BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KELARUTAN

Download Fenomena ini selanjutnya dikenal dengan. “Hidrotropisme” (Rasool dkk ... kajian tentang kelarutan senyawa aktif PGV-0 di dalam sistemn hidr...

0 downloads 485 Views 516KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan adalah sifat instrinsik dari zat terlarut (solut) baik berupa padat, cair, atau gas untuk dapat terlarut di dalam pelarut (solven) dan membentuk larutan yang homogen. Kelarutan merupakan salah satu parameter fisikokimia yang penting dalam studi preformulasi obat yang kemudian akan menentukan bentuk sediaan obat yang cocok. Molekul obat umumnya harus memiliki kelarutan di dalam cairan fisiologis usus atau berada di dalam larutan air, sehingga obat dapat diabsrobsi secara sistemik dan menghasilkan efek farmakologis yang dinginkan (Stegemann dkk, 2007; Chaurasia, 2016). Hal ini menjadikan kelarutan obat di dalam air sebagai indikator utama yang mempengaruhi kelarutan obat di dalam cairan fisiologis usus dan potensi yang dihasilkan dari bioavailibilitasnya. Senyawa Pentagamavunon-0 dengan nama kimia 2,5-bis-(4’-hidroksi-3’metoksibenzilidin) siklopentanon merupaka senyawa hasil modifikasi struktur kurkumin yang disintesis oleh Tim Peneliti Fakultas Farmasi UGM. Pentagamavunon-0 telah terbukti memiliki potensi antioksidan dan antiinflamasi (Sardjiman, 2000). PGV-0 dapat terlarut dalam pelarut organik seperti dalam etanol 3,8 mg/5ml dan dalam metanol 14,9 mg/ml, tetapi PGV-0 praktis tidak larut di dalam air (Kurniawati, 1999).

Hal ini mengakibatkan PGV-0 sulit

diabsorbsi dalam cairan gastrointestinal dan memiliki bioavailibilitas rendah di dalam tubuh. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kelarutan PGV-O dengan sistem hidrotropik.

1

2

Sistem hidrotropik adalah sistem solubilisasi untuk meningkatkan kelarutan obat tak larut melalui penambahan sejumlah besar zat terlarut lain atau disebut zat hidrotrop. Zat hidrotrop merupakan zat yang dapat melarutkan komponen hidofobik dalam larutan air. Zat hidrotrop tersusun atas bagian hidrofilik dan hidrofobik (seperti surfaktan) (Deepshikha dkk, 2012). Peningkatan kelarutan molekul tak larut oleh zat hidrotrop terjadi dengan proses kompleksasi melalui pembentukan interaksi lemah Van der Waals seperti ikatan π–π atau ikatan dipoldipol antara molekul tak larut dengan zat hidrotrop (Kumar dkk, 2014; Neumann dkk, 2007; Maheshwari dkk, 2007). Fenomena ini selanjutnya dikenal dengan “Hidrotropisme” (Rasool dkk, 1991). Zat hidrotrop yang digunakan dapat berupa garam anionik, kationik, atau netral, organik atau anorganik dan cairan atau padatan (Dhapte dan Mehta, 2016). Dalam penelitian ini, natrium benzoat merupakan garam anionik digunakan yang digunakan sebagai agen hidrotrop. Natrium benzoat sudah

banyak dimanfaatkan sebagai zat hidrotrop untuk

meningkatkan kelarutan dari obat yang sukar larut, seperti ibuprofen, lornoxicam, cephalexin, dan ketoprofen (Maheswari dkk, 2008). Peningkatan kelarutan PGV0 oleh natrium benzoat terjadi melalui mekanisme kompleksasi antara natrium benzoat dengan PGV-0. Natrium benzoat dapat mebantu meningkatkan kelarutan PGV-0 karena natrium benzoat bersifat mudah larut di dalam air (Dhapte dan Mehta, 2015).

3

B.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penambahan natrium benzoat sebagai zat hidrotrop terhadap peningkatan kelarutan PGV-0? 2. Bagaimana

pengaruh pH terhadap kelarutan PGV-0 dalam sistem

hidrotropik dengan natrium benzoat sebagai agen hidrotrop? 3. Bagaimana parameter termodinamika yang terjadi selama proses kelarutan PGV-0? C.

Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman mahasiswa dalam mengkaji dan menganalisis tentang pengaruh sistem hidrotropik terhadap kelarutan PGV-0 dengan natrium benzoat sebagai agen hidrotropnya. 2. Bagi Akademisi dan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu dasar yang menambah kajian tentang kelarutan senyawa aktif PGV-0 di dalam sistemn hidrotropik dengan natrium benzoat sebagai agen hidrotrop, sehingga dapat mendukung penelitian lanjutan untuk menciptakan bentuk sediaan yang cocok untuk senyawa aktif PGV-0 dan menemukan manfaat lain dari natrium benzoat sebagai agen hidrotrop yang untuk membantu meningkatkan kelarutan senyawa tidak larut lainnya.

4

3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar terciptanya produk obat dengan senyawa aktif PGV-0 dengan bentuk sediaan yang cocok, sehingga produk obat PGV-0 dapat memberikan efek terapi optimal bagi penggunanya. D.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh penambahan natrium benzoat sebagai agen hidrotrop terhadap peningkatan kelarutan PGV-0. 2. Mengetahui pengaruh variasi pH larutan dapar sebagai pelarut larutan natrium benzoat dalam sistem hidrotropik terhadap peningkatan kelarutan PGV-0. 3. Mengetahui parameter termodinamika yang terjadi selama proses kelarutan PGV-0 dalam sistem hidrotropik E. 1.

Tinjauan Pustaka

Kelarutan Kelarutan adalah sifat instrinsik zat terlarut (solut) baik berupa padat, cair,

atau gas untuk dapat terlarut dalam pelarut (solven) dan membentuk larutan yang homogen. Tingkat kelarutan suatu zat dalam pelarut tertentu dihitung sebagai konsentrasi jenuhnya, yaitu saat penambahan yang berlebih solut tidak akan meningkatkan konsentrasinya dalam larutan (Savjani dkk, 2012). Kelarutan suatu zat terlarut dinyatakan sebagai komposisi analit pada larutan jenuh atau diistilahkan dengan proporsi dari zat terlarut yang ditunjuk dalam pelarut yang ditunjuk (Anonim, 1997). Kelarutan dapat dinyatakan dalam konsentrasi,

5

molalitas, fraksimol dll. Jumlah kesetimbangan maksimal zat terlarut yang dapat larut per jumlah pelarut adalah kelarutan dari zat terlarut dalam pelarut tersebut pada kondisi tertentu. Kelarutan obat menjadi faktor penting yang menentukan jumlah komponen yang akan terlart dan tesedia untuk diabsorpsi. Senyawa dengan kelarutan air yang rendah memiliki disolusi dan absorbsi yang terbatas di dalam saluran pencernaan. Dalam biofarmasetika, kelarutan menjadi parameter penting yang dicantumkan dalam sistem pengelompokan biofarmasetika (Biopharmaceutical Classification System/ BCS), obat-obatan diklasifikasikan menjadi empat bagian berdasarkan sifat kelarutan dan permeabilitasnya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Sistem Klasifikasi Biofarmasetik

Kelarutan Permeabilitas Permeabilitas tinggi

Permeabilitas rendah

Kelarutan rendah

Kelarutan tinggi - Kelarutan tinggi - Permeabilitas tinggi - Contoh: parasetamol, asiklovir, antipirin glukosa, diazepam - Pola absorbsi: diabsorbsi dengan baik

- Kelarutan rendah

- Kelarutan tinggi - Permeabilitas rendah - Contoh: amoksisilin, cetrizin, dikloksasilin, klosaksilin, dan Famotidin, parasetamol, asiklovir, antipirin glukosa, diazepam

- Kelarutan rendah - Permeabilitas rendah - Contoh: ampoterisin, furoemid, mebendazol, nomisin, kolistin

- Permeabilitas tinggi - Contoh : dapson, glipizid, carvedilol, - Pola absorbsi: bervariasi

absorbsi

- Pola absorbsi: absorbsi buruk

- Pola absorbsi: absorbsi bervariasi (Wu dan Benet, 2005; Dahlan dkk, 2009; Sajid dan Choudhary , 2012)

6

Pengelompokan BCS bertujuan untuk memperhitungkan dosis obat yang diperlukan karena obat dalam dosis yang rendah akan lebih cukup larut di dalam cairan usus pada saluran penceernaan, sementara tidak untuk dosis yang lebih tinggi dengan kelarutan di dalam air yang sama. Untuk menggambarkan kelarutan, USP dan British Pharmacopeia mengelompokkan kelarutan menjadi beberapa kriteria yang dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Kelarutan Berdasarkan USP dan British Pharmacopeia

Deskripsi Istilah

Jumlah Pelarut yang Dibutuhkan per Jumlah Zat Terlarut

Sangat larut

Kurang dari 1

Praktis larut

Dari 1 sampai 10

Larut

Dari 10 sampai 30

Sebagian larut

Dari 30 sampa100

Sedikit larut Sangat sedikit larut Praktis tidak larut

Dari 100 sampai 1000 Dari 1000 sampai 10.000 Lebih dari 10.000

Berdasarkan Martin dalam Diana (2004), proses kelarutan terdiri atas beberapa tahap yaitu: a.

Tahap 1 Proses yang tejadi pada tahap 1 adalah pemindahan molekul dari fase

terlarut pada suhu tertentu. Pemindahan molekul fase terlarut terjadi melalui pemecahan ikatan antara molekul-molekul yang berdekatan. Jika pemecahan terjadi pada 2 molekul berdekatan, maka interaksi antara molekul terlarutnya dinotasikan dengan 22 , dan kerja pemecahan ikatannya dinotasikan dengan 2W22..

7

Namun, apabila molekul melepaskan diri dari zat terlarut dan menerima kembali ½ energinya, maka energi yang diterima pada proses ini dinotasikan dengan W22. b.

Tahap 2 Proses yang terjadi adalah pembentukan lubang dalam pelarut yang cukup

besar untuk menerima pelarut. Pada tahap ini terjadi interaksi antara molekul – molekul pelarut, kerjanya dinotasikan dengan W11. c.

Tahap 3 Proses yang terjadi adalah penempatan molekul terlarut ke dalam lubang

pelarut. Pada proses ini terjadi pertambahan kerja dan penurunan energi potensial. Kerja pada proses ini dinotasikan dengan –W12, sedangkan notasi 12 merupakan energi untuk interaksi pada proses ini. Kemudian, lubang pada pelarut pun tertutup dan ada penurunan tambahan dalam energi, sehingga kerja netto dalam tahap terakhir ini adalah -2W12. Kerja total untuk keseluruhan tahap ditulis dalam persamaan 1 W = W22 + W11 – 2W12

(1)

Ketiga tahapan tersebut terjadi secara skematis seperti pada Gambar 1. Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

Gambar 1. Tiga Tahap Kelarutan (Nidhi dkk, 2011). Tahap 1 adalah pemindahan molekul. Tahap 2 adalah pembentukan lubang dalam pelarut. Tahap 3 penempatan molekul terlarut dalam pelarut

8

Berdasarkan gambar tersebut, Hildebrand dan Scatchard mengusulkan suatu persamaan dengan mengasumsikan W22 sebagai ð22 dan W11 sebagai ð12, yaitu pada persamaan 2 berikut : ∆𝐻𝑓 − 𝐿𝑜𝑔 𝑋2 = 2,303 𝑅𝑇

2.

𝑇𝑜 − 𝑇 𝑉2 𝑄1 2 2 + (𝛿2 − 𝛿1 ) . 𝑇𝑜 2,303 𝑅𝑇

(2)

Sistem Hidrotropik Istilah Hidrotropik pertama kali diungkapkan oleh Carl A. Neuberg.

Hidrotropik merupakan fenomena molekuler dari

proses solubilisasi dengan

penambahan sejumlah besar zat terlarut kedua atau zat hidrotrop untuk meningkatan kelarutan dari zat terlarut lain. Zat hidrotrop merupakan senyawa yang dapat melarutkan komponen hidrofobik dalam larutan air. Hidrotrop memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik yang sangat kecil untuk bisa mengakibatkan

agregasi

spontan

yang

terjadi

seperti

pada

surfaktan.

Keseimbangan bagian hidrofobik dan hidrofilik pada zat hidrotrop akan menentukan efisiensi kelarutan. Semakin besar bagian hidrofobiknya, maka efisiensi hidrotropik semakin besar (Beig dkk, 2016; Bauduin dkk, 2005). Planaritas bagian hidrofobik dari hidrotrop mempunyai peran yang penting dalam mekanisme solubilisasi oleh zat hidrotrop (Nidhi dkk, 2011). Hal ini karena zat hidrotrop dengan struktur hidrofobik planar akan terbawa ke dalam larutan oleh gugus polar (Maheswari dkk, 2010).

9

Gambar 2. Struktur hidrotrop (Nidhi, 2011)

Zat hidrotrop terdiri dari garam-garam logam alkali dari berbagai asam organik. Zat hidrotrop biasa disebut sebagai garam organik ion. Garam yang meningkatkan kelarutan dalam pelarut tertentu disebut "salt in” dan garam-garam yang menurunkan kelarutan disebut "salt out". Beberapa garam dengan jumlah anion atau kation yang besar dengan sendirinya akan sangat larut dalam air sehingga akan terjadi proses “salting in” dari non elektrolit yang disebut "garam hydrotropik". Fenomena ini yang dikenal sebagai "hidrotropisme" (Dhapte dan Mehta, 2015; Rasool dkk, 1991). Hidrotrop tidak bersifat membentuk koloid, tetapi dapat meningkatkan kelarutan melalui pembentukan ikatan lemah dengan molekul obat insoluble yaitu ikatan van der waals seperti ikatan π-π atau ikatan dipol-dipol (Neumann dkk, 2007). Berdasarkan penelitian sebelumnya, ada tiga mekanisme zat hidrotrop dalam meningkatkan kelarutan yaitu : 1.

Potensi self-aggregation

2.

Structure-breaker dan struktur-maker

3.

Kemampuan untuk membentuk struktur misel

(Dhapte dan Mehta, 2015).

10

Penggunaan larutan hidrotrop memiki nilai yang tinggi di dunia industri karena kelebihannya yang mudah didapatkan seperti, recovery yang baik, tidak adanya kemungkinan terbakar, dan faktor pemisahan yang tinggi tanpa ada masalah emulsifikasi. Hal ini menyebabkan kualitas dari larutan hidrotrop sangat diperhatikan. Konsetrasi, parameter hidrofobik (luas permukaan, volum molar dari bagian hidrofobik), dan panjang rantai hidrofobik dari zat hidrotrop akan menentukan sifat hidrotrop yang terbentuk. 3.

Pentagamavunon-0 Pentagamavunon-0 (PGV-0) dengan nama kimia 2,5-bis-(4’-hidroksi-3’-

metoksibenzilidin) siklopentanon merupakan senyawa turunan kurkumin dari hasil modifikasi struktur kurkumin yang disintesis oleh Tim Peneliti MOLNAS Fakultas Farmasi UGM.

Gambar 3. Struktur kimia pentagamavunon-0

PGV-0 disintesis dari vanilin dan siklopentanon dengan katalis asam sulfat (Oetari dkk, 2001). Pada sintesis PGV-0, modifikasi struktur dilakukan dengan cara merubah gugus diketon pada kurkumin menjadi analog gugus monoketon dan menghilangkan gugus metilen aktif. Modifikasi struktur ini bertujuan untuk menghasilkan pentagamavunon-0 yang memiliki sifat lebih stabil terhadap pH dan cahaya, efek farmakologis yang meningkat, efek samping yang menurun, dan

11

toksisitas yang kecil (Sharma dkk, 2005). PGV-0 telah diteliti memiliki berbagai aktivitas farmakologis yaitu aktivitas antioksidan, antifungi, antibakteri, antiinflamasi, aktivitas sitotoksik dan analgetik (Sardjiman, 2000). PGV-0 memiliki kelarutan yang sangat rendah di dalam air, tetapi dapat terlarut dalam pelarut organik seperti dalam etanol 3,8 mg/5ml dan dalam metanol 14,9 mg/ml (Wahyuni, 1998). Pentagamavenon memiliki berat molekul 352.13 dan jarak lebur 2120C-2140C (Istyastono, 2004). 4.

Natrium Benzoat

Gambar 4. Struktur kimia natrium benzoat

Natrium benzoat adalah garam natrium dari asam benzoat. Natrium benzoat mengandung tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5% C7H5NaO2 dihitung sebagai basa anhidrat. Bobot molekul natrium benzoat adalah 144,10 gram/mol (USP, 2006). Natrium benzoat terdeteksi pada sinar UV panjang gelombang 225 nm (Bahremand dan Eskandaril, 2013). Kelarutan natrium benzoat di dalam air adalah 556 g/L (Anonim, 2015). Satu gram garam NaOH larut dalam 2 ml air, dalam 75 ml etil alkohol, dan dalam 50 ml campuran dari 47.5 alkohol dan 3,7 ml air. Natrium benzoat berbentuk larutan cair yang khas akan sedikit basa dan memiliki rasa zat manis. Natrium benzoat bersifat

12

higroskopis, berwarna putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau (Anonim, 2015) Garam natrium benzoat merupakan zat hidrotropik golongan cincin aromatik anionik yang dapat meningkatkan kelarutan melalui pembentukan kompleks, yakni ikatan antara hidrotrop dengan zat terlarut dan membentuk misel. Misel yang terbentuk merupakan misel campuran stabil dengan nilai tolakan elektrostatik yang menurun pada gugus kepala (Malik dkk, 2014; Lee dkk, 2007). Pada peningkatan kelarutan indometasin, natrium benzoat pada konsentrasi rendah digunakan sebagai hidrotrop dengan mekanisme pelarutannya melalui pembentukan pembentukan interaksi ionik lemah. Jika natrium benzoat yang digunakan adalah konsentrasi tinggi, maka peningkatan kelarutannya adalah dengan membentuk molekul agregat (Jain dkk, 2008). Selain itu, penggunaan natrium benzoat sebagai agen hidrotrop untuk meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut telah dibuktikan melalui beberapa penelitian seperti pada furosemid meningkat kelarutannya sebanyak 90 kali, pada ibuprofen meningkat kelarutannya sebanyak 80 kali, asam nalidiksat meningkat kelarutannya sebanyak 98 kali, dan tenofovir disoproksil fumerat meningkat kelarutannya sebanyak 121 kali (Dhapte dan Mehta, 2015). 5. Termodinamika Kelarutan merupakan proses kesetimbangan antara keadaan larut dan tidak larut. Pemahaman mengenai parameter termodinamika dalam suatu proses pelarutan obat dapat membantu dalam memahami mekanisme interaksi yang terjadi pada proses tersebut (Bustamante dan Bustamante, 1996). Tetapan

13

termodinamika yang disebut juga dengan tetapan stabilitas kompleks (K), dapat ditentukan bila terjadi kesetimbangan pada proses. Nilai K dapat ditentukan dengan persamaan Higuchi pada persamaan (3). 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒

K=𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝 (1−𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒)

(3)

Tetapan stabilitas kompleks dapat digunakan untuk menghitung parameterparameter termodinamika. Parameter termodinamika yang dapat ditentukan, seperti perubahan energi bebas (∆F), beda entalpi (∆H), dan beda entropi (∆S) (Martin dkk, 1993). Energi bebas (∆F) merupakan energi pada sistem untuk melakukan kerja. Energi bebas berkaitan dengan proses kelarutan obat karena terlibat saat transfer molekul obat ke dalam “rongga” bagian pelarut. Harga energi bebas (∆F) dapat ditentukan menggunakan persamaan (4) (Martin dkk, 1993). ∆F = -2,303.R.T.Log K Keterangan :

∆F R T K

(4)

: energi bebas (kal/mol) : tetapan gas = 1,987 kal.mol.der : suhu (K) : tetapan stabilitas kompleks

Perbedaan energi bebas antara reaktan dengan produk dapat memperkirakan apakah reaksi berlangsung secara spontan atau tidak. Beda entalpi (∆H) merupakan panas yang dilepaskan atau diabsorbsi jika suatu mol zat terlarut dilarutkan ke dalam pelarut dalam jumlah yang besar (Lachman dan Cartensen, 1986). Harga ∆H yang bertanda negatif menunjukkan bahwa panas dilepaskan dari larutan, terjadi pelepasan energi, dan proses

14

eksotermik berlangsung, sedangkan ∆H yang bertanda positif menunjukkan panas diabsorbsi ke dalam larutan, terjadi reaksi endotermik. Adanya peningkatan suhu akan menningkatkan kelarutan suatu zat. Nilai ∆H dapat diperoleh dengan mengalikan nilai slope dengan -2,303R. Slope didapatkan dengan membuat kurva hubungan antar Log K dengan 1/T (K). Beda entropi (∆S) menggambarkan perubahan ketidakteraturan dalam suatu sistem. Nilai entropi akan meningkat sesuai dengan derajat peningkatan ketidakteraturan (Florence dan Attwood, 2002). Nilai ∆S menggambarkan kespontanan dari proses yang terjadi pada sistem. Nilai ∆S dapat diperoleh melalui persamaan 5 berikut (Martin dkk, 1993) : ∆S =

∆H− ∆F

(5)

𝑇

F.

Landasan Teori

Pentagamavunon-0 (PGV-0) diteliti terbukti mempunyai berbagai aktivitas farmakologis, seperti aktivitas antioksidan, antifungi, antibakteri, antiinflamasi, aktivitas sitotoksik dan analgetik. PGV-0 memiliki toksisitas dan efek samping ulserogenisitas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan obat anti inflamasi yang beredar di pasaran. Kelarutan PGV-0 yang rendah dapat ditingkatkan agar sediaan obat PGV-0 dapat diabsorbsi dengan baik dalam gastrointestinal. Peningkatan kelarutan PGV-0 akan dilakukan menggunakan sistem hidrotrop dengan penambahan zat hidrotop natrium benzoat berbagai konsentrasi dan variasi pH. Natrium benzoat merupakan salah agen hidrotrop golongan aromatik anionik yang dapat meningkatan kelarutan PGV-0 oleh natrium benzoat terjadi melalui mekanisme kompleksasi antara natrium benzoat dengan PGV-0.

15

Dalam sistem hidrotropik, pH dapat mempengaruhi disosiasi dari natrium benzoat dalam pembentukan ikatan dengan PGV-0. Pada pH disekitar asam, dapat mengionisasi zat hidrotropik menjadi molekul terionkan yang bersifat lebih polar. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan dan menggambarkan termodinamika yang terjadi selama proses kelarutan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan PGV-0 melalui sistem hidrotropik dan mempelajari pengaruh penambahan kosentrasi agen hidrotrop dan pH terhadap kelarutan PGV-0. G. 1.

Sistem

hidrotropik

dapat

Hipotesis meningkatkan

kelarutan

PGV-0

melalui

penambahan natrium benzoat sebagai zat hidrotrop. 2.

pH mempengaruhi bentuk terion natrium benzoat terhadap kelarutan PGV-0.

3.

Suhu dapat menggambarkan termodinamika yang terjadi selama proses kelarutan PGV-0 di dalam sistem hidrotropik