DAFTAR ISI

Download Pembaca yang budiman, Sosialita edisi ini berisikan delapan artikel terpilih, yang mencermin kan visi akademik kami untuk menjadi bagian da...

0 downloads 877 Views 1MB Size
Vol 9, No.1, Juni 2011

Daftar Isi Pengantar Redaksi ...................................................................................................................

ii

Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan Masyarakat Pesisir Jakarta ................................... Asep Suryana

1-13

Ironi Sertifikasi: Antara Tuntutan Kompetensi dan Realitas Kinerja Guru IPS SMPN di Kota Bekasi ......................................................................................................................... Budiaman

14-20

Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan: Analisis Kontestasi Sektoral di Hulu DAS Cidanau ................................................................................................................................... Hidayat

21-31

Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi Ekologis di Ciharupan-Cisolok, Sukabumi ................................................................................................................................. Muhammad Zid

32-38

Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan: Survei Tiga Faktor Pendorong di Kecamatan Plered Purwakarta ............................................................................................................................. E. Surachman

39-49

Komunalitas Terbayang: Mudik sebagai Fenomena Kultural-Kependudukan ......................... Ahmad Tarmiji AlKhudri

50-59

Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan: Potensi Kemadanian di Tengah Marjinalisasi ........ Febri Setiawan

60-76

Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran: Konseptualisasi Habitus untuk Sosiologi-Pedagogis ................................................................................................................ 77- 88 Robertus Robet dan U. Abdul Rozak R.

ii

Pengantar Redaksi Pembaca yang budiman, Sosialita edisi ini berisikan delapan artikel terpilih, yang mencerminkan visi akademik kami untuk menjadi bagian dari produksi ilmu pengetahuan sekaligus berkonstribusi bagi dinamika masyarakat Indonesia. Ia diawali dengan diskusi tentang ironi keberdayaan yang dialami masyarakat Pesisir Jakarta tatkala saat ini mereka berhadapan dengan liberalisasi sosial ekonomi yang kian kuat. Pun, edisi ini berakhir dengan menyajikan suatu penelusuran epistemologis tentang pentingnya perspektif sosiologi, yang juga adalah teori pendidikan sekaligus. Yang pertama ditulis Suryana, sementara yang paling akhir adalah artikel kolaboratif Robet dan Rozak. Di antara itu, terentang sajian fenomena sosial yang relatif beragam, sekaligus memperkaya edisi Sosialita ini. Keprihatinan lembaga sertifikasi diajukan Budiaman. Sertifikasi dapat ditempatkan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Guru dituntut untuk meningkatkan kapasitas akademik dan pedagogis dirinya. Dalam rangka itu, bila peningkatan kualitas diri tadi tercapai, mereka mendapatkan tunjangan profesi yang dirancang sebagai fasilitasi peningkatan kualitas dirinya tersebut. Akan tetapi, upaya ideal itu rupanya terhadang oleh pelbagai masalah, yang oleh Budiaman diekspresikan dalam frase ironi sertifikasi. Segi lain ialah soal kemandirian komunitas petani hutan yang ditulis Hidayat. Ia memperlihatkan bahwa tertatih-tatihnya kemandirian komunitas tersebut tidaklah semata-mata berakar pada masalah internal masyarakat tersebut, tetapi juga disumbang oleh faktor makro— yang dirumuskan sebagai dampak kontestasi sektoral. Zid menyajikan potret sosial strategi nafkah keluarga nelayan di Sukabumi. Salah satu strategi yang diperlihatkan Zid ialah menguatnya beban ganda istri keluarga nelayan. Istri-nelayan tidak hanya dituntut makin mahir mengatur alokasi ekonomi rumah tangga. Lebih dari itu, ia pun akhirnya merambah area publik: sebagai pencari nafkah demi menutupi tidak rutinnya penghasilan suami mereka. Pentingnya menumbuhkan sikap kewirausahaan di masyarakat bawah diajukan Surachman. Sikap tersebut mendesak ditumbuhkembangkan, lantaran Indonesia dianugerahi sumber daya melimpah yang harus diolah agar bernilai ekonomis sekaligus menjadi sumber kesejahteraan mereka. Surachman pun memperlihatkan signifikannya peran variabel persepsi lingkungan, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan sebagai faktor pendorong untuk menguatkan sikap kewirausahaan di kalangan masyarakat bawah tersebut. Artikel lainnya ditulis oleh dua penulis muda. Mudik—yang ditempatkan sebagai masalah kependudukan desa-kota—Alkhudri lihat didorong oleh semacam primordialisme terbayang. Meski ditandai oleh tingkat keberbahayaan yang tinggi, mudik tetap saja dilakukan karena identitas sosial budaya pelakunya tersegarkan sekaligus energi psiko-sosial mereka pun terisi. Selanjutnya, mudik menjadi tumpuan gelombang migrasi berantai berikutnya yang masuk dan mewarnai dinamika sosial ekonomi kota. Sementara, Setiawan mengargumentasikan potensi kemadanian yang dimiliki oleh komunitas moda transportasi yang selama ini dianggap marjinal. Justru kemarjinalannya itulah yang menempatkan mereka berpotensi madani, dan hal tersebut amat tampak melalui apa yang Setiawan sebut sebagai struktur pengetahuan ke-bajaj-an mereka. Itulah delapan artikel Sosialitas edisi ini. Mudah-mudahan apa yang tersaji, menjadi bagian signifikan dari proses produksi ilmu pengetahuan dan konstribusi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dalam kehidupan berbangsa. Semoga...!

Asep Suryana

1

Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan Masyarakat Pesisir Jakarta Asep Suryana Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: [email protected]

Abstract This article aimed to discuss an ironi of the empowerment toward Jakarta coastal communities. Their empowermet pattern in fact was based on the civic space their built in the micro scale. Civic space means community arena in one space—shown in three cases—where allowed themselves to consolidate their social, cultural, and simbolical capitals. Despite of they are relatively empowered in the micro level, but still they seems to be frail in the macro level. And this is the irony we are talking about. The irony was firmly related to the caracters of coastal Jakarta where highly contested, politically, and strategic. These Jakarta coastal communities always be dealing with enterprise power who had a command over the blue print of the Jakarta coastal made by state. This is the dynamic of coastal coorporatocration currently gripped this strategic area.

Keywords: civic space, irony of empowerment, coastal coorporatocration

Pendahuluan Artikel ini mendiskusikan fenomena ironi keberdayaan yang dihadapi masyarakat pesisir Jakarta. Argumen yang dikembangkan bertumpu pada pendekatan kontestasi majemuk (Suryana, 2007) yang berpadu padan dengan konsep ruang kewargaan (civic space) [dipinjam dari Daniere dan Douglass (2009)]. Komunitas pesisir Jakarta relatif berdaya lantaran bertumpu pada ruang kewargaan yang tengah mereka bangun di tataran mikro. Mereka berperan lebih strategis: sebagai subjek aktif dan kreatif, bahkan mampu memanfaatkan pelbagai peluang yang dihasilkan oleh kebijakan negara maupun aktivitas perusahaan-perusahaan besar. Ruang kewargaan yang mereka bangun pun begitu bermakna dalam konteks kontestasi mikro itu. Akan tetapi di tataran makro, posisi mereka amatlah ringkih. Mereka hanya berperan sekunder bahkan tertier. Justru pasar dan negara—atau meminjam terminologi Perkins [2004] dan Rais [2008] fenomena korporatokrasi pesisir—yang berperan strategis. Ruang kewargaan adalah arena komunitas dalam suatu ruang (space) yang memungkinkan mereka mengonsolidasikan segenap kapital sosial, kultural, dan simbolik yang mereka mi-

liki. Fenomena tersebut harus dilihat secara aktif, sebagai gejala people making city dalam rangka mencapai hidup yang lebih berkualitas (lihat Somantri, 2000). Melalui ruang kewargaan itu, mereka dapat melakukan aktivitas tertentu agar lingkungan fisik mereka tetap sehat, lebih sejahtera, atau dapat memenuhi satu segi psikologis yang mereka butuhkan. Mereka pun dapat menggapai cita-citanya secara individual maupun kolektif dalam ruang kewargaan yang spesifik tersebut. Pada sudut lain, ruang kewargaan pun dapat dilihat sebagai respon, siasat, atau konsekuensi dari posisi komunitas dalam konteks kontestasi majemuk di atas (lihat Leaf dan Setiawan, 2009). Pesisir Jakarta dipilih sebagai setting, karena areal ini secara historis dan sosiologis telah menjadi arena kontestasi majemuk yang sangat dinamik dan mendalam. Wilayah ini adalah awal sekaligus denyut nadi perkembangan Jakarta. Pesisir Jakarta adalah area penghubung (intermediate space) antara Jakarta dengan kota dan wilayah lain di Indonesia, dan berkonstribusi besar bagi ruang sosial Jakarta yang lain. Selain itu, areal pesisir juga menjadi pintu gerbang bagi Jakarta dalam konteks sistem kota-kota gobal yang saling terhubung.

2

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

Pada akhirnya, pesisir berkonstribusi besar menjadikan Jakarta sebagai kota utama dalam hirarki sistem kota Indonesia, sekaligus berposisi periferal dalam hirarki sistem kota global.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan banyak kasus (lihat Miles dan Huberman, 1992; dan Cresswell, 1998). Pada tahap awal, data dikumpulkan melalui sumber-sumber sekunder seperti media massa, hasil-hasil penelitian lapangan, dan sumber internet (semisal website dan blog). Dipilih tiga kasus mikro yang dapat mengilustrasikan arti pentingnya ruang kewargaan di tingkat mikro sekaligus memperlihatkan ironi keberdayaan yang mereka bangun. Pertama, kasus rob yang diliput secara luas oleh media massa dan sumber internet. Kedua, kasus kompleks makam Mbah Priok yang telah menjadi peristiwa nasional dan juga diliput media massa, dan terakhir adalah kasus rekonstruksi identitas etnis Bugis di Kalibaru, Cilincing.

pada sumber daya laut (misalnya nelayan). Sebagian lain bermata pencaharian sekitar sumber daya pantai (seperti petani tambak). Ada pula yang memiliki sumber nafkah di luar kategori pertama dan kedua, tetapi hidup di teritori pantai/berbatasan dengan laut. Pesisir adalah awal perkembangan kota metropolitan Jakarta. Kota ini bermula sebagai bandar pelabuhan, kota benteng Batavia, dan akhirnya berkembang ke arah selatan dengan mengintegrasikan wilayah-wilayah lain yang semula menjadi suburbannya (Abeyesekere, 1989; Surjomiharjo, 1977; Somantri, 2000; Suryana, 2003 dan 2007). Secara keseluruhan, ruang sosial pesisir Jakarta memiliki dinamikanya yang mendalam sebagai produk kontetasi negara, pasar, dan masyarakat yang menetap di area tersebut. Bahkan di antara bentangan pesisir Jakarta sepanjang 37 kilometer, ia memiliki dinamikanya yang spesifik: berbeda antara satu titik dengan titik yang lain.

1. Anatomi Masyarakat Pesisir Jakarta

Secara anatomis, pesisir Jakarta terdiri atas tiga ruang sosial. Pertama, ruang pesisir timur: ditandai oleh dibangunnya kawasan industri dan peti kemas dalam skala besar. Di antara ruang industri, terdapat permukiman penduduk yang berkategori menengah, bawah, bahkan kumuh. Jelas penetrasi negara dan pasar amat besar di area ini. Pemerintah (pusat maupun DKI) telah membangun kawasan industri, dan pada gilirannya telah menjadi area terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan besar. Dinamika sosial ekonomi spesifik pun lahir akibat kehadiran kawasan industri ini (lihat Anshar, 2009 dan 2010; Anshar dan Jupiter, 2007; Sundjojo dan Suryana, 2009).

Sebagai kota pesisir, ruang pesisir Jakarta terbentang sepanjang 37 kilometer, dan menjadi satu ruang strategis yang menopang sistem anatomi kota metropolitan Jakarta yang berkembang ke arah selatan. Secara konseptual, pesisir Jakarta adalah ruang sosial yang berfungsi sebagai area perhubungan antar pulau bahkan antar negara; sekaligus berperan pula sebagai sentral penangkapan, pengumpulan, pengolahan, bahkan komersialisasi sumber daya laut (lihat Ali, 1998; Rudyansyah, 2009; Somantri, 2000; Lapian, 2009). Sementara, masyarakat pesisir Jakarta adalah orang yang hidup di teritori yang langsung berbatasan dengan laut. Sebagian mereka menyandarkan nafkahnya

Kedua, lanskap pesisir barat Jakarta dan ruang sosial ini tersegmentasi secara kelas sosial. Di area tersebut terdapat permukiman padat bahkan cenderung kumuh seperti kampung Luar Batang (lihat Subroto, tanpa tahun). Terdapat pula permukiman mewah kelas atas, seperti perumahan Bukit Golf Mediterania yang dibangun di atas tanah hasil reklamasi dan pengubahan lahan hutan bakau dan rawa. Perumahan seluas 831 hektar itu dibangun pada tahun 1992. 200 hektar tanah yang tersisa kemudian mereka bangun pada tahun 2003. Perumahan mewah tadi menggunakan sistem gated community (pemukiman dengan satu pintu), dan dilengkapi fasilitas yang sangat

Data tiga kasus di atas kemudian dilengkapi melalui teknik pengamatan dan wawancara mendalam. Sementara itu, untuk mengontruksikan pola kontestasi makro di pesisir Jakarta, data resmi Biro Pusat Statistik seperti Kotamadya Jakarta Utara dalam Angka 2009, menjadi andalan utama. Sumber data lainnya ialah hasil penelitian yang pernah penulis lakukan, buku, koran, majalah, dan sumber internet.

Hasil dan Pembahasan

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan

memadai seperti jalur lari (jogging track) dan sistem tata air (hidrologi) yang disebut sistem polder. Para penghuninya pun sama sekali tidak merasakan rob apalagi banjir. Tanggul, saluran kolektor, waduk, dan pompa air, adalah fasilitas berteknologi tinggi yang memungkinkan perumahan ini dihuni secara nyaman, sungguh pun berada di bawah permukaan laut (lihat http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/proper ti/2003/1031/prop1.html, diakses 28 September 2010). Ketiga ialah ruang sosial tengah, dan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan pemerintah. Wilayah ini terbentang antara pelabuhan Tanjung Priok, Ancol, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa. Mapannya sistem lanskap ini menjadi pertanda menguatnya penguasaan dan peran negara. Pada tahap awal, gejala ini diperlihatkan oleh peran strategis pelabuhan Sunda Kalapa yang terbangun sejak prakolonial. Menjelang akhir abad 19, setelah dirasa dinamika ekonomi lebih tinggi dan tidak dapat ditibakan sepenuhnya kepada Sunda Kalapa, Pemerintah Kolonial Belanda membangun pelabuhan Tanjung Priok, yang berjarak sepuluh kilometer arah timur Sunda Kalapa. Begitu pula pada tahun 1960an sampai 1970an, bibir pantai antara dua pelabuhan tersebut diubah oleh pemerintah DKI menjadi arena rekreasi komersial. Dengan demikian, bibir pantai ini bergeser: dari ruang publik menjadi ruang komersial yang dikelola oleh perusahaan pemerintah Jakarta. Pada aras yang lebih mikro, penduduk biasa pun berkontestasi secara lebih signifikan. Hal tersebut mereka lakukan pada arena “sisa”, antara ruang yang dikelola negara dan ruang yang dimiliki perusahaan besar. Mereka misalnya, coba mencari nafkah di pusat-pusat bisnis yang tumbuh karena digerakkan oleh negara dan perusahaan. Sebagian yang lain menduduki secara illegal tanah negara maupun tanah perusahaan (ini misalnya terjadi pada permukiman kumuh dan illegal di sekitar waduk penjaringan; lihat Suryana dkk., 2003). Kontestasi penduduk yang lain juga terjadi pada sudut-sudut lahan yang kian strategis. Di sekitar Pelabuhan Kalibaru misalnya, muncul gejala menguatnya pasar (marketplace) dan pengolahan kayu. Di situ juga terdapat pasar tradisional yang hidup untuk memenuhi

3 kebutuhan penduduk setempat (Sundjojo dan Suryana, 2009). Sementara itu, akibat penataan fisik yang tidak beraturan, permukiman penduduk yang telah mapan sebelum era reklamasi dikepung dari dua penjuru. Mereka menghadapi rob (banjir ketika air pasang), karena menurunnya tingkat permukaan tanah sekaligus menaiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Mereka juga dihadapkan banjir betulan, karena hilangnya area parkir air akibat reklamasi. Penduduk tadi coba bertahan tinggal di situ, meski harus membiasakan diri dan “bersahabat” dengan kondisi lingkungan yang makin buruk. Fenomena lingkungan di atas dapat dilihat sebagai produk ketidakmampuan negara dalam menyubordinasikan peran pasar dalam kerangka cita-cita ideal penataan masyarakat pesisir (lihat Graham dan Marvin, 2001; Kooy, 2008; dan Rais, 2008). Komunitas lokal pun melakukan kontestasi ruang sosial mikro baik secara individual maupun kolektif. Permukaan rumah mereka naikkan. Secara kolektif pun, permukaan jalan mereka tinggikan agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Upaya meninggikan rumah dan infrastuktur permukiman mereka juga harus berkompetisi dengan hal sama yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan pemerintah. Akibatnya terjadi lagi kontestasi dalam peninggian permukaan tanah. Sebagian besar penduduk lokal kalah dalam kontestasi ini. Akibatnya banjir selalu menjadi “sahabat” bagi penduduk setempat. Somantri (2000) mengonseptualisasikan gejala kreativitas penduduk Jakarta di atas sebagai frase people making city. Akan tetapi ada dua konteks yang membedakan apa yang Somantri konseptualisasikan dengan kasus yang penulis teliti. Pertama, konseptualisasi Somantri dilakukan ketika situasi politik Jakarta masih di bawah otoritarian Orde Baru. Ruang gerak penduduk lokal begitu terbatas. Gerak sosial masyarakat sipil sulit berkembang. Situasi ini amat berbeda dengan setting penelitian penulis. Ruang politik saat ini begitu luas. Gerakan masyararakat sipil di tingkat lokal memiliki ruang aktualisasinya secara kelembagaan (lihat Daniere dan Douglass, 2009). Protes terbuka penduduk lokal terhadap kebijakan pemerintah maupun perlawanan terhadap perilaku negatif perusahaan juga jauh lebih meluas. Kedua,

4

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

partisipasi warga di era Orde Baru nyaris tidak ada. Orde Baru berpola top down (Suryana, 2002). Sementara sekarang, liberalisasi politik tidak saja telah memperluas ruang gerak politik akar rumput, tetapi juga telah melibatkan mereka dalam sistem kepemerintahan lokal setempat (misalnya dalam bentuk dewan kelurahan dan program PPMK; lihat Suryana dkk., 2004). Kampung Bahari (di Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Priok) adalah ilustrasi yang dapat mewakili fenomena people making city di tengah pola kontestasi majemuk di atas. Penduduk hunian ini melonjak padat setelah BUMN yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok membagikan tanah kepada siapa saja yang bersedia menetap di sana pada tahun 1958. Tahun 1979 saat sistem listrik masuk ke wilayah ini, penduduknya lebih padat. Tahun 1982 dinamika sosial ekonomi kampung ini memasuki babak baru. Sebagian rawa yang menjadi penanda struktur sosio spasial permukiman ini diuruk, dan di atasnya lalu dibangun pabrik (seperti PT. Sainat Garment, PT. WerWels Garment, PT, Golden Garment, dan PT. Pacific Paint). Begitu pula rawa di belahan selatannya pun diuruk, lalu dibangun PT. Astra Honda Motor, perusahaan multinasional Jepang yang memproduksi sepeda motor terbesar di Indonesia. Bahkan hanya berjarak 1,5 km dari kampung Bahari, juga dibangun kawasan

industeri yang diberi nama Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Di KBN ini terkonsentrasi banyak pabrik beroperasi (lihat Astuti, 2010). Jelas, sejarah sosial permukiman penduduk seperti halnya Kampung Bahari di atas, bertalian erat dengan pelabuhan Tanjung Priok. Ia berawal dari kampung yang berisikan buruh kasar di pelabuhan Tanjung Priok. Titik transformasi pertama permukiman ini bertumpu pada pembagian tanah pada tahun 1958. Karena strategisnya areal ini, banyak pendatang yang tinggal di permukiman tersebut begitu ada listrik pada tahun 1979. Empat pabrik pun didirikan karena mudahnya pengiriman dan penerimaan komoditi yang dibutuhkan melalui pelabuhan Tanjung Prio pada tahun 1982. Semua hal tersebut mengisyaratkan kuatnya gejala people making city yang bekerja dalam aras kontestasi mikro. Inilah konteks yang melatari lahirnya ruang kewargaan di pesisir Jakarta. Pada jenjang makro, daya tawar komunitas lapis bawah amat lemah; berbanding terbalik dengan daya tawar mereka yang lebih tinggi di jenjang mikro. Ini adalah paradoks daya tawar komunitas lapis bawah pesisir Jakarta. Hal tersebut sekaligus menjadi ciri utama suatu areal yang telah berabad lalu menjadi arena kontestasi ekonomi politik yang signifikan. Pesisir Jakarta amatlah berwatak politis. Agen sosial politik maupun sosial ekonomi selalu mengincar wi-

Peta 1. Posisi Pesisir di Tengah Sistem Sosial-Kewilayahan Jakarta

Sumber: Mohammadsoleh.blogspot.com. diakses 19/09/2010

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan

layah ini karena begitu strategis. Maka, sungguh pun telah terjadi pergeseran sosio-spasial yang signifikan, disain dasar kawasan ini selayaknya dilihat sebagai keberlanjutan hal yang sama sejak era kolonial (lihat Peta 1). Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa struktur sosio-spasial pesisir Jakarta juga memiliki karakter postkolonial (lihat Goonewardena dkk., 2008).

2. Fenomena Rob dan Potensi Ruang Kewargaan Lingkungan Berikut adalah dimensi blessing in disguise anatomi rob yang berpotensi menghidupkan ruang kewargaan penduduk lapis bawah pesisir Jakarta. Rob telah menjadi keseharian dan harus mereka “sahabati”. Selain rob, mereka pun harus menyiasati banjir kiriman dari belahan selatan. Selasa 6 Mei 2008, pagar tembok Pantai Mutiara sepanjang 62,5 meter roboh. 1.150 rumah di dua RW Muara Baru Penjaringan terendam air pasang antara 60 cm hingga 1,5 meter. Sebagian warga tidak sempat menyelamatkan perabot rumah tangga mereka. Begitu pula dengan kompleks perumahan Mutiara sendiri. Kompleks elit itu juga terendam setelah gelombang pasang yang lebih tinggi masuk ke perumahan ini. Untuk menahan laju ketinggian air, sebagian penghuni Pantai Mutiara berbondong-bondong membendung bagian tembok yang roboh dengan benda apa saja. Mereka pun mendatangkan dua truk tanah merah yang digunakan sebagai tanggul pengaman darurat (Kompas, 8 Mei 2008). Pada 6 Desember 2009 ratusan rumah Muara Baru Penjaringan lagi-lagi tergenang air pasang (rob) setinggi 50 -70 cm. Hal itu akibat satu dari lima tanggul milik PT. Pelindo (yang lokasnya berdekatan dengan permukiman warga) jebol. Perbaikan tanggul tadi amat lambat, dan hal tersebut amat mencemaskan warga Muara Baru. Pos Kota 4 Januari 2010 melaporkan, agar hak mereka untuk hidup layak terpenuhi, penduduk Muara Baru ini mengorganisir diri mereka agar dapat demo besar-besaran ke Pelindo. Demontrasi tadi dimaksudkan sebagai alat tekan agar Pelindo memperbaiki tanggul miliknya yang jebol. Jelas kasus lambatnya perbaikan tanggul di atas memperlihatkan lemahnya daya tawar komunitas Muara Baru. Hak kewargaan

5 komunitas untuk tidak kena rob diabaikan. Pelindo pun mengacuhkan situasi ini, bahkan amat lamban memperbaiki tanggul meski hal itu adalah tanggung jawabnya. Pada sisi lain, fenomena rob ternyata menguatkan kembali kapital sosial warga. Warga pun mampu mengonsolidasikan diri mereka sendiri dan dapat melakukan unjuk rasa besar-besaran bila Pelindo tetap mengabaikan hak mereka. Bahkan bersama-sama dengan aparat kelurahan, mereka membangun tanggul penahan air darurat dari tumpukan karung yang diisi pasir. Justru rob itulah yang menghidupkan ikatan sosial. Kebersamaan sosial horisontal dan vertikal pun menjadi lebih kuat. Kotornya bahkan rusaknya pelbagai infrastuktur—rumah dan fasilitas komunitas— selalu mereka hadapi selama dan setelah rob surut. Ketika puncaknya rob, aktivitas sosial ekonomi mereka terganggu malah nyaris terhenti. Begitu pula situasi pasca rob. Lingkungan fisik yang kotor, berpotensi menimbulkan dan menularkan penyakit. Dalam hal membersihkan lumpur setelah rob surut misalnya, kadangkala tidak dapat dilakukan oleh rumah tangga secara individual. Pola membersihkannya dilakukan secara serentakkolektif mengikuti tahapan surutnya air. Begitu surut, setiap anggota rumah tangga mengocekngocek lumpur di lantai dan di dinding, agar lumpur tersebut lebur ke dalam air, dan mengalir bersamaan dengan surutnya air rob. Setelah dirasa cukup membersihkan lumpur di dalam rumah, anggota rumah tangga tersebut kemudian membersihkan jalan atau gang di depan rumah mereka. Di sini konsep tanggung jawab atas batas teritori privat-publik bekerja. Setiap rumah tangga membersihkan selokan dan jalan/gang yang mereka anggap sebagai tanggung jawab masing-masing rumah tangga. Benih menguatnya modal sosial sesungguhnya telah tumbuh. Setiap anggota komunitas merasa “senasib meski tidak sepenanggungan”. Mereka merasa bahwa seluruh anggota komunitas mengalami musibah yang sama. Ikatan sosial antar mereka pun menjadi lebih kuat. Perasaan “senasib” menjadi “sepenanggungan” terbangun bila menghadapi situasi rob parah. Ikatan senasib sepenanggungan ini kemudian mewujud secara konkrit dan bersifat

6

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

lintas strata sosial. Inilah mekanisme sosial yang terbangun karena persoalan rob tidak mampu ditanggulangi oleh setiap rumah tangga. Rob telah menjadi masalah kolektif, dan harus dihadapi dan ditanggulangi secara bersama pula di tingkat komunitas ketetanggaan (RT dan RW). Fenomena inilah yang penulis indikasikan sebagai berpotensi tumbuhnya ruang kewargaan. Ruang kewargaan ini juga disumbang oleh faktor vertikal. Pada kasus rob Muara Baru di atas, sistem kepemerintahan lokal (local governance) efektif bekerja. Lembaga Dekel mengalami reaktualisasi. Ia menjadi lembaga koordinasi dalam rangka evakuasi, penyaluran bantuan, bahkan sebagai kelompok penekan bagi sistem pemerintahan di atasnya, maupun terhadap perusahaan yang mereka anggap sumber bencana. Ini adalah potensi bibit kepemimpinan kolektif yang terbangun di tengah musibah rob (lihat Rahmat dan Suryana, 2009). Bahkan justeru di tengah musibah rob, Dekkel menemukan kembali peran strategisnya sebagai agen penggerak pemberdayaan masyarakat, karena sebelumnya ia hanya berfungsi sebagai panitia peminjampenagih uang PPMK (lihat Suryana dkk., 2004). Dekkel berpontensi sebagai penggerak ruang kewargaan di masyarakat pesisir yang harus “bersahabat” dengan lingkungan fisik yang kian degradatif ini. Ruang kewargaan ini juga dapat dilihat sebagai pengisi peran yang seharusnya dilakoni negara. Negara tidak hadir secara sistemik dalam soal penanganan rob. Bila meminjam argumentasi Hadi (2005) dan Rais (2008), hal tersebut terkait erat dengan rendahnya kapasitas eksekusi yang dimiliki Pemerintah Pusat maupun Jakarta. (1) Pemerintah mandul mengeksekusi rencana penanggulangan rob secara makro meski cetak birunya itu telah ia susun secara matang. Fenomena korporatokrasi pun bekerja di balik gagalnya peran negara dalam melindungi masyarakat pesisir dari ancaman musibah rob. Pada jenjang makro, negara tidak berdaya menerapkan sistem sosial kewilayahan yang telah ia susun. (2) Justru pasar rumah yang menjadi pengatur konversi lahan menjadi perumahan mewah di belahan barat pesisir Jakarta. Terlalu digjayanya pasar dan tidak berdayanya

negara—bahkan sebagian aparat pemerintah berperilaku abai karena lebih mendahulukan rente sebagaimana diperlihatkan Rais (2008)— amat tampak dalam soal semrautnya tata fisik Jakarta. Hal itu kemudian menyumbang secara signifikan terhadap meningkat dan meluasnya rob di wilayah pesisir Jakarta. Air pun mengalir ke hilir Jakarta dengan debit sangat besar. Limpahan air tersebut kemudian berpadu padan dengan kian menyempit, mendangkal, dan selalu dipenuhinya sungai dengan sampah. Kedua faktor makro tadi juga disumbang oleh dua faktor makro yang lain. Yakni (3) sistem drainase yang tidak terawat dan cenderung diabaikan dalam penataan infrastuktur Jakarta; (4) menipisnya hutan bakau di beberapa belahan pantai Jakarta. Keempat faktor makro ini sering ditunjuk sebagai sebab-sebab meluas dan meningginya banjir-rob di pesisir Jakarta (lihat Somantri, 2007 dan Gunawan, 2010).

3. Sebagai Arena Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Spiritual 12 April 2010, 130 orang menjadi korban, 3 di antaranya (dari Satuan Polisi Pamong Praja) meninggal dunia. Selengkapnya korban adalah: 53 orang dari warga, 10 orang anggota kepolisian, dan 69 orang dari Satpol (Kompas, 14 April 2009: 1). Ini adalah korban bentrokan yang terjadi di kompleks makam Mbah Priok. Bagi Pemerintah Jakarta dan Pelindo II, peristiwa tersebut adalah penertiban, sebagai eksekusi keputusan pengadilan untuk mengembalikan penguasaan tanah untuk Pelindo. Sebaliknya di mata warga, upaya tersebut adalah penggusuran. Bagi warga, kompleks makam adalah ruang kewargaan (civic space) mereka. Kompleks makam telah menjadi arena ruang hidup bagi komunitas muslim lapis bawah. Setiap malam Jumat mereka mengadakan pengajian: wirid dan tahlil bersama. Setiap tahun digelar pertamuan tahunan yang disebut haul. Banyak pula peziarah yang berkunjung ke kompleks makam. Di sana mereka coba meneladai kehidupan keagamaan sang mbah. Sambil berusaha menyegarkan semangat kehidupan dalam rangka mengarungi kehidupan keras di sekitar Tanjung Priok. Protes berdarah untuk mempertahankan ruang kewargaan mereka tidak saja bertumpu pada komunitas pengajian di sekitar Tanjung Priok. Pecinta Mbah Priuk yang terdapat

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan

7

di banyak tempat dan telah membantuk jaringan sosial yang tersebar, juga berdatangan dalam rangka membantu protes berdarah. Di sini kita menyaksikan dua sistem nalar yang bekerja dibalik peristiwa itu. Keduanya amat bertentangan dan tidak mencapai titik kompromi. Bagi warga, kompleks makam telah mengalami spritualisasi. Kompleks makam bukan saja tempat tanpa makna. Mereka menghayati kompleks makam sebagai arena untuk memenuhi dahaga psikologi keagamaan. Di atas kompleks, mereka membentuk komunitas pengajian dan berorientasi pada rutinisasi kharisma Mbah Priok. Sebagai ruang kehidupan (civic space), komunitas tersebut melakukan apa saja untuk mempertahankan ruang kewargaannya itu.

ruang aktivitas keagamaan, seluas tertentu lahan makam tetap dipertahankan bahkan direnovasi, walau dirancang supaya tidak menghalangi hilir mudik truk kontainer pelabuhan. Pemerintah DKI dan Pelindo tidak meneruskan penggusuran tersebut, karena mereka sadar betapa sensitifnya isu keagamaan yang menyertai peristiwa berdarah tersebut. Sungguh pun hasil win-win solution juga disumbang oleh tekanan publik yang lebih luas, namun pada tingkat tertentu komunitas ini memiliki pula daya tawar dalam jenjang kontestasi makro. Anggota dan pendukung komunitas ini mengedepankan wacana makam sebagai arena pemenuhan kebutuhan spiritual keagamaan sekaligus menjadi kontra argumen utama ketika negosiasi dilakukan.

Sementara bagi pemerintah DKI, kepolisian, dan Pelindo, tindakan tersebut dianggap sebagai keharusan hukum. Eksekusi tersebut melibatkan ratusan satpol dan kepolisan dan menggunakan puluhan mobil dan alat berat. Mereka bekerja berdasarkan oleh apa yang Foucault sebut sebagai governmentality (lihat Kooy 2008). Negara dan perusahaan menjadi motor utama peristiwa ini. Ini adalah proses kontestasi mikro yang melibatkan nalar ruang kewargaan di satu pihak dan nalar governmentality di pihak lain.

Marilah kita cermati konstruksi berislam yang menjadi fondasi dasar aktivitas keagamaan di makam Mbah Priok, yang melaluinya terbangun daya gerak psikologis di atas. Kegiatan keagamaan di makam Mbah Priok bercorak Islam ahli sunnah waljamaah dan bertumpu pada sistem kehabiban. Habib adalah pusat orientasi sekaligus penggerak aktivitas keagamaan di komunitas ini. Hubungan antar habib dan jamaahnya amat total. Pesona personal Habib sengaja dibangun. Bahkan Habib pun mencoba menegakkan kharisma malah rutinisasi kharisma tertentu baik bertumpu pada simbol-simbol personal yang ia miliki, maupun dengan menghidup-hidupkan silsilah keluarga sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Anatomi di atas mengisyaratkan faktor terpenuhinya dahaga psikologis keagamaan sebagai “nilai lebih” ruang kewargaan Mbah Priok. Meningkatnya jumlah anggota komunitas Mbah Priok sesungguhnya juga menegaskan kemampuan ruang kewargaan ini untuk terus membangun kapasitas psikologis kontekstual yang mereka butuhkan. Begitu pula ketika isu penggusuran kompeks makam tersebar, “nilai lebih” tersebut berfungsi laksana “bensin”. Sejumlah jamaah langsung berkumpul begitu eskalasi konflik meningkat. Bantuan pun berdatangan dari berbagai penjuru. Jelas, “nilai lebih tadi” telah menjadi faktor penyumbang signifikan, sehingga energi dan sumber daya perlawanan berdarah terus mendapat pasokan. Akhirnya, bentrok pun berakhir setelah adanya tekanan publik yang lebih luas. Begitu pula bila kita perhatikan pola berhentinya penggusuran yang bercorak winwin solution, faktor “nilai lebih” di atas juga bekerja. Agar tetap dapat dipakai sebagai

Pada satu segi, sistem kehabiban ini juga berkembang karena disumbang oleh konsepsi wali dalam sistem teologi ahlu sunnah wal jamaah. Dalam konsepsi ini, wali adalah orang yang demikian salehnya hingga ia memiliki kedekatan tertentu dengan Allah SWT. Ia adalah orang yang memiliki pengetahuan Islam yang memadai, sekaligus mengamalkan pengetahuannya itu secara sungguh-sungguh, semaksimal, dan setulus mungkin. Kapasitas spiritualnya (dikenal dengan terminologi maqam dalam ilmu sufi) berada di atas kebanyakan muslim yang lain, meski hal tersebut ia peroleh dengan perjuangan keras dan kesungguhan, dan dapat dicapai oleh orang lain bila berkemauan keras seperti sang wali. Inilah latar psikologis keagamaan yang memungkinkan habib kemudian memiliki posisi sentral dalam sistem kegiatan di makam Mbah Priok.

8

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

Awal 2000-an kegiatan komunitas ini mulai menguat. Proses tersebut menjadi lebih mapan, manakala kuburan yang diyakini sebagai makam Mbah Priok diperbaiki dan dibuat tempat kegiatan pengajian. Lagi-lagi kian mapannya komuntas Mbah Priok juga difasilitasi komponen nilai ahlu sunnah wal jamaah lain: yakni tradisi ziarah dan penghormatan pada sosok yang dianggap wali. Ziarah, apalagi kepada sosok yang dianggap wali, memang ditekankan dalam sistem nilai ahlu sunnah waljamah. Ia dipahami bukan sebagai pemujaan terhadap yang meninggal. Berziarah kepada seorang wali allah diyakini membawa kebaikan. Kesalehan dan karamoh sang wali dihayati akan berdampak pada diri sang penziarah. Akhlaknya yang baik dan sifatnya sebagai seorang pejuang Islam akan memberikan inspirasi kebaikan kepada para penziarah. Meski begitu, banyak pula penziarah yang meyakini bahwa dengan ziarah ke makam wali allah, hal tersebut dapat mempermudah soal-soal kehidupan praktis mereka. Komunitas keagamaan Mbah Priok ini kiranya perlu dibandingkan dengan komunitas Mesjid Al-Husna Koja. Sampai akhir 1990an, sebelum komunitas Mbah Priok sekuat sekarang, Mesjid Al-Husna adalah sentral kegiatan keislaman di Tanjung Priok. Corak keberislamannya pun berlainan dengan komunitas Islam makam Mbah Priok. Tidak ada peran sentral Habib di Mesjid Al-Husna. Para penceramah, ustadz, atau pemimpin keagamaan di Mesjid ini tidak mengandalkan otoritas spesial sebagai keturunan Nabi Muhammad. Begitu pula hubungan antara jamaah dan ustadz, tidak setotal dengan habib. Juga berbeda dengan komunitas Mbah Priok, kegiatan keagamaan di Mesjid Al-Husna bersikap kritis terhadap pemerintah, khususnya di era Orde Baru. Bahkan, gerakan kritis itu pernah mencapai puncaknya dalam peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984. Dalam konteks di atas, makam kemudian menjadi simbol signifikan sekaligus arena sosial yang konkrit dalam proses produksi makna keberagamaan (kehabiban dan kewalian) tadi (bandingkan dengan Rizal, 2010). Corak berislam tersebut kemudian ditransformasikan dan dihayati sebagai makna hidup kontekstual. Ia berfungsi sebagai barikade sosio-psikologis akibat meningkatnya intensitas kontestasi

kehidupan sehari-hari di bilangan Priok yang kian keras, sekaligus sebagai daya gerak psikologis untuk keseharian mereka. Inilah setting sosial sekaligus alasan mengapa struktur keberagamaan mereka ini menjadi sangat terorganisir (organized religion), dengan berpusatkan pada diri para habib. Itu pula sebabnya Islam ahli sunnah waljamaah adalah yang berkembang di sana, tidak modernisme Islam ala Mesjid Al-Husna. Ahlu sunnah memang amat compatible dengan peran sentral para habib. Bila struktur kegiatan yang terorganisir, begitu koherennya sistem nilai keagamaan yang mereka bangun, dan fungsionalnya daya psikologis yang mereka kembangkan ditimbang; maka komunitas sosial keagamaan di kompleks makam Mbah Priok ini dapat dikategorikan sebagai ruang kewargaan sebagaimana dimaksudkan oleh Daniere dan Douglass (2009). Ringkihnya dimensi psikologi para anggotanya yang berasal dari lapis bawah dan mengalami gejala deprivasi relatif berhubung tinggi dan kerasnya dinamika ekonomi di Tanjung Priok, mendapatkan sentuhan keberdayaan. Rohaninya tersegarkan sehingga mereka mampu meningkatkan kapasitas psikologis optimis mereka. Segi ini yang menjadikan komunitas keagamaan Mbah Priok memiliki watak fungsional. Aktivitas mereka pun menjadi hiruk pikuk. Meski begitu, dari sudut pendekatan kontestasi majemuk, ruang kewargaan ini tetaplah berada dalam aras kontestasi mikro.

4. Sebagai Arena Rekonstruksi Identitas Komunitas Bugis Kalibaru Cilincing adalah tipikal etnis yang tengah mengalami rekonstruksi identitas sosial ekonomi dan sosio kulturalnya seiring dengan transformasi masyarakat pesisir Jakarta. Keberadaan komunitas Bugis di pesisir Jakarta ini berkonstribusi besar dalam mempertahankan, mendinamisasikan, bahkan memperkaya ekspolitasi sumber daya pantai dan Laut Jawa. Bila menggunakan terminologi Granovetterian (lihat Granovetter, 1985; Swedberg dan Granovetter, 1992), peran strategis orang Bugis ini melekat (embedded) dengan tata nilai mereka sebagai masyarakat bahari. Etnis Bugis memiliki pandangan khas tentang laut. Bila laut dilihat sebagai pemisah

9

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan

kehidupan, orang Bugis—sebagaimana dengan baik diperlihatkan oleh Lapian (2009)—menempatkan laut sebagai penghubung bahkan memiliki makna kehidupannya yang spesifik. Peran strategis orang Bugis di pesisir Jakarta sangat tampak dalam dinamika sosial ekonomi tempat pelelangan ikan (TPI) (Anshar 2009 dan 2010; Ginting, 2004; lihat juga Idnal, 2007 dan Sumadi, 2002). Mereka adalah pemasok ikan yang tangguh, karena sebagian besar etnis ini bermata pencaharian sebagai nelayan. Bahkan mereka pun cakap mengomersialisasikan hasil tangkapan lautnya itu sehingga lebih bernilai jual. Orang Bugis bukanlah nelayan subsisten— meminjam istilah Scott (1981). Orientasi kenelayanan mereka bukan semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan dasar, tetapi untuk dijual sebagai proses komersialisasi. Lagi-lagi dimensi komersialisasi sumber daya laut ini melekat (embedded) dengan tata nilai mereka. Saudagar, orang yang memiliki jiwa wirausaha, dan pedagang, dihargai begitu tinggi dalam sistem tata nilai Bugis. Potensi komersialisasi sumber daya laut inilah yang menjadi penggerak utama (driving force) mapannya orang Bugis di pesisir Jakarta. Sebagai komunitas bahari, orang Bugis kian mapan di Kalibaru sejak tahun 1950-an. Situasi Laut Jawa era itu yang banyak ikan, sekaligus mudahnya pemasaran berhubung tempat tinggal mereka termasuk wilayah Jakarta, membuat mereka memilih menetap dan berpenghidupan sebagai nelayan di Kalibaru. Begitu pula kondisi geografis pesisir Jakarta yang landai, memungkinkan mereka tinggal dan membangun komunitas nelayan di sana. Selain itu, faktor adanya komunitas nelayan Bugis sebelumnya yang telah tinggal

di sana, memudahkan mereka malakukan migrasi berantai ke Kalibaru. Tahun 1950-an terjadi instabilitas sosial politik di Sulawesi Selatan akibat pemberontakan Kahar Muzakar. Ini menjadi pendorong bermigrasinya nelayan Bugis ke pesisir Jakarta, khususnya ke Kalibaru. Dengan semakin meningkatnya jumlah nelayan di Kalibaru ini menegaskan fungsi pesisir Jakarta sebagaimana tertulis dalam laporan resmi Pemerintah Jakarta pada tahun 1952. “Lebih penting adalah keadaan perikanan jang berupa penangkapan ikan dilaut, jang dilakukan oleh ber-puluh² nelajan, baik dengan perahu lajar, maupun perahu bermotor. Nelayan² itu jang berpenghidupan sederhana berdiam disepandjang pantai kotapradja…. Peraturan kotapradja jang berlaku, mewadjibkan tiap² penangkap ikan atau mereka jang hendak memasukkan ikan untuk diperdagangkan diwilajah kotapradja melalui pelelangan ikan kotapradja. Pelalangan tersebut ditiga buah tempat, jaitu di Pasar Ikan, Tandjung Periuk, dan Kamal. Pemasukan ikan jang tertjatat untuk tahun 1951 bagi tempat² tersebut masing² adalah adalah 3.561.573 Kg., 2.119.918 Kg. dan 147.126 Kg.” (Pemerintah Kotapradja Djakarta, 1953: 45).

Tahun 1983, TPI (tempat pelelangan ikan) Kalibaru dibuka. Keberadaan TPI ini makin memudahkan modus pemasaran hasil tangkapan laut sekaligus menekankan kian pentingnya pesisir Jakarta sebagai pemasok ikan untuk konsumsi masyarakat Jakarta (lihat Tabel 1 untuk perbandingan nilai ekonomi antar TPI). Dapat dikatakan, keberadaan pelalangan ikan ini melekat (embedded) kuat dengan identitas orang Bugis yang berkultur maritim. Merekalah pelaku primer dibalik pelelangan ikan, dan pemasok utama ikan TPI. Fungsi TPI sebagai arena jual beli (marketplace) ikan juga sebangun

Tabel 1. Produksi, Nilai, dan Retribusi Ikan Pesisir Jakarta Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Lokasi TPI Muara Angke TPI Muara Baru Pasar Grosir Muara Angke PPI Pasar Ikan TPI Kamal Muara TPI Kalibaru TPI Cilincing Muara

Produksi (kg) 6.464.709 16.804.025 4.911.910 183.740 467.580 473.646 276.523

Sumber: BPS Kota Administratif Jakarta Utara 2009: 148

Nilai (kg) 29.972.929.820 277.948.791.734 5.656.297.000 203.600.000 704.650.000 735.000.000 777.500.000

Retribusi (kg) 1.448.646.492 5.558.975.835 56.582.970 2.036.000 14.093.000 14.700.000 15.550.000

10

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

dengan watak kultural mereka sebagai nelayan yang berorientasi komersial. Selain dari hasil tangkapan laut, pasokan ikan suku bugis juga diperoleh melalui teknik bagan. Menurut Anshar (2009), teknik bagan ini merupakan konstribusi inovatif orang Bugis sekaligus ciri identitas sosial mereka sebagai penduduk pesisir Jakarta. Fondasi identitas Bugis pun tertanam: sebagai komunitas bahari metropolitan Jakarta. Bahkan TPI, laut Jawa, dan ikan adalah ruang kewargaan mereka karena menjadi arena aktualisasi identitas orang Bugis di metropolitan Jakarta. Komunitas Bugis pun kian mapan seiring dengan terlembagakannya pelelangan ikan. Dalam kaitan ini, tiga dari empat elemen identitas Orang Bugis di Kalibaru yang diidentifikasi Anshar (2009) dapat dijadikan acuan. Pertama, identitas ini diperlihatkan oleh sistem permukiman dan arsitektural orang Bugis yang ber-tamping dan ber-awaso, dan itu bersifat fungsional karena menghindarkan mereka dari air pasang. Pola permukimannya itu mengelompok, berderet, dan membelakangi sungai (kampong paloppi pakajja). Kedua, perayaan adat orang Bugis (seperti maccaretasi, pesta malam terang bulan, dan perayaan hari syuro) telah menjadi arena pembentuk identitas utama orang Bugis sekaligus telah memperkaya khasanah budaya pesisir Jakarta. Saat ini sebagian perayaan adat tersebut mengalami komersialisasi, karena dijadikan ajang pariwisata Pemerintah Jakarta Utara. Sementara, mata pencaharian yang mereka geluti adalah ciri identitas orang bugis terakhir. Nelayan dan saudagar adalah pilihan utama. Kalau pun mereka bekerja di sektor informal lain, biasanya ditempatkan sebagai sampingan agar mereka bisa melaut bila diperlukan. Ketiga ciri identitas utama tersebut dilestarikan dan ditanamkan oleh berbagai organisasi lokal Bugis setempat. Organisasi itu pada akhirnya juga berperan sebagai agen sekaligus arena rekonstruksi identitas Bugis di era sekarang, khususnya bagi generasi orang Bugis yang lebih muda. Hal tersebut misalnya, diperankan oleh lembaga pendidikan yang dikelola oleh orang Bugis seperti Yayasan Nurul Hanan di Cilincing. Contoh lainnya ialah Pammonang: organisasi lokal untuk orang Bugis yang khusus memiliki alat tangkap bagan.

Begitu pula Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Organisasi orang Bugis yang berlingkup se-Jakarta ini juga berperan penting di Cilincing, khususnya bagi orang Bugis yang berstrata lebih atas. Berbagai organisasi Bugis tadi berperan sebagai penanam, pelestari, dan pengonstruksi identitas. Pada proses sosialisasi tersebut ternyata juga terjadi proses konstruksi ulang (rekonstuksi) identitas kebugisan di kalangan generasi yang lebih muda, dan dimaksudkan agar identitas mereka itu tetap responsif dengan tantangan zaman yang mereka hadapi mereka. Sekurang-kurangnya terdapat empat elemen identitas konvensional orang Bugis Kalibaru yang saat ini mengalami rekonstruksi. Pertama, orang Bugis Kalibaru tetap menempatkan nelayan sebagai pekerjaan utama, meski mereka memiliki banyak pekerjaan sampingan. Biasanya mereka memilih atau merambah pekerjaan baru (misalnya palele’: penadah ikan untuk dijual ke TPI) karena dapat melaut bila diperlukan. Sebagian lain harus melakukan reinterpretasi baru agar tidak ada halangan kultural terhadap pekerjaan barunya itu. Sebagai contoh, demi pendapatan, perempuan Bugis pun diperbolehkan melakoni pekerjaan palele’ tersebut. Dimensi gender yang selama ini mereka anut ditafsir ulang. Selain itu, ada orang juga yang membuka bisnis sampingan dengan memberi fungsi baru terhadap tata ruang pada rumah tradisional mereka. Awaso misalanya, tidak lagi dijadikan sebagai tempat menyimpan alat-alat menangkap ikan. Mereka menggunakan bagian rumah ini sebagai toko. Kedua, kemahiran melaut generasi saat ini tidak secakap para orang tua mereka. Itu terjadi karena bergesernya pola bermain anak yang akhirnya menggerus sistem belajar asli (indegenous learning system) orang Bugis pesisir Jakarta. Pantai yang tercemar membuat anakanak Bugis tidak menjadikan laut sebagai tempat bermain. Arena bermain anak pun secara alamiah mengalami relokasi. Anak-anak Bugis saat ini lebih akrab dengan permainan indoor seperti game online, yang cenderung individual. Padahal, bermain di pantai pada hakekatnya adalah belajar kecakapan dasar melaut (lihat Zen, 2002). Bila tidak dipelajari sejak dini, kecakapan melaut yang dimiliki oleh orang Bugis generasi mendatang tentu tidak sekuat para orang tua mereka.

11

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan

Ketiga, banyak anak Bugis yang berasal dari keluarga lebih menengah bersekolah di Akademi Pelayaran. Lagi-lagi identitas orang tua sang anak sebagai etnis maritim menjadi faktor penentu pilihan bersekolah ini. Bukankah buah tidak jauh dari pohonnya? Begitu pula, akses mereka yang kuat untuk mendapatkan pekerjaan di kapal nasional maupun asing— karena luasnya jaringan sosial yang orang tua miliki dan hal tersebut terkait dengan jaringan kebugisan yang mereka punyai—juga menjadi faktor pilihan bersekolah ke akademi pelayaran (Nurfadilah, 2009). Keempat, sebagaimana ditemukan oleh Ginting (2004), saat ini tingkat penguasaan bahasa Bugis di kalangan muda orang Bugis Cilincing (khususnya perempuan) semakin menurun. Faktor kelahiran mereka di Cilincing dan malu berbahasa Bugis disebut Ginting (2004: 148-150) sebagai penyebabnya. Ini menyiratkan bahwa kalangan muda tadi lebih terintegrasi dengan masyarakat pesisir Jakarta yang multikultur. Mereka menggunakan dualitas bahasa dalam berkomunikasi. Berbahasa Bugis hanya di keluarga dan komunitas Bugis, dan menggunakan bahasa Indonesia untuk lintas etnis. Bila ditimbang bahwa bahasa Bugis adalah sarana utama sosialisasi identitas dan tata nilai Bugis dan kini hal tersebut kian pudar, maka tanda-tanda rekonstruksi identitas yang lebih tinggi akan semakin kuat pada masa mendatang. Akhirnya, konteks pesisir Jakarta sebagai metropolitan yang multikultur dapat ditempatkan sebagai arena atau ruang kewargaan yang memungkinkan rekonstruksi identitas Bugis ini terjadi. Laut, ikan, dan TPI adalah ruang kewargaan konvensional orang Bugis di Kalibaru. Begitu pesisir Jakarta berubah dan hal itu mengakibatkan meluas dan mendalamnya pencemaran pantai Jakarta, gejala rekonstruksi dalam formatnya yang baru akhirnya terbangun. Pantai Jakarta yang kini tercemar adalah panggung ruang kewargaan baru khususnya bagi kalangan orang Bugis yang lebih muda. Adalah benar pendapat Anshar (2009: 154-155), seorang aktivis pendidikan Bugis Cilincing, sekaligus representasi sudut pandang orang dalam (emik) mengenai pola dan motif yang bekerja dibalik rekonstruksi identitas keetnisan Bugis di saat ini.

“Di Cilincing, nelayan Bugis harus bertransformasi menjadi nelayan kota. Untuk itu agar dapat bertahan dalam persaingan hidup di perkotaan, orang Bugis menambah atau mengurangi aktivitas kenelayanannya, tetapi tidak merubah total bentuk identitasnya. Untuk itu penting bagi mereka menyusun kembali identitas mereka sehingga mereka tidak pudar, tetapi tampil dengan bentuk yang berbeda dengan pijakan pola budaya dasar yang masih sama”.

Penutup Laut, ikan, dan TPI memang telah membuat orang Bugis berdaya, dan di atas fondasi itulah mereka membangun ruang kewargaan yang spesifik. Akan tetapi, gejala korporatokrasi pesisir Jakarta justru adalah pelaku utama kontestasi makro. Tercemarnya pantai Laut Jawa misalnya, adalah produk korporatokratisme tersebut. Maka, rekonstruksi identitas pun harus dilihat sebagai konsekuensi sekaligus kapasitas adaptif orang Bugis ketika fondasi ruang kewargaan lama bergeser. Rekonstruksi identitas juga dapat dilihat sebagai produk yang sebangun dengan ruang kewargaan baru yang tengah mereka rintis. Mereka berdaya di jenjang mikro sekaligis ringkih di tingkat makro. Inilah ironi keberdayaan orang Bugis pesisir Jakarta. Begitu pula dengan rob. Musibah itu telah memperkuat ikatan horisontal-ketetanggaan maupun ikatan vertikal antar para korban. Akan tetapi mereka pun dihadapkan pada fenomena ironi keberdayaan. Mereka berdaya hanya di tingkat mikro dan ringkih di jenjang makro. Gejala negara yang tidak berdaya, abai, bahkan korporatokrasi menjadi penyebab ironi keberdayaan. Padahal justru praktik kontestasi makro itulah yang dapat dilihat sebagai solusi masalah rob. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Mbah Priok. Makam telah berfungsi sebagai arena penyegaran rohani keagamaan sekaligus kapital psikologis responsif dalam rangka menghadapi kehidupan sehari-hari Tanjung Priok yang kian keras. Lagi-lagi mereka hanya berdaya di jenjang mikro; justru ringkih di tingkat makro. Inilah ironi keberdayaan masyarakat pesisir metropolitan ketika berhadapan dengan intervensi negara dan perusahaan. Ruang (space) pun mereka peroleh setelah dilakukan

12

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 1-13

perjuangan fisik-berdarah dan itu pun harus disubordinasikan demi bergeraknya denyut ekonomi makro. Di sinilah arti pentingnya fenomena keberdayaan komunitas pesisir dihampiri dengan pendekatan kontestasi majemuk. Ironi keberdayaan pun dapat ditempatkan secara proporsional, karena dua alasan berikut. Pertama, secara historis dan sosiologis, pesisir Jakarta telah menjadi arena kontestasi yang sangat dinamik dan mendalam. Ironisnya, penduduk pesisir sendiri jarang diwacanakan sebagai subjek strategis—berbanding terbalik dengan fakta historis dan sosiologis wilayah ini. Mereka dilihat sebagai pelaku yang tidak berdaya, dan karena itu selalu dianggap hanya beban sistem sosial ekonomi Jakarta. Konstribusinya pun dikategorikan amat minimal. Maka bila potensi keberdayaan mereka ditumbuhkan, hal tersebut dapat menepiskan anggapan yang salah kaprah tadi. Kedua, studi tentang masyarakat pesisir metropolitan sebagai area kajian menjadi amat strategis. Selama ini, peneliti sosial perkotaan memahami pesisir Jakarta selalu ditempatkan hanya sebagai bagian kecil dari perkembangan Jakarta. Bila pesisir metropolitan menjadi lokus kajian, hal tersebut memampukan kita memahami secara lebih baik tentang dinamika masyarakat pesisir metropolitan seperti Jakarta ini. Bahkan ia pun penting secara praksis: agar keberdayaan komunitas pesisir Jakarta menjadi maksimal dan fungsional.

Pustaka Acuan Abeyesekere, S. (1989). Jakarta: A History (revised ed.). Oxford: Oxford University Press. Ali, D.F. (1998). Case study of development of the peripheral coastal area of South Sinai in relation to its Bedouin community. Thesis submitted to the Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg, Virginia. Anshar. (2009). Bugisisasi Cilincing: Studi tentang rekonstruksi identitas Orang Bugis sebagai komunitas pesisir Jakarta. Jakarta: Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Anshar. (2010). Beda budaya, beda profesi: Problematika masyarakat pesisir. Jurnal Scripta Societa No. 2. Jakarta: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Anshar dan Jupiter. (2007). Relokasi mata pencaharian dan mobilitas vertikal masyarakat Marunda

akibat berdirinya perusahaan industri. Makalah akhir mata kuliah Teori Perubahan Sosial. Jakarta: Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Astuti, L.H. (2010). Peran kos-kosan bagi perubahan sosial-ekonomi di Kampung Bahari Kelurahan Tanjung Priok Jakarta Utara. Makalah akhir mata kuliah Teori Perubahan Sosial. Jakarta: Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Biro Pusat Statistik Kota Administratif Jakarta Utara. (2010). Jakarta Utara dalam angka 2009. Cresswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. California: Sage Publications, Inc. Daniere, A dan Douglass, M. (2009). Urbanization and Civic Space in Asia. Dalam A. Daniere M. Douglass (Eds.). The Politics of Civic Space in Asia: Building Urban Communities. New York: Routledge. Ginting, E.F. (2004). Pemertahanan dan penggeseran Bahasa: Kasus guyub Bugis di Cilincing, Jakarta Utara. Tesis Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Goonewardena, K., Kipfer, S., Milgrom, R.,& Schmid, C. (Eds.). (2008). Space, Difference, and Every Day Life: Reading Henri Lefebvre. London: Routledge. Graham, S., & Marvin, S. (2001). Splintering Urbanism: Networked Infrastucture, Technological Mobilities, and Urban Condition. London: Routledge. Granovetter, M. (1985). Social Structure and Social Action: Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology. Gunawan, R. (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hadi, S. (2005). Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto: Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia. Jakarta: Pelangi Cendekia. Idnal, A. R. (2007). Penertiban Permukiman Liar oleh Tamtrib dan Polisi di Muara Angke, Jakarta Utara. Depok: Tesis Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia Kompas, 8 Mei 2008. Kompas, 14 April 2009. Kooy, M.É. (2008). Relation of Power, Network of Water: Governing Urban Waters, Spaces, and Populations in (Post) Colonial Jakarta. Dissertation for the Faculty of Graduate Studies (Geography). Vancouver: the University of British Columbia Lapian. A.B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX. Depok: Komunitas Bambu. Leaf, M. & Setiawan, B. (2009). Kampung Spaces and the Future of Indonesia Urbanism: Reflections

Suryana, Ruang Kewargaan dan Ironi Keberdayaan from Jogjakarta. Dalam A. Daniere M. Douglass (Eds.). The Politics of Civic Space in Asia: Building Urban Communities. New York: Routledge. Miles, M.B. & Hubermans, A.M. (1992). Analisis Data kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Mohammadsoleh.blogspot.com. Nurfadilah. (2009). Pola Orientasi Sosio-Edukasi Komunitas Pesisir: Studi Kasus Kecenderungan Orang Tua Bugis Memasukan Anak-Anaknya ke Sekolah Pelayaran. Jakarta: Skripsi Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Pemerintah Kotapradja Djakarta. (1953). Djakarta Raja. Djakarta: Van Dorp. Perkins, J. (2004). Confessions of an Economic Hit Man. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers Inc. Rais, M.A. (2008). Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit PPSK Press. Rahmat, A. & Suryana, A. (2008). Warga Jakarta Menghadapi Banjir: Menuju sinergi dan Komplementaritas Negara-warga. Komunitas Vol. 3 No.1. Jakarta: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Rizal, J.J. (17 Juni 2010). Mbah Priok, Raja Idrus dan Permaisuri Markonah. Koran Tempo. Pos Kota, 4 Januari 2010 Rudyansyah, T. (2009). Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press. Scott, J.C. (1981). Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Terjemahan Hasan Basari. Jakarta; LP3ES. Somantri, G. R. (2000). Migration within City: A Study of Socioeconomic Processes and Intra-city Migration in Jakarta. Breitenbach: Saarbruecken and Port Laudea. --------------------. (7 Maret 2007). Beyond “Delusion of Grandeur”: Menuju Indonesia Baru “Bebas” Kemiskinan. Pidato pengukuhan guru besar tetap bidang ilmu Sosiologi Perkotaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Subroto, I.L. (Tanpa tahun). Preservation of kampung

13 Luar Batang, Sunda Kelapa, North Jakarta: A challenge to redevelop a slum area as an architectural heritage. Jakarta: Departmen Arsitektur Universitas Trisakti. Sumadi. (2002). Kegiatan Organisasi-Organisasi Preman di Muara Angke Jakarta Utara. Depok: Tesis Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. Sundjojo, N & Suryana, A. (2009). Laporan Kajian Sosial Budaya Pelabuhan Kalibaru Jakarta Utara. Jakarta: Yayasan Bahari. Surjomihardjo, A. (1977). Pemekaran Kota Jakarta, Jakarta: Jambatan. Suryana, A. (2002). Pola Top Down dan Inovasi Akar Rumput: Becermin Satu Kasus di Jakarta. Jurnal Studi Indonesia No. 5. Tanggerang: Pusat Kajian Indonesia Universitas Terbuka. Suryana, A. (2003). Transformasi Masyarakat Kota Depok: Dari Pembagian Kerja Internasional Menunju Suburbanisasi Jakarta”. Jurnal Sosiologi Masyarakat No. 12. Depok: Lab Sosio FISIP UI. ---------------. (2007). Suburbanisasi dan kontestasi Ruang Sosial di Citayam, Depok. Tesis Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. ---------------- dan kawan-kawan. (2003). Peta Politik PAN Menjelang 2004 di Jakarta Utara. Jakarta: DPW PAN Jakarta Utara dan Komunitas Mari Berpolitik. ----------------- dan kawan-kawan. (2004). Riset Unit Pengelolaan Keuangan Masyarakat Kelurahan (UPKMK). Depok: Pusat Pembangunan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Susandi, A. (10 Juni 2008). Area in Jakarta as Implication of Climate Change”. Dalam www. armisusandi.com. Swedberg, R. & Granovetter, M. (1992). Introduction. Dalam M. Granovetter & R. Swedberg (Eds.). Sociology of Economic Life. Oxford: Westview Press. w w w. s i n a r h a r a p a n . c o . i d / e k o n o m i / p r o p e r t i / 2003/1031/prop1.html. Zen, M. (2002). Orang Laut: Studi Etnopedagogik. Jakarta: Yayasan Bahari Nusantara.

14

Ironi Sertifikasi: Antara Tuntutan Kompetensi dan Realitas Kinerja Guru IPS SMPN di Kota Bekasi Budiaman Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: [email protected]

Abstract This article describes about the difficulties experienced by teachers of social studies in secondary schools in Bekasi City to compile portfolio as part of the implementation of teacher certification in office to get professional educators. The research method uses survey techniques to take samples of all social studies teachers who have attended a certification until 2008. The results showed that there are several factors difficulties experienced by teachers in preparing documents SMPN IPS portfolio. The difficulty that many experienced teachers in the preparation of the portfolio is to create and define the five planned learning program in five semesters, academic achievement, the work of professional development, and teacher participation in scientific forums. There are many social studies teachers who have never or rarely do research, write books, coaching peers, or participated in a scientific forum.

Keywords: certified teachers, professional educators, document portfolio

Pendahuluan Permasalahan sertifikasi guru sampai saat ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan berbagai pihak. Hal ini mengingat adanya keterkaitan antara tingginya harapan ideal yang ingin dicapai, biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah, serta perubahan kompetensi guru sebagai hasil sertifikasi. Landasan filosofis dilaksanakannya sertifikasi guru adalah meningkatkan kompetensi guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Berdasarkan amanat undang-undang pula, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar baik untuk pelaksanaan maupun tunjangan bagi guru yang tersertifikasi. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru tidak serta merta meningkatkan kompetensi guru menjadi semakin profesional. Sertifikasi guru masih tidak ubahnya dengan penyegaran kembali dan penambahan wawasan dalam bidang kependidikan. Apakah setelah memperoleh sertifikat pendidik kemudian guru menerapkan dalam pembelajaran di kelas, perlu penelitian lebih lanjut. Artikel ini secara substantif dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama, berisi

pendahuluan, menguraikan secara sekilas masalah filosofis sertifikasi guru. Bagian kedua, menguraikan definisi konsep dan metode penelitian. Bagian ketiga, merupakan hasil dan pembahasan yang menguraikan pengalaman empiris mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami guru dalam menyusun dokumen portofolio. Bagian keempat menguraikan simpulan temuan dan gagasan

Definisi Konsep dan Metode Penelitian Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan (Depdiknas, 2008a: 2). Program sertifikasi guru yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2006, merupakan tantangan bagi guru mempersiapkan diri untuk diuji kompetensi dan kelayakan mengajarnya secara profesional. Satu hal yang hingga saat ini terus dilaksanakan pemerintah adalah mengoptimalkan kompetensi guru sebagai pendidik profesional melalui program sertifikasi dalam jabatan. Program sertifikasi guru memiliki empat tujuan utama, yang meliputi: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan kesejahteraan

15

Budiaman, Ironi Sertifikasi

guru, dan (4) meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu (Depdiknas, 2008a: 2). Sertifikasi guru diawali dengan penyusunan dokumen portofolio. Portofolio dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi seseorang dalam bidang pendidikan, khususnya sebagai agen pembelajaran. Keefektifan pelaksanaan peran sebagai agen pembelajaran tergantug pada tingkat kompetensi guru yang bersangkutan, yang mencakup kompetensi kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional (Depdiknas, 2008b: 1). Portofolio secara spesifik, memiliki fungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan bukti kerjanya yang meliputi unsur; produktivitas, kualitas, serta relevansinya melalui karyakarya utama dan pendukung, (2) informasi data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang sudah ditetapkan, (3) dasar untuk menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi, serta (4) dasar untuk memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk mengikuti kegiatan lanjutan (diklat) yang merupakan representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru (Depdiknas, 2008b). Untuk dapat memenuhi tuntutan sebagai tenaga profesional, guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan pribadi bagi peserta didik. Yellon dan Weinstein, sebagaimana dikutip Mulyasa (2007: 37) mengidentifikasikan sedikitnya ada 19 peran guru untuk dapat menjadi profesional yang sempurna, yaitu guru sebagai: pendidik, pengajar, pelatih, penasehat, inovator, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pendorong, motivator, model dan teladan, pribadi, peneliti, pengawet, dan kulminator. Guru profesional adalah guru yang mampu meningkatkan taraf kualitas pembelajaran. Merujuk pada pendapat Zainal (2002: 102) ada tujuh strategi yang dapat dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan taraf pembelajaran, yaitu: 1) mengembangkan kecerdasan emosi, (2) me-

ngembangkan kreativitas dalam pembelajaran, (3) mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, (4) membangkitkan nafsu belajar, (5) memecahkan masalah pembelajaran, (6) mendayagunakan sumber belajar, dan (7) melibatkan masyarakat dalam pembelajaran Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan teknik survei. Tujuan pokok metode ini adalah menggunakan data yang diperoleh untuk memecahkan masalah, dari pada untuk menguji hipotesis (Sevilla dkk., 1993: 76). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru SMPN di Kotamadya Bekasi, yang sudah mengikuti proses sertifikasi guru sejak tahun 2006 hinggga 2008. Pengambilan sampel dengan teknik sampling bertujuan, anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian (Husaini Usman, dkk, 2009: 186). Berdasarkan teknik ini diperoleh guruguru IPS SMPN yang sudah mengikuti sertifikasi guru dan aktif dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran sebanyak 25 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket untuk mengetahui faktor-faktor kesulitan dalam penyusunan dokumen portofolio. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan kategori, kemudian dianalisis secara deskriptif, baik dengan cara deskriptif maupun kualitatif.

Hasil dan Pembahasan 1. Urgensi Sertifikasi Guru dan Komponen Portofolio Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, serta kualitas sumber daya manusia pada umumnya. Usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan diorentasikan pada peningkatan kualitas guru sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan dunia kependidikan. Guru dipandang sebagai agen pembaharu peningkatan kualitas masyarakat yang unggul dan mampu bersaing dengan masyarakat dari negara-negara maju. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional. Untuk itu guru dipersyaratkan

16

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 14-20

memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV ( S1/ D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik dibuktikan dengan ijazah dan pemenuhan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi. Sertifikasi guru yang diadakan oleh pemerintah merupakan suatu upaya peningkatan mutu guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Melalui peningkatan kesejahteraan, guru diharapkan lebih optimal menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional; tidak lagi terkendala dengan masalah ekonomi seperti yang selama ini dikeluhkan. Komponen portofolio yang dipersyaratkan dalam sertifikasi guru terdiri atas 10 komponen yaitu: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasai dalam bidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

2. Kesulitan-kesulitan Guru Dalam Penyusunan Dokumen Portofolio Penyusunan dokumen portofolio bila ditelaah lebih mendalam tidak sekedar mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti fisik portofolio. Guru perlu menguasai strategi memilih dan menyeleksi bukti-bukti mana yang relevan dan memiliki nilai yang besar. Implementasi strategi ini dihadapkan dengan kenyataan keterbatasan bukti fisik yang dimiliki guru. Unsur-unsur yang menjadi faktor kesulitan dalam memenuhi 10 komponen tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: Kesulitan Mengikuti Jenjang Pendidikan Lebih Tinggi. Salah satu komponen penilaian dalam portofolio adalah bukti fisik bahwa guru sudah menyelesaikan pendidikan sampai pada Strata I atau Sarjana dalam bidang kependidikan, dan

penilaian yang dilaksanakan adalah kualifikasi akademik. Sampai pelaksanaan sertifikasi tahun 2009, semua guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal S-1 kependidikan. Sebagai antisipasi untuk menghadapi sertifikasi, banyak guru yang belum berkualifikasi pendidikan S-1 mencari perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang menyelenggarakan program kependidikan sarjana. Kondisi seperti memaksa guru untuk mencari biaya tambahan untuk mengikuti perkulaiahan, sementara waktu untuk mencari biaya tambahan tersebut justru berkurang karena tersita untuk mengikuti perkuliahan. Kondisi ini menempatkan guru pada posisi yang sulit secara ekonomi. Harapan tambahan kesejahteraan setelah mengikuti sertifikasi, harus ditebus dengan modal awal yang tidak sedikit. Keikutsertaan Guru Dalam Pendidikan dan Latihan. Salah satu syarat kelengkapan dokumen portofolio dalam sertifikasi guru adalah kesertaan guru dalam pendidikan dan pelatihan. Keterlibatan guru dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan keguruan yang pada umumnya bermuatan unsur-unsur pedagogi atau pembelajaran untuk anak-anak serta remaja dan andragogi atau pembelajaran untuk orang dewasa (Uno, 2007: 56). Berdasarkan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, guru dituntut dapat mengimplementasikan kemampuan dan keterampilan yang diperoleh ke dalam proses pembelajaran di kelas. Apalah artinya kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru apabila tidak bermanfaat untuk kepentingan pembelajaran. Intensitas keikutsertaan guru dalam kegiatan ini sangat tergantung pada kesempatan yang diberikan pimpinan sekolah. Beberapa mendapat beberapa kali kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan dalam satu semester. Guru yang mengikuti pelatihan 1 kali dalam satu semester sebanyak 84 %, 2 kali dalam satu semester sebanyak 12 %, bahkan ada guru yang mengikuti pelatihan hingga lebih dari 2 kali dalam satu semester sebanyak 4 %. Satu hal yang perlu dicermati pada frekuensi kesertaan guru yang lebih dari 2 kali dalam satu semester tentunya perlu dipertanyakan, bagaimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakannya di sekolah. Bagaimana pun siswa sebagai subjek didik yang

Budiaman, Ironi Sertifikasi

menjadi tanggung jawab guru pasti akan sering ditinggalkan oleh guru karena mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Banyak guru yang semakin antusias mengikuti berbagai pelatihan dan seminar, hanya untuk mendapatkan sertifikat, meskipun harus mengeluarkan biaya sendiri. Kondisi demikian, apabila terus berlangsung dan berkesinambungan, maka jiwa dan semangat sertifikasi guru telah kehilangan ruhnya yang hakiki. Pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru, sudah terjebak dengan kepentingan sesaat dan kehilangan orientasi dari tujuan akhir pelatihan. Kepentingan mendapatkan sertifikat hanya demi menambah dokumen portofolio adalah kepentingan sesaat; keberadannya telah menjadikan distorsi hakikat pendidikan guru yang pada dasarnya bermuara pada kepentingan anak didik (Yulaelawati, 2004: 38). Guru yang tidak pernah mengikuti pelatihan disebabkan beberapa alasan antara lain: pimpinan tidak pernah menugaskan secara bergantian, segan atau malas mengikuti pelatihan yang membosankan, biaya pelatihan relatif mahal, serta menunggu jadual giliran yang harus menunggu tiap tahun ajaran. Dalam beberapa kasus, guru yang jarang mengikuti pelatihan justru lebih disukai peserta didik karena lebih konsisten mengajar dan secara psikologis dekat dengan siswa. Kesulitan Memenuhi Jumlah Jam Mengajar. Salah satu syarat sertifikasi adalah kewajiban mengajar sebanyak 24 jam selama seminggu. Secara teoretis, jumlah jam atau tempat mengajar yang banyak dapat dijadikan sebagai indikator kinerja guru. Namun karena banyaknya guru honorer di satu sekolah, maka guru tidak semua guru yang ikut sertifikasi, memiliki kuota mengajar 24 jam. Hal ini berimplikasi pada perubahan kebijakan yang diterapkan pimpinan sekolah. Beberapa sekolah mengambil kebijakan agar guru yang bersangkutan menambah jam pelajaran di sekolah lain dengan bidang studi yang sama, sehingga terpenuhi 24 jam. Pilihan kebijakan lain adalah dengan menugaskan guru yang ikut sertifikasi untuk mengajar bidang studi lain sejumlah jam yang harus dipenuhi. Guru mau tidak mau harus menguasai materi bidang studi yang selama ini bukan kompetensinya. Sementara kebijakan terakhir, pimpinan sekolah terpaksa

17 mengurangi jam mengajar guru honorer bahkan bisa juga memberhentikan guru honorer demi memprioritaskan guru tetap yang mendapat jatah sertifikasi. Berdasarkan kondisi yang riil di lapangan, kebijakan yang paling sering dilakukan pimpinan sekolah adalah mengurangi jam mengajar tenaga honorere dan menambah jam guru tetap dengan mengajar bidang studi lain yang bukan merupakan kompetensi yang dimilikinya. Kebijakan ini tampaknya merupakan jalan tengah karena mengandung resiko paling ringan dalam hal efisiensi waktu dan tenaga. Guru merasa kepentingannya untuk mengikuti sertifikasi diakomodir oleh pimpinan sekolah, karena tidak harus sibuk mencari sekolah lain untuk menambah jam sesuai yang dipersyaratkan. Sekilas kebijakan demikian tampaknya sudah win-win solution, akan tetapi apabila dikaji lebih jauh, terdapat kerugian substansial berkenaan dengan keterpaksaan guru menerima tugas tambahan mengajar bidang studi yang sangat mungkin tidak dikuasainya. Ironis rasanya, ketika kompetensi guru yang mengajar sesuai bidang saja pada tahun belakangan ini mulai diragukan banyak pihak, apalah lagi harus mengajar bidang studi yang bukan kewenangannya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mensinyalir bahwa mutu guru tidak mengalami peningkatan berarti setelah mengikuti sertifikasi. Kesulitan Menyusun dan Menyeleksi Rencana Program Pembelajaran. Menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang harus dilaksanakan oleh guru seringkali mendapatkan kendala, yaitu dari segi waktu dan tenaga. Banyak guru yang hanya ingin foto copy RPP buatan teman dan tinggal mengisi bagian tanda tangan dan nama guru saja. Perlu dicari penyebab kesulitan yang hampir selalu ditemukan oleh guru ketika mereka dihadapkan untuk segera mengumpulkan RPP. Kesulitan membuat RPP disebabkan oleh beberapa hal antara lain dalam merumuskan strategi pembelajaran sesuai materi dialami oleh 44 % guru, kesulitan dalam menentukan indikator pembelajaran oleh 36 % guru, menentukan materi dengan perhitungan jam efektif oleh 16 % guru. Sedangkan guru yang

18

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 14-20

menjawab lain-lain memberikan alasan sulit mengorganisasikan waktu dengan materi, sulit mengatasi rasa malas menulis, dan waktu penyusunan RPP selalu kurang. Sebagian guru yang sudah pernah menyusun portofolio dalam sertifikasi menyatakan, mereka menemui kesulitan ketika harus memilih 5 RPP yang dipakai dalam tugas mengajar selama 5 semester. Penyebab kesulitan tersebut karena guru tidak selalu membuat RPP dalam setiap semester. RPP dibuat secara bersama melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan disepakati untuk dipakai bersama dalam pembelajaran. Orsinalitas dan kreativitas seorang guru menjadi terpasung oleh kolektivitas ide yang menjadi barometer kualitas RPP. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan di lapangan pada saat asesor menilai RPP dalam dokumen portofolio, untuk bidang studi dan jenjang yang sama, banyak diketemukan RPP yang sama. Kecenderungan guru memilih RPP yang diajukan dalam dokumen adalah menyukai materi yang menjadi pokok bahasan dalam RPP, dikemukakan oleh 40 % guru; menyukai media atau alat peraga yang digunakan dalam RPP, dikemukakan oleh 32 % guru, menyukai strategi pembelajaran yang terdapat dalam RPP, dikemukakan oleh 20 % guru, sedangkan 8 % guru memilih RPP karena sudah memenuhi kriteria ketiganya. Kesulitan Guru Meraih Prestasi Akademik. Dalam program pembelajaran, seharusnya setiap sekolah mencanangkan kegiatan-kegiatan yang mengacu pada peningkatan prestasi akademik, baik bagi guru maupun siswa. Sebagai salah satu bagian penting penilaian portofolio, bukti prestasi akademik guru memiliki nilai yang tinggi. Dari sebanyak 25 guru, hanya 8 % yang pernah meraih penghargaan untuk prestasinya dalam bidang akademik. Sangat sedikitnya guru yang berhasil meraih prestasi akademik disebabkan oleh adanya kendala yang membuat guru tidak dapat mengembangkan kreativitas pikirnya secara nyata. Sejumlah 68 % guru menyatakan bahwa guru selalu mengalami kesulitan untuk dapat meraih prestasi akademik. Faktor kesulitan terbesar yang menjadi kendala bagi guru dalam mengembangkan dan meraih prestasi akademik

adalah faktor biaya yang relatif mahal, dikemukakan oleh 44% guru, dengan alasan waktu untuk menyiapkan karya akademik yang tidak mencukupi, dikemukakan oleh 44% guru, sementara 12% guru mengemukakan tidak adanya pemerataan kesempatan untuk mengembangkan karya akademik. Guru yang tidak lulus penilaian portofolio, karena nilai totalnya di bawah angka 850, biasanya disebabkan kurangnya nilai skor pendidikan dan pelatihan dan nilai prestasi akademik. Bahkan nilai keduanya yang merupakan bagian dari unsur B, minimal harus mencapai angka 300, untuk mencapai kelulusan. Apabila ada guru yang nilai unsur B kurang dari 300, akan dinyatakan belum lulus meskipun skor total portofolionya di atas 850. Guru yang dimaksud harus melengkapi kekurangan unsur B dalam jangka waktu tertentu atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Sayangnya, tidak dapat dipastikan bahwa guru yang lulus baik melalui jalur portofolio maupun PLPG, memiliki kompetensi yang lebih baik dibanding guru-guru yang belum mengikuti sertifikasi (Sudarmanto, 2009: 79). Kesulitan Mengembangkan Media Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang ideal seharusnya tidak pernah terlepas dari pemanfaatan, bahkan pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat menjadi sarana yang mampu mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran. Pada kenyataan yang ada, tidak semua guru selalu sempat untuk membuat media pembelajaran dan digunakan pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Temuan di lapangan, 60% guru pernah membuat media pembelajaran dan penelitian tindakan kelas, sedangkan 40% menyatakan tidak pernah membuat keduanya. Gambaran tersebut menunjukkan masih minimnya motivasi guru untuk mengembangkan diri dan prestasi. Media pembelajaran mempunyai fungsi sentral dalam pembelajaran; keberadaanya dapat memudahkan guru dalam menyampaikan pesan dan sekaligus memudahkan siswa dalam memahami materi. Sementara penelitian tindakan kelas merupakan terapi konkrit permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran, yang sejatinya merupakan permasalahan utama yang selalu dihadapi guru.

19

Budiaman, Ironi Sertifikasi

Keikutsertaan Guru dalam Forum Ilmiah. Pengembangan wawasan berpikir dan karier guru tidak harus berada pada lingkungan pembelajaran saja, melainkan perlu adanya pencerahan yang menjadikan guru termotivasi untuk lebih maju, lebih terampil, dan berpengalaman luas. Keikutsertaan guru dalam forum ilmiah merupakan bagian dari bukti fisik portofolio. Meski tidak memiliki kriteria nilai sebesar pendidikan dan pelatihan, tetapi keikutsertaan guru dalam forum ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme. Kesertaan guru dalam forum ilmiah terbagi dalam empat ruang lingkup, yaitu tingkat kecamatan, kota, provinsi, dan nasional. Guru yang pernah mengikuti forum ilmiah tingkat kecamatan sebanyak 4%, tingkat kotamadya 32%, tingkat propinsi 20%, dan tingkat nasional 16%, sisanya tidak pernah mengikuti kegiatan forum ilmiah sebanyak 28%. Dari perolehan data diketahui bahwa persentase guru yang pernah mengikuti forum ilmiah belum maksimal dan merata. Letak kota Bekasi yang tidak jauh dari Jakarta dan banyaknya seminar bidang pendidikan yang terselenggara, semestinya memudahkan guru untuk mendapatkan kesempatan mengikuti forum. Aktivitas Guru dalam Organisasi. Kompetensi sosial seorang guru semestinya tercermin secara alamiah, keterlibatannya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan bagian integral yang melekat dalam dirinya. Meski demikian masih ditemukan 36 %. Guru yang tidak aktif dalam kegiatan sosial dan kependidikan. Alasan guru yang tidak aktif dalam organisasi pendidikan maupun sosial karena tidak punya cukup waktu untuk ikut organisasi, tidak ditunjuk oleh sekolah untuk ikut organisasi, tidak suka organisasi, dan lebih suka meluangkan waktu untuk keluarga. Rasanya menjadi sebuah persoalan apabila guru tidak memiliki aktivitas sama seakli dalam bdang sosial dan kependidikan. Kecakapan sosial merupakan modal utama bagi guru dalam mengembangkan interaksi pembalajaran. Kemampun ini akan semakain berkembang apabila guru cukup aktif dalam kegiatan sosial dan kependidikan. Aktivitas sosial dan kependidkan memang memiliki skor paling kecil dalam perhitungan portofolio, tetapi hal ini semestinya tidak menjadi alasan bagi guru untuk tidak mengembangkan diri.

Penutup Secara empiris, proses penyusunan dokumen portofolio menimbulkan beban yang tidak ringan bagi guru. Proses ini mempengaruhi kinerja dan konsentrasi guru di sekolah. Salah satu dampak proses penyusunan portofolio guru adalah kegiatan pembelajaran menjadi terganggu. Fokus perhatian guru menjadi terpecah di antara dualisme, konsisten dengan pembelajaran di kelas dan atau mempersiapkan pemberkasan portofolio untuk meningkatkan profesionalitas formal. Pada sisi lain kenyataan yang ada, tidak semua data yang dimiiki guru relevan dengan jalur kependidikan dan acuan persyaratan yang sudah digariskan oleh Depdiknas. Persyaratan dokumen portofolio yang banyak memperhitungkan kuantitas bukti kegiatan akademis guru selama mengajar, menyebabkan maraknya berbagai seminar dengan topik kependidikan yang berakhir dengan perolehan sertifikat dan poin tertentu. Penyelenggaraan seminar-seminar kependidikan tersebut meliputi tingkat wilayah, provinsi, bahkan setara dengan seminar tingkat nasional. Sertifikasi mempengaruhi pemikiran sebagian besar guru, bahwa mereka harus bisa memiliki sertifikat berbagai kegiatan sebanyakbanyaknya, dengan segala cara. Tanpa berfikir lebih jauh, untuk mendapatkan selembar sertifikat kegiatan, mereka rela meninggalkan tugas mengajar, dan mengeluarkan dana yang tidak murah. Syarat lain portofolio yang bisa dipenuhi dengan cara rekayasa adalah pembuatan surat tugas untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan yang sudah lampau. Tata Usaha sekolah membuat kembali surat tugas yang sebenarnya tidak melibatkan guru yang mempersiapkan proses sertifikasi, bahkan ada SK tugas milik guru lain yang diganti nama dan penunjukan tugasnya dengan guru yang sebenarnya tidak memiliki SK tugas dari pimpinan sekolah. Sebuah kenyataan yang ironi, di tengahtengah upaya pemerintah menciptakan guru profesional, ada sebagian guru yang menjalaninya dengan sangat tidak profesional, bahkan merendahkan citra guru itu sendiri. Diakui atau tidak, pada kenyataan di lapangan, proses penyusunan portofolio me-

20

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 14-20

nimbulkan beban bagi guru, baik teknis maupun psikologis. Adanya rencana Konsorsium Sertifikasi Guru Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempersilakan guru sejak awal memilih apakah ikut jalur portofolio atau jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) sangat bijaksana. Selain lebih alamiah, objektif, dan selektif, juga menjadi lebih efisien dari segi pembiayaan pemerintah yang harus dianggarkan.

Pustaka Acuan Anon. (2008). Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas. ______ 2008. Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Dirjen Dikti. Depdiknas.

Aqib, Zainal. (2002). Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia. Mulyasa, E. (2005). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosdakarya. ________ . (2007). Menjadi Guru yang Profesional. Bandung: Rosdakarya. Sevilla, dkk. (1998). Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu. Jakarta: UI Press. Sudarmanto, Y.B. (2009). Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakara: Gramedia. Uno, Hamzah B. (2007). Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. (2009). Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Yulaelawati, Ella. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.

21

Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan: Analisis Kontestasi Sektoral di Hulu DAS Cidanau Hidayat Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Program Studi Antropologi Sosial, Pasacasarjana Universitas Negeri Medan ,Jl.William Iskandar Pasar V, Medan Estate Medan, Indonesia Email: [email protected]

Abstract The contestation sectoral of land tenure are structurally, in macro or national level and micro or community level. In macro level was jeered by synergy weakness and government coordination in planning aspect, implementation, evaluation and monitoring. The other impact in aspect the agrarian properties and rural resources specially was pushed the state’s and private sector or business taking over control towards rural resources and institutional conflict. The local level or rural community caused independent appearance of rural community toward’s, agrarian conflict and conflict environmental services receipt peasant in forest community on area Cidanau Watershed. The sectoral contestation was due to negarasasi pedesaan, depesanitation process and pesant marginalization, caused the ruling government had failed to create the goal of institutional for prosperity at large and people’s welfare. The last, failured to peasant empowerment economic aspects and conducive agrarian resources for sustainability development.

Keywords: sectoral contestation, depesanitation, peasant community and institutional conflict,

Pendahuluan Visi dan misi pengelolaan sumber daya agararia dan sumber daya hutan sesuai konstitusi ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Visi dan misi tersebut mengambarkan bahwa pendiri republik Indonesia mengarah orientasikan politik agraria bersifat populis. Dalam arti pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sematasemata, tetapi juga untuk mencapai ketentraman hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pengarusutamaan politik agraria populis, merupakan ”jalan tengah” antara ideologi sosialis dan liberalis. Politik agraria ’jalan tengah” tersebut atas dasar pemahaman sosio historis tradisi dan praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang berkembang dalam berbagai komunitas dan etnis di wilayah nusantara. Hal yang menonjol dan menjadi ciri tradisi tersebut adalah menjunjung tinggi kohesivitas sosial, keguyuban, resiprositas, keseimbangan dan ketentraman hidup dan keberlanjutan, lebih diutamakan dari pada pencapaian surplus ekonomi secara individual.

Politik tata kelola sumber daya agraria populis selain dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya, tetapi juga sangat kecil peluang terjadinya ketimpangan dan kemiskinan antar anggotanya (Dewalt, 1994). Kesinambungan tradisi dan praktik tata kelola sumber daya populis didukung oleh pelembagaan dan pengetahuan lokal yang “mutable immobiles” (pengetahuan yang relatif lunak dan selalu selaras dengan lingkungan lokal). Oleh karenanya tradisi dan praktik tata kelola sumber daya agraria berbasis populis memiliki pengalaman yang melimpah tentang ekologi lokal dan kesadaran yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah. Tata kelola sumber daya agraria berbasis kearifan lokal juga kaya dengan detail-detail teknis konservasi sumber daya sesuai daya dukung dan ruang spasialnya. Tradisi dan praktik tata kelola sumber daya agraria berbasis populis dinilai sebagai kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan (Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992). Karena kelembagaan dan praktik tata kelolanya berbasis pada trust, menyediakan akses setara dan partisipasi komunitas lebih besar dari pada kelembagaan formal

22

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 21-31

(state property dan business property). Meskipun tata kelola sumber daya agraria populis dan berbasis kelembagaan/kearifan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi pembangunan sumber daya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak sumber daya di Indonesia diwarnai transformasi dari indigenous property dan common property ke state property dan private/business property (Ostrom dan Gardner, 1994). Prosesnya berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional menuju sistem politik demokrasi modern. Rezim hak sumber daya berbasis negara dan swasta dianggap sebagai syarat negara modern, demokratis dan tata kelola pemerintahan yang baik. Tetapi transformasi tersebut menyebabkan relasi dan pergulatan kelembagaan dan kearifan lokal dan masyarakatnya, eksistensinya dan posisi tawarnya semakin lemah dan tergantung pada political will pemegang kekuasaan dan sering kali dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan ekonomi supra lokal dan global (Escobar, 1999). Di tengah eksistensi dan posisi tawarnya yang tak berdaya menghadapi gempuran kekuatan supra lokal, kelembagaan komunitas sekitar hutan, diluruhkan melalui komoditifikasi agraria dan program pembangunan sektoral (Hasibuan, 1997). Ciri yang menonjol dari pembangunan sektoral adalah pragmatis, teknis administratif, kuantitatif dan berorientasi proyek. Pencapaian target kuantitatif lebih diutamakan dari pencapaian kualitatif dan dimensi sosial kultural dan aspek materi dan fisik dan kepentingan jangka pendek diprioritaskan dari pada keberlanjutan, keselarasan dan budaya dan kemanusiaan. Pendekatan pembangunan yang bersifat proyek atau diproyekkan, menyebabkan pelaksanaan pembangunan sektoral ditentukan oleh masukan dana, administrasi dan teknologi. Proses pembangunan yang berjalan sesuai tahapan proyek, juklak dan juknis dipandang sebagai proyek yang mencapai target dan berhasil, meskipun tak berkaitan dan memiliki dampak terhadap perbaikan kehidupan masyarakat yang menjadi sasaran program atau proyek. Berpangkal dari pemikiran di atas penulis tertarik untuk mengkaji (1) Instansi sektoral

apa saja yang ”bermain” dan terlibat dalam pembangunan sumber daya hutan dan komunitas desa hutan di hulu DAS Cidanau; (2) Bagaimana pelaksanaan pembangunan sosial dan ekonomi yang berlangsung pada komunitas desa hutan di DAS tersebut; (3) Bagaimana dampak pembangunan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi sektoral terhadap kelembagaan komunitas.

Metode Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai kontestasi sektoral dalam pembangunan sumber daya agraria dan masyarakat sekitar hutan yang bermukim di hulu DAS Cidanau. Paradigma dan pendekatan yang digunakan dalam kajian adalah paradigma/ metodologi kritis (Lubis, 2004 Agger, 2003). Penggunaan metodologi kritis didasarkan pertimbangan posisi termarginalkan dan rendahnya perhatian agensi terhadap kelembagaan lokal, tradisi dan praktik tata kelola sumber daya agraria komunitas, meskipun kondusif untuk konservasi sumber daya kawasan hulu DAS. Diharapkan dengan menggunakan metodologi kritis dapat membongkar dimensi struktur pengetahuan dan kekuasaan yang mengalienasi komunitas dan mendorong kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai kritik sosial atau dalam istilah Cavallaro (2004) sebagai riset transformatif. Peneliti dan tineliti terjalin interaksi dan dialogis, realitas dan temuan diletakkan dalam kerangka pemikiran dunia peneliti dan tineliti (Ritzer & Douglas, 2004). Pendekatan etik dan emik tidak dipertentangkan tetapi disinergikan (Kaplan dan Manners, 1999). Penelitian dilakukan di tiga desa di kawasan DAS Cidanau, yakni Desa Citasuk dan Desa Cibojong Kecamatan Padarincang dan Desa Citanam Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang. Pemilihan lokasi atas pertimbangan (1) Desa Citanam merupakan salah satu desa di kawasan hulu DAS Cidanau secara sejarah sosiologis memiliki keunikan, adanya kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan. (2) Di DAS Cidanau terdapat Cagar

23

Hidayat, Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan

Alam Rawa Danau sebagai kawasan endemik situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang tersisa di P. Jawa dan adanya jejaring kelembagaan hubungan hulu hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang kondusif untuk tata kelola DAS terpadu. Jumlah informannya 56 orang yang dipilih secara purposive snowball sampling atas dasar kriteria (1) mereka yang menjadi bagian dari peristiwa dan mengetahui masalah yang diteliti. (2) Representasi, informan yang terpilih berasal dari beragam latar belakang sosial: petani, pejabat pemerintahan, pamong desa, tokoh masyarakat, pengurus/anggota LSM dan kelompok tani. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan partisipasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD), sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi, keterangan dan mendalami fenoma dan realitas batin tineliti/informan, berkenaan dengan persepsi, pengalaman aktor dalam suatu peristiwa yang menjadi sasaran penelitian. Wawancara dengan teliti dilakukan secara lepas dengan terlebih dahulu menyiapkan pokok-pokok pertanyaan yang diajukan. Narasumber/ informan kuncinya berasal dari berbagai strata, kelompok dan organisasi baik formal dan informal di tingkat desa dan instansi teknis terkait. Informasi, keterangan dan penjelasan yang digali melalui wawancara mendalam dijadikan bahan diskusi kelompok berfokus (Focus Group Discussion). Pesertanya adalah informan kunci (tokoh masyarakat, pengurus dan anggota kelompok tani, aparat desa aparat teknis terkait yang dikelompokkan sesuai dengan stratanya agar terhindar dari rasa sungkan. Diskusi dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi secara kognitif dan emosional dan pemahaman bersama tentang fokus penelitian. Observasi partisipasi dilakukan untuk mendeteksi pola perilaku sosial dalam merespon tekanan struktural dan kelembagaan. Observasi partisipasi ditujukan untuk mengamati secara langsung pengalaman, tindakan sosial/kolektif dan individual, hubungan teknis agraria dan jaringan kelembagaan komunitas.

Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif, yakni melakukan penelusuran terhadap pernyataanpernyataan tentang hubungan antara berbagai kategori data untuk mengkonstruksi suatu fenomena sosial atau proses mengatur urutan data dan mengorganisasikan ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan pertanyaan penelitian untuk memudahkan seleksi, deskripsi, interpretasi, dan analitis sebagai bahan konseptualisasi, komparasi, narasi dan konstruksi. Tahapan analisis data dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Mathew dan Michael, (1992) meliputi tiga tahapan: (1) membandingkan kejadian/fenomena yang cocok dengan kategorinya; (2) mengintegrasikan kategori dengan ciri-cirinya; (3) merumuskan konsep dan “teori” yang relevan. Kategorisasi kejadian atau fenomena sosial diawali dengan pengelompokkan berdasarkan nama, fungsi atau alasan tertentu. Dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah, data/informasi diuji silang melalui teknik triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi teori (Lubis, 2003, 2004). Data dan informasi dari informan kunci dibandingkan dengan hasil diskusi berfokus, selanjutnya dibanding ulang dengan data hasil pengamatan berperan serta yang dilakukan di kancah dan ajang sosial dalam masyarakat. Abstraksi dan ekplanasi data dan informasi dirumuskan setelah kesepamahaman inter-subyektif peneliti dan tineliti.

Hasil dan Pembahasan 1. Latar Belakang dan Pola Kontestasi Sektoral Dari pengagalian informasi di lapangan diketahui bahwa kontestasi sektoral penguasaan sumber daya agraria dilatarbelakangi menguatnya kepentingan sektoral dan agensinya (pusat dan daerah) serta kurangnya pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumber daya sebagai komoditi, sebagai sistem daya dukung kehidupan atau modal alam (natural capital). Pemangku kepentingan menempatkan sumber daya agraria semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemanfaatan sumber daya sebagai daya dukung kehidupan jika berlebihan

24

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 21-31

berakibat terganggunya keseimbangan keseluruhan ekosistem. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumber daya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumber daya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumber daya. Pelaksanaan tata kelola sumber daya lebih didasarkan pertimbangan teknis, kepentingan ekonomi, politik, wilayah kekuasaan/administratif dari pada sumber daya dukung kehidupan untuk perbaikan kesejahteraan rakyat. Padahal karakteristik sumber daya seperti bentang DAS tidak bisa dibagibagikan berdasarkan unit administratif pemerintahan. Kekurangpahaman atas karakteristik sumber daya dan besarnya kepentingan politik dan ekonomi sektoral menyebabkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur sumber daya agraria (hutan, tanah, air, pertambangan dan pesisir) menimbulkan konflik jurisdiksi. Aktor atau pemangku kepentingan yang terlibat kontestasi sektoral dalam penguasaan sumber daya agraria melibatkan jejaring sosial yang luas, baik pada aras lokal, regional maupun pada tingkat nasional dan global (internasional). Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya agraria di DAS Cidanau dapat disimak pada gambar 1. Dari Gambar 1 diketahui bahwa aktoraktor yang terlibat kontestasi pada masingmasing tingkatnya memiliki keterkaitan satu

sama lainnya. Kontestasi antar aktor akan menyeruak kepermukaan manakala ada isyuisyu krusial yang akan berpengaruh terhadap dinamika masing-masing aktor. Pada tingkat nasional kontestasi antar aktor dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya tercermin dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang minim koordinasi, sinkronisasi dan sinergi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kontestasi sektoral antara lain: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UndangUndang No. 31 tentang Perikanan, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang No. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Konflik sektoral keempat UU tersebut disajikan dalam gambar berikut: Kontestasi sektoral antara kehutanan dengan perikanan berkaitan dengan status dan pengelolaan hutan mangrove. Hutan mangrove secara de facto berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi de jure pengelolaan hutan mangrove merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan. Akibatnya sebagian besar hutan mangrove dalam kondisi rusak dan tidak bisa menahan enterupsi air laut. Kontestasi sektoral juga terjadi antara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, berkaitan dengan ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan yang mengakibatkan tarik menarik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan

Gambar 1 Kontestasi Aktor Internasional

MNC

Nasional

Kemenhut

Regional

UPT DAS

Lokal

UPTKehutanan Pertanian

Kement ESDM

FKDC

Aparat Kecamatan

NGO Internasional/IIED

DPR

Pemda

Aparat Desa

NGO

Rekonvasi Bumi

KTH Gapoktan

25

Hidayat, Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan

Gambar 2 Kontestasi Sektoral UUȱNo.41ȱTentangȱ Kehutananȱ

MasalahȱPertambanganȱ diȱHutanȱLindungȱ

MasalahȱKonservasiȱ Hutanȱmangroveȱ

UUȱNo.ȱ31/2003ȱ TentangȱPerikananȱ

Kontestasiȱ

MasalahȱIzinȱWilayahȱȱ

Sektoralȱdanȱ

PenangkanȱIkanȱ

Tumpangȱ Tindihȱ UUȱNo.ȱ22/2001ȱTentangȱ

Kepentingan

MinyakȱdanȱGasȱBumiȱ

Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 berwenang mengeluarkan ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan dalam rangka meningkatkan Peningkatan Asli Daerah (PAD) sementara Kementerian Kehutanan sesuai dengan UU No. 41/1999 memiliki wewenang mengeluarkan ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan dalam rangka meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap APBN. Tarik menarik antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Kehutanan menyebabkan deforestasi dan illegal logging sulit dikendalikan dan rusaknya ekosistem kawasan hulu DAS. Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku illegal logging merupakan sisi lain dampak dari kontestasi sektoral. Lemahnya sinergi dan koordinasi dalam penegakkan hukum terhadap pelaku illegal logging berbanding terbalik dengan semangat pemberian konsesi penguasaan/pengusahaan hutan dan pertambangan pada pemilik modal. Kondisi kontradisi ini menggambarkan kuatnya pertimbangan trasaksional dalam tata kelola sumber daya agraria (hutan dan pertambangan). Konsesi penguasaan dan pengusahaan hutan dan pertambangan oleh pemilik modal berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan proses kontestasi sektoral dapat ditelusuri dari perumusan draf naskah perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif dan sampai dengan alokasi anggaran dalam APBN.

UUȱNoȱ 32/2004Tentangȱ

Sengitnya kontestasi sektoral tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan oleh DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan berbagai kekuatan politik dan ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan politik dan ekonomi di luarnya (kalangan eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan asing) bahkan badan-badan internasional. Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan lantang DPR kemudian berbalik redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR dinilai janggal, karena berlangsung secara drastis (Harian Kompas, 13-14 Juli 2004). Ketika Perpu No.1 tahun 2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak Perpu, DPR khawatir dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase, karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat. Ambiguitas DPR terhadap Perpu menggambarkan sengitnya kontestasi sektoral da-

26

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 21-31

tambangan di kawasan hutan lindung, kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan.

lam penguasaan sumber daya hutan yang berlangsung secara transaksional. Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi lahan subur pencari rent seeker dan besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku kepentingan (penguasa dan pengusaha) dalam penguasaan sumber daya hutan dan pertambangan. Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan melalui Perpu No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No. 41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi UndangUndang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No. 41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mampu mendesakkan kepentingannya melalui Presiden.

2. Pembangunan Tidak Meninggal Jejak Menguatnya kepentingan politik dan ekonomi isntansi sektoral dan perusahaan dalam proses pembuatan perundang-undangan sektoral, menyebabkan produk hukum dari badan legislatif menjadi “vehicle to get power” para pihak (badan legislatif, eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan mancanegera). Dalam proses pembuatan perundangan sektoral, wakil rakyat di badan legislatif cenderung merespresentasikan kepentingan diri sendiri dan partai politiknya dari pada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Proses pembuatan undangundang secara demikian, mengakibatkan isi dan subtansi peraturan perundang-undangan, bukan hanya bersifat sektoral dan parsial, tetapi juga syarat muatan kepentingan politik dan ekonomi para pihak yang semakin menjauhkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral dengan Kementerian Kehutanan. Dalam kasus per-

Kontestasi penguasaan sumber daya hutan juga tercermin dari pengeluaran izin konsesi kepada pemilik modal yang berlangsung secara

Gambar 3 Tumpang Tindih Pertambangan dan Kehutanan Kalimantan: 19% Sulawesi: 26%

Ì Sumatra: 44%

Ì

ÌÌ

Ì

Ì

Ì Ì

Ì Ì

Ì Java-Bali: 6%

Ì

Ì

Papua: 68%

Ì Maluku: 7%

Ì Nusa Tenggara: 43%

Sabuk Mineral

Wilayah KK

Definisi hutan lindung dalam UU No 41 tahun 2004 tidak memberi ruang gerak lagi bagi kegiatan pertambangan

Wilayah KK yang tak dapat dieksplorasi

UU 41/1999 Tambang tidak boleh di hutan lindung PP 1/2004, why not ?

27

Hidayat, Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan

Gambar 4 Konsesi Lahan di Indonesia

Konsesi lahan di Indonesia Lain-lain 73,1 juta ha

HTI

8,8 juta ha

kolosal. Konsesi penguasaan sumber daya hutan berdasarkan pertimbangan transaksional berdampak luas terhadap komunitas sekitar hutan karena menegasikan hak, akses, dan ruang hidupnya. Keragaman budaya dan tradisi tata kelola sumber daya berbagai komunitas di Indonesia, ruang spasial luruh dan tertutup oleh berbagai hak konsesi yang dimiliki oleh pemilik modal nasional dan global, seperti terlihat pada Gambar 4. Proses kontestasi sektoral yang syarat muatan politik dan ekonomi di tingkat nasional ternyata merembes dalam program pembangunan di tingkat pelaksana teknis di kecamatan dan wilayah pedesaan. Dalam pembangunan sektor pertanian, kehutanan, pengembangan masyarakat infrastruktur, keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, koperasi dan UKM dan industri/ kerajinan, terlihat antar pelaksana teknis tidak terkoordinasi dan tidak bersinergi. Program kerja yang disusun oleh masing-masing instansi sektoral tidak dikomunikasikan dan dikoordinasikan satu sama lainnya. Program peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura dari UPT Pertaniaan Padarincang dan Ciomas yang tidak bersinergi dengan program konservasi dari kehutanan dan pembangunan infrastruktur. Upaya mengatasi degradasi dan sedimentasi Cagar Alam Rawa Danau yang dilakukan oleh Balai Konservasi tanpa koordinasi dengan instansi sektoral lainnya seperti lingkungan hidup dan pertanian. Menguatnya ego sektoral mengakibatkan pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi yang dilakukan oleh pekerjaan

HGU 15,0 juta ha

Tambang 35% lahan

HPH 35,1 juta ha

umum mengakibatkan mengganggu kelancaran pembangunan sektor pertanian, lingkungan hidup dan kesehatan. Pembangunan masyarakat sekitar hutan dan desa hutan seakan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab sektor kehutanan, termasuk dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan. Akibatnya produktivitas tanaman pangan pada desa-desa sekitar hutan tidak optimal karena tidak sinergi dan tidak terkoordinasi. Lemahnya koordinasi tidak hanya antar instansi sektoral, melainkan berlangsung dalam internal sektoral antara kawasan hulu, tengah dan hilir DAS. Program kerja masingmasing unit internal sektor dalam pengelolaan DAS tidak sinergis, kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara terpadu sebagai satu ekosistem, tapi terpisah-pisah sesuai dengan kewenangan dan kepentingan masing-masing internal sektor. Secara teoritis kondisi ini merupakan implikasi pendekatan sektoral yang mengharuskan adanya spesialisasi pekerjaan dan bidang tugas berdasarkan kapasitas dan keahlian agar tercapai efisiensi kerja. Keberhasilan suatu proyek diukur oleh kelancaran proyek berdasarkan tahapan, prosedur dan target. Proyek yang berjalan sesuai dengan tahapan, prosedur dan target dianggap tujuannya tercapai. Dari pemahaman itu program pembangunan kehutanan dan pertanian yang dilaksanakan oleh masingmasing UPT, diarahkan pada pencapaian target masing-masing UPT dan instansi sektoral vertikal. Program kerja instansi sektoral pada tingkat

28

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 21-31

UPT (kehutanan dan pertanian) disusun secara seragam, tanpa memperhatikan perbedaan wilayah, potensi ekonomi dan sumber daya wilayah kerjanya. Pencapaian target instansi sektoral vertikal lebih diutamakan dari pada capaian kualitatif sesuai dengan kondisi wilayah, potensi ekonomi dan sumber daya manusia. Pencapaian pembangunan ekonomi dan pendekatan kuantitatif lebih menonjol dari pada pembangunan sosial budaya masyarakat secara kualitatif. Dalam diskusi berfokus diketahui anggaran proyek terserap sesuai dengan tahapan dan prosedur sebagian besar tetapi tidak meninggalkan jejak, masyarakat yang menjadi sasaran program/proyek tidak mengalami perbaikan. Dapat dikatakan pencapaian sasaran program pembangunan yang tinggi secara kuantitatif (sesuai target, prosedur dan anggaran) tidak ada hubungannya perbaikan ekonomi dan kesejahteraan yang menjadi sasaran program/proyek. Dalam masyarakat terdapat penilaian bahwa kontestasi sektoral dalam pembangunan sumber daya agraria di lokasi penelitian menimbulkan dampak negatif yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama, menguatnya kepentingan teknis dan ekonomi sektoral mengakibatkan pencapaian program/kegiatan pembangunan pertanian, kehutanan, pekerjaan umum dan pedesaan diukur berdasarkan indikator persentase penyerapan anggaran, frekuensi dan volume kegiatan dan jumlah sasaran/masyarakat yang dilibatkan dalam program. Kriteria keberhasilan program atas dasar indikator tersebut, dalam kenyataan empirik banyaknya program dan anggaran yang dikeluarkan tidak berkorelasi dengan besaran manfaat dan ke-

gunaannya bagi masyarakat. Sejauh mana program masing-masing sektor meningkatkan taraf hidup dan pemberdayaan masyarakat tidak diperhitungkan. Program sektoral hanya sekedar rutinitas administrasi yang tidak berjiwa dan tidak terkait dengan dimensi ruang sosial kemanusiaan. Kedua, pelaksanaan program pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat oleh instansi sektoral bersifat proyek/diproyekkan, maka keberlanjutan program dibatasi dan ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Meskipun ketersediaan anggaran diperlukan, tetapi ketergantungan program pemberdayaan masyarakat terhadap anggaran, sering mengabaikan faktor pengungkit keberhasilan program pembangunan pedesaan, yakni sumber daya manusia, aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat.

3. Negaraisasi Pedesaan Dengan alasan teknis administratif, pelaksanaan pembangunan pertanian, kehutanan dan infrastruktur diikuti dengan pembentukan kelembagaan baru yang bersifat top down. Hal ini merupakan bentuk penetrasi negara terhadap komunitas pedesaan atau negarasasi pedesaan dan semakin menjauhkan pencapaian keberhasilan program manausia secara utuh. Kesimpulan ini didasarkan atas temuan empirik sebagai berikut (1) pembentukan kelembagaan baru tidak bersifat partisipatif dan dilakukan dengan menegasikan kelembagaan yang hidup di tengah masyarakat, (2) peluncuran program pembangunan pedesaan, sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring didominasi oleh agensi pemerintah dan tidak melibatkan masyarakat secara utuh. Merujuk

Tabel 5. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan No 1 2 3 4

Instansi Induk/Pusat BKKBN Koperasi dan UKM Kementerial Sosial Kementerian PU

5

Kementerian Kehutanan

6 7 8

Kementerian Pertanian Kemendagri Badan Ketahanan Pangan

Diolah dari sumber primer

Kelembagaan Sektoral Bentukan Pemerintah Kelompok Usaha Bersama, KUBE Pra Koperasi, (BDS) Busines Development Service Petani Pemakai Air Kelompok Tani Hutan (KTH), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kelompok Tani dan Gapoktan, LUEP KUMDEs Lembaga Distribusi Pangan Masayarakat

Hidayat, Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan

pada Suradistra (2006) kondisi ini terkait dengan keberadaan kelembagan lokal di mata aparat seperti anak tiri, keberadaannya tidak diinginkan” sebagai orphan factor. Sehingga sejumlah kementerian/lembaga pemerintah memiliki perpanjangan tangan di tingkat desa, seperti terlihat dari gambar 5. Kehadiran kelembagaan bentukan pemerintah pusat di wilayah pedesaan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah lebih merupakan retorika politik dan wacana elit. Satu dekade pelaksanaan otonomi belum mampu menjadikan desa sebagai wilayah otonom secara utuh. Pemerintahan Desa yang terkooptasi selama rezim Orde Baru belum direvitalisasi secara berrarti. Dalam praktik pemerintahan, struktur pemerintahan desa ditempatkan sebagai struktur pemerintahan terendah dan menjadi obyek intervensi kekuatan supra lokal. Kondisi demikian berakibat meningkatnya ketergantungan desa pada pemerintah pusat dan lemahnya kemandirian masyarakat. Selain itu kehadiran kelembagaan supra lokal merupakan beban rumah tangga pedesaan, sementara kontribusinya terhadap peningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan tidak signifikan. Dalam proses pembangunan masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek eksploitasi dari para pihak untuk mendapatkan rente ekonomi dari berbagai program dan proyek yang masuk ke wilayah pedesaan.

4. Perebutan Insentif Jasa Lingkungan Kontestasi sektoral yang berlangsung pada aras nasional merembes dan meluas pada kelompok tani hutan di tingkat lokal. Kontestasi antar kelompok tani hutan berawal dari aktivitas agroforestry komunitas petani di desa Cibojong dan Citaman berdampak positif terhadap konservasi tanah dan air yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan yang dihasilkan komunitas petani di hulu DAS Cidanau adalah cadangan air dan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri strategis di kota Cilegon (PT Indonesia Power – anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali dan industri baja PT Krakatau Steel). Sebagai imbalan atas aktivitas agroforestry yang mendukung usaha pelestarian ekosistem bagian hulu DAS Cidanau yang menghasilkan jasa lingkungan, sejumlah petani di Desa Citaman

29 dan Cibojong mendapatkan pembayaran jasa lingkungan. Hanya saja pembayaran jasa lingkungan oleh konsumen kepada produsen jasa lingkungan (petani) di hulu DAS Cidanau tidak diterima oleh semua petani yang terlibat dalam agroforestry. Pembayaran jasa lingkungan hanya diberikan kepada petani yang berada pada zona tertentu berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) (Rekonvasi Bumi, 2007). Luasnya sekitar 50 ha, 25 hektar berada di wilayah desa Citaman Kecamatan Ciomas dan 25 hektar di desa Cibojong Kecamatan Padarincang. Pembayaran jasa lingkungan berdasarkan zonasi Tim Ad Hoc, kemudian menjadi sumber ketegangan antar kelompok tani karena tidak semua petani mendapatkan pembayaran jasa lingkungan atau kompensasi lainnya. KTH yang tidak menerima insentif jasa lingkungan menuduh KTH yang menerima insentif jasa lingkungan sebagai tidak peduli sesama, hanya mementingkan kelompoknya dan mengabaikan keguyuban petani. Petani yang menerima insentif lingkungan, berdalih bahwa insentif yang diterimanya berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc dan mekanisme perjanjian pembayaran jasa lingkungan. Dalam aturan perjanjian itu disebutkan: “Anggota kelompok petani hutan yang menerima pembayaran jasa lingkungan, syaratnya lahan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama dan tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. Jenis tanaman yang berhak atas pembayaran jasa lingkungan adalah, semua jenis tanaman berdasarkan ketentuan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Peta situasi lahan dan tanaman masing–masing anggota kelompok harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis tanaman yang tersebar secara merata. Insentif jasa lingkungan yang diterima petani sebesar Rp. 100.000,- untuk satu hektar per bulan. Nilai insentif jasa lingkungan itu dinilai oleh petani bervariasi. Sebagian petani memandang “nilai nominal insentif lingkungan yang diterimanya per bulan hanya cukup untuk upah ngored selama lima hari”. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sebagai pe-

30

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 21-31

ngelola Pembayaran Jasa Lingkungan yang mencapai 150.000, per hari. Lain halnya bagi petani pemilik lahan sempit/petani gurem, uang Rp. 100.000,- sangat berarti, dapat membeli sekitar 30 liter beras. Pertarungan antar anggota/Kelompok Tani Hutan di hulu DAS Cidanau, merujuk pada pendapat Leventhal dalam Nurrahman, (2004) berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas contribution rule dan equality rule. Perspektif contribution rule memandang bahwa suatu mekanisme yang adil bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang sebanding dengan kontribusinya. Petani/kelompok yang telah bekerja keras menghasilkan jasa lingkungan memandang petani/kelompoknya yang berhak mendapatkan insentif jasa lingkungan. Sebaliknya perspektif equality rule memandang suatu mekanisme yang adil bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang setara di antara para partisipan. Insentif lingkungan harus terbagi dan diterima secara merata di antara para petani/kelompok yang terlibat dalam produksi jasa lingkungan. Menurut informan pertarungan antar petani disebabkan dua hal: (1) ketentuan perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang menyatakan bahwa pada tahun kedua sampai dengan tahun kelima, insentif jasa lingkungan yang diterima petani meningkat nilainya menjadi minimal Rp. 2,5 juta per hektar per tahun dengan syarat jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. (2) Aturan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ditentukan secara sepihak oleh Tim Ad Hoc FKDC yang didominasi oleh pejabat/ mantan pejabat pemerintah daerah. Menurut masyarakat dominasi pejabat mengakibatkan mengedepankan kepentingan politik dan ekonomi dari pada kepentingan petani dan konservasi. Indikasinya ditunjukkan oleh dua hal: (a) mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dirancang untuk mengontrol aktivitas komunitas petani di hulu DAS dari pada membangun kelembagaan tata kelola DAS yang partisipatif, terpadu dan berkelanjutan. (2) Sistem penganggaran FKDC untuk kegiatan operasional dibebankan kepada APBD propinsi sedangkan untuk pembayaran jasa lingkungan kepada petani berasal dari PT Krakatau

Tirta Industri (BUMD). Terdapat kesan kuat pejabat pemerintah daerah yang menjadi pengurus FKDC menjadi ’benalu” dari pada memperjuangkan keberlanjutan ekosistem DAS Cidanau. (3) Pengurus FKDC cenderung sewenang-wenang, bertindak sebagai “pembeli” yang menentukan “harga” jasa lingkungan secara sepihak dari pada menjadi pengayom petani dan menjaga kelestarian ekosistem hulu DAS Cidanau.

Penutup Pemahaman yang menempatkan sumber daya hutan sebagai komoditi dari pada sebagai stock dan barang publik, mengakibatkan kontestasi sektoral menjadi tak terhindarkan, karena masing-masing aktor atau pemangku kepentingan bersaing untuk mendapatkan rente ekonomi. Menguatnya kepentingan ekonomi sektoral mengakibatkan segenap potensi sumber daya yang berada pada bentang DAS pengelolaannya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumber daya dan komunitas di sekitarnya. Kontestasi penguasaan sumber daya agraria di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundangundangan. Di aras lokal masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program sektoral melalui proyek atau diproyekkan yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat. Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan negaraisasi pedesaan, mengakibatkan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Kontestasi sektoral juga menimbulkan negaraisasi pedesaan, menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di wilayah pedesaan. Proses negaraisasi pedesaan berlangsung bervariasi, bentuknya berbeda-beda tergantung dari kepentingan politik dan ekonomi dari rezim yang berkuasa, karena kepentingan dan hubungan politik dan ekonomi negara dengan rakyat mengalami pasang surut dan tidak monoton. Pada rezim Orde Lama hubungan politik dan ekonomi negara dengan rakyat cen-

Hidayat, Dilema Kemandirian Komunitas Petani Hutan

derung populis sedangkan di era rezim Orde Baru bersifat dominatif hegemini dan konfliktual, dan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak sosial dan kepribumian, dan negara cenderung mereduksi sumber daya sebagai komoditas semata-mata. Menguatnya kontestasi sektoral di kawasan DAS Cidanau berakibat rendahnya produktivitas komoditas agroforestry pada desadesa sekitar hutan dan tidak dikelolanya kawasan DAS (hulu, tengah dan hilir) secara sinegis sebagai satu ekosistem dikelola atas prinsip one river one management. Karena masingmasing instansi sektoral memiliki perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring tersendiri tanpa koordinasi. Di aras lokal kontestasi sektoral ditunjukkan dari pandangan dan cara pemangku kepentingan dan agensinya dalam pencapaian target kuantitatif dan penyerapan anggaran.

Pustaka Acuan Agger, Ben. (2003). Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Brinkerhoff, Derick W and Arthur A. Goldsmith. (1992). Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy, World Development, Vol. 20. Dewalt, Billie R. (1994). Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.

31 Escobar, Arturo. (1999). After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999. Hasibuan, Sayuti. (1997). Pendekatan Pelaksanaan dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional. Kaplan, David dan Albert A Manners. (1999). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lubis, Akhyar, Lubis. (2004). Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Matew, Miles dan Michael, Hubermane. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta; UI Press. Nani, Nurrrachman. (2004). Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial. Dalam Keadilan sosial: Upaya mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Ostrom E, Gardner, R and Walker. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, An Arbor, MI. Rekonvasi Bumi. (2007), Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau Propinsi Banten Ritzer, Geoge & Goodman Douglas J. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Suradistra. (2006). Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Makalah Orasi Ilmiah Pengukuhan Peneliti Utama Sebagai Profesor Riset Bidang Sosiologi Pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

32

Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi Ekologis di Cikahuripan-Cisolok, Sukabumi, Muhammad Zid Program Studi Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: E-mail: [email protected]

Abstract This paper background by the linkage between livelihood strategies form a family of fishermen in a way they adapt to the environment (ecological adaptation). Convergence is an indication and realization of a family survival strategy fishermen. Related to that, the purpose of this study attempted to explain the engagement both with the logic of descriptive qualitative methodology. The results showed that the involvement of all family members in making a living is a livelihood strategy in an attempt to survive while the family response to the conditions of life. At this point the viability pattern of fishermen families in improving family welfare embededness with ecological adaptation and livelihood strategies (livelihood strategy) is performed. Second, the size of the income of a family member will affect the pattern of consumption and production settings fisherman family. Third, the dual role women wives of fishermen, the division of labor and allocation of husband and wife work, save, bought perabut houses, electronic goods and gold jewelry in reality is an ecological adaptation to family fishermen.

Keywords: ecological adaptation, livelihood strategies, and family fishermen

Pendahuluan Keluarga dalam setiap masyarakat merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial. Keluarga juga merupakan struktur mikro yang membentuk struktur sosial dan kelembagaan yang lebih luas. Potret ini bisa dilihat misalnya pada keluarga nelayan, keberadaannya tentu penting sebagai entitas dari masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang dikenal maritim1, di samping agraris. Jumlah di Indonesia cukup banyak, yakni 2.315.787 orang pada tahun 1994 dan naik menjadi 2.935.289 orang pada tahun 2004 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Namun, ironisnya sebagian besar keluarga nelayan dalam struktur Masyarakat Indonesia merupakan lapisan masyarakat yang menempati posisi terendah dan paling miskin dibandingkan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan lainnya. 1

Indonesia yang memiliki kurang lebih 17.500 pulau besar dan kecil merupakan archipelagic state terbesar di dunia. Sebagai negara maritim, 5,8 juta km² atau 75 % dari luas wilayah Indonesia merupakan lautan. Lautan Indonesia memiliki kekayaan hayati laut yang tinggi (mega diversity) di dunia (Dewan Hankamnas dan BPPT, 1996). Dengan potensi yang besar tersebut, banyak penduduk Indonesia yang bermata pencaharian berkaitan dengan kelautan, salah satunya sebagai nelayan.

Semedi (2003) mengatakan bahwa “In Asia, where agriculture takes pride of place as the dominat economic activity, fishing communities... are marginal”. Sedangkan Mubyarto, Soetrisno, dan Dove (1984) mengatakan bahwa “keluarga nelayan umumnya lebih miskin dari pada keluarga petani atau pengrajin”. Senada dengan itu di Kalimantara Barat sekitar 80 % nelayan yang ada di Propinsi ini berada dalam kondisi miskin” (Kompas, 12 April, hal 28). Nelayan kecil dan buruh nelayan memang berada pada posisi yang lemah dan marginal. Dari segi modal umumnya mereka sangat lemah. Akibatnya mereka kebanyakan sangat tergantung pada para pemilik modal (tauke atau punggawa), yang biasanya berfungsi sebagai pembeli dan pengumpul ikan. Kondis inilah yang seringkali menghadapkan nelayan kecil dan buruh nelayan terjerat utang kepada tauke dengan konsekuensi mereka harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang ditentukan oleh tauke. Kondisi kemiskinan nelayan tersebut merupakan permasalahan kompleks sebagai akibat dari ketidakberdayaan nelayan terhadap akses sumber daya alam yang tersedia. Faktor

33

Zid, Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan

rendahnya pendidikan, keterampilan, ketiadaan modal serta rendahnya aksesibilitas menyebabkan nelayan menjadi kelompok yang semakin termarjinalkan. Hal ini diperkuat oleh temuan Sinaga (1982), Sinaga dan Simatupang (1987) yang menunjukkan bahwa keadaan sosial ekonomi nelayan pantai di Jawa masih sangat memprihatinkan, pendidikan sangat rendah, bahkan sekitar 38% nelayan masih buta huruf dan 58% istri nelayan buta huruf. Studi Sajogyo (1983) menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan tergolong miskin, di samping rumah tangga petani sempit, buruh tani, dan pengrajin. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh keluarga nelayan, salah satunya melalui peningkatan strategi ekonomi rumah tangga yang mencakup upaya-upaya alokasi sumber daya, khususnya tenaga kerja di dua sektor sekaligus, yaitu sektor produksi dan nonproduksi. Upaya di sektor produksi menunjuk pada ragam kegiatan para anggota rumah tanga di bidang ekonomi produksi. Sedangkan upaya non produksi menunjukkan keterlibatan para anggota rumah tangga di beragam lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Dalam keluarga miskin di pedesaan, keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam mencari nafkah merupakan suatu livelihood strategy2 sebagai upaya untuk bertahan hidup sekaligus respon keluarga terhadap kondisi serba kekurangan. Anak-anak pada keluarga miskin memasuki dunia kerja lebih awal jika dibandingkan anak-anak pada keluarga berkecukupan. Mereka umumnya sudah mulai bekerja pada usia 12 tahun, bahkan bisa lebih muda dari itu. Di samping tenaga kerja anak, tenaga kerja istri juga merupakan asset yang sangat membantu ekonomi keluarga karena istri keluarga buruh nelayan biasanya memiliki peran ganda, mereka juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dari paparan di atas maka dapat dilihat bahwa pola kebertahanan keluarga nelayan 2

Livelihood strategy didefinisikan sebagai ”proses-proses di mana rumah tangga membangun suatu kegiatan dan kapabilitas dukungan sosial yang beragam untuk survival atau bertahan hidup dan untuk meningkatkan taraf hidupnya”. Pada posisi ini rasionalitas embedded dalam strategi adaptasi nelayan (sumbangan Swedberg dan Granovetter). Mengacu kepada pendapat Scoones dalam Sumarti (2007), terdapat tiga strategi nafkah yang berbeda yang dilakukan penduduk pedesaan, yaitu: (1) intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi nafkah, dan (3) migrasi (keluar) berupa perpindahan dengan sukarela/sengaja atau tidak.

dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga embededness dengan adaptasi ekologi dan strategi nafkah (livelihood strategy) yang dilakukan. Untuk itu, tulisan ini mencoba merumuskan pertanyaan mendasar ”Bagaimana adaptasi ekologi dan strategi nafkah nelayan dalam menjaga kebertahanan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga?” Berdasarkan rumusan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi ekologi dan strategi nafkah nelayan dalam melawan kemiskinan yang dialami keluarga mereka. Selain itu, juga untuk mengetahui eksistensi dan peran nelayan dalam membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Metode Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Citiis Desa Cikahuripan Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Dusun Citiis merupakan dusun di Desa Cikahuripan yang memiliki nelayan terbanyak. Terdapat 424 orang (70%) dari 1.425 orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan tinggal di Dusun Citiis. Secara umum, nelayan di Dusun Citiis dikategorikan menjadi empat (4) kelompok, yaitu: (1) pengepul ikan; (2) pemilik perahu (tawe); (3) penjual ikan; (4) buruh nelayan (anak buah kapal/ABK). Dalam penelitian ini hanya difokuskan kepada keluarga buruh nelayan yang istrinya ikut bekerja. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2009. Secara metode, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari hasil menyebarkan wawancara terstruktur dengan informan yaitu perempuan yang berstatus sebagai istri buruh nelayan. Wawancara juga dilakukan dengan beberapa informan kunci (key informant) seperti aparat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh wanita. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari data yang terdokumentasikan pada instansi seperti Balai Desa Cikahuripan, Kantor Kecamatan Cisolok, Badan Pusat Statistik. Populasi penelitian adalah seluruh Keluarga buruh nelayan yang bertempat tinggal di Dusun Citiis sebanyak 424 KK. Penentuan sampel dilakukan secara purposive, yaitu se-

34

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 32-38

banyak 30 KK buruh nelayan yang istrinya ikut mencari nafkah. Sedangkan data dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam (indeepth interview) dengan informan, beberapa tokoh kunci (key informant) seperti aparat desa, tokoh nelayan, tokoh wanita, tokoh agama setempat. Wawancara mendalam diperlukan sebagai alat untuk mengkonstruksikan bagaimana stategi ekologi dan strategi nafkah embededness dalam meningkatkan kebertahanan keluarga nelayan. Data yang terkumpul diolah dengan cara dikelompokkan berdasarkan jenisnya untuk selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan dua cara. Pertama, untuk data yang bersifat angka-angka akan dianalisis dengan menggunakan statistik sederhana berupa teknik prosentase dan untuk data yang bersifat kualitatif, dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis) dengan cara menggunakan triangulasi berupa triangulasi sumber, metode dan teori.

Hasil dan Pembahasan 1. Profil Desa Cikahuripan dan Karakteristiknya Desa Cikahuripan memiliki luas 702 Ha, morfologi Cikahuripan bervariasi mulai pantai, dataran rendah berupa persawahan dan permukiman, perbukitan yang diusahakan sebagai lahan perkebunan, sampai pegunungan yang merupakan hutan milik pemerintah (Perum Perhutani). Batas administrasi Desa Cikahuripan sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gunung Tanjung, Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, Barat dengan Desa Pasir baru, dan Timur dengan Desa Cisolok, yang sekaligus merupakan Ibu kota Kecamatan Cisolok. Wilayah Pelabuhan Ratu memiliki curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 2.565 mm per tahun, dengan rata-rata curah hujan bulanan antara 84 -376 mm. Berdasarkan curah hujan tersebut, musim hujan berlangsung antara bulan Nopember hingga April. Pada bulan-bulan tersebut, curah hujan mencapai 1.662 mm atau hampir mencapai 71 % dari curah hujan bulanan (BLH Kabupaten Sukabumi, 2003). Kondisi curah hujan ini sangat berperan penting terhadap persediaan air bagi kepentingan domestik (air minum, MCK) dan mata pencaharian penduduk khususnya yang

bergerak dalam pertanian, karena air tersedia hampir sepanjang tahun. Wilayah Pelabuhan Ratu memiliki Iklim muson dan dipengaruhi oleh pola angin musim Barat dan angin musim Timur. Secara umum, angin biasanya berhembus ke arah Barat – Barat Daya selama musim Timur. Selama periode ini angin berhembus sangat kencang dengan kecepatan 20 m/detik. Sedangkan pada musim Barat, angin berhembus ke arah Timur – Tenggara, kecepatan angin bervariasi dari lemah sampai sedang dengan kecepatan angin sampai 10 m/detik. Kecepatan angin tertinggi terjadi antara bulan Agustus-Desember yaitu mencapai lebih dari 20 km/jam (Data Stasiun Klimatologi Maranginan Tahun 1985-1991). Penduduk Desa Cikahuripan sebanyak 5.981 jiwa. Terdiri dari laki-laki 2.986 jiwa dan perempuan 2.995 jiwa. Sementara itu, kepala keluarga pada desa ini terdapat 1529 KK. Dari sisi latar sosial penduduk, masyarakat Desa Cikahuripan mayoritas etnis Sunda. Sedangkan penduduk pendatang hanya beberapa orang saja yaitu etnis Jawa sebanyak 41 orang dan etnis Bugis hanya 1 orang. Mereka umumnya sebagai nelayan, dan tukang bakso. Walaupun berbeda etnis secara sosial, namun masyarakat Desa Cikahuripan disatukan oleh ikatan mayoritas agama yang sebagaian besar menganut agama Islam. Dari sisi aksesibilitas, Desa Cikahuripan sangat tinggi, jarak ke kota Kecamatan relatif dekat hanya berjarak ± 2 km, dan jarak ke ibukota Kabupaten yaitu Kota Pelabuhan Ratu hanya ± 18 km. Sarana transportasi pada daerah ini sudah lengkap, untuk angkutan umum terdapat angkutan pedesaan dan perkotaan yang menghubungkan desa dengan kota CisolokPelabuhan Ratu, bahkan desa Cikahuripan dilalui angkutan antar propinsi yaitu kendaraan umum yang menghubungkan Pelabuhan Ratu sampai kecamatan Bayah di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Fasilitas sosial yang dimiliki Desa Cikahuripan berupa; 2 SD Negeri, 1 Madrasah Ibtidaiyah, sedangkan SMP/sederajat dan SMA/ sederajat hanya tersedia di ibu kota kecamatan yaitu Cisolok yang berjarak hanya kurang lebih 2 km dari desa. Pekerjaan penduduk di desa ini sangat bervariasi, lengkapnya dapat diperhatikan pada tabel berikut ini.

Zid, Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan

Tabel 1. Mata Pencaharian Penduduk Desa Cikahuripan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Mata Pencaharian Nelayan Petani pemilik Buruh tani Buruh migran luar negeri PNS Pengrajin, pedagang Peternak Montir Dokter Polri Pensiunan Pengusaha kecil+menengah Pembantu rumah tangga Dukun bayi Dosen Swasta Jumlah

Jumlah 1.425 113 558 131 32 17 13 15 1 3 6 21 15 3 1 2.355

Sumber : Potensi Desa Cikahuripan, 2009.

2. Karakteristik Keluarga Nelayan Cikahuripan Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur kepala keluarga buruh nelayan berada pada kelompok umur produktif penuh yaitu sebesar 30 persen berumur antara 36-40 tahun, 23 persen berusia 31-35 tahun, sisanya berusia 20-25 dan 26-30 tahun masing-masing 4 dan 3 persen. Besarnya prosentase penduduk nelayan yang berusia muda menunjukkan bahwa bekerja di laut sebagai nelayan sangat berat dengan demikian hanya dapat dilakukan oleh lakilaki berusia muda yang tenaganya masih kuat. Hal ini tercermin dari rentangan usia kepala keluarga yang menjadi nelayan di atas usia 40 tahun semakin sedikit yaitu 10 persen berusia 41-45 tahun dan usia 46-50 tahun, bahkan untuk kepala keluarga yang berusia di atas 50 tahun hanya 3 persen (1 orang) yang masih menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Besar kecilnya anggota sebuah keluarga akan mempengaruhi terhadap pola pengaturan konsumsi, produksi sebuah keluarga. Pada keluarga buruh nelayan, memiliki jumlah anak banyak masih dianggap sesuatu yang wajar. Hal ini terlihat dari jumlah anggota keluarga responden. Sebesar 53 persen memiliki jumlah anggota keluarga sebesar 5-6 orang, terdiri dari ayah, ibu dan 3-4 orang anak. Bahkan masih terdapat keluarga nelayan yang memiliki anak

35 lebih dari 6 orang, yaitu sebesar 27 persen atau 8 keluarga. Alasan ini dapat diterima karena nilai anak, terutama anak laki-laki bagi keluarga nelayan diharapkan dapat lebih cepat membantu ekonomi keluarga. Namun demikian, banyaknya jumlah anak pada keluarga nelayan berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan mereka. Padahal pendidikan memegang penting dalam kehidupan seseorang, dan biasanya terkait dengan mata pencaharian dan pendapatan. Pada nelayan di Dusun Citiis, Cikahuripan sebagian besar hanya berpendidikan SD/sederajat yaitu 57 persen, bahkan masih terdapat nelayan yang tidak tamat SD/sederajat yaitu 33 persen dan hanya 10 persen saja nelayan yang berpendidikan SLTP/sederajat. Mengenai rendahnya tingkat pendidikan, mereka mengungkapkan karena kendala biaya dan budaya. Sejak kecil, seorang anak laki-laki sudah terbiasa membantu ayahnya untuk bekerja di laut, sehingga banyak di antara mereka yang tidak termotivasi untuk melanjutkan sekolah. Bagi nelayan, yang penting bisa membaca, menulis sudah cukup memadai untuk bekerja sebagai nelayan . Seorang nelayan umumnya sudah sejak kecil mengenal laut, mereka membantu orang tuanya sejak usia sekolah (7-12). Hal ini menyebabkan pengalaman menjadi nelayan merupakan modal penting, artinya semakin lama mereka bekerja di laut, maka keterampilan dan pengalaman semakin bertambah. Nelayan di Dusun Citiis sebagian besar sudah menjadi nelayan lebih dari 20 tahun (66 %), antara 10-19 tahun (24 %), dan hanya 10 persen saja dari nelayan yang memiliki pengalaman kurang dari 10 tahun.

3. Menimbang Pendapatan Keluarga Nelayan: Sebuah Adaptasi Ekologis Pendapatan kepala keluarga nelayan Dusun Citiis termasuk ke dalam kategori rendah, 53% dari nelayan memiliki penghasilan Rp 250.000-Rp 500.000 per bulan, 20% dari nelayan memiliki pendapatan antara Rp 500.000-Rp 1.000.000, 13% memiliki pendapatan kurang dari Rp 250.000, dan hanya 13% dari nelayan yang memiliki pendapatan lebih dari 1.000.000 per bulan. Rendahnya pendapatan nelayan berakibat kepada rendahnya kualitas kehidupan mereka, dengan demikian, mengerahkan ang-

36

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 32-38

gota keluarga seperti anak-anak dan istri merupakan salah satu strategi untuk bisa bertahan hidup sehari-hari. Hal ini terlihat dari pekerjaan istri nelayan, di mana semua istri nelayan bekerja membantu ekonomi keluarga. Mereka bekerja sebagai pengolah ikan asin, pindang (47%), menjadi pedagang makanan dan pakaian secara keliling (27%), membuka warung kecil-kecilan (20%) dan menjadi buruh pada industri rumah tangga sebanyak 7%. Bahkan terdapat salah seorang istri nelayan yang pernah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi dan berhasil membeli perahu yang sekarang dipakai suaminya untuk melaut. Pentingnya peran istri dalam menyelamatkan ekonomi keluarga terutama pada waktu musim paceklik, terlihat dari penghasilan istri yang bekerja. Sebesar 77% istri buruh nelayan berpendapatan antara Rp 250.000-Rp 500.000 per bulan, 3% berpenghasilan kurang dari Rp 250.000 per bulan, bahkan terdapat istri yang berpenghasilan antara Rp 500.000 - Rp 1.000.000 per bulan yaitu sebanyak 4%. Data ini menunjukkan betapa istri buruh nelayan yang bekerja berperan penting dalam mencukupi berbagai kebutuhan keluarga sehari-hari. Penghasilan istri nelayan relatif tetap setiap bulan. Beratnya beban kerja istri nelayan, terlebih-lebih bagi mereka yang berperan ganda terlihat dari curahan alokasi waktu atau jam kerja. Sebesar 67 persen istri nelayan yang memiliki warung dan mengolah ikan asin, ikan pindang mengaku bahwa jam kerja mereka tidak terbatas, bagi mereka yang bekerja sebagai buruh pada pengolahan abon ikan bekerja sampai 4 jam per hari, sedangkan bagi mereka yang bekerja sebagai pedagang makanan jajanan dan masakan matang secara berkeliling, bekerja antara 5-8 jam per hari.

4. Eksistensi dan Peran Istri Nelayan: Pertautan Strategi Nafkah Keluarga Dalam keluarga nelayan terdapat fenomena yang menarik mengenai perbedaan peran istri buruh nelayan dengan istri nelayan kaya (juragan). Istri nelayan kaya sebagian bekerja dengan cara berjualan barang kebutuhan sehari-hari berupa toko bahan pangan, kelontong, dan peralatan melaut seperti pancing, jaring, bensin. Eksistensi dan peran istri buruh

nelayan di Dusun Citiis, Cikahuripan terlihat dalam hal pengaturan belanja pangan, sandang, perlengkapan rumah tangga, pengasuhan dan pendidikan anak, dan pengaturan simpanan atau tabungan. Pengaturan belanja pangan keluarga sepenuhnya diserahkan kepada istri, hal ini merupakan suatu hal yang biasa terjadi pada masyarakat Indonesia dimana dalam hal manajemen keuangan biasanya diserahkan kepada pihak istri. Hal ini diakui salah seorang informan yang mengatakan : “ ...... ari kanggo balanja sadidinten mah, sadayana kumaha abdi, bapana mah masihan artosna wungkul. Kitu oge upami kenging, da sakapeung mah tara kenging artos sama sakali, malah mah kedah nambut ka nu gaduh parahu ....”. Artinya kurang lebih sebagai berikut: “.... untuk belanja sehari-hari, semuanya bagaimana saya, bapak hanya memberikan uang, itu pun kalau dapat, karena kadang-kadang tidak membawa uang sama sekali, bahkan harus meminjam kepada pemilik perahu ...” Dalam hal belanja pakaian seorang istri biasanya hanya membeli pakaian untuk anakanak dan dirinya, sedangkan untuk pakaian suami seringkali para suami membeli pakaiannya sendiri. Membeli pakaian dilakukan hanya satu satu tahun sekali, yaitu ketika mau hari Raya Idul Fitri, atau ketika ada keluarga mau mengadakan acara hajatan. Peran istri dalam belanja perlengkapan rumah tangga juga masih cukup dominan, hal ini terlihat dari pengakuan para istri buruh nelayan. Sebanyak 80 persen mengaku bahwa urusan membeli perlengkapan rumah tangga diserahkan kepada mereka, hanya 20 persen saja yang mengaku pembelian keperluan rumah tangga berdasarkan kesepakatan dengan suami. Para suami dilibatkan dalam hal pembelian barang-barang yang harganya mahal dan membelinya di toko yang letaknya jauh dari desa. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga memegang peran penting terhadap keberhasilan anak di masa depan. Bagi keluarga buruh nelayan, pengasuhan dan pendidikan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri. Hal ini terlihat dari tangung jawab untuk memandikan, mengasuh, memberi makan anak yang masih kecil. Tugas mengantar anak ke sekolah dan mengambil raport anak, semuanya dilakukan oleh istri, sekalipun para suami

Zid, Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan

mereka sedang tidak melaut dan ada di rumah. Menurut para istri, suami mereka hanya kadangkadang saja memberikan nasehat kepada anak mereka ketika seorang anak berbuat nakal. Satu hal yang sudah menjadi tradisi bagi keluarga di pedesaan bahwa anak-anak sejak kecil sudah dibiasakana membantu keluarga. Bagi anak perempuan, tugasnya mengasuh dan menjaga adik-adiknya, membantu berjualan, bagi anak laki-laki yang sudah berumur 10 tahun seringkali diajak ke laut. Kebiasaan melibatkan anak untuk membantu keluarga menjadi tantangan bagi dunia pendidikan, karena pendidikan anakanak nelayan seringkali terancam mengalami putus sekolah. Bagi keluarga nelayan, terutama keluarga buruh nelayan yang tergantung kepada musim dan penghasilannya tidak menentu, salah satu strategi untuk bertahan adalah dengan cara melakukan strategi pola nafkah ganda dan menabung pada waktu mendapatkan banyak ikan hasil tangkapan. Semua responden mengaku bahwa kalau mereka sedang punya uang berlebih, uang tersebut dibelikan perabotan rumah tangga, alat elektronik, dan membeli perhiasan emas berupa cincin, gelang, kalung. Perhiasan fungsinya bukan sekedar untuk dipakai sehari-hari, tetapi lebih berfungsi sebagai tabungan pengaman yang bisa dijual pada waktu keluarga membutuhkan uang. Semua responden mengaku tidak pernah menabung ke lembaga keuangan seprti Bank atau Kantor Pos dengan alasan lebih aman kalau mereka memiliki simpanan barang dalam bentuk emas yang mudah di jual dan harganya lebih menguntungkan. Bagi keluarga yang tidak memiliki simpanan, jika mereka membutuhkan uang tunai seringkali meminjam kepada juragan pemilik perahu. Pinjaman tersebut dibayar dengan cara dipotong dari hasil tangkapan, sebagian dari keluarga buruh nelayan mengaku seringkali meminjam kepada Bank keliling (di desa Cikahuripan terkenal dengan singkatan ‘Bangke’). Alasan mereka meminjam uang kepada Bank keliling karena mudah, tidak memerlukan berbagai persyaratan, dan dapat dibayar secara angsuran harian.

Penutup Peranan

perempuan

buruh

nelayan,

37 khususnya yang berstatus sebagai istri nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya nelayan di Desa Cikahuripan sangatlah nyata. Mereka berperan ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga yang harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengasuh dan mendidik anak, juga bekerja mencari nafkah bagi keluarga mereka. Penghasilan para istri bahkan menjadi katup penyelamat ekonomi keluarga, karena penghasilan mereka cukup besar dan rutin setiap bulan, sedangkan penghasilan suami mereka serba tidak menentu, karena pekerjaan nelayan tergantung kepada musim. Sebagian besar istri buruh nelayan bekerja dalam pembuatan ikan asin, ikan pindang, membuka warung, menjadi pedagang makanan dan pakaian secara keliling, dan menjadi buruh pembuatan abon ikan. Strategi lain yang dilakukan keluarga buruh nelayan yaitu dengan cara melibatkan anak perempuan dalam pengasuhan dan penjagaan anak yang masih kecil dan membantu berjualan, sedang bagi anak laki-laki membantu pekerjaan yang terkait dengan aktivitas nelayan, bahkan banyak anak laki-laki yang sudah berumur 10 tahun ikut melaut. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan, karena mereka terancam putus sekolah atau drop out pada saat pemerintah sedang gencar menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Dalam hal pembagian kerja dan alokasi kerja terdapat ketimpangan antara peran dan tugas suami dengan istri. Terdapat kecenderungan bahwa para suami kurang perduli dengan pekerjaan rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Dengan demikian eksistensi dan peran serta perempuan buruh nelayan khususnya yang berstatus sebagai istri dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di Dusun Citiis Desa Cikahuripan Kecamatan Cisolok sangat besar. Mereka terlibat dalam kegiatan domestik di dalam rumah sekaligus sebagai pencari nafkah yang tidak bisa dikategorikan sebagai membantu mencari nafkah tambahan, karena penghasilan mereka cukup besar dan lebih rutin jika dibandingkan dengan penghasilan suami mereka yang bekerja sebagai buruh nelayan dengan pendapatan yang seringkali tidak menentu. Dengan demikian peran ganda perempuan

38

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 32-38

istri nelayan, pembagian kerja dan alokasi kerja suami istri, menabung, membeli perabut rumah, barang elektronik dan perhiasan mas, pada realitasnya merupakan adaptasi ekologis para nelayan sebagai upaya strategi bertahan. Di samping itu, juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari strategi nafkah keluarga. Pertautan keduanya menganalogikan bahwa keluarga nelayan embededdness dengan daya dukung lingkungan (ekologis) dan kelembaman ekonomi dalam dialektika kehidupannya.

Pustaka Acuan

Hutter, Mark. (1981). The Changing Family : Comparative Perspective. New York: John Wiley & Sons Ihromi, T.O. (1997). Peran Keluarga Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam Jurnal Sosiologi Indonesia. No.2/September/1997. Jakarta: Ikatan Sosiologi Indonesia. Klein, David M and White, James M. (1996). Family Theories. An Introduction. London-New Delhi : Sage Publications, Inc MT. Felix Sitorus. (1999). Strategi Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Miskin dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Black. James A dan Champion Dean J. (1992). Metode Dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Eresco.

Salim, Agus (Penyunting). (2001). Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial (Dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta : PT Tiara Wacana

Blood, Robert O. Jr. (1972). The Family. New York : The Free Press.

Sajogyo. (1983). Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Sosial. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Bogdan, Robert dan Taylor Steven J. (1993). Kualitatif. Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional Crow, Graham. (1996). The Sociology of Rural Communities. Volume II. An Elgar Reference Collection. Cheltenham, UK – Brookfield, US Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (Eds), (2000). Handbook of Qualitative Research (Second Edition), Thousand Oaks: Sage Publ. Inc. Goode, William, J. (2007). Sosiologi Keluarga. Terjemahan Lailahanoum Hasyim. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. (2007). Dasar Dasar Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Sumarti, Titik. (2007). Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumah tangga Pedesaan. Dalam Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. T.O. Ihromi. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

39

Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan: Survei Tiga Faktor Pendorong di Kecamatan Plered Purwakarta E. Surachman Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: [email protected] Abstract The objective of the research is to analyze the relationship between perception on the business environment, work motivation and the quality of guidance with the entrepreneurship attitude. The research was carried out in Plered Purwakarta West Java (‘2001) with 60 potters as respondent selected randomly. The research reveals that there are positive correlations between; (1) perception on the business environment with entrepreneurship attitude, (2) work motivation with the entrepreneurship attitude (3) the quality of guidance with the entrepreneurship attitude. Furthermore, simultaneously there is positive correlation. between perception on the business environment, work motivation and the quality guidance with the entrepreneurship attitude.

Keywords; entrepreneurship attitude, perception on the business environment, work motivation, the quality of guidance.

Pendahuluan Menumbuhkan sikap kewirausahaan pada masyarakat Indonesia saat ini terutama pada masyarakat kelas bawah yaitu masyarakat yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan tertentu, serta tidak memiliki modal untuk melakukan kegiatan usaha, merupakan suatu hal yang mendesak untuk dilakukan. Fakta menunjukkan bahwa dari sisi kuantitas, masyarakat kelas bawah merupakan bagian terbesar dari populasi bangsa Indonesia, karena itu sepantasnya jika mereka memperoleh perhatian serta kepedulian dari berbagai komponen bangsa, termasuk dari kalangan masyarakat akademis. Sementara di sisi lain alam kita memiliki aneka ragam sumber daya lingkungan, yang kalau saja masyarakat memiliki keterampilan berwirausaha yang baik, mereka bisa mengelola berbagai sumber daya lingkungan itu menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis, untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Sekarang permasalahannya adalah bagaimana menumbuhkan sikap kewirausahaan itu pada masyarakat? Tampaknya hal itu bukan

pekerjaan mudah, tetapi memerlukan kesungguhan, konsistensi, dan kerja keras. Kucuran modal usaha dari pemerintah, seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bisa gagal jika tidak dibarengi dengan pembinaan yang intensif tentang praktek kewirausahaan. Karena itu untuk membantu menumbuhkan sikap kewirausahaan pada masyarakat itu, perlu dicarikan formulasi yang tepat, serta faktor faktor yang secara langsung atau pun tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan sikap kewirausahaan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari faktor faktor yang berpengaruh terhadap sikap kewirausahaan tersebut, yang berdasarkan penjajakan awal, terdiri atas lingkungan usaha, aparesiasi masyarakat terhadap produk kegiatan usaha, motivasi kerja masyarakat, penyuluhan dan pembinaan yang diberikan kepada masyarakat, serta bantuan permodalan oleh pihak pihak yang berkompeten. Kewirausahaan pada masyarakat memang harus segera ditumbuhkan secara optimal. Hal ini didasarkan pada beberapa fakta sosial yang menunjukkan bahwa; angka pertambahan jumlah penduduk masih tinggi dan terus meningkat, penciptaan lapangan kerja baru

40

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 39-49

belum mampu menampung angkatan kerja yang ada, persaingan untuk memperoleh lapangan kerja makin ketat sehingga memperbesar angka pengangguran, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri banyak menimbulkan masalah baik bagi tenaga kerja itu sendiri maupun bagi hubungan bilateral antar negara, di samping menurunkan citra bangsa di hadapan bangsa lain. Atas dasar kondisi tersebut, maka membangkitkan minat berwirausaha pada masyarakat, diharapkan akan menjadi solusi atas permasalahan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, dengan asumsi bahwa jika masyarakat memiliki sikap kewirausahaan yang baik, mereka kan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Seperti yang terjadi pada para pengrajin keramik di Plered, dimana pada mereka terdapat sisi sisi potitif yang layak diadopsi masyarakat laian yaitu; pertama mereka merupakan mayarakat kelas bawah yang berusaha mengembangkan kreativitas berwirausaha, sehingga mereka mampu menciptakan lapangan kerja sendiri,, kedua mereka mengembangkan kewirausahaan dengan mengelola sumber daya lingkung yang paling dasar yaitu tanah, karena itu kebehasilan mereka pantas dijadikan model bagi penembangan wirausaha di tempat lain. Pengembangan kewirausahaan pada masyarakat, harus dilakukan secara bertahap yang dimulai dari memperbaikai sikap masyarakat terhadap kewirausahaan itu sendiri. Dalam hal ini sikap diartikan sebagai “konstelasi komponen komponen kognitif, afektif,dan konatif, yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan kecenderungan berperilaku terhadap suatu obyek tertentu (Azwar, 2007:4). Sedangkan kewirausahaan yang merupakan terjemahan dari “entrepreneurship” diartikan sebagai segala hal yang bersangkut paut dengan wirausaha, baik sikap maupun tindakan,yang dilakukan wirausaha dalam merintis, melaksanakan,dan mengembangkan kegiatan usaha. Kewirausahaan (entrepreneurship) didefinisikan juga sebagai “kesungguhan untuk menciptakan sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang berbeda,dengan maksud untuk mening-katkan kesejahteraan individu serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat” (Kao, 1995: 64). Kewirausahaan diartikan juga

sebagai “keberanian dan kesungguhan untuk mengelola faktor produksi, yang bisa berupa tenaga kerja, lahan, dan modal, secara efektif dan efisien, siap menghadapi risiko, dan dengan penuh kreativitas berupaya menciptakan produk baru, serta memperhatikan pemasarannya (Solmon, 1980: 36). Sedangkan George Starcher (2009: 1) mengartikan kewirausahaan sebagai “sikap dan tindakan yang memiliki visi jauh ke depan, menerapkan prinsip manajemen, mengembangkan kreativitas dalam menciptakan sesuatu, memanfaatkan sesuatu secara efektif dan efisien mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya, membangun dan memotivasi kelompok, berusaha mewujudkan gagasan menjadi kenyataan, dan berusaha melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian yang dimaksud dengan sikap kewirausahaan adalah kecenderungan bertindak (aspek konatif), perasaan/emosi (aspek afektif), serta pola pikir, pandangan, pendapat atau opini (aspek kognitif) seseorang terhadap objek sikap tertentu yang berkaitan dengan kewirausahaan. Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses dan hasil pengorganisasian dan penafsiran kesan penginderaan seseorang terhadap suatu objek tertentu, yang dipengaruhi oleh faktor subjektif yang meliputi; kepentingan, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (Robbins, 1996: 124). Persepsi terhadap lingkungan usaha adalah tanggapan terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari lingkungan usaha, setelah dipengaruhi oleh faktor subjektif seperti kepentingan pengalaman masa lalu, serta pengharapan. Lingkungan usaha dapat diartikan sebagai keseluruhan dari kondisi dan proses lingkungan yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha yang antara lain meliputi kondisi perekonomian, politik, sosial, keamanan dan hukum (Jackson dan Musselman, 1992: 30). Unsur-unsur lingkungan yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha meliputi ; kondisi perekonomian, fasilitas pasar, tenaga kerja, pesaing, pemerintah, pemasok, ekologi (lingkungan fisik) teknologi, sosial budaya, dan kependudukan (Jhonson dan Scholes, 1993: 80). Pendapat lain mengenai lingkungan usaha menyatakan bahwa unsurunsur lingkungan yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha yaitu: lingkungan ekonomi, lingkungan persaingan, lingkungan teknologi,

Surachman, Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan

lingkungan politik, lingkungan hukum, dan lingkungan budaya (Reinecke, 1989: 682-685). Sejalan dengan pendapat di muka adalah teori yang mengelompokkan unsur-unsur lingkungan usaha ke dalam empat segmen yaitu; pertama, segmen ekonomi meliputi modal kerja, upah kerja, permintaan dan penawaran, kedua, segmen sosial, meliputi faktor demografi, biaya hidup, minat masyarakat terhadap produk, ketiga, segmen teknologi meliputi proses produksi, pembaharuan dan penemuan ilmiah, keempat, segmen politik, kebijakan pemerintah termasuk izin usaha (Frederick dan Davies, 1988: 105). Pengelompokan lain tentang lingkungan eksternal kegiatan usaha yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha yaitu: pertama, lingkungan sosial, yang meliputi nilai sosial, budaya, populasi penduduk,dan organisasi social, kedua, lingkungan ekonomi yang meliputi kondisi, produksi, distribusi, dan konsumsi, ketiga, lingkungan politik yang meliputi hukum, kebijakan politik dan pemerintah, keempat, lingkungan teknologi yang meliputi alat dan metode produksi, komunikasi, dan transportasi (Wood, 1990: 23). Berdasarkan kajian teori di muka, maka yang dimaksud dengan persepsi terhadap lingkungan usaha adalah tanggapan terhadap kondisi lingkunan usaha yang yang dilatar belakangi faktor faktor subjektif seperti; penglaman masa lalu, kepentingan, dan pengharapan dan yang berpengaruh terhadap proses dan hasil usaha. Indikator indikator persepsi terhadap lingkungan usaha anatara lain meliputi; sumber daya alam, sarana prasarana fisik, fasilitas pemasaran, daya beli masyarakat, apresiasi masyarakat, persaingan usaha, kebutuhan konsumen, keuangan/permodalan, tenaga kerja dan upah kerja, situasi politik, keamanan lingkungan, penegakan dan kepastian hukum, serta kebijakan pemerintah. Motivasi kerja diartikan sebagai potensi intrinsik yang mendorong sese-orang untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi upaya pemenuhan kebutuhan hidup (Brin, 1990: 96). Sesungguhnya kajian tentang motivasi adalah kajian terhadap pokok-pokok motivasi yang terdiri atas: pertama, kekuatan pendorong untuk berperilaku yang meliputi kebutuhan, minat dan semangat, kedua, arah tujuan atau saluran perilaku, ketiga, bagaimana perilaku

41 itu bisa dipelihara dan ditindak lanjuti (Steers, Porter dan Bigley, 1991: 8). Pendapat lain tentang motivasi menyatakan bahwa motivasi adalah proses internal seseorang yang terdiri dan kekuatan pengatur dan penunjang sese-orang untuk berbuat atau berperilaku. Motivasi juga dinyatakan sebagai kekuatan internal seseorang yang menjadi penyebab seseorang itu bekerja keras untuk mewujudkan suatu hasil usaha tertentu (Pride, 1998: 227). Motivasi diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu: pertama, motivasi primer yang muncul dan kebutuhan dasar biologis manusia, yang selanjutnya mendorong manusia berkreativitas, dan bekerja keras agar kebutuhan primernya dapat terpenuhi, kedua, motivasi sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kebutuhan biologis, yang kemudian mendorong manusia untuk menjalin kerjasama persahabatan dan membina keterpaduan dalam hidup bermasyarakat dan berprestasi (Darley, 1991: 351-353). Upaya memotivasi diri sendiri dapat dilakukan dengan, menentukan kepastian tujuan yang ingin dicapai, mengetahui cara atau arah tujuan yang akan ditempuh, berusaha mendapat imbalan atas prestasi, membuat perubahan dalam diri, mening-katkan tanggung jawab, dan meningkatkan penghasilan serta kesejahteraan (Brin, 1990: 97-117). Berdasarkan kajian teori di muka, yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah potensi intrinsik berupa dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan sebagai upaya pencapaian tujuan, dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Motivasi kerja memiliki beberapa indikator yaitu: kebutuhan hidup, minat, semangat kerja, tujuan yang pasti, keterarahan pencapaian tujuan, kerja keras, membangun kerja-sama, membina keterpaduan, wujud hasil usaha, rasa tanggung jawab, dan tercapainya kesejahteraan melalui peningkatan penghasilan. Kata “kualitas” didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik yang melekat pada sesuatu, baik proses maupun produk, yang sesuai dengan kebutuhan pengguna (Vincent, 2005: 5). Konsep “kualitas” yang secara operasional dinyatakan dengan predikat baik atau buruk merupakan hasil dan proses penilaian terdahap suatu proses atau objek tertentu. Kualitas pembinaan adalah hasil proses penilaian terhadap proses dan hasil pembinaan. Penilaian

42

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 39-49

terhadap proses pembinaan meliputi penilaian terhadap aktivitas pembinaan dan perilaku dari para pembina. Sedangkan penilaian terhadap hasil pembinaan meliputi materi pembinaan, serta pengetahuan dan keterampilan yang diterima dan dimiliki oleh peserta kegiatan pembinaan. Pembinaan dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang dilaksanakan secara terprogram dan sistematis, sebagai upaya perbaikan sikap mental dan perilaku, memperluas wawasan dan pengetahuan, meningkatkan ketrampilan kerja, serta meningkatkan kemampuan klien dalam mengatasi masalah, sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja (Bruks, 1999: 12). Definisi lain dari pembinaan dikemukakan oleh William B. Castetter yang menyatakan bahwa pembinaan sebagai proses pemberian bantuan moril yang berkesinambungan. Pembinaan terhadap para pengrajin keramik di Plered, dilakukan dalam bentuk pendidikan nonformal dengan menerapkan prinsip prinsip dasar pendidikan orang dewasa, yaitu antara lain: prinsip kesetaraan antara pembina dengan peserta, alokasi waktu serta materi pembinaan disepakati terlebih dahulu antara pembina dengan peserta, terselenggara atas kesadaran dan keinginan peserta, substansi materi pembinaan mengacu pada kebutuhan kerja peserta pembinaan.

kepemilikan modal, tinggi rendahnya upah kerja, baik buruknya situasi politik dan keamanan, ada atau tidaknva perlindungan dan kepastian hukum, serta kebijakan pemerintah dalam hal perizinan usaha. Dari keterkaitan antara berbagai aspek lingkungan usaha dengan sikap kewirausahan, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan pengrajin. Dengan perkataan lain, makin baik lingkungan usaha maka akan makin baik pula sikap kewirausaan pengrajin. Setiap orang akan giat melakukan usaha jika ia memiliki motivasi kerja yang tinggi, memiliki minat dan semangat kerja yang tinggi, memiliki tujuan yang pasti dan terarah yang harus ía tempuh, sehingga ia akan bekerja keras, bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, membangun kerjasama, membina keterpaduan, agar dapat mewujudkan hasil usaha berupa tercapainya kesejahteraan hidup. Dari keterkaitan antara motivasi kerja dengan kegiatan usaha, maka dapat diduga terdapat hubungan positif ántara motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan pengrajin. Dengan perkataan lain makin tinggi motivasi kerja seseorang, akan makin baik pula sikap kewirausahaan yang dimilikinya.

Berdasarkan kajian teori di muka maka yang dimaksud dengan kualitas pembinaan ialah karkteristik mengenai baik buruknya proses dan hasil pembinaan, yang merupakan hasil penilaian peserta pembinaan terhadap proses dan hasil pembinaan yang mereka alami. Penilaian itu sendiri didasarkan pada indikatorindikator sebagai berikut: kesesesuaian materi pembinaan dengan kebutuhan, peningkatan pengetahuan dan wawasan, perbaikan sikap mental, peningkatan keterampilan kerja serta peningkatan kemampuan mengatasi masalah.

Seseorang akan giat meningkatkan usahanya jika pembinaan yang ia terima cukup berkualitas: mampu meningkatkan wawasan pengetahuan dan keterampilan kerja, berhasil mengatasi permasalahan yang dihadapi, mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Dari keterkaitan antara kegiatan usaha seseorang dengan pembinaan yang berkualitas, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan. Dengan perkataan lain makin baik kualitas pembinaan, maka akan makin baik pula sikap kewirausahaan yang dimiliki pengrajin.

Sikap kewirausahaan dipengaruhi oleh persepsi terhadap kondisi lingkungan usaha yang berupa: sumber daya alam, baik - buruknya sarana transportasi dan fasilitas pemasaran, nilai budaya dan apresiasi masyarakat terhadap hasil kegiatan usaha, tingkat daya beli masyarakat, sehat atau tidaknya kondisi persaingan bisnis, tinggi rendahnya permintaan dan penawaran,

Di muka telah diuraikan bahwa persepsi yang baik terhadap kondisi lingkungan usaha akan mendorong perbaikan sikap kewirausahaan. Sikap kewirausahaan juga akan tumbuh dan berkembang jika ada motivasi kerja yang tinggi, sebaliknya kewirausahaan akan menurun jika motivasi kerja menurun. Pembinaan yang diberikan juga berpengaruh

43

Surachman, Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan

terhadap sikap kewirausahaan, dalam arti jika kualitas pembinaan yang diberikan cukup baik, maka sikap kewirausahaan akan membaik. Dengan demikian secara bersama-sama antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan diduga terdapat hubungan positif dengan sikap kewirausahaan pengrajin. Dengan perkataan lain makin baik persepsi terhadap lingkungan usaha, makin tinggi motivasi kerja, serta makin baik kualitas pembinaan, maka akan makin baik pula sikap kewirausahaan seseorang.

Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode survei, sementara kajian penelitian terdiri atas tiga variabel bebas yaitu variabel persepsi terhadap lingkungan usaha (X1), variabel motivasi kerja (X2), dan variabel kualitas pembinaan (X3), serta satu variabel terikat, yaitu variabel sikap kewirausahaan(Y). Hubungan antar variabel tersebut dapat diilustrasikan pada gambar 1 berikut:

Hasil dan Pembahasan 1. Deskripsi Data Dasil Penelitian Data hasil penelitian secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut; Pertama data varibel Sikap Kewirausahaan; yang menunjukkan bahwa 19 orang (31,67%) responden memiliki sikap kewirausahaan di bawah rata-rata, 16 orang (26,67%) memiliki sikap kewirausahaan sekitar rata-rata, dan 25 orang (41,66%) responden memiliki sikap kewirausahaan di atas rata-rata. Kedua data variabel persepsi terhadap lingkungan usaha yang menunjukkan bahwa 28 orang (46,67%) responden memiliki persepsi terhadap lingkungan usaha di bawah rata-rata, 17 orang (28,33%) memiliki persepsi sekitar rata-rata, dan 15 orang (25,00%) responden memiliki persepsi terhadap lingkungan usaha di atas rata-rata. Ketiga data variabel motivasi kerja, yang menunjukkan bahwa 30 orang (50,00%) responden memiliki motivasi kerja di bawah rata-rata, 15 orang (25,00%) memiliki motivasi

Gambar 1. Diagram Konstelasi Variabel Penelitian

Keterangan: X1 = Persepsi terhadap lingkungan usaha. X2 = Motivasi kerja X3 = Kualitas Pembinaan Y = Sikap kewirausahaan

Populasi penelitian adalah para pengrajin keramik yang telah memiliki unit usaha sendiri (pengusaha keramik), yang berjumlah sekitar 300 orang. Sedangkan sampel berjumlah 60 orang pengrajin yang diperoleh melalui sampling acak sederhana (simple random sampling) Data dianalisis melalui statistik deskriptif dan statistik inferensial, dimana statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data masing masing variabel, sedangkan statistik inferensial digunakan untuk pengujian hipotesis melalui teknik analisis korelasi dan analisis regresi.

kerja sekitar rata-rata, dan 15 orang (25,00%) responden memiliki motivasi kerja di atas ratarata. Keempat data variabel kualitas pembinaan yang menunjukkan bahwa 24 orang (40,00%) responden menilai kualitas pembinaan di bawah rata-rata, 14 orang (23,33%) menilai kualitas pembinaan sekitar rata-rata. Dan 22 orang (36,66%) menilai kualitas pembinaan di atas rata-rata.

2. Hasil Pengujian Hipotesis Pertama, hasil analisis data korelasi antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha

44

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 39-49

menunjukkan bahwa persamaan regresi antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha (X1) dengan variabel sikap kewirausahaan (Y), adalah Ŷ= 13, 7435 + 0,8608 X1. Hasil uji signifikansi terhadap persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa Fh = 60,283 > Ft (0,01) = 7,08, maka persamaan regresi sangat signifikan dan karena Fh = 1,0953 < Ft (0,05) = 1,86, maka persamaan regresi linier. Berdasarkan uji signifikansi liniearitas regresi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Ŷ= 13,7435 + 0,8608 X1, sangat signifikan dan liniear. Artinya hubungan fungsional yang terjadi antara variasi nilai variabel sikap kewirausahaan dengan variabel persepsi terhadap lingkungan usaha sangat kuat, dapat dipercaya, dan berada pada kisaran garis lurus, sehingga persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu skor variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, akan diikuti oleh kenaikan 0,8608 skor sikap kewirausahaan pada konstanta 13,7485. dengan demikian persamaan regresi dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut dan menarik kesimpulan. Kekuatan hubungan antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin ditunjukkan oleh koefisien korelasi r = 0,714. y1 Hasil uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin menunjukkan bahwa: th = 7,7665 > tt (0,01) = 2,39 maka koefisien korelasi antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha dengan variabel sikap kewirausahaan sangat signifikan. Berdasarkan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi antara variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin sebesar 0,714 adalah sangat signifikan. Selanjutnya kekuatan hubungan antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha dengan variabel sikap kewirausahaan tersebut mengandung makna bahwa koefisien determinasinya yaitu: ry1² (0,714)² = 0,5098, yang berarti bahwa 50,98 persen variasi nilai yang terjadi pada variabel sikap kewirausahaan ditentukan oleh variabel persepsi terhadap lingkungan usaha. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara persepsi

terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan”, telah teruji kebenarannya. Kedua, hasil analisis data korelasi antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan menunjukkan bahwa persamaan regresi antara variabel motivsai kerja dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin yaitu ŷ= 11,3714 + 0,8935 X2. Hasil uji signifikansi dan linearitas persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa; Fh = 105,6215 > Ft (0,01) =7,08, maka persamaan regresi sangat signifikan dan karena Fh = 0,7011 < Ft (0,05) =1,86, maka persamaan regresi linier. Berdasarkan uji signifikansi dan uji linearitas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Ŷ = 11,3714 + 0,8935 X2 sangat signifikan dan linear. Artinya hubungan fungsional yang terjadi antara variasi nilai antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan dapat dipercaya, dan berada pada kisaran garis lurus, sehingga persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu skor variabel motivasi kerja, akan diikuti oleh kenaikan 0,8935 skor variabel sikap kewirausahaan, pada konstanta 11,3714. dengan demikian persamaan regresi dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut dan menarik kesimpulan. Kekuatan hubungan antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin ditunjukan oleh koefisien korelasi ry2 = 0,8035. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel motivasi kerja, dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin menunjukkan bahwa: th = 10,2792 > tt (0,01) = 2,39 maka koefisien korelasi X2 dengan sangat signifikan. Berdasarkan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin (Y) sebesar 0,8035 adalah sangat signifikan. Artinya hubungan antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan dapat dipercaya. Dengan kata lain makin tinggi motivasi kerja maka makin baik pula sikap kewirausahaan pengrajin. Selanjutnya kekuatan hubungan antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan tersebut mengandung makna bahwa koefisien determinasinya yaitu: ry2² (0,835)² = 0,6455, yang berarti bahwa 64,55 persen variasi yang terjadi pada variabel sikap kewirausahaan (Y) dapat ditentukan oleh vari-

Surachman, Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan

abel motivasi kerja. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara variabel motivasi kerja dengan variabel sikap kewirausahaan”, telah teruji kebenarannya. Ketiga, hasil analisis data hubungan antara variabel Kualitas Pembinaan dengan variabel Sikap Kewirausahaan menunjukkan bahwa persamaan regresi antara variabel Kualitas Pembinaan dengan variabel Sikap kewirausahaan yaitu Ŷ = 19, 0704 + 0,7575 X3. Hasil uji signifikansi persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa; Fh = 68,5625 > Ft (0,01)= 7,08, maka persamaan regresi sangat signifikan, dan karena Fh = 0,6285 < 1,88 = Ft (0,05) =1,88, maka persamaan regresi liniear. Berdasarkan uji signifikansi dan uji linearitas tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persamaan regresi Ŷ= 19,0704 + 0,7575 X3 sangat signifikan dan linear. Artinya hubungan fungsional yang terjadi antara variasi nilai variabel Sikap kewirausahaan dengan variabel kualitas pembinaan dapat dipercaya, dan berada pada kisaran garis lurus, sehingga persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu skor variabel nilai kualitas pembinaan, akan diikuti oleh kenaikan 0,7575 skor sikap kewira-usahaan, pada konstanta 19,0704. Dengan demikian persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut dalam menarik kesimpulan. Kekuatan hubungan antara variabel kualitas pembinaan (x ) dengan variabel sikap 3 kewirausahaan pengrajin (y) ditunjukan oleh koefisien korelasi r = 0,736. Hasil uji signifikansi y3 koefisien korelasi antara variabel motivasi kerja (x ), dengan variabel sikap kewirausahaan 3 pengrajin menunjukkan bahwa: th = 8,2797 > tt (0,01) = 2,39 dengan demikian koefisien korelasi variabel kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan sangat signifikan. Berdasarkan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi antara variabel Kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan pengrajin sebesar 0,736 adalah sangat signifikan. Artinya hubungan antara variabel kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan dapat dipercaya. Dengan kata lain makin tinggi kualitas pembinaan maka makin baik pula sikap kewirausahaan pengrajin. Selanjutnya kekuatan

45 hubungan antara variabel kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan tersebut, mengandung makna bahwa koefisien determinasinya yaitu; r ² (0,736)² = 0,5417, yang y3 berarti bahwa 54,17 persen variasi yang terjadi pada sikap kewirausahaan ditentukan oleh variabel nilai kualitas pembinaan. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan”, telah teruji kebenarannya. Keempat, hasil analisis data hubungan antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja, serta variabel kualitas pembinaan, menunjukkan bahwa persamaan regresi antara variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja dan variabel kualitas pembinaan secara bersama-sama dengan variabel Sikap kewirausahaan pengrajin (Y) yaitu Ŷ = 4, 0253 + 0,1114 X1 + 0,5747 X2+ 0,2937 X3. Hasil uji signifikansi persamaan regresi jamak tersebut menunjukkan bahwa: Fh = 41,791 Ft = 7,08, yang berarti persamaan regresi sangat signifikan. Dari uji signifikan tersebut, dapat terlihat bahwa persamaan regresi jamak Ŷ= 4, 2053 + 0, 1114 X1 + 0,5747 X2 + 0,2937 X3 sangat signifikan. Artinya hubungan fungsional yang terjadi antara variasi nilai variabel Sikap kewirausahaan variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja, dan variabel kualitas pembinaan dapat dipercaya dan berada pada kisaran garis lurus. Sehingga persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu skor pada variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja, dan variabel kualitas pembinaan, akan diikuti oleh kenaikan 0,1114 + 0,5747 + 0, 2937 skor variabel Sikap kewirausahaan pada konstanta 4, 0253. Dengan demikian persamaan regresi dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan keputusan. Kekuatan hubungan antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha variabel motivasi kerja dan kualitas pembinaan secara bersama-sama dengan variabel sikap kewirausahaan ditunjukkan oleh koefisien korelasi ry.123= 0,831 dan koefisien determinan r² = (0,831)² = 0,69056 atau 69,056 persen. Ini berarti bahwa 69, 056 persen variasi nilai yang terjadi pada variabel sikap kewirausahaan peng-

46

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 39-49

rajin ditentukan oleh variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja dan variabel kualitas pembinaan secara bersama-sama. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi jamak menunjukkan bahwa: Fh = 41, 791 > Fh (0,01) = 7,08 dengan demikian korelasi antara variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha, variabel motivasi kerja, serta variabel kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan sangat signifikan. Berdasarkan uji signifikansi koefisien jamak tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan secara bersama-sama dengan sikap kewirausahaan pengrajin” telah teruji kebenarannya. Rangkuman hasil penghitungan keterhubungan antara variabel Persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja , dan kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan, menjelaskan hubungan positif antara ketiga variabel bebas tersebut dengan variabel terikat, sekaligus memperjelas bahwa semua hipotesis telah teruji kebenarannya.

3. Pembahasan Hasil Penelitian Dari analisis data hubungan antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan baik sendiri sendiri maupun bersama sama dengan sikap kewirausahaan, diperoleh temuan temuan penelitian sebagai berikut: Pertama, terdapat hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara variabel persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan (ry1) sebesar 0,714. Hal ini berarti bahwa hubungan persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan bersifat positif dan kuat. Kekuatan hubungan tersebut menunjukkan bahwa determinasi variabel persepsi terhadap lingkungan usaha terhadap sikap kewirausahaan sebesar (ry1)² = 0,5098 yang berarti bahwa 50,98% dari sikap kewirausahaan ditentukan oleh persepsi terhadap lingkungan usaha, dan sisanya sebesar 49,02% ditentukan oleh faktor lain. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa t hitung = 7,7665 > t tabel

(0,01) = 2,39 yang berarti bahwa korelasi antara persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan sangat signifikan. Artinya persepsi terhadap lingkungan usaha memiliki hubungan yang sangat berarti terhadap upaya memperbaiki sikap kewirausahaan. Serta persamaan regresi Ŷ= 13,7435 + 0,8606, yang berarti bahwa jika variabel persepsi terhadap lingkungan usaha naik satu poin, maka variabel sikap kewirausahaan akan naik sebesar 0,8606 pada konstanta 13,7435. Ini juga memiliki makna bahwa upaya memperbaiki sikap kewirausahaan dapat dilakukan melalui perbaikan persepsi terhadap lingkungan usaha. Kedua, terdapat hubungan positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara variabel motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan (ry2) sebesar 0,8035. Hal ini berarti bahwa hubungan antara motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan bersifat positif dan kuat bersifat positif dan kuat. Kekuatan hubungan tersebut menunjukkan bahwa determinasi motivasi kerja terhadap sikap kewirausahaan sebesar (ry2) = 0,6455 dan sisanya sebesar 35,45% ditentukan oleh faktor lain. Hasil uji signifikansi koefisen korelasi yang menunjukkan bahwa t hitung = 10,2792 > t tabel (0,01)=2,39 yang berarti bahwa korelasi antara motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan sangat signifikan. Artinya motivasi kerja memiliki hubungan yang sangat berarti dalam memperbaiki sikap kewirausahaan. Serta persamaan regresi Ŷ= 11,3714 + 0,8935, yang berarti bahwa jika variabel motivasi kerja naik naik satu poin, maka variabel sikap kewirausahaan akan naik sebesar 0,8935 pada konstanta 11,3714. Ini juga memiliki makna bahwa upaya memperbaiki sikap kewirausahaan dapat dilakukan melalui peningkatan motivasi kerja. Ketiga, terdapat hubungan positif dan signifikan antara variabel kualitas pembinaan dengan variabel sikap kewirausahaan, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara variabel kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan (ry3) sebesar 0,7575. Hal ini berarti bahwa hubungan antara variabel kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan bersifat positif dan kuat. Kekuatan hubungan tersebut menunjukkan bahwa determinasi kualitas pembinaan terhadap sikap kewirausahaan se-

47

Surachman, Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan

besar (ry3)² = 0,5417 yang berarti 54,17% dari sikap kewirausahaan ditentukan oleh kualitas pembinaan, sementara sisanya sebesar 45,87% ditentukan oleh faktor lain. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa t hitung = 8,2797 > t tabel (0,01) = 2,39, yang berarti bahwa korelasi antara kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan sangat signifikan. Artinya kualitas pembinaan memiliki hubungan yang sangat berarti dalam upaya memperbaiki sikap kewirausahaan. Serta persamaan regresi Ŷ = 19,0704 + 0,7575, yang berarti bahwa jika variabel kualitas pembinaan naik satu poin, maka variabel sikap kewirausahaan akan naik sebesar 0,7575 pada konstanta 19,0704. Ini juga memiliki makna bahwa upaya memperbaiki sikap kewirausahaan dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pembinaan. Keempat, terdapat hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja dan kualitas pembinaan secara bersama sama dengan sikap kewirausahaan (ry123) sebesar 0,831. Hal ini berarti bahwa hubungan persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan secara bersama sama dengan sikap kewirausahaan bersifat positif dan kuat. Kekuatan hubungan tersebut menunjukkan bahwa determinasi persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan terhadap sikap kewirausahaan sebesar (ry123)² = 0,6905 yang berarti bahwa 69,05% dari sikap kewirausahaan ditentukan oleh persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja dan kualitas pembinaan, sementara sisanya sebesar 30,85% ditentukan oleh faktor lain. Hasil uji signifikansi koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa t hitung = 41,791 > t tabel ( 0,01 ) = 3,91, yang berarti bahwa korelasi antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja,dan kualitas pembinaan secara bersama sama dengan sikap kewirausahaan sangat signifikan. Artinya persepsi terhadap lingkungan usaha,motivasi kerja, dan kualitas pembinaan memiliki hubungan yang sangat bermakna dalam upaya memperbaiki sikap kewirausahaan. Serta persamaan regresi Ŷ= 4,2053 + 0,1114 X1 0,5747 X2 + 0,2937 X3 yang berarti bahwa jika variabel persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi

kerja, serta kualitas pembinaan naik naik satu poin, maka variabel sikap kewirausahaan akan naik sebesar 0,1114 + 0,5747 + 0,2937 pada konstanta 4,2053. Ini juga memiliki makna bahwa upaya memperbaiki sikap kewirausahaan dapat dilakukan melalui perbaikan persepsi terhadap lingkungan usaha, peningkatan motivasi kerja, serta peningkatan kualitas pembinaan.

Penutup Berdasarkan analisis data yang telah diuraikan di muka, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) terdapat hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap lingkungan usaha dengan sikap kewirausahaan, (2) terdapat hubungan positif dan signifikan antara motivasi kerja dengan sikap kewirausahaan, (3) terdapat hubungan positif dan signifikan antara kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan, (4) terdapat hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan secara bersama sama dengan sikap kewirausahaan. Implikasi dari penelitian tentang hubungan persepsi terhadap lingkungan usaha, motivasi kerja, dan kualitas pembinaan dengan sikap kewirausahaan pengrajin keramik adalah sebagai berikut: (1) sikap kewirausahaan dapat diperbaiki melalui perbaikan persepsi terhadap lingkungan usaha, (2) sikap kewirausahaan dapat diperbaiki melalui peningkatan motivasi kerja, (3) sikap kewirausahaan dapat diperbaiki melalui peningkatan kualitas pembinaan. Selanjutnya untuk bisa memberikan gambaran yang lebih luas dan rinci mengenai upaya upaya perbaikan sikap kewirausahaan melalui perbaikan persepsi terhadap lingkungan usaha, peningkatan motivasi kerja, serta peningkatan kualitas pembinaan, berikut ini adalah penjelasan mengenai hal tersebut. Perbaikan sikap kewirausahaan pengrajin keramik melalui perbaikan persepsi terhadap lingkungan usaha dapat dilakukan antara lain melalui; (a). Perbaikan sarana dan prasarana transportasi untuk membantu memperlancar kegiatan usaha para pengrajin keramik. Karena hanya dengan sarana parasarana transportasi yang baik pemasaran produk bisa berjalan lancar. (b). Menciptakan situasi dan kondisi lingkungan sosial yang tertib dan aman, karena dalam kondisi seperti itu kegiatan usaha bisa

48

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 39-49

tumbuh dan berkembang. (c). Mempermudah pengurusan izin usaha, dengan memperpendek jalur birokrasi, menyederhanakan proses, serta meminimalisir biaya. (d). Pemberian bantuan pinjaman kredit modal usaha dengan bunga pinjaman yang rendah bagi pengusaha keramik yang memerlukan penambahan modal. (e). Memfasilitasi pengadaan/penciptaan teknologi tepat guna, untuk memudahkan pengolahan serta meningkatkan kualitas bahan baku keramik (f). Membantu mempromosikan keramik baik untuk pasar domestik maupun untuk pasar ekspor. Perbaikan sikap kewirausahaan pengrajin keramik melalui peningkatan motivasi kerja dapat dilakukan antara lain melalui; (a). Menumbuhkan pemahaman pada masyarakat Plered yang religious bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan satu bentuk ibadah, yang disamping memperoleh keuntungan material juga mendapat pahala. (b). Menumbuhkan pemahaman pada para pengrajin keramik bahwa dengan berwirausaha dapat mengembangkan kreativitas, dapat mengembangkan kegiatan usaha, serta dapat meningkatkan pendapatan tanpa dibatasi oleh siapapun. (c). Penciptaan situasi dan kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang dapat menunjang kelancaran kegiatan usaha, seperti sarana transportasi, sarana pemasaran dan lain lain. (d). Memberikan penghargaan kepada wirausaha (para pengrajin keramik) yang berprestasi dalam mengelola kegiatan usahanya. (e). Meningkatkan citra Plered sebagai sentra produksi keramik, sehingga dapat menumbuhkan rasa kebanggaan tersendiri khususnya bagi para pengrajin, dan umumnya bagi masyarakat Plered. Perbaikan sikap kewirausahaan pengrajin keramik melalui peningkatan kualitas pembinaan dapat dilakukan antara lain melalui (a) Proses pembinaan yang harus dilakukan melalui kelompok kelompok kerja para pengrajin yang sudah ada, sehingga mereka bisa berdiskusi, bertukar pendapat dalam suasana kekeluargaan. (b) Materi pembinaan ditentukan melalui kesepakatan antara peserta dengan pembina, dengan mengacu kepada kebutuhan kerja peserta pembinaan, sesuai dengan prinsip pendidikan orang dewasa. (c) Alokasi waktu pembinaan ditentukan melalui kesepakatan antara peserta dengan pembina, agar tidak

mengganggu kegiatan rutin peserta, sesuai dengan prinsip dasar pendidikan orang dewasa. (d) Peserta pembinaan dengan pembina harus diposisikan setara, melalui prinsip kemitraan, karena orang dewasa umumnya tidak mau digurui, tetapi diajak urun rembuk, berdialog, atau bertukar pendapat. (e) Pembinaan dilaksanakan secara profesional, melalui aplikasi fungsi fungsi manajemen, serta prosedur pendidikan nonformal yang baik. Dari kesimpulan dan implikasi yang telah diuraikan di muka, maka beberapa saran diajukan sebagai berikut. Pertama, kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi tumbuhnya sikap kewirausahaan pada masyarakat melalui; perbaikan lingkungan fisik seperti perbaikan sarana transportasi dan sarana pemasaran produk, maupun sosial seperti keamanan dan ketertiban, sehingga dapat menunjang kegiatan usaha, membangkitkan minat dan motivasi berwirausaha pada masyarakat melalui forumforum penyuluhan, serta memberikan pembinaan tentang kewirausahaan yang intensif. Kedua, sebagai implementasi dari Tridarma Perguruan Tinggi dimana salah satu bentuknya adalah pengabdian kepada masyarakat, sebaiknya kalangan akademisi, sesuai dengan bidang keilmuannya dapat berkontribusi dalam membangun kewirausahaan pada masyarakat Ketiga, kepada pemerintah pusat untuk memberikan proteksi terhadap produk produk lokal seperti keramik buatan Plered ini, melalui regulasi ekspor-impor, agar produk-produk luar negeri yang banyak membanjiri pasar, tidak kemudian mengalahkan produk dalam negeri, yang dapat mengakibatkan bangkrutnya perusahaan perusahaan milik masyarakat.

Pustaka Acuan Azwar, Syaefuddin. (2007). Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burks, Jr., Herber M. (1979). Theories of Counselling. New York: McGraw Hill Book Company. Brin, Du Andrew J. (1990). Effective Business Psychology. New Jersey: Prentice Hall In. Jackson, John H. and Vernon A.Musellman. (1992) Business Contemporary Concept and Practices. New York: Prentice Hall. Johnson, Gerry and Kevan Scholes. (1993). Eksploring Corporate Strategi. New York: Prentice Hall. Kao, Raymond W.Y. (1995). Entrepreneurship. New York: Prentice Hall.

49

Surachman, Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan Pride, William M., Robert J. Hughes and Jack R. Kapoon.(1988). Business. Boston: Houghton Mifflin Company. Reinecke, John A.Garry Dessler, and William F.Schoel (1989). Introduction to Business a Contemporary View. Massachuset; Allyn and Bacon. Robbins,Stephen. (1996). Organization Behavior. Edisi Bahasa Indonesia, Hadiparna Pujaatmaka,

Jakarta: Prenhallindo. Solmon, Lewis C. (1980). Economics. Los Angeles: Addison Wesley Publishing Company. Starcher, George. (2001). Ethics and Entrepreneurship. http//www ebbf.org/ethics.htm. Wood, Donna J. (1990). Business and Society. Pitsburg: Harper Collins Publisher.

50

Komunalitas Terbayang: Mudik sebagai Fenomena Kultural-Kependudukan Ahmad Tarmiji Alkhudri Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: a.tarmij[email protected]

Abstract This paper is background by a social phenomenon that indicates the increasingly massif population migration caused by the phenomenon of mudik. This condition indicates that the pillars of development is still concentrated in urban areas. It also indicates that regional autonomy has not run optimally. Though equalization and optimization of rural development is an important point to reduce the rate of migration of population from rural to urban areas. Therefore, this article aims to explain the phenomenon of mudik from the two perspectives are inextricably linked, that is the perspective of cultural and demographic perspectives. Both these perspectives become an important theme in understanding the dynamics and current demographic trends.

Keywords: mudik, cultural and demographic perspectives

Pendahuluan Mudik1 menurut Antropolog Neil Mulder (2010) sering dimaknai sebagai proses migrasi internal (lokal) yang berlangsung secara temporer. Migrasi internal itu sendiri merupakan salah satu jenis migrasi, selain migrasi internasional (Lee, 1992; Tjiptoherijanto, 1999: 109). Secara teoretis keduanya merupakan gerak perpindahan secara geografis, spasial, atau teritorial (Rusli, 1996: 136). Menurut Sukirno (1995) dalam realitas migrasi tersebut tarik-ulur antara dialektika desa-kota pun tak terhindari. Menurutnya, kota menjadi basis tujuan dan daya tarik permintaan pasar tenaga kerja, sedangkan desa kian ditinggalkan tenaga kerja muda produktifnya. Dalam pandangan Todaro (1997), hal ini terjadi lantaran adanya perbedaan pendapatan yang diharapkan dan yang terjadi di daerah pedesaan dengan perkotaaan. Logikanya migrasi akan mengalir dari daerah-daerah yang 1

Secara historis fenomena mudik berasal dari stratifikasi dalam budaya Jawa. yang membagi masyarakatnya menjadi petani dan priyayi. Priyayi adalah mereka yang karena garis keturunan berkesempatan menduduki jabatan-jabatan elit dalam masyarakat. Mereka dengan sendirinya menikmati kemewahan hidup karena status sosial dan jabatan yang diembannya. Mereka menjadi penguasa dari raja hingga pangreh praja. Sementara bagi mereka yang berada dalam golongan petani untuk hidup yang lebih baik perlu melakukan mobilitas vertikal. Mengubah nasib satu-satunya adalah dengan merantau ke kota besar. Dari sinilah kemudian istilah merantau dan mudik menjadi populer (Mujiran, 2009: 1).

relatif miskin ke daerah-daerah yang memiliki kesempatan kerja yang lebih baik – teori human capital. Pandangan ini nampaknya sejalan dengan fenomena mudik, bahwa sebagian besar urban yang mudik merupakan mereka yang berasal dari daerah yang relatif miskin. Di samping sebagai proses migrasi, mudik juga merupakan simbol kultur komunalitas2 yang terjadi pada masyarakat baik sebelum maupun pasca libur panjang atau hari besar seperti natal, tahun baru dan terutama pada saat lebaran. Fenomenanya tidak hanya lekat dengan konteks tradisi kultural an sich, tetapi ia juga inheren dengan dinamika kependudukan. Dalam kaitannya dengan dinamika kependudukan, tentunya mudik di sini, pada dasarnya tak lepas dari esensi politik kebijakan kependudukan. Dalam narasi politik nampak jelas tarik-menarik kepentingan pembangunan antara kota dan desa merupakan problem ontologis yang secara langsung maupun tidak langsung memunculkan tradisi mudik dalam logika proses bermigrasi. Hasil studi Ehrenberg dan Smith (1997) 2

Tradisi mudik merupakan ciri khas kultur masyarakat Indonesia. Ia berbeda dengan tradisi Thanks Giving Days ala Amerika, karena dalam Thanks Giving Days para urban pulang ke orang tua, bukan ke kampung. Sedangkan dalam esensi mudik kita pulang ke kampung halaman meski orang tua sudah pindah (Kharlie, 2010; Okezone, 2010).

51

Alkhudri, Komunalitas Terbayang

misalnya, menyatakan bahwa faktor penarik kesempatan kerja yang lebih baik di daerah tujuan lebih kuat dibandingkan, faktor pendorong dari daerah asal yang kesempatan kerjanya kecil (Ehrenberg dan Smith, 1997). Sedangkan studi, McConnell dan Stanley (1995) melihat keputusan bermigrasi erat kaitannya dengan biaya yang dipertukarkan dan dikorbankan penduduk desa. Oleh karena itu, pada konteks ini, meminjam terminologi Durkheim (Turner, 1997) mudik dimaknai sebagai fakta sosial (social fact) yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai implikasi dari relasi manusia desa-kota. Dari sinilah kemudian mudik menjadi trend dan mentradisi dalam potret kewargaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Berurat-berakar dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu wilayah ke wilayah lain, sehingga menjadi budaya yang berskala massif. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, fenomena mudik juga tak dapat dilepaskan dari problem empirisnya atau demonstration effect yang menyertainya. Dalam konteks ini, fenomena mudik merupakan potret kegagalan konsep pemerataan pembangunan nasional. Konsep desentralisasi pembangunan telah gagal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata. Desentralisasi yang dimanifestakan dalam bentuk otonomi daerah ternyata gagal mendinamisasi perekonomian daerah. Kantung-kantung pertumbuhan ekonomi tidak terbentuk di desa-desa. Implikasinya, fenomena mudik yang berskala massif dari tahun ke tahun menjadi cermin yang mengindikasikan besarnya arus migrasi dari desa ke kota. Dampak ini tentunya berpotensi melahirkan persoalanpersoalan krusial di bidang kependudukan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengetengahkan tema mudik sebagai dinamika kultural dan kependudukan. Pertanyaan kunci dalam tulisan ini yaitu; apa makna esensial mudik dalam konteks historis dan kulturalnya? Apa esensi mudik secara sosiologis? Dan, bagaimana dampak mudik terhadap permasalahan sosial kependudukan? Untuk itu, pembahasan berikut ini tentunya akan sangat menarik kita telaah secara kritis bahwa dimensi mudik tidak hanya dilihat dari aspek kultural semata tetapi juga dilihat aspek kependudukan. Tema-tema dalam sub berikut ini meliputi Makna Esensialis Mudik dan Akar Historisnya;

Mudik dalam Kajian Sosiologis; Mudik dan Gerak Penduduk; Mudik dan Biaya Psikologis; dan Refleksi Kebijakan Mudik Ke Depan sebagai catatan simpulan.

Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh melalui penelitian buku-buku, majalah, jurnal dan media publikasi lainnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. Dengan kata lain library research3 ialah jenis penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian (Wasito, 1998: 15; Zed, 2004: 2-3). Karena tulisan ini adalah studi kepustakaan, maka pengumpulan datanya adalah dengan menelusuri dan me-recover buku-buku, jurnal, mass media (Koran dan majalah) yang berkaitan dengan objek yang dibahas. Di samping itu juga, ditelusuri serta dikaji buku-buku dan tulisantulisan lain yang mendukung kedalaman dan ketajaman analisis dalam tulisan ini. Sedangkan sumber data yang penulis gunakan dalam kajian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer yang penulis gunakan sebagai referensi utama adalah buku dan mass media (koran dan majalah) yang mengetengahkan tema mudik dan kependudukan. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam tulisan ini adalah sumber-sumber sejenis dan pendukung yang relevan dan berkaitan dengan judul tulisan, baik berupa buku, jurnal, artikel, maupun tulisan lain. Analisis data dalam tulisan ini dilakukan dengan teknik discourse analysis, yaitu menganalisis data sesuai dengan kandungan isinya. Sedangkan metode analisis datanya menggunakan metode deduktif-induktif.

Hasil dan Pembahasan 1. Makna Esensialis Mudik dan Akar Historisnya Mudik dilihat dari akar katanya sering dipertautkan dengan term “udik” yang merujuk 3

Setidaknya ada tiga alasan untuk melakukan studi kepustakaan (library research), pertama, karena persoalan penelitian tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan sebaliknya tidak mungkin diharapkan datanya dari riset lapangan, contohnya sejarah pemikiran tokoh. Kedua, studi pustaka diperlukan sebagai satu tahap tersendiri, yaitu studi pendahuluan. Ketiga, data pustaka tetap handal untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam konteks tulisan ini alasan yang ketiga sangat relevan karena ia merupakan studi erat kaitannya menelaah mudik melalui data publikasi dari media dan sumber kepustakaan.

52

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 50-59

pada pemaknaan daerah kelahiran atau desa, dusun, asal-usul tempat tinggal atau panggilan untuk mengistilahkan “orang udik” (Chatib, 2005: 33,). Istilah tersebut menjadi kontras jika dihadapkan dengan istilah kota. Kota dipandang memiliki daya tarik, lebih maju, dan berbudaya ketimbang desa. Akan tetapi, perbedaan ini bukan berarti mengindikasikan bahwa kota benar-benar merupakan ruang ideal bagi manusia. Kota dalam banyak hal telah menjadikan manusia cenderung terkonsentrasi kepada pekerjaan secara mekanis. Identitas ontologis manusia-kota tereduksi oleh mesin-mesin sehingga tak jarang ia diliputi anonimitas. Logika fungsional industrialisasi kemudian

mendapatkan siraman nilai-nilai desa untuk meredakan kegersangan yang dialaminya di kota. Oleh karenanya, dalam logika ini, diyakini bahwa mudik dapat menjadi mekanisme penyeimbang nilai-nilai kaum migran (Yayan, 2010: 2). Dari konteks di atas, tercermin makna esensialis bahwa tradisi mudik pada dasarnya melekat dengan kesadaran manusia. Kesadaran terhadap asal-usul atau historis manusia. “Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya kembali ke sangkarnya”. Filosofi tersebut dipakai para migran, baik yang menetap sementara maupun yang benar-benar berdomisili di kota. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa asal-usul

Gambar 1. Kerangka Kerja Paper DinamikaȱKependudukan

 

(1)ȱ Mudikȱmerupakanȱ  “jembatanȱnostalgiaȱ&ȱ simbolȱkulturȱ Metodologiȱ komunalitas;ȱ  - Kepustakaanȱ (2)ȱ Prosesȱ Mudikȱ Mudikȱdalamȱmaknaȱ Discourseȱ  Kulturalȱ sosiologisȱdanȱ analysisȱ Historisȱ kependudukanȱ - DeduktifȬ  cerminȱdualitasȱ Induktifȱ kewargaan;ȱbebanȱ  psikologisȱdanȱ Prosesȱ timpangnyaȱpemb.ȱ Sosiologisȱ  kependudukanȱȱ

Prosesȱ Migrasiȱ



Mudikȱdanȱ Pemb.ȱBerbasisȱ Kependudukanȱ Spiritualȱdanȱ Sosialȱ

DinamikaȱKulturalȱ

Sumber: Analisa Penulis

memperparah watak individualisme urban yang telah ada sebelumnya.

kaum

Dengan dua karakteristik nilai ini, bagi para pengkritiknya, manusia-kota menjadi sosok yang kering kerontang. Kondisi ini semakin kronis dengan kecenderungan orientasi kota kepada nilai-nilai yang material dan profan. Lengkaplah sudah kegersangan manusiakota. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut banyak orang memandang bahwa tradisi mudik memberikan dampak positif bagi kaum urban yang berasal dari desa. Dengan mudik, mereka

sangat bermakna.4 Penelusuran semantik memperlihatkan bahwa manusia diidentifikasi oleh asal-usul tempat. Atau dalam bahasa yang agak metafisis, “Aku adalah Aku dari Ruangku”. Dari sini tampak bahwa fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan 4

Asal-usul manusia meliputi tiga aspek, yaitu: asal-usul genetis, transendental, dan asal-usul ruang atau tempat. Mudik adalah bagian yang tak terpisahkan dari asal-usul ruang dan tempat.

53

Alkhudri, Komunalitas Terbayang

berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Hal ini memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat erat dengan masa silamnya. Dengan kata lain, mudik dalam konteks ini merupakan simbol romantisme kehidupan.

2. Mudik dalam Kajian Sosiologis Simbol romantisme kehidupan urban yang ditranformasikan melalui “mudik” seperti dijelaskan di atas, meniscayakan kota terpotret seperti “ekosistem yang mengampung”. Istilah tersebut menjadi personifikasi sosiologis bahwa dialektika mudik mengindikasikan dualitas kewargaan urban yang cair antara wujud sebagai warga desa di satu sisi, dan warga kota di sisi lain. Namun demikian, para urban atau kaum pendatang ini juga, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika pertumbuhan kota. Kondisi demikian, memposisikan bahwa keberadaan kota besar di Indonesia tak dapat dipungkiri bahwa ia dibangun oleh keberadaan para “pendatang” (Evers, 1995). Sejalan dengan realitas tersebut, fenomena mudik muncul dan menjadi tren menarik sejak kota-kota di Indonesia berkembang pesat sebagai imbas integrasi pada sistem ekonomi kapitalis di awal tahun 1970-an. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota besar menjadi “enersi” pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi. Warga kota yang banyak di antaranya para pendatang melakukan aktivitas mudik pada kesempatankesempatan tertentu, yaitu pada hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural (lebaran, natal, dan tahun baru). Berbicara mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat melihat melalui konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi masyarakat Indonesia pada sistem ekonomi kapitalis dunia, di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang, mudik mempunyai motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali “ruh” pola-pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi di kota-kota besar. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Mudik pun sarat simbol kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di

kerasnya kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan (positif) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif). Dalam konteks kekinian, setelah masyarakat Indonesia lebih dari tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi berorientasi pasar, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis sebagai berikut: 1) rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; 2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa kasus, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dan ekonomi dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial. Pergeseran tersebut menunjukkan fenomena mudik dalam realitas kekinian sudah lebih kompleks motifnya. Dari sisi sosiologi ekonomi, kondisi ini meniscayakan munculnya motivasi untung dan rugi. Keuntungan pertama adalah ia merupakan moda alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formal, melalui peran negara dan swasta dirasakan banyak kekurangannya. Orang mudik biasanya membawa cukup uang yang dibelanjakan dan didistribusikan di kalangan keluarga dekat di daerah asal. Sehingga, aktivitas ini mampu menyumbang pada bertambahnya jumlah perputaran uang di daerah. Keuntungan kedua bertalian dengan reproduksi ekonomi warga kota besar. Mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses untuk memulihkan enersi produktif (Soemantri, tth). Keuntungan lain diantaranya adalah modal sosial (jaringan ekonomi di antara anggota keluarga luas dan kenalan) dapat terpupuk yang kemudian diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke kota. Kerugiannya, di antaranya ialah bahwa mudik dapat mempengaruhi dinamika kependudukan yang tak berimbang antara desa dan kota.

3. Mudik dan Gerak Penduduk Fakta pergeseran motif mudik menuju instrumentasi ekonomi yang lahir dibalik pilihan rasionalitas masyarakat saat ini, seperti ditengarai di atas menyisakan PR besar terhadap gerak penduduk yang tak berimbang. Pada kenyataan ini mudik memberikan im-

54

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 50-59

Gambar 2. Persentase Arus Mudik-Balik Berdasarkan Tahun 2003-2010 (dalam Juta)

Arus Mudik dan Balik 10 8 6 4 2 0 Balik

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 3,02

Mudik 2,81

2,4

2,32

2,56

2,72

2,91

3,13

4,5

2,21

2,14

2,44

2,61

2,83

3,06

4,44

Diolah dari Launa, 2010; Tabloid Republika, 2010

plikasi permasalahan di bidang demografi kependudukan. Sebab, fenomena tersebut dalam skala masif di Indonesia mencerminkan kegagalan pemerataan pembangunan. Aktivitas perekonomian yang terkonsentrasi di daerah perkotaan mendorong masyarakat pedesaan melakukan migrasi. Ada ketimpangan yang tinggi antara kota dengan pedesaan. Menurut Bandiyono (2006: 43), selama ada ketimpangan antara kota dengan pedesaan maka fenomena mengalirnya penduduk pedesaan menuju daerah perkotaan tentunya tidak dapat dicegah.

penduduk ke perkotaan. Tingginya angka gerak penduduk tersebut merupakan akibat strategi industrialisasi oleh pemerintah yang menciptakan pertumbuhan kota yang lebih cepat, sehingga memunculkan permasalahan baru, di samping ketimpangan pembangunan di pedesaan. Terkait hal ini Bappenas menyatakan bahwa saat ini 56 persen penduduk Indonesia masih bermukim di perdesaan, sedangkan 44 persen di perkotaan. Kondisi saat ini akan berbanding terbalik pada 2015 mendatang di mana 56 persen penduduk akan bermukim di perkotaan, sisanya 44 persen penduduk di pedesaan (Okezone, 2010).

Data di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pemudik dan arus balik semakin meningkat. Bisa jadi ini adalah tolok ukur sederhana kian meningkatnya gerak

Senada dengan pernyataan Bappenas, Mudrajat (2006), menyatakan bahwa per-

Gambar 3. Ribuan Pemudik Memadati Stasiun Senen

Gambar 4. Antrian di Terminal Pemberangkatan

Sumber: Okezone, 2010

Sumber: Koran Jakarta, 2010

55

Alkhudri, Komunalitas Terbayang

Gambar 4 dan 5. Profil Pendatang Baru di Kota Jakarta Tahun 2010 Sektor Pekerjaan

Motivasi Datang ke Kota

40%

Terdidik dan Terampil

60%

30%

Formal

70%

Modal nekad

Informal

Diolah dari Koran Jakarta, Sriwijaya Post, dan Republika

Axis Title

Gambar 6. Persentase Migran Berdasarkan Daerah yang Menuju Jakarta Tahun 2010 100% Migran Berdasarkan Daerah Asal 50% 0% Migran

Jawa

Luar Jawa

80%

20%

Diolah dari Koran Jakarta, Sriwijaya Post, dan Republika

tumbuhan kota yang lebih cepat akan mengakibatkan terjadinya gerak penduduk ke kota-kota besar yang bersifat prematur. Artinya, migrasi dari desa-kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Pendatang baru di kota yang tidak memperoleh pekerjaan akan mencoba mengadu nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang bersifat self employment yang lebih dikenal dengan sektor informal. Padahal menurut Bank Dunia, sektor informal merupakan sektor yang sangat sedikit menerima proteksi secara resmi dari pemerintah. Itu artinya sektor ini

sangat minim mendapat perhatian pemerintah sehingga sangat rentan terhadap permasalahan permasalahan yang sulit memperoleh jalan keluar. Selain itu, fenomena mudik juga berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat di berbagai daerah, lokasi atau tempat. Masalahmasalah yang ditimbulkan di berbagai lokasi yang menjadi pusat utama terjadinya mobilisasi arus mudik, adalah antara lain semakin meningkatnya angka kecelakaan, akibat keteledoran para pemudik. Selain itu, sikap kurang

Tabel 1. Angka Kecelakaan Lalu Lintas Akibat Mudik Jenis

2008 (H-7 to H+7)

2009 (H-7 to H+4)

Kecelakaan

85

121

Tewas

39

48

Luka berat

49

59

Luka ringan

86

123

Sepeda motor

100

96

Diolah dari Josh Chen 2009.

56

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 50-59

Gambar 6 dan 7. Persentase Daya Dukung Transportasi di Jakarta Tahun 2010 Persentase Tranportasi Berdasarkan Kategori

Persentase Kendaraan 120%

Axis Title

100%

Kendaraan Umum

80% 60%

Kendaraan Pribadi

40% 20% 0%

Series 1

49,00% 49,50% 50,00% 50,50% Kenda raan Pribad i

Kenda raan Umu m

98%

2%

Melayani Penumpang

Kendaraan Pribadi

Kendaraan Umum

49,70%

50,30%

Diolah dari Koran Jakarta, Sriwijawa Post, dan Republika

peduli untuk menjaga keselamatan mereka selama terjadi kegiatan arus mudik, baik itu tanpa mengunakan helm pengaman kepala ketika pergi mudik terutama terhadap anakanak. Termasuk membawa barang-barang muatan yang melebihi kapasitas kendaraan. Bahkan pada konteks yang lebih ekstrem banyak kendaraan mudik yang mengangkut penumpang lebih banyak dari pada kemampuan beban kendaraan. Akibatnya, banyak kasus kecelakan yang meningkat memakan banyak korban diberbagai tempat. Mobilisasi arus balik dari kampung kembali ke kota, membawa dampak yang buruk adanya pertambahan jumlah penduduk

perkotaan dibanding sebelumnya. Akibatnya tidak jarang penduduk yang dulunya merantau pulang kembali ke kampung, dan kembali lagi ke kota untuk bekerja membawa sanak-saudara mereka untuk ikut menetap di kota baik itu sama-sama mengadu nasib atau ada hal lainnya yang mempengaruhi mereka untuk menetap di kota. Hal ini terjadi karena para migran yang pulang ke kempung mereka, terkesan sukses di mata para tetangga dan keluarganya karena sewaktu pulang kampung tidak jarang mereka membawa uang dalam jumlah besar dan juga oleh-oleh yang banyak. Padahal pada kenyataannya, fenomena bahwa migran lebih berhasil atau adjusted

Gambar 8. Angka Migran Masuk ke Jakarta Antara Tahun 2000 – 2010 (Per Seribu)

Migran Masuk 300 250 200 150 100 50 0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Migran Masuk 256,7 135,2 250 204,8 190,3 180,7 124,4 109,6 88,4 69,5 Diolah dari Tabloid Republika, 2001; Launa, 2010

60

Alkhudri, Komunalitas Terbayang

dibandingkan dengan nonmigran adalah merupakan fakta sosial, yang bisa jadi lantaran mereka lebih selektif. Migran yang selektif tersebut mampu untuk merebut kesempatan kerja di daerah tujuan, sehingga penduduk setempat merasa tersaingi dan terus terdesak. Kondisi ini sedikit banyak membawa pengaruh terhadap daerah tujuan (kota) dan daya dukung kota. Tingginya volume persentase terhadap penggunaan sarana transportasi yang ditunjukkan berdasarkan gambar di atas, tak lepas dari banyaknya penduduk Jakarta. Total penduduk Jakarta saat ini diperkirakan sebesar 8,5 – 12 juta di siang hari, terpadat Jakarta Timur 2.8 juta dan jumlah keseluruhan di Jabodetabek sebanyak 24 juta. Dari jumlah tersebut hampir sebagian besar merupakan para migran. Lihat angka migran masuk di bawah ini. Sementara itu, estimasi Pemerintah propinsi DKI Jakarta juga menunjukkan, sekitar 32.000 dari 60.000 migran yang masuk pada tahun 2010 turut meramaikan bursa pencarian kerja di Jakarta dari berbagai sektor pekerjaan. Kaum urban ini umumnya unskilled, sekadar ingin menjadi pembantu, kuli bangunan, penjual bakso, penjaja es keliling, penjual sayuran, penjual jamu gendong, pembantu rumah tangga, atau pedagang asongan. Sementara, menurut catatan BPS, laju angka urbanisasi/migrasi lokal akan terus meningkat. Tahun 2025 ratarata tingkat gerak mobiltas urbanisasi/migrasi nasional bakal mencapai 68 persen (di Jawa dan Bali persentasenya bahkan mencapai 80 persen). Dari ± 34,5 juta penduduk miskin saat ini, 22 juta tinggal di desa, sementara 12,8 juta sisanya tinggal di wilayah perkotaan. Dari 10 juta penganggur terbuka, 4,4 juta penganggur ada di pedesaan (Launa, 2010). Derasnya arus perpindahan dari desakota diperkuat oleh fakta bahwa wilayah pedesaan di negeri ini identik dengan problem kemiskinan. Data kemiskinan spasial desakota menunjukkan, sebanyak 63,4 persen penduduk miskin berada di wilayah perdesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, 51 ribu desa merupakan desa tertinggal, dimana 20.633 diantaranya tergolong desa miskin/ terkebelakang (Launa, 2010). Sehingga image bahwa merantau mengadu nasib ke kota akan menuai sukses semakin

57 kuat mendorong orang memadati perkotaan. Akibatnya desa atau kampung yang belum maju dan modern kehidupanya, akan sepi penduduknya akibat migrasi penduduknya ke kota sehingga perkotaan akan lebih padat penduduknya dari pada di desa sehingga persebaran penduduk tidak mengalami keseimbangan. Michael P Todaro (1997), secara lebih spesifik, meneliti variabel ini yang mempengaruhi arus migrasi. Ditambah lagi, ada sementara pemudik yang menghamburkan hasil kerjanya secara membabi buta. Ini jelas menampakkan kesan bahwa siapa saja yang mengadu peruntungannya di kota akan berhasil dan terhormat. Belum lagi pada daerah tertentu, Minangkabau misalnya, menganggap tradisi merantau sebagai “budaya khas”. Dengan kata lain, alasan-alasan seperti ini yang menambah motivasi untuk segera melakukan eksodus ke kota. Akhirnya, migrasi menjadi “satusatunya” pilihan untuk mengubah nasib. Sektor pertanian yang selama ini digelutinya, dianggap sudah ketinggalan jaman dan tidak prospektif lagi. Fenomena ini jelas membawa implikasi bagi peningkatan aktivitas sektor informal di perkotaan. Karena hanya sektor inilah yang dapat menjadi tumpuan harapan bagi kaum urban, terutama bagi yang tidak memiliki keterampilan. Sekaligus jika tidak diantisipasi lebih dini, berpotensi melahirkan persoalan-persoalan krusial seperti maraknya tindak kriminal, meledaknya pengangguran dan menjamurnya perkampungan kumuh. Dalam bukunya yang berjudul Cities, Poverty and Development Urbanization in the Third World, Gilbert dan Gigler, seperti dikutip Burhanuddin (2010) menyebutkan banyak literatur menemukan sederet bukti bahwa alasan utama melakukan migrasi adalah masalah ekonomi. Kuatnya variabel ekonomi sebagai alasan orang berpindah terutama banyak dijumpai di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dengan kata lain, migrasi lebih banyak terjadi di negara Selatan-Selatan yang relatif lebih miskin ketimbang di negara UtaraUtara (Eropa dan Amerika Utara). Sementara itu, M. Sufyan (dalam Burhanuddin, 2010) lebih lanjut memaparkan hasil penelitian Simmonz, Diaz-Briquette dan Laquian, yang menguatkan penemuan Shaw dan Lawder (1978) telah

58

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 50-59

membuktikan hal itu. Bahkan ilmuwan Yap, dengan memakai model ekonometri, berhasil menemukan fakta bahwa perbedaan pendapatan yang tajam antara desa dan kota telah memperlicin jalan maraknya migrasi dari desa ke kota. Faktor ekonomi inilah yang mempengaruhi secara signifikan terjadinya migrasi internal di Indonesia.

4. Mudik dan Biaya Psikologis Dari uraian di atas jelas, bahwa variabel ekonomi mempengaruhi proses pengambilan seseorang untuk bermigrasi atau merantau. Di samping itu, mudik juga turut mempengaruhi biaya psikis yang dihadapi oleh individu. Selama pengambilan keputusan, selain pertimbangan biaya finansial dan jarak, seorang calon migran juga mempertimbangkan akan mengalami perubahan psikologis seperti akan meninggalkan anggota keluarga, orang tua, kerabat dekat dan lainnya. Di daerah tujuan, ia juga akan menghadapi sedikit benturan budaya yang berbeda dengan budaya asalnya.

merupakan salah satu waktu yang tepat untuk mengurangi biaya psikis tersebut, karena belum tentu ada kesempatan lain untuk melepas rindu di tempat asal. Megawangi (2003) bahkan menganalogikan perilaku mudik dengan perilaku anak kecil berusia 5 tahun yang selalu aktif dan bereksplorasi ke mana saja, apalagi jika ada temanteman sepermainannya. Namun, di sela-sela kesibukannya, ia pasti mencari ibunya padahal hanya sekedar untuk mencium, atau memeluk sang ibu walau sebentar. Apalagi jika si anak sedang marah atau menangis, karena berkelahi dengan kawan atau kakaknya, maka yang dicarinya adalah si ibu untuk dipeluknya. Perilaku ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perilaku mudik yang hanya sekedar mencari dan mencium tangan si ibu maupun kerabat dekat di kampung, selagi ada waktu yang tepat untuk saling melepas rindu tersebut.

Penutup

Selama di perantauan (daerah tujuan migrasi), seorang migran merasakan rindu akan kampung halaman, kerabat dekat, terlebih anggota keluarga. Kerinduan akan kampung halaman dan kerabat ini sedikit banyak akan terobati jika sekali waktu ia bisa pulang ke daerah asalnya. Mantra (1999) menjelaskan arus mudik yang terjadi setiap tahun terjadi karena adanya kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan yang selalu mengikat setiap orang agar tidak keluar dari daerah asalnya. Pada sisi lain, jika utilitas daerah asal tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkannya, maka timbul kekuatan sentrifugal yang mendorong agar melakukan migrasi keluar dari daerah tersebut.

Fenomena mudik merupakan salah satu cerminan dari kehidupan budaya masyarakat Indonesia. seorang antropolog Clifford Geertz dalam bukunya Religon of Java menyatakan Mudik merupakan aplikasi langsung antara agama dan budaya jawa yang santun, untuk memunculkan sikap kebiasaan bersilahturahmi. Selain itu, mudik juga merupakan salah satu bagian dari proses keputusan bermigrasi. Namun, dalam realitasnya, mudik juga tidak selalu mengimplikasikan aspek positif. Malahan sebaliknya, fenomena mudik menunjukkan betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang tak berkesudahan antara kepentingan politik pembangunan yang mengdikotomikan desa-kota.

Kekuatan sentripetal dapat mendominasi setiap orang (migran) terlebih di saat-saat ada momentum yang tepat seperti Lebaran. Melalui ikatan batin dan emosional dengan daerah asal, kemana pun seseorang pergi, suatu waktu akan kembali untuk melakukan penyegaran emosional, tentunya dengan membawa sujumlah barang, uang, dan bahkan gagasan dari wilayah urban. Seseorang yang sudah menjadi migran, tentunya sudah memperhitungkan adanya keuntungan financial di daerah yang baru, meski telah mengorbankan biaya moneter dan psikis. Momentum Lebaran bagi para migran

Upaya bersama perlu dilakukan untuk mengedepankan pembangunan berwawasan kependudukan. Salah satunya ialah dengan membangun desa melalui program desa vokasi dan pendidikan vokasi. Desa vokasi diwujudkan dengan pemberdayaan dan pengelolaan potensi sumber daya desa untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Dengan demikian, migrasi dapat ditekan dan semakin banyak warga yang bekerja di desanya sendiri. Misalnya, di bidang pertanian dalam arti luas, diperlukan klaster-klaster pertanian, perkebunan, peternakan, dan pemberdayaan

59

Alkhudri, Komunalitas Terbayang

usaha mikro kecil menengah (UMKM). Jika pemerintah ingin serius mengurangi jumlah perpindahan penduduk dari desa ke kota besar, pemerintah harus menciptakan kantongkantong atau pusat perekonomian di daerah. Apabila hal itu tidak dilakukan, fenomena arus mudik dan balik dalam skala masif akan terus terjadi.

Pustaka Acuan Agarwal, A.N. & Kundar Lai. (1993). Economics of Development and Planning. New Delhi: Vikas Publishing House. Arsyad, Lincolin. (1988). Ekonomi Pembangunan. Edisi Pertama. STIE-YKPN. Yogyakarta. Bandiyono, Suko. (2006). Relevansi Karya Penelitian Migrasi dalam Pembangunan. Pidato Pengukuhan Profesor Kependudukan. Makalah disampaikan pada orasi ilmiah untuk pengukuhan professor riset bidang kependudukan, Widyagraha LIPI, 23 Maret 2006. Biro Pusat Statistik. (1995). Konsep Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, Jakarta: BPS Indonesia. Burhanuddin. Mudik, Arus Balik, dan Urbanisasi. Dalam http://burhan15.multiply.com/journal/ item/27. Diakses Tanggal 29 Desember 2010 Campbell R. McConnell dan Stanley L. Brue. (1995). Contemporary Labour Economics. New York: McGraw-Hill Book Company. Chatib. (2005). Mudik dalam Fenomena Ekonomi Migrasi. Dalam Warta Demografi. Tahun ke 36, No.2, 2006. Jakarta. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Chen, Josh. (2009). Fenomena Mudik Brompit dan Pendatang. Dalam Koran Jakarta, 9 Oktober 2009. Dwiyanto,Agus. (1996). Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta. Adytia Media. Ehrenberg, Ronald G., and Robert S. Smith. (1997). Modern Labour Economics. USA: Edison-Wesiey Educational Publishers Inc. Evers, Hans-Dieter. (1995). Sosiologi Perkotaan. Jakarta: LP3ES. Gubernur DKI Jakarta Pimpin Apel Siaga Untuk Mengantisipasi Keamanan Arus Mudik dan Arus Balik 1431 H. Dalam http:// tabloidrepubliknews.Blogspot.com/2010/09/ gubernur-dki-jakarta-pimpin-apel-siaga.html, Diakses Tanggal 29 Desember 2010 Kharlie, Ahmad Tholabi, Mudik yang Mencerahkan. dalam Republika, 16 September 2009. Kurasawa, Aiko. (1993). Mobilisasi dan Kontrol. Jakarta. Grasindo. Launa, Memaknai Mudik Lebaran. Dalam Media

Indonesia, 21 Agustus 2010. Lee, Everett S. (1992). Teori Migrasi (Terjemahan) Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gadjah Mada. Mantra, Ida Bagoes. (1999). Mobilitas Penduduk Sirkuler dari desa ke kota di Indonesia. Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Megawangi, Ratna. (2003). Kerinduan Untuk Pulang Kampung. www.suarapembaruan.com/News/ 11/23/Editor/edi02/htm. Diakses tanggal 29 Desember 2010. Mudik Cermin Kesenjangan Ekonomi. dalam http:// economy.okezone.com/read/2010/09/06/20/ 37039420/mudik-cermin-kesenjanganekonomi, Diakses Tanggal 29 Desember 2010. Mudrajat, Kuncoro. (2006). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Mujiran, Paulus. (2009). Aspek Sosial Ekonomi Mudik. Dalam Sriwijaya Post, 24 September 2009. Mulder, Neils. (2010). Mudik, Tradisi yang Menjelma Menjadi Budaya. Koran Jakarta, 4 September 2010. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rusli, S., Pengantar Ilmu Kependudukan: Edisi Revisi, Jakarta: LP3ES, (1996). Soemantri, Gumilar Rusliwa. t.th. Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Artikel Ilmiah Kuliah Sosiologi Perkotaan. Sukirno, Sadono. (1995). Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tjiptoherijanto, Prijono. (1999). Migrasi Internasional: Proses, Sistem, dan Masalah Kebijakan. Dalam Nasution, M. Arif (Ed). Globalisasi dan Migrasi Antar Negara. Bandung: Penerbit Alumni. Todaro, M.P. (1997). EconomicDevelopment in The Third World. 6th edition. London: Addison Wesley Longman Limited, London. Turner, Jonathan H. (1997). The Structure of Sociological Theory 5th Edition. California: Wadsworth Publishing Company. Wasito, Hermawan. (1998). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yayan. (2010). Mengintip Fenomena Mudik. Dalam http://www.yayan.com/artikel/fenomena/me ngintip-fenomena-mudik.html, 29 Desember 2010 Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

60

Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan: Potensi Kemadanian di Tengah Marjinalisasi Febri Setiawan Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: [email protected]

Abstract The discourse of the abolition of Bajaj (three wheeler) as the public transportation in Jakarta and as one of tight media transportation contestation, has become a pressure for Bajaj drivers community into the marginal point. Trapped in that condition, the Bajaj drivers come up with their structure practical knowledge of Bajaj, as their strategy that will helped them to survive in Jakarta. As the research findings, the writter then shared the Bajaj practical knowledge, that are technical knowledge, tactical knowledge an adaptation knowledge. Although they are being marginalized in socio economical, with their practical knowledge, the Bajaj community have transformed into potential community to go to civil society.

Keywords: structure practical knowledge, technical knowledge, tactical knowledge, adaptation knowledge, survive.

Pendahuluan Sejak kemunculannya pada tahun 1977, Bajaj telah menjadi bagian dalam kehidupan warga Jakarta sebagai salah satu moda transportasi. Sebagai moda transportasi, tentunya Bajaj juga menjadi sandaran ekonomi bagi elemen penggeraknya, mulai dari pengusaha, tukang dan montir Bajaj. Secara holistik, Bajaj menyimpan suatu struktur pengetahuan praktis yang dimiliki oleh tukang Bajaj. Struktur pengetahuan praktis inilah yang menjadi aspek sosiologis yang dimiliki oleh Bajaj. Dalam sejarahnya, awal kemunculan Bajaj di Jakarta ditandai dengan obsesi pemprov DKI Jakarta yang ketika itu ingin mengembangkan moda angkutan umum cepat (bermotor). Tentunya kebijakan tersebut berdampak pada dihapuskannya becak, yang pada saat itu menjadi moda transportasi populer di Jakarta sejak tahun 1930-an (lihat Mardjuki, 1986; Jellinek 1994). Dalam perjalanannya, Bajaj telah memberikan kontribusi nyata bagi warga Jakarta. Bajaj (kendaraan jenis IV/Kajen IV) memiliki peranan sebagai salah satu sarana angkutan dalam kota. Bajaj (Kajen IV) memiliki peranan penting dalam pengangkutan penumpang di Jakarta. Di bagian lain, Bajaj (Kajen IV) juga menjadi satu bagian

integral dari sistem pertransportasian di Jakarta (Gunawan, 1985). Dalam kondisi kekinian, beralihnya penumpang kendaraan umum ke kendaraan pribadi, telah menyulitkan tukang Bajaj untuk mendapatkan penumpang, dan berdampak pada semakin ketatnya persaingan antar moda transportasi umum dalam hal mencari penumpang, bahkan di antara Bajaj itu sendiri (lihat Rhamdani, 2008). Dalam pandangan yang lebih luas, wacana akan dihapuskannya Bajaj sebagai moda angkutan umum DKI Jakarta terus bergulir. Pada tahun 2004, Pemprov DKI Jakarta ingin menggantikan Bajaj dengan Kancil (akronim Kendaraan Kecil). Sontak wacana ini diprotes keras oleh berbagai elemen Bajaj. Setelah wacana Bajaj yang akan digantikan Kancil surut, muncul wacana baru dimana Bajaj (2 Tak) akan digantikan dengan Bajaj BBG, yang dinilai lebih ramah lingkungan dan kini mudah ditemui di Jakarta. Dengan tekanan marjinalisasi dan atmosfer sosial-ekonomi yang tidak lagi mendukung Bajaj (2 Tak), komunitas tukang Bajaj hadir dengan struktur pengetahuan praktis kebajajan sebagai strategi mereka untuk dapat survive di Jakarta.1 1

Konsep survive dalam studi ini merujuk pada konsep subsistensi yang dirumuskan James C. Scott. Scott menjelaskan sub-

61

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Selanjutnya, Struktur pengetahuan praktis kebajajan merupakan seperangkat ide, gagasan, tindakan, kesadaran koletif serta respon yang dimiliki komunitas tukang Bajaj dalam konteks kebajajan.2 Struktur pengetahuan praktis kebajajan terdiri dari tiga sub pengetahuan praktis, yakni pengetahuan teknis, pengetahuan taktis dan pengetahuan adaptasi. Pengetahuan teknis merupakan seperangkat pengetahuan yang dimiliki komunitas tukang Bajaj yang berhubungan dengan hal teknis kebajajan, seperti mengemudikan Bajaj, memperbaiki Bajaj, tindakan darurat dan prinsip berlalu lintas tukang Bajaj. Sementara pengetahuan taktis merupakan serangkaian tindakan, gagasan dan kesadaran taktis tukang Bajaj dalam konteks kebajajan, seperti mangkal untuk mencari penumpang, pengetahuan teritori (pemahaman jalan-jalan), dan negosiasi dengan aparat. Sedangkan pengetahuan adaptasi merupakan serangkaian tindakan dan kesadaran kolektif tukang Bajaj untuk menciptakan suasana nyaman di suatu area dimana mereka bertempat tinggal dan mangkal (lihat bagan I). Pada akhirnya, struktur pengetahuan praktis Bagan I. Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Pengetahuan Teknis

Pengetahuan Taktis

Pengetahuan Adaptasi

Diolah dari data lapangan

sistensi sebagai tindakan safety first atau “dahulukan selamat” bagi kaum petani. Layaknya kaum petani yang selalu berusaha mencapai subsisten, bagi tukang Bajaj subsistensi menjelma dalam suatu prinsip untuk subsisten (bertahan) dan surplus (mendapat hasil lebih). Lihat Scott, 1983. Selain itu, konsep survive dalam studi ini juga mengacu pada motif surplus yang ingin dicapai oleh komunitas tukang Bajaj. Surplus dalam arti keinginan untuk mendapatkan hasil (materi-uang) lebih. 2 Dalam kaitannya dengan komunitas tukang Bajaj yang memiliki struktur pengetahuan praktis kebajajan, konteks sosial yang dimaksud adalah aspek subsistensi dan surplus. Kedua aspek inilah yang ingin dicapai oleh komunitas tukang Bajaj melalui struktur pengetahuan praktis yang mereka miliki (lihat Riyanto, 2009).

kebajajan memiliki kontribusi untuk pencapaian hidup survive (surplus dan subsisten) bagi komunitas tukang Bajaj di Jakarta.

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di RW 07 Cipete Utara dan dilakukan sejak Desember 2009Oktober 2010. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode etnografi untuk memberikan gambaran secara rinci. Sebagai langkah pengumpulan data, penulis melakukan observasi dan wawancara mendalam kepada beberapa informan kunci. Studi pustaka juga penulis lakukan untuk membantu penulis mengonseptualisasi fenomena dengan konsepkonsep sosiologi. Sementara informan dalam tulisan ini berjumlah 10 orang, yang kesemuanya adalah tukang Bajaj. Adalah komunitas tukang Bajaj di RW 07 Cipete Utara yang menjadi unit analisa studi ini. Mereka berasal dari Magetan, Jawa Timur. Ada tiga faktor yang mendorong munculnya komunitas tukang Bajaj di RW 07 Cipete Utara. Faktor pertama adalah faktor migrasi berantai (chain migration), yang dilakukan oleh satu orang warga Magetan pada awal tahun 1980an, dan diikuti oleh beberapa orang, secara terus menerus pada waktu-waktu berikutnya. Beberapa orang ini tinggal di wilayah yang sama (RW 07 Cipete Utara) dan memiliki pekerjaan yang sama pula (tukang Bajaj). Faktor kedua adalah ketersediaan rumahrumah kontrakan seantero RW 07 Cipete Utara. Secara fungsional, rumah-rumah kontrakan ini disediakan oleh warga asli (Betawi). Rumahrumah kontrakan ini menjadi fasilitas menetap tukang Bajaj selama mereka berada di Jakarta. Faktor ketiga adalah keberadaan area publik yang berada di sekitar Cipete Utara, seperti pusat perbelanjaan dan terminal Blok M, Pasar Cipete, Pasar Blok A dan ITC Fatmawati. Keberadaan area-area publik tersebut menjadi area mangkal bagi tukang Bajaj untuk mendapatkan penumpang dan mampu survive di Jakarta.

Hasil dan Pembahasan 1. Pengetahuan Teknis Kebajajan Dari “Nyelah” Mesin, Hingga “Ngisi” Bensin. Pengetahuan teknis kebajajan merupakan seperangkat pengetahuan yang dimiliki

62

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

komunitas tukang Bajaj yang berhubungan dengan hal teknis kebajajan, seperti mengemudikan Bajaj, tindakan darurat tukang Bajaj, pengetahuan memperbaiki Bajaj (akal-akalan tukang Bajaj) dan prinsip berlalu lintas tukang Bajaj (lihat bagan II). Pengetahuan teknis kebajajan merupakan pengetahuan mendasar yang harus dimiliki individu untuk bisa menjadi tukang Bajaj. Pengetahuan teknis berkontribusi dalam ketercapaian survive bagi tukang Bajaj. Pengetahuan teknis pertama adalah mengemudikan Bajaj. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh tukang Bajaj sebelum Bajaj benar-benar dikemudikan. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari nyelah mesin, memasukkan “gigi”, memundurkan Bajaj dan mengerem Bajaj Untuk menggambarkan keempat pengetahuan dasar mengemudi Bajaj di atas, penulis mengilustrasikan melalui proses Pak Agus saat nyelah hingga memundurkan Bajajnya. Pada tanggal 15 April 2010, di areal warung nasi Pak Sudarman, penulis melihat sendiri bagaimana Pak Agus nyelah Bajajnya. Saat itu, ia baru saja memperbaiki suatu kerusakan Bajajnya. Setelah perbaikan selesai, ia menyalakan mesin Bajajnya untuk kembali narik. Butuh dua kali selahan agar mesin Bajajnya hidup. Agar bahan bakar “naik” ke mesin, sesekali ia ngegas Bajajnya. Tak lama kemudian ia memasukkan “gigi 1” dan menjalankan Bajajnya yang berada di tepian jalan, untuk berada di posisi yang tepat untuk mundur. Ketika posisi Bajajnya sudah “pas” untuk mundur, ia menetralkan “gigi” Bajajnya,

dan mendorong handle gardan ke belakang dan memasukkan “gigi 1”. Bajajnya pun perlahan berjalan mundur dan ia barengi dengan menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk melihat ke belakang. Bajajnya ia arahkan ke ujung Jalan Haji Jian II B. Saat Bajajnya sudah menghadap ke ujung Jalan Haji Jian II B, ia mengerem Bajajnya dengan diikuti menekan tuas kopling. Siap berjalan maju, ia menetralkan “gigi” Bajaj, mendorong ke depan handle gardan dan memasukan “gigi 1”. Sebelum pergi, ia menyapa penulis terlebih dahulu, setelah itu Bajajnya pun melaju. Pengetahuan teknis mengemudikan Bajaj dalam wujud lain adalah membandingkan volume bensin dan oli “campur” sebagai bahan bakar Bajaj. Sama seperti sepeda motor 2 Tak, Bajaj pun berbahan bakar bensin dan oli “campur”. Perbedaannya, jika pada sepeda motor 2 Tak tangki bensin dan oli “campur” dibuat terpisah, sedangkan pada Bajaj bensin dan oli “campur” dicampur dalam satu tangki. Karena dicampur dalam satu tangki, para tukang Bajaj harus bisa membandingkan volume bensin dan oli “campur” secara tepat. Jika dalam satu tangki perbandingan volume bensin lebih banyak dari pada oli “campur”, maka mesin Bajaj akan cepat panas dan cepat rusak. Sedangkan, jika perbandingan volume oli “campur” lebih banyak dari pada bensin, maka mesin Bajaj akan sulit dihidupkan dan Bajaj akan melaju lambat. Maka dari itu, perbandingan antara volume bensin dan oli “campur” haruslah tepat.

Bagan II. Pengetahuan Teknis Tukang Bajaj

Cari Selamat Saat Darurat

Dari Nyelah Mesin, Hingga Ngisi Bensin

Diolah dari data lapangan

Perbaikan Mesin ala Tukang Bajaj

Pengetahuan Teknis Bajaj

Prinsip Berlalu Lintas Tukang Bajaj

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Sebenarnya tidak ada perbandingan yang pasti antara volume bensin dan oli ‘campur” dalam satuan liter. Namun bagi para tukang Bajaj, perbandingan volume bensin dan oli “campur” ditentukan dalam satuan nominal uang. Pak Sarikun misalnya, ia adalah tukang Bajaj yang rutin narik pagi. Ia mulai narik dari pukul 05.00 hingga pukul 11.00. Setiap harinya, Pak Sarikun selalu mengisi bahan bakar sebelum ia pulang untuk aplus, atau berganti “shift” dengan penarik siang. Pak Sarikun mengatakan setiap harinya ia selalu mengisi Rp. 18.000 bensin dan Rp. 8.000 oli “campur”. Menurutnya, perbandingan Rp. 18.000 bensin dengan Rp. 8.000 oli “campur” adalah perbandingan yang tepat. Berbeda dengan Pak Sarikun, Pak Mingin adalah tukang Bajaj yang rutin narik dari siang hingga malam hari, mulai dari pukul 13.00-21.00. Pak Mingin mengakui setiap hari ia mengisi bahan bakar Bajajnya dengan perbandingan Rp. 25.000 untuk bensin, dan Rp. 10.000 untuk oli “campur”. Menurut Pak Mingin perbandingan bensin dan oli “campur” tersebut sudahlah tepat. Sementara, perbendaan volume bahan bakar yang dibutuhkan Pak Sarikun dan Pak Mingin didasari karena rentang waktu narik mereka, Pak Mingin memiliki rentang waktu yang lebih lama. Cari Selamat Saat Darurat. Pengetahuan teknis kebajajan kedua adalah tindakan darurat tukang Bajaj. Ada dua tindakan darurat yang dilakukan tukang Bajaj dalam kondisi-kondisi tertentu, yakni ketika rem Bajaj “blong” dan mengganti ban Bajaj saat mengalami kebocoran. Tindakan darurat merupakan suatu serangkaian tindakan yang praktis dilakukan dalam kondisi yang tidak pernah dikira sebelumnya. Tindakan darurat pertama adalah saat rem Bajaj “blong”. Rem “blong” merupakan suatu kondisi dimana rem tidak bekerja secara optimal untuk memperlambat atau menghentikan laju kendaraan. Saat kondisi rem “blong”, tukang Bajaj memiliki suatu tindakan yang tepat dan cepat. Bagi tukang Bajaj, saat mengalami kondisi rem “blong”, hal yang pasti dilakukan adalah menurunkan “gigi” menjadi “gigi 1”, supaya melambat, dengan diikuti menabrakan Bajaj ke suatu benda yang dianggap bisa menghentikan laju Bajaj. Kejadian rem “blong” pernah dialami Pak Sali. Kejadian ini terjadi beberapa tahun

63 lalu, dan bermula saat Pak Sali melewati Jalan Radio Dalam. Saat Bajajnya melaju di tengah ramainya kendaraan, tiba-tiba saja rem Bajajnya “blong”. Tentunya, Pak Sali panik dan langsung menurunkan “gigi” hingga “gigi 1”, agar laju Bajajnya melambat. Untuk membuat Bajajnya berhenti, ia menabrakan Bajajnya ke sebuah jok mobil yang sedang dijemur di suatu bengkel. Ternyata, menghantam jok mobil tidak membuat laju Bajajnya berhenti. Bajajnya baru benarbenar berhenti ketika menabrak pagar bengkel tersebut. Akibat dari tindakannya tersebut, Pak Sali harus mengganti kerugian dengan memperbaiki pagar bengkel mobil tersebut. Tindakan darurat kedua adalah mengganti ban Bajaj saat mengalami kebocoran. Ban Bajaj memiliki dua lapis ban, yakni ban luar dan ban dalam. Meski terdiri dari dua lapis, ban Bajaj tetap rentan mengalami kebocoran yang disebabkan beberapa hal, misalnya tertusuk benda tajam, sudah tipisnya ban luar atau bocor “halus” karena ban dalam yang menipis. Maka dari itu, masalah dengan ban selalu ada, dan sebagai tindakan antisipasi, tukang Bajaj selalu membawa ban “setip” atau ban cadangan. Tidak hanya harus menyediakan ban “setip”, pengetahuan teknis untuk mengganti ban yang bocor dengan ban “setip” juga dimiliki oleh tukang Bajaj. Sebagai ilustrasi, Bajaj Mas Rohman mengalami kebocoran. Kejadian bermula ketika ia akan istirahat untuk melaksanakan shalat Ashar, di sebuah masjid di sekitar Jalan Panglima Polim. Ketika akan kembali narik, ia terkejut melihat ban Bajaj belakang sebelah kirinya kempes. Meskipun ia membawa beberapa peralatan untuk membongkar ban, tetap saja ia kebingungan karena ia tak membawa ban “setip”. Beruntung, Mas Yanto, teman se-kampung Mas Rohman melintas di lokasi tersebut. Tanpa sungkan, Mas Rohman meminjam ban “setip” untuk membawa Bajajnya ke tukang tambal ban dan menambalkan ban Bajajnya yang bocor. Perbaikan Mesin ala Tukang Bajaj. Pengetahuan teknis kebajajan ketiga adalah pengetahuan memperbaiki Bajaj. Pengetahuan memperbaiki Bajaj terdiri dari dua sub pengetahuan, yakni pengetahuan perbaikan mesin dan pengetahuan akal-akalan tukang Bajaj. Maksud dari pengetahuan akal-akalan adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tukang Bajaj

64

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

untuk mengganti suatu komponen mesin Bajaj dengan suatu benda yang secara subjektif memiliki fungsi yang sama dengan komponen mesin yang harus diganti. Pengetahuan perbaikan mesin Bajaj yang dimiliki oleh komunitas tukang Bajaj sangatlah luas dan kompleks. Maka, dalam tulisan ini, penulis hanya memaparkan salah satu pengetahuan perbaikan mesin, yakni nyetel platina. Nyetel platina merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh tukang Bajaj ketika Bajaj mereka mengalami berbagai masalah, seperti mogok ataupun Bajaj menjadi boros bahan bakar. Maka, dapat dipahami bahwa platina memiliki fungsi vital bagi Bajaj, terutama dalam hal pengapian. Ada dua cara yang dilakukan oleh tukang Bajaj untuk nyetel platina. Cara pertama adalah mendekatkan kabel penghubung platina-koil ke benda konduktor (benda penghantar listrik, seperti besi, tembaga, baja, dll). Dengan cara ini tukang Bajaj hanya perlu mendekatkan kabel penghubung pada benda konduktor (biasanya body Bajaj) dan melihat percikan “api” yang dihasilkan platina ketika kipas mesin diputar.

Jika percikan “api” lurus, maka platina normal. Namun jika percikan “api” pecah-pecah pertanda platina tidak normal. Cara kedua adalah memadukan cara pertama disertai memegang kabel penghubung platina-koil dengan tangan. Ketika kabel penghubung dipegang, kipas mesin diputar, dan tangan bisa merasakan setrum yang dihasilkan oleh platina. Jika setrum tidak dirasakan sampai pada sikut tangan, maka setrum dari platina tidak normal atau kecil, dan harus disetel ulang. Jika setrum dirasakan sampai sikut tangan, maka setrum platina besar dan normal, sehingga tidak perlu menyetel ulang. Setelah setrum platina dirasakan dengan tangan, selanjutnya kabel penghubung platinakoil didekatkan dengan benda konduktor untuk memastikan setrum dari platina sudah tepat. Jika setrum platina normal, namun mesin Bajaj tidak mau menyala, maka ada faktor penyebab lain, misalnya karburator dibanjiri bensin. Cara nyetel platina yang pertama pernah dilakukan oleh Pak Mono. Pada tanggal 21 Maret 2010, Pak Mono memperbaiki beberapa kerusakan Bajajnya, diantaranya nyetel platina

Foto. 1 Cara Kedua Nyetel Platina

Sumber: Koleksi Pribadi

65

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Bajaj. Untuk nyetel platina Bajaj, ia membuka kursi pengemudi yang di bawahnya terdapat mesin Bajaj. Lalu ia melepas kabel penghubung antara platina-koil, dan mendekatkannya pada body Bajaj. Seraya mendekatkan kabel tersebut dengan body Bajaj, ia memutar kipas mesin agar kabel tersebut memercikan “api”. Ternyata percikan api yang dihasilkan platina Bajajnya kecil dan pecah-pecah. Ia lalu menyetel ulang setelan “api” platina melalui lubang setel platina melalui baut setel. Tak butuh waktu lama bagi Pak Mono untuk menyetel ulang platina Bajajnya. Pak Mono mengatakan, ia melakukan cara ini karena ia takut untuk merasakan setrum platina melalui tangannya (cara pertama). Cara nyetel platina yang kedua pernah dilakukan oleh Pak Sali pada tanggal 23 Maret

kirinya. Ketika kipas mesin diputar, penulis melihat sendiri sikut tangannya ”kedutan”. Ia lalu mengatakan platina Bajajnya masih bagus. Untuk memastikan lagi platina Bajajnya masih bagus, ia mendekatkan kabel penghubung tersebut ke tuas selahan, dan hasilnya sama saja. Selanjutnya adalah pengetahuan akalakalan tukang Bajaj. Sama halnya dengan pengetahuan perbaikan mesin, pengetahuan akal-akalan yang dimiliki oleh komunitas tukang Bajaj sangatlah luas dan kompleks. Sebagai contoh adalah penggunaan tabung obat nyamuk semprot atau botol bekas minyak rem sebagai filter karburator. Untuk menjadikannya sebagai filter karburator, tukang Bajaj membuat beberapa lubang pada botol bekas minyak rem atau tabung obat nyamuk tersebut. Tujuannya

Foto 2. Penggunaan hair cream dan tabung obat nyamuk bekas pada Bajaj

Sumber: Koleksi Pribadi

2010. Pada saat itu penulis melihat sendiri bagaimana Pak Sali memperbaiki beberapa kerusakan Bajajnya. Ia juga memperlihatkan bagaimana ia nyetel platina Bajajnya. Sebenarnya, ketika itu, ia hendak memperbaiki kipas mesin yang beberapa bagiannya sudah patah. Pak Sali lalu mengganti kipas mesin yang rusak tersebut dengan kipas mesin “yang baru tapi bekas”, dengan beberapa bagian yang patah. Bagi Pak Sali penggunaan kipas mesin “yang baru tapi bekas” dengan beberapa bagian yang patah, tidak akan mempengaruhi kinerja mesin, karena kipas mesin hanya befungsi untuk membuat mesin Bajaj tetap dingin. Ketika kipas mesin “yang baru tapi bekas” sudah terpasang, ia melepas kabel penghubung platina-koil, lalu dipegang dengan beberapa jari di tangan

agar udara dari luar tetap bisa masuk secara optimal ke karburator. Menurut beberapa tukang Bajaj, digunakannya botol bekas minyak rem dan tabung obat nyamuk semprot karena filter udara “aslinya” tidak tersedia lagi di pasaran. Kalaupun ada harganya relatif sangat mahal bagi para tukang Bajaj, yakni Rp. 60.000. Contoh lain dari wujud pengetahuan akal-akalan tukang Bajaj adalah penggunaan hair cream (krim rambut) sebagai pelumas komponen Bajaj. Menurut beberapa tukang Bajaj, penggunaan hair cream sebagai pelumas komponen Bajaj karena hair cream memiliki daya lekat dan daya lumas yang lebih baik dari pada fat atau oli bekas, di samping harga hair cream yang relatif murah.

66

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

Prinsip Berlalu Lintas Tukang Bajaj. Pengetahuan teknis yang keempat adalah prinsip berlalu lintas tukang Bajaj. Dalam pengamatan penulis, tukang Bajaj memiliki tiga prinsip berlalu lintas, yakni menyerobot antrean kendaraan di tengah kemacetan, prinsip saat berbelok dan prinsip “nabrak minta maaf, ditabrak minta ganti”. Prinsip berlalu lintas yang pertama adalah menyerobot antrean di tengah kemacetan. Dari pengakuan beberapa tukang Bajaj, motivasi mereka melakukan prinsip ini karena dorongan untuk cepat sampai tujuan dan mengejar setoran. Pak Sudarman misalnya. Pada tanggal 27 Maret 2010, penulis ikut bersama Pak Sudarman untuk melakukan KIR (uji kelayakan) Bajajnya. Dalam perjalanan pulang, Bajaj Pak Sudarman berjalan dari Jalan Kemang menuju ke Jalan Pangeran Antasari. Tepat di ujung Jalan Kemang, terdapat perempatan dan sebuah lampu lalu lintas. Saat Bajajnya mendekat, lampu lalu lintas sedang menyala merah. Di depan Bajajnya terdapat beberapa mobil, dan tidak ada polisi yang mengatur lalu lintas di sekitar perempatan jalan itu. Karena Pak Sudarman akan berbelok kanan atau menuju Blok M, ia menerobos antrean dan berjalan di sisi kanan jalan. Ketika Bajajnya melaju di sisi kanan jalan, lampu lalu lintas seketika menyala hijau, kontan saja Pak Sudarman semakin mempercepat laju Bajajnya. Sebuah mobil yang berjalan di sisi kiri jalan, memperlambat lajunya, seolah memberi jalan kepada Bajajnya. Namun, ketika Bajajnya akan berbelok ke kanan, di tengah perempatan, dari arah berlawanan, ada seorang pedagang ketoprak dengan gerobaknya yang sedang menyeberang dan berjalan ke arah Jalan Kemang. Antara Pak Sudarman dengan penjual ketoprak sama-sama memperlambat lajunya, untuk mengalah dan memberikan jalan terlebih dahulu. Penulis yang duduk di bangku penumpang, sayup-sayup mendengar kata ejekan dari mulut Pak Sudarman kepada pedagang ketoprak. Mungkin karena takut gerobaknya tertabrak Bajaj, penjual ketoprak tersebut menghentikan gerobaknya di tengah perempatan dan memberi ruang untuk Bajaj Pak Sudarman. Prinsip berlalu lintas yang kedua adalah saat Bajaj akan berbelok. Dalam pengamatan penulis, tukang Bajaj akan bertindak sedikit

“nekat” ketika akan berbelok. Karena Bajaj (2 Tak) tidak memiliki lampu sign seperti Bajaj BBG, maka ketika Bajaj (2 Tak) akan berbelok, tukang Bajaj seringkali melambaikan tangan mereka saat akan berbelok, terutama belok kanan. Mas Winto misalnya. Pada tanggal 12 April 2010, pukul 16.55 WIB, Mas Winto yang ketika itu mangkal di Melawai, akan mengantarkan penumpang ke Pasar Inpres yang berada di sekitar Jeruk Purut. Saat akan keluar pangkalan Mas Winto melihat kondisi jalan terlebih dahulu yang saat itu arus kendaraan sedang ramai. Ketika arus kendaraan berkurang dan jarak antar kendaraan sedikit berjauhan, ia melajukan Bajajnya, dan dengan sedikit “nekat” ia mengambil sisi kanan Jalan Melawai Raya. Ketika sudah berada di sisi kanan jalan, ia lalu berbelok ke Jalan Panglima Polim 1. Prinsip ketiga yang dilakukan tukang Bajaj dalam berlalu lintas adalah ketika menabrak atau ditabrak. “Nabrak minta maaf, ditabrak minta ganti”, adalah ungkapan yang tepat untuk disematkan pada tukang Bajaj. Pasalnya, ketika mereka menabrak, sebisa mungkin mereka “melarikan diri” atau bila tidak memungkinkan, mereka meminta maaf kepada korban yang ditabrak. Memang terkesan tidak bertanggung jawab, namun hal ini dilakukan karena mereka menyadari tak mampu untuk mengganti kerusakan, apalagi jika yang mereka tabrak adalah mobil mewah, yang memang membutuhkan biaya yang relatif besar jika mengalami kerusakan. Sangat kontras apabila Bajaj mereka yang ditabrak, hal yang mereka lakukan adalah meminta ganti rugi atas kerusakan Bajajnya, atau setidaknya meminta agar si penabrak meminta maaf kepada mereka. Terkadang, meskipun kerusakan Bajaj dan biaya untuk memperbaikinya tidak seberapa, mereka tetap meminta ganti rugi kepada si penabrak. Pengalaman nabrak pernah dialami oleh Pak Menteng. Kejadiannya terjadi tepat di perempatan Jalan Wijaya II atau di sekitar Kantor Walikota Jakarta Selatan. Saat itu, Pak Menteng melaju dari arah Jalan Wijaya II menuju ke Jalan Prapanca, ia mengakui kejadian itu terjadi akibat kesalahannya, karena ia meleng pada saat mengemudikan bajajnya. Akibat kesalahannya ini, ia tak sadar bahwa tepat di depan Bajajnya ada mobil Volvo 960 yang

67

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

sedang berhenti mengantri lampu lalu lintas. Ia mengatakan sempat berusaha “kabur”, namun ia tidak bisa, karena titik tabrak antara Bajajnya dan mobil tersebut sangat rapat. Seketika, supir mobil tersebut turun dan mencaci Pak Menteng. Supir mobil meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya, bahkan sempat akan menyita suratsurat Bajaj Pak Menteng. Namun dengan “kerendahan hati” Pak Menteng meminta maaf atas kesalahannya. Keadaan mereda saat pengemudi mobil tersebut sadar, karena tahu yang menabrak mobilnya “hanyalah” tukang Bajaj. Akhirnya, supir mobil tersebut meninggalkan lokasi kejadian. Sementara itu, kejadian tukang Bajaj yang ditabrak terekam dalam pengalaman Pak Sakiran pada tahun 1996. Kejadian bermula saat ia sedang melewati Jalan Barito. Ketika sedang melintas dan berhenti tepat di sebuah perempatan, tiba-tiba Bajaj Pak Sakiran ditabrak dari belakang. Bajajnya mengalami kerusakan ringan pada body bagian belakang, dan kaca spion Bajajnya pecah, karena guncangan tabrakan. Pak Sakiran langsung turun dan menghampiri pengemudi mobil, ia meminta ganti rugi secara baik-baik kepada pengemudi mobil. Menurut Pak Sakiran harga kaca spion saat itu hanyalah Rp.700,- (1, 52 kg beras), sedangkan kerusakan ringan pada body Bajajnya bisa ia perbaiki sendiri. Dengan dalih kerusakan Bajajnya harus ditangani bengkel, dan mengatakan harga

kaca spion lebih mahal dari harga pasaran, ia meminta ganti rugi kepada pengemudi mobil sebesar Rp. 10.000,- (21,73 kg beras).

2. Pengetahuan Taktis Kebajajan Pengetahuan taktis merupakan serangkaian tindakan, gagasan dan kesadaran taktis tukang Bajaj dalam konteks kebajajan, seperti mangkal untuk mencari penumpang, pengetahuan teritori (pemahaman jalan-jalan), dan negosiasi dengan aparat. Sama halnya dengan pengetahuan teknis, pengetahuan taktis juga berkontribusi dalam ketercapaian survive bagi tukang Bajaj. Dinamika di Pangkalan dan Upaya Mencari Penumpang. Wujud pengetahuan taktis yang pertama adalah mangkal. Mangkal merupakan strategi yang dilakukan tukang Bajaj dengan cara berdiam di suatu tempat strategis yang berpotensi penumpang, seperti pasar, pusat perbelanjaan dan area publik lainnya. Bagi komunitas tukang Bajaj, melakukan mangkal merupakan tindakan rasional yang berorientasi pada efisien bahan bakar, tenaga dan waktu. Artinya, tukang Bajaj tidak perlu berkeliling untuk mencari penumpang, yang justru malah menghabiskan bahan bakar. Ada tiga tempat yang dijadikan arena mangkal bagi komunitas tukang Bajaj, yakni Pasar Cipete, ITC Fatmawati dan Pangkalan Melawai.

Bagan II. Pengetahuan Taktis Kebajajan Pengetahuan Teritori: Di antara jalan “Tikus” dan Jalan Protokol Dinamika di Pangkalan dan Upaya Mencari Penumpang

Negoisasi dengan aparat: Ada rokok ada aman, ada uang ada lancar

Pengetahuan Taktis

Diolah dari data lapangan

68

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

Ketiga tempat tersebut berdekatan dengan lokasi penelitian dan tempat bermukim komunitas tukang Bajaj. Setiap tempat mangkal memiliki karakteristik dan segmentasi penumpang yang berbeda. Pasar Cipete misalnya, hanya dijadikan tempat mangkal di pagi hari saja. Hal ini didasari karena aktivitas di Pasar Cipete dimulai dari subuh hingga menjelang siang. Segmentasi penumpang di Pasar Cipete didominasi oleh pedagang dan pembelanja. Begitupula dengan Pasar Blok A yang memiliki karakteristik dan segmentasi penumpang seperti Pasar Cipete. Bedanya, Pasar Blok A akan tetap dijadikan tempat mangkal hingga hari menjelang sore. Hal ini dikarenakan Pasar Blok A adalah pasar semi modern, yang selalu ramai dikunjungi pembeli. Berbeda dengan Pasar Cipete atau Pasar Blok A, Pangkalan Melawai memiliki karakteristik dan segmentasi penumpang yang berbeda. Pangkalan Melawai akan dipenuhi tukang Bajaj pada siang hari hingga malam hari. Segmentasi penumpang di Pangkalan Melawai adalah pembelanja pusat perbelanjaan Blok M atau orang yang transit di Terminal Blok M yang akan melanjutkan perjalanan ke lokasi tertentu. Pangkalan Melawai adalah tempat mangkal yang menjadi fokus studi ini. Hal ini didasari

karena Pangkalan Melawai penulis nilai memiliki dinamika yang unik bila dibandingkan dengan dua tempat mangkal lainnya. Dalam konteks historis misalnya, sebelum Pangkalan Melawai menjadi pangkalan resmi Kajen IV (Bajaj), terjadi perebutan lahan antara petugas parkir Melawai dengan tukang Bajaj asal Magetan. Umpatan, lemparan batu dan tindakan kasar lainnya sering dilakukan petugas parkir kepada tukang Bajaj yang mangkal. Kejadian memanas ketika seorang oknum petugas parkir berinisial J dihadang dan dibawa oleh para tukang Bajaj ke suatu tempat. Dengan berbagai ancaman yang dialamatkan kepada J, akhirnya J meminta maaf kepada para tukang Bajaj. Setelah kejadian itu, keadaan berangsur normal. Petugas parkir yang awalnya tidak menyukai keberadaan tukang Bajaj di area parkirnya, mulai menerima keberadaan mereka. Sebagai legalitas “aman”, ketika itu tukang Bajaj memberikan logo pada Bajaj-Bajaj mereka dengan tulisan MDN atau inisial dari Madiun, yang berarti tukang Bajaj asal Madiun (Magetan). Dengan tulisan ini, mereka berupaya agar petugas parkir segan terhadap keberadaan mereka di area yang kini menjadi Pangkalan Melawai. Kini logo MDN diganti dengan tulisan AE, yang berarti kode nomor polisi Kabupaten Magetan.

Foto 3. Situasi di Pangkalan Bajaj di Pasar Cipete, Blok A dan Melawai

Sumber: Koleksi Pribadi

69

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Foto 4. Logo AE pada Bajaj

Sumber: Koleksi Pribadi

Dalam upayanya mencari penumpang di Pangkalan Melawai, tukang Bajaj selalu antre. Antrean terdepan adalah barisan yang paling dekat dengan pintu keluar atau pos parkir Blok M Square. Tukang Bajaj yang menempati posisi terdepan adalah tukang Bajaj yang terlebih dahulu datang dan menunggu hingga ia menempati posisi terdepan. Namun, posisi terdepan tidak menjamin seorang tukang Bajaj akan mendapatkan penumpang lebih cepat dan lebih dulu. Penumpang adalah raja, ungkapan inilah yang dapat menggambarkan kondisi itu. Penumpang bebas memilih Bajaj mana yang akan ia tumpangi, bisa Bajaj yang berada di antrean kedua, ketiga, atau Bajaj antrean belakang. Kecocokan tarif juga membuat penumpang bebas memilih Bajaj yang akan ia tumpangi. Tak jarang, jika tarif yang dipasang tukang Bajaj terlalu mahal menurut penumpang, maka penumpang akan beralih ke Bajaj lainnya. Meskipun demikian, agar tidak rugi waktu karena terlalu lama menunggu, tukang Bajaj seringkali “mengalah”, asalkan tarif yang diminta penumpang tidak membuatnya rugi dan sesuai dengan harga pasaran. Pada tanggal 27 April 2010 misalnya, Pak Sali yang berada di posisi antrean terdepan telah menunggu sekitar 10 menit. Tak lama setelah itu, datanglah calon penumpang yang terdiri dari dua orang ibu, dan tiga orang

anak. Mereka berjalan dari arah Blok M Square dengan membawa beberapa barang belanjaan. Ketika mereka mendekat, Pak Sali langsung menawarkan jasa Bajajnya, dan mereka pun mengatakan tujuan mereka, yakni Jalan Damai yang bereda di Cipete Utara, sekitar 4 kilometer ke selatan dari Pangkalan Melawai. Pak Sali memasang tarif Rp. 15.000 (2, 67 liter beras), sedangkan calon penumpang tersebut menawarnya Rp. 10.000 (1, 78 liter beras). Mereka pun sepakat dengan tarif Rp. 10.000. Dengan cekatan Pak Sali membantu memasukkan barang belanjaan tersebut. Ketika semua barang dan penumpang sudah masuk ke Bajaj, barulah Pak Sali bersiap mengantarkan mereka. Beberapa saat kemudian, Pak Sali kembali lagi ke Pangkalan Melawai dan menempati posisi antrean terbelakang, yakni di sisi paling pinggir Jalan Melawai Raya. Ketika penulis bertanya tentang tarif yang ia pasang dan yang ditawar penumpang, Pak Sali menuturkannya seperti ini: “ Ya, kalo kita masang harga sepuluh ribu langsung, kalo dia nawar lima ribu, ya rugi. Kalo harga sepuluh ribu, nganterin ke Damai itu udah pasaran.”3

Di Antara Jalan “Tikus” dan Jalan Protokol. Wujud pengetahuan taktis yang kedua adalah pengetahuan teritori. Pengetahuan teritori merupakan seperangkat pengetahuan dan kesadaran yang dimiliki oleh tukang Bajaj untuk melewati jalan-jalan tertentu dan memilih jalan “tikus” ketika terjadi kemacetan. Kesadaran untuk tidak melewati jalan protokol misalnya, menjadi wujud pengetahuan teritori tukang Bajaj. Tukang Bajaj sadar bahwa Bajaj dilarang melewati jalan protokol, meskipun di sekitar jalan protokol tersebut tidak ada rambu yang melarang kendaraan roda tiga melintas (di Jalan Gotot Subroto). Pak Sudarman misalnya, pada tanggal 27 Maret 2010 melakukan KIR untuk Bajajnya. Dari Cipete Utara, rute tercepat menuju Pulo Gadung adalah melewati Jalan Kapten Tendean, Jalan Gatot Subroto (protokol), dan mengarah ke Jalan Saharjo hingga Rawamangun. Namun untuk menghindari Jalan Gatot Subroto, Pak Sudarman melintasi Jalan Kemang, Jalan Duren Tiga, Jalan Pasar Minggu dan tembus 3

Wawancara dengan Pak Sali, 27 April 2010.

70

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

di Tugu Pancoran, hingga meneruskan menuju Rawamangun-Pulo Gadung. Pengetahuan teritori dalam wujud lain terlihat dari pengetahuan tukang Bajaj melewati jalan “tikus” saat kemacetan terjadi di ruas jalan tertentu, terutama saat “jam pulang kantor”. Dipilihnya rute Jalan Kirai-Jalan Damai misalnya, rute ini dipilih tukang Bajaj ketika mengantarkan penumpang menuju Jalan Haji Jian. Rute ini dipilih karena sering terjadi kemacetan, terutama saat “jam pulang kerja” di Jalan Brawijaya atau tepat di depan proyek Essence. Negosiasi dengan Aparat: Ada Rokok Ada Aman, Ada Uang Ada Lancar. Wujud pengetahuan taktis yang ketiga adalah negosiasi dengan aparat (polisi dan “LLD” (Dishub/DLLAJ-panggilan lokal di kalangan tukang Bajaj). Negosiasi yang dilakukan tukang Bajaj kepada masingmasing aparat berbeda dalam aplikasinya. Negosiasi tukang Bajaj dengan polisi misalnya, negosiasi ini disimbolkan dengan “jatah rokok”. Di Pangkalan Melawai, tukang Bajaj secara rutin memberikan “jatah rokok” kepada polisi sebanyak 8-10 bungkus/hari yang dibeli secara kolektif oleh tukang Bajaj. Rokok yang diberikan bertujuan untuk menghindari tindakan represif polisi—yang apabila tidak diberikan “jatah rokok” akan mengusir tukang Bajaj yang mangkal di Pangkalan Melawai. Kondisi dimana polisi meminta jatah rokok kepada tukang Bajaj, penulis saksikan sendiri pada tanggal 28April 2010, sekitar pukul 16.40 WIB. Penulis yang kala itu sedang melakukan observasi di Pangkalan Melawai, berdiri bersama beberapa tukang Bajaj tepat di pinggir Jalan Melawai Raya, penulis menyaksikan sebuah mobil patroli polisi menepi dan berhenti di Pangkalan Melawai. Mobil patroli polisi tersebut membunyikan klakson, pertanda meminta sesuatu kepada tukang Bajaj. Pak Mingin yang berdiri bersama penulis mengatakan “Bapakmu (polisi) tuh, cepet ambilin (sebungkus rokok)”, kepada Pak Sali. Pak Sali lalu menghampiri mobil patroli polisi tersebut dan menanyakan rokok apa yang diminta kepada seorang polisi yang duduk di bangku sebelah kiri dan berkacamata hitam. Polisi tersebut meminta rokok mild. Pak Sali lalu berjalan ke arah penjual rokok yang berada di timur pangkalan. Sebentar saja ia kembali dan

mengatakan kepada polisi tersebut, bahwa rokok yang diminta telah habis, dan memberikan sebungkus rokok merek ternama lainnya. Di sisi lain, “jatah rokok” yang diterima polisi dari tukang Bajaj, menjadi suatu bentuk perlawanan sehari-hari. Bentuk perlawanan seharihari terjadi secara terus menerus antara tukang Bajaj dan polisi yang meminta jatah rokok. Perlawanan sehari-hari ini tidak sampai pada taraf terang-terangan atau terbuka. Jika tukang Bajaj melakukan perlawanan secara terbuka, misalnya memprotes tindakan polisi atau melaporkan oknum polisi kepada institusinya, maka kekalahan dapat dipastikan akan mereka terima. Pasalnya, yang mereka lawan adalah aparat resmi yang memiliki kewenangan dalam hal menindak mereka. Sebagai bentuk perlawanan tukang Bajaj kepada polisi yang meminta jatah rokok, tukang Bajaj berpura-pura patuh dan hormat ketika polisi menghampiri dan meminta jatah rokok kepada mereka. Namun, ketika “di belakang” mereka mengumpat polisi sejadijadinya, terlihat dari ungkapan Pak Mingin dengan menyebut polisi sebagai “bapakmu”— berkonotasi kasar—kepada Pak Sali. Inilah yang menjadi bentuk perlawanan sehari-hari dari tukang Bajaj kepada polisi yang meminta jatah rokok (lihat juga Scott, 2000; Suryana, 2007). Sedangkan aplikasi negosiasi dengan “LLD” terjadi saat tukang Bajaj melakukan KIR. KIR merupakan suatu proses yang harus dilakukan oleh semua angkutan umum, tak terkecuali Bajaj. KIR dilakukan oleh Dinas Perhubungan, untuk menentukan layak atau tidaknya suatu angkutan umum beroperasi. Tentunya KIR hanya diperuntukan bagi angkutan umum yang resmi sesuai hukum formal. Dalam dunia perbajajan, dikenal adanya Bajaj “bodhong” yang beroperasi layaknya Bajaj resmi. Dalam beroperasi Bajaj “bodhong” dibekali dengan surat-surat fotocopy-an milik Bajaj resmi. Satu unit surat Bajaj resmi, bisa diturunkan untuk beberapa Bajaj “bodhong”. Dengan kondisi demikian, maka Bajaj “bodhong” berada sangat jauh dari aturan formal yang berlaku, termasuk KIR. Dalam pengamatan penulis, tidak ada seorang pun dari komunitas tukang Bajaj di RW 07 Cipete Utara narik Bajaj “bodhong”. Namun, masih dalam wilayah Cipete Utara, penulis menemukan adanya seorang pengusaha yang

71

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

menjalankan usaha Bajaj “bodhong”. Ms adalah pengusaha Bajaj “bodhong” yang berasal dari Magetan Jawa Timur. Konon, ia memiliki puluhan Bajaj “bodhong”. Untuk “melicinkan” usahanya, Ms bekerja sama dengan polisi dan Dishub (“LLD”). Agar usaha Bajaj “bodhong”nya tidak diusik aparat, ia memberikan “jatah keamanan” kepada kedua pihak tersebut. Selain itu, Ms juga memberikan tulisan “KD” di setiap Bajajnya. Menurut suatu sumber, anggota polisi atau Dishub rutin datang setiap bulan ke lokasi usaha Ms untuk mengambil “jatah keamanan” yang mencapai jutaan rupiah. Sementara saat pengurusan KIR, tukang Bajaj dihadapkan pada sistem percaloan dimana petugas Dishub (LLD) ikut memainkan peran melanggengkan sistem tersebut. Maka untuk “menembus” sistem tersebut tukang Bajaj menggunakan jasa “Amri”, seorang calo tunggal yang khusus mengurus KIR Bajaj yang beroperasi di Jakarta Selatan. Meskipun “Amri” bukanlah petugas “LLD”, ia memiliki jaringan yang luas dan pergaulan yang akrab dengan sistem dan petugas “LLD”. Menurut pengakuan tukang Bajaj, mereka selalu menggunakan jasa “Amri” setiap KIR. Konon, jika tidak menggunakan jasa “Amri”, maka pengurusan KIR Bajaj akan memakan waktu yang lama (lihat juga Muhammad dan Nubianto, 2006: 114-121). Foto 5. Situasi di UPT UK Pulo Gadung

Sumber: Koleksi Pribadi

Pengurusan KIR melalui “Amri” sebagai calo tunggal membutuhkan biaya KIR yang berkisar antara Rp. 105.000-Rp. 120.000, tergantung ada tidaknya pergantian buku KIR. Padahal secara normatif, KIR Bajaj hanya berkisar antara Rp. 40.000-Rp. 60.000 (termasuk

buku KIR baru).4 Sementara secara keselurahan, dalam pengamatan penulis KIR Bajaj yang dilakukan hanya menekankan pada aspek fisik Bajaj, seperti kap dan cat body Bajaj. Aspek lain yang juga menjadi syarat adalah kelengkapan surat-surat, seperti STNK, Ijin Usaha dan Ijin Trayek. Apabila kesemuanya bagus dan lengkap dan disertai dengan uang yang cukup, maka dijamin Bajaj pasti akan lulus KIR dengan waktu yang singkat. Situasi dimana tukang Bajaj menjalani KIR terekam dalam aktivitas Pak Mingin dan Mas Gepeng pada 27 Februari 2010. Penulis yang ikut serta bersama Pak Mingin dan Mas Gepeng sampai di UPT UK pulo Gadung pada pukul 09.30 WIB. Tidak lama setelah kami sampai, “Amri” sebagai calo yang menangani Bajaj seJakarta Selatan menghampiri kami. Tanpa basabasi, ia langsung meminta beberapa fotokopian surat-surat Bajaj sebagai syarat KIR. Setelah itu, Bajaj Pak Mingin dan Mas Gepeng diamati oleh seorang petugas berseragam Dishub, dan Bajaj mereka dinyatakan lulus secara pengamatan fisik. Selanjutnya, sambil mereka menunggu proses pembuatan buku KIR, “semprotan KIR” Bajaj mereka dicat ulang oleh dua orang petugas berseragam wearpack.

3. Pengetahuan Adaptasi Kebajajan Pengetahuan taktis kebajajan yang ketiga adalah pengetahuan adaptasi, yakni serangkaian tindakan dan kesadaran kolektif tukang Bajaj untuk menciptakan suasana nyaman di suatu area dimana mereka bertempat tinggal dan mangkal (sebagai pembanding lihat Pelly, 1994: 83). Pengetahuan adaptasi terbagi menjadi dua wujud, yakni hubungan internal komunitas, yang melibatkan hubungan antar sesama tukang Bajaj asal Magetan, dan hubungan eksternal komunitas, yang melibatkan tukang Bajaj asal Magetan (Bajaj 2 Tak) dengan tukang Bajaj BBG. Sama halnya dengan pengetahuan teknis dan taktis, pengetahuan adaptasi juga mendorong tukang Bajaj untuk mencapai survive. Hubungan Internal Komunitas. Bentuk pengetahuan adaptasi internal komunitas yang pertama adalah arisan tukang Bajaj. 4

Secara normatif, uji kelayakan kendaraan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi, dalam Bagian Ketiga tentang uji berkala dan Perda Nomor 12/2003 tentang kewajiban uji kir bagi angkutan umum dan niaga di Jakarta.

72

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

Bagan III. Pengetahuan Adaptasi Kebajajan Hubungan Eksternal Komunitas (dengan Tukang Bajaj BBG)

Hubungan Internal Komunitas

Pengetahuan Adaptasi

Diolah dari data lapangan

Bagi para tukang Bajaj arisan (rotation credit association) memiliki makna ekonomi tersendiri. Arisan berfungsi sebagai “pasar uang” dan institusi ekonomi penyangga yang perannya sangat penting bagi para tukang Bajaj (sebagai pembanding lihat Ahmadi, 2003). Dalam pengamatan penulis, di RW 07 Cipete Utara ada beberapa arisan yang diikuti oleh tukang Bajaj asal Magetan. Secara spesifik, arisan yang “dibandari” oleh Mas Karbit merupakan arisan tukang Bajaj yang memiliki setoran (Rp. 500.000/bulan) dan hasil uang arisan terbesar (Rp. 5 juta/bulan). Arisan ini diikuti oleh 10 orang anggota dan arisan diputar setiap bulan pada tanggal 20. Ada perbedaan alokasi uang hasil arisan di kalangan tukang Bajaj yang masih lajang dengan tukang Bajaj yang sudah berkeluarga. Bagi tukang Bajaj yang masih lajang, uang hasil arisan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan membantu orang tua di kampung halaman. Mas Rohman misalnya, beberapa periode lalu namanya keluar dalam kocokan arisan. Uang sebesar Rp. 5.000.000 (892,85 liter beras) ia gunakan sebagian untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Sedangkan sebagian lagi ia gunakan untuk merenovasi rumah orang tuanya di kampung halaman. Ia mengakui untuk merenovasi rumah orang tua ia lakukan atas dasar permintaan orang tua. Permintaan orang tuanya kepada Mas Rohman didasari karena Mas Rohman masih lajang. Untuk meminta kepada anak-anaknya yang lain, orang tua Mas Rohman merasa sungkan karena mereka sudah menikah dan memiliki kebutuhan rumah tangga masing-masing.5 5

Wawancara dengan Mas Rohman, 2 Mei 2010.

Sedangkan bagi tukang Bajaj yang sudah berkeluarga, uang hasil arisan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan investasi. Pak Sarikun misalnya, ia telah mengikuti arisan selama delapan periode. Pak Sarikun mengakui bahwa uang hasil arisan ia gunakan untuk membeli sapi gadohan6. Beberapa waktu lalu ia pernah menggunakan uang arisan untuk merenovasi rumahnya di kampung halaman. Ia merencanakan akan menggunakan uang hasil arisan untuk biaya sekolah anaknya.7 Bentuk pengetahuan adaptasi internal komunitas yang kedua adalah penghimpunan uang layatan. Uang layatan merupakan bentuk hubungan antara komunitas tukang Bajaj asal Magetan sebagai perantau di Jakarta, dengan kerabat mereka di kampung halaman. Uang layatan selalu mereka himpun ketika mendapatkan kabar bahwa seorang kerabat di kampung halaman meninggal dunia. Uang layatan menjadi suatu bentuk belasungkawa dari para perantau yang ada di Jakarta kepada kerabat yang berduka. Di sisi lain, uang layatan menjadi kompensasi atas ketidakhadiran mereka di tengah kerabat yang berduka. Seperti yang diungkapkan Pak Suwardi, yang menjadi penghimpun uang layatan di komunitas tukang Bajaj: “...itu kalo di kampung itu ada yang meninggal, kita kan gak bisa ngelayat ke sono, nah itu gantinya uang...”8

Dalam praktiknya, uang layatan akan di6

7 8

Sapi Gadohan adalah bentuk kerjasama antara pemilik sapi dengan perawat sapi. Keuntungan hasil penjualan sapi dibagi kedua belah pihak secara merata, dengan dipotong modal pembelian sapi. Wawancara dengan Pak Sarikun, 21 Mei 2010. Wawancara dengan Pak Suwardi, 31 April 2010.

73

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

Bagan IV. Pengetahuan Adaptasi (Internal Komunitas)

Uang Layatan Arisan Tukang Bajaj

Membantu Perbaikan Bajaj Pengetahuan Adaptasi (Internal Komunitas)

Diolah dari data lapangan

himpun ketika mereka mendengar berita duka dari kampung halaman. Pak Suwardi, yang menjadi penghimpun uang layatan, akan terlebih dahulu memberitahu perihal akan dihimpunnya uang layatan kepada teman-teman se-kampungnya yang berada di RW 07 Cipete Utara. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan uang layatan yang dikumpulkan. Setiap uang yang diberikan, dicatat disebuah buku tulis, berdasarkan nama pemberi dan nominal yang diberikan. Hal ini dilakukan Pak Suwardi untuk menghindari prasangka buruk dari temantemannya dan sebagai bentuk transparansi keuangan sederhana yang dilakukan komunitas tukang Bajaj dalam hal menghimpun uang layatan. Seringkali, uang yang terhimpun akan dikirim via transfer bank. Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) digunakan Pak Suwardi, untuk mentransfer uang layatan ke sebuah rekening milik seorang kerabat di kampung halaman. Uang yang ditransfer berjumlah Rp. 260.000, Rp. 250.000 untuk kerabat yang berduka, dan yang Rp. 10.000 dialokasikan untuk “uang bensin” bagi kerabat yang mengambil uang layatan di bank. Biaya transfer sebesar Rp. 2000, juga masuk anggaran uang layatan. Jadi total keseluruhan uang layatan termasuk biaya “operasional” sebesar Rp. 262.000. Terkadang uang layatan juga dititipkan bila ada teman yang akan pulang kampung.9 9

Sebagai informasi tambahan, tukang Bajaj juga melakukan remitensi (pengiriman uang melalui bank) kepada keluarga mereka di kampung. Remitensi yang dilakukan bertujuan untuk memberikan nafkah kepada anak atau istri mereka. Dalam pengamatan penulis, tukang Bajaj lebih sering melakukan remitensi dari pada menitipkan uang untuk anak-istri mereka

Besar kecilnya uang layatan yang diberikan bervariasi, mulai dari Rp. 10.000 hingga Rp. 30.000, tergantung keikhlasan. Menurut Pak Suwardi, uang sebesar Rp. 250.000, yang diberikan kepada kerabat yang berduka, tidak memandang kaya-miskinnya kerabat yang berduka, melainkan sebagai suatu kesepakatan bersama dari para perantau di Jakarta. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari kecemburuan sosial yang mungkin saja akan muncul, bila uang layatan yang diberikan didasarkan pada asumsi kaya-miskinnya kerabat yang berduka. Maka dari itu, bila uang layatan belum mencapai nominal yang disepakati, Pak Suwardi yang dibantu beberapa orang lainnya, akan berusaha mengumpulkan uang hingga mencapai nominal yang disepakati. Bila uang layatan yang terkumpul lebih banyak, kelebihan uang layatan akan disimpan, dan dianggap sebagai kas layatan. Kas layatan ini akan dimanfaatkan jika terjadi kekurangan uang layatan pada waktuwaktu berikutnya. Bentuk pengetahuan adaptasi internal komunitas yang ketiga terlihat dalam kerjasama yang dilakukan sesama tukang Bajaj asal Magetan. Ketika salah satu Bajaj milik mereka rusak atau mengalami perbaikan misalnya, mereka tak segan saling membantu untuk memperbaiki kerusakan Bajaj tersebut. Aktivitas ini tidak lepas dari faktor dekatnya rumah kontrakan tukang Bajaj di RW 07 Cipete Utara. Aktivitas perbaikan Bajaj terlihat pada kepada kerabat yang akan mudik.

74

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

tanggal 21 April 2010. Bertempat di warung nasi Pak Sudarman Pak Karno dan beberapa orang lainnya sedang memperbaiki Bajaj. Perbaikan Bajaj ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan Bajaj Pak Sakiran agar lulus KIR. Namun, jauh hari sebelumnya, Pak Sakiran pulang ke kampung halamannya untuk menjenguk mertuanya yang sakit keras. Praktis, persiapan Bajaj Pak Sakiran ditangani oleh Pak Karno yang tak lain adalah kakak kandungnya. Sebelum menjalani KIR, Pak Karno yang dibantu oleh Mas Rohman, Pak Sayid dan Pak Supar, yang tak lain adalah teman se kampung, memperbaiki beberapa bagian Bajaj. Supaya lulus KIR, hal yang menjadi perhatian adalah bagian kap dan cat body. Pekerjaan yang dimulai sejak pagi, dan baru selesai ketika hari menjelang siang. Sebagai bentuk terima kasih, Pak Karno menyiapkan beberapa bungkus rokok, minuman, dan makan siang bagi Mas Rohman, Pak Sayid dan Pak Supar. Hubungan Eksternal. Wujud pengetahuan adaptasi yang kedua adalah hubungan eksternal komunitas. Hubungan ekternal komunitas terjadi antara tukang Bajaj asal Magetan yang merupakan tukang Bajaj 2 Tak, dengan tukang Bajaj BBG. Hubungan diantara keduanya dibumbui dengan intrik persaingan dalam mendapatkan penumpang di pangkalan yang telah “mapan” menjadi tempat mangkal Bajaj 2 Tak. Tukang Bajaj 2 Tak menyadari bahwa keberadaan Bajaj BBG di pangkalan akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan penumpang—karena penumpang cenderung memilih Bajaj BBG yang relatif baru dan nyaman. Di Pangkalan Melawai misalnya, hanya ada dua unit Bajaj BBG yang mangkal di pangkalan tersebut. Keberadaan mereka terkesan tidak diusik oleh tukang Bajaj lainnya (Bajaj 2 Tak) karena kedua tukang Bajaj BBG tersebut merupakan mantan tukang Bajaj 2 Tak yang telah mereka kenal. Lain halnya apabila tukang Bajaj BBG yang mangkal adalah tukang Bajaj BBG yang tidak mereka kenal. Tanpa sungkan mereka akan mengusir secara paksa tukang Bajaj BBG tersebut. Jangankan tukang Bajaj BBG yang tidak kenal, tukang Bajaj 2 Tak yang tidak dikenal dan tiba-tiba mangkal pun akan mendapatkan perlakuan kurang nyaman, seperti diacuhkan atau dipandang sinis. Hal

ini dilakukan tukang Bajaj agar persaingan di pangkalan tidak semakin ketat dengan keberadaan Bajaj lain. Persaingan antara Bajaj 2 Tak dengan Bajaj BBG tidak hanya terjadi di pangkalan. Persaingan antara keduanya juga terjadi di jalan. Pak Tarno misalnya, ia adalah tukang Bajaj 2 Tak asal Magetan yang menetap di RW 07 Cipete Utara. Pak Tarno mengatakan pernah diprovokasi oleh tukang Bajaj BBG di jalan. Tukang BBG tersebut menghentak gas sekeraskerasnya, yang bermakna provokasi untuk mengajak balapan. Tukang Bajaj BBG menyadari bahwa Bajaj mereka lebih kencang dari pada Bajaj 2 Tak.

Penutup Dibalik wacana akan dihapuskannya Bajaj sebagai moda transportasi umum DKI Jakarta, Bajaj menyimpan suatu dunia sendiri, yakni struktur pengetahuan praktis kebajajan. Pengetahuan praktis inilah yang menjadi media bagi tukang Bajaj untuk mencapai survive (surplus dan subsistensi ). Dengan struktur pengetahuan praktis kebajajan, yang ditopang tiga sub pengetahuan praktis kebajajan (teknis, taktis dan adaptasi) tukang Bajaj berusaha merespon secara kolektif berbagai tantangan, resiko dan persaingan yang menghambat pencapaian surplus dan subsistensi. Mengesampingkan wacana penghapusan Bajaj (2 Tak) yang akan digantikan dengan Bajaj BBG, serta struktur pengetahuan praktis kebajajan yang diulas dalam tulisan ini, ternyata Bajaj (2 Tak) memiliki kenangan kolektif di benak warga Jakarta, yang dibumbui dengan kekonyolan-kekonyolan. Pada tahun 1980, kekonyolan tentang Bajaj terekam dalam film “Gengsi Dong”, yang dimainkan oleh Dono, Kasino, Indro, yang pada masanya dikenal sebagai komedian paling fenomenal. Film tersebut menceritakan tentang kehidupan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Dono berperan sebagai Slamet, anak juragan tembakau kaya asal Jawa. Kasino berperan sebagai Sanwani, pemuda Betawi, anak seorang pemilik bengkel kecil, dan Indro berperan sebagai Paijo, seorang anak pengusaha minyak asal Medan. Dalam suatu scene film tersebut, terekam suatu kekonyolan Bajaj. Berawal ketika Dono, di hari pertama kuliahnya, menaiki Bajaj

75

Setiawan, Struktur Pengetahuan Praktis Kebajajan

untuk sampai ke kampusnya. Ketika Dono turun dari Bajaj, tubuhnya bergetar hebat karena feedback atau getaran mesin yang ditimbulkan oleh Bajaj yang dinaikinya. Kenangan kolektif dari Bajaj juga terekam dalam komedi situasi Bajaj Bajuri. Komedi situasi Bajaj Bajuri disiarkan stasiun televisi Trans TV pada tahun 2005. Di sini, Bajaj diposisikan sebagai icon sentral dalam situasi komedi Bajaj Bajuri. Komedi situasi Bajaj Bajuri yang bercerita tentang kehidupan kelam masyarakat kota Jakarta kelas pinggiran yang tinggal di gang kumuh dan penuh sesak dengan segala permasalahannya. Kehidupan sosial dalam komedi situasi Bajaj Bajuri merupakan cerminan masyarakat yang memiliki hubungan interaksi dengan masyarakat lainnya. Melalui kelucuan situasi, dialog-dialog kocak dan cerdas, serta mengarah pada komedi yang elegant, Bajaj Bajuri berhasil menarik hati para penontonnya (lihat Syafaruddin, 2007). Di masyarakat luas, kekonyolan dan sinisme tentang Bajaj juga terekam dalam memori kolektif. Ungkapan yang menyatakan bahwa “hanya tukang Bajaj dan Tuhan saja yang tahu, kapan Bajaj akan berbelok”, merupakan salah satu contohya. Ungkapan ini sedikit banyak telah melekat dalam memori kolektif yang mengandung unsur kekonyolan, sekaligus sinisme yang ditujukan kepada tukang Bajaj— karena Bajaj tidak dilengkapi dengan lampu sign. Tidak hanya itu, pernyataan bahwa “berada di belakang Bajaj merupakan suatu musibah”, juga melekat pada Bajaj dalam memori kolektif masyarakat luas. Hal ini dikarenakan asap mengepul dan suara bising yang dihasilkan knalpot Bajaj menganggu orang-orang yang ada di belakangnya.

yang dimiliki oleh komunitas tukang Bajaj. Penolakan mereka dengan tidak narik atau memiliki Bajaj “bodhong” sebagai media mencari nafkah misalnya, menjadi perwujudan kesadaran hukum bagi komunitas tukang Bajaj asal Magetan. Memang, tindakan dan pilihan tersebut tidak lepas dari konsepsi “halalharam”, “berkah-tidak berkah” yang dimiliki komunitas tukang Bajaj asal Magetan. Sementara wujud kesadaran hukum yang kedua tampak dari keikutsertaan KIR untuk Bajaj-Bajaj mereka. Meskipun mereka melakukan KIR melalui jalur calo—bertentangan dengan hukum, namun hal itu dapat dipandang sebagai suatu keterpaksaan yang harus mereka jalani. Ketertiban dan kepatuhan mereka untuk mengikutsertakan Bajajnya dan membayar pajak merupakan suatu simpul “bakat” kemadanian yang mereka miliki. Ciri Kedua, komunitas tukang Bajaj asal Magetan bisa menerima suatu perubahan atau program pemerintah yang mempermudah kehidupan mereka. Remitensi melalui bank, meskipun terkadang menitipkan uang kepada teman yang akan mudik, menjadi bukti bahwa komunitas tukang Bajaj asal Magetan menerima program pemerintah. Sebagai komparasi, dalam penelitian penulis mendapatkan informasi bahwa komunitas tukang Bajaj asal Tegal tidak melakukan remitensi melalui bank, sebagaimana yang dilakukan komunitas tukang Bajaj asal Magetan. Menurut informasi yang berkembang, komunitas tukang Bajaj asal Tegal melakukan remitensi melalui agen perjalanan yang biaya pengirimannya lebih besar dari pada biaya pengiriman di bank.

Pustaka Acuan

Di balik marjinalitas sosial-ekonomi yang dialami oleh tukang Bajaj dalam konteks perkotaan, komunitas tukang Bajaj memiliki “bakat” untuk menjadi masyarakat madani. Hal ini tidak terlepas dari struktur pengetahuan praktis kebajajan yang mereka miliki. Dengan struktur pengetahuan praktis kebajajan, terlihat berbagai pilihan hidup yang tersemat dan teraplikasi dalam kehidupan komunitas tukang Bajaj. Pilihan hidup inilah yang menjadi ciri masyarakat madani.

Jellinek, Lea. (1994). Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta. Jakarta: LP3ES.

Ciri pertama adalah kesadaran hukum

Ahmadi, Sambirang. (2003). Perkembangan Ekonomi

Pelly, Usman. (1994). Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Riyanto, Geger. (2009). Peter L Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Scott, C James. ([1983] 2000). Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Terjemahan A. Rahman Zainuddin, dkk. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

76

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 60-76

Komunitas Orang Madura di Sumbawa, NTB: Sebuah Analisis Kapital Sosial. Jakarta: Institute for Strategy and Competitiveness-Program Pasca Sarjana Ilmu Manajemen FE-UI. Mardjuki. (1986). Suatu Alternatif Pengalihan Pekerjaan Pengemudi Becak ke Pengemudi Bajaj untuk Meningkatkan Pendapatan di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur, Skripsi Universitas Negeri Jakarta. Rhamdani, Roni Firman. (2008). Di Tengah Kelangkaan Lapangan Kerja: Potret Otentisitas Kewirausahaan Lokal, dalam Jurnal Scripta Societa Menerka Konfigurasi, Menakar Struktur: Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Urban Vol.

2 No. 1, September 2008. Jakarta: Lab.Sosiologi UNJ. Simanjuntak, Twela Gunawan. (1985). Peranan Kendaraan Angkutan Jenis IV Sebagai Satu Sarana Angkutan Dalam Kota, Skripsi Universitas Indonesia. Suryana, Asep. (2007). Suburbanisasi dan Kontestasi Ruang Sosial di Citayam- Depok. Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Universitas Indonesia. Syafaruddin. (2007). Aspek Humor dalam Sinetron Komedi Situasi Bajaj Bajuri, Skripsi Universitas Negeri Jakarta.

77

Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran: Konseptualisasi Habitus untuk Sosiologi-Pedagogis Robertus Robet dan U. Abdul Rozak R Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: [email protected] [email protected]

Abstract To what extend is a sociological theory is learning theory? This essay is begun with a critical assessment on economic and political determinism in development. In order to achieve a unified body of sociology and pedagogy, economic and political determinism should be replaced by anthropological determinism. To do that, this essay takes Pierre Bourdieu’s sociological theory especially his concept on habitus and practices. In Bourdieu’s position, a theory on structure should also a theory on human practices in historical complexity and specifity. Through Bourdieu conceptual framework there is a possibility to construct sociology as pedagogy.

Keywords: dualism, sociology, paedagogy, habitus, practice.

Pendahuluan Transformasi manusia dan masyarakat Indonesia adalah obsesi yang telah muncul semenjak kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Untuk mencapai tujuan itu, sejarah masyarakat Indonesia memperlihatkan bahwa banyak pemerintahan mempertahankan konsep dan kebijakan yang meskipun beragam di tingkat akstentuasi namun secara paradigmatis sama. Konsep itu adalah dualisme antara pendidikan dan proses sosial. Semua kebijakan memandang transformasi masyarakat bisa dijalankan secara terpisah dengan transformasi manusianya. Keterpisahan itu terefleksi ke dalam praktik yang memisahkan tujuan transformasi itu ke dalam bidang yang berbeda-beda: transformasi manusia diarahkan pada institusi dan formalisasi pendidikan, sementara transformasi masyarakat dipusatkan pada kalau bukan politik-ideologi (era Soekarno), pada pembangunan ekonomi (era Soeharto). Pemisahan atau dualisme ini nampak dari pandangan yang telah menjadi konsensus dari semua pihak yakni bahwa –misalnya– pembangunan ekonomi atau kemajuan ekonomi perlu diupayakan sehingga dengan itu bisa membiayai pendidikan atau meningkatkan taraf pendidikan. Pemisahan yang sama juga bisa ditemukan dalam gagasan mengenai politik yang mengambil posisi

–misalnya– demokrasi hanya bisa matang dan produktif dalam masyarakat yang lebih terdidik. Pemisahan ini menimbulkan beberapa kesalahan besar: kesalahan pertama adalah dengan mengatakan bahwa transformasi masyarakat terpisah dengan pendidikan atau transformasi manusia, maka pemikiran ini menerima pandangan yang keliru bahwa seakanakan proses ekonomi dan politik tidak memiliki akibat-akibat langsung maupun tak langsung terhadap pembentukan manusia/transformasi manusia. Atau yang kedua, dengan pemisahan itu, pendidikan atau transformasi manusia bisa dipikirkan sebagai resultan setelah sosial atau politik tertentu terlaksana. Akibatnya – yang ketiga – pandangan ini menghasilkan suatu ide mekanis mengenai pendidikan manusia. Ia gagal melihat bahwa manusia bertindak dan berubah ‘di dalam proses’. Manusia adalah proses kehidupan, dan proses itu berlangsung selama manusia hidup. Dengan demikian selama proses-proses sosial berlangsung selama itu pula akibat-akibat langsung maupun tak langsungnya akan berpengaruh/dipengaruhi oleh manusia. Dalam segi praktisnya, kesalahan itu kemudian muncul dalam ‘kecanggungan’ yang menunjukkan diskrepansi antara pandangan-

78

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 77-88

pandangan ideal dalam pendidikan dengan mekanisasi dalam pendidikan. Di satu sisi pendidikan masih tersebut dalam nuansa abstrak normatifnya (luhur, mulia, kelanjutan bangsa, regenerasi budaya) akan tetapi di sisi yang lain, secara praktis ia tidak lebih dari produk atau teknik birokratisasi. Pada tahap yang lebih luas muncul kebiasaan untuk memandang pendidikan sebagai bidang terbatas, seksional bahkan terbirokratisasi pada satu segmen saja. Yakni bahwa pendidikan itu diurus departemen a, dilaksanakan di gedung sekolah b, diajarkan guru c dengan kurikulum d. Sementara di sisi lain, bidang-bidang seperti ekonomi dan politik juga tidak dipandang sebagai bidang yang berefek ‘mendidik’. Politik, ekonomi dan dunia sosial lainnya dilepaskan dari fungsi edukatifnya. Pada akhirnya, kita hanya meletakkan tujuan transformasi manusia semata-mata pada buku pelajaran dan sekolah, dan gagal memahami bahwa justru dunia sosial serta proses sosial di dalamnya diam-diam juga membentuk dan mengarahkan kemana manusia itu pergi. Di sini, kita mengalami tiga kerugian besar; pertama dunia pendidikan menjadi sangat terbatas dan terspesialisasi secara birokratik. Kedua dunia sosial kehilangan dimensi edukatifnya, sementara edukasi dipisahkan dari kehidupan. Ketiga, dunia pendidikan dan pendidik diposisikan ke dalam bidangbidang yang kalau bukan abstrak-psikologis maka teknis-instrumentalis. Pendidikan tidak dianggap sebagai bidang makro-strategis. Salah satu isu yang bisa dijadikan bukti –meskipun sedikit bernuansa teknokratis– dalam menunjukkan pemisahan/dualisme ini adalah berlakunya pandangan serta kebijakan, misalnya, kebiasaan menetapkan semua ketua Bappenas dan Menkoekuin adalah orang yang mengerti ekonomi. Intinya semua jabatanjabatan itu biasanya diberikan kepada ekonom atau insinyur yang menjadi ekonom. Kebiasaan semacam ini menunjukkan bahwa tujuantujuan pendidikan masih dipandang terpisah dari proses ekonomi. Dan bahwa ekonomilah yang mendikte ‘pembangunan pendidikan/ transformasi manusia’. Padahal kalau diterima posisi normatif bahwa tujuan pembangunan adalah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ maka bukankah tujuan-tujuan ekonomi yang mestinya menyesuaikan dengan tujuan pendidikan?

Dengan mempertimbangkan persoalan di atas maka penelitian ini bermaksud memberikan jalan keluar untuk mengatasi pemisahan antara dunia sosial dengan pendidikan melalui sebuah refleksi teoritis. Permasalahan utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, bagaimana mungkin menjadikan totalitas proses sosial sebagai basis utama bagi proses pembelajaran? Kedua, jika memang memungkinkan, lantas apa saja prasyarat teoritis-taktis yang diperlukan guna mengimplementasikannya?

Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan strategi sebagai berikut: Pertama, mencari berbagai penjelasan teoritis yang paling memadai untuk menjelaskan kesatuan antara pendidikan dan proses sosial. Di titik ini bidang-bidang yang dipisahkan dengan pendidikan (ekonomi dan politik) akan disatukan dalam konsep proses sosial. Dengan itu penelitian ini pada akhirnya juga mau menunjukkan bagaimana teori social, dalam hal ini teori sosiologi, bisa sekaligus dijadikan teori pendidikan (integrasi/ dualitas teori). Kedua, rekonseptualisasi teoriteori tersebut dengan menjelaskan makna edukatifnya. Untuk itu, penelitian ini akan dilakukan dengan metode hermeneutis dalam bidang sosiologi pengetahuan. Hermeneutika yang digunakan di sini berbasis pada metode Richard Rorty mengenai ‘historical reconstructives’ terhadap teks-teks. Teks ditafsirkan untuk kemudian diproblematisasi dengan persoalanpersoalan di luar teks untuk kemudian dicari kesimpulan-kesimpulan (1984).

Hasil dan Pembahasan 1. Dualisme dan Ekonomisasi Proses Sosial dan Pendidikan Masa-masa pasca kemerdekaan awal (19451969) merupakan masa yang seringkali disebut sebagai era instabilitas politik. Masa ini ditandai dengan tujuh kali jatuh bangunnya kabinet dengan rerata 14 bulan per masa pemerintahan (Syamdani, 2001: 79). Meskipun demikian, di masa ini pun terdapat empat dokumen perencanaan pembangunan. Masing-masing adalah: 1) Siasat Pembangunan Ekonomi, 1947,

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

diketuai Muhammad Hatta. 2) Rencana Urgensi Perekonomian, 1951. 3) Rencana Djuanda, 1955. 4) Pembangunan Nasional Semesta Berencana, 1960-1969. Prof. Mubyarto menyebut periode ini dengan sebutan yang tepat, tapi dalam intensi yang sinis. Menurutnya periode hingga tahun 1965 tidak ada pemikiran ekonomi karena ekonomi berada di bawah subordinasi politik. Dengan politik sebagai panglima maka ekonomi dianggap hilang (P. G. Suroso, 1994). Pandangan Mubyarto ini pada dasarnya mengawali suatu penalaran baru dalam ekonomi yang kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yakni penalaran mengenai ekonomi yang steril. Ekonomi yang mengabdi semata-mata untuk ekonomi. Dalam turunannya, inilah ekonomi kapitalis sejati –yang sebenarnya turut ditentang oleh pandangan Ekonomi Pancasila Mubyarto. Pandangan era Soekarno yang memposisikan ekonomi sebagai aparatus, pada dasarnya secara moral tepat. Karena dalam tujuan negara manapun, tujuan-tujuan ekonomi tunduk di bawah tujuan negara. Pandangan Soekarno bahwa politik sebagai panglima di sini mesti ditafsirkan bahwa dunia ekonomi, industri dan bisnis harus tunduk pada regulasi dan politik negara. Yang jadi soal kemudian adalah sejauh mana derajat pengendalian negara itu dimungkinkan untuk mencapai ekonomi yang sehat dan kreatif? Kita tentu saja boleh berargumen bahwa ekonomi di bawah Soekarno tidak mampu mencapai keadilan, namun di masa itu debat mengenai mazhab, ideologi dan proses ekonomi terjadi secara terbuka dan hidup. Dengan posisi semacam itu maka jelaslah, bahwa di era Soekarno, bukan ekonomi yang dianggap mampu mentransformasikan manusia melainkan dunia dan aktivitas politik. Khususnya lagi aktivitas politik kolektif. Lantas di mana tempat pendidikan dalam ketegangan ekonomi versus politik yang keras itu? Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan dalam era ini terkait erat dengan tujuantujuan nasionalisme Indonesia. Pendidikan menjadi bagian inheren dari proyek nation and character buiding. Dengan kata lain pendidikan diintegrasikan kedalam dan tunduk di bawah tujuan-tujuan kepolitikan.

79

Peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru sendiri merupakan salah satu ‘tikungan curam’ dalam kepolitikan kita yang ditandai dengan propaganda pemerintahan baru untuk menggantikan jargon “politik sebagai panglima” dengan “ekonomi sebagai panglima”. Jargon metaforik ini pada dasarnya merupakan efisiensi simbolik yang meringkaskan persepsi umum bahwa politik dinilai gagal menterjemahkan amanat konstitusi 1945. Sebagai gantinya, pemerintahan Orde Baru mengusung proyek jangka panjang pembangunan ekonomi sebagai anti tesis sekaligus peta jalan baru untuk mengantarkan Indonesia ke dalam cita-cita konstitusionalnya (Moertopo, 1972). Penerimaan luas atas peralihan efisiensi simbolik seperti ini dinilai cukup wajar mengingat indikator ekonomi-politik saat itu menunjukkan bahwa Indonesia yang merupakan negara baru memang belum mampu mencapai esensi kemerdekaannya yang paling subtil. Indikatornya bisa dilihat melalui data statistik berikut dimana kondisi ekonomi menjelang saat-saat pergantian kekuasaan memburuk, yang ditandai dengan tingginya angka inflasi mencapai 732 persen antara tahun 1964-1965 dan masih bertahan pada kisaran 636 persen untuk tahun 1965-1966 (Booth and McCawley, 1981b: 108). Beban hutang luar negeri pun begitu berat, yakni berada pada angka 2.358 juta US$ yang membuat prospek pemulihan dan pembangunan ekonomi begitu suram (Kim & Arndt, 1996: 5). Di bidang politik, silih bergantinya sistem pemerintahan dan jatuh bangunnya pemerintahan menjadi indikator penting untuk melihat betapa tidak stabilnya situasi politik di masa ini. Ancaman keamanan dan disintegrasi datang dari dalam maupun luar negeri. Puncak dari ekspresi kekecewaan atas situasi ekonomi politik ini pada akhirnya berujung pada pergantian pucuk pimpinan Indonesia pada bulan Maret 1967 dimana Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang hampir ambruk. Hutang luar negeri yang besar, kondisi infrastruktur yang berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan ekspor merosot (430 juta US$) dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak berfungsi lagi (Kim & Arndt, 1996:4).

80

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 77-88

Menghadapi kekacauan ekonomi seperti ini pemerintahan baru, berkonsentrasi membenahi sektor ekonomi dan dalam saat yang sama mengupayakan stabilitas politik yang lebih kukuh dalam rangka memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua poin terakhir pada gilirannya diketahui menjadi dua dari tiga pilar utama yang memutar poros trilogi pembangunan Indonesia (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan). Langkah-langkah strategis-taktis yang ditempuh pemerintahan baru ternyata berdampak efektif terhadap penyusutan hiper inflasi. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun angka inflasi turun ke kisaran 112 persen di tahun 1967, turun lagi ke angka 85 persen pada 1968, menyusut drastis ke kisaran 10 persen pada 1969 dan turun secara moderat ke angka 9 persen di tahun 1970. Prestasi berupa penyusutan angkaangka ini pun berjalin berkelindaan dengan dicapainya berbagai kesepakatan moratorium utang luar negeri dalam bentuk penjadwalan ulang maupun pembebasan utang. Kesuksesan langkah-langkah yang diambil pemerintahan baru inilah yang di kemudian hari menjadi justifikasi sekaligus legitimasi politik pemerintahan Orde Baru untuk mempertegas visi pembangunan ekonominya di sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya. Dengan kepercayaan yang tinggi pada pertumbuhan ekonomi sebagai penyelamat krisis, kepercayaan bahwa transformasi manusia bisa dimulai melalui jalan ekonomi menjadi tak terhindarkan. Setelah Soekarno jatuh, pikiran dan kritik Mubyarto menemukan jalan keluarnya. Sejak tahun 1969, terminologi “pembangunan ekonomi” merupakan terma yang secara konsisten dipilih pemerintah Orba. Sejak itu ekonomi ditempatkan sebagai titik artikulasi yang diharapkan dapat memberi pendasaran atas berbagai gerak penetrasi menuju the good society (Galbraith, 1996: 4). Dengan kata lain, dalam konteks keindonesiaan, terma “pembangunan ekonomi” tidak hanya dipercaya sebagai jalan menuju realisasi the good society, melainkan telah sedemikian rupa direifikasi dan dalam prakteknya dipuja sebagai fundamental yang dipandang akan menopang tegaknya masyarakat yang-baik. Di titik ini, tak syak lagi kita tengah dihadapkan dengan satu set disiplin

pikir fundamentalisme pembangunan ekonomi yang menginginkan totalisasi ekonomi di setiap inci kehidupan sosial. Cara berpikir deterministik seperti ini pada gilirannya kemudian bisa juga dibaca sebagai upaya yang mencoba menawarkan sebentuk skenario bahwa masyarakat yangbaik pada akhirnya hanya akan lahir pasca kemakmuran ekonomi tercipta. Inilah lajur rasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan yang secara resmi dibentangkan sejak 1969. Gagasan ini membentuk satu skema pikir kolektif mengenai apa yang sebenarnya menjadi prioritas bersama terkait apa yang pertamatama harus dilakukan, yakni: bagaimana menciptakan struktur sosial yang mampu memberi landasan bagi kelimpahan ekonomi –karena kelimpahan ekonomi adalah kontinum pertama yang dianggap akan mengantarkan negara pada kontinum keberhasilan lainnya (Rostow, 1960: 6). Setelah keterangan seperti ini ‘diterima’ secara luas, maka sejak saat itu pula kita semua mulai meng-ekonomikan setiap segi dan sendi-sendi terpenting dari keindonesiaan kita. Hasilnya, dengan meminjam terminologi Bourdieu, struktur sosial objektif yang kita miliki saat ini telah dan sedang bersifat sedemikian ekonomistik.

2. Mimesis Struktur Mental Ekonomistik ke dalam Struktur Mental Subyektif Jika struktur sosial objektif Indonesia telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik lantas bagaimana sesungguhnya kedalaman strukur mental kognitif warga secara individual? Memanfaatkan teorisasi Pierre Bourdieu mengenai ‘dialektika agen-struktur’ kita akan mendapati bahwa kedua ranah ini pada dasarnya bersifat saling melengkapi, meneguhkan dan reproduktif satu sama lain. “The analysis of objective structures – those of different fields – is inseparable from the analysis of the genesis, within biological individuals, of mental structures which are to some extent the product of the incorporation of social structures; inseparable, too, from the analysis of these social structures themselves: the social space, and the groups that occupy it, are the product of historical struggles (in which agents participate in accordance with their position in the social space and with

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran the mental structures through which they apprehend this space” (Bourdieu, 1990: 14).

Melalui kutipan di atas kita diberi tahu bahwa analisis terkait struktur sosial objektif akan mengantarkan kita pada suatu simpulan bahwa terdapat kemenyatuan yang logis antara struktur sosial objektif dengan struktur mental individual yang terpresentasi melalui praktik. Namun, Bourdieu tidak lantas berhenti disini dan melanjutkan dengan menyebut bahwa baik habitus maupun struktur sosial objektif secara mendasar memadai dibaca sebagai produk gabungan dari perjuangan historis. Mempertegas hal ini, Bourdieu dalam Outline of a Theory and Practice mengatakan: “In short, the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and hence history, in accordance with the schemes engendered by history. The system of dispositions - a past which survives in the present and tends to perpetuate itself into the future by making itself present in practices structured according to its principles, an internal law relaying the continuous exercise of the law of external necessities (irreducible to immediate conjunctural constraints) - is the principle of the continuity and regularity which objectivism discerns in the social world without being able to give them a rational basis” (Bourdieu, 1977:82).

Habitus atau skema-skema kognitif agen/ warga, dalam teori Bourdieu, merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif. Di sini, dengan langsung mengkontekskannya kedalam struktur mental individual warga di masa Orba dan masa-masa setelahnya, maka struktur mental individual warga pada dasarnya memadai dibaca sebagai struktur yang dihidupi oleh struktur sosial objektif yang telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik. Modus bolak-balik antara struktur obyektif dan struktur mental ini secara unik dapat dilihat dalam narasi politik Orde Baru mengenai Pembangunan di GBHN. Di dalam GBHN selalu dikatakan bahwa “pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya....” (Sastrapratedja dkk, 1986: Ix). Di sini bagi pembaca yang kurang teliti, akan dengan segera menganggap bahwa pembangunan Orde Baru dilaksanakan dengan

81

mengedepankan manusia (baca: pendidikan). Tapi bagi pembaca yang kritis, dengan mudah dapat mengetahui bahwa manusia dalam konstruksi politik Orde Baru sudah bukan lagi manusia dalam pengertian ‘humanitasnya’ yang otonom melainkan telah terlebih dahulu dideterminasi oleh ekonomi, yakni ketika ia disebut dengan istilah ‘manusia pembangunan’. Di titik inilah pembangunan berubah menjadi apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai ‘otoritas paedagogik’. Dalam konteks penggeseran pendidikan di bawah ekonomi-politik Orde Baru, proses yang dijelaskan Bourdieu itu dapat dengan lugas menegaskan bahwa melalui politik pembangunan Orde Baru mentransformasin struktur mental individual sepenuhnya dalam ekonomisasi. Di sini terjadi proses mimesis di mana identitas/struktur terbentuk dalam identitas individu, sebagaimana struktur sosial objektif menghendakinya. Mimesis ini tergelar dalam diskursus mengenai ‘manusia pembangunan’. Di dalam konsep ini jelaslah bahwa tujuan-tujuan pendidikan diletakkan sebagai ‘abdi’ dari tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Meminjam istilah Bourdieu (1977: 82), pembangunan dan ekonomisme menjadi doxa yang di-copy dalam kesadaran individu sebagai model. Dalam habitus ini, aspek interior seperti makna, substansi, normatifitas maupun institusi pendidikan mengalami perubahan. Dalam habitus yang dikendalikan oleh ekonomisasi, lembaga pendidikan berubah dari ‘lembaga’ atau ranah kebudayaan menjadi ranah ekonomi. Gejala perubahan ini secara teliti diperhatikan oleh Ruth MacVey yang menyajikan catatan mengenai gejala masuknya anak-anak kalangan militer dan birokrat kelas atas ke sekolah-sekolah bisnis semacam MBA ketimbang melanjutkan karir militer dan berkecimpung di birokrasi sebagai pegawai negeri. Di sini, regenerasi politik mulai dipandang hanya bisa dilakukan melalui regenerasi dalam pemilikan dan akses kepada ekonomi. Di titik ini pikiran bahwa ekonomi menentukan politik dan pendidikan dengan sendirinya sudah dipraktikkan sebagai habitus. Ini pula yang kemudian memicu pertumbuhan sekolah-sekolah bisnis mulai era pertengahan tahun 1980-an di Indonesia, dan pada akhirnya; bisnis dan ekonomi secara ironis membentuk pendidikan (Priyono, 2005).

82

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 77-88

Lalu apa implikasi dari kesatuan individu dan struktur obyektif pembangunan ekonomi ini? Apa implikasinya terhadap cita-cita realisasi ideal the good society? Apa yang terjadi dengan pandangan pendidikan dan pandangan tentang manusia apabila struktur tindakan-tindakan yang ada dengan sengaja diorientasikan dan dioperasikan semata-mata dalam modus logika tindakan ekonomistik seperti ini?

3. Dominasi Ekonomi dan Hilangnya Dimensi Etis dalam Ekonomi dan Politik Metafora Galbraith mengenai good society dengan tepat menjelaskan implikasi-implikasi paling nyata dari proses ekonomisasi pendidikan dan ekonomisasi bidang-bidang kehidupan lainnya, yakni bahwa sejak itu: masyarakat yang baik didefinisikan dalam kerangka ekonomi. Bukan hanya itu, manusia yang-baik juga pada kenyataannya (terlepas dari pendirian normatif yang disematkan di sekitar pendasaran legal mengenainya) didefinisikan dalam kerangka ekonomisasi.

4. Terpisahnya Sosiologi dari Pendidikan Salah satu implikasi langsung dari bekerjanya cara pandang pemisahan aktor dengan struktur adalah terpisahnya bidangbidang ilmu dengan obyeknya. Dalam hal ini adalah ilmu sosial, yang memang menjadi ranah bagi perkembangan pemikiran aktorstruktur, khususnya teori-teori sosiologi yang disebut Giddens sebagai penganjur ‘konsensus ortodoks’ yakni teori-teori yang mewarisi pandangan struktur fungsi Parsons. Konsensus ortodoks dalam teori sosiologi mengajukan pandangan dualisme sebagai perantara dari kebertubuhan teori yang memisahkan sosiologi dengan subyek yang dikajinya.

Akan tetapi, secara ironis invasi ekonomi dalam kebudayaan ini pada gilirannya juga merusak ekonomi sebagai pranata. Karena persis ketika seluruh dimensi kebudayaan dan humanitas di luar ekonomi ditelan dalam logikanya, maka ekonomi berjalan secara terpisah dengan tujuan-tujuan etisnya. Ekonomi menjadi mesin yang bekerja hanya bagi dirinya sendiri, sambil terus merusak pranata lain di sekitarnya.

Salah satu akibat paling parah dari pemisahan antara struktur dengan aktor atau antara subyek dengan proses sosial adalah terpisahnya teori dengan kebutuhan praktis. Salah satu contoh yang penting kita kemukakan di sini adalah konsep ‘sosiologi pendidikan’. Istilah sosiologi pendidikan mengindikasikan terpisahnya teori sosiologi dengan pendidikan. Teori sosiologi pendidikan telah secara keliru mengikuti struktur logika teori-teori sosiologi lainnya misalnya ‘teori sosiologi keluarga’ yang mengetengahkan konseptualisasi ‘keluarga dan persoalan-persoalannya muncul’ sebagai cermin dari relasi dan proses sosial di dalamnya. Dengan itu teori sosiologi hanya bisa menyajikan argumen-argumen relasional dengan basis sejarah dan kepentingan menyangkut kemunculan fenomena keluarga. Dalam sosiologi pendidikan logika semacam ini juga muncul dalam beragam paradigma, misalnya dalam pandangan Marxisme mengenai pendidikan yang melihat pendidikan sebagai output dari relasi ekonomi produksi dan politik kelas, sehingga dengan itu sosiologi pendidikan memposisikan diri sebagai teori sosiologi yang membahas pendidikan (Karabel dan Halsey: 1977).

Di titik ini, dengan karakter invasionis semacam itu maka ekonomi sendiri mengalami pendangkalan dari ekonomi sebagai praktik fundamental manusia dalam berhadapan atau pengelolaan relasi manusia dan alam menjadi ekonomi semata-mata sebagai techne kapitalisasi. Dalam istilah Karl Polanyi ekonomi bergeser dari proses sosial yang dasar menjadi ‘sekedar proses formal’ (Evers, 1988: 107-137).

Penelitian ini tidak ingin mengatakan bahwa teori sosiologi yang membahas pendidikan sebagai obyek di luar dirinya jelek apalagi keliru. Yang mau diupayakan disini adalah bagaimana mencari kemungkinan bagi teori sosiologi yang sekaligus adalah teori pendidikan atau teori sosiologi yang sekaligus menjelaskan apa itu pendidikan dan bagaimana pendidikan dilakukan.

Dengan pergeseran ini maka pendidikan pada kenyataanya tidak lagi dipandang sebagai ranah kebudayaan melainkan ranah ekonomi. Maksudnya adalah meskipun masih terdapat sekolah dan lembaga pendidikan akan tetapi institusi-institusi itu tidak lagi bekerja di bawah pranata dan logika kebudayaan melainkan pranata atau logika ekonomi

83

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

5. Persyaratan Teoritis Proses Sosial Sebagai Medium Pembelajaran Pierre Bourdieu Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, penyebab pokok dari invasi ekonomi terhadap pendidikan adalah karena logika yang memisahkan pendidikan dari proses sosial. Pemisahan antara ekonomi-politik dari pendidikan. Pemisahan ini menjadi biang keladi menyempitnya makna pendidikan dan kebudayaan menjadi semacam techne, yang dilanjutkan dengan terbentuknya mekanisasi pendidikan, dan akhirnya berujung pada tergerusnya esensi pendidikan untuk diubahnya menjadi ekonomi. Dengan mengatakan bahwa dualisme antara pendidikan dan proses sosial sebagai awal dari invasi ekonomi terhadap pendidikan, maka penelitian ini di satu segi mau mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk memahami bagaimana pemisahan ini terjadi hanya dapat diletakkan dalam kerangka bidang yang didefinisikan oleh Michel Foucault dengan istilah episteme. Episteme adalah instalasi di mana pengetahun dikukuhkan dan dikonstruksi secara sosial di dalam masyarakat. Foucault mengatakan bahwa: “The episteme is the ‘apparatus’ which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific” (Foucault, 1980: 197). Dalam konteks Indonesia, dualisme antara pendidikan dengan proses sosial (ekonomi dan politik) terjadi melalui regenerasi dan perubahan kekuasaan politik dari satu rejim ke rejim yang lain. Akan tetapi ‘arena’ di mana perubahan ditanamkan dan dikelola adalah pikiran atau episteme. Pendidikan adalah Kebudayaan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Silsilah pernyataan ini dapat ditelusuri dari pandangan bahwa terma culture atau kebudayaan berasal dari kata colere (bahasa: latin) yang berarti “mencocoktanamkan” atau ’menempati’ (inhabit). Dengan demikian kebudayaan sedari awal telah dimaknai sebagai upaya manusia untuk ’menanamkan’ sesuatu dalam bidang pengalamannya. Di titik ini culture memiliki nuansa praktik dan ide sekaligus. Dengan itu bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam arti yang paling esensial sekaligus juga adalah

pendidikan, karena hanya pendidikanlah satusatunya bidang yang memiliki kemampuan menanamkan ideal dimaksud (Eagleton, 2000: 2). Senada dengan Eagleton, namun dalam rumusan yang lebih taktis, Berger menyebut kata kunci kebudayaan adalah ’transmisi pengetahuan’, artinya kompleks pengetahuan yang ada pada satu generasi datang melalui jalur kebudayaan. (Berger & Luckmann, 1979: 85-89). Dengan memanfaatkan kedua pandangan ini, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Ia pada dasarnya adalah cara atau praktik pembentukan diri (self) atau cara diri mengada melalui tindakan-tindakan yang dilangsungkan secara terus menerus di dalam masyarakat. Habitus dan Peluang Mendefinisikan Pendidikan/Kebudayaan Sebagai Proses Sosial. Secara sederhana, habitus adalah bidang di mana tindakan diproduksi. Menurut Bourdieu, habitus terdiri dari dua unsur pokok yakni pengalaman dan pengajaran, yang berkembang –jatuh bangun– terakumulasi dalam sejarah. “The habitus which, at every moment, structures new experiences in accordance with the structures produced by past experiences, which are modified by the new experiences within the limits defined by their power of selection, brings about a unique integration, dominated by the earliest experiences, of the experiences statistically common to members of the same class” (Bourdieu, 1980/1990).

Untuk lebih memahami mengapa diri bisa terbentuk melalui tindakan maka ada baiknya untuk mengetengahkan terlebih dahulu makna tindakan dalam pemikiran Bourdieu. Di satu sisi tindakan disebutkannya mengantarai habitus dan kehidupan sosial obyektif, sedang di sisi lain habitus diciptakan melalui tindakan. Dengan demikian maka baik habitus, skema mental individual maupun struktur sosial obyektif secara generatif pada dasarnya adalah tindakan. Disini kita bisa rumuskan bahwa tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan diri. “Practice always implies a cognitive operation, a practical operation of construction which sets to work, by reference to practical functions, system of classification (taxonomies) which

84

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 77-88 organize perception and structure practice produced by the practice of successive generations, in conditions of existence of determinate type, these schemes of perception, appreciation, and action, which are acquired through practices and applied in their practical sense without acceding to explicit representation, the objective structures of which they are the product tend to reproduce themselves in practices. […] The coherence to be observed in all products of the aplication of the same habitus has no other basis than the coherence which generative principle constituting that habitus owe to the social structures. [...] The pratical operators which constitute the habitus and which function in their practical state in gesture or utterance reproduce in a transformed form, inserting them into the structure of a system of symbolic relations...” (Bourdieu, 1977).

Tindakan-tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat ini pada fungsinya diproyeksikan menjadi semacam kode-kode sosial yang diharapkan direproduksi dari waktu ke waktu. Inilah yang dimaksud dengan dialektika dalam berkebudayaan, dimana suatu tindakan terjadi karena dipelihara melalui mekanisme pembelajaran atas suatu tindakan. Dalam rumusan seperti ini, maka pendidikan adalah medium bagi pembentukan diri yang mengada di dalam tindakan sosial yang dipelajari untuk kemudian ditampilkan lagi sebagai tindakan. Tindakan-tindakan dalam rumusan seperti ini umum kita sebut sebagai praktik sosial, dan rumusan seperti ini juga sekaligus memungkinkan kita merumuskan bahwa pada dasarnya pendidikan akan dengan sendirinya merujuk pada habitus. Dalam disiplin pemikiran Pierre Bourdieu, habitus secara generatif merupakan “a dialectic of internalization of externality and the externalization of internality” atau jika dilihat dari segi kausalitasnya habitus adalah hasil dari suatu proses internalisasi yang meliputi struktur persepsi, modus apresiasi, dan sistem-sistem klasifikasi tindakan kedalam diri seseorang, yang kemudian tereksternalisasi ulang dalam bentuk tindakan, yang pada gilirannya menjadi elemenelemen pembentuk struktur sosial obyektif. Habitus terinternalisasi secara relatif lama dan kadang terlupakan dari sisi prosesnya. Dengan begitu maka habitus melibatkan proses

kesejarahan yang panjang dan mendarahdaging, terinternalisasi seakan alami, meresap, terdisposisi, dan menjadi bagian inheren dari agen. Habitus juga merupakan proses internalisasi yang sama sekali tidak menihilkan peran agen yang memiliki kemampuan ‘bernegosiasi’ dengan struktur. Dengan kalimat lain, agen yang menginternalisasi struktur tetap memiliki ruangruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi yang dijadikan saringan sebelum agen benar-benar menerima dan mengimprovisasikannya kembali. Secara ringkas habitus menempati fungsi-fungsi sebagai: (a) matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; (b) appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu; dan (c) action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. “Thus the representations of agents vary with their position (and with the interest associated with it) and with their habitus, as a system of schemes of perception and appreciation of practices, cognitive and evaluative structures which are acquired through the lasting experience of a social position. Habitus is both a system of schemes of production of practices and a system of perception and appreciation of practices. And, in both of these dimension, its operation expresses the social position in which it was elaborated. Consequently, habitus produces practices and representations which are available for classification, which are objectively differentiated; however, they are immediately perceived as such only by those agents who possess the code, the classificatory schemes necessary to understand their social meaning” (Bourdieu, 1989: 19).

Dengan begitu maka habitus bisa dirumuskan sebagai hamparan sistem skemaskema kognitif agen yang bermanifes di dalam tindakan. Dalam satu jalinan yang utuh tindakantindakan ini membentuk konfigurasi struktur sosial objektif dan melalui cara yang dialektis kemudian tampil kembali menyajikan varian sistem disposisi-disposisi yang mensuplay spesifikasi-spesifikasi preferensi kognitif ke

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

dalam diri agen untuk bertindak secara tepat di berbagai ranah sosial yang berbeda-beda. Dan di dalam modus pemahaman ini pula habitus tampil sebagai efisiensi simbolik yang mewakili totalitas praktik sosial. Dengan kata lain, setiap praktik sosial kini bisa disebut sebagai habitus. Dari Bourdieu kita juga mendapat asupan perspektif untuk melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktikpraktik yang membentuk kehidupan sosial. Di sini kita menemukan peranan penting dari habitus yang tampil sebagai regulator yang meregulasi praktik sosial sekaligus sarana yang menyediakan wawasan bagi terselenggaranya praktik-praktik sosial, karena sebagaimana Bourdieu nyatakan: habitus selalu berorientasi kepada fungsi praktis. ”The theory of practice as practice insists, contrary to positivist materialism, that the objects of knowledge are constructed, not passively recorded, and, contrary to intellectualist idealism, that the principle of this construction is the system of structuted, structuring dispositions, the habitus, which is constituted in practice and is always oriented towards practical functions” (Bourdieu, 1980/1990: 52).

Satu hal lagi terkait dengan pembahasan mengenai habitus ialah kemampuannya mentransposisi struktur-struktur sosial obyektif dari beragam ranah sosial ke dalam struktur mental subyektif tindakan dan pikiran agen. Di titik ini habitus secara serta merta berimplikasi terhadap prilaku agen dan pada gilirannya mempengaruhi prilaku sosial, serta mempengaruhi karakter dari proses sosial itu sendiri.

85

berdimensi pendidikan menjadi sangat penting dan strategis. Karena, segera setelah skema proses sosial memiliki dimensi paedagogis maka praktik-praktik sosial akan berimplikasi secara langsung terhadap terbentuknya struktur mental subyektif sekaligus terhadap struktur sosial obyektifnya. Implikasi Habitus terhadap Pemahaman Dualisme Pendidikan dan Proses Sosial. Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal penting untuk kita tarik dalam kebutuhan kita merumuskan pendidikan. Pertama, Kesatuan struktur-aktor. Habitus adalah praktik kehidupan yang berlangsung sejalan dengan struktur sosial yang memproduksinya. Dari situ, tindakan atau praktik muncul sebagai kemampuan yang nampak alamiah dan berkembang dalam ranah atau lingkungan sosial tertentu. Dari sini –dengan memperhatikan dimensi historis mengenai bagaimana habitus terbentuk– maka di dalam habitus, tindakan dan lingkungan obyektif berelasi dalam satu kesatuan. Bukan individu yang menentukan atau menciptakan tindakan (sebagaimana dibayangkan Weber), juga bukan struktur yang menentukan individu (sebagaimana dibayangkan Durkheim) melainkan struktur dan individu berelasi, saling membentuk serta saling meneguhkan di dalam praktik.

Dengan kemampuan seperti ini habitus yang diartikan sama dengan praktik sosial seharusnya memiliki dimensi pendidikan yang secara dialektis akan mentransposisi struktur mental subyektif ke dalam struktur sosial obyektif, dan juga sebaliknya, sehingga keduanya menghasilkan konfigurasi proses sosial yang diisi dengan praktik sosial yang mendidik.

Di titik ini Bourdieu, sebagaimana Giddens, menegaskan bahwa obyektifitas hanya bisa diungkap dalam praktik individu. Dengan kata lain, Bourdieu memercayai bahwa terdapat sebuah ‘continual dialetic between objectivity and subjectivity’. Agen-agen sosial adalah tubuh yang terinkorporasikan tapi sekaligus juga yang memiliki skema umum yang dioperasikan dan dioreintasikan kedalam tindakan sosial. Dengan demikian, disini muncul apa yang disebut dalam sosiologi sebagai ‘situasi reflektif’ atau ‘reflektifitas’. Aktor atau agen-agen menentukan struktur tapi secara bersamaan dirinya juga dibentuk oleh struktur. Di sini (secara epistemik) tidak bisa dipisahkan lagi mana agen dan mana struktur (Grenfell dan James, 1988: 13).

Dalam soal posisi pendidikan, melalui ini bisa dikatakan bahwa: oleh karena sifat hubungan dialektis dan dinamis diantara aktor dan struktur maka kehadiran proses sosial

Kedua, kesatuan aspirasi subyektif dan pengalaman obyektif. Dengan kesatuan itu, maka pendapat yang mengatakan bahwa struktur atau dunia sosial menentukan individu

86 atau sebaliknya, atau bahwa semata-mata ekonomi menentukan siapa manusia ataupun sebaliknya adalah pandangan yang absurd. Tidak pernah ada dalam realitas manusia hanya berposisi dalam satu arah saja terhadap realitas dan lingkungan yang melingkupinya. Di sini yang obyektif tidak dapat dipisahkan dengan yang subyektif. Keduanya hadir sebagai bidang pengalaman yang saling keluar masuk. Ketiga, pembicaran habitus adalah pembicaran tentang sebuah bidang irisan antara struktur obyektif dan struktur mental subyektif. Dalam bentuknya yang paling konkret habitus menempati bidang kebertubuhan sosial yang memiliki tiga makna: Kesatu, habitus hanya ada selama ia ada ’di dalam kepala’ aktor (atau inhabit in body). Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dengan lingkungan yang melingkupinya: cara bicara, cara bergerak, cara merespon situasi. Ketiga, habitus juga berakar dalam taksonomi praktis perwujudan aneka kategori sensoris (Jenkins, 1992). Dengan memahami bahwa dialektika yang obyektif dan subyektif, juga bahwa ia berada dalam tindakan, maka dari sini kita bisa merumuskan apa itu proses pembelajaran. Dengan pemikiran habitus ini maka pembelajaran atau lebih luasnya lagi pendidikan dapat dipahami sebagai praktik yang terdiri dari tiga hal utama: Pertama, pendidikan harus pertama-tama menempati dan membentuk suatu matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; Kedua, pendidikan juga harus membentuk bentukbentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu. Ketiga, pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. Keempat, ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu habitus menjadi habitus yang baru. Kelima, pendidikan adalah bisa dimulai dari irisan yang obyektif dan yang subyektif. Pendidikan tidak hanya bisa

diarahkan pembentukan subyektifitas tetapi bisa juga diarahkan pada dunia obyektifnya.

6. Modal Budaya, Kekerasan Simbolik, dan Syarat Pendidikan dalam Kesetaraan Konsep Bourdieu lain yang perlu diklarifikasi adalah modal budaya (cultural capital). Selama ini konsep ini diperlakukan secara sederhana, semena-mena dan keliru: seakan-akan modal budaya adalah kemampuan estetik individu yang bisa diperdagangkan dan menghasilkan laba. Modal budaya dalam Bourdieu berakar pada penjelasan Bourdieu mengenai kuasa, modal dan posisi : “In analytic term, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present or potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, ect.)” (Bourdieu and Wacquant, 1992).

Modal budaya adalah sebau hubungan sosial di dalam suatu sistem pertukaran maknamakna termasuk di dalamnya akumulasi pengetahuan dan estetika yang dikonversikan dengan kuasa dan status. Modal budaya dapat diklasifikan dan dibedakan (distinction) berdasarkan garis kuasa yang berakar pada pemilikan modal. Pendidikan misalnya adalah refleksi dari modal budaya, bukan karena dengan pendidikan orang bisa mencari kerja, tapi karena pendidikan mencerminkan kuasa dalam kelas-kelas sosial. Perbedaan, strata dalam pendidikan mereflesikan strata kelas sosial (Barker, 2004: 37). Klasifikasi inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai kekerasan simbolik yakni kekerasan yang diakibatkan oleh perbedaan akses dalam kebudayaan olehkarena posisi kelas yang berbeda. Anak-anak kelas pekerja mengalami kekerasan simbolik ketika oleh karena akar kelas keluarganya mereka misalnya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan demikian, pada

87 konsep ini Bourdiue bicara mengenai kebutuhan kode-kode sosial atau skema yang ditujukan pada negara. Apa yang mesti dilakukan negara terhadap pendidikan untuk mengatasi kekerasan simbolik?

Penutup Dengan memperlihatkan persoalan-persoalan pokok akibat pemisahan aktor struktur serta pemisahan proses sosial (ekonomi produksi, politik) dengan pendidikan, penelitian ini telah menunjukkan bahwa pada akhirnya pendidikan menjadi hilang akibat invasi dari ekonomisasi kebudayaan/pendidikan. Proses ini juga secara paradoksal mengakibatkan dampak yang sama buruknya kepada bidang dan praktik ekonomi/ politik yang kehilangan dimensi edukatifnya. Pemisahan yang diikuti determinasi proses sosial terhadap pendidikan menjadikan proses sosial gagal dimengerti sebagai arena potensial bagi bidang pembelajaran. Namun demikian dari penelusuran dan refleksi teoritis terhadap pemikiran habitus Pierre Bourdieu, penelitian juga menemukan bahwa konsep habitus –sebuah konsep sosiologi kontemporer– bisa dijadikan sandaran untuk tidak hanya memahami kebersatuan proses sosial dengan proses belajar. Melalui konsep Bourdieu, kita bisa memahami bahwa proses sosial tidak dapat dipisahkan dari proses mental dalam subyek, dengan demikian struktur obyektif tidak dapat dipahami secara terpisah dengan struktur subyektif. Akibatnya apa yang terjadi pada struktur bisa berlaku pada aktor demikian pula sebaliknya. Pada tahap lanjut kita juga memahami bahwa dunia dan proses sosial merupakan mata air yang memproduksi tindakan-tindakan kita. Secara dialektis di dalam tindakan itu kita juga kemudian mereproduksi struktur. Dengan kata lain transformasi manusia tidak dapat semata-mata dilekatkan secara terbatas pada pikiran mengenai ‘subyek’ akan tetapi harus diperluas pada proses sosial di mana subyek itu berada. Artinya, mengenai bagaimana pendidikan dilaksanakan tidak dapat lagi dipikirkan sebagai suatu bidang yang terpisah yang menempati subyek ke dalam ruang yang terisolasi (pada sekolah semata-mata) karena pada dasarnya struktur atau proses sosial telah terlebih dahulu dan memiliki kekuatan

yang lebih hebat dalam mendeterminasi siapa itu manusia. Dalam kerangka ini bahkan bisa dikatakan bahwa sekolah itu sendiri bukanlah bidang yang otonom melainkan bidang yang merupakan mata rantai saja dari proses sosial dan kesejarahannnya. Dengan demikian, habitus adalah bidang yang menentukan seluruh orientasi tindakan dan transformasi subyek. Mendidik artinya adalah membentuk habitus. Dengan memahami mendidik sebagai mengubah atau mentransformasi habitus maka kita memahami bahwa mendidik bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan prasyarat-prasyarat struktural dalam medan proses sosial yang memungkinkan tujuan-tujuan dalam habitus itu dimungkinkan. Lebih jauh lagi, dengan memahami mendidik sebagai mentransformasi habitus kita juga bisa mengarahkan bidang-bidang ‘di luar pendidikan’ sebagai ikut bertanggung jawab atau menentukan isi dan bentuk dari pendidikan. Akhirnya dengan itu, sejauh kita bertujuan untuk membentuk masyarakat yang terdidik maka tidak dapat tidak diperlukan upaya untuk mentotalisasi seluruh bidang-bidang kehidupan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Artinya bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi, politik, hukum harus dipertanyakan dan diuji di bawah logika dan tujuan-tujuan pendidikan; sejauh mana ekonomi, politik dan hukum bisa menjadi medium pembelajaran. Untuk mencapai taraf itu, melalui Bourdieu kita juga menemukan bahwa ada kode-kode sosial yang dapat digunakan untuk mendorong proses sosial menjadi medium pembelajaran. Di titik ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan yakni pertama, negara mesti diarahkan untuk menyediakan kode-kode yang bisa dipakai oleh dunia sosial kita sehingga proses sosial itu benar-benar menjadi edukatif. Salah satu hal yang mutlak mesti disediakan di sini adalah ‘akses dan kesetaraan dalam dunia simbolik kita’ dalam hal ini bahasa dan modusmodus asosiasi sosial yang memungkinkan orang belajar satu sama lain dan menghayati dunia sosialnya secara reflektif. Hal kedua yang juga penting untuk dilakukan adalah kita perlu memperluas makna pendidikan. Pendidikan harus dikembalikan tidak pertama-tama sebagai kebudayaan, tetapi lebih luas lagi sebagai proses sosial itu sendiri.

88

Sosialita, Vol 9, No.1, Juni 2011, hal 77-88

Pada akhirnya sejauh dalam kerangka menjawab pertanyaan mengenai pergeseran teori pendidikan, maka penelitian ini menemukan bahwa selain teori sosiologi mengenai pendidikan kita mulai bisa merekonstruksi teori sosiologi yang sekaligus teori pendidikan. Dari sosiologi yang mencoba memahami pendidikan sebagai obyek materialnya menjadi teori sosiologi yang menjadikan pendidikan sebagai tujuannya. Di titik inilah teori habitus Bourdieu bisa kita eksplorasi lebih jauh untuk menjadi teori yang menyediakan bagaimana pendidikan dilaksanakan.

Pustaka Acuan Moertopo, Ali. (1972). Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development. Jakarta: Yayasan Proklamasi CSIS. Giddens, Anthony. (1986). Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. California: University of California Press. Priyono, B. Herry-. (2005). Tata bahasa Uang’ dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia dan Yayasan Astra. Barker, Chris. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London. Oxford: Sage Publsiher) Taylor, Edward B. (1871). Primitive Culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. Sastrapratedja, M. (1986). Peranan Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitosmitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis. Jakarta: Gramedia. Kim, Pang Lay & Arndt, H. W. Survey of Recent Development. Dalam Bulletin of Economic Studies No. 4/Juni. Karabel, Jerome dan Halsey, A.H. (ed). (1977). Power and Ideology in Education. Oxford: Oxford University Press. Galbraith, John Kenneth. (1996). The Good Society The Human Agenda. New York: Houghton-Mifflin Trade and Reference. Grenfell, Michael dan James, David. (1988). Bourdieu

and Education. Bristol: Farmer Press. Foucault, Michele. (1980). Power/Knowledge. Sussex: Harvester Press. Berger, Peter and Luckmann, Thomas. (1979). The Social Construction of Reality. USA: Penguin Books. Bourdieu, Pierre. Social Space and Symbolic Power, Sociological Theory, Vol 7/1, 1989. --------------------- (1980/1990). The Logic of Practice. California: Stanford University Press. --------------------- (1990). In Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press. --------------------- (1977). Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University Press. Bourdieu, Pierre and Wacquant, Loïc J. D. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: University Of Chicago Press. Suroso, P. G. (1994). Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Arensberg, Polanyi. dan Pearson. (1988). Ekonomi Sebagai Proses Sosial dalam Hans-Dieter Evers, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. . Eagleton, Terry. (2000). The Idea of Culture. Oxford: Blackwell Publisher. Herskovits, Melville J. (1948). Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology. New York: Alfred A. Knopf. Jenkins, Richard. (1992). Pierre Bourdie. London: Routledge. Rorty, Richard. (1984). Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner. Cambridge: Cambridge University Press. Grenville, Stephen. (1981b). Monetary Policy and the Formal Financial Sectors. Dalam Booth and McCawley (editors). The Indonesian Economy During Soeharto Era. Petaling Jaya: Oxford University Press. Syamdani. (2001). Kontrovesi Sejarah Di Indonesia, Jakarta:Grasindo. Rostow, W. W. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. England: Cambridge University Press.

89

Panduan Penulisan Naskah Jurnal SOSIALITA Sosialita diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (FIS-UNJ) sebagai jurnal berkala enam bulanan untuk menghimpun dan menyebarluaskan tulisan-tulisan tentang sosial pendidikan dari komunitas akademik UNJ. Bergerak dari sisi hilir, Sosialita diharapkan dapat membangun tradisi akademik yang sehat, melalui kebiasaan berdiskusi, membaca, meneliti, dan menulis. Sosialita berikhtiar menjadi bagian dari proses produksi ilmu pengetahuan. Ranah “sosial pendidikan” dipilih karena ia adalah core competency UNJ. Frase ini merujuk pada tiga area: (1) kependidikan (pedagogy), yakni perihal transfer pengetahuan dan transformasi tata nilai pada peserta didik, baik isu teoretik maupun praktik; (2) gejala pendidikan sebagai objek kajian yang dihampiri secara multiperspektif dan interdisipliner; dan (3) ilmu pendidikan sebagai alat konseptual atau perspektif yang menempatkan gejala kemasyarakatan sebagai objek kajiannya suatu pendekatan yang sering disebut sebagai “sosio-edukasi”. Sosialita meyakini bahwa tulisan yang baik haruslah bertumpu pada satu ide sentral, atau tesis, atau controlling idea, yang ingin penulis ungkapkan kepada pembaca. Sementara, bagian yang lain adalah bukti (evidence) dari ide sentral tersebut. Selain tulisan bertipe argumentatif itu, dengan pertimbangan tertentu Sosialita juga dapat menerbitkan tulisan bertipe deskriptif atau naratif—yang tidak berpijak pada tesis, tetapi pada statment of intent tertentu—yang dimaksudkan untuk menghadirkan pemahaman atas suatu gejala baru atau pemahaman baru atas suatu gejala. Secara lebih rinci, kelayakan tulisan dinilai dari aspek kemutakhiran tesis, orisinalitas, struktur tulisan (tata bahasa, tata tulis, hubungan antarbagian, antarparagraf, dan antarkalimat), kemutakhiran pustaka, kekuatan data atau bukti, dan efektivitas penulisan. Naskah yang dimuat dalam Sosialita dapat berupa artikel maupun resensi buku, baik yang ditulis dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia, dengan panjang naskah maksimal 5000 kata.

Sistematika Artikel Artikel (tipe argumentatif) yang diserahkan harus mengikuti sistematika umum sebagai berikut: • • • • • • • • • • •

Judul/Tittle Penulis/Authors Afiliasi/Affiliation Abstrak/Abstract (dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) Kata Kunci/Key words Pendahuluan/Introduction Bagian Utama/Main Body atau Middle Section Penutup atau Simpulan/Conclusion Ucapan Terima kasih/Acknowledgment Lampiran/Appendix Daftar Pustaka/Reference

Uraian singkat dari masing-masing adalah sebagai berikut: Judul/Tittle • Harus singkat, mencerminkan isi artikel. • Kalau judulnya panjang, jadikan judul utama sebagai inti (main tittle) dan frase penjelas sebagai subjudul (subtittle) Penulis/Authors • Nama dibuat lengkap, tetapi tanpa gelar akademis • Diurut sesuai dengan keinginan penulis (bila lebih dari satu) Abstrak/Abstract • Secara ringkas menguraikan isi dan pentingnya artikel • Maksimum 300 kata

90 Kata kunci/Key words • Cantumkan kata-kata yang akan menjadi inti pembahasan • Maksimal 8 kata Pendahuluan/Introduction • Uraikan topik yang dibahas dalam konteks keilmuannya dan perkembangannya secara historis. • Jelaskan konsep dan istilah teknis. • Diskusikan karya terkait dengan penelitian/penulis lain dan gunakan kutipan yang relevan. • Nyatakan tesis, atau ide sentral, atau controlling idea, atau argumentasi spesifik Anda perihal topik yang dibahas. • Berikan outline pembahasan atau struktur tulisan yang akan dipaparkan pada bagian utama (main body atau middle section) artikel. Bagian utama/Main Body atau Middle Section • Paparkan atau deskripsikan secara rinci aspek-aspek pembahasan—dapat berupa aspek teoretik/ konseptual, metodologis, empiris, historis, atau lainnya, sesuai kebutuhan—dari topik Anda dengan pola pensubjudulan yang dapat dibiarkan mencair. • Berikan analisis dan argumentasi yang diperlukan untuk mendukung tesis Anda. • Dukung setiap pernyataan yang Anda tulis dengan data, kutipan, ataupun narasi. • Gunakan diagram atau tabel secara baik (bila ada) • Sodorkan rekomendasi untuk karya/riset lanjutan (bila perlu) • • • •

Penutup/Conclusion Rangkum butir-butir penting dari pembahasan. Nyatakan kembali tesis Anda beserta “pembuktiannya”. Rumuskan kesimpulan Anda. Letakkan kesimpulan tersebut dalam konteks pembahasan atau isu yang lebih luas—yakni “gambar besar” (big picture) dari topik Anda.

Ucapan Terimakasih/Acknowledgment • Sampaikan pengakuan atas bantuan/kontribusi orang lain (bila ada) Lampiran/Appendices • Presentasikan data yang rinci atau konteks yang mendukung pembahasan utama. Daftar Pustaka/References Sosialita menggunakan sistem rujukan Harvard maupun Chicago. Untuk panduan ringkas sistem rujukan Chicago (The Chicago Manual of Style) dapat diunduh dari http://www. chicagomanualofstyle.org/tools_citationguide.html atau diperoleh dari sekretariat redaksi Sosialita. Biografi singkat • Berikan afiliasi (jurusan/fakultas/universitas) dan alamat terkahir. • Tonjolkan posisi yang relevan.

Resensi Buku Buku yang diresensi haruslah buku baru (terbit paling lama tiga tahun yang lalu). Resensi harus didahului dengan mengemukakan identitas buku yang diresensi, yaitu judul, penulis atau editor, penerbit, tempat terbit, tahun terbit, jumlah halaman isi, jumlah halaman pengenalan, dan ukuran buku. Selanjutnya diuraikan isi pokok buku secara ringkas, kekuatan buku atau temuan yang menarik, kelemahan dan kritik, dan dihubungkan atau dibandingkan dengan buku lain mengenai bahasan yang sama.

Pengetikan • Naskah yang dikirim diketik di atas kertas ukuran A4. • Naskah diketik dua spasi, huruf Times New Roman, ukuran font 12 pt. • Judul artikel semuanya ditulis huruf kapital, sedangkan subjudul atau bagian artikel hanya menggunakan huruf kapital pada awal setiap kata (kecuali kata depan dan kata sambung). Selebihnya menggunakan huruf kecil (small case). • Margin kiri 4 cm, sedangkan margin atas, bawah, dan kanan masing-masing 3 cm. • Gambar, foto, grafik, peta dan sebagainya, harus dibuat dalam lembar terpisah, dalam bentuk dan ukuran yang siap untuk dicetak. • Naskah (hardcopy) dikirim rangkap dua. • Naskah diserahkan juga dalam bentuk softcopy, dengan program Microsoft Word for Windows.