE 1) Protein penanda; 2)Ekstrak kasar; dan 3) Enzim hasil filtrasi gel
4.5
Optimasi suhu
Optimasi suhu dilakukan terhadap ekstrak kasar enzim. Enzim fibrinolitik menunjukkan suhu optimum sebesar 55oC. Hal ini diperlihatkan oleh analisis mengenai optimasi suhu yang telah dilakukan (Gambar 4.6). Inkubasi dilakukan pada berbagai suhu dengan kondisi pH yang tetap yaitu pH 8. Pemilihan kondisi pH ini berdasarkan hasil analisis penelitian sebelumnya pada lumbrokinase (Mihara, 1991; Nakajima, 1993) yang menyatakan bahwa rentang pH optimum dari enzim ini adalah pH 7,4–9. Suhu merupakan komponen penting dalam aktivitas enzim karena dapat menentukan energi katalisis enzim dan kecepatan reaksi katalisis. Akan tetapi, suhu pun dapat mempengaruhi tingkat kestabilan enzim karena pada suhu tertentu enzim dapat terdenaturasi sehingga kehilangan aktivitasnya. Pada suhu optimum, enzim mencapai titik aktivitas enzim yang optimum dan masih memiliki dan tingkat stabilitas yang tinggi sehingga enzim memiliki aktivitas paling tinggi tanpa terdenaturasi. Pada suhu ini enzim memiliki kecepatan yang paling tinggi untuk melaksanakan proses hidrolisis protein. Kurva hasil penelitian optimasi suhu enzim fibrinolitik P. excavatus menunjukkan bahwa seiring dengan kenaikan suhu, aktivitas enzim meningkat dan terus naik sampai suhu
32
optimum 55oC. Di atas suhu 55oC aktivitas enzim mulai menurun. Hal ini disebabkan oleh mulai terdenaturasinya enzim pada suhu tersebut.
120
Aktivitas relatif (%)
100
80
60
40
20
0 30
35
40
45
50
55
60
65
suhu
Gambar 4.5 Kurva optimasi suhu Keterangan: Data percobaan dan pengolahannya ditampilkan dalam Lampiran C.
Enzim fibrinolitik dari cacing tanah P. excavatus memiliki suhu optimum yang tinggi yaitu 55oC. Sifat ini berguna bagi keperluan industri medis yang memerlukan enzim yang stabil dan tetap memiliki aktivitas dalam berbagai kondisi suhu khususnya pada suhu tubuh 37oC.
4.6
Optimasi pH
Perubahan pH berpengaruh pada pengubahan konformasi dari enzim, kemampuan mengikat substrat, dan kemampuan katalitik enzim. Lumbrokinase stabil pada kisaran pH yang luas (Mihara, 1991). Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa enzim fibrinolitik P. excavatus memiliki aktivitas yang tinggi pada kisaran pH 6–12 (Gambar 4.7). Dalam industri, reaksi enzim pada pH tertentu dapat saja tidak terjaga, sehingga pH dapat terus berubah selama proses industri berlangsung. Enzim yang memiliki kisaran pH optimum yang luas dapat
33
menjaga aktivitas enzimnya sehingga protein tidak akan kehilangan aktivitasnya selama proses industri berlangsung. Rentang pH optimum yang luas ini pun dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan oral dalam dunia medis. Kondisi pH tubuh yang berbeda-beda dapat mendenaturasi enzim pada pH tertentu sebelum sampai pada jaringan target. Akan tetapi, pada enzim yang memiliki daerah aktivitas enzim yang luas, enzim dapat menoleransi perbedaan kondisi tersebut.
140 120
Aktivitas relatif (%)
100 80 60 40 20 0 4
5
6
7
8
9
10
11
12
pH
Gambar 4.6 Kurva optimasi pH Keterangan: Data percobaan dan pengolahannya ditampilkan dalam Lampiran C.
4.7
Analisis kuantitatif terhadap pemurnian enzim
Analisis kuantitatif hasil pemurnian enzim fibrinolitik P. excavatus berdasarkan dari uji aktivitas protease yaitu uji aktivitas azokaseinolitik. Pemilihan substrat azokasein sesuai dengan karakter enzim fibrinolitik yang memiliki aktivitas mirip tripsin sehingga dapat mendegradasi kasein. Kehadiran enzim fibrinolitik memungkinkan azokasein terhidrolisis sehingga gugus azo (–N=N–) yang memiliki absorbansi pada panjang gelombang 340 nm dapat terukur. Uji aktivitas dilakukan dalam waktu inkubasi yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk tercapainya suatu definisi unit aktivitas yaitu perubahan absorbansi substrat per jam
34
per mL enzim. Aktivitas enzim dihentikan oleh TCA yang merupakan senyawa yang sangat asam dan dapat mendenaturasi enzim dan protein lain. Pengkondisian suhu dan pH yang digunakan untuk aktivitas enzim ini adalah 55oC dan pH 8 sesuai dengan hasil optimasi suhu dan pH yang telah dilakukan. Analisis kuantitatif yang dihasilkan dari pemurnian enzim ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Analisis kuantitatif pemurnian enzim
Aktivitas total
Aktivitas spesifik
(U mL)
(U mL / mg)
Ekstrak kasar
29100
50
100
1
Hasil filtrasi gel
3532
124
12
2,5
Sampel
Yield (%)
Kelipatan Pemurnian
Keterangan: Data percobaan dan pengolahannya ditampilkan dalam Lampiran A dan B.
Pemurnian menggunakan kolom filtrasi gel memberikan yield sebesar 12%. Jumlah ini menyatakan adanya pengurangan aktivitas enzim sebesar 88% akibat proses pemurnian. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar enzim fibrinolitik yang berkurang selama proses pemurnian. Sedangkan besar kelipatan pemurnian menggunakan kolom filtrasi gel adalah sebesar 2,5. Hasil ini menyatakan tingkat kemurnian enzim dibandingkan dengan ekstrak kasar enzim. Tingkat kemurnian ini termasuk rendah. Oleh karena itu diperlukan tahap pemurnian enzim yang lebih lanjut pada penelitian berikutnya.
35