II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kemiskinan Papilaya (2006) menyatakan terdapat dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama, kelompok pakar dan aktivis LSM yang mengatakan bahwa, kemiskinan pada hakekatnya adalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Kedua, kelompok para pejabat yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan pendidikan yang rendah.
2.1.1 Pengertian Kemiskinan Menurut Pakar Pengertian kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu, pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Belakangan ini pengertian kemiskinan
telah
mencakup
dimensi
kerentanan,
ketidakberdayaan
dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2003). Menurut Sajogyo (1978), mereka yang disebut miskin adalah jika pengeluarannya kurang dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di
18
kota tiap tahun tiap jiwa. Pembatasan garis kemiskinan tersebut masih terbatas pada pemenuhan pangan, belum memperhitungkan kebutuhan lainnya. Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan, (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru, 2002). Todaro dan Smith (2003) mendeskripsikan siapa sesungguhnya kaum miskin (the poor), sebagai berikut :
Mereka itu berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia yang kini hampir mencapai enam milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-hari harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri dan kalau pun punya, ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang ada juga acap kali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk, dan banyak dari begitu dari mereka buta huruf serta menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram atau sekurang-kurangnya tidak mampu. Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan sesungguhnya bukanlah sematamata masalah kekurangan pendapatan dan harta (lack of income and assets), akan tetapi lebih luas daripada itu. Kemiskinan adalah masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, masalah lapangan kerja dan masalah ketidakpastian masa depan.
19
2.1.2 Pengertian Kemiskinan Menurut Pemerintah Kriteria terbaru mengenai rumahtangga miskin telah ditetapkan oleh BPS (2006), pada 14 kriteria rumahtangga miskin yang digunakan dalam rangka penyaluran Bantuan Langsung (BLT). Kategorisasi rumahtangga miskin berdasarkan pendekatan pengeluaran rumahtangga per bulan, yaitu: (1) sangat miskin: kurang dari Rp 480 000, (2) miskin: antara Rp 480 000 – Rp 700 000, dan (3) hampir miskin, yaitu lebih dari Rp 700 000. Pengertian kemiskinan menurut pemerintah disajikan pada Tabel 4. BAPPENAS (2005) menyatakan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik baik bagi perempuan maupun laki-laki. BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama dalam rangka memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin. Pendekatan tersebut antara lain: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) serta pendekatan objective dan subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam
20
memenuhi kebutuhan minimum. Kebutuhan dasar tersebut antara lain: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Tabel 4. Pengertian Kemiskinan Menurut Beberapa Lembaga Pemerintah Lembaga Pemerintah
Pengertian Kemiskinan
BAPPENAS
Kemiskinan mencakup unsur-unsur: (1) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi), (2) kerentanan, (3) ketidakberdayaan, dan (4) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya Secara umum masyarakat miskin ditandai oleh ketidakberdayaan: (1) tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan (basic need deprivation) (2) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif (3) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccessibility) (4) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri, senantiasa mendapat perlakukan diskriminatif, mempunyai perasaaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (5) Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah 14 kriteria rumahtangga miskin, yaitu: (1) Luas lantai bangunan tempat tinggal yang dimanfaatkan untuk aktivitas sehari-hari (2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah/bambu/kayu berkualitas rendah (3) Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari bambu/kayu berkualitas rendah (4) Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus) digunakan secara bersama-sama atau menggunakan secara umum (5) Sumber air minum adalah mata air yang tidak terlindung/sungai/air hujan (6) Sumber penerangan utama bukan listrik (7) Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari dari kayu/arang/minyak tanah (8) Jarang atau tidak pernah membeli dagang/ayam/susu setiap minggunya (9) Anggota rumahtangga hanya mampu menyediakan makan dua kali dalam sehari (10) Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setiap tahun (11) Bila jatuh sakit tidak berobat karena tidak ada biaya untuk berobat (12) Pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh kasar dan atau tidak bekerja (13) Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga SD ke bawah (14) Ada tidaknya barang dalam keluarga yang dapat dijual dengan nilai Rp 500.000,-
(2005)
KPK (2003)
BPS (2006)
21
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
2.1.3 Pengertian Miskin Menurut Lembaga Multilateral Menurut World Bank (2000) kemiskinan merupakan suatu masalah yang bersifat multidimensi sebagai berikut: Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom. Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensidimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of
22
income and assets) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang semuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Aset dalam hal ini mencaku: human assets, natural assets, physical asset, financial assets dan social assets (World Bank, 2000). Ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and asset) bahkan telah dilihat salah satu penyebab utama dari kemiskinan. Kemiskinan menurut World Bank adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan pendapatan US$ 1.00 per hari bagi negara yang tergolong negara berpendapatan sangat rendah (very low-income countries). Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan US$ 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang (middle-level income countries) dan US$ 14.00 bagi negara-negara kaya.
2.2 Jenis-jenis Kemiskinan Sumodiningrat et al. (1999) menyatakan kemiskinan sekurangkurangnya diklasifikasikan dalam lima kelas, yaitu: pertama kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain: kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. Ketiga, kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. Keempat, kemiskinan kronis;
23
disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya, taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan yang rendah, lapangan pekerjaan yang terbatas dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kelima, kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kartasasmita (1996), keadaan kemiskinan secara umum diukur dengan tingkat pendapatan, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain pendapatan yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan realtif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan dan kelompok masyarakat yang lebih kaya. Berdasarkan pola waktu, kemiskinan dapat dibedakan menjadi empat pola, yaitu: pertama Persistent Poverty, kemiskinan yang kronis atau turun-menurun dan secara umum terjadi di daerah yang memiliki sumberdaya alam kritis atau daerah yang terisolasi. Kedua adalah Cyclical Poverty, kemiskinan yang meliputi pola siklus ekonomi secara keseluruhan.
24
Ketiga Seasonal Poverty, kemiskinan bersifat musiman yang secara umum terjadi di kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Keempat Accidental Poverty, kemiskinan yang terjadi akibat bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat mengalami penurunan. Kartasasmita (1996), kemiskinan juga dapat dikaji berdasarkan keadaan penduduk dan potensi wilayah. Dari segi keadaan penduduk, penentuan penduduk miskin didasarkan pada garis kemiskinan. Adapun potensi wilayah yang digunakan untuk menetapkan wilayah-wilayah atau desa-desa yang dikategorikan sebagai wilayah atau desa tertinggal. Penduduk miskin secara umum terkait erat dengan wilayah miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang tertinggal besar kemungkinan menyebabkan kemiskinan penduduk.
2.3 Faktor Penyebab dan Karakteristik Desa Miskin Informasi tentang profil kemiskinan di pedesaan sangat diperlukan oleh pengambil
kebijakan
terutama
untuk
penanganan
masalah
kemiskinan.
Keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program pengentasan kemiskinan di pedesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang didasari pemahaman menyuluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan dan hasil target yang baik. Hal tersebut karena salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat bergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area.
25
Karakteristik utama kemiskinan berkaitan dengan kondisi dan potensi wilayah miskin, yang dalam banyak hal berkaitan erat dengan penyebab utama kemiskinan. Penyebab utama kemiskinan berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam, kualitas sumberdaya manusia maupun hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. World Bank (2000), penyebab kemiskinan antara lain: (1) kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, (2) sarana dan prasarana yang dibutuhkan terbatas, (3) pembangunan yang bias kota, (4) perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, (5) perbedaan sumberdaya manusia dan sektor ekonomi, (6) rendahnya produktivitas, (7) budaya hidup yang jelek, (8) tata pemerintahan yang buruk, dan (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan. Indikator utama kemiskinan menurut BAPPENAS (2005), adalah: (1) kecukupan dan mutu pangan terbatas, (2) mutu dan akses layanan kesehatan terbatas, (3) akses dan mutu layanan pendidikan rendah dan terbatas, (4) kesempatan kerja dan berusaha terbatas, (5) perlindungan terhadap aset usaha rendah dan perbedaan upah, (6) akses layanan perumahan dan sanitasi terbatas, (7) akses terhadap air bersih terbatas, (8) kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah yang lemah, (9) kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam memburuk, serta akses masyarakat terhadap sumberdaya alam terbatas, (10) jaminan rasa aman rendah, (11) partisipasi rendah, (12) beban kependudukan tinggi yang disebabkan oleh tanggungan keluarga yang besar, dan (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, korupsi dan jaminan sosial terhadap masyarakat rendah.
26
Sahdan (2005), penyebab utama kemiskinan desa adalah: (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah, (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian, (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian, (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas, (5) ketersediaan bahan kebutuhan dasar yang terbatas, (6) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota), (7) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional, (8) produktivitas dan pembentukan modal yang masih rendah, (9) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa, (10) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang secara umum masih berkembang di pedesaan, (11) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa, serta (12) jaminan kesehatan yang rendah. Mulia (2004), penyebab utama kemiskinan di pedesaan adalah ketidakmampuan masyarakat menghadapi kondisi-kondisi yang berubah, karena: (1) kondisi kesehatan dan fisik yang lemah akibat kekuarangan gizi dan penyakit, (2) pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan tidak relevan dengan perubahan zaman, (3) ketiadaan akses terhadap teknologi, (4) sumber pendapatan tidak terjamin, (5) kondisi pemerintahan, hukum dan politik tidak berpihak pada kaum miskin, (6) bias perkotaan, dan (7) infrastruktur pedesaan yang terbatas. Selama ini belum ada metode yang digunakan oleh BPS maupun pemerintah dalam menentukan wilayah desa miskin, yang telah ada adalah penentuan desa tertinggal yang dilakukan pada tahun 1993 dan 1994 yang lalu. Pendekatan ini masih memiliki beberapa kelemahan. Menurut Mulia (2004), beberapa kelemahan dalam penghitungan Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1993 dan 1994 adalah sebagai berikut:
27
1. Faktor-faktor kelemahan penghitungan IDT tahun 1990 a. Penetapan variabel sangat riskan karena sangat dibatasi dengan data yang terisi lengkap saja yang dapat diperhitungkan. b. Masih ada kerancuan dalam penetapan status perkotaan atau pedesaan. c. Penetapan kriteria desa dengan sarana komunikasi telepon, menjadi lemah dengan kondisi desa miskin dengan penduduk mayoritas miskin skor meningkat apabila ada satu rumahtangga yang memiliki telepon. d. Penetapan pasar sebagai kriteria apabila memiliki pasar dengan bangunan permanen, semi permanen atau toko/kios maka skor meningkat, sebaliknya desa dengan pasar tanpa bangunan dikreteriakan miskin. e. Jarak kelurahan/desa ke ibu kota kecamatan dengan skor semakin besar apabila berdekatan dengan ibukota kecamatan. Hal ini semakin lemah apabila ada desa yang jauh dari ibu kota kecamatan yang bersangkutan akan tetapi dekat dengan ibu kota kecamatan tetangga dan desa tersebut menjadi salah terklasifikasi. 2. Faktor-faktor kelemahan penghitungan IDT tahun 1994 a. Penetapan variabel fasilitas pendidikan dengan memberikan skor bila memiliki fasilitas SMP/SMA, apakah dapat dinyatakan sebagai desa yang tidak tertinggal. b. Cara buang sampah sebagian besar penduduk ke lubang dapat menaikkan skor sementara itu apabila sebagian membuang ke kali mendapat nilai skor yang lebih kecil. Masalahnya adalah apabila sebagian besar penduduk miskin di desanya membuang sampah di lubang maka nilainya menjadi besar.
28
Dapat disimpulkan bahwa selama ini belum ada metode yang digunakan oleh BPS maupun pemerintah dalam menentukan wilayah desa miskin, yang telah ada adalah menetapkan wilayah tertinggal yang masih memiliki berbagai kelemahan. Faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan wilayah desa masih dikaji secara umum belum memperhatikan spesifikasi desa.
2.4 Faktor Penciri dan Karakteristik Rumahtangga Miskin Tahun 2005, BPS melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori rumahtangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Adapun indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu: (1) luas lantai rumah, (2) jenis lantai rumah, (3) jenis dinding rumah, (4) fasilitas tempat buang air besar, (5) sumber air minum, (6) penerangan yang digunakan, (7) bahan bakar yang digunakan, (8) frekuensi makan dalam sehari, (9) kebiasaan membeli daging/ayam/susu, (10) kemampuan membeli pakaian, (11) kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik, (12) lapangan pekerjaan kepala rumahtangga, (13) pendidikan kepala rumahtangga, dan (14) kepemilikan asset. Sahdan (2005) menyatakan masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi seperti: (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan, (2) memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas, (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi di sektor pertanian, (4) kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha, (5) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan dan perumahan), (6) berurbanisasi ke kota, (7) menggunakan cara-cara pertanian tradisional, (8) kurangnya produktivitas usaha, (9) tidak adanya tabungan, (10) kesehatan yang kurang terjamin, (11) tidak
29
memiliki asuransi dan jaminan sosial, (12) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa, (13) tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih, dan (14) masyarakat desa tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Menurut BPS (2006), rumahtangga miskin dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu karakteristik demografi, ekonomi dan sosial. Masing-masing karakteristik tersebut dijelaskan berikut ini: 1. Karakteristik demografi dikelompokkan ke dalam tiga kategori: a. Stuktur dan ukuran rumahtangga Indikator ini penting karena menunjukkan korelasi yang mungkin antara tingkat kemiskinan dengan komposisi rumahtangga. b. Rasio ketergantungan Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumahtangga yang tidak berada dalam angkatan kerja terhadap mereka yang berada dalam rumahtangga tersebut. Suatu rasio ketergantungan yang tinggi diduga akan berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan rumahtangga. c. Jender kepala rumahtangga Jenis kelamin kepala rumahtangga berpengaruh terhadap kemiskinan rumahtangga, dan secara lebih spesifik bahwa rumahtangga yang dikepalai wanita adalah lebih miskin daripada yang dikepalai laki-laki.
2. Karakteristik ekonomi mencakup: a. Ketenagakerjaan rumahtangga Ketenagakerjaan rumahtangga dititikberatkan pada partisipasi angkatan
30
kerja, tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran dan perubahan jenis pekerjaan. b. Pendapatan rumahtangga Pendapatan
mewakili
suatu
bidang
yang
sangat
penting
untuk
dipertimbangkan ketika menentukan karakteristik rumahtangga miskin. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah tingkat pendapatan dan juga distribusinya di antara anggota rumahtangga. c. Struktur pengeluaran konsumsi rumahtangga Struktur pengeluaran konsumsi rumahtangga dapat digunakan untuk mencirikan rumahtangga dengan memberikan gambaran pengeluaran makanan dan non makanan. d. Kepemilikan Indikator ini mencerminkan inventaris kekayaan rumahtangga dan dengan demikian mempengaruhi arus pendapatan rumahtangga.
3. Karakteristik sosial terdiri dari tiga kategori a. Kesehatan dalam rumahtangga Indikator yang termasuk dalam kesehatan rumahtangga meliputi status gizi, status penyakit, ketersediaan pelayanan kesehatan dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh rumahtangga. b. Pendidikan Ada tiga jenis indikator pendidikan yang sering digunakan yaitu tingkat pendidikan anggota rumahtangga, ketersediaan pelayanan pendidikan dan penggunaan pelayanan oleh anggota rumahtangga.
31
c. Tempat tinggal Tempat tingggal menunjukkan pada kerangka kerja keseluruhan dari kehidupan pribadi rumahtangga. Secara umum rumahtangga miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya, lingkungan yang kurang bersih, mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan produktivitas anggota rumahtangga yang lebih rendah. Departemen Pertanian pada tahun 2006 mengeluarkan metode penetapan rumahtangga miskin dengan menggunakan pendekatan kemiskinan relatif. Jenis pertanyaan yang dikumpulkan terdiri atas 20 pertanyaan inti yang terbagi dalam sembilan kelompok pertanyaan sebagai berikut: 1. Keterangan umum rumahtangga meliputi: pendidikan kepala rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga balita, jumlah anak usia sekolah 7 – 15 tahun dan jumlah anak usia 7 – 15 tahun yang masih sekolah. 2. Keterangan kondisi rumah tempat tinggal meliputi: luas lantai, jenis lantai, sumber air minum dan sumber penerangan. 3. Keterangan rumahtangga mengkonsumsi daging/ayam/ikan/telur selama seminggu yang lalu. 4. Keterangan tentang ketersediaan bahan makanan pokok. 5. Keterangan lapangan usaha dari pekerjaan utama rumahtangga. 6. Keterangan tentang kemampuan daya beli rumahtangga yang diukur melalui kemampuan membeli pakaian dalam satu tahun terakhir. 7. Keterangan
tentang
kepemilikan
asset
yang
sawah/ladang/kebun,
kepemilikan
kendaraan
meliputi: bermotor,
luas
lahan
kepemilikan
32
sepeda/sampan/kendaraan tidak bermotor lainnya, kepemilikan tempat tidur dengan kasur/busa dan kepemilikan hewan ternak besar (babi, sapi, kerbau dan lainnya). 8. Keterangan tentang pengeluaran rumahtangga yang meliputi: pengeluaran untuk makanan sebulan dan total pengeluaran sebulan. 9. Pendapat pencacah tentang keadaan rumahtangga apakah miskin atau tidak. Variabel-variabel yang digunakan dalam pendekatan kemiskinan relatif Departemen Pertanian ini selanjutnya digunakan dalam menentukan faktor penciri dan karakteristik rumahtangga miskin di daerah pertanian karena telah memperhatikan kondisi spesifik lokasi di daerah pertanian, dimana pada kajiankajian yang telah dilakukan belum memperhatikan kondisi spesifik lokasi.
2.5 Tipologi Kemiskinan Desa Harniati (2007) menyatakan ada dua organisasi internasional yang menjabarkan pendekatan untuk membangun tipologi kemiskinan yakni Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Pendekatan yang digunakan SIDA untuk membangun tipologi kemiskinan, yaitu: 1. Kemiskinan berdasarkan pekerjaan: buruh tani, petani gurem, nelayan tradisional dan lain-lain. 2. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakberuntungan sosial: masyarakat dengan kasta rendah, masyarakat terasing dan suku dalam atau penduduk asli. 3. Kemiskinan karena diskriminasi. 4. Kemiskinan berdasarkan letak geografis.
33
IFAD menggunakan lima pendekatan untuk membangun tipologi kemiskinan khususnya kemiskinan pedesaan (rural poverty), yaitu: 1. Kemiskinan karena pencabutan hak dan tersisihkan. 2. Kemiskinan karena faktor daerah terisolasi dan daerah marjinal. 3. Kemiskinan traumatis/sporadis karena adanya guncangan eksternal seperti: kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 4. Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi, kurangnya aksesibilitas dan tidak memadainya teknologi. 5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya. Hernowo (2006) membagi tipologi desa tertinggal di Provinsi Jawa Tengah ke dalam sembilan tipologi berdasarkan komoditas basis pertanian dan kegiatan mayoritas petani pada desa tersebut. Kesembilan karakteristik desa adalah desa persawahan, desa lahan kering, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa hutan, desa industri kecil, desa buruh industri serta desa jasa dan perdagangan. Berdasarkan kriteria Kawasan Terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D), tipologi desa dibagi ke dalam enam tipologi berdasarkan kegiatan ekonominya, yaitu desa industri, desa pertanian tanaman pangan, desa perkebunan, desa perikanan, desa pariwisata atau jasa dan desa peternakan. Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa belum ada keseragaman dalam penentuan tipologi desa, namun terdapat kesamaan pandangan dalam penentuan tipologi desa yaitu didasarkan pada kegiatan perekonomian, sumberdaya manusia, dan keadaan geografi yang dimiliki desa tersebut. Kebijakan dan perencanaan pembangunan desa dapat disesuaikan dengan tipologi desa apabila mengetahui komponen utama dari aktivitas ekonomi dan sumberdaya manusia suatu desa.
34
Pembangunan desa yang terfokus pada kegiatan ekonomi, sumberdaya dan geografi desa tersebut, diharapkan dapat memberikan multiplier efek yang luas, seperti: perluasan lapangan kerja, investasi dan pembangunan infrastruktur. Selain itu diharapkan terjadinya keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward dan forward linkages) baik antar desa maupun antar desa dengan kota. Lebih lanjut diharapkan ada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat desa tersebut dan sekaligus dapat mengatasi kemiskinan yang ada di desa. Tipologi yang digunakan dalam penelitian memperhatikan kegiatan ekonomi yang digambarkan oleh jenis usaha (pertanian dan non pertanian), kepadatan penduduk (jarang, sedang dan padat) serta letak geografis (pesisir dan non pesisir).
2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Mc. Nicholas (1977), strategi adalah suatu seni menggunakan kecakapan dan sumberdaya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Salusu (1996) menyatakan pengertian strategi secara terinci yaitu: (1) suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral, (2) menentukan dan menampilkan tujuan/sasaran jangka panjang, program aksi, dan prioritas sumberdaya, (3) menyeleksi bidang yang akan digeluti, (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal dan kekuatan, serta kelemahannya, dan (5) melibatkan semua tingkatan hierarki dari organisasi. Johnson dan Kevan (1993) menyatakan manajemen strategi setidaknya melalui tiga mata rantai yakni perumusan strategi (strategic analyses), impelementasi strategi (stategic implementation) dan strategic choice (evalution).
35
Tahap perumusan strategi, termasuk di dalamnya mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan objektif jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Tahap implementasi di dalamnya termasuk menetapkan objektif tahunan memperlengkapi kebijakan, mengalokasikan sumberdaya, mengembangkan budaya organisasi yang dapat mendukung strategi dan menciptakan struktur oganisasi yang obyektif. Tahap evaluasi strategi, tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi kapan/bilamana suatu strategi tidak lagi berfungsi dengan baik. Semua strategi dapat dimodifikasi baik karena faktor internal maupun eksternal maka perlu untuk: (1) meninjau faktor internal dan eksternal, (2) mengatur prestasi, dan (3) mengambil tindakan korektif.
Culture Stakeholder Expectation The Environment
Resources Strategic Capability
Strategic Analyses Identifying Strategic Options
Planning Allocation Strategic Options
Strategic Implementation Organization Structure Design
Evaluating Option Selecting Strategy
Managing Strategic Changes
Sumber: Johnson dan Kevan, 1993
Gambar 4. Pengaruh-Pengaruh terhadap Strategic Analysis
36
Nurmanaf et al. (2000) menyatakan upaya pengentasan kemiskinan dapat diuraikan dalam tiga strategi utama. Ketiga strategi tersebut meliputi: (1) pertumbuhan ekonomi secara umum sebagai cara efektif untuk mengurangi kemiskinan jangka panjang berupa perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan pemerintah dan pendapatan masyarakat, (2) program khusus untuk meningkatkan kesempatan memperoleh pendapatan bagi masyarakat miskin, dan (3) program sosial jangka pendek dengan sasaran masyarakat miskin secara langsung untuk membantu memenuhi kebutuhan minimum pada standar hidup pokok. BAPPENAS (2005) dalam kaitan dengan penanggulangan kemiskinan, menetapkan lima strategi nasional penanggulangan kemiskinan, yaitu: 1. Perluasan kesempatan, yaitu untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin, baik laki-laki dan perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan 2. Pemberdayaan
kelembagaan
masyarakat
yaitu
untuk
memperkuat
kelembagaan sosial, ekonomi, politik, budaya dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. 3. Peningkatan kapasitas, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. 4. Perlindungan sosial, yaitu untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok yang rentan (perempuan kepala rumahtangga, fakir miskin,
37
orang jompo, anak terlantar dan penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan oleh bencana alam, dampak krisis ekonomi dan konflik sosial. 5. Penataan kemitraan global, yaitu untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi tersebut. Kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penanggulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan multinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan programprogramnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti Puskesmas, Inpres, KUD dan sebagainya, (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin, (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui Puskesmas,
38
(4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah Inpres, (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin, (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin, (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM, dan (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya. Sahdan (2005) menyatakan berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang menuai kegagalan. Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi tetap mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan lain yang dilakukan selain program KUT dan KKP. Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan
39
perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kurangnya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (TakesraKukesra) dan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah namun kondisi kemiskinan belum banyak berubah (Sulekale, 2003 dan Sajogyo, 1997). Dapat disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan makro yang selama ini didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS tidak cukup. Berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Strategi yang terpusat, tidak memperhatikan faktor penyebab dan karakteristik spesifik lokasi akan menuai kegagalan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dirumuskan strategi penanggulangan kemiskinan spesifik lokasi.
40
2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, diantaranya Nurjaeni (2004) yang mengkaji penelusuran karakteristik rumahtangga miskin dengan menggunakan metode CHAID di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan fasilitas listrik adalah peubah pertama yang terpilih dalam membedakan rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin. Peubah-peubah lainnya yang juga berperan dalam membedakan kedua kelompok rumahtangga adalah pendidikan tertinggi kepala rumahtangga, luas lantai yang digunakan, kepemilikan fasilitas rumahtangga, kepemilikan asset usaha, sumber air untuk minum dan memasak serta proporsi untuk makanan. Rumahtangga dengan karakteristik tidak memiliki fasilitas listrik dan asset usaha, sumber air untuk minum dan memasaknya berasal dari sumur tak terlindung/air hujan, berjenis lantai tanah dan tidak memiliki fasilitas rumahtangga adalah lebih menunjukkan karakteristik rumahtangga miskin. Hasil penelitian Papilaya (2006) yang mengkaji akar penyebab kemiskinan menurut rumahtangga miskin dan strategi penanggulangannya kasus di Kota Ambon Provinsi Maluku dan di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo dengan pendekatan Ilmu Penyuluhan Pembangunan menunjukkan bahwa akar penyebab kemiskinan perkotaan dan pedesaan bersifat hierarkis, multi-faktor dan multi-demensional, yaitu: kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin, kurang normatifnya pelaku etis, lemahnya kepribadian rumahtangga miskin, memudarnya sistem nilai budaya, kuatnya kepentingan elitis, ketimpangan infrastruktur, persaingan yang tidak adil dan deprivasi kapabilitas aset produksi.
41
Akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan, yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elitis. Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi perilaku rumahtangga miskin pada tipologi kemiskinan perkotaan, yaitu: modal sosial (tingkat partisipasi sosial) dan modal manusia (tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan nonformal, kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis), sedangkan pada tipologi kemiskinan pedesaan, yaitu: modal sosial (tingkat partisipasi sosial, tingkat kekosmopolitan dan budaya gotong royong), modal alamiah (akses rumahtangga terhadap sumberdaya alam) dan modal manusia (kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis). Faktor-faktor
determinan
yang
secara
langsung
mempengaruhi
kesejahteraan rumahtangga miskin pada tipologi kemiskinan perkotaan, yaitu: modal sosial (tingkat kepercayaan sosial dan budaya gotong royong), modal politik (akses terhadap kebijakan publik dan kebijakan terhadap kemsikinan) dan modal fisikal (akses terhadap kelembagaan dan kondisi perumahan), sedangkan pada tipologi kemiskinan pedesaan, yaitu: modal alamiah (akses terhadap sumberdaya alam), modal fisikal (akses terhadap kelembagaan dan kondisi perumahan), modal finansial (tingkat pendapatan dan sumber modal) dan perilaku rumahtangga miskin (aspek kognitif dan keterampilan). Strategi utama penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan, yaitu: (1) pelembagaan Good Governance, (2) peningkatan kapabilitas, (3) revitalisasi modal sosial, (4) advokasi kebijakan publik, (5) keterjaminan sosial, (6) pemberdayaan infrastruktur, (7) pemberdayaan ekonomi rakyat, dan (8) redistribusi aset produksi. Model pemberdayaan rumahtangga miskin, yaitu: model radar 1HP-6M-
42
8S (satu hati berbasis nilai-nilai lokal dan global, satu perilaku produktif dan normatif dari seluruh stakeholders pembangunan, enam modal dasar berbasis mata pencaharian utama rumahtangga miskin dan delapan strategi utama penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan). Harniati (2007) yang mengkaji tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis
agroekosistem
dan
implikasinya
pada
kebijakan
pengurangan
kemiskinan. Penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem.
Tipologi
kemiskinan
berbeda
pada
tiap
agroekosistem.
Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu (systematic patterns). Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan memperlihatkan bahwa ada keragaman kemiskinan dan kerentanan diantara agroekosistem. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan, sedangkan rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Penelitian ini menemukan juga, bahwa faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan agroekosistem. Faktor pengeluaran rumahtangga untuk makanan, pemilikan rumah sebagai modal fisik secara umum merupakan faktor penciri lainnya pada semua agroekosistem. Faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Sumber penghasilan dari peternakan dan pertambangan dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan terjadi di lahan campuran. Faktor bahan bakar minyak tanah merupakan penciri pengeluaran dataran tinggi, lahan kering, hutan dan pantai/pesisir. Sumber penerangan listrik merupakan faktor yang khas di
43
pantai/pesisir. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. Penelitian ini secara umum memberikan rekomendasi yaitu: (1) kebijakan di bidang pangan bagi penduduk miskin, (2) kebijakan penyediaan modal fisik (physical capital) bagi rumahtangga miskin, dan (3) kebijakan pembangunan infrastruktur fisik yang berpihak pada rumahtangga miskin sebagai kebijakan prioritas utama yang harus dilaksanakan di semua agroekosistem dan nasional. Secara lebih spefisik, untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan prioritas. Daerah hutan dan pesisir, diperlukan penataan kelembagaan, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (human capital) dan alternatif mata pencaharian. Daerah pesisir, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan. Agusta et al. (2003) menyatakan pembangunan infrastruktur di pedesaan Indonesia cenderung berhasil mengurangi kemiskinan melalui pengembangan ekonomi. Namun demikian, masih terdapat anomali desa-desa dengan penduduk dominan kaya tanpa pembangunan infrastruktur yang ekstensif, juga desa-desa dengan penduduk dominan miskin miskin meskipun dengan infrastruktur di dalamnya relatif lengkap. Strategi kutub pertumbuhan hanya cocok untuk desa kaya dan berkembang (memiliki infrastruktur lengkap). Kebalikannya, strategi penanggulangan kemiskinan cocok pada desa miskin dengan kombinasi baik desa berkembang (infrastruktur lengkap) maupun teringgal (kelengkapan infrastruktur rendah). Dalam konteks pembangunan infrastrukur masa kini, strategi penanggulangan kemiskinan lebih cocok, daripada strategi kutub pertumbuhan, dalam mengembangkan penduduk desa-desa di Indonesia.
44
Asra (2000), yang melakukan dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah bahwa: (1) penurunan kemiskinan di daerah
pedesaan
merupakan
penyumbang
terbesar
terhadap
penurunan
kemiskinan secara agregat dan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia, (2) elastisitas kemiskinan terhadap ’distributionally neutral growth’ untuk ketiga ukuran FGT (headcount index, poverty gap index dan distributionally sensitive index) di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah pedesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan (3) hasil dari simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan agregat. Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti diuraikan di atas dengan berbagai latar belakang ilmu yang berbeda. Sebagai dasar untuk kebijakan pengentasannya, memahami masalah kemiskinan seringkali menuntut adanya upaya pendefinisian, pengukuran dan pengidentifikasian kemiskinan (Hagenaars dan De Vos, 1988). Kemiskinan dapat diteliti dengan pendekatan kulatitatif, kuantitatif dan gabungannya (Hayati et al. 2006). Sebenarnya sudah terdapat berbagai kajian yang ditujukan untuk mengklasifikasikan orang miskin dan menganalisis penyebab kemiskinan, namun demikian upaya-upaya tersebut belum tuntas. Hal ini karena kemiskinan bersifat komplek (Bevan dan Joereman, 1997),
45
multidimensi dan karena kemiskinan bersumber dari aneka kondisi (BPS Banten, 2006). Hasil penelusuran terhadap hasil-hasil tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa penulusuran faktor penyebab dan karakteristik kemiskinan wilayah masih bersifat umum dan belum memperhatikan tipologi desanya, begitu pula halnya dalam mengkaji faktor penciri dan karakteristik rumahtangga miskin. BPS dalam menetapkan rumahtangga miskin selama ini masih belum melihat tipologi wilayahnya. Hal ini berdampak pada strategi penanggulangan kemiskinan yang dihasilkan masih belum belum spesifik lokasi. Penelitian kali ini akan mengkaji secara lebih dalam tentang faktor penyebab dan karakteristik desa miskin di pedesaan serta penerapan strategi yang sesuai untuk diterapkan berdasarkan tipologi desa. Lebih lanjut juga diidentifikasi faktor penciri dan karakteristik rumahtangga miskin serta penerapan strategi yang sesuai untuk diterapkan di daerah pertanian. Diharapkan dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan tersebut, upaya melepaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan bisa berhasil atau setidaknya kemiskinan dapat dikurangi dan program/kebijakan dapat langsung menyentuh pada persoalan mendasarnya.