EFEKTIVITAS METODE BERMAIN PERAN (ROLE PLAY) UNTUK MENINGKATKAN

Download peran (role play) untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak. Subjek dari .... Sosial dan Keterampilan Komunikasi Anak Usia Dini”...

0 downloads 611 Views 517KB Size
Efektivitas Metode Bermain Peran (Role Play) Untuk Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Pada Anak

Peny Puji Astuti Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jl Kapas No.9 Yogyakarta [email protected]

Abstract This research is aimed to ensure the effectiveness of a role play method to increase communication skills in a child. The subject of this research is the students class B PAUD IT Durratul Islam Ngablak Magelang who had the skills of communication at below average based on the result of preliminary observations. The collection of data on this research using observations with the methods Child Behaviour Checklist ( CBCL ), that is a measuring instrument that contains a list of names subject and behaviour which is expected to appear during research. Analysis of data on this research use of statistical analysis nonparametric measure of test Mann Whitney against gainscore between a group of his experiments with the control group. Based on the result analysis of data obtained value p = 0,001, thus then there are differences an increase in the score communication skills between a group of experimentation and the control group. While the result of the test wilcoxon, i.e. in a group of experiments obtained value p = by, the value of z = -2,527 and in the control group value p = 0,357 and value z = -0,921 that suggests that the group experiment obtained the result of a significant compared to the control group. This proved that role play methode effective to increase communication skills on child class B PAUD IT Durratul Islam. Keyword : Communication skill, role play.

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode bermain peran (role play) untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak. Subjek dari penelitian ini adalah siswa-siswi kelas B PAUD IT Durratul Islam Ngablak Magelang yang memiliki keterampilan komunikasi di bawah rata-rata berdasarkan dari hasil observasi awal. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan observasi dengan metode Child Behaviour Checklist (CBCL), yaitu alat ukur yang berisi daftar nama subjek dan perilaku-perilaku yang diharapkan akan muncul selama penelitian. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis statistik nonparametrik Uji Mann Whitney terhadap Gainscore antara

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai p=0,001, dengan demikian maka terdapat perbedaan peningkatan skor keterampilan komunikasi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sedangkan hasil dari uji Wilcoxon yaitu pada kelompok eksperimen diperoleh nilai p= 0,012, nilai z= -2,527 dan pada kelompok kontrol nilai p= 0,357 dan nilai z= -0,921 yang menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen diperoleh hasil yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini membuktikan bahwa metode bermain peran (role play) efektif untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak kelas B PAUD IT Durratul Islam. Kata kunci : Keterampilan Komunikasi, Bermain Peran.

Pendahuluan Sekolah merupakan salah satu sumber pengalaman terbesar dalam masa kanak-kanak yang mempengaruhi sebagian besar aspek dari perkembangan anak. Dalam masa itu, anak dapat meningkatkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan sosialnya, melatih tubuh dan pikiran mereka serta mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan mereka yang akan datang. Pada umumnya pendidikan prasekolah akan mempengaruhi pencapaian anak pada pendidikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Usia pra sekolah biasanya anak mengalami masa peka, dimana anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon rangsangan yang diberikan oleh lingkungan. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan rangsangan yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal (Yudha, 2005). Anak yang berada pada masa lima tahun pertama yang disebut dengan usia keemasan merupakan masa emas bagi perkembangan anak. Anak pada usia tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengoptimalkan segala aspek perkembangannya, termasuk perkembangan keterampilan (Hurlock, 2002). Interaksi dengan teman sebaya dan juga orang lain selain anggota keluarga akan mendorong individu untuk berperilaku dengan cara yang dapat diterima oleh orang lain (Hurlock, 1988). Kemampuan individu untuk beradaptasi dengan orang lain secara umum sering disebut dengan penyesuaian sosial. Beberapa anak yang tidak dapat menyesuaian dengan teman-temanya akan sering diejek, dimusuhi tidak diajak bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya akan mengalami stress ( Hall, 1993). Wylie (dalam Trisnaningtyas, 2010) mengemukakan bahwa ada beberapa ketrampilan-ketrampilan krusial yang akan dibutuhkan anak selama perjalanan pendidikannya mulai dari sekolah dasar dan seterusnya, diantaranya: ketrampilan menyimak dan mendengarkan, ketrampilan akademik, ketrampilan bekerja secara mandiri dan secara kelompok, serta ketrampilan berkomunikasi

Keterampilan komunikasi ini sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan suatu kelompok agar dapat mengutarakan pendapat mereka masingmasing serta dapat medengarkan pendapat dari orang lain. Keterampilan komunikasi merupakan modal yang penting agar dapat menjalankan interaksi sosial yang baik meskipun keterampilan ini tidak begitu saja dimiliki oleh anak (Effendy ,1986). Ketika anak mulai masuk lembaga pendidikan prasekolah seperti Taman Kanak-kanak (TK), pada tahapan inilah belajar mengasah keterampilan sosial dan keterampilan komuikasi di TK menjadi penting. Mereka tidak hanya diajak berinteraksi dan berbicara dengan menggunakan bahasa ibu tetapi harus bisa menangkap pembicaraan dengan bahasa Indonesia dengan baik. Pada usia lima dan enam tahun anak sudah senang bersosialisasi atau berinteraksi dan berbicara untuk dapat mengungkapkan pendapatnya dengan jelas, mereka juga senang bermain-main dengan kata-kata. Biasanya mereka memiliki teman imajinatif untuk diajak berinteraksi dan berbicara, karena pada usia ini anak memasuki periode praoprasional. Teman imajinatif ini akan segera menghilang seiring dengan masuknya anak ke dalam periode operasional konkret ( Yudha, 2005). Kemampuan komunikasi anak ketika mulai memasuki usia TK adalah anak mampu menggunakan banyak kosa kata, pengucapan kata-kta yang jelas, dan anak sudah mulai membentuk suatu kalimat kurang lebih enam sampai delapan kata yang terdiri dari kata kerja, kata depan dan kata penghubung (Harlock, 2002). Sedangkan menurut Mussen (2005) tahap perkembangan komunikasi yang harus dicapai pada anak umur empat sampai enam tahun adalah pembicaraan yang diucapkan anak lebih lama dan lebih kompleks, kata-kata yang diucapkan saling berhubungan, dan anak sudah mulai luwes untuk menyesuaikan gaya bicaranya ketika anak berkomunikasi dengan orang yang lebih muda atau yang lebih tua. Akan tetapi yang terjadi pada saat sekarang ini tidaklah sesuai dengan tahap perkembangan yang telah dijelaskan di atas. Banyak anak yang belum mampu melakukan kemampuan berkomunikasi yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Untuk meningkatkan komunikasi pada anak-anak harus menguasai unsur penting dalam belajar. Unsur penting itu adalah anak harus mengerti apa yang dikatakan orang lain dan anak harus meningkatkan keterampilan berbicara. Tetapi kebanyakan orang tua maupun pengasuh hanya meningkatkan keterampilan berbicara saja sehingga tugas untuk mengerti perkataan orang lain kurang diperhatikan. Padahal dua unsur itu sangatlah penting. Pada penelitian sebelumnya, kegiatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak di TK Al-Kautsar Bandar Lampung, belum terlihat tepat guna (efektif). Metode penyampaian untuk meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berkomunikasi pada anak hanya menggunakan metode bercakap-cakap, metode tanya jawab, serta metode bercerita. Metode tersebut biasanya digunakan sebagai metode rutinitas dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Metode-metode tersebut akan menjadi lebih bermakna jika disampaikan dengan prinsip bermain sambil belajar, sehingga

kegiatan ini sangat menyenangkan dan dapat menambah pemahaman anak tentang lingkungannya ( Siska, 2011). Sedangkan dilihat dari penemuan masalah di lapangan yang telah dilakukan di PAUD IT Durratul Islam, melalui metode wawancara dengan guru dan observasi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, banyak ditemukan anak-anak yang masih belum bisa berkomunikasi dengan baik. Ketika mereka ingin mengatakan sesuatu, mereka masih terlihat susah payah untuk mengatakanya. Beberapa aktivitas di dalam kelas juga terlihat adanya kegiatan yang kurang memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya dan berkomunikasi. Ketika anak ingin bertanya, guru sering menghiraukannya. Demikian pula pemanfaatan media pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak. Kebanyakan yang terjadi adalah anak hanya duduk diam mendengarkan ceramah guru, anak hanya melaksanakan tugas yang diberikan dan jika anak ada yang bersuara atau yang tidak dapat tenang, guru langsung menegurnya. Anak pun hanya akan menjawab soal ketika disuruh oleh gurunya. Bahkan ketika ada anak yang menjahili teman yang lain, anak tidak mau meminta maaf. Dengan demikian keterampilan berkomunikasi memang sangat penting untuk dilatihkan sebagai bekal bagi anak-anak untuk dapat berkomunikasi dengan baik di lingkungannya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Salah satu metode untuk membantu keterampilan komunikasi yang ingin diteliti menggunakan metode role play atau bermain peran. Aspek-aspek keterampilan Komunikasi Santrock (2007) membagi keterampilan komunikasi ke dalam tiga aspek utama yaitu : a. Keterampilan berbicara Keterampilan berbicara mencakup keterampilan berbicara di depan kelas dan berbicara dengan teman-temanya menggunakan gaya komunikasi yang tidak menimbulkan kesan menghakimi lawan bicara dan bersikap asertif. b. Keterampilan mendengar Keterampilan mendengar adalah kemampuan mendengar secara aktif. Keterampilan mendengar secara aktif diindikasikan dengan: 1. Memberi perhatian cermat pada orang yang sedang berbicara misalnya mempertahankan kontak mata dan mencondongkan badan pada lawan bicara. 2. Parafarasa yaitu menyatakan kembali apa yang baru saja dikatakan oleh lawan bicara dengan kalimat sendiri, misalnya “apakah maksudmu itu berarti bahwa...” 3. Sinteksis tema dan pola yaitu meringkas tema utama dan perasaan lawan bicara yang disampaikan dalam percakapan yang panjang. 4. Memberi umpan balik atau tanggapan yang kompeten yaitu memberi tanggapan secara cepat, jujur, jelas dan informatif. c. Keterampilan berkomunikasi secara non verbal Keterampilan berkomunikasi secara non verbal yaitu keterampilan berkomunikasi melalui ekspresi wajah dan mata, sentuhan, ruang dan sikap diam. Keterampilan komunikasi melalui ekspresi wajah misalnya senyum, merengut,

tatapan kebingungan.Komunikasi mata misalnya mempertahankan kontak mata ketika berbicara. Keterampilan komunikasi melalui sentuhan misalnya memberi sentuhan yang lembut kepada teman yang sedang sedih. Keterampilan komunikasi melalui ruang misalnya mampu memastikan bahwa anak memiliki ruang individual sendiri dan mereka harus menghormati ruang orang lain. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Komunikasi Faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan komunikasi menurut Yusuf (2000) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : latar belakang budaya, ikatan kelompok atau grup, intelegensi, dan hubungan keluarga. Rincian lebih lanjut adalah : a. Latar belakang budaya Interpretasi suatu pesan akan terbentuk dari pola pikir seseorang melalui kebiasaannya, sehingga semakin sama latar belakang budaya antara komunikator dengan komunikan maka komunikasi semakin efektif. b. Ikatan kelompok atau grup Nilai –nilai yang dianut oleh suatu kelompok sangat mempengaruhi komunikasi pada anak. c. Intellegensi Semakin cerdas seorang anak, maka semakin cepat pula anak itu menguasai keterampilan berkomunikasi. d. Hubungan keluarga. Hubungan keluarga yang dekat dan hangat akan lebih mempercepat keterampilan komunikasi pada anak daripada hubungan keluarga yang tidak akrab. Anak usia taman kanak-kanak adalah anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang mempunyai karakteristik yang unik. salah satu karakteristik yang unik biasanya anak selalu ingin banyak bertanya ketika menemukan hal yang baru. Ketika ingin bertanya anak masih sering kesusahan untuk mengkomunikasikannya Komunikasi bagi anak sangatlah penting, agar dapat membantu perkembangan dan pertumbuhannya. Komunikasi pada anak perlu dilatih sejak kecil agar berguna untuk kehidupan sekarang dan ke depannya ketika sudah besar. Oleh karena itu, ketika anak masuk ke sekolah taman kanakkanak, perlu diajarkan pelatihan atau metode yang berguna untuk meningkatkan komunikasi pada anak. Kemampuan masing-masing anak berbeda-beda. Hal ini dapat dikarenakan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Anak yang memiliki keterampilan komunikasi lebih tinggi daripada temannya bisa juga dikarenakan anak itu memiliki kesempatan untuk berkomunikasi lebih banyak dibandingkan temannya yang lain. Bisa juga dikarenakan kognisi maupun intelegensi setiap anak ketika menangkap suatu hal yang baru berbeda-beda kecepatannya. Oleh karena itu, setiap anak perlu dilatih agar lebih terampil dalam berkomunikasi. Teknik dalam pelatihan keterampilan komunikasi sangat bermacammacam. Salah satunya menggunakan metode bermain. Dengan bermain dapat

menjadi alternatif untuk mengembangkan keterampilan komunikasi pada anak. Terlebih lagi, pada usia sekolah, kegiatan bermain sangat dominan untuk dilakukan. Sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa salah satu ciri anak usia sekolah adalah bermain. Bermain yang efektif dan mengandung edukasi pada jaman sekarang ini sangat banyak macamnya, contohnya yaitu menggunakan metode bermain peran(role play). Dengan menggunakan metode bermain peran (role play) diharapkan dapat membantu meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak karena anak senang dengan bermain dan merupakan salah satu ciri khas pada anak usia sekolah sehingga anak tidak merasa jenuh dan bosan dengan metode ini. Bermain peran memenuhi beberapa prinsip yang sangat mendasar dalam proses belajar mengajar, misalnya keterlibatan murid dan motivasi yang hakiki.Suasana yang positif sering kali menyebabkan seseorang bisa melihat dirinya sendiriseperti orang lain melihat dirinya. Keterlibatan para peserta permainan peran bias menciptakan baik perlengkapan emosional maupun intelektual pada masalah yang dibahas. Bila seorang guru yang terampil bisa dengan tepat menggabungkan masalah yang dihadapi dengan kebutuhan dalam kelompok, maka kita bisa mengharapkan penyelesaian dari masalah-masalah hidup yang realistis. Penelitian–penelitian sebelumnya juga menguatkan bahwa metode bermain peran (role play) dapat meningkatkan keterampilan komunikasi. Diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Siska, 2011 dengan judul “Penerapan Metode Bermain Peran (role play) dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial dan Keterampilan Komunikasi Anak Usia Dini”. Hasil dari penelitian tersebut yaitu metode role play dapat meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi pada anak. Berdasarkan asumsi dan kajian teoritis di atas, hipotesis yang peneiti ajukan bahwa ada perbedaan keterampilan komunikasi pada anak yang diberikan perlakuan metode bermain peran (role play) dengan anak yang tidak diberikan perlakuan metode bermain peran. Anak yang diberikan metode bermain peran akan lebih tinggi keterampilan komunikasinya dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan metode bermain peran. Oleh karena itu metode bermain peran (role play) efektif untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Metode Penelitian Subjek dari penelitian ini yaitu siswa siswi kelas B di PAUD IT DURRATUL ISLAM Ngablak Magelang yang memiliki keterampilan komunikasi dengan kategori di bawah rata-rata berdasarkan hasil pretest. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dengan metode Child Behaviour Checklist (CBCL). CBCL adalah alat ukur berupa suatu daftar yang berisi nama subjek dan perilaku-perilaku yang diharapkan muncul selama penelitian. Pencatatan yang digunakan dalam CBCL menggunakan checklist agar lebih mempermudah pencatatan dan lebih sistematis. Pengamatan dilakukan oleh rater terhadap anak dan dicatat dalam lembar pencatatan yang telah disediakan, dengan aturan pemberian skor setiap perilaku yang muncul diberi skor 1 sedangkan perilaku yang tidak muncul diberi skor 0.

Pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi ini diambil dari : 1. Data pretest yang dilakukan untuk mengetahui muncul atau tidaknya suatu perilaku anak berdasarkan pedoman observasi. Rater melakukan pengamatan selama dua hari yang dilakukan dari pagi ketika anak mulai masuk sekolah hingga sekolah selesai. Hasil dari pencatatan observasi kemudian digunakan untuk menentukan subjek penelitian. 2. Data posttest dilakukan setelah tahapan eksperimen usai, yaitu dengan cara pengamatan. Pengamatan yang dilakukan berguna untuk mengetahui efektivitas bermain peran (role play) terhadap keterampilan komunikasi pada anak yang telah diberikan selama tahapan eksperimen. Rater melakukan pengamatan selama dua hari yang dilakukan dimulai dari masuk kelas hingga sekolah usai menggunakan pedoman observasi. Hasil pencatatan observasi kemudian diskor untuk mengetahui peningkatan keterampilan komunikasi pada anak jika dibandingkan dengan data pretest. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) yaitu validitas yang dapat menunjukkan sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh tes tersebut, dan dalam hal ini tidak saja berarti tes itu harus komprehensif akan tetapi isinya harus tetap relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran (Azwar, 2010). Komponen yang digunakan untuk menyusun penentuan aitem-aitem dalam pedoman observasi berupa behaviour checklist dan pengujian terhadap isi penelitian ini menggunakan professional jugdement yaitu penulis meminta penilaian dari ahli, dalam hal ini professional jugdement yang dilakukan yaitu dengan meminta pertimbangan dari dosen pembimbing. Untuk menentukan reliabilitas alat ukur digunakan uji korelasi pearson dari skor pretest antara dua rater. Uji korelasi pearson ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang berdata kuantitatif. Untuk mengetahui konsistensi antara dua rater dapat dilihat dari nilai r dan nilai signifikansinya. Semakin tinggi nilai konsistensi maka alat ukur semakin reliabel. Untuk mengetahui reliabilitas rater dalam penelitian ini menggunakan inter-rater reliability (reliabilitas antar pengamat), yaitu kesesuaian pengukuran pada subjek yang sama oleh pengamat yang berbeda. Reliabilitas rater diuji dengan mengecek agreement (persetujuan) dari frekuensi atau jumlah kode yang diberikan oleh dua pengamat menggunakan rumus dari Emmer & Millet (Good & Brophy, 1987) : Agreement =

[1

𝐴−𝐵 𝐴+𝐵

] 𝑥100%

Gambar 1. Rumus Agreement Keterangan : A = skor pengamat yang skornya lebih tinggi B = skor pengamat yang skornya lebih rendah Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan menggunakan pretest – posttest control group design, dimana pengelompokan anggota eksperimen dan anggota kelompok kontrol

dipilih secara acak. Kemudian dilakukan pengukuran atau observasi pada kedua kelompok tersebut sebelum dan setelah perlakuan (Latipun, 2006). Tujuannya agar hasil yang didapat lebih akurat karena membandingkan sebelum dan setelah diberi perlakuan. Rancangan penelitian eksperimen terdiri dari satu kelompok eksperimen (KE) dan satu kelompok kontrol (KK). Analisis data yang digunakan yaitu menggunakan perhitungan statistik Uji Mann-Whitney terhadap gain score kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Uji Mann-Whitney digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan dari dua sampel yg independen. Gain score merupakan perubahan skor atau selisih antara skor pretest dan posttest (Azwar,2010). Diharapkan dengan analisis ini dapat mengungkap perbedaan anatara pretest dan posttest dari kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen dengan populasi sampel di bawah 30 subjek. Selanjutnya dilakukan analisis komparatif dua sampel berpasangan menggunakan Wilcoxon. Uji Wilcoxon digunakan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sebelum dan sesudah pemberian perlakuan (Sugiyono, 2011). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan komputer program SPSS 16.00 for windows. Hasil dan Pembahasan Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik non parametrik. 1. Deskripsi Data Penelitian Data yang telah diperoleh dari dua rater yang telah mengisi CBCL (Child Behaviour Checklist) dianalisis menggunakan analisis statistik non parametrik uji Mann Whitney terhadap gain score antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Data penelitian skor total kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 7. Data Penelitian Skor Total Kelompok Eksperimen Subjek

Keterampilan Komunikasi Pretest Posttest Gainscore 1 10,5 17,25 6,75 2 14,75 19,5 4,75 3 14,5 19 4,5 4 10,5 16 5,5 5 14,5 19,75 5,25 6 12 18,5 6,5 7 10,75 15,5 4,75 8 14,25 19,75 5,5 43,5 TOTAL 5,437 Rata-rata Tabel 8. Data Penelitian Skor Total Kelompok Kontrol Subjek Keterampilan Komunikasi Pretest Posttest Gainscore

1 2 3 4 5 6 7

11 11,75 13,25 12,5 12,75 12,25 14,75 TOTAL Rata-rata

11 11,75 11,5 13,5 12,75 11,25 14

0 0 -1,75 1 0 -1 -0,75 -2,5 -0,357

Tabel 9. Perbandingan Rerata Skor Pretest Dan Postest Pada Kelompok Eksperimen Dan Kontrol Kelompok Pretest Posttest Eksperimen 12,719 18,156 Kontrol 12,60 12,25 2. Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis data, maka terlebih dahulu melakukan uji homogenitas pada hasil penelitian. a. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk memastikan bahwa kedua kelompok subjek yang akan dikomparasikan memiliki varians skor yang setara (homogen). Kaidah yang digunakan adalah apabila ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) maka variansi skor kedua kelompok dinyatakan homogen, sebaliknya jika (p<0,05) maka variansi skor kedua kelompok dinyatakan heterogen. Uji homogenitas menggunakan Levene’s test. Berdasarkan uji homogenitas, maka diketahui hasil yang diperoleh yaitu p=0,518 dengan demikian data tersebut berasal dari populasi yang mempunyai varians sama (homogen). b. Uji Hipotesis Data hasil penelitian diuji dengan metode analisis statistik nonparametrik yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel karena jumlah subjek sangat sedikit (<30 anak). Hipotesis komparatif merupakan dugaan terhadap perbandingan dua sampel atau lebih (Sugiyono, 2011). Dalam hal komparasi ini terdapat beberapa macam, yaitu: 1) Komparasi independen dalam dua sampel atau lebih Untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen digunakan teknik statistik Mann Whitney. Berdasarkan uji Mann Whitney terhadap gainscore kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh nilai Z sebesar -3,276 dan taraf signifikansi sebesar p=0,001 (p<0,05), hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gain score yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen lebih tinggi kenaikan skornya dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diberi perlakuan berupa bermain peran. 2) Komparasi berpasangan (paired) dalam dua sampel atau lebih.

Melakukan uji hipotesis komparatif dua sampel yang berpasangan berarti menguji ada tidaknya perbedaan antara nilai variabel dari dua sampel yang berhubungan. Untuk menguji hipotesis komparatif dari dua sampel berpasangan menggunakan teknik statistik Wilcoxon. Hasil dari uji Wilcoxon mengetahui perbedaan rata-rata antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang belum diberi perlakuan (pretest) dan sesudah diberi perlakuan (posttest). Hasil dari perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 10. Data Penelitian Uji Wilcoxon Kelompok Sig. Keterangan Nilai z Eksperimen 0,012 P<0,05 (signifikan) -2,527 Kontrol 0,357 p>0,05 (tidak signifikan) -0,921 Berdasarkan uji Wilcoxon pada kelompok eksperimen diperoleh hasil p=0,012 (p<0,05), maka terdapat perbedaan skor keterampilan komunikasi yang signifikan pada kelompok eksperimen dari sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh hasil p=0,357 (p>0,05), yang artinya tidak ada perbedaan pada kelompok kontrol dari sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Sedangkan dilihat dari hasil z pada masing-masing kelompok, yaitu pada kelompok eksperimen nilai z=-2,527 dan kelompok kontrol nilai z=-0,921 yang berarti pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil dari uji analisis di atas menunjukkan bahwa hipotesis yang telah ditulis pada bab sebelumnya diterima, yang artinya ada perbedaan peningkatan yang signifikan pada keterampilan komunikasi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat setelah diberi perlakuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode bermain peran (role play) efektif untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak. Dari hasil penelitian menggunakan Mann Whitney menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Taraf signifikansi yang didapat dari hasil gain score kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menghasilkan nilai Z sebesar -3,276 dan p=0,001 (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa ada perbedaan peningkatan skor kreativitas antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang signifikan sehingga hipotesis diterima. Hal ini membuktikan bahwa metode bermain peran atau role play dapat meningkatkan keterampilan komunikasi. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Wilcoxon, pada kelompok eksperimen diperoleh hasil yang sangat signifikan, dengan nilai p=0,012 (p<0,05) dan nilai z=-2,527 sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan nilai p=0,357 (p>0,05) dan nilai z= -0,921. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen berupa metode bermain peran memberikan pengaruh yang signifikan pada keterampilan komunikasi anak, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan skor keterampilan komunikasi. Kedua hasil analisis dengan membandingkan hasil skor sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok ini juga digunakan untuk memperkuat hasil pengujian hipotesis.

Adanya perbedaan keterampilan komunikasi pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan komunikasi diantaranya yaitu latar belakang budaya, inteligensi, pola hubungan keluarga, jumlah keluarga, kesempatan berkomunikasi dan model yang baik untuk ditiru. Model yang baik yang dapat ditiru dan kesempatan untuk berlatih menjadi faktor yang paling penting dalam mengembangkan perilaku yang sesuai dengan aspek keterampilan komunikasi. Anak yang diberikan stimulus bermain peran untuk mengembangkan keterampilan komunikasi secara terus menerus, maka keterampilan komunikasi anak akan lebih baik, terutama pada anak pra sekolah atau Taman Kanak-kanak sebagai tambahan pembelajaran. Pada usia prasekolah memang sangat dibutuhkan suatu pembelajaran yang dapat membantu anak dalam bersosialisasi dengan lingkungan barunya dan dapat bergaul dengan baik dengan teman-temannya. Pada masa ini anak sebaiknya dipersiapkan untuk dapat berinteraksi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang lebih luas. Oleh karena itu anak harus diberikan metode yang sesuai untuk membantu anak dalam berkomunikasi sehingga dapat berinteraksi dengan baik di lingkungannya yaitu dengan memberikan metode bermain peran (role play). Anak pada masa prasekolah sangat cepat menangkap pada saat belajar. Pada saat usia prasekolah, anak itu mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Oleh karena itu, pada saat prasekolah, anak harus diberikan banyak kesempatan untuk berkomunikasi dan banyak melihat dari orang sekitar agar anak dapat cakap dalam berkomunikasi dan agar anak tidak takut ketika berkomunikasi dengan orang lain. Pembelajaran anak melalui metode bermain peran membuat anak semangat dalam belajar. Anak tidak merasa bosan karena mereka merasa mereka bermain. Bermain adalah dunia mereka, sehingga ketika mereka melakukan kegiatan tersebut mereka sangat menikmati dan merasa senang. Anak juga tidak banyak mengeluh ketika melakukan kegiatan tersebut. Dengan metode ini diharapkan agar lebih membantu anak yang sebelumnya kurang terampil dalam berkomunikasi menjadi lebih terampil ketika mendapat perlakuan bermain peran (role play). Pemberian metode bermain peran atau role play di PAUD IT Durratul Islam Ngablak Magelang menunjukkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak. Kegiatan-kegiatan yang diberikan ketika bermain peran yaitu anak-anak diminta untuk memperagakan suatu adegan yang telah ditentukan sebelumnya di dalam modul. Setiap adegan mempunyai tema yang berbeda-beda, diantaranya yaitu bermain telepon-teleponan, bermain masakmasakan, bermain dokter-dokteran, dramatisasi menyapa teman di jalan, dramatisasi jual beli di pasar, dramatisasi menjadi guru dan murid. Setiap tema yang dibuat mempunyai tujuan yang berbeda-beda untuk mengungkap aspek-aspek pada keterampilan komunikasi. Seperti aspek keterampilan berbicara setiap anak yang berbeda, pada saat bermain peran dengan tema “Bermain Telepon-teleponan”, ada anak yang berbicara dengan lancar tanpa salah, ada juga yang masih harus diajarkan ketika berbicara di telepon. Terlihat juga beberapa anak yang mahir merangkai beberapa kata dalam kalimat yang bagus, tetapi ada juga yang hanya mengucapkan beberapa kata saja dengan

terbata-bata. Keterampilan berbicara juga terlihat ketika anak bermain dokterdokteran. Ada anak yang pada saat itu berperan menjadi dokter, anak tersebut dapat mengembangkan kata yang diucapkan. Dari ketika ada pasien datang, ditanyakan keluhan pasien, kemudian cekatan seperti memeriksa kemudian memberikan resep untuk dibeli di apotek. Sedangkan aspek keterampilan mendengar dapat dilihat dari tema “Bermain Telepon-teleponan”. Ada anak yang ketika sedang menerima telepon, anak itu tidak menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Ketika penelepon menanyakan kabar, anak tersebut malah menjawab kalau sedang bermain. Berbeda lagi ketika siswa bermain peran dengan tema “Menyapa Teman di Jalan”, dua anak langsung memahami permainanya dengan memperagakan seperti sedang di jalan kemudian berpura-pura menyapa teman yang sedang duduk dan menanyakan kabar teman tersebut. Tetapi juga ada beberapa anak yang tidak paham tentang apa yang harus dikerjakan dan perlu diulang beberapa kali untuk menjelaskan. Keterampilan komunikasi secara non verbal dapat dilihat ketika anak bermain dengan tema “Menyapa Teman di Jalan”, setelah adegan menyapa akan ada adegan bermain bersama, ketika bermain bersama, kelompok laki-laki ada yang berebut mainan, sampai dorong-dorongan. Kemudian ada satu anak yang menangis karena terjatuh, teman yang menjahili itu tidak mau meminta maaf, tetapi mukanya memerah dan tiba-tiba menjauh karena takut dimarahi oleh peneliti. Tetapi terlihat ada dua teman perempuan dan satu laki-laki mendekat dan mendiamkan anak yang menangis tersebut. Dapat terlihat juga pada saat bermain menjadi guru dan murid. Ketika anak yang menjadi guru berpura-pura memberikan soal, anak yang menjadi murid mengangkat tanganya untuk bertanya. Sedangkan faktor model yang baik untuk ditiru juga sangat erat hubungannya dengan keterampilan komunikasi anak. Anak yang lebih banyak melihat model baik di rumah, di lingkungan atau di sekolah akan lebih terampil dalam berkomunikasi karena telah banyak meniru dari model tersebut. Begitu juga ketika bermain peran, anak yang mendapat giliran maju terlebih dahulu, biasanya terlihat kurang banyak mengembangkan komunikasinya. Tetapi ketika kelompok kedua dan selanjutnya, akan terlihat perubahan komunikasinya karena telah melihat contoh atau model dari kelompok sebelumnya. Akan tetapi, ketika anak tersebut telah banyak melihat model yang baik untuk ditiru ketika di luar, maka ketika anak itu mendapat giliran pertama pun juga sudah bagus dalam memainkan peran. Terlihat dari beberapa anak yang orang tuanya berprofesi sebagai pedagang di pasar, anak itu setiap hari melihat contoh dari orang tuannya, sehingga ketika bermain peran sebagai penjual sayuran sangat luwes memainkan peran tersebut. Begitu juga dengan faktor kesempatan untuk berlatih. Dalam penelitian ini terlihat pada satu anak yang terlihat banyak diam pada saat perlakuan. Anak tersebut anak tunggal dan orang tuannya jarang berada di rumah. Kesempatan anak tersebut dalam mengembangkan keterampilan komunikasinya sangat jarang. Pada awal perlakuan, anak tersebut hanya diam saja, anak itu hanya melihat teman-temanya bermain peran. Kemudian pada hari berikutnya, peneliti meminta anak tersebut untuk maju bersama dengan temannya dan akhirnya mau maju ke

depan walaupun pada hari itu anak tersebut hanya berbicara sedikit ketika bermain peran. Pada hari selanjutnya, anak tersebut lebih terbiasa dan sudah mau maju ke depan tanpa harus disuruh oleh peneliti walaupun keterampilan komunikasinya masih terlihat berbeda dengan teman yang lain. Penelitian ini memiliki banyak kekurangan. Diantaranya adalah waktu yang digunakan saat pengambilan data pretest dan posttest dalam waktu dua hari, sehingga kemungkinan perilaku anak yang muncul tidak maksimal. Kemungkinan ada perilaku yang seharusnya muncul tetapi pada saat pretest atau posttest tidak muncul karena waktu yang terbatas dalam pengamatan. Kekurangan yang lain terletak pada subjek yang dipakai dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan sampel yang sangat sedikit sehingga penelitian ini dirasa kurang optimal ketika dipakai untuk penelitian dengan populasi yang banyak. Selain itu, kekurangan juga terletak pada aitem-aitem yang ada pada behaviour checklist. Ada beberapa aitem yang kurang mewakili dari aspek-aspek keterampilan komunikasi. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa metode “Bermain Peran (Role Play)” efektif untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak. Siswa yang diberikan perlakuan berupa metode bermain peran (role play) memiliki skor keterampilan komunikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak diberi perlakuan bermain peran (role play). Hal ini membuktikan bahwa keterampilan komunikasi dapat ditingkatkan dengan metode bermain peran (role play). Daftar Pustaka Azwar, S. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta. : Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2010. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. DePorter, Bobbi, Reardon, Mark, & Nourie, Sarah Singer. 2000. Quantum Teaching : Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa. Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni. Elfiky, I. 2009. Terapi Komunikasi Efektif. Jakarta : Mizan Publika. Fudyartanta, Ki. 2009. Pengantar Psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Good, T. L., & Brophy J. E. 1987. Looking in Classroom. New York : Harper & Row Publishers.

Hall, Calvin S & Lindzey, Gardner. 1993. Psikologi Kepribadian I Teori-Teori Kepribadian Psikodiagnostik (Klinis). Yogyakarta : Kanisius. Hertinjung, Sri. Wisnu. Partini. Pratisti, Dinar. Wiwin. 2006. Keterampilan Anak Pra Sekolah Ditinjau Dari Interaksi Guru-Siswa Model Mediated Learning Experience. Jurnal Penelitian Humaniora : Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://bayibalita.com/2010/perkembanganbahasaanak. 28 Juni 2012. http://kompasiana.com.perkembangan-bicara-anak. 15 juli 2012 Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Hurlock, Elizabeth B. 2002. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta : PT.Gelora Aksara Pratama. Ismail, A. 2009. Education Games. Yogyakarta : Pro-U Media. Junita, I. 2009. Prinsip Komunikasi Efektif Untuk Meningkatkan Minat Belajar Anak. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Kartono, K. 2007. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung : Mandar Maju. Latipun. 2006. Psikologi Eksperimen (edisi kedua). Malang : UMM Press. Lenawaty, Veva & Endang Widyorini. 2009. Efek Penerepan Compic Terhadap Kemampuan Komunikasi Anak Autis Non Verbal. Tesis. (tidak diterbitkan). Semarang : UNIKA Soegijanapranata. Liliweri, A. 1997. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung : Citra Aditya. Masitoh. 2005. Pendekatan Belajar Aktif Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Massofa.wordpress.com/2008/03/26/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-perilakudalam-berkomunikasi// diunduh 27 Maret 2009 Novika. 2011. Dinamika Belajar di Kelas Pada Murid-Murid TK Bunayya. http://www.blogspot.com. 26 April2012. Nurjanah. 2009. Efektivitas Pembelajaran Menggunakan Role Playing Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII SMP

Muhammadiyah 5 Surakarta. Skripsi. (tidak diterbitkan). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rakhmat, J. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ramli, M. 2005. Pendampingan Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Resmini. 2006. Penerapan Metode Bermain Peran Dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Siswa Pada Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Kelas II SDN Rancamalang 2 Kabupaten Bandung. Skripsi. (tidak diterbitkan). Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Silberman, M. 2010. 101 Cara Pelatihan & Pembelajaran Aktif. Jakarta : PT Indeks. Siska, Y. 2011. Penerapan Metode Bermain Peran (Role Playing) Dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Dan Keterampilan Komunikasi Anak Usia Dini. Jurnal Edisi Khusus No.2, : 31-37. Sriyandi. 2008. Metode Role Playing [online]. http://www.wordpress.com [25 Januari 2011]. Sugiyono. 2011. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Surya, H. 2006. Kiat Membina Anak Agar Senang Berkawan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Suyanto, S. 2005. Pembelajaran Untuk Anak TK. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tedjasaputra, M. S. 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Pendidikan Usia Dini. Jakarta: Grasindo. Trisnaningtyas Esti & Nursalim. 2010. Penerapan Latihan Asertif Untuk Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Interpersonal Siswa. Jurnal Psikologi. Hal 1-18. Wasimin. 2009. Peningkatan Kompetensi Berbicara Siswa SD Melalui Metode Role Play. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.15, No.1 : 188-198. Yudha, S. 2005. Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan Keterampilan Anak TK. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zaky,dkk. Efektivitas Role Play, Penayangan VCD dan Modul, dalam Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Terapeutik Mahasiswa STIKES Jenderal Ahmad Yani Yogyakarta. Jurnal : Vol 25, No.3 September 2009.