BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Neurofisiologi Otak

medulla spinalis atau yang biasa disebut traktus piramidalis. Semakin luas area humunkulus, maka semakin komplek pula fungsi area tubuh yang diinervas...

8 downloads 427 Views 4MB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan Neurofisiologi Otak Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang

saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron (Leonard, 2008). Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuronneuron di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006). Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2005). Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah: 2.1.1 Humunkulus Sistem motorik dan sensorik diatur oleh area otak tertentu. Pemetaannya disesuaikan dengan anggota gerak yang diinervasi. Pada anggota gerak yang

8

9

memiliki tingkat sensitivitas yang peka dan memiliki gerak motorik yang halus, maka memiliki area yang luas. Humunkulus dibagi menjadi 2 macam, yakni humunkulus motorik dan humunkulus sensorik. Humunkulus

motorik

merupakan

area

pergerakan

tubuh

yang

dipresentasikan dengan bentuk terbalik di girus presentalis. Mulai dari bawah kearah superior adalah struktur yang berperan dalam proses menelan, lidah, dan daerah wajah. Area berikutnya merupakan daerah luas untuk gerakan jari, terutama ibu jari, tangan, bahu, badan (gambar 2.1). Gerakan pinggul, lutut, pergelangan kaki dipresentasikan di area girus presentalis yang paling tinggi. Humunkulus menggambarkan area otak yang berfungsi untuk menginervasi bagian tubuh tertentu secara kontralateral. Humunkulus motorik berasal dari area motorik primer (area 4 broadman) yang merupakan area otak yang berfungsi untuk mengeksekusi gerakan. Area ini akan membentuk sebuah jalur desenden ke medulla spinalis atau yang biasa disebut traktus piramidalis. Semakin luas area humunkulus, maka semakin komplek pula fungsi area tubuh yang diinervasi olehnya. Apabila area motorik ini mengalami kerusakan, maka akan menyebabkan kelainan pada bagian tubuh yang diinervasi oleh area otak tersebut (Scivoletto, 2007)

10

Gambar 2.1 Humunkulus motorik (Scivoletto, 2007) Selain humunkulus motorik, terdapat humunkulus sensorik (gambar 2.2). Humunkulus ini terletak pada girus possentralis di lobus parietalis di area 1, 2, dan 3 menurut topografi broadman. Area ini merupakan area somatosensorik yang bennanfaat untuk menerima rangsang yang datang dari panca indra. Proses penerimaan impuls oleh area somatosensorik dibagi menjadi 3 orde. Orde pertama, stimulus atau rangsang yang diterima oleh reseptor-reseptor ditingkat perifer dibawa menuju ke posterior horn cell (PHC) di medula spinalis. Orde kedua, membawa impuls dari medulla spinalis menuju thalamus yang dibawa oleh traktus spinotalamikus. Selanjutnya impuls dari thalamus akan dibawa menuju kortek sensorik melalui traktus thalamokortikalis (Wade, 2013). Kelainan yang muncul pada kondisi CP Spastik Diplegia mempunyai ciri ekstremitas bawah dominan mengalami gangguan. Berdasarkan susunan humunkulus pada gambar 2.1, dapat disimpuIkan bahwa CP Spastik Diplegia. mengalami gangguan pada area otak yang mengurusi anggota gerak bawah yang terletak pada sisi superior cerebri (Sherpherd, 2007).

11

Gambar 2.2 Humunkulus sensorik (Sherpherd, 2007) 2.1.2 Area Broadman Otak memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah fungsi motorik. Area otak yang mengurusi motorik atau gerakan berasal dari area otak yang terletak di girus presentralis lobus frontalis. Aktivitas tersebut dimediasi oleh tiga area kortek yakni, area motorik primer (area 4 broadman), area premotor (area 6 broadman) dan area motorik tambaban (gambar 2.3). Pada area presentralis yang terletak pada girus presentralis, dibagi menjadi daerah posterior dan anterior. Daerah posterior disebut sebagai area motorik, area motorik primer atau area broadman 4 menempati girus presentalis yang membentang melewati tepi superior masuk ke dalam lobulus parasentalis. Daerah anterior dikenal sebagai area premotorik, area motorik sekunder atau area broadman 6, serta sebagian area 8, 44 dan 45. Fungsi dari area motorik primer adalah untuk menimbulkan gerakan-gerakan individual pada berbagai bagian tubuh. Sedangkan fungsi dari area premotorik adalah untuk menyimpan program aktivitas motorik yang

12

dikumpulkan berdasarkan pengalaman yang lalu. Dengan demikian, area premotorik membuat program aktivitas motorik pada area motorik primer. Area ini terutama berperan untuk mengontrol gerakan postural kasar melalui hubungannya dengan basal ganglia. Area motorik tambahan terletak di girus frontalis medialis pada permukaan medial hemisferium dan di anterior lobulus parasentralis. Area motorik tambahan mentransmisikan informasi dari area lain di kortek dan basal ganglia ke kortrek motorik primer (Gordon,2005). Dalam sistem gerak, beberapa area di otak saling bekerjasama untuk menghasilkan gerakan yang halus terkoordinasi. Gerakan yang terampil dan terkoordinasi dihasilkan dari kerja kortek motorik yang dibantu oleh basal ganglia. Sebuah perencanaan motorik dibuat oleh area premotor yang nantinya akan dieksekusi oleh area motorik primer. Gerakan yang dihasilkan oleh kortek motorik primer masih kasar, sehingga perlu dikontrol oleh area premotor yang berhubungan dengan basal ganglia. Dengan peran dari basal ganglia maka gerakan yang dihasilkan akan lebih terkontrol (Gordon, 2005).

Gambar 2.3 Area broadman cerebral cortek (Gordon, 2005)

13

Keterangan gambar 2.3 1. Area gerakan mata dan perubahan pupil 2. Area premotor (bagian dari sirkuit ekstrapiramidal) 3. Area motorik primer 4. Area somatosensorik 5. Area asosiasi sensorik

6. Area asosiasi 7. Area asosiasi visual 8. Area visual primer 9. Area asosiasi visual 10. Kortek audio primer 11. Area asosiasi audio 12. Area bicara

2.1.3 Sirkuit kontrol Terdapat dua jalur pararel yang mengontrol dan memodifikasi gerakan, jalur tersebut adalah jalur cerebellar dan jalur basal ganglia. Serebellum dan basal ganglia menerima input dari beberapa kortek sensorik dan motorik dan di proyeksikan kembali ke kortek serebri melalui thalamus. Serebellum dan basal ganglia mengirim informasi ke brain stem dan traktus ekstrapiramidalis. Serebellum berperan dalam mengkoordinasikan aktivitas otot selama gerakan, gerakan lembut yang terarah, dan berfungsi untuk memulai gerakan. Sedangkan basal ganglia berperan dalam motor program dan melakukan respon motorik otomatis (Campion, 2008). Basal ganglia merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut beberapa area di subcortical gray matter yang meliputi nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus, nukleus subthalamikus dan substansia nigra. Nukleus kaudatus dan putamen menyusun striatum. Striatum merupakan reseptor utama dari basal ganglia yang menerima input dari kortek serebri. sistem limbik, thalamus dan substansia nigra. Input yang berasal dari kortek serebri merupakan eksitasi dan merupakan proyeksi dari sensorik dan kortek motorik menuju ke putamen, dari prefrontal kortek menuju ke nukleus kaudatus dan dari kortek limbik dan

14

amigdala menuju ke ventral striatum. Basal ganglia memiliki sejumlah lintasan yakni (1) dari striatum ke globus pallidus ke thalamus ke kortek dan ke striatum, (2) dari striatum ke substansia nigra dan ke striatum, (3) dari globus pallidus ke subthalamus dan berakhir ke globus pallidus (Campion, 2008). Input

kortikal

dari

basal

ganglia

kebanyakan

menggunakan

neurostransmitter glutamate. Striatum merupakan area di otak yang paling kaya mengandung dua neurotransmitter yang penting didanalam system saraf pusat yakni achetylchline dan dopamine. Acetylcholine merupakan neurotransmitter pada sinaps di kebanyakan saraf, sedangkan dopamine diproduksi di substansia nigra dan disalurkan ke striatum melalui akson nigrostriatal. untuk bekerja pada striatum. Apabila terjadi kerusakan pada substansia nigra, maka akan menyebabkan penurunan level dopamine pada striatum. Aktivitas basal ganglia dimodulasi oleh neuron dopaminergic di substansia nigra. Dopamine memiliki efek eksitasi pada neuron striatal pada jalur langsung dan efek inhibisi pada jalur tidak langsung. Jalur langsung terdiri dari putamen nukleus kaudatus, dan striatum menghasilkan inhibisi pada globus pallidus dan sebagai konsekuensinya disinhibisi dari thalamus, superior kullikulus dan target lainnya. Jalur tidak langsung yang terdiri dari nukleus subtalamik menghasilkan eksitasi dari output saraf dari globus pallidus yang akan meningkatkan inhibisi pada organ target (Campion, 2008). Basal ganglia berperan dalam motor kontrol dan tindakan' otomatis dari ketrampilan

motorik

yang

bertindak

dengan

memfasilitasi

penggunaan

perencanaan motorik. Basal ganglia tidak berfungsi untuk memulai gerakan,

15

namun berfungsi memodulasi pola gerakan yang telah dimulai pada level kortikal Perobaban aktivitas antara jaIur langsung dan jalur tidak langsung, fungsi eksitasi dan inhibisi dari sirkuit basal ganglia mendasari berbagai macam permasalahan gerak termasuk diantaranya hypo/dnetic dan hyperkinetic movement disorder (Gordon, 2005). Serebelum berfungsi untuk mengawali dan mengatur gerakan, khususnya gerakan yang terampil. Serebelum berfungsi sebagai pembanding antara perencanaan motorik dan basil dari motorik, selain itu serebelum juga berfungsi untuk mendeteksi kesalahan sistem. Serebelum mengirim sinyal untuk koreksi ke brain stem dan kortek motorik. Pada serebelum terdapat tiga divisi fungsional yakni vestibuloserebellum, spinoserebellum, dan serebroserebellum (Dorlan, 2009) Vestibuloserebellum berfungsi untuk mengontrol dan mengkoordinasi otototot aksial dan gerakan kepala dan mata, spinoserebellum berfungsi untuk memberikan informasi motorik dan eksitabilitas motor neuron, serebroserebelum berfungsi untuk mengawali gerakan dan koordinasi otot (Hesse, 2008). 2.1.4 Sistem piramidal Sistem piramidal atau biasa yang disebut traktus kortikospinalis merupakan jalur neuron tunggal yang keluar dari kortek serebri menuju ke medula spinalis tanpa membentuk sinaps. Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk melakukan gerakan volunter dan gerakan terampil dibawah kontrol kesadaran. Sistem piramidal membawa input dari area motorik primer, area premotor, areamotorik tambahan. Impuls yang dimunculkan oleh kortek motorik berasal dari impuls

16

yang diterima dari kortek sensorik yang menerima stimulus astu rangsang yang diterima oleh sarafsensorik yang berada di perifer. Serabut saraf piramidalis menyilang ke sisi yang berlawanan pada medula oblongata. Pada sistem piramidal terdapat

2

macam

neurotransmitter

yang

berperan

penting,

yakni

neurotransmitter glutamate yang berfungsi sebagai eksitasi dan neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA) yang berfungsi sebagai inhibitor (Levitt, 2013). Lesi traktus piramidal ditandai dengan (1) adanya tanda babinski yang ditandai dengan dorsi fleksi ibu jari kaki dan jari lainnya bergerak keluar ketika kulit telapak kaki sepanjang sisi lateral digores, (2) hilangnya reflek abdominalis superfisial otot abdominal gagal berkontraksi otot-otot kremaster gagal berkontraksi ketika kulit pada sisi medial paha digores, (3) hilangnya penampakan gerakan-gerakan volunter terlatih yang halus terutama terjadi pada ujung-ujung distal anggota gerak (Dorlan, 2009). 2.1.5 Sistem Ekstrapiramidal Komponen dari sistem ekstrapiramidal adalah jalur desenden brain stem. Jalur desenden brain stem dikelompokkan menjadi dua grup fungsional, yakni jalur medial dan lateral. Jalur medial berfungsi untuk mengontrol postur, pola sinergis ekstensor pada seluruh ekstermitas dan gerakan orientasi dari kepala dan badan. Jalur mempunyai kapasitas untuk gerakan fleksor yang independen khususnya pada lengan (Rosenbaum,2007). Jalur desenden brain stem medial meliputi medullary retikulospinal, vestibulospinal, dan tektospinal. Medullary retikulospinal berasal dari neuron di

17

formasio retikularis. Aktivitas pada bagian ini adalah inhibisi dari ekstensor motor neuron, eksitasi fleksor motor neuron dan menginhibisi tendon reflek. Vestibulospinal berasal dari nukleus vestibularis. Nukleus vestibularis merupakan sumber dari kebanyakan proyeksi vestibular ke spinal motor neuron. Nukleus ini menerima input aferen dari saraf vestibularis dan input lain dari serebelum. Aktivitas pada nukleus ini memproduksi eksitasi ekstensor motor neuron. Traktus vestibulospinal yang berasal dari nukleus vetibular lateralis tidak turun menyilang di ventral funikulus medulla spinalis. Serabut saraf ini berakbir di bagian anterior hom cell (AHC) pada. alpha motor neuron dan gamma motor neuron. Sedangkan traktus tektospinal penting untuk mediasi gerakan retlek kepala terhadap stimulus visual dan audio (Rosenbaum, 2007). Jalur desenden brain stem sisi lateral meliputi traktus rubrospinal yang berasal dari red nucleus, dan traktus pontin retikulospinal yang berasal dari dorsolateral formasio pontin reticular. Aktivitas pada bagian formasio retikularis memproduksi eksitasi ekstensor motor neuron dan menginhibisi fleksor motor neuron (Rosenbaum, 2007). Secara umum respon gamma motor neuron terhadap stimulus sama dengan alpha motor neuron yang menginervasi otot-otot ekstensor yang dieksitasi oleh traktus vestibulospinal dan traktus pontin retikulospinal. Gamma motor neuron mempunyai threshold yang lebih rendah dibanding alpha motor neuron. Sehingga stimulus yang tidak mampu mengeksitasi alpha motor neuron, mampu mengeksitasi gamma motor neuron dan stimulus yang mampu mengeksitasi alpha

18

motor neuron mungkin akan membuat eksitasi gamma motor neuron yang berlebihan (Rosenbaum, 2007). Sel saraf mempunyai kemampuan khusus yaitu merambatkan impuls dengan mekanisme mensintesis asetilkolin dan zat adrenergic sebagai neurotransmitter untuk memindahkan impuls ke saraf lain. Kecepatan metabolism lebih tinggi dibandingkan sel tubuh lainnya, sehingga membutuhkan Oksigen dan glukosa yang tinggi. Sel saraf mempunyai tonjolan yang disebut dendrit sebagai penerima rangsang. Komponen penerima rangsang adalah dendrit, badan sel dan pangkal akson (Rosenbaum, 2007). Membran sel ada 2 lapis yang melindungi sel dengan komposisi yang berbeda di tiap selnya. Ketebalannya antara 90-100 A, di tiap bagian terdapat lapisan lagi yang melindungi bagian penting sel misalnya, mitochondria dan inti sel. Sedangkan inti sel mengandung banyak sekali DNA dan RNA serta sebagai pembentuk protein dan asam nukleat di sel yang digunakan sebagai aktifitas metabolism sel untuk menghasilkan enzim sebagai kebutuhan respirasi sel diantaranya ATP, glukosa phospat, alkalin phospat, dan lain-lain. Ukurannya bervariasi tergantung pada aktifitasnya (Rosenbaum, 2007). Transmisi impuls saraf merupakan fungsi utama saraf yaitu membawa pesan dari dan ke sistem saraf. Serabut saraf dilapisi dengan selubung myelin sehingga perintah ke masing-masing bagian tubuh tidak saling mempengaruhi. Rangsangan terpeka adalah rangsangan listrik, diketemukan oleh Galvanik melalui percobaan 2 lempeng listrikarus baterai kering (Rosenbaum, 2007).

19

Mekanisme transmisi saraf melalui kecepatan perambatan 100 m/detik dan pada keadaan reflek 1/1000 detik. Na+ masuk ke sel dengan energi potensial, disusul keluarnya ion K+ dari sel dengan proses metabolisme. Saat istirahat akan terjadi perembesan ion dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah di sel. Saat rangsangan ion Na+ masuk dengan suatu energi, disusul keluarnya ion K+ , saat istirahat terjadi perembesan ion sebaliknya (Gordon, 2005) Na+

K+

Cl-

Na+

K + Cl

Kecepatan perambatan arus impuls saraf dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya yaitu diameter akson, ada tidaknya selubung akson dan suhu akson. Pada neuron yang tidak mempunyai selubung akson rambatan impuls akan terjadi seltatory theory yaitu rambatan akan meloncat dari satu impuls ke impuls lainnya melalui nodus ranvier yang ada (Gordon, 2005). 2.2

Kontrol Postural

2.2.1 Pengertian Secara terminologi kontrol postural dapat diartikan mekanisme tubuh untuk mempertahankan dirinya agar tetap seimbang dan tidak jatuh, sedangkan kontrol antigravitasi adalah kemampuan tubuh untuk menjaga tubuh tetap tegak dalam posisi tertentu. Kontrol postural mempunyai hubungan yang erat dengan kontrol motor karena pada perkembangan motor, gerakan tubuh yang tidak bermakna lebih dulu ada sebelum munculnya kestabilan gerak, baru kemudian muncul mobilitas gerak yang terkontrol (Odunaiya, 2009).

20

Kontrol postural merupakan prasyarat performa motor yang efisien. Postur tergantung pada kapabilitas daya tahan kontraksi otot, sedangkan gerakan sering memerlukan kecepatan dan kekuatan otot. Selama tubuh berdiri tegak, subjek normal mengontrol postur tegaknya dengan gerakan-gerakan yang kecil yang terbentuk di bagian-bagian tubuh yang berbeda. Posisi yang optimal selama berdiri dengan seimbang memerlukan pengaturan letak center of gravity (COG), misalnya untuk mengatasi agar tidak terjadi goyahan tubuh kearah lateral, kaki diposisikan sedikit membuka. Dalam berdiri dengan seimbang pun diperlukan kemampuan untuk berpindah dari posisi berdiri seimbang tanpa menggunakan bantuan lengan. Hal ini termasuk dalam kemampuan untuk menggeser berat badan kearah lateral dan anterioposterior dan untuk membuat gerakan kearah vertikal

lebih

fleksibel.

Aktivitas

postural

spesifik

untuk

tugas-tugas

keseimbangan, dan selama berdiri tegak, tidak memerlukan aktivasi otot secara volunter (Kejonen, 2009). Stabilitas postural yang didapat setelah keseimbangan tubuh terganggu dikontrol oleh tiga sistem motor yang secara skematis tersaji dalam tabel dibawah ini :

21

TABEL 2.1 VARIABEL SISTEM MOTOR DALAM KONTROL GERAK YANG SEIMBANG Reflek Spinal

Sistem motor Otomatis Batang otak

Stimulus eksternal

Stimulus eksternal

Asal Aktivasi Respon

Lokal ke pusat stimulus dan stereotype Regulasi kekuatan otot

Aturan dalam keseimbangan Lamanya kaki 35-45 menit menahan (Sumber : Kejonen, 2009)

Volunter Kortikal Stimulus eksternal Self-generator

Terkoordinasi dan stereotype

Variasi tidak terbatas

Adanya gangguan

Gerakan yang bermakna

95-120 menit

> 150 menit

Respon motor yang pertama adalah reflek spinal. Peran dari Stretch reflek adalah untuk mendapatkan kembali stabilitas postural dengan respon otot yang cepat. Gerakan-gerakan yang mengancam keseimbangan badan dideteksi oleh propioseptor pada tendon dan otot, yang mengawali aksi otot yang pertama dengan mengkontraksikan otot-otot tertentu pada seluruh tubuh. Reflek tidak berkontribusi secara langsung pada perbaikan keseimbangan. Respon yang pertama untuk menahan agar tubuh tidak jatuh merupakan reaksi otomatis. Reaksi-reaksi

ini

dikoordinir

dan

disampaikan

melalui

reflek-reflek

vestibulospinal dan mempengaruhi semua otot pada kedua tungkai, trunk, dan leher (Kejonen, 2009). Reaksi gerak refleksif dan gerak otomatis mempunyai mekanisme yang kontras, sedangkan gerak volunter merupakan gerakan yang disadari dan geraknya sangat bervariasi. Penyesuaian postur memindahkan posisi COG secara volunter. Contohnya, abduksi lengan kanan menyebabkan COG bergeser kearah kanan.

22

Pada gerakan-gerakan yang disadari, pengaturan postur dan gerakan ekstrimitas secara volunter muncul sebagai bagian dari motor program yang sama (Kejonen, 2009). Mekanisme pengaturan postural diilustrasikan pada gambar dibawah ini : \

Perintah dari SSP

Gerakan ekstremitas

Feed-Forward Feedback (Untuk gangguan postur yang diinginkan)

Gangguan postur

(Untuk gangguan postur yang tidak diinginkan)

Penyesuaian postur

Gambar 2.4 Feed-forward dan feedback pengaturan postur (Kejonen, 2009) 2.2.2 Faktor yang mempengaruhi kontrol postural 2.2.2.1 Sistem kontrol postural Gerakan-gerakan yang terkoreksi diperlukan untuk menjaga letak COG tetap terjaga. Untuk mendapatkan tujuan ini, koordinasi dari fungsi sensoris, muskuloskeletal, dan susunan saraf pusat sangatlah diperlukan. Bagian-bagian dari sistem kontrol postural disajikan dalam tabel: Tabel 2.2 SISTEM KONTROL POSTURAL Sistem sensoris Vestibular

Sistem muskuloskeletal Otot-otot ekstrimitas atas dan bawah

Visual

Otot-otot penegak tubuh

Proprioseptif

Otot-otot penegak leher

Reseptor kulit (Sumber : Kejonen, 2009)

Sistem motoris Stretch reflek Reflek-reflek sepanjang hayat Reaksi preprogram (keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya) Reaksi sinergistik

23

2.3

Susunan saraf

2.3.1 Sistem sensoris Gagasan dasar dari sistem sensoris adalah untuk menyediakan informasi ke sistem mengenai statusnya dan begitu juga lingkungan sekitarnya. Informasi yang didapatkan ditransfer dari reseptor menuju SSP melalui serabut aferen (Campbell, 2008). 2.3.1.1 Vestibular Di telinga terdapat saluran yang berbentuk setengah lingkaran dengan sensitif merespon perubahan percepatan gerak pada frekuensi antara 0,2-10 Hz, maka dari itu sistem ini haruslah aktif pada waktu dimulainya gerakan hingga gerakan berakhir, sedangkan otholiths beroperasi pada frekuensi rendah yakni kurang dari 5 Hz dan menyediakan informasi yang mempunyai percepatan liniar, contohnya gravitasi. Informasi dari otholit dan saluran setengah lingkaran tersebut disampaikan ke nukleus vestibular di batang otak yang juga menerima informasi dari sumber lain. Reflek vestibulo-ocular menstabilkan penglihatan dengan menghasilkan gerakan mata pada arah yang berlawanan pada saat rotasi kepala, dan tujuan utama reflek tersebut adalah untuk menstabilisasi kepala dan tubuh. Mekipun sistem vestibular berkontribusi terhadap persepsi dari orientasi tubuh dan berpengaruh pula terhadap kontrol postur, beberapa studi menunjukkan bahwa sistem vestibular tidak memainkan peranan penting pada persepsi terhadap goyahan selama dalam posisi berdiri statis yang normal (Kejonen, 2009).

24

2.3.1.2 Visual Informasi visual dikirim dari retina setidaknya ke dua tempat yang berbeda di otak dan dengan tujuan yang berbeda pula yakni, sistem fokal untuk identifikasi obyek dan ambient-system untuk kontrol gerak. Pada kemudiannya juga menunjukkan bahwa hal tersebut mempengaruhi kestabilan dan keseimbangan tubuh. Penglihatan sangat penting untuk kontrol postur dan berpengaruh terhadap keseimbangan dengan bereaksi untuk bergerak sejalan dengan pergeseran gambaran relatif pada retina, dan juga memicu aktivasi otot yang diperlukan untuk mengkoreksi postur. Efisiensi visual terhadap kontrol postural tergantung pada ketajaman visual dan jarak benda, yang mana paling baik adalah benda dengan jarak kurang dari 2m, dan kualitas penerangan. Hal ini telah dilaporkan bahwa ketika horison dimanipulasi, maka isyarat visual dan vestibular saling bertentangan, lansia lebih menaruh kepercayaannya pada isyarat penglihatan daripada orang yang lebih muda (Kejonen, 2009). 2.3.1.3 Proprioseptif Sistem somatosensoris memberikan informasi yang berhubungan dengan posisi tubuh oleh proprioseptor dan reseptor eksteroseptif. Reseptor proprioseptif terletak di otot, tendon, dan sendi, dan mereka memberikan informasi tentang posisi ekstrimitas dan tubuh serta peningkatan tensi pada masing-masing otot. Proprioseptor terdapat pada perut otot (tipe Ia dan II), golgi tendon (Ib), dan reseptor sendi. Informasi eksteroreseptif diperoleh dari tipe reseptor tepi yang berbeda di telapak kaki. Reseptor eksteroreseptif terletak di jaringan kutan dan subkutan. Reseptor kulit yang paling utama adalah Meissner corpuscles dan

25

Merkel disks, yang terletak paling dekat dengan permukaan kulit, serta Ruffiniending dan Pacinian corpuscles, yang letaknya lebih dalam (Kejonen, 2009). Reseptor pada kapsul sendi memberikan informasi tentang gerak dan posisi relatif dari sendi tersebut. Sedangkan pada perut otot memberikan informasi tentang perubahan panjang dan tensi otot (penguluran dinamis), serta dapat pula diaktivasi dengan mengulur otot yang bersangkutan secara pasif. Sebagai tambahan pada sistem aferen, serabut intrafusal di perut otot juga menerima input eferen via γ-motoneuron. Reseptor tepi mendeteksi ayunan tubuh, sedangkan mekanoreseptor dapat membedakan lokasi dan kecepatan perlekukkan kulit, seperti halnya percepatan dan perubahan tekanan (Kejonen, 2009). Ada beberapa input penting untuk kontrol postural selama berdiri yang dihasilkan oleh proprioseptor. Pertama, informasi dari sendi pergelangan kaki harus dikenali, sebagaimana hal tersebut diakibatkan oleh gerakan pusat gravitasi, menghasilkan torsi disekitar sendi pergelangan kaki. Kedua, informasi dari otot leher memberikan acuan penting mengenai gerakan kepala dalam hubungannya dengan tubuh. Dan ketiga, otot-otot mata menggambarkan posisi mata dalam hubungannya dengan kepala (Kejonen, 2009). 2.3.2 Sistem motoris Beberapa bagian dari SSP yang terdiri dari medula spinalis dan otak turut ambil bagian dalam mengontrol postur. Stimulus ke neuron kortikal sebagian besar datang dari nuklei di thalamus yang mentransmisikan informasi dari medula spinalis, bangsal ganglia, dan cerebellum, serta dari area korteks frontal dan parietal. Respon yang paling pertama dan paling cepat untuk merubah posisi

26

ketika berdiri dipicu oleh reflek-reflek spinal. Gerak volunter yang diperlukan untuk menyeimbangkan postur direncanakan oleh otak. Perintah dari otak dikirim ke otot melalui sistem piramidal dan ekstrapiramidal. Stimulus yang keluar dari area korteks motor juga diproyeksikan ke bangsal ganglia, cerebrum, dan nukleus berwarna merah. Bangsal ganglia mengambil peran dalam fasilitasi dan perencanaan gerak reflek dan volunter selama mengontrol postur. Cerebellum dan koneksinya beranggung jawab terhadap koordinasi dan kehalusan gerak reflek, dan regulasi dari gerakan volunter (Kejonen, 2009). 2.4

Sistem muskuloskeletal Meskipun otot-otot betis lebih dahulu teraktivasi untuk memberikan kontrol

postural selama tubuh bergerak, ko-aktivasi dari otot postural yang paling utama seperti otot leher, hamstring, soleus, dan otot-otot supraspinalis terdapat dalam kebutuhan ini. Terlepas dari masalah ini, bagaimanapun beberapa otot lain juga berpartisipasi dalam dihasilkannya gerakan-gerakan reflektif dengan waktu laten yang berbeda dan gerakan-gerakan volunter untuk menyeimbangkan posisi tubuh. Kapanpun otot terulur, reseptor proprioseptif dalam otot dan tendon memberikan sinyal mengenai perubahan panjang otot ke mekanisme sentral dari sistem kontrol postural (Kejonen, 2009). Kontrol postural memerlukan koordinasi dari kontraksi otot. Sebagaimana otot bekerja terhadap sendi dalam menyeimbangkan tubuh, khususnya peran sendi pergelangan kaki, lutut, dan panggul sangatlah penting. Bagaimanapun, penelitipeneliti lain telah menunjukkan mekanisme aktif dari stabilisasi postural pada

27

waktu berdiri dengan seimbang, dimana otot dan reseptor kulit memainkan peran yang penting (Kejonen, 2009). 2.5

Integrasi

Komponen-Komponen

Berbeda

Pada

Sistem

Kontrol

Postural Untuk lebih memastikan bahwa kontrol postural telah memadai, stimulus sensoris harus diintegrasikan di SSP untuk menghasilkan output yang adekuat. Informasi sensoris dari visual, vestibular, serta proprioseptif dan sistem eksteroreseptif digunakan sebagai input. Jean (2006) mendemonstrasikan bahwa meskipun tidak ada feedback dari perifer, serabut aferen memicu stretch refleks, sedangkan pada level yang lebih tinggi di SSP, hubungan antar neuron menjembatani respon gerak yang lebih rumit. Pada efektor, prasyarat yang penting untuk menyeimbangkan tubuh adalah kemampuan untuk memilih respon yang lebih tepat, untuk memodifikas responrespon tersebut pada basis dari input sensoris, dan akhirnya untuk menghasilkan kebutuhan akan kontraksi otot untuk menjaga postur. 2.6

Cerebral Palsy (CP)

2.6.1 Definisi Cerebral palsy (CP) adalah suatu kerusakan jaringan otak yang menetap tidak progresif, meskipun gambaran klinis dapat berubah selama hidup, terjadi pada usia dini dan menghalangi perkembangan otak normal dengan menunjukkan kelainan postur dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa gangguan pada cortex cerebri, ganglia basalis dan cerebellum (Yenita, 2010). Menurut Shepherd (2005) CP didefinisikan sebagai sekumpulan kelainan otak non progresif yang

28

menyebabkan lesi atau perkembangan yang abnormal pada kehidupan janin atau awal masa anak-anak. Miller dan Bachrach (2008) mendefinisikan CP sebagai sekumpulan gangguan motorik yang diakibatkan dari kerusakan pada otak yang terjadi sebelum, selama dan sesudah kelahiran. Kerusakan otak pada anak mempengaruhi sistem motorik dan akibatnya anak tersebut mempunyai koordinasi yang lemah, keseimbangan yang lemah, pola gerak yang abnormal atau gabungan dari karakteristik tersebut. Dalam kamus kedokteran Dorlan (2009) definisi CP yaitu setiap kelompok gangguan motorik yang menetap, tidak progresif, yang terjadi pada anak kecil yang disebabkan oleh kerusakan otak akibat trauma lahir atau patologi intra uterine. Gangguan ini ditandai dengan perkembangan motorik yang abnormal atau terlambat, seperti paraplegia spastik, hemiplegia atau tetraplegia, yang sering disertai dengan retardasi mental, kejang atau ataksia. Definisi spastik menurut kamus kedokteran Dorlan (2009) adalah bersifat atau ditandai dengan spasme. Hipertonik, dengan demikian otot-otot kaku dan gerakan kaku. Diplegia adalah paralisis yang menyertai kedua sisi tubuh, paralisis bilateral. Diplegia merupakan salah satu bentuk CP yang utamanya mengenai kedua belah kaki (Dorlan, 2005). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CP Spastik Diplegia adalah suatu gangguan tumbuh kembang motorik anak yang disebabkan karena adanya kerusakan pada otak yang terjadi pada periode sebelum, selama dan sesudah kelahiran yang ditandai dengan kelemahan pada anggota gerak bawah yang lebih

29

berat dari pada anggota gerak atas, dengan karakteristik tonus postural otot yang tinggi terutama pada regio trunk bagian bawah menuju ekstremitas bawah. Pada CP spastik diplegia kadang-kadang disertai dengan retardasi mental, kejang dan gambaran ataksia (Niklasson, 2010). 2.6.2 Etiologi Penyebab CP secara umum dapat terjadi pada tahap prenatal, perinatal, pascanatal. 2.6.2.1 Prenatal Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh infeksi pada saat kehamilan (lues, toksoplasma, rubella dan penyakit inklusi sitomegalik). Anoksia dalam kandungan (anemia, kerusakan pada plasenta), terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan CP. Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. 2.6.2.2 Perinatal 2.6.2.2.1 Anoksia/hipoksia Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah braininjury. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada kelahiran bayi abnormal, disporposi sefalo pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan bedah caesar. 2.6.2.2.2 Perdarahan otak Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya. Perdarahan dapat terjadi di ruang sub arachnoid yang akan

30

menyebabkan penyumbatan cairan cerebro spinalis sehingga mengakibatkan hidrocephalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastik. 2.6.2.2.3 Ikterus Ikterus pada masa neonatal dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basalis, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah. 2.6.2.2.4 Meningitis purulenta Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP. 2.6.2.2.5

Prematuritas

Prematuritas dapat diartikan sebagai kelahiran kuarang bulan, lahir dengan berat badan tidak sesuai dengan usia kelahiran atau terjadi dua hal tersebut. Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktorpembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna. Pada pasien cerebral palsy spastik diplegia biasanya terjadi pada kasus kelahiran prematur, berat badan lahir rendah dan anoksia berat pada saat kelahiran (Nugroho, 2005). 2.6.2.3 Pascanatal Kerusakan yang terjadi pada jaringan otak yang menganggu perkembangan dapat menyebabkan CP. Misalnya pada trauma kapitis, meninngitis, ensepalitis, dan luka parut pada otak pasca bedah. Bayi dengan berat badan lahir rendah juga berpotensi mengalami CP.

31

2.6.2.4 Patologi CP spastik diplegia dari beberapa literatur diasumsikan oleh karena adanya haemorhage dan periventricular leukomalacia pada area subtansia alba atau kortek motor. Haemorhage dan periventricular leukomalacia merupakan gambaran klinis cerebral palsy. Periventricular leukomalacia adalah necrosis dari white matter sekitar ventrikel akibat dari menurunnya kadar oksigen dan arus darah pada otak yang biasanya terjadi pada spastik diplegi. Periventricular leukomalacia sering terjadi bersamaan dengan lesi haemoragic dan potensi terjadi selama apnoe pada bayi prematur. Baik periventricular leukomalacia maupun lesi haemoragic dapat menyebabkan spastik diplegi. Hal ini sekaligus menguatkan arti patogenesis adalah kejadian kerusakan pada white matter (Nugroho, 2005). 2.6.2.5 Tanda dan Gejala Pada anak CP spastik diplegia biasanya ditandai dengan kelemahan anggota gerak bawah. Adanya spastisitas pada tungkai bawah. Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi pada gerakan ekstremitas bawah serta gangguan pada pola jalan. Pemeriksaan spastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan skala Asworth dengan kriteria sebagai berikut:

32

SKALA ASWORTH No Nilai Interpretasi penilaian 1 0 Tidak ada peningkatan tonus 2 1 Adanya peningkatan tonus otot ditandai dengan terasanya tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi dan ekstensi 3 2 Adanya sedikit peningkatan tonus yang ditandai dengan adanya pemberhentian gerak serta diikuti munculnya tahanan minimal disepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi masih mudah digerakkan. 4 3 Ada peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tetapi secara umum sendi masih mudah digerakkan 5 4 Peningkatan tonus sangat nyata, gerak pasif sulut untuk digerakkan 6 5 Sendi dan ekstremitas kaku untuk digerakkan fleksi dan ekstensi (Blackburn, 2009). 2.6.2.6 Prognosis Prognosis pasien dengan manifestasi motor yang ringan adalah baik, makin banyak manifestasi motornya, makin buruk prognosisnya. Selain itu pemberian terapi dengan dosis yang tepat dan adekuat juga berpengaruh terhadap prognosis pasien. Semakin tepat dan adekuat terapi yang diberikan semakin baik prognosisnya. Dilihat dari quo ad vitam: baik, quo ad sanam: baik, quo ad fungsional: baik dan quo ad cosmeticam: jelek (Odunaiya,2009). Dalam penelitian ditemukan bahwa tipe dan beratnya CP berguna sebagai petunjuk untuk memprediksi ambulasi. Kebanyakan anak CP spastik diplegia lazimnya mempunyai keberhasilan yang berbeda yaitu 65 % dapat berjalan tanpa alat bantu, 20% dapat berjalan dengan alat bantu dan sekitar 15% dapat berambulasi dengan kursi roda dan tidak dapat berjalan (Odunaiya,2009). 2.7

Pola Jalan Normal Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi yang

dikontrol oleh susunan saraf pusat yang melibatkan sistem yang sangat kompleks.

33

Gait dapat diartikan sebagai pola atau ragam berjalan dimana berjalan berpindah tempat dan mengandung pertimbangan yang detail dan rinci yang terkait dengan sendi dan otot (Borggrafe, 2008). Berjalan merupakan cara untuk menempuh jarak tertentu. Berjalan adalah hasil dari hilangnya keseimbangan pada sikap bersiri dari kedua kaki secara berturut-turut. Setiap keseimbangan dari satu kaki hilang, diganti atau diikuti oleh tumpuan baru kaki yang lain, sehingga terjadi keseimbangan kembali. Laju kedepan pada peristiwa berjalan, disebabkan karena kombinasi dari tiga kekuatan yang bekerja, yaitu: 1. Kekuatan otot yang menyebabkan tekanan pada kaki terhadap permukaan tumpuan. 2. Gaya berat yang berusaha menarik tubuh ke depan dan ke bawah bila terjadi ketidak seimbangan (imbalance). 3. Kekuatan momentum yang bermaksud mempertahankan tubuh yang bergerak dalam arah yang sama dengan kecepatan yang tetap. Kekuatan-kekuatan lain yang membantu adalah pemindahan momentum ayunan lengan, yang semula dimaksudkan untuk membantu keseimbangan, (Borggrafe, 2008). 2.7.1

Gait cycle Siklus Berjalan (Gait Cycle) merupakan suatu rangkaian fungsional dengan

adanya gerakan pada satu anggota badan (Extremitas Inferior). Hal ini berlangsung sejak kaki kanan menginjak lantai hingga kaki kanan mneginjak lantai kembali (Meyer, 2007).

34

Dalam satu Siklus berjalan (Gait Cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu fase menapak (Stance phase) dan fase mengayun (Swing Phase). Menurut Christoper (2009), fase stance 60% dan fase Swing 40% dimana setiap fase memiliki tahapan masing-masing: 1. Stance Phase a. Initial Contact (interval: 0-2%) Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai. Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan pola loading response. Fase ini merupakan moment seluruh centre of gravity berada pada tingkat terendah dan seseorang berada pada tingkat yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance. Menyentuhnya

tumit

dengan

lantai,

memberikan

bayangan

yang

mengindikasikan bahwa tungkai akan bergerak, sedang tungkai yang lain berada pada akhir terminal stance. b. Loading Response (interval: 0-10%) Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan dengan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi

35

dengan kaki depan menyentuh lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase preswing c. Midstance (interval: 10-30%) Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing. d. Terminal stance (interval: 30-50%) Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki memijak tanah. Keseluruhan pada fase ini berat badan berpindah ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal swing.

Pada fase Terminal stance, centre of gravity berada di depan kaki yang menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle. e. Preswing (interval: 50-60%) Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang sama anggota gerak bawah yang lain pada fase

36

loading response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double support. 2. Swing Phase a. Initial swing (interval: 60-73%) Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi dan ankle pada setengah dorsalfleksi. Pada saat yang sama, sisi kontralateral bersiap pada mid stance. b. Mid swing (interval: 73-87%) Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle dorsifleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase midstance. c. Terminal swing (interval: 87-100%) Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota gerak bawah yang lain berada pasa fase terminal stance.

37

2.8

Gait Pada Cerebral Palsy Pada gangguan pola jalan terdapat ciri khas yaitu pola jalan menggunting

(scissor gait) dengan fleksi hip dan knee, endorotasi dan adduksi hip, plantar fleksi dan inversi kaki. Untuk menjaga posture pada hip fleksi kompensasi akan terjadi berupa lordosis lumbal (Willoughby, 2010). Penggunaan reaksi tegak dan keseimbangan pada pelvic akan berlebihan. Terjadi reaksi kompensasi mulai dari kepala, trunk atas, lengan, dan kaki serta hip kaku sewaktu melangkah. Problem keseimbangan dan kesulitan rotasi trunk serta pelvic menyebabkan terganggunya aktifitas berjalan (Willoughby, 2010) . Ada 2 prinsip pola jalan pada anak Cerebral Palsy Spastik Diplegi yaitu : 1. Anak dengan fleksi kuat pada punggung dan pelvic terangkat ke depan serta bersandar pada trunk untuk mengangkat salah satu kaki untuk melangkah ke depan untuk memindahkan berat badan. 2. Punggung tertarik ke belakang dengan lordosis lumbal akibat terjadi spastisitas seputar fleksor hip khususnya iliopsoas sehingga akan terjadi side fleksi pada trunk apabila mengayunkan kaki ke depan dan terjadi mobilitas yang berlebihan pada trunk dan timbul kekakuan pada kedua tungkainya. 2.9

Diskripsi Hidroterapi Hidroterapi berasal dari kata Yunani yaitu “ Hunder “ berarti air dan “

therapia “ berarti pengobatan. Hidroterapi adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan zat cair sebagai media pengobatan (Kesiktas, 2004).

38

Latihan hidroterapi merupakan program terapi di dalam air, dimana sifatsifat air memanfaatkan untuk mencapai tujuan terapeutik (sifat yang menyembuhkan). Tujuan hidroterapi untuk meningkatkan kemampuan anak, memperbaiki postural kontrol , melatih keseimbangan, mengontrol gerakangerakan yang involunter dan mengurangi spastisitas (McManus, 2007). 1. Fisika Dasar Air Air terdiri dari unsur hidrogen dan oksigen. Pada temperatur dan tekanan yang normal, air tidak berwarna, tidak berasa/tawar dan tidak berbau. Air membeku pada 0º C dan menguap/mendidih pada 100º C (212º F). Benda dalam zat cair/air mendapatkan tekanan hidrostatis dari segala jurusan, besarnya sebanding dengan jarak benda terhadap permukaan zat cair. Ada beberapa hukum hidrostatistis : Semua titik pada benda yang berada dalam bejana berisi zat cair, tanpa memandang bentuk bejananya, akan mendapatkan tekanan hidrostatis yang sama besar (Hukum utama hidrostatis). Karena efek tekanan hidrostatik memungkinkan memfasilitasi secara distal, membuat pasien dapat bergerak aktif secara proksimal. Tekanan hidrostatik menghasilkan tenaga yang tegak lurus dengan permukaan tubuh pasien, tekanan ini membuat sendi tubuh menyadari di posisi mana ia berada (body awareness), sehingga hasilnya terjadi peningkatan propioseptif/ rasa gerak. Rasa gerak ini akan memudahkan pengaturan kontrol postural. Tekanan yang dikenakan pada permukaan zat cair akan diteruskan ke segala arah dengan sama rata (Hukum Pascal). Tekanan yang sama rata di seluruh permukaan kulit memberi rasa nyaman pada input sensoris taktil. Taktil akan

39

memproses informasi tentang sentuhan terutama yang diterima oleh kulit dari ujung kepala sampai ujung kaki tentang tekstur, bentuk dan ukuran suatu benda. Input sensoris ini memberi informasi ke otak tentang apa yang menyentuh dan apa yang kita sentuh, serta membantu kita menemukan sesuatu sentuhan tersebut membahayakan kita atau tidak. Informasi taktil di air kolam memberikan informasi ke otak bahwa minimnya resiko melukai diri sendiri karena di air tidak mungkin jatuh di permukaan yang keras, sehingga pasien lebih percaya diri dan bebas untuk bergerak, gerakan yang dihasilkan jadi lebih mudah. Benda-benda (seluruh/sebagian) yang dimasukkan ke dalam zat cair, mendapatkan gaya ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair didesaknya (Hukum Archimedes). Hukum ini akan mempengaruhi penilaian apakah bentuk tubuh pasien sesuai atau tidak dengan densitasnya (berat jenis). Pasien yang pernah mengalami operasi yang memasukan metal ke dalam tulang atau tubuhnya, biasanya akan menambah tingkat densitas. Densitas manusia yang normal adalah 0,974. Bila densitasnya lebih dari 1, manusia akan tenggelam. Kecenderungan untuk membawa ke permukaan benda-benda yang dimasukkan ke dalam air/zat cair disebabkan oleh karena tekanan ke atas dari air.zat cair ke semua bagian benda tersebut (Hukum Bouyancy). Daya apung dapat memberikan relaksasi karena ketinggian air dapat mengurangi berat badan. Dengan gaya gravitasi tubuh akan tertarik ke bawah, sedangkan di dalam air, akibat adanya daya apung tubuh akan terdorong ke atas. Jika kedalaman air setinggi leher, maka berat badannya 10 % dari berat badan sesungguhnya bila berada di darat. Jika setinggi ulu hati, berat badan yang disangga kira-kira 25 %,

40

bila sebatas pusar atau setinggi pinggang, berat badan yang disangga kira-kira 50 % dari berat badan sebenarnya. Semakin dalam air maka berat tubuh semakin ringan dan mampu mengurangi spastisitas pula. Tahap awal, biasanya anak CP akan dimasukkan ke dalam air yang paling tinggi kedalamannya agar spastisitasnya berkurang, bila spastisitasnya sudah turun dan anak mampu mengatur keseimbangannya, maka bisa dilanjutkan ke tempat yang lebih dangkal. Apabila sebuah benda dimasukkan ke dalam air akan terdapat beberapa gaya seperti; (a) gaya gravitasi, gaya yang cenderung menarik benda vertikal ke bawah, besarnya tekanan tergantung dari massa benda dan berat benda, (b) Bouyancy/gaya ke atas/gaya apung, disebabkan oleh adanya gaya apung dan cenderung memindahkan benda vertikal ke atas. Kebalikan dengan arah gaya gravitasi (sesuai dengan hukum Archimedes). Sifat kental yang dihasilkan air merupakan sumber tahanan yang terbaik yang dapat memudahkan latihan di dalam air (sifat viscosity). Tahanan tersebut dipakai untuk melatih penguatan otot-otot tanpa menggunakan beban. Adanya double tahanan di dalam air memungkinkan terapis bisa memberikan sejumlah poin perbaikan yang sulit dilakukan di darat atau di matras. Di dalam air, pasien dapat mengembangkan stabilitas tanpa adanya bantuan dari luar, karena pergerakan di dalam air sangat lamban, pasien cukup waktu untuk mengembangkan kemampuan pengendalian stabilitas mereka tanpa banyak bantuan intervensi terapis. Pembelajaran beberapa aktifitas dapat lebih mudah

41

dilakukan di dalam air dari pada di darat (seperti berdiri tegak, belajar meniup dan laithan napas). Pembiasan cahaya terjadi kalau cahaya merambat melalui zat antara (medium) yang tidak sama kerapatannya (hukum refraksi). Pengaruh hukum ini terhadap pelaksanaan hidroterapi secara visual, pasien merasa nyaman karena dasar kolam yang airnya jernih menjadi tampak lebih dangkal dari pada sesungguhnya. Demikian tubuh pasien merasa lebih pendek dari sebenarnya yang secara hukum lever memudahkan kerja sistem musculoskeletal tubuh pasien karena pengaruh gaya gravitasinya lebih kecil 2. Efek terapeutik dan fisiologis a. Terhadap kulit Efek yang pertama kali pada kulit adalah vasokonstriksi pembuluh darah superficial, diikuti timbulnya warna kemerah-merahan (eritema) karena adanya vasodilatasi (hiperemi). Bila dingin diberikan pada waktu yang lama, kulit akan berwarna kebiru-biruan (sianosis) karena vasokonstriksi. Ujung saraf (nerve ending) akan paralysis dan sensitifitas serabut syaraf sensoris akan berkurang. b. Terhadap jantung dan pembuluh darah Terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kulit, segera diikuti vasokonstriksi pembuluh darah perifer lainnya, menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara menyeluruh, kemudian akan diikuti oleh peningkatan tekanan darah dan denyut nadi menjadi cepat. Setelah reaksi menghilang, pembuluh darah perifer segera akan dilatasi kembali, tekanan darah menurun dan denyut nadi menjadi lambat.

42

c. Terhadap respirasi Pernafasan menjadi cepat dan dangkal, kemudian segera diikuti napas yang dalam dan lambat sehingga meningkatkan pertukaran gas O2 dan CO2 di alveolus paru. d. Terhadap jaringan otot Bila diberikan hanya sebentar, akan memberikan perbaikan pada sirkulasi darah, sehingga kegiatan otot dan tonus otot bertambah. Bila waktunya diperpanjang, maka tonus otot akan berkurang, terlihat timbulnya kekakuan pada anggota tubuh dan akan menggigil sebagai usaha untuk menghasilkan panas. e. Terhadap sirkulasi darah Terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kulit, sehingga memompa atau mendorong darah ke jaringan lebih dalam. Disusul dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah superficial sehingga peredaran darah menjadi lancar. f. Terhadap sistem saraf Dingin menyebabkan paralis saraf pada kulit. Bila diberikan pada waktu yang cukup lama akan menyebabkan penurunan fungsi saraf. Tapi bila diberikan pada dosis yang cukup memperbaiki sistem saraf simpatik pada tubuh, memperbaiki hormonal dan metabolisme yang dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan tubuh. Bila daya tahan tubuh semakin kuat, secara psikologis anak akan senang melakukan kegiatan terapi di dalam air (hidroterapi). Rasa senang atau relaksasi tersebut membantu anak meningkatkan atensi dan partisipasi aktif selama kegiatan terapi berlangsung dan hasilnya lebih efektis (Yenita, 2011).

43

Seluruh sistem sensoris harus dapat berfungsi dengan tepat dan berintergrasi satu sama lain untuk dapat menginterpretasikan seluruh stimulus yang terdapat di sekitarnya secara akurat dan memberi respon terhadap stimulus tersebut dengan akurat juga, (Noh, 2008). 3. Mekanisme hidoterapi pada cerebral palsy Permasalahan pada cerebral palsy adanya abnormalitas tonus (spastisitas) sehingga mengalami kesulitan mengontrol gerakan dan ketidakmampuan melakukan aktifitas fungsional secara independen (Hutzler, 2008). Latihan hidroterapi menguntungkan pergerakan motorik karena melibatkan multi stimulasi input sensoris. Hal ini terjadi melalui serangkaian proses yang terorganisasi melalui sistem saraf pusat. Sistem ini menerima input sensori dari reseptor-reseptor

ekteroseptif

(yaitu

reseptor

penglihatan,

pendengaran,

pengecapan, bau dan suhu), dari propioseptif (reseptor yang terdapat pada otot, tendon, ligamen, sendi dan selaput otot), serta dari sistem vestibular (informasi diterima melalui telinga bagian dalam mengenai keseimbangan, pergerakan dan gravitasi) (Real, 2005). Latihan hidroterapi dapat mengurangi spastisitas dengan mekanisme reflek inhibiting posture. Temperature air berpengaruh terhadap spastisitas dan efek rileksasi. Latihan hidroterapi memanfaatkan tekanan hidrostatik meningkatkan posisi kesadaran sendi atau propioseptif. Tekanan hidrostatik menghasilkan tekanan yang tegak lurus dengan permukaan tubuh pasien. Tekanan ini membuat sendi lebih menyadari di posisi mana dia berada, sehingga hasilnya terjadi peningkatan propioseptif (rasa gerak sendi) (Broach, 2007).

44

Daya apung pada hidroterapi berfungsi mengurangi jumlah berat badan dengan cara menurunkan kekuatan yang dihasilkan oleh tekanan pada sendi. Viscosity atau sifat kental yang dihasilkan air merupakan sumber tahanan terbaik yang dapat memudahkan program latihan.Tahanan tersebut digunakan untuk penguatan otot tanpa membutuhkan beban. Menggunakan double tahanan yang dimiliki air (buoyancy dan viscosity) untuk menguatkan grup otot yang apabila dilaksanakan diluar air tidak bisa atau bahkan tidak mungkin tetapi ketika dilaksanakan di air penguatan grup otot ini dapat dilaksanakan (Broach, 1997). 4. Teknik Hidroterapi Intervensi fisioterapi yang dapat digunakan untuk menangani anak dengan kondisi cerebral palsy spastic diplegia adalah Hidroterapi dengan metode Halliwick dan Bad Ragaz. a. Metode Halliwick Dikembangkan oleh James McMillan pada tahun 1950, yang dimulai di Halliwick School for Crippled Girls di London dengan menerapkan 10 Point Program. Dasar filosofi Halliwick adalah untuk mencapai kemandirian yang maksimal di air dan darat melalui kepercayaan diri yang baik. Terdapat 10 tahapan teknik dalam metode Halliwick, yang kesemuanya mencakup adaptasi mental (mental adaptation/adjustment), kontrol keseimbangan (balance control) dan gerakan (movement).

45

b. Mental Adjustment Bertujuan untuk menghilangkan rasa takut terhadap air serta untuk melatih pernafasan dalam air meliputi menahan nafas dalam air dan mengontrol hembusan nafas agar tidak menghirup atau menelan air. c. Disengagement Merupakan instruksi gerakan menjadi bebas secara fisik dan mental di dalam air selama proses,berdiri, berjalan, melompat dan berhenti. d. Transversal Rotation Control Latihan aktivitas yang disusun untuk membantu anak mengontrol dan menyusun semua gerakan rotasi yang ada pada aksis fronto transversal. e. Sagittal Rotation Control Prinsip dasar latihan adalah melatih kemampuan anak untuk menata dan mengontrol gerakan berputar yang berpusat pada axis sagitto transversal. f.

Longitudinal Rotation Control Prinisip dasar latihan adalah melatih kemampuan anak untuk menata dan

mengontrol gerakan berputar yang berpusat pada axis sagitto frontal. g. Combined Rotation Merupakan kemampuan untuk mengontrol semua kombinasi rotasi. h. Up Trust Latihan dengan prinsip mengapung dan tenggelam didalam air. Dan untuk mengontrol tubuh didalam air.

46

i. Balance in stillness Kemampuan untuk memelihara atau mengganti posisi di dalam air dengan mandiri. j. Turbulent gliding Rileksasi yang dilakukan didalam air dengan posisi mengapung terlentang dengan support terapis dengan arah gerak berputar (turbulence). k. Simple Progression and Basic Progression Latihan berpindah tempat secara mandiri dengan mengapung di dalam air, tergantung pada kemampuan individu. b. Metode Bad Ragaz Bad Ragaz dikembangkan di Jerman, tetapi asal mula bad Ragaz dari Switzerland. Tujuan utama metode ini adalah: memperbaiki dan memelihara fungsi, perbaikan control kepala dan trunk, muscle balance, equilibrium serta menambah range of motion. 2.10 Diskripsi Terapi Bobath Dengan

perkembangan

zaman,

ilmu,

dan

teknologi

yang

terus

menerus,maka terapi latihan dengan metode Bobath mengalami perkembangan. a. Konsep Awal (Original Concept) Metode Bobath pada awalnya memiliki konsep perlakuan yang didasarkan atasinhibisi aktivitas abnormal refleks (Inhibition of abnormal refleks activity) dan pembelajaran kembali gerak normal (The relearning of normal movement), melalui penanganan manual dan fasilitasi.

47

b. Konsep Bobath Terkini Dalam kurun waktu dekade terakhir ini memaparkan para terapis dengan peningkatan evidance di bidang neuroscience, biomechanics dan motor learning (Royal College of Physicians, 2004). Perkembangan ini memperdalam pemahaman tentang human movement dan efek dari patologi, membantu untuk membimbing para terapis dalam melakukan intervensi klinis mereka untuk memaksimalkan fungsional outcome pasien. Terdapat evidance yang kuat efek dari rehabilitasi dalam hal peningkatan kemandirian fungsional dan mengurangi kematian (Royal College of Physicians, 2004). Konsep Bobath terkini adalah suatu problem solving approach untuk melakukan suatu assessment dan treatment kepada individu dengan gangguan fungsi, gerak dan postural control karena adanya suatu lesi pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan dapat diterapkan pada individu-individu dari segala usia dan semua derajat cacat fisik dan fungsional (Raine, 2006; IBITA, 2007)

TASK INDIVIDUAL

ENVIRONMENT

Gambar 2.5. Motor Control (Sumber:Raine, 2007)

48

Systems approach teori motor control adalah dasar yang mendasari prinsipprinsip dari assesment dan treatment yang terdapat dalam konsep Bobath terkini (Raine, 2007). Konsep ini menganggap motor control adalah dasar dari bekerjanya sistem saraf baik secara hierarchical dan distribusi paralel, multilevel processing diantara banyak sistem dan subsistem melibatkan beberapa input, dan dengan modulasi pada level tertentu dalam suatu proses. Sehingga memungkinkan terjadinya potensi plastisitas sebagai dasar pembangunan, belajar dan pemulihan dalam sistem saraf dan sistem otot. Plastisitas merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk melakukan suatu perubahan. Kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang mengalami cidera atau kerusakan disebut neuroplastisitas. Neuroplastisitas merupakan suatu perubahan yang terjadi pada lokasi pengorganisasian sistem saraf terutama perubahan yang terjadi pada lokasi tempat fungsi processing informasi sebagai akibat pembelajaran dan pengalaman (Shumway-Cook & Woollacott, 2007). Neuroplastisitas ini sendiri adalah merupakan perubahan dalam prilaku, indera dan pengalaman kognitif. Dalam penelitian neuroscience, terdapat 2 kategori penting dalam pendekatan untuk memperbaiki fungsi otak setelah mengalami cidera, yaitu : 1. Usaha untuk membatasi tingkat keparahan

cidera awal untuk

meminimalkan hilangnya fungsi 2. Usaha untuk pengorganisasian kembali otak untuk mengembalikan fungsi yang telah hilang

49

Pendekatan yang pertama merupakan hal yang sangat penting, karena perawatan pada saat awal cidera akan berpengaruh terhadap tingkat keparahan kecacatan jangka panjang. Ini merupakan suatu hal yang harus dipahami bagaimana struktur otak dan fungsi dapat berubah dari hari-kehari, bulan dan tahun setelah adanya kerusakan otak (Kisner & Colby, 2002). Perubahan plastisitas berdasarkan atau berlandaskan dari pembelajaran, memori, dan pemulihan dari saraf yang rusak pada dan dibawah dari tingkat kerusakan (White, 2008). Pembelajaran mengorganisasi ulang otak yang cidera walaupun tanpa adanya rehabilitasi. Konsekuensi behaviour kerusakan otak yang kehilangan fungsi adalah perkembangan pengganti strategi behaviour setiap individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Otak yang cidera merubah cara otak dalam merespon pembelajaran. Pembelajaran ini meliputi perubahan dalam gen, sinaps dan jaringan saraf sesuai dengan daerah otaknya (Schretzman, 2001). Tujuan intervesi dengan metode Bobath adalah optimalisasi fungsi dengan peningkatan control postural dan gerakan selektif melalui fasilitasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh International Bobath Instructor Training Association (IBITA,1998). Tujuan yang akan dicapai dengan metode Bobath : 1. Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi yang mengalami penurunan tonus 2. Meningkatkan kemampuan input proprioseptif 3. Melakukan identifikasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”

50

4. Fasilitasi specific motor activity 5. Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak 6.

Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif (Irfan, 2010).

Analisa tentang gerak normal (normal movement) menjadi dasar utama penerapan aplikasi metode ini. Dengan pemahaman gerak normal, maka setiap fisioterapis akan mampu melakukan identifikasi problematik gerak akibat gangguan sistem saraf pusat (Schretzman,2001). Akibat adanya gangguan sistem saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan abnormal tonus postural, dari abnormal tonus postural tersebut kemudian berdampak terhadap menurunnya kualitas gerak yang mengakibatkan terjadinya abnormalitas pada umpan balik sensoris. Pada tahap ini aktivitas dilakukan dengan kerja yang lebih berat. Akibat adanya abnormalitas pada umpan balik sensoris maka akan berakibat menurunnya kualitas gerak dan pada akhirnya memunculkan kembali abnormalitas tonus postural. Pada tahap ini akan terjadi kompensasi gerak. Adanya abnormalitas gerak memberikan dampak terhadap komponenkomponen gerak lainnya yang saling berhubungan satu sama lain. Untuk itu, diperlukan metode yang dapat menghentikan abnormalitas gerak akibat lesi pada CNS. Metode Bobath adalah salah satu metode yang berorientasi pada aktivitas pola gerak normal dengan meningkatkan kemampuan control postural dan gerakan-gerakan selektif.

51

2.1.1 Indikasi dan Kontra indikasi Metode Bobath a. Indikasi Metode Bobath 1) Adanya cidera atau injury Sistem Saraf Pusat 2) Adanya gangguan proprioseptif 3) Adanya masalah motor control 4) Adanya masalah human motor behaviour b. Kontra Indikasi Metode Bobath 1) Treatment dihentikan apabila nadi melebihi HRmax 2) Adanya pucat 3) Adanya sesak nafas