P‐ISSN: 2356‐1297 E‐ISSN : 2528‐7222
Volume 5, Nomor 1, Maret 2018
APLIKASI SITOKININ UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEH DI DATARAN RENDAH APPLICATION OF CYTOKININS TO ENHANCE TEA PLANT GROWTH IN THE LOWLANDS *
Santi Rosniawaty 1), Intan Ratna Dewi Anjarsari1), dan Rija Sudirja2)
Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 1) Jl. Raya Bandung-Sumedang, Km-21 Jatinangor 45363 *
[email protected] Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Universitas Padjadjaran 2) Jl. Raya Bandung-Sumedang, Km-21 Jatinangor 45363 (Tanggal diterima: 29 November 2017, direvisi: 14 Januari 2018, disetujui terbit: 30 Maret 2018) ABSTRAK Teh (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) merupakan salah satu komoditas primadona Jawa Barat. Upaya ekstensifikasi teh di dataran rendah dan lahan suboptimal diyakini dapat berkontribusi nyata terhadap perbaikan kesejahteraan petani. Perbedaan suhu di dataran rendah dengan di dataran tinggi akan berpengaruh pada metabolisme tanaman teh. Secara kultur teknis, untuk membentuk perdu dengan percabangan ideal, perlu dilakukan centering (pemangkasan). Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh pemberian sitokinin terhadap pertumbuhan tanaman teh setelah centering di dataran rendah. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, mulai bulan November 2016 sampai Juni 2017, dengan bahan tanaman teh berumur 10 bulan setelah tanam. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang 4 kali, dengan perlakuan perbedaan konsentrasi sitokinin. Sitokinin yang digunakan berasal dari air kelapa, dengan konsentrasi 25%, 50%, dan 75%, serta benzil amino purin (BAP) dengan konsentrasi 60 ppm, 90 ppm, dan 120 ppm, serta kontrol (tanpa sitokinin). Hasil penelitian menunjukkan pemberian sitokinin yang berasal dari air kelapa atau berupa BAP pada tanaman teh setelah centering hanya efektif hingga 3 bulan setelah aplikasi. Pada 1 dan 3 bulan setelah aplikasi, pemberian air kelapa 50% atau BAP 60 ppm meningkatkan pertambahan diameter batang, jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas. Oleh karena itu, air kelapa 50% atau BAP 60 ppm dapat dijadikan sumber sitokinin untuk tanaman teh di dataran rendah setelah centering. Kata kunci: Air kelapa, BAP, centering, teh
ABSTRACT Tea (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) is one of priority commodities in West Java. Extensification of tea plantation in lowland and suboptimal areas is believed to contribute significantly in improving the farmers welfare. Temperature differences between the lowland and highland areas affects the metabolism of tea plants. In technical culture, centering (pruning) is required to form the shrub with ideal branching. This study aimed to determine cytokinin effects on the growth of tea plants after centering in the lowland areas. The experiment was conducted at the Experimental Station of Faculty of Agriculture, Padjadjaran University, Jatinangor, from November 2016 until June 2017 using 10 months old tea plant materials. The experiments used a randomized block design with 4 replications. The treatment used was cytokinin derived from coconut water with concentration of 25%, 50%, and 75%, cytokinin in the form of benzyl amino purin (BAP) with concentration of 60 ppm, 90 ppm, and 120 ppm, and control (without cytokinin). The results showed that cytokinin derived from coconut water or in the form of BAP applied in tea plants after centering, was only effective up to 3 months after application. At 1 and 3 months after application, 50% coconut water or BAP 60 ppm increased the length of stem diameter, number of leaves, shoot length, and number of shoots. Therefore, coconut water with 50% concentration or BAP 60 ppm can be used as source of cytokinins for tea plants in the lowlands after centering. Keywords: BAP, centering, coconut water, tea
31
J. TIDP 5(1), 31-38 Maret, 2018
PENDAHULUAN Tanaman teh (Camellia sinensis [L.] O. Kuntze) pada umumnya tumbuh baik di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1.200 m di atas permukaan laut (dpl), meskipun tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 800 m dpl (Effendi et al., 2015), tetapi produktivitasnya lebih rendah. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman teh yang ditanam di daerah dataran rendah mengalami peningkatan fotosintesis disebabkan adanya peningkatan suhu udara (Lafta & Lorenzen, 1995). Menurut Bita (2013) suhu udara yang tinggi memiliki berbagai efek terhadap fisiologi dan biokimia tanaman. Hal itu disebabkan pada suhu yang lebih tinggi metabolisme tanaman berlangsung lebih cepat, sehingga pertumbuhan tunas semakin lambat. Oleh sebab itu, kecepatan metabolisme tanaman, seperti fotosintesis, transpirasi, dan respirasi, yang terjadi pada suhu udara tinggi harus diimbangi dengan ketersediaan bahan baku berupa CO2, H2O, enzim, dan hormon yang terlibat secara optimal. Teknik budi daya tanaman teh di dataran tinggi dan dataran rendah hampir sama, di antaranya adalah tahapan centering atau pemangkasan pada awal pertumbuhan tanaman teh. Tujuan centering adalah memacu pembentukan dan perkembangan tunas lateral dan membentuk bidang petik yang optimal pada tanaman teh. Kecepatan pertumbuhan tunas lateral setelah proses centering dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh (ZPT), yaitu sitokinin. Sitokinin dapat disintesa secara alami di dalam jaringan tanaman. Namun demikian, metabolisme tanaman yang tinggi di dataran rendah memerlukan tambahan sitokinin untuk memacu dan meningkatkan pertumbuhan tunas. Aplikasi sitokinin eksogen telah dilaporkan dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan tunas lateral (Yaish et al., 2010). Sitokinin sangat baik dalam menstimulasi sintesis protein dan berperan dalam kontrol siklus sel, sekaligus merangsang aktivitas pembelahan sel dan sangat efektif dalam meningkatkan inisiasi tunas (Taiz & Zeiger, 2002). Sitokinin dapat diperoleh dari bahan-bahan yang mudah ditemukan di alam, salah satunya adalah air kelapa. Air kelapa merupakan cairan endosperma dari buah kelapa yang mengandung asam amino, asam organik, asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral, dan ZPT (Yong et al., 2009). Senyawa ZPT yang penting dalam air kelapa adalah sitokinin (Priya & Ramaswamy, 2014). Selain sitokinin, air kelapa juga mengandung fitohormon, antara lain zeatin, absisic acid (ABA), indole-3-acetic acid (IAA), dan giberelin (Prades et al., 2012). Sumber sitokinin yang
32
lain, yaitu benzil amino purin (BAP), berperan dalam menstimulasi dan meningkatkan efisiensi kerja sintesis klorofil dengan cara menghapuskan periode lag sehingga dapat mempercepat laju pembentukannya (Pessarakli, 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan peranan air kelapa dan BAP dalam memacu pertumbuhan tanaman. Aplikasi air kelapa dengan cara disemprotkan pada tanaman fenugreek (sejenis tanaman obat) setiap 15 hari sekali sebanyak tiga kali dapat meningkatkan jumlah buah (dari 12 menjadi 27,24), jumlah cabang (dari 8 menjadi 9,7), dan tinggi tunas (dari 31 cm menjadi 55,51 cm), bila dibandingkan dengan tanpa pemberian air kelapa (Gaddamwar & Rajput, 2013). Hasil penelitian Darlina et al. (2016), menyatakan bahwa penyiraman air kelapa 200 ml/l menghasilkan jumlah daun, berat basah, dan berat kering tertinggi pada tanaman lada. Beberapa tanaman sayuran yang diberi air kelapa dengan konsentrasi 100%, 75%, dan 25%, dikombinasikan dengan pupuk anorganik, menunjukkan hasil panen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa pemberian air kelapa (Omo, 2013). Hasil penelitian Sariningtias et al. (2015) menunjukkan bahwa pemberian BAP dengan konsentrasi rendah pada dua varietas batang atas jeruk keprok tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada peubah keberhasilan okulasi dan pertumbuhan tunas tanaman sehingga disarankan dengan konsentrasi tinggi. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemberian sitokinin yang berasal dari air kelapa dan benzyl amino purin (BAP) terhadap pertumbuhan tanaman teh setelah centering di dataran rendah. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, mulai bulan Desember 2016 sampai Juni 2017. Lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat 750 m di atas permukaan laut (dpl), dengan tipe curah hujan C menurut SchmidtFerguson. Rata-rata suhu selama percobaan adalah 23,19ºC. Bahan yang digunakan adalah tanaman teh klon GMB 7 berumur 10 bulan. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang empat kali. Perlakuan yang diuji adalah: (1) tanpa pemberian sitokinin/kontrol, penyemprotan dengan air kelapa konsentrasi (2) 25%, (3) 50%, (4) 75%, serta penyemprotan dengan BAP konsentrasi (5) 60 ppm, (6) 90 ppm, dan (7) 120 ppm. Air kelapa yang digunakan dianalisis di Laboratorium Penguji Balai Penelitian Tanaman
Aplikasi Sitokinin untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Teh di Dataran Rendah (Santi Rosniawaty, Intan Ratna Dewi Anjarsari, dan Rija Sudirja)
Rempah dan Obat, Bogor. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 1. Larutan BAP dibuat dengan cara melarutkan serbuk BAP dalam 2–3 tetes alkohol 70% dan diencerkan dengan akuades hingga mencapai volume 80 ml. Untuk mendapatkan konsentrasi 60, 90, dan 120 ppm diperlukan serbuk BAP masing-masing sebanyak 0,0048; 0,0072; dan 0,0096 g. Tabel 1. Hasil analisis kandungan biokimia air kelapa Table 1. Biochemical content analysis of results of coconut water Variabel IAA (%) GA3 (%) Sitokinin (%) Kinetin (%) Zeatin (%) N (%) P (%) K (%) Na (%) Ca (%) Mg (%) C org (%) pH
Jumlah 0,0039 0,0018 0,0017 0,0053 0,0019 0,0180 13,8500 0,1200 0,0020 0,0060 0,0050 4,5200 5,7600
Dua minggu sebelum perlakuan sitokinin dilakukan centering, yaitu dengan cara memotong batang utama menggunakan gunting setek dan disisakan 5 helai daun. Aplikasi BAP dan air kelapa dilakukan 2 minggu setelah centering dengan cara disemprotkan ke seluruh bagian tajuk tanaman menggunakan handsprayer. Masingmasing tanaman disemprot dengan larutan sitokinin sebanyak 15 ml setiap 2 minggu sampai tanaman berumur 6,5 bulan. Jumlah tanaman sampel adalah 2 tanaman setiap perlakuan. Aplikasi ZPT dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 8.00 WIB. Peubah yang diamati adalah pertambahan diameter batang, jumlah daun, jumlah klorofil, dan luas daun. Diameter batang dan jumlah daun diamati sebulan
sekali setelah aplikasi sitokinin selama 7 bulan. Jumlah klorofil dan luas daun diamati pada umur tanaman 3 dan 7 bulan setelah pemberian sitokinin. Data yang diperoleh dianalisis ragam dengan uji F (Fisher) pada taraf 5%. Uji lanjut Duncan pada taraf 5% dilakukan apabila terdapat beda nyata antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan Diameter Batang Terdapat pengaruh sitokinin terhadap pertambahan diameter batang tanaman teh pada umur 1 bulan setelah aplikasi (BSA). Pemberian BAP sebesar 60 ppm menghasilkan pertambahan diameter batang terbesar dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan air kelapa 25%, tetapi pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Artinya, penggunaan air kelapa dengan konsentrasi 50% dan 75% memberikan hasil yang setara dengan BAP 60 ppm (Tabel 2). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ayuningsari et al. (2017) bahwa pemberian BAP 60 ppm memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan diameter batang teh pada umur 2 minggu setelah aplikasi. Sitokinin diketahui dapat mempercepat biosintesis klorofil sehingga mampu meningkatkan proses fotosintesis, yaitu berupa peningkatan penambatan CO2 oleh klorofil, dan hasilnya digunakan untuk pembesaran diameter batang. Peningkatan CO2 telah dilaporkan mendorong pertumbuhan diameter batang (Thornley, 1999). Pemberian sitokinin juga diketahui berpengaruh terhadap pembentukan akar (Wróblewska, 2013). Pembentukan akar yang lebih intensif dapat meningkatkan penyerapan hara oleh tanaman.
Tabel 2. Pengaruh sitokinin dari sumber berbeda terhadap pertambahan diameter batang pada 1 sampai 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Table 2. Effects of cytokinins derived from different sources on increasing the stem diameter of tea plants from 1 to 7 months after application (MAA) Perlakuan Kontrol Air kelapa 25% Air kelapa 50% Air kelapa 75% BAP 60 ppm BAP 90 ppm BAP 120 ppm
1 BSA 0,09 a 0,15 ab 0,29 bc 0,16 abc 0,31 c 0,26 bc 0,25 bc
2 BSA 0,37 0,56 0,69 0,46 0,71 0,72 0,66
Pertambahan diameter batang (mm) pada 3 BSA 4 BSA 5 BSA 0,91 1,15 1,48 1,23 1,49 1,75 1,13 1,46 1,71 1,01 1,42 1,87 1,17 1,44 1,81 1,26 1,69 1,96 1,24 1,88 2,36
6 BSA 1,75 1,94 2,22 2,35 2,19 2,28 3,02
7 BSA 1,99 2,08 2,62 2,38 2,49 2,87 3,51
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5% Notes : Numbers followed by the same letters in each column are not significantly different according to Duncan’s test at 5% level
33
J. TIDP 5(1), 31-38 Maret, 2018
Tabel 3. Pengaruh sitokinin dari sumber berbeda terhadap pertambahan jumlah daun pada 1 sampai 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Table 3. Effects of cytokinins derived from different sources on increasing the leaf numberof tea plants from 1 to 7 months after application (MAA) Pertambahan jumlah daun (helai) pada Perlakuan 1 BSA 2 BSA 3 BSA 4 BSA 5 BSA 6 BSA 7 BSA Kontrol 5,75 a 10,50 14,00 23,00 25,25 24,13 31,88 Air kelapa 25% 7,88 ab 14,75 19,50 38,75 39,13 33,75 35,13 Air kelapa 50% 9,50 abc 15,25 19,75 41,00 40,38 35,63 38,13 Air kelapa 75% 8,75 ab 14,88 16,63 35,00 33,75 30,38 35,25 BAP 60 ppm 11,00 bc 17,00 20,50 35,13 30,25 29,38 32,25 BAP 90 ppm 10,13 bc 15,25 21,00 27,13 26,13 27,63 32,75 BAP 120 ppm 15,13 c 22,63 26,50 47,38 50,75 48,00 49,00 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5% Notes : Numbers followed by the same letters in each column are not significantly different according to Duncan’s test at 5% level
Hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh pemberian sitokinin terhadap pertambahan diameter batang umur 2–7 BSA. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan hormon endogen pada tanaman teh sudah dalam taraf yang memadai untuk memacu pertumbuhan diameter batang. Hasil penelitian dari Matsumoto et al. (2008) menunjukkan bahwa sitokinin endogen berperan dalam signal jarak jauh dalam mendukung perkembangan kambium pada batang. Pertambahan Jumlah Daun Aplikasi sitokinin berpengaruh terhadap pertambahan jumlah daun pada 1 BSA. Pemberian BAP
120 ppm mampu meningkatkan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan kontrol dan air kelapa (25% dan 75%), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan air kelapa 50% dan BAP (60 dan 90 ppm). BAP diketahui memiliki efek penghambatan pada proses penuaan. Daun yang diberi perlakuan BAP akan tetap hijau beberapa hari lebih lama dibandingkan dengan yang tidak diberi BAP (Tabel 3). Pemberian BAP disarankan karena dapat menginduksi peningkatan aliran hara melalui jaringan vaskuler ke jaringan daun dan mencegah pengangkutan zat dari daun. Hasil studi menunjukkan bahwa konsentrasi BAP endogen akan menurun seiring dengan perkembangan penuaan daun (Smith et al., 1988).
60 50 Jumlah Klorofil (cci)
Kontrol 40
Air Kelapa 25 % Air Kelapa 50 %
30
Air Kelapa 75 % BAP 60ppm
20
BAP 90ppm BAP 120ppm
10 0 33 bsa BSA
77 bsa BSA
Gambar 1. Grafik jumlah klorofil pada 3 dan 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Figure 1. The graph of chlorophyll number at 3 and 7 month after application (MAA)
34
Aplikasi Sitokinin untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Teh di Dataran Rendah (Santi Rosniawaty, Intan Ratna Dewi Anjarsari, dan Rija Sudirja)
2500
Luas Daun (cm2)
2000
A = Kontrol B = Air Kelapa 25%
1500
C = Air Kelapa 50% D = Air Kelapa 75%
1000
E = BAP 60 ppm F = BAP 90 ppm
500
0
G = BAP 120 ppm
3 BSA 3 bsa
7 BSA 7 bsa
Gambar 2. Grafik luas daun pada 3 dan 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Figure 2. The graph of leaves area at 3 and 7 months after application (MAA)
Jumlah Klorofil dan Luas Daun Pada Gambar 1 terlihat adanya peningkatan jumlah klorofil pada perlakuan pemberian sitokinin, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Sitokinin dapat mempercepat biosintesis klorofil (Cortleven, 2015). Adanya sitokinin akan membantu perkembangan kloroplas, sekaligus menyebabkan akumulasi klorofil dan mendorong konversi etioplas menjadi kloroplas (Davies, 2010). Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah klorofil tertinggi pada perlakuan air kelapa 25% dan BAP 120 ppm. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi et al. (2017) menunjukkan bahwa dalam kondisi normal, aplikasi sitokinin eksogen (6benzyladenine) mampu mendorong biosintesis klorofil pada daun. Akumulasi klorofil penting dalam respons terhadap cekaman abiotik karena sel tanaman harus mengatur metabolisme secara ketat agar sesuai dengan mesin fotosintesis (Tanaka et al., 2011). Pada Gambar 2 terlihat peningkatan luas daun dari 3 BSA ke 7 BSA. Hal ini menunjukkan pertumbuhan luas daun walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Luas daun pada perlakuan kontrol peningkatannya tidak sebaik pada perlakuan pemberian sitokinin. Hal ini menunjukkan sitokinin mampu meningkatkan kerja meristem untuk meningkatkan luas daun. Perlakuan BAP 120 ppm menghasilkan peningkatan luas daun yang tinggi. Menurut Davies (2010), perkembangan luas daun merupakan hasil dari pembesaran dan pemanjangan sel. Luas daun total menyesuaikan dengan tingkat pertumbuhan akar. Sitokinin secara positif mengatur pembelahan sel dalam
daun yang sedang tumbuh serta menginisisi gerigi daun pada pinggiran, sekaligus dapat menghambat penuaan daun (Efroni et al., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Li & Xu (2014) menunjukkan bahwa aplikasi sitokinin dan IAA menyebabkan peningkatan yang signifikan pada fotosintesis yang terjadi di daun pada tahap pertumbuhan selanjutnya. Pertambahan Jumlah Tunas Hasil analisis statistik yang tercantum pada Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sitoknin dari sumber berbeda terhadap pertambahan jumlah tunas pada 1 BSA dan 3 BSA. Pada umur 1 BSA, pemberian sitokinin dari BAP menyebabkan pertambahan jumlah tunas lebih tinggi dibandingkan dengan sitokinin dari air kelapa. Pada umur 3 BSA, pemberian sitokinin pada konsentrasi 120 ppm berpengaruh paling baik terhadap pertambahan jumlah tunas, tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 60 ppm. Hasil penelitian Ayuningsari et al. (2017) menunjukkan bahwa pemberian BAP 60 ppm memberikan pengaruh terbaik pada jumlah tunas tanaman teh pada umur 2 minggu setelah aplikasi. Sitokinin memberikan pengaruh terhadap pertambahan tunas karena selain menstimulasi pembelahan sel, aplikasi sitokinin juga dapat melepaskan tunas aksiler dari apikal dominan (Davies, 2010). Namun demikian, tidak semua tanaman merespon kondisi tersebut, hal ini diduga karena tanaman sudah memiliki kandungan sitokinin endogen yang cukup.
35
J. TIDP 5(1), 31-38 Maret, 2018
Tabel 4. Pengaruh sitokinin dari sumber berbeda terhadap pertambahan jumlah tunas pada 1 sampai 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Table 4. Effects of cytokinins derived from different sources on increasing the number of shoots of the plants from 1 to 7 month after application (MAA) Perlakuan Kontrol Air kelapa 25% Air kelapa 50% Air kelapa 75% BAP 60 ppm BAP 90 ppm BAP 120 ppm
1 BSA 1,00 a 1,25 a 1,50 a 1,50 a 2,75 b 2,75 b 3,13 b
2 BSA 2,63 3,00 3,00 2,88 3,88 3,63 4,88
Pertambahan jumlah tunas (buah) pada 3 BSA 4 BSA 5 BSA 4,13 a 5,38 5,75 4,88 ab 6,25 7,75 4,88 ab 6,13 7,13 4,38 a 7,38 8,38 6,88 bc 7,50 8,25 6,50 ab 6,88 8,13 8,88 c 11,25 12,75
6 BSA 8,5 8,13 8,25 9,25 9,13 8,75 14,13
7 BSA 7,63 8,38 8,25 8,13 10,13 9,38 14,75
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5% Notes : Numbers followed by the same letters in each column are not significantly different according to Duncan’s test at 5% level Tabel 5. Pengaruh sitokinin dari sumber berbeda terhadap pertambahan panjang tunas pada 1 sampai 7 bulan setelah aplikasi (BSA) Table 5. Effects of cytokinins derived from different sources on increasing the shoot length of the plants from 1 to 7 months after application (MAA) Perlakuan Kontrol Air kelapa 25% Air kelapa 50% Air kelapa 75% BAP 60 ppm BAP 90 ppm BAP 120 ppm
1 BSA 3,78 5,41 7,74 6,08 4,73 5,00 10,39
2 BSA 7,56 a 11,30 ab 15,99 ab 14,65 ab 7,91 a 7,71 a 21,74 b
Pertambahan panjang tunas (cm) pada 3 BSA 4 BSA 5 BSA 6 BSA 10,16 12,83 14,04 16,05 14,18 17,01 18,40 20,19 20,95 22,24 22,93 25,49 18,39 22,20 25,06 26,78 11,53 13,43 14,88 15,85 10,81 14,46 15,64 20,05 25,25 27,73 28,88 31,76
7 BSA 14,46 20,34 25,91 26,06 16,21 21,18 32,71
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5% Notes : Numbers followed by the same letters in each column are not significantly different according to Duncan’s test at 5% level
Menurut Hartmann et al. (2010), tanaman yang berbeda dapat merespon hormon sitokinin dan auksin dalam berbagai konsentrasi secara berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan konsentrasi hormon endogen tanaman itu sendiri. Sitokinin pertama kali terakumulasi di akar, kemudian di cairan xylem, dan akhirnya di daun. Sitokinin mewakili sinyal jarak jauh untuk ketersediaan nitrogen/nutrisi dari akar ke tunas, diduga untuk mengkoordinasikan pengembangan tunas dan akar (Miyawaki et al., 2004; Takei et al., 2004). Namun demikian, menurut Tanaka et al. (2006), saat ini telah diketahui bahwa sitokinin dapat menginisiasi munculnya tunas aksiler yang disintesis secara lokal pada nodus batang. Selain itu, menurut Hwang et al. (2012), sitokinin memegang peranan penting dalam menjaga ukuran dan aktivitas shoot apical meristem (SAM) dan root apical meristem (RAM). Hal ini sejalan dengan pendapat Kieber & Schaller (2014), aktivitas sitokinin adalah elemen kunci dalam membangun dan mengatur pembelahan sel di SAM.
36
Pertambahan Panjang Tunas Tabel 5 memperlihatkan bahwa pemberian sitokinin BAP 120 ppm menghasilkan rata-rata pertambahan panjang tunas lebih baik dibandingkan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan air kelapa 25%, 50%, dan 75% pada 2 minggu setelah aplikasi. Keseimbangan sitokinin endogen dan eksogen tampaknya menentukan terbentuknya tunas dan pertumbuhan tananam teh yang sudah di-centering. Lazim et al. (2015) mengemukakan bahwa air kelapa mengandung zat atau bahan-bahan seperti karbohidrat, vitamin, mineral, protein, zat tumbuh auksin, serta mengandung hormon sitokinin. Kecenderungan munculnya tunas dan pertumbuhan tanaman teh dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Roman et al., 2016). Faktor internal diantaranya adalah sifat genetik dan komposisi hormon pada tanaman untuk mempercepat dan merangsang pemanjangan sel dan batang yang lebih banyak, dibantu oleh hormon giberelin. Aktivitas sitokinin adalah elemen kunci dalam membangun dan mengatur pembelahan sel di SAM, dengan penelitian genetik yang menunjukkan bahwa sitokinin adalah
Aplikasi Sitokinin untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Teh di Dataran Rendah (Santi Rosniawaty, Intan Ratna Dewi Anjarsari, dan Rija Sudirja)
regulator positif proliferasi sel di SAM (Kieber & Schaller, 2014). Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pertunasan adalah sinar matahari. Menurut Pawirosemadi (2011), pengaruh intensitas cahaya matahari erat kaitannya dengan kandungan hormon dalam jaringan tanaman. Intensitas cahaya matahari yang tinggi, seperti di dataran rendah, menyebabkan jaringan tanaman menerima paparan sinar matahari langsung sehingga akan menurunkan kandungan IAA akibat proses degradasi oksidatif. Hal ini mengakibatkan laju perpanjangan batang menurun dan menginisiasi tunas lateral. Berdasarkan hasil penelitian di atas, diketahui bahwa efektifitas pemberian sitokinin hanya terlihat sampai 3 bulan setelah centering, hal ini diduga karena hormon sitokinin endogen telah dapat memenuhi kebutuhan hormon pada tanaman teh. Daun-daun mulai tumbuh dan berfotosintesis sehingga dapat membentuk hormon sitokinin. Campbell & Reece (2003) mengemukakan bahwa gula yang dibuat dalam kloroplas memasok energi kimiawi dan rangka karbon untuk mensintesis semua molekul organik seperti protein dan lipid ke seluruh bagian tumbuhan. KESIMPULAN Pemberian sitokinin yang berasal dari air kelapa atau BAP pada tanaman teh di dataran rendah setelah centering hanya efektif hingga 3 bulan setelah aplikasi. Pada 1 dan 3 bulan setelah aplikasi, pemberian BAP 60 ppm atau air kelapa 50% meningkatkan pertambahan diameter batang, pertambahan jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas. Dengan demikian, penggunaan air kelapa 50% atau BAP 60 ppm dapat dijadikan sumber sitokinin untuk memacu pertumbuhan tanaman teh setelah centering di dataran rendah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Riset, PKM dan Inovasi Universitas Padjadjaran, melalui Hibah Internal Unpad (RFU) TA 2017 penelitian ini dapat diselenggarakan.
DAFTAR PUSTAKA Ayuningsari, I., S. Rosniawaty, Y. Maxiselly, I. R. D., & Anjarsari. (2017). Pengaruh konsentrasi benzyl amino purine terhadap pertumbuhan beberapa klon tanaman teh [Camellia sinensis L. (O.) Kuntze] belum menghasilkan di dataran rendah. Kultivasi, 16(2), 356–361. Bita, C. E., & Gerats, T. (2013). Plant tolerance to high temperature in a changing environment: Scientific fundamentals and production of heat stress-tolerant crops. Plant Sci., 4(273). doi.org/10.3389/fpls.2013.00273 Campbell, N. A., Reece, J. B., & Mitchell, L. G. (2003). Biologi (terjemahan) Jilid 1 (p. 198). Jakarta: Erlangga. Cortleven, A., & Schmulling, T. (2015). Regulation of chloroplast development and function by cytokinin (Review Paper). Journal of Experimental Botany, 66(16), 4999–5013. doi.org/10.1093/jxb/erv132 Darlina, Hasanuddin, & Rahmatan, H. (2016). Pengaruh penyiraman air kelapa (Cocos nucifera L.) terhadap pertumbuhan vegetatif lada (Piper nigrum L.). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Biologi, 1(1), 20–28. Davies, P. J. (2010). The plant hormones: Their nature, occurrence, and functions. Department of Plant Biology. Cornell University, Ithaca, New York 14853, USA. Effendi, D.S., M. Syakir, M. Yusron, W. (2015). Budi daya dan Pasca Panen Teh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Efroni, I., Han, S. K., Kim, H. J., Wu, M. F., Steiner, E., Birnbaum, K. D., Hong, J. C., Eshed, Y., & Wagner, D. (2013). Regulation of leaf maturation by chromatin-mediated modulation of cytokinin responses. Dev. Cell, 24, 438–445. Gaddamwar, A., & Rajput, P. R. (2013). Influence of constituents of coconut water on fenugreek plant. International Journal of Herbal Medicine, 1(2), 162–168. Roman, H., Girault, T., Barbier, F., Péron, T., Brouard, N., Pencík, A., …….. Leduc, N. (2016). Cytokinins are initial targets of light in the control of bud outgrowth. Plant Physiology, 172, 489–509.
37
J. TIDP 5(1), 31-38 Maret, 2018
Hartmann, A., Senning, M., Hedden, P., Sonnewald, U., & Sonnewald, S. (2010). Reactivation of meristem activity and sprout growth in potato tubers require both cytokinin and gibberellin. Plant Physiology, 155(2), 776–796. Hwang, I., Sheen, J., & Muller, B. (2012). Cytokinin signalling network. Annu. Rev. Plant Biology, 63, 353– 380. Kieber, J. J., & Schaller, G. E. (2014). Cytokinins. Arabidopsis Book. doi.org/e0168, doi/10.1199/tab.0168 Kobayashi, K., Ohnishi, A., Sasaki, D., Fujii, S., Iwase, A., Sugimoto, K., Masuda, T., & Wada, H. (2017). Shoot removal induces chloroplast development in roots via cytokinin signaling. Plant Physiology, 173, 2340–2355. Lafta, A. M., & Lorenze, J. H. (1995). Effect of high temperature on plant growth and carbohydrate metabolism in potato. Plant Physiol, 109, 637–643. Lazim, M. I. M., Badruzaman, N. A., Peng, K. S., & Long, K. (2015). Quantification of cytokinins in coconut water from different maturation stages of Malaysias Coconut (Cocos nucifera L.) varieties. J Food Process Technol, 6(11). doi.org/10.4172/21577110.1000515 Li, X., & Xu, K. (2014). Effects of exogenous hormones on leaf photosynthesis of panax ginseng. Photosynthetica, 52(1), 152–156. Matsumoto-Kitano, M., Kusumoto, T., Tarkowski, P., Kinoshita-Tsujimura, K., Vaclavikova, K., Miyawaki, K., & Kakimoto, T. (2008). Cytokinins are central regulators of cambial activity. In Proceedings of the National Academy of Sciences, USA (pp. 20027–20031). Miyawaki, K., Matsumoto-Kitano, M., & Kakimoto, T. (2004). Expression of cytokinin biosynthetic isopentyltransferase genes in arabidopsis: Tissue specificity and regulation by auxin, cytokinin, and nitrate. Plant J, 37, 128–138. Omo, G. D. (2013). Vegetables, growth and yield of selected water, sprayed with mature coconut. International Scientific Research Journal, V(3), 2094– 1749. Pawirosemadi, M. (2011). Dasar-dasar teknologi budidaya tebu dan pengolahan hasilnya. UM Press. Malang. Pessarakli, M. (2005). Handbook of photosynthesis (2nd ed.). CRC Press.
38
Prades, A., Dornier, M., Diop, N., & Pain, J. P. (2012). Coconut water uses, composition and properties. The International Journal of Tropical & Subtropical Horticulture, 67(2), 157–171. Priya, S. A., & Ramaswamy, L. (2014). Tender coconut water–natures elixir to mankind. International Journal of Recent Scientific Research, 5(8), 1485–1490. Sariningtias, N. W., Poerwanto, R., & Gunawan, E. (2014). Penggunaan benzil amino purin (BAP) pada okulasi jeruk keprok (Citrus reticulata). Jurnal Hortikultura Indonesia, 5(3), 158–167. Smith, C. J. S., Watson, C. F., Ray, J., Bird, C. R., Morris, P. C., Schuch, W., Grierson, D. (1988). Antsense gene expression in transgenic tomatoes nature. Nature, 334, 724–726. Taiz, L., & Zeiger, E. (2002). Plant physiology and development (3rd ed.). Sinauer Associates, Inc., Publishers. Sunderland, Massachusetts. Takei, K., Ueda, N., Aoki, K., Kuromori, T., Hirayama, T., Shinozaki, K., Yamaya, T., & Sakakibara, H. (2004). AtIPT3 is a key determinant of nitrate-dependent cytokinin biosynthesis in Arabidopsis. Plant and Cell Physiology, 45, 1053–1062. Tanaka, R., Kobayashi, K., & Masuda, T. (2011). Tetrapyrrole metabolism in Arabidopsis thaliana. Arabidopsis Book 9:e0145. Tanaka, M., Takei, K., Kojima, M., Sakakibara, H., Mori, H. (2006). Auxin controls local cytokinin biosynthesis in the nodal stem in apical dominance. Plant J, 45, 1028–1036. Thornley, J. H. (1999). Modelling stem height and diameter growth in plants. Annals of Botany, 84, 195–205. Wróblewska, K. (2013). Benxyladenine effect on rooting and axillary shoot out growth of Gaura lindheimeri Engelm a gray cuttings. Hortorum Cultus, 12(3), 127–126. Yaish, M. W. F., Guevara D. R., El-kereamy, A., & Rothstein, S. J. (2010). Axillary shoot branching in plants (Chapter 3). ©Springer-Verlag Berlin Heidelberg. doi 10.1007/978-3-642-02301-9_3 Yong, J. W. H., Ge, L., Ng, Y. F., & Tan, S. N. (2009). The chemical composition and biological properties of coconut (Cocos nucifera L.) water. Molecules, 14(12), 5144–5164. doi.org/10.3390/molecules14125144