ANALISIS PENDAPATAN PERKEBUNAN KARET DI

Download 2 Des 2015 ... dapat meningkatkan pendapatan petani (Saragih,. 1998). Permasalahan produksi, produktivitas dan pendapatan pekebun karet yan...

1 downloads 526 Views 499KB Size
Desember 2015

Charitin Devi

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol 6 No. 2 Desember 2015 39 - 50

37

ANALISIS PENDAPATAN PERKEBUNAN KARET DI KECAMATAN BANYUASIN III, KABUPATEN BANYUASIN Charitin Devi*)

Abstract This research aimed at: 1) identify the aspects influence the rubber production in public plantation, 2) calculating the farming income and member family income from rubber plantation. The research was conducted in Banyuasin District, South Sumatra. Primary data collection was performed using interview method and observation, and method of analysis used was multiple-regression. Result of the research analysis suggesting that public rubber production was influenced by total plantation area and total manpower. The net income of the plantation per hectare was Rp 2.121.498,5 /month, whereas the total income gained by every member family of the plantation was Rp 546.663/month. Keywords: farming income, production, productivity, multiple regression

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam perkenomian Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Sektor ini telah berkontribusi tidak hanya pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial. Kinerja sektor pertanian Indonesia sangat baik terutama dilihat dari kinerja komoditas subsektor perkebunan. Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian merupakan salah satu sub sektor yang berperan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku

*)

industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Hingga saat ini, karet dan kelapa sawit menjadi komoditas andalan dan unggulan Indonesia. Dua komoditas ini memberi sumbangan pada sisi penerimaan devisa negara dari ekspor sebesar US$ 7,57 miliar dari komoditas karet dan olahannya, serta US$ 12,37 miliar dari CPO (2007). Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara penghasil karet terbesar di dunia untuk periode 2002-2007, dengan produksi sebesar 2,75 juta ton dan luas areal terbesar mencapai 3,41 juta hektar (2007). Diagram 1.1 menunjukkan secara tidak langsung peran komoditas karet dalam eksistensi posisi Indonesia berdasarkan kompetisi dengan negara-negara lainnya.

Staf Pengajar PadaSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Rahmaniyah Sekayu

38

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

Desember 2015

Sumber: IRSG, dalam Adhy Basar Parhusip, data diolah.

Gambar 1. Produksi Karet Alam di Beberapa Negara Produsen Utama, 2002-2007 (dalam Ton)

Karet memiliki prospek baik sebagai salah satu komoditas subsektor unggulan dalam pembangunan ekonomi Indonesia dilihat dari peranan dan kontribusinya. Namun di Indonesia penanganan lebih lanjut terhadap sektor karet terbatas pada agribisnis hulu (upstream agribusiness), sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari komoditas ini masih bernilai minim. Ekspor komoditas karet lebih banyak pada jenis crumb rubber dan karet alam. Dilihat dari sisi permintaan, komoditas ini memiliki pangsa pasar yang besar dan potensial (Anwar, 2006). Hasil studi IRSG (International Rubber Study Group) menunjukkan bahwa tahun 2005 konsumsi karet alam dan sintetik dunia adalah 8,7 juta ton. Prediksi permintaan tersebut akan menjadi 15 juta ton di tahun 2035, dan proyeksi pertumbuhan karet Indonesia adalah 3% per tahun. Hingga tahun 2035 produksi karet akan mencapai 5,1 juta ton dengan catatan produksi dapat dicapai dengan peremajaan dan pembukaan areal perkebunan karet baru yang cukup luas. Dalam perkaretan Indonesia, sebesar 2,8 juta hektar atau sebesar 88% dan 2,08 juta ton atau 78,9% adalah kontribusi yang diberikan oleh perkebunan karet rakyat, dan sisanya 12% areal perkebunan dan 21,1 produksi karet dihasilkan dari perkebunan besar. Berbeda dengan kelapa sawit, proporsi luas arealnya sebesar 40,48%

dan 34,53% serta produksi yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat sebesar 59,52% sedangkan 65,47% adalah bagian perkebunan besar. Besarnya persentase perkebunan rakyat pada komoditas karet telah memunculkan masalah utama terkait dengan produktivitas. Banyak artikel dan penelitian yang menyebutkan bahwa hingga saat ini Indonesia telah memiliki luas areal perkebunan karet terluas namun tidak didukung dengan produktivitas yang tinggi. Hal ini berarti tingkat produksi karet Indonesia belum optimal. Data mengindikasi bahwa tingkat produktivitas karet Indonesia masih tergolong rendah. Data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa dari areal seluas 3,5 juta hektar, produksi karet kering secara nasional baru mencapai 2,9 juta ton pada tahun 2008 atau produktivitasnya sebesar 82,8%. Produktivitas yang rendah umumnya terjadi pada perkebunan rakyat baru yang hanya mencapai 79,3%, jauh dibandingkan perkebunan negara sebesar 119,5% dan perkebunan swasta sebesar 113,9%. Hal ini jauh berbeda dibandingkan produktivitas karet negara pesaing seperti Thailand yang telah menempati urutan teratas yaitu 138,09%. Thailand telah memproduksi 2,9 juta ton dari areal seluas 2,1 juta hektar. Rendahnya tingkat produktivitas ini disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang paling berpengaruh adalah harga dan teknologi. Pengelolaan yang masih tradisional dan faktor kualitas perkebun yang rendah berakibat

Desember 2015

Charitin Devi

rendahnya produksi dan pendapatan yang diterima pekebun karet. Rendahnya tingkat produktivitas rakyat dapat dilihat secara parsial. Dari areal perkebunan karet di Indonesia porsi terbesar perkebunan untuk produksi sebesar 72% dan luas areal perkebunan karet total terdapat di Sumatera. Lebih dari 25% produksi dihasilkan oleh perkebunan karet di Sumatera Selatan sebagai sentra tertinggi dan terluas, 22% dari perkebunan Sumatera Utara, dan 15% dari perkebunan karet di Jambi. Proporsi areal perkebunan dan produksi dapat dilihat dalam diagram 2 dan 3. Sebagai sentra produksi terbesar, peran komoditas karet terhadap perekonomian terealisasi pada penerimaan devisa

39

yang berasal dari ekspor karet dan olahannya sebesar 0,65 juta ton (BPS Sumsel, 2009) atau senilai US$ 2,9 milyar (Deptan, 2009). Data perkembangan terakhir lahan perkebunan karet di Sumsel mencapai 1,023 juta hektar (2008) dengan produksi sebesar 0,8 juta Ton, tersebar pada 3 kabupaten dengan luas areal dan produksi terbesar yaitu Muara Enim, Musi Rawas, Banyuasin, dan Musi Banyuasin (data untuk perkebunan rakyat, Disbun Sumsel, 2009). Data produktivitas karet rakyat di Sumatera Selatan mencapai 78,2% (2008) dengan total produksi sebesar 0,8 juta ton dengan luas 1,02 juta hektar lebih rendah dibandingkan produktivitas kebun rakyat nasional.

Sumber: BPS, data diolah.

Gambar 2. Luas Areal Perkebunan Karet tiap-tiap Provinsi di Pulau Sumatera (2006) (dalam %)

Sumber: BPS, data diolah.

Gambar 3. Produksi Karet Per Provinsi di Pulau Sumatera, 2006 (dalam %)

40

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

Perkebunan karet rakyat tidak hanya pada tiga sentra terbesar di Sumatera Selatan tetapi juga sentra-sentra lainnya merupakan areal perkebunan terluas dengan jumlah pekebun terbanyak. Lahan-lahan ini merupakan tempat pekebun karet menggantungkan hidupnya. Banyaknya pekebun merupakan nilai tambah dalam perkaretan Indonesia untuk social capital. Hingga saat ini karet sebagai salah satu komoditas andalan nasional memiliki nilai bisnis yang tinggi dan prospek yang cerah. Menurut Mubyarto dan Dewanta (1991), masih banyak pekebun karet yang masih belum bisa terangkat derajat hidupnya karena kemiskinan masih mewarnai sebagian besar hidup mereka. Hal ini karena orientasi para pekebun karet adalah pemenuhan kebutuhan hidup bukan orientasi bisnis, dan sifatnya masih usahatani subsisten ataupun semi komersiil bukan optimalisasi komersiil. Dengan demikian yang menjadi permasalahan perkaretan Indonesia adalah penanganan hasil komoditas karet yang terbatas pada agribisnis hulu saja, sementara petani karet belum masuk pada kategori subsistem tersebut. Pada kenyataan, nilai tambah terbesar berasal dari subsistem agribisnis hulu dan hilir, sedangkan porsi usahatani sangat kecil sehingga wajar jika pendapatan yang diterima petani relatif rendah. Kondisi usahatani ini sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani (Saragih, 1998). Permasalahan produksi, produktivitas dan pendapatan pekebun karet yang rendah adalah saling terkait. Permasalahan tersebut diawali dari produksi yang tidak optimal yang bersumber pada pekebun dan karakteristik usahataninya. Dalam hal ini pekebun adalah subjek utama dan sekaligus sebagai objek. Selain itu masalah lainnya adalah adopsi teknologi dan masalah stabilitas harga. Di pasar internasional, harga komoditas karet pada tahun 2009 berada pada kisaran US$1,3-1,4 atau Rp 13.000,00 hingga Rp 15.000,00 per kilogram. Tetapi di tingkat pekebun, harga yang diberlakukan adalah Rp 3.000,00 hingga Rp3.500,00 per kilogram atau sekitar 20-30 persen untuk bokar (bahan olahan karet) kering yang disimpan seminggu, dan Rp 6.000,00 – Rp 7.000,00 atau 40- 53 persen jika disimpan hingga dua minggu (penetapan harga

Desember 2015

oleh pengumpul atau tengkulak). Penetapan harga sebesar 20% - 53% tersebut merupakan salah satu kendala bagi pekebun, karena harga yang didapat seharusnya adalah sebesar Rp 11.000,00 hingga Rp 12.750,00 atau 85% (pemberlakuan harga oleh pabrik pengolahan). Pabrik menetapkan harga sebesar 85% dari harga karet dunia, dengan alasan kualitas bokar kering yang dihasilkan pekebun adalah 40-45 persen, namun para pengumpul beralasan bahwa bokar yang dihasilkan berkualitas rendah karena dalam keadaan basah (slab) (Hartopo, 2007). Dari paparan di atas tergambar adanya permasalahan yang dihadapi oleh pekebun karet baik di Sumatera Selatan maupun di sentra produksi karet lainnya. Kesejahteraan pekebun karet melalui besarnya pendapatan dari usaha kebun masih terkendala oleh beberapa faktor, yang dua faktor terbesarnya yaitu (1) produktivitas yang rendah karena volume produksi tidak sebanding dengan luas areal perkebunan, dan (2) harga komoditas yang diterima pekebun tidak sesuai karena pasar yang tidak sempurna dan tidak stabil. Faktor utama yang melatarbelakangi rendahnya produktivitas adalah produksi, sedangkan secara teknis banyak faktor yang mempengaruhi produksi. Selanjutnya tingkat produksi dipengaruhi oleh kombinasi input yang merupakan faktor dominan dalam produksi, serta kendala musim sebagai faktor pendukung. Tingkat produksi bersinergi dengan harga untuk menentukan tingkat pendapatan pekebun karet dan kesejahteraannya. Berdasar uraian permasalahan dalam perkaretan Indonesia dan dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan para pekebun karet maka dilakukan penelitian tentang “ANALISIS PENDAPATAN PEKEBUN KARET DI KECAMATAN BANYUASIN III, KABUPATEN BANYUASIN”. 2. Rumusan Permasalahan Dari latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Apakah terdapat hubungan antara tingkat produksi karet rakyat dengan tingkat pendapatan pekebun karet? b. Apakah variabel-variabel luas lahan, jumlah

Desember 2015

Charitin Devi

pohon, jumlah tenaga kerja, intensitas penyadapan, dan musim berpengaruh terhadap produksi total perkebunan karet rakyat? c. Bagaimana kinerja masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen? d. Bagaimana tingkat pendapatan pekebun ( farming income), dibandingkan dengan batas Garis Kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS, apakah pekebun karet termasuk dalam kategori penduduk miskin atau sebaliknya dengan berdasar farming income tersebut? TINJAUAN EMPIRIS Penelitian Irwanda (1998) di Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1982-1997 yang mendasarkan data dari Dinas Perkebunan Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat dan Badan Statistik Propinsi Kalimantan Barat dan D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa (1) luas areal perkebunan karet berpengaruh positif terhadap produksi karet, (2) luas areal perkebunan kelapa sawit berpengaruh negatif terhadap produksi karet, (3) Jumlah petani karet dan sawit tidak berpengaruh pada hasil akhir baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak berpengaruhnya jumlah petani karet terhadap produksi karet menunjukkan ada suatu penyimpangan terhadap fungsi produksi. Namun penyimpangan tersebut diartikan terjadi hanya karakteristik dari tanaman karet saja, yaitu kemampuan dalam menghasilkan getah karet tergantung pada kemampuan petani karet itu sendiri. Selanjutnya penelitian Zulkarnain (2005) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi karet di kebun inti Air Molek I PT. Perkebunan Nusantara V Riau berdasar data dari PTPN V Riau menunjukkan bahwa dari 6 variabel yang diduga mempengaruhi tingkat produksi karet yaitu umur tanaman, jumlah pokok sadap, jumlah hari kerja panen, jumlah penggunaan pestisida, lokasi, dan musim, hanya 3 variabel yang berpengaruh terhadap produksi yaitu umur tanaman, jumlah pokok sadap dan jumlah hari kerja. Selanjutnya analisis trend linier produksi karet mengindikasi trend berbeda-beda di ketiga Afdeling PTPN V Riau (Afdeling 3, 4, dan 5). Hal ini karena: (1) Pada

41

Afdeling 3 yang memiliki umur tanaman 22 tahun, pada saat pengamatan terjadi penurunan trend untuk tingkat produksi YOY, (2) Pada Afdeling 4 dengan umur tanaman 16 tahun, pada saat pengamatan menghasilkan peningkatan trend untuk tingkat produksi YOY, (3) Pada Afdeling 5 dengan umur tanaman 24 tahun yang memasuki fase non produktif menunjukkan penurunan trend untuk tingkat produksi karet YOY. Dengan demikian ketiga perbedaan trend produksi karet ini diduga disebabkan oleh umur tanaman, dimana umur tanaman pada Afdeling 3 dan 5 memasuki masa non produktif sehingga produksinya cenderung menurun, sedangkan pada Afdeling 4 masih dalam masa produktif sehingga dapat berproduksi optimal. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden yang berprofesi sebagai petani karet (kebun karet milik sendiri bukan bekerja pada orang lain atau perkebunan swasta maupun perkebunan negara) melalui: 1) Metode Wawancara Metode wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan pihak yang berwenang dalam perkebunan tersebut. Wawancara bersifat terstruktur atau terpimpin dimana pewawancara membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci (Wiratha, 2005). Pertanyaan tersebut terkait identitas, karateristik usaha karet, faktor-faktor produksi, serta biaya dan manfaat dari usaha tani tersebut. 2) Metode Observasi Metode observasi yaitu pengumpulan data langsung dari obyek yang akan diteliti. Metode observasi yang dilakukan semata-mata hanya sebagai pendukung metode wawancara yang dilakukan. b. Data Sekunder Data ini diperoleh dari lembaga, institusi atau sumber lain yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan

42

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

permasalahan penelitian untuk menjadi sumber, pedoman atau petunjuk dalam penyelesaian masalah penelitian. Beberapa data diperoleh dari instansi seperti Badan Statistik Kabupaten Banyuasin, Badan Statistik Yogyakarta, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Banyuasin, Balai Desa Pulau Harapan dan Balai Penelitian Sembawa, serta data perkebunan karet Banyuasin, Profil Kabupaten Banyuasin, data PDRB Sumatera Selatan dan Kabupaten Banyuasin, dan data petani karet Desa Pulau Harapan. 2. Penentuan Daerah Sampel Penelitian ini mengambil Desa Pulau Harapan sebagai lokasi penelitian. Daerah ini dipilih secara purposive dengan fokus pada pekebun dan perkebunan karet rakyat. Di Desa Pulau Harapan sebagian besar penduduknya mata pencaharian utamanya adalah pekebun karet dengan luasan lahan kurang dari 5 hektar, usahatani karet benarbenar digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari bukan sebagai proyek bisnis. Selain itu di Desa ini juga banyak penduduk yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul karet selain sebagai pekebun. Pekebun karet dengan pedagang pengumpul sebagian besar masih memiliki ikatan keluarga. 3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel kuota dan snowball sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah tertentu yang dianggap dapat merefleksikan ciri populasi. Berdasarkan kriteria ini, peneliti atau pewawancara turun ke lapangan untuk mendapatkan responden sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Individu yang pertama dijumpai dan sesuai kriteria langsung menjadi responden pertama, selain itu sampel unit berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari sampel unit sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan (Wiratha, 2005).

Desember 2015

4. Metode Analisis Data a. Pengujian Asumsi Klasik Sebelum data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi maka dikalukan uji asumsi terhadap model dalam penelitian ini, dengan menggunakan uji multikolinearitas, heteroskedastis dan autokorelasi. b. Analisis Regresi Berganda Data yang terkumpul akan dianalisis dengan analisis regresi linear berganda dan analisis perhitungan usahatani. Selanjutnya model estimasi untuk regresi tersebut adalah: Pada persamaan Produksi (Y) Bentuk linier: Y = γ0 X1 γ1. X2 γ2. X3 γ3. X4 γ4. D γ5.e Bentuk log liniernya: Ln Y = γ0 + γ1 Ln X1 + γ2 Ln X2 + γ3 Ln X3 + γ4 Ln X4 + γ5 Ln D + e Keterangan : Q = Total Produksi Karet (Kg) γ0 = Intersep (konstanta) X1 = Luas Lahan (ha) X2 = Jumlah Pohon (pohon) X3 = Jumlah Tenaga Panen (orang) X4 = Intensitas sadap pohon (hari/bulan) D = 1 untuk musim kemarau 0 untuk musim hujan e = Penyimpangan yang mungkin terjadi γ1, γ2, γ3, γ4, γ5 = Koefisien regresi

Variabel musim merupakan variabel dummy yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat produksi antara musim kemarau dan musim penghujan. c. Analisis Usahatani (Pendapatan Bersih Usahatani) Model analisis usahatani karet diadopsi dari model analisis pendapatan bersih usahatani Adnyana (1989) dan Hadisapoetra (1973) dalam studi Tinambunan (2006) tentang analisis pendapatan usahatani dan pemasaran gambir di Kabupaten Pakpak Barat (2007) yang

Desember 2015

disesuaikan dengan variabel dalam penelitian ini. Model tersebut adalah sebagai berikut:

n

FI=Y HY∑ Xi HXi i=1

Dimana: FI (Farming Income) = pendapatan bersih petani karet (Rp.) Y = produksi karet (Kg) Hy = harga jual karet (Rp.) Xi = faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usaha karet HXi = harga masing-masing faktor produksi (Rp.) Y. HY = total penerimaan bruto (Rp.) Xi. HXi = biaya produksi (Rp.).

Setelah didapatkan nilai akhir dari perhitungan usahatani karet, selanjutnya dihitung pendapatan rata-rata keluarga dengan rumus sebagai berikut: πf =

43

Charitin Devi

πneti nfi

Dimana: πf = pendapatan rata-rata petani karet πnet = pendapatan bersih petani karet nf = jumlah anggota keluarga petani karet (dalam tanggungan petani). i = jumlah petani karet yang diobservasi. d. Pengujian Hipotesis Sebelum dilakukan analisis regresi terlebih dahulu ditentukan model regresi yang lebih baik digunakan antara regresi linier atau log linier. Cara menentukan model regresi yang akan dipakai menggunakan metode MWD (Mackinnon, White dan Davidson). Setelah model regresi dipilih selanjutnya dilakukan beberapa pengujian pada model regresi tersebut antara lain : 1) Pengujian T – Statistik 2) Pengujian F – Statistik (Uji Menyeluruh) 3) Perhitungan Determinasi (R2)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Model Linier dan Log-Linier Berdasarkan hasil aplikasi motode MWD dengan menggunakan software eviews maka model yang baik digunakan untuk analisis regresi adalah model log-linier. 1.

2.

Hasil Pengujian Asumsi Klasik

a. Multikolinieritas Pada tabel 1 menunjukkan nilai R2 yang tinggi didukung dengan 3 dari 5 variabel yang tidak signifikan. Jika hanya mendeteksi multikolinieritas dari besarnya R2 maka hal ini menunjukkan dalam model terjadi multikolinieritas. Masalah multikolinieritas dalam metode OLS bukanlah suatu permasalahan berat karena tidak berhubungan dengan residual, dan asumsi estimator yang BLUE masih tetap didapatkan meskipun terjadi multikolinieritas. Dengan demikian tidak diperluakan ada perbaikan atau penyembuhan terhadap penyakit ini. b. Heteroskedastisitas Dari pengoperasian software eviews menunjukkan bahwa dalam model tidak terjadi heteroskedastisitas. c. Autokorelasi Dari hasil regresi terlihat, nilai DW statistik berada pada daerah tidak ada autokorelasi positif/ negatif dengan dL ≤ d ≤ 4 -dU.

44

Desember 2015

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

Gambar 4. Daerah Penerimaan DW statistik. 3.

Hasil Regresi Variabel-Variabel yang

Mempengaruhi Produksi Karet Model regresi mempertimbangkan 5 variabel yang digunakan untuk mengestimasi tingkat produksi karet yaitu luas lahan, jumlah pohon, jumlah tenaga kerja, intensitas penyadapan, dan musim. Tabel 1. menunjukkan hasil pengaruh 5 variabel faktor-faktor produksi terhadap tingkat produksi karet pada 60 sampel pekebun karet di Desa Pulau Harapan. Hasil regresi terlihat bahwa dari 5 variabel independen yang hanya 2 variabel yang berpengaruh terhadap variabel dependen, yaitu luas lahan dan jumlah tenaga kerja. Hal ini didukung dengan nilai ρ-value atau signifikansi pada kelima variabel independen hanya 2 variabel yang berada di bawah 5% yaitu luas lahan dan jumlah tenaga kerja. Hal ini berarti variabel luas lahan kebun karet dan jumlah tenaga kerja yang hanya mempengaruhi tingkat produksi karet, serta pengaruh variabe tersebut adalah positif. Luas lahan memberikan kontribusi terbesar yaitu 85,1% tehadap produksi. Hal

ini berarti jika pekebun menambahkan areal perkebunannya sebesar 1% maka produksi akan naik sebesar 85,1%. Semakin luas kebun yang dimiliki oleh pekebun maka semakin tinggi pula produksinya. Dalam hal ini jika terjadi perluasan lahan yang dimiliki pekebun, berarti usaha kebun tidak lagi berskala kecil dan sudah menuju usahatani komersil. Luas lahan memiliki hubungan positif dengan jumlah pohon yang ditanam. Lahan berperan sebagai media penanaman pohon, sehingga semakin bertambah areal perkebunan yang dimiliki petani maka semakin bertambah banyak pohon-pohon karet yang ditanam. Selanjutnya besarnya tambahan jumlah pohon tergantung jarak tanam bibit (Mubyarto dan Dewanta, 1991). Dari uji F membuktikan bahwa kelima variabel independen ini benar-benar merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat produksi karet, meskipun ketika diuji secara parsial menunjukkan 3 variabel tidak berpengaruh. Hasil determinasi (R2) sebesar 0,821991 atau 82,1%. Nilai ini lebih dari 80% dan masuk kategori nilai yang tinggi. Hal ini berarti bahwa

Tabel 1. Hasil Regresi Koefisien

T-Statistik

Probabilitas (ρ-value)

Keterangan

5.090606

1.458351

0.1505

-

0.851600

2.910377

0.0052

Signifikan

-0.239041

-0.806723

0.4234

Tidak Signifikan

Jumlah Tenaga Kerja (Orang)

0.280979

2.262807

0.0277

Signifikan

Intensitas Penyadapan (Hari/bulan)

0.798619

0.893610

0.3755

Tidak Signifikan

-0.188108

-1.363554

0.1784

Tidak Signifikan

Variabel Konstanta Luas Lahan (Ha) Jumlah Pohon

Musim R 2 = 0.821991 atau 82,1% F stat = 49.87116 DW stat = 1.865112

Desember 2015

45

Charitin Devi

kelima variabel independen telah mampu mewakili faktor-faktor yang mempengaruhi produksi karet sebesar 82,1%, sisanya sebesar 17,9% dijelaskan oleh variabel lain di luar kelima variabel tersebut.

miskin jika dilihat dari bagian pendapatan yang diterima tiap-tiap anggota keluarga.

Analisis Usahatani (Pendapatan Bersih Usahatani) Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan model farming income, menunjukkan bahwa total pendapatan bersih 60 pekebun karet sebesar Rp 604.502.666,00/bulan sedangkan pendapatan bersihnya per hektar areal kebun karet adalah Rp 2.121.498,50/bulan. Selanjutnya rata-rata pendapatan bruto per hektar sebesar Rp 2.939.403,67/bulan dan biaya variabel per hektar lahan sebesar Rp 817.905,00/bulan atau biaya variabel per tahun sebesar Rp 9.814.862,00/ hektar kebun. Besarnya pendapatan bersih per hektar lebih besar dibandingkan dengan upah minimum regional untuk wilayah Banyuasin tahun akhir 2008 yaitu Rp743.000,00. Hal ini berarti perkebunan karet yang diusahakan jauh lebih menghasilkan dan menguntungkan daripada harus bekerja di sektor lain sebagai buruh.

1.

4.

Dari data primer yang dikumpulkan, dapat dihitung pula besarnya upah buruh sistem bagi hasil dengan pemilik per bulan yaitu Rp389.730,00/hektar. Menurut pemilik, nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum sektor pertanian sebesar Rp807.000,00 yang juga sangat rendah. Dalam beberapa artikel menyatakan bahwa yang hidupnya tidak sejahtera bukanlah pekebun/petani karet tetapi buruh dalam perkebunan karet rakyat. Selain itu lebih menguntungkan jika seseorang memiliki perkebunan karet dibandingkan dengan bekerja hanya sebagai buruh perkebunan karet. Pendapatan bersih rata-rata untuk anggota keluarga pekebun karet per bulan adalah Rp587.562,00/ hektar kebun. Nilai ini dibandingkan dengan batas Garis Kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS untuk Sumatera Selatan pada akhir tahun 2008 sebesar Rp229.552,-/kapita/bulan adalah lebih tinggi. Oleh karena itu keluarga pekebun karet tidak termasuk dalam kategori penduduk

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

a. Berdasarkan hasil regresi menunjukkan hanya 2 variabel yang signifikan mempengaruhi produksi karet dari data yang dikumpulkan pada 60 sampel pekebun karet, yaitu luas lahan dan jumlah tenaga kerja, sedangkan jumlah pohon, intensitas penyadapan dan musim tidak berpengaruh terhadap tingkat produksi karet rakyat. b. Dengan menggunakan rumus farming income, diperoleh hasil perhitungan pendapatan bersih (FI) dari 60 sampel adalah Rp604.502.666,00/ bulan sedangkan pendapatan bersih per hektar kebun adalah Rp2.121.498,50/bulan dan jika dihitung dalam satu tahun adalah Rp25.457.981,70/hektar. Selanjutnya ratarata pendapatan bruto per hektar sebesar Rp2.939.403,67/bulan dan rata-rata biaya variabel per hektar sebesar Rp817.905,00/ bulan atau biaya variabel per tahun sebesar Rp 9.814.862,00/hektar kebun. c. Besarnya pendapatan per hektar kebun karet yang diperoleh tiap-tiap anggota keluarga pekebun adalah Rp548.663,00/ bulan dan dalam 1 tahun tiap-tiap anggota keluarga pekebun menikmati rupiah sebesar Rp6.583.960,00 per hektar kebun karet yang dimiliki. d. Jika dibandingkan besarnya rupiah yang diperoleh masing-masing anggota keluarga pekebun karet tersebut dengan Batas Garis Kemiskinan (GK) yang dipakai oleh BPS untuk Sumatera Selatan pada tahun 2008 adalah sebesar Rp229.552,00/kapita per bulan, maka pekebun masuk dalam kategori di atas batas garis kemiskinan (GK), karena pendapatan rata-rata anggota keluarga pekebun karet berada di atas batas garis kemiskinan.

46

Saran a. Dengan kontribusi yang diberikan oleh perkebunan sebesar 15,7% dari total sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, dan 70%nya merupakan bagian dari perkebunan karet rakyat maka pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas segala aspek terkait dengan perkebunan karet tersebut. Beberapa informasi yang banyak dipublikasikan oleh para ahli juga bisa menjadi masukan bagi pengambil keputusan di pemerintahan. b. Mengingat pekebun karet merupakan subjek utama keberhasilan atau kegagalan usaha perkebunan karet, maka sedini mungkin usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan kualitas perkebunan tersebut dimulai dan diprioritaskan pada pekebun. Pemerintah terkait harus bisa meningkatkan kualitas pekebun karet terlebih dahulu sebagai mata rantai paling dasar dan utama untuk selanjutnya meningkatkan kuantitas perekonomian nasional. Masalah utama yang terkait dengan pekebun karet sebagai tambahan informasi untuk pemerintah adalah karena kemampuan dan pengetahuan pekebun terhadap pengelolaan kebun adalah terbatas. Sebagian besar pekebun karet pada sampel 60 pekebun karet di lokasi penelitian tidak mengikuti penyuluhan yang dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan sehingga masalahmasalah mengenai pengelolaan perkebunan yang muncul pada masing-masing pekebun diatasi sendiri dengan modal pengetahuan terbatas, dan informasi-informasi pengelolaan perkebunan karet yang baik untuk mencapai hasil produksi optimal tidak diterima dengan baik. Bagi pekebun bukan suatu hal penting mengenai berapa besar hasil produksi yang seharusnya pada tiap-tiap hektar areal kebun karet didapatkan ataupun tingkat kualitas komoditas yang dihasilkan karena tujuan usaha kebun adalah bukan proyek bisnis atau mencari keuntungan tetapi pemenuhan kebutuhan keluarga. 2.

Desember 2015

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

DAFTAR PUSTAKA Ananta, Aris. 1987. Landasan Ekonometrika. PT. Gramedia. Jakarta. Aninomous. “Lebih Dari 80.000 Hektar Tanaman Karet Rusak”. Http://www.KOMPAS. com. Tanggal 10 Juli 2004. Aninomous. 2006. Kajian Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Penyusunan Strategi Pembangunan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian. Aninomous. “Pabrik Karet Terancam Gulung Tikar”. Http://www.Posmetropadang. com. Tanggal 22 Juli 2008. Aninomous. 2008. “Tahun 2015 Indonesia Menjadi Produsen Karet Alam Terbesar di Dunia”. Media Perkebunan. Edisi 66. Hal: 5-7. Aninomous. 2009. “200.000 Ha Kebun Karet Telantar, Peremajaan Karet Ditunda”. Konsorsium Pembaruan Agraria. Harian Kompas. Anwar,

Chairil. 2006. “Prospek dan Pengembangan. Agribisnis”. Makalah Lokakarya Nasional Budidaya. Medan.

Arif, Siratua. 1996. Teori Ekonomi Mikro dan Makro Lanjutan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Arifin, Bustanul. 2005. Pembangunan Pertanian (Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi). Grasindo, Jakarta. Awat,Napa J. 1995. Metode Statistik dan Ekonometri. Liberty. Yogyakarta. Barani, Acmad Mangga. 2007. “Pembangunan Perkebunan Masa Depan”. Di Disampaikan pada Rapat Senat Luar Biasa dalam rangka Dies Natalis VII dan Wisuda Sarjana Universitas Islam Makassar, tanggal 6 Juni 2007 di Makassar. BPS. Statistik Indonesia. Berbagai tahun terbitan. Boediono.

1982.

Ekonomi

Mikro.

BPFE.

Desember 2015

Charitin Devi

Yogyakarta. Firdaus,

Muhammad. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara. Jakarta.

Gittinger, J. Price. 1982. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Goenadi, Didiek H. dan Wayan R. Susila. 2005. “Teknologi dalam Bidang Perkebunan: Sekarang, Esok dan Kebutuhannya di Indonesia”. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. Gouyon, Anne. 2004. “Watani Karet”. RUPES Program. Bogor. Hartopo, Hendri. 2007. “Petani Terhimpit di Hulu dan Hilir”. Http://www.Hendrihartopo. Info.

47 Pembelian Bibit”. Bungo Pos, 20 Desember 2005.

PS, Tim Penulis. Karet (Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan), Penebar Swadaya, 1992. Ravianto, J. 1986. Produktivitas dan Pengukuran. Binaman Teknika Aksara. Jakarta. Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis (Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian). CV. Nasional, Jakarta. Sadikin, Ikin dan Rudi Irawan. 2008. “Dampak Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat terhadap Kehidupan Petani di Riau”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Irwanda, 1998. “Pengaruh Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Produksi Karet di Propinsi Kalimantan Barat (19821997)”. Tesis S2. Magister Ekonomi Pembangunan UGM, Yogyakarta.

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.

Soetrisno, Loekman dan Retno Winahyu. 1991. Kelapa Sawit: Kajian Sosial – Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

-------------, dan Awan Setya Dewanta. 1991. Karet (Kajian Sosial-Ekonomi). Aditya Media. Yogyakarta. Nurbiajanti, Siwi. “Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan Sumbang Kemiskinan Terbesar”. Http://www.KOMPAS.com. Tanggal 29 Oktober 2008. Nurcahyani, Wahid. 2008. ”Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Usaha Tani Padi Semi organic dan Non Organik terhadap Penggunaan Tenaga Kerja, Produksi dan Pendapatan Petani di Kabupaten Sragen”. Tesis S2. Ekonomi Pertanian. UGM, Yogyakarta. Parhusip, Adhy Basar. 2008. “Potret Karet Alam Indonesia”. Economic Review: No.213. Pdi. “Produktivitas Karet Rakyat Masih Rendah: Masyarakat Masih Terkecoh dalam

--------------. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta.

Sopian, Tatang. “Produksi Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis) Di Daerah Bercurah Hujan Tinggi Di Kabupaten Bogor”. Inovasi Online Vol.10/XX/Maret 2008. Spillane, James J. 1989. Komoditi Karet (Peranannya dalam Perekonomian Indonesia). Kanisius. Yogyakarta. Suhendra, E. Susy. 2005. Peranan Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia dengan Pendekatan InputOutput. Proceeding Seminar Nasional PESAT Universitas Gunadarma, Jakarta. Susila, Wayan R. dan Bambang Dradjat. 2008. Agribisnis Perkekebunan Memasuki Awal Abad 21: Beberapa Agenda Penting. Sekretariat Asosiasi Penelitian Perkebunan. Bogor.

48

EFEKTIF Jurnal Bisnis dan Ekonomi

Susilowati, Sri Hery. 2008. Peran Sektor Agroindustri dalam Perekonomian Nasional dan Pendapatan Rumah Tangga Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Thahar, Nasrul. “Petani Karet Jambi Terbelenggu Kemiskinan”. Http://www.KOMPAS. com. Tanggal 25 Juli 2000. --------------------. “Kemiskinan Identik dengan Penyadap Karet”. Http://www. KOMPAS.com. Tim penyusun Buletin Agro Inovasi, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Balitbang Deptan. Jakarta. Wibawa, Gede dan Sinung Hendratno. 2002. “Faktor Apa yang Mempengaruhi Petani dalam Pengambilan Keputusan Atas Pengelolaan Sistem Usaha Taninya di Jambi”. International Centre For Research In Agroforestry (ICRAF). Bogor. Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika. Ekonisia. Yogyakarta. Wiratha, I Made. 2005. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Zulkarnain. 2005. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Karet di Kebun Inti Air Molek I PT. Perkebunan Nusantara V Riau”. Tesis S2. Program PascaSarjana UGM, Yogyakarta.

Desember 2015