FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI

Download obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI. Jakarta. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Menganalisis hubu...

0 downloads 625 Views 1MB Size
FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN DKI JAKARTA

ELYA SUGIANTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

ABSTRACT ELYA SUGIANTI. Risk Factors of Central Obesity Among Adults in North Sulawesi, Gorontalo, and Jakarta. Supervised by HARDINSYAH and NURFI AFRIANSYAH. Obesity is now considered as a major public health problem, affecting both developed and developing countries. Recently, central obesity has greater health hazards than overall obesity. The aim of this research is to analyze risk factors of central obesity among adults in North Sulawesi, Gorontalo, and Jakarta. This research used secondary data of Riskesdas 2007, Department of Health. The criterias of the study location was the province that had the three highest prevalence of central obesity. The total samples was 26 561 subjects aged 15 years. A logistic regressions was used to analyze risk factors of central obesity. Results showed that risk factors of central obesity in North Sulawesi are aged 35, women, married, divorce/widowed, high school, housewife, military/police/civil servants, private business officers, entrepreneur/private servant, urban area, and hard inactivity. Risk factors of central obesity in Gorontalo are aged 35, women, married, divorce/widowed, housewife, military/police/civil servants, entrepreneur/ private servant, expenditure 20 tile, urban area, hard inactivity, and mental disorder. Risk factors of central obesity in Jakarta are aged 35, women, married, divorce/widowed, housewife, private business officers, entrepreneur/private servant , expenditure fifth quintile , former smoker, fatty food, and mental disorder. Sweet food is the factor that reduce of central obesity in Jakarta. Women is more likely having central obesity in thirth provinces. Key words : risk factors, central obesity, prevalence, riskesdas

RINGKASAN ELYA SUGIANTI. Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Orang Dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta (dibimbing oleh HARDINSYAH dan NURFI AFRIANSYAH) Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI Jakarta. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Menganalisis hubungan antara karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan kejadian obesitas sentral, (2) Menganalisis hubungan antara gaya hidup dengan kejadian obesitas sentral, dan (3) Menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Departemen Kesehatan. Jumlah sampel awal obesitas sentral 30 150, setelah dikurangi data yang tidak lengkap tersisa 26 561 sampel, dengan rincian: Sulawesi Utara 8 885 sampel, Gorontalo 5 871 sampel, dan DKI Jakarta 11 805 sampel. Data dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data Riskesdas 2007 yang diperoleh dalam bentuk electronic file. Data terdiri atas variabel karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel (umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah), gaya hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik berat, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis, konsumsi makanan berlemak, dan kondisi mental emosional) dan ukuran lingkar perut. Data selanjutnya diolah menggunakan Microsoft Excell 2007 dan SPSS 15.0 for Windows dengan analisis deskriptif menggunakan crosstab, Korelasi Spearman, Kontingensi, dan Regresi Logistik. Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel berjenis kelamin perempuan dengan umur 45-54 tahun (Sulawesi Utara dan DKI Jakarta) dan 55-64 tahun (Gorontalo); berstatus cerai hidup/mati; besar keluarga 1-2 orang; tamat Perguruan Tinggi (Sulawesi Utara dan Gorontalo) dan tidak sekolah (DKI Jakarta); ibu rumah tangga; pengeluaran per kapita kuintil ke-5; tinggal di perkotaan; tidak merokok; tidak beraktivitas fisik berat; tidak mengonsumsi minuman beralkohol; kurang mengonsumsi sayuran dan buah (Sulawesi Utara dan Gorontalo) serta cukup mengonsumsi (DKI Jakarta); tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis; mengonsumsi makanan berlemak 3-6 kali per minggu (Sulawesi Utara), 1 kali per hari dan < 3 kali per bulan (Gorontalo), dan tidak pernah mengonsumsi (DKI Jakarta); serta kondisi mental emosional terganggu. Berdasarkan analisis Korelasi Kontingensi, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan tipe wilayah berhubungan nyata dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. Berdasarkan analisis Korelasi Spearman, umur, pendidikan (Sulawesi Utara dan Gorontalo), pengeluaran per kapita, konsumsi sayuran dan buah (DKI Jakarta), konsumsi makanan berlemak (Sulawesi Utara), dan kondisi mental emosional berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral. Adapun pendidikan (DKI Jakarta), besar keluarga, kebiasaan merokok, beraktivitas fisik berat, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi makanan/minuman manis (Sulawesi Utara dan DKI Jakarta), dan konsumsi

makanan berlemak (DKI Jakarta) berhubungan nyata negatif dengan kejadian obesitas sentral. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara adalah umur 35-54 tahun (OR=1.9), umur 55 tahun (OR=2.1), perempuan (OR=4.3), berstatus kawin (OR=3.2), berstatus cerai (OR=2.4), tamat SMA/PT (OR=1.4), ibu rumah tangga (OR=1.5), TNI/POLRI/PNS (OR=1.5), pegawai BUMN/swasta (OR=1.5), wiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.7), tinggal di perkotaan (OR=1.5), dan tidak beraktivitas fisik berat (OR=1.2). Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo adalah umur 35-54 tahun (OR=2.3), umur 55 tahun (OR=2.8), perempuan (OR=7.1), berstatus kawin (OR=3.1), berstatus cerai (OR=2.4), tamat SD/SMP (OR=1.3), ibu rumah tangga (OR=1.7), wiraswasta/pedagang/jasa (OR=2.6), TNI/POLRI/PNS (OR=1.9), pengeluaran per kapita kuintil ke-2 (OR=1.6), kuintil ke-3 (OR=1.6), kuintil ke-4 (OR=2.0), kuintil ke-5 (OR=2.3), tinggal di perkotaan (OR=1.3), tidak beraktivitas fisik berat (OR=1.3), dan kondisi mental emosional terganggu (OR=1.2). Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta adalah umur 35-54 tahun (OR=2.3), umur 55 tahun (OR=2.7), perempuan (OR=4.2), bersatus kawin (OR=2.6), berstatus cerai (OR=2.2), ibu rumah tangga (OR=1.4), pegawai BUMN/swasta (OR=1.3), wiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.3), pengeluaran per kapita kuintil ke-5 (OR=1.2), pernah merokok (OR=1.3), konsumsi makanan berlemak (OR=1.2), dan kondisi mental emosional terganggu (OR=1.1). Sementara konsumsi makanan/minuman manis (OR=0.9) bukan merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko obesitas sentral yang paling dominan pada ketiga provinsi.

FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ORANG DEWASA DI SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN DKI JAKARTA

ELYA SUGIANTI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Judul

: Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Orang Dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI Jakarta

Nama

: Elya Sugianti

NIM

: I14050689

Disetujui, Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Ir. Hardinsyah, MS

Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH

NIP. 1959 0807 198303 1 001

NIP. 1964 0424 198903 1 002

Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr.Ir.Evy Damayanthi, MS NIP. 1962 1204 198903 2 002

Tanggal lulus :

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, yaitu kepada : 1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Bapak Nurfi Afriansyah, SKM, MScPH selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini.

2.

Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen pemandu seminar atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3.

Ibu dr. Mira Dewi, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4.

Bapak Dr.Triono Soendoro, PhD dan Ibu Dr. Atmarita, MPH, PH yang telah memberikan ijin dalam penggunaan data Riskesdas 2007

5.

Bapak dan ibu tercinta, adikku Deni serta seluruh keluarga besar di Banyuwangi atas doa, kasih sayang, dan perhatiannya.

6.

Ibu Dr.Ir.Titik Sumarti MC, MS sekeluarga atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan selama ini.

7.

Soulmateku tercinta, nyunyun, terima kasih atas semua doa, dukungan, dan perhatian yang diberikan, semoga persahabatan kita akan terus terjalin, selamanya.

8.

Teman-teman pembahas : Deni, Kokom, Veni, teman-teman Se-PS : Farida, Agni, Wardina, dan teman-teman GIZ 42, terima kasih atas kritikan, dukungan dan perhatian yang diberikan. Adik-adik GIZ 43,44,45 sukses selalu untuk kalian.

9.

Teman-teman SOKAers : Nci, Fefin, Eka, Esty, Anne, Sri, dan Santi, terima kasih atas perhatian dan dukungan yang diberikan.

10. Teman-teman alumni Smansa’05, Lare Blambangan, dan Etosers, terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan serta kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2009 Elya Sugianti

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 1 Juni 1986 dari Bapak Sugianto dan Ibu Tasmiyatun. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri I Genteng dan pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di keorganisasian Uni Konservasi Fauna (UKF) periode 2006/2007, Lare Blambangan periode 2006/2007, Himpunan Mahasiswa Peminat Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode 2006/2007, Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007/2008, dan Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) periode 2007/2008. Penulis juga aktif sebagai panitia beberapa seminar maupun acara-acara yang berlangsung di departemen, fakultas, dan IPB.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI…………………………………………………………………………....viii DAFTAR TABEL ................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xi PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang……………………………………………………………………..1 Tujuan ............................................................................................................ 3 Kegunaan ....................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………….4 Obesitas ......................................................................................................... 4 Obesitas Sentral............................................................................................. 4 Dampak Obesitas Sentral……………………………………………………6 Pengukuran Obesitas Sentral……………………………………………….6 Faktor Risiko Obesitas Sentral…………………………………………………...7 Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi .......................................... 8 Gaya Hidup............................................................................................ 12 KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………………………….19 METODE ............................................................................................................. 23 Desain, Tempat, dan Waktu ......................................................................... 23 Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel………………………………………..23 Jenis dan Cara Pengumpulan Data.............................................................. 23 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 24 Asumsi dan Keterbatasan ............................................................................ 27 Batasan Operasional .................................................................................... 27 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………………30 Gambaran Umum Wilayah ........................................................................... 30 Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Sampel………………………..32 Gaya Hidup Sampel ..................................................................................... 34 Profil Obesitas Sentral berdasarkan Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi ..................................................................................... 36 Profil Obesitas Sentral berdasarkan Gaya Hidup …………………………….39 Hubungan Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi dengan Obesitas Sentral .......................................................................................................... 41 Hubungan Gaya Hidup dengan Obesitas Sentral……………………………..45 Faktor Risiko Obesitas Sentral ..................................................................... 50 Faktor Risiko Obesitas Sentral di Sulawesi Utara ................................ 50 Faktor Risiko Obesitas Sentral di Gorontalo……………………………...53 Faktor Risiko Obesitas Sentral di DKI Jakarta ...................................... 55 Pembahasan Umum……………………………………………………………..57

Penemuan Penting…………………………………………………………..57 Keterbatasan Penelitian…………………………………………………….60 Penelitian Lanjutan ................................................................................ 61 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………...63 Kesimpulan .................................................................................................. 63 Saran………………………………………………………………………………64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65 LAMPIRAN……………………………………………………………………………..72

DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik variabel penelitian……………………………………………………24 2. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel……………………………33 3. Gaya hidup sampel ......................................................................................... 36 4. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik demografi dan sosial-ekonomi terhadap kejadian obesitas sentral………………………………………….38 5. Sebaran sampel berdasarkan gaya hidup terhadap kejadian obesitas sentral .............................................................................................................. 40 6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral................ 49 7. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara .............................................. 52 8. Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo ...................................................... 54 9. Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta ................................................... 57

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis korelasi spearman dan kontingensi ........................................... 72 2. Hasil analisis regresi logistik ........................................................................... 75 3. Variabel yang diambil dari kuisioner Riskesdas 2007 ..................................... 78 4. Surat pernyataan penggunaan data ................................................................ 81

PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini obesitas telah menjadi masalah kesehatan dan gizi masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Review atas epidemi obesitas yang dilakukan Low, Chin dan Deurenberg-Yap (2009) memperlihatkan bahwa prevalensi kelebihan berat (overweight) di negara maju berkisar dari 23.2% di Jepang hingga 66.3% di Amerika Serikat, sedangkan di negara berkembang berkisar dari 13.4% di Indonesia sampai 72.5% di Saudi Arabia. Adapun prevalensi kegemukan (obesity) di negara maju berkisar dari 2.4% di Korea Selatan hingga 32.2% di Amerika Serikat, sedangkan di negara berkembang berkisar dari 2.4% di Indonesia sampai 35.6% di Saudi Arabia (Low, Chin & Deurenberg-Yap 2009). World Health Organization (WHO) memperkirakan, di dunia ada sekitar 1.6 milyar orang dewasa berumur 15 tahun kelebihan berat dan setidak-tidaknya sebanyak 400 juta orang dewasa gemuk (obese) pada tahun 2005, dan diperkirakan >700 juta orang dewasa akan gemuk (obese) pada tahun 2015 (WHO 2000; Low, Chin & Deurenberg-Yap 2009). Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa 8.8% orang dewasa berumur 15 tahun kelebihan berat dan 10.3% gemuk (Balitbangkes Depkes 2008). Kegemukan atau obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam jaringan adiposa. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: Obesitas I, Obesitas II dan Obesitas III. Adapun berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas sentral dan obesitas umum. Untuk penduduk barat, seseorang dikatakan obesitas apabila IMT-nya 30 kg/m2 atau lingkar perut 102 cm pada pria dan 2

88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMT-

nya >25 kg/m atau lingkar perut

90 cm pada pria dan

80 cm pada wanita

(WHO 2000). Menurut WHO (2000), obesitas sentral adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum (Shen et al 2006; Wittchen et al 2006). Prevalensi obesitas sentral pada penduduk barat dan timur tinggi. Prevalensi obesitas sentral pada laki-laki AS meningkat dari 37% (periode 19992000) menjadi 42.2% (periode 2003-2004), sedangkan prevalensi obesitas sentral pada perempuan AS meningkat dari 55.3% menjadi 61.3% pada periode

yang sama (Li et al. 2007). Pada laki-laki dan perempuan Eropa, obesitas sentral yang didefinisikan menurut kriteria lingkar perut definisi lokal (menggunakan nilai cut-off 90-102 cm untuk laki-laki dan 80-92 cm untuk perempuan) secara berturut-turut adalah 21% dan 24% di Belgia, 8% dan 13% di Perancis, 23% dan 65% di Spanyol, dan 18% dan 39% di Turki (Wittchen et al 2006). Prevalensi obesitas sentral di Yunani 36% pada laki-laki dan 43% pada perempuan (Panagiotakos et al. 2004), China 16.1% pada laki-laki dan 37.6% pada perempuan (Reynolds et al. 2007), Oman 49.3% (Al-Riyami&Afifi 2003). Di Indonesia, prevalensi obesitas sentral di Kota Padang didapatkan sebesar 12.1% pada laki-laki dan 46.3% pada perempuan (Kamso 2007), sedangkan di Denpasar diperoleh sebesar 51.1% (Gotera et al. 2006). Riskesdas 2007 menemukan prevalensi obesitas sentral sebesar 18.8% (Balitbangkes Depkes 2008). Obesitas sentral dapat terjadi karena adanya perubahan gaya-hidup, seperti

tingginya

konsumsi

minuman

beralkohol

(Dorn

et

al.

2003;

Riserus&Ingelsson 2007), kebiasaan merokok (Canoy et al. 2005; Xu et al. 2007), tingginya konsumsi makanan berlemak (Garaulet et al. 2001), rendahnya konsumsi sayuran dan buah (Drapeau et al. 2004; Newby et al. 2003), dan rendahnya aktivitas fisik (Slentz et al. 2004; Besson et al. 2009). Selain itu, peningkatan umur (Martins&Marinho 2003), perbedaan jenis kelamin (Dekkers et al. 2004), dan status sosial ekonomi (Reynolds et al. 2007) diduga juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Peningkatan prevalensi obesitas sentral berdampak pada munculnya berbagai

penyakit

degeneratif.

Obesitas

sentral

berhubungan

dengan

peningkatan sindrom metabolik (Shen et al. 2006), aterosklerosis (Lee et al. 2007), penyakit kardiovaskuler (Baik et al. 2000; Wildman et al. 2005), diabetes tipe 2 (Wang et al. 2005; Krishnan et al. 2007), batu empedu (Tsai et al. 2004), gangguan fungsi pulmonal (Chen et al. 2007), hipertensi dan dislipidemia (Barbagallo et al. 2001). Riskesdas 2007 merupakan pengejawantahan salah satu dari empat grand strategy Departemen Kesehatan, yakni berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based melalui pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan (Balitbangkes Depkes 2008). Laporan Riskesdas 2007 baru memberikan informasi tentang obesitas sentral sebatas prevalensi dan belum menyajikan informasi tentang faktor-faktor risikonya. Riskesdas 2007 melaporkan bahwa tiga

prevalensi obesitas sentral tertinggi, yaitu di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut 31.5%, 27%, dan 27.9% (Balitbangkes Depkes 2008). Terdapatnya jumlah sampel yang besar dan informasi yang luas pada Riskesdas 2007 serta tingginya prevalensi obesitas sentral di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta membuat peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut faktorfaktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi tersebut. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI Jakarta. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis hubungan antara karakteristik demografi dan sosialekonomi dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. 2. Menganalisis hubungan antara gaya-hidup dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. 3. Menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak antara lain: 1. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan ilmu yang pernah diberikan, meningkatkan

kemampuan

dalam

mengolah,

menganalisis

dan

menginterpretasi data. 2. Bagi wilayah terkait, dapat memberikan gambaran mengenai populasi yang berisiko mengalami obesitas sentral sehingga dapat dijadikan acuan dalam membuat kebijakan dan promosi kesehatan masyarakat dalam mengontrol penyakit degeneratif. 3. Bagi masyarakat, menyadarkan akan adanya faktor risiko obesitas sentral dan dampaknya terhadap kesehatan. 4. Bagi institusi pendidikan, dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai obesitas sentral.

TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO 2000). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT

30.00.

Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas tingkat III dengan IMT

40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik

memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT

25.00. Berdasarkan cut off

point obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT

30.00. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua

jenis, yakni obesitas sentral dan obesitas umum (WHO 2000). Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak yang terpusat pada daerah perut (intra-abdominal fat). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan risiko kesehatan lebih berhubungan dengan obesitas sentral dibandingkan dengan obesitas umum. Wildman et al. (2004) menemukan, lakilaki dan perempuan yang mengalami obesitas sentral mempunyai tekanan darah sistol dan diastol, kolesterol total, kolesterol LDL, dan triasilgliserol rata-rata tinggi, serta kolesterol HDL rendah. Lofgren et al. (2004) menemukan bahwa ukuran lingkar perut (waist circumference) berhubungan dengan kadar insulin, leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C. Perempuan dengan lingkar perut > 88 cm memiliki konsentrasi leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C lebih tinggi. Adapun Gotera et al. (2006) menemukan, orang lansia berpenyakit jantung koroner dengan obesitas sentral mempunyai tekanan

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah. Menurut WHO (2000), jaringan lemak visceral (intra-abdominal fat) memiliki sel per unit massa lebih banyak, aliran darah lebih tinggi, reseptor glucocorticoid (kortisol) dan androgen (testosterone) lebih banyak dan katecholamine lebih besar dibandingkan dengan jaringan lemak bawah kulit (subcutaneous adipose). Von-Eyben et al. (2003) menemukan bahwa jaringan lemak intra-abdominal berhubungan linier dengan enam faktor risiko metabolik, seperti tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, glukosa darah, kolesterol HDL, trigliserida serum, dan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) plasma. Jaringan

adiposa

disadari

sebagai

organ

endokrin

penting

yang

menghasilkan beberapa hormon protein. Namun, tingginya akumulasi lemak, terutama pada daerah perut (intra-abdominal fat) memicu jaringan adiposa menghasilkan hormon dalam jumlah yang tidak normal, seperti tingginya sekresi insulin, tingginya level testoteron dan androstenedion bebas, rendahnya level progesteron pada perempuan dan testoteron pada laki-laki, tingginya produksi kortisol, dan rendahnya level hormon pertumbuhan. Ketidaknormalan produksi hormon ini diduga meningkatkan risiko kesehatan (WHO 2000). Lemak visceral adalah komponen lemak tubuh penting sebagai faktor risiko metabolik (Wildman et al. 2004). Review yang dilakukan Klein et al. (2007) memperlihatkan hubungan obesitas sentral dengan kardiometabolik. Klein et al. (2007) menyatakan, mekanisme biologi hubungan antara obesitas sentral dengan kardiometabolik belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa hipotesis yang dapat ditegakkan. Pertama, keterbatasan kemampuan jaringan lemak subcutaneous dalam menyimpan kelebihan energi menyebabkan akumulasi lemak yang berakibat pada disfungsi metabolik pada beberapa organ. Kedua, terjadinya lipolisis pada jaringan adiposa omental dan mesenteric yang melepaskan asam lemak bebas. Hal ini dapat menginduksi resistensi insulin dan menyediakan substrat untuk sintesis lipoprotein dan simpanan lipid. Jaringan adiposa omental dan mesenteric juga memproduksi protein dan hormon spesifik, seperti adipokin inflamatori, angiotensinogen, dan kortisol (dibangkitkan oleh aktivitas lokal 11-hydroxysteroid dehydrogenase). Ketiga, predisposisi gen yang secara bebas menyebabkan penyakit kardiometabolik.

Dampak Obesitas Sentral Dampak obesitas sentral lebih tinggi risikonya terhadap kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum (de Pablos-Velasco et al. 2002). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap risiko kesehatan. Obesitas sentral berdampak terhadap peningkatan risiko kematian (Zhang et al. 2007; Pischon et al. 2008; Bigaard et al. 2003). Wildman et al. (2005) menemukan, obesitas sentral meningkatkan risiko hipertensi, dislipidemia, diabetes, dan sindrom metabolik pada laki-laki dan perempuan. Obesitas sentral juga berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler dan penyakit jantung koroner (Baik et al. 2000; Sonmez et al. 2004; Wildman et al. 2005). Gotera et al. (2006) menyatakan, dampak obesitas sentral terhadap penyakit jantung koroner berkaitan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme langsung melalui efek metabolik protein yang disekresikan oleh jaringan lemak seperti interleukin (IL) 1, IL 6, TNF-

adiponektin dan masih banyak protein

lainnya terhadap endotel pembuluh darah, dan efek tidak langsung akibat faktorfaktor lain yang muncul sebagai risiko penyakit kardiovaskuler akibat dari obesitas sentral tersebut. Obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik (Shen et al. 2006; Griesemer 2008). Obesitas sentral dapat digunakan sebagai prediktor risiko diabetes tipe dua (Wang et al. 2005; Krisnan et al. 2007) dan batu empedu (Tsai et al. 2004). WHO (2000) menyatakan, obesitas meningkatkan risiko terjadinya

penyakit degeneratif

seperti

penyakit

kardiovaskuler,

sindrom

metabolik, gangguan toleransi glukosa, diabetes tipe 2, hipertensi, batu empedu, dislipidemia, susah napas, sleep apnoea, hyperuricaemia, gout, ketidaknormalan produksi

hormon,

polysistic

ovary

syndrome,

ketidaksuburan,

masalah

psikososial, dan beberapa tipe kanker. Pengukuran Obesitas Sentral Pengukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mendeteksi obesitas sentral, yaitu: lingkar perut, rasio pinggang panggul (waist hip ratio), WCR (waist chest ratio), dan WHtR (waist to-height-ratio). Pengukuran lingkar perut merupakan suatu parameter yang menyediakan perkiraan ukuran lemak tubuh yang mengumpul di perut. Pengukuran lingkar perut menyediakan pengukuran distribusi lemak yang tidak dapat menggunakan pengukuran IMT (Klein et al. 2007). IMT tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan

otot dan lemak (WHO 2000). Lingkar perut lebih akurat untuk mencerminkan obesitas sentral (Sonmez et al. 2003). Lingkar perut dapat digunakan sebagai indikator pelengkap untuk mendeteksi

risiko

kesehatan

pada

berat

normal

dan

kelebihan

berat

(Wannamethee et al. 2005). Diagnosis menggunakan IMT lebih lemah jika dibandingkan dengan lingkar perut dan WHtR. Lingkar perut merupakan pengukuran yang lebih mudah daripada WHtR (Sonmez et al. 2003). Wang et al. (2005) menemukan bahwa lingkar perut lebih baik dalam mengukur obesitas sentral daripada WHtR sebagai prediksi risiko diabetes tipe 2. Pengukuran menggunakan lingkar perut lebih cocok sebagai prediktor kematian pada usia lebih dari 65 tahun dibandingkan dengan IMT (Baik et al. 2000). Visscher et al. (2001) menemukan bahwa pengukuran lingkar perut pada laki-laki yang tidak pernah merokok dapat mendeteksi lebih akurat individu yang berisiko tinggi terhadap kematian daripada pengukuran IMT. Lingkar perut lebih kuat sebagai prediktor CHD (Lofgren et al. 2004) dan hipoadiponektinemia (Gotera et al. 2006) daripada IMT. Kriteria obesitas sentral adalah lingkar perut

102 cm pada laki-laki dan

88 cm pada perempuan. Adapun kriteria obesitas sentral di wilayah Asia Pasifik adalah lingkar perut 90 cm pada laki-laki dan 80 cm pada perempuan (WHO 2000). Ko dan Tang (2007) menemukan cut off point pre-obesitas sentral untuk penduduk China adalah lingkar perut 84-90 cm pada laki-laki dan 74-80 cm pada perempuan. Cut off point pre-obesitas sentral setara dengan IMT (23-25) dan berdampak pada peningkatan risiko kesakitan. Penelitian sebelumnya di China, menemukan bahwa cut off point lingkar perut dan IMT yang rendah dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingginya risiko CVD di China, yakni dengan lingkar perut 80 cm dan IMT 24 (Wildman et al. 2004). Cut off point lingkar perut untuk mendiagnosis sindrom metabolik populasi perkotaan di Irak adalah 99 cm pada laki-laki dan 97 cm pada perempuan (Mansour et al. 2007). Faktor Risiko Obesitas sentral Penyebab utama masalah obesitas adalah lingkungan dan perubahan perilaku. Peningkatan proporsi lemak dan peningkatan densitas energi dalam diet, penurunan level aktivitas fisik dan peningkatan perilaku sedentary, merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan berat badan pada populasi. Genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis

kelamin, dan umur saling berinteraksi memengaruhi peningkatan berat badan (WHO 2000). Faktor risiko yang diduga berhubungan dengan obesitas sentral dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi dan sosial-ekonomi (umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah) dan gaya-hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan/minuman, dan stres). Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Umur Umur merupakan faktor risiko obesitas sentral yang tidak dapat diubah. Seiring dengan bertambahnya umur, prevalensi obesitas sentral mengalami peningkatan (Martins&Marinho 2003; Erem et al 2004). Peningkatan umur akan meningkatkan kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak pusat (Chang et al. 2000; Demerath et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral meningkat sampai dengan umur 44 tahun dan menurun kembali pada umur 45-54 tahun. Prevalensi obesitas sentral ditemukan lebih tinggi pada sampel dengan umur lebih tua (Janghorbani et al. 2007). Pada umur lebih tua terjadi penurunan massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon yang memicu penumpukan lemak perut. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pada umur 40-59 tahun seseorang cenderung obesitas dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Hal ini diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Selain itu, orang tua biasanya tidak begitu memperhatikan ukuran tubuhnya. Jenis Kelamin Prevalensi obesitas umum dan obesitas sentral lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan

dengan

laki-laki

(Al-Riyami&Afifi

2003;

Martins&Marinho 2003; Gutierrez-Fisac et al. 2004; Yoon et al. 2006). Obesitas sentral lebih umum dijumpai pada perempuan (Sonmez et al. 2003; PablosVelasco et al. 2002). Tingginya prevalensi obesitas pada perempuan menunjukkan bahwa kelebihan lemak pusat lebih banyak terdapat pada perempuan (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada lakilaki dan perempuan. Demerath et al. (2007) menemukan, lemak perut lebih tinggi pada perempuan yang lebih tua daripada laki-laki muda. Jaringan adiposa meningkat dengan bertambahnya umur, perempuan cenderung lebih berisiko obesitas sentral, terutama setelah menopause. Perempuan postmenopause memiliki persentase lemak perut, kolesterol total, dan trigliserida yang tinggi. Seiring dengan bertambahnya umur dan efek menopause, pada perempuan akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat (Chang et al. 2000). Perempuan mengontrol kelebihan energi sebagai lemak simpanan, sedangkan laki-laki menggunakan kelebihan energinya untuk mensintesis protein. Pada perempuan, pola penggunaan energi untuk keseimbangan energi positif dan deposit lemak disebabkan oleh dua alasan. Pertama, penyimpanan lemak jauh lebih efisien daripada protein. Kedua, penyimpanan energi sebagai lemak akan berperan pada rendahnya rasio jaringan bebas lemak dengan jaringan lemak dengan hasil tidak meningkatnya RMR (Resting Metabolite Rate) pada kecepatan yang sama sebagai massa tubuh (WHO 2000). Status Kawin Obesitas berhubungan nyata positif dengan status kawin (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Prevalensi obesitas tertinggi pada orang yang memiliki status cerai dan terendah pada orang yang belum menikah (Erem et al. 2004). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada sampel yang telah menikah. Hal ini karena kurangnya aktivitas fisik setelah menikah dan perubahan pola makan yang menyesuaikan pasangannya. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Panagiotakos et al. (2004) terhadap orang dewasa berumur 20-89 tahun di Yunani menemukan bahwa tidak terdapat hubungan obesitas dengan status kawin. Besar Keluarga Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Adiningrum (2008) menemukan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berhubungan dengan kegemukan. Namun, lebih lanjut Adiningrum (2008) menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga akan memengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masing-masing individu. Terlalu banyaknya individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan juga

mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dengan banyaknya anggota keluarga, akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk. Setiap penambahan anak, risiko obesitas meningkat sebesar 4% pada lakilaki dan 7% pada perempuan (Weng et al. 2004). Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas sentral di Thailand. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Al-Riyami dan Afifi (2003) yang menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan obesitas sentral. Pendidikan Beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada orang berpendidikan rendah (Gutierrez-Fisac et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004). Wolff et al. (2006) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral meningkat pada laki-laki berpendidikan tengah (10-12 tahun) dan atas (>12 tahun) serta sedikit berubah pada pendidikan rendah ( 9 tahun), sedangkan pada perempuan, prevalensi obesitas sentral meningkat pada semua tingkatan pendidikan, khususnya pada pendidikan rendah. Pendidikan berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif pada perempuan dan hubungan positif pada laki-laki antara pendidikan dengan obesitas sentral. Tingginya level pendidikan juga meningkatkan berat badan dan lingkar perut (Zhang et al. 2008). Namun, Rosmond dan Bjorntorp (2000) menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan) berhubungan dengan obesitas sentral dan tingginya nilai kortisol. Pekerjaan Perubahan pada struktur sosial berhubungan dengan peningkatan obesitas. Hubungan ini terletak pada peningkatan proporsi populasi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain yang kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan pekerjaan manual yang membutuhkan banyak aktivitas fisik pada masyarakat tradisional (WHO 2000). Dekkers et al. (2004) menyatakan bahwa kecepatan perkembangan jaringan adiposa dari anak sampai dewasa muda dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Lahmann et al (2000) menyatakan bahwa status sosial ekonomi orang tua (pekerjaan ayah) merupakan prediktor kuat peningkatan jaringan adiposa pusat dan peningkatan berat badan, terutama sosial ekonomi lemah. Interaksi

antara pekerjaan ayah dan pekerjaaan sendiri berhubungan dengan perubahan berat badan dan lingkar perut. Pengeluaran per Kapita Pengeluaran per kapita merupakan salah satu indikator status ekonomi seseorang. Pengeluaran per kapita paralel dengan pendapatan per kapita seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Reynolds et al (2007) menemukan bahwa pendapatan berhubungan dengan obesitas sentral pada laki-laki. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga semakin berisiko obesitas (Erem et al. 2004). Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan konsumsi rumah tangga seperti makanan tinggi lemak dan konsumsi daging (WHO 2000). Pendapatan berhubungan positif dengan kejadian obesitas sentral pada laki-laki di Korea. Pendapatan tinggi meningkatkan obesitas sentral 1.37 kali dibandingkan dengan pendapatan terendah pada laki-laki di Korea. Pada perempuan, pendapatan tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kejadian obesitas sentral. Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik (Yoon et al. 2006). Tipe Wilayah Tipe wilayah perkotaan berhubungan positif dengan obesitas. Wilayah perkotaan berhubungan dengan obesitas karena peningkatan jumlah orang yang tinggal di perkotaan. Wilayah perkotaan berhubungan dengan berbagai faktor yang memengaruhi diet, aktivitas fisik, dan komposisi tubuh. Hal ini melibatkan perubahan transportasi, kemudahan akses dan penggunaan fasilitas kesehatan dan pendidikan modern, komunikasi, pemasaran dan ketersediaan pangan, dan perbedaan profil pekerjaan dengan yang lainnya (WHO 2000). Reynolds et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada sampel yang tinggal di perkotaan. Tingginya prevalensi obesitas sentral di perkotaan diakibatkan oleh urbanisasi yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa seseorang yang tinggal di perkotaan cenderung mengikuti makanan ala barat yang rendah serat dan kurang aktivitas fisik.

Gaya Hidup Kebiasaan Merokok Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resisten insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Xu et al. (2007) menyatakan bahwa merokok berhubungan negatif dengan peningkatan berat badan (IMT) tetapi positif berhubungan dengan lingkar perut pada laki-laki. Merokok dalam jangka waktu lama berpengaruh pada obesitas sentral daripada obesitas umum. Erem et al (2004) menemukan hubungan negatif merokok dengan obesitas sentral. Mantan perokok berhubungan positif dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Perokok menurunkan 0.68 cm lingkar perut, sedangkan mantan merokok berhubungan dengan peningkatan 1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Mekanisme biologi antara merokok dengan pola distribusi lemak tidak jelas. Meskipun perokok memiliki nilai rata-rata IMT yang lebih rendah daripada bukan perokok, perokok memiliki profil distribusi lemak yang mencerminkan konsekuensi metabolik merokok dengan lebih tingginya lemak pusat (Canoy et al. 2005). Mantan perokok berpeluang mengalami obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan perokok dan bukan perokok. Hal ini disebabkan oleh efek ganda merokok yaitu merokok meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan, dan kedua efek akan hilang pada mantan perokok (Chiolero et al. 2007). Review yang dilakukan oleh Chiolero et al. (2008) mengenai hubungan merokok pada berat tubuh, distribusi lemak tubuh dan resistensi insulin memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan pada perokok, sedangkan di sisi yang lain, perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau tidak merokok, jika merokok diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti rendahnya tingkat aktivitas fisik, dan diet yang buruk. Pada perempuan, setelah 30 hari penghentian merokok, RMR 16% lebih rendah

daripada

ketika

masih

merokok

sehingga

dapat

menyebabkan

peningkatan berat badan sebagai efek menurunnnya RMR dan peningkatan asupan

energi.

Sejumlah

studi

menunjukkan

bahwa

seseorang

yang

menghentikan kebiasaan merokoknya kelihatan meningkat berat badannya. Hal ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein).

Lemak visceral dipengaruhi oleh konsentrasi kortisol. Sedangkan perokok memiliki lebih tinggi konsentrasi kortisol plasma daripada orang yang tidak merokok.

Tingginya

konsentrasi

kortisol

adalah

konsekuensi

aktivitas

sympathetic nervous system yang diinduksi oleh merokok. Massa lemak visceral meningkat ketika konsentrasi estrogen menurun dan konsentrasi testosteron meningkat.

Rendahnya

estrogen, kelebihan

androgen, dan

peningkatan

testosteron pada perempuan berhubungan dengan akumulasi lemak visceral. Pada laki-laki lemak visceral meningkat dengan penurunan testosteron. Sementara testosteron pada laki-laki menurun dengan merokok. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan upaya pencegahan peningkatan berat badan dan secara signifikan berkontribusi untuk menurunkan berat badan dalam jangka panjang dan mengurangi risiko kesehatan yang berhubungan dengan penyakit kronis (Jakicic&Otto 2005). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan lingkar perut (Erem et al. 2004; Slentz et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009). Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas pada perempuan tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007). Aktivitas fisik dapat berpengaruh terhadap perubahan jaringan lemak pusat, bahkan pada anak-anak (Barbeau et al. 2007). Mustelin et al. (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan kuat antara aktivitas fisik dan lingkar perut. Aktivitas fisik secara nyata memodifikasi efek dari faktor genetik seseorang. Peningkatan aktivitas fisik lebih berhubungan secara nyata dengan lingkar perut daripada IMT. Williams dan Satariano (2005) menemukan bahwa lingkar perut menurun secara signifikan dengan lari pada semua umur, namun penurunan lebih nyata pada perempuan yang lebih tua daripada yang lebih muda, khususnya pelari jarak pendek. Latihan tingkat berat dapat menghindarkan penumpukan lemak yang bertambah seiring dengan umur. Intervensi latihan (exercise) intensif tingkat moderat selama 12 bulan secara nyata merubah berat tubuh, lemak tubuh total, dan lemak perut. Exercise berperan pada penurunan lemak tubuh khususnya lemak perut (Irwin et al. 2003). Latihan sedang sampai berat selama 12 bulan menurunkan berat tubuh rata-rata pada perempuan 1.4 kg dan kontrol 0.7 kg, pada laki-laki 1.8 kg dan 0.1 kg pada kontrol. Exercise dapat menurunkan obesitas sentral dengan durasi 370 menit/minggu pada laki-laki dan 295 menit/minggu pada perempuan. Aktivitas

fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan obesitas (McTiernan et al. 2007). Menurut Koh-Banerjee et al. (2003), aktivitas fisik berat lebih dari 0.5 jam/hari menurunkan 0.91 cm lingkar perut. Aktivitas fisik menurunkan obesitas sentral melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa. Jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi (WHO 2000). WHO (2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Perilaku Konsumsi Makanan/minuman Perilaku konsumsi makanan/minuman adalah kebiasaan seseorang dalam mengonsumsi makanan/minuman. Dalam penelitian ini perilaku konsumsi meliputi konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis, dan konsumsi makanan berlemak. Konsumsi minuman beralkohol Penelitian yang dilakukan oleh Dorn et al. (2003) terhadap 2343 orang dewasa berumur 35-74 tahun di New York menemukan hubungan antara konsumsi minuman beralkohol dengan distribusi lemak tubuh sentral. Lebih lanjut Dorn et al (2003) menyatakan bahwa konsumsi minuman beralkohol secara berlanjut dapat meningkatkan lemak abdominal (lemak perut) sebagai risiko untuk penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Demikian halnya dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan positif antara konsumsi minuman beralkohol dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004). Sebaliknya, Tolstrup et al. (2008) menemukan hubungan negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan 5 tahun peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak berhubungan. Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa konsumsi minuman beralkohol tidak berhubungan dengan peningkatan lingkar perut setelah 9 tahun. Penelitian kohort terhadap laki-laki berumur 70 tahun menunjukkan bahwa asupan minuman beralkohol berhubungan positif dengan lingkar perut. Berdasarkan hubungan antara jumlah minum/minggu dengan lingkar perut, setiap

tambahan

minum/minggu

meningkatkan

lingkar

perut

0.12

cm.

Berdasarkan diet tujuh hari, asupan minuman beralkohol berhubungan positif dengan lingkar perut. Tingginya asupan liquor berhubungan dengan peningkatan

lingkar

perut,

sebaliknya

pada

beer

dan

wine

tidak

berhubungan

(Riserus&Ingelsson 2007). Laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah minuman beralkohol memiliki lingkar perut yang lebih besar setelah 10 tahun. Terdapat perbedaan hubungan antara tipe minuman beralkohol dengan lingkar perut. Konsumsi beer meningkatkan lingkar perut pada laki-laki dan perempuan setelah 10 tahun. Adapun konsumsi wine pada laki-laki berfluktuasi, sedangkan pada perempuan tidak berhubungan. Namun, terdapat kecenderungan rendahnya lingkar perut pada laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah besar wine setelah 10 tahun. Spirit meningkatkan risiko obesitas pada laki-laki dan perempuan (Vadstrup et al. 2003). Bobak et al. (2003) menemukan bahwa asupan beer berhubungan positif dengan obesitas sentral pada laki-laki dan negatif pada perempuan. Efek beer kuat pada laki-laki yang bukan perokok daripada laki-laki perokok. Mekanisme hubungan antara tingginya asupan minuman beralkohol dengan simpanan lemak perut tidak begitu jelas, kemungkinan karena minuman beralkohol menyediakan sejumlah energi (6-10% asupan energi). Jika tingginya asupan minuman beralkohol berhubungan dengan tingginya asupan energi, asupan minuman beralkohol juga berhubungan dengan IMT (Riserus&Ingelsson 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa satu gram minuman beralkohol dapat menyumbangkan energi sebesar 7 kilokalori. Sumbangan energi ini lebih besar dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Tingginya asupan minuman beralkohol, tidak konsisten berhubungan dengan IMT. Mungkin, minuman beralkohol berhubungan dengan obesitas sentral melalui mekanisme non energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testoteron pada lakilaki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi lemak visceral (Riserus&Ingelsson 2007). Konsumsi Sayuran dan Buah Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat tubuh. Penelitian kohort menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah

dengan risiko obesitas. Perempuan yang mengonsumsi buah lebih tinggi dapat menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75). Perempuan dengan asupan sayuran lebih tinggi menurunkan 16% risiko obesitas dibandingkan dengan yang lebih rendah (OR=0.84). Penurunan asupan sayuran atau buah berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama 12 tahun. Peningkatan asupan sayuran dan buah berhubungan nyata dengan rendahnya risiko obesitas pada perempuan. Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al. 2004). Epstein et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi karbohidrat dan serat dapat meningkatkan rasa kenyang, menurunkan asupan energi, dan asupan lemak. Kontribusi utama dalam mengontrol berat badan adalah menurunkan asupan energi dan pembatasan diet. Peningkatan asupan serat 12 gram/hari berhubungan dengan penurunan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun (Koh-Banerjee et al. 2003). Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak. Peningkatan konsumsi buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih mudah dimakan sebagai snack atau dessert, sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan dibandingkan dengan jus buah. Buah mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004). Konsumsi Makanan/minuman Manis Makanan manis meningkatkan berat tubuh dan lingkar perut. Hubungan ini diduga karena kombinasi antara makanan berlemak dengan makanan manis. Makanan manis seringkali kaya lemak (Drapeau et al. 2004). Diet fruktosa berkontribusi pada peningkatan asupan energi dan berat badan. Minuman manis berenergi meningkatkan asupan energi yang berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructosa corn syrup) berhubungan dengan epidemi obesitas. HFCS biasa digunakan pada makanan produk bakeri, minuman kaleng, jam dan jelly.

HFCS dan peningkatan asupan soft drink dan minuman manis lain berperan pada peningkatan total energi dan konsumsi fruktosa yang berkontribusi pada epidemi obesitas (Bray et al. 2004). Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa urbanisasi pada negara berkembang kuat hubungannya dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis dan efek lemahnya rasa kenyang. Beberapa penelitian cross sectional menemukan bahwa tingginya asupan makanan manis berhubungan negatif dengan asupan makanan berlemak, sehingga dapat memproteksi obesitas. Hal ini diduga karena terdapatnya counfounding seperti umur dan aktivitas fisik. Review yang dilakukan oleh Malik et al. (2006) menunjukkan bahwa pada beberapa penelitian cross sectional terdapat hubungan positif, negatif atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dan kelebihan berat badan atau obesitas. Demikian halnya pada penelitian kohort, juga ditemukan hubungan positif, negatif atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dengan obesitas. Terdapatnya hubungan antara konsumsi makanan manis dengan obesitas diduga karena kontribusinya terhadap total energi. Minuman manis berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Konsumsi makanan berlemak Penelitian yang dilakukan oleh Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap 33542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan gorengan (food fried) berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi. Huot et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak berhubungan dengan obesitas pada laki-laki, namun tidak pada perempuan. Konsumsi makanan berlemak dapat meningkatkan lingkar perut dan berat tubuh (Drapeau et al 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Garaulet et al (2001) terhadap 85 sampel obesitas tingkat 1 dan tingkat 2 berumur 30-70 tahun menunjukkan bahwa konsumsi makanan berlemak merupakan faktor yang berhubungan dengan obesitas sentral.

Asupan lemak memiliki densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi makro lain. Satu gram lemak menyumbang 9 kilokalori. Efek stimulasi makanan berlemak pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika mengonsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah pada waktu seseorang mengonsumsi makanan berlemak (WHO 2000). Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) menunjukkan bahwa perubahan pola diet berhubungan dengan transisi zat gizi yang secara langsung berhubungan dengan obesitas. Di China, terdapat hubungan paralel antara perkembangan ekonomi, peningkatan konsumsi lemak, dan obesitas. Mekanisme fisiologi yang menjelaskan mengapa konsumsi makanan lemak berperan dalam peningkatan lemak tubuh adalah densitas energi yang tinggi, rasa lezat makanan berlemak, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, dan lemahnya regulasi fisiologi asupan lemak terhadap asupan karbohidrat. Stres Lee et al. (2005) menemukan bahwa depresi berhubungan dengan lemak pusat

(visceral

fat)

pada

perempuan

premenopause

yang

mengalami

kegemukan. Depresi berhubungan pada peningkatan jangka panjang BWV (Body Weight Variability) dan tidak berhubungan dengan level IMT atau trend IMT. Terdapat hubungan positif yang kuat antara jenis kelamin perempuan dengan BWV. Hal ini menjelaskan hubungan nyata antara perempuan dengan depresi (Hasler et al. 2005). Roberts et al. (2003) menemukan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan depresi setelah 5 tahun. Depresi dapat menyebabkan peningkatan IMT dan sekresi kortisol (Roberts et al. 2007). Roemmich et al. (2007) menemukan bahwa reaktivitas stres mengawali penyakit kardiovaskuler sebelum remaja oleh peningkatan total dan obesitas sentral pada anak. Anak dengan peningkatan reaktivitas heart rate pada waktu stres memilki peningkatan lemak tubuh, IMT, dan lemak pusat. Katz et al. (2000) menemukan bahwa depresi konsisten berhubungan dengan obesitas dan obesitas sentral. Level metabolit kortisol meningkat pada laki-laki depresi, tetapi tidak berhubungan dengan adiposa. Obesitas sentral pada laki-laki berhubungan dengan peningkatan respon pituitari-adrenal ke CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone) dan hal ini berhubungan dengan depresi. Namun, pada perempuan postmenopause tidak berhubungan.

KERANGKA PEMIKIRAN Obesitas sentral adalah salah satu jenis obesitas yang banyak dialami orang dewasa, baik di negara maju maupun negara berkembang. Obesitas sentral terjadi akibat kelebihan akumulasi lemak pada daerah perut. Peningkatan kejadian obesitas sentral berimplikasi pada peningkatan berbagai macam penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskuler, hipertensi, dislipidemia, diabetes tipe 2, batu empedu, dan beberapa jenis kanker (WHO 2000). Terdapat banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya obesitas sentral, antara lain karakteristik demografi dan sosial-ekonomi serta gaya-hidup. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi meliputi umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang; makin bertambah umur, semakin meningkat kandungan lemak tubuh total seseorang, terutama distribusi lemak pusatnya. Peningkatan umur pun menyebabkan penurunan massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon sehingga dapat memicu penumpukan lemak perut. Jenis kelamin juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena kelebihan lemak pusat lebih banyak terdapat pada perempuan. Status kawin berhubungan pula dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menunjukkan, hubungan nyata positif antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral. Seseorang yang menikah akan cenderung menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian diri dapat memengaruhi gaya hidup dan pola makannya. Besar keluarga pun berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral. Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil cenderung lebih berisiko mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan yang memiliki anggota keluarga besar. Seseorang dengan anggota keluarga kecil cenderung memiliki ketersediaan pangan lebih banyak daripada seseorang dengan anggota keluarga besar. Pendidikan

juga

berhubungan

dengan

kejadian

obesitas

sentral.

Pendidikan yang rendah dapat meningkatkan risiko obesitas sentral. Pendidikan dapat memengaruhi kepercayaan seseorang mengenai kebiasaan makan. Di samping itu, pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian berpikir

seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah menyerap informasi mengenai pesan kesehatan daripada seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan berhubungan pula dengan terjadinya obesitas sentral. Hal tersebut karena pada beberapa jenis pekerjaan tertentu tidak membutuhkan aktivitas fisik yang cukup sehingga terjadi penumpukan kelebihan energi dalam tubuh. Begitu pun dengan peningkatan pengeluaran per kapita, ini juga berhubungan dengan peningkatan kejadian obesitas sentral. Hal itu terkait dengan kemudahan dalam memanfaatkan akses dan penggunaan fasilitas modern yang membuat rendahnya aktivitas fisik seseorang. Seseorang yang berpendapatan tinggi sering membelanjakan pendapatannya tersebut untuk mengonsumsi pangan berenergi tinggi. Tipe wilayah pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami orang yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Arus urbanisasi menyebabkan gaya hidup seseorang berubah tidak baik, seperti kebiasaan merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, mengonsumsi sedikit sayuran dan buah, serta mengonsumsi banyak makanan/minuman manis dan berlemak. Kemudahan akses di perkotaan menyebabkan seseorang cenderung kurang melakukan aktivitas fisik. Selain berhubungan dengan terjadinya obesitas sentral, karakteristik demografi dan sosial-ekonomi juga berhubungan dengan perubahan gaya hidup yang tidak baik, seperti kebiasaan merokok; rendahnya aktivitas fisik; tingginya konsumsi minuman beralkohol, makanan/minuman manis, makanan berlemak; rendahnya konsumsi sayuran dan buah; serta kondisi mental emosional. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis hubungan antara karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan gaya-hidup. Kebiasaan merokok berhubungan dengan peningkatan terjadinya obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang berhenti merokok cenderung mengalami obesitas sentral daripada yang merokok dan tidak merokok. Hal itu diduga karena meningkatnya asupan energi disertai dengan menurunnya pengeluaran energi dan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein). Beberapa penelitian menemukan, penurunan aktivitas fisik berhubungan langsung dengan

peningkatan kejadian obesitas sentral. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terjadinya penimbunan lemak akibat kelebihan asupan energi. Konsumsi makanan/minuman berhubungan dengan terjadinya obesitas sentral. Konsumsi banyak minuman beralkohol berhubungan pula dengan peningkatan terjadinya obesitas sentral. Di samping memiliki kontribusi energi yang tinggi, konsumsi minuman beralkohol dapat mengubah hormon yang dapat menyebabkan penumpukan lemak pada daerah perut. Rendahnya konsumsi sayuran dan buah serta tingginya konsumsi makanan/minuman manis dan berlemak pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian

menemukan,

rendahnya

konsumsi

sayuran

dan

buah

dapat

mengakibatkan risiko obesitas sentral. Demikian halnya dengan konsumsi makanan/minuman manis dan makanan berlemak yang berlebihan, juga dapat memberikan kontribusi energi yang dapat disimpan sebagai lemak dalam tubuh sehingga meningkatkan risiko obesitas sentral. Tekanan hidup dapat menyebabkan kondisi mental emosional terganggu. Hal ini berdampak pada peningkatan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian

menemukan

bahwa

orang

yang

mengalami

depresi

dapat

menyebabkan lingkar perutnya meningkat. Selain itu, seseorang yang depresi cenderung memiliki pola hidup yang tidak baik, seperti mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan mengonsumsi makanan berlemak tinggi yang dapat meningkatkan terjadinya obesitas sentral.

Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi - Umur - Jenis kelamin - Status kawin - Besar keluarga - Pendidikan - Pekerjaan - Pengeluaran per kapita - Tipe wilayah Obesitas Sentral Pria, LP >90 cm Wanita, LP >80 cm Gaya Hidup -

-

Kebiasaan merokok Aktivitas fisik Perilaku konsumsi (minuman beralkohol, sayuran dan buah, makanan/minuman manis dan makanan berlemak) Kondisi mental emosional

Keterangan: : hubungan yang diteliti

;: hubungan yang tidak diteliti Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral

METODE Desain, Waktu dan Tempat Desain penelitian adalah cross-sectional study berskala nasional bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder Riskesdas 2007 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Departemen Kesehatan. Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta diambil sebagai sampel penelitian karena memiliki prevalensi obesitas sentral tertinggi dan di atas prevalensi nasional. Pengolahan dan analisis lanjut data dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009 di Kampus IPB Dramaga Bogor, Jawa Barat. Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel Riskesdas

2007

menerapkan

rancangan

sampel

PPS

(Probability

proportional to size). Pemilihan sampel terdiri atas 3 tahap. Pertama, diambil sejumlah blok sensus dari setiap kabupaten/kota yang masuk dalam kerangka sampel yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota tersebut. Kedua, dari setiap blok sensus yang terpilih, diambil 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Ketiga, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih diambil sebagai sampel individu (Balitbangkes Depkes 2008). Metode yang digunakan hampir seluruhnya sama dengan Susenas (Survei Ekonomi Nasional) 2007 sehingga dapat dikorelasikan dengan data Susenas 2007. Sampel penelitian ini adalah orang dewasa berumur 15 tahun yang tinggal di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI Jakarta, tidak hamil, dan memiliki data lengkap. Jumlah sampel awal obesitas sentral 30 150, setelah dikurangi data yang tidak lengkap tersisa 26 561 sampel, dengan rincian: Sulawesi Utara 8 885 sampel,

Gorontalo

5

871

sampel,

dan

DKI

Jakarta

11805

sampel.

Kabupaten/kota di Sulawesi Utara yang tidak diambil sebagai sampel penelitian adalah

empat

kabupaten/kota

baru

yang

meliputi

Kabupaten

Bolaang

Mongondow Utara, Kepulauan Siao Tagolandang Biaro, Minahasa Tenggara dan Kota Mobagu. Adapun di Gorontalo, kabupaten/kota baru yang tidak diambil sebagai sampel penelitian adalah Kabupaten Gorontalo Utara. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data Riskesdas 2007 yang diperoleh dalam bentuk electronic file. Data terdiri atas variabel karakteristik

demografi dan sosial-ekonomi sampel (umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah), gaya-hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik berat, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis, konsumsi makanan berlemak, dan kondisi mental emosional) dan ukuran lingkar perut. Pengumpulan data dilakukan oleh tim Riskesdas 2007. Data karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dan gaya-hidup diperoleh tim Riskesdas 2007 dengan

wawancara

langsung

kepada

sampel

menggunakan

kuesioner

terstruktur yang dilengkapi buku pedoman pengisian kuesioner. Data lingkar perut diperoleh dengan metode pengukuran menggunakan alat ukur yang terbuat dari fiberglass dengan presisi 0.1 cm. Lingkar perut diukur pada titik tengah antara titik batas tepi tulang rusuk paling bawah dan titik ujung lengkung tulang pangkal paha/panggul pada ekspirasi normal. Pengolahan dan Analisis Data Data dianalisis menggunakan Microsoft Excell 2007 dan SPSS 15.0 for Windows. Tahap pengolahan data meliputi pemilihan variabel yang akan diteliti, cleaning dan recode variabel menjadi data kategori. Cara pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori variabel penelitian No 1

Variabel Karakteristik Demografi dan Ekonomi Umur

Jenis kelamin Status kawin

Besar keluarga

Pendidikan

Kategori 1. 15-24 2. 25-34 3. 35-44 4. 45-54 5. 55-64 6. 65-74 7. 75 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Belum kawin 2. Kawin 3. Cerai hidup/mati 1. 1-2 2. 3-4 3. 5-6 4. > 6 1. Tidak Sekolah 2. Tidak Tamat SD 3. Tamat SD 4. Tamat SMP 5. Tamat SMA

No

Variabel

Kategori 6. Tamat PT

Pekerjaan

Pengeluaran per kapita

Tipe wilayah 2.

Kebiasaan merokok

3

Aktivitas fisik berat

4

Konsumsi minuman beralkohol

5

Konsumsi sayuran dan buah

6

Konsumsi makanan/minuman manis dan makanan berlemak

7

Kondisi mental emosional*

8

Lingkar perut

1. Tidak bekerja/sekolah 2. Ibu Rumah Tangga 3. TNI/POLRI/PNS 4. Pegawai BUMN/swasta 5. Wiraswasta/pedagang/jasa 6. Petani/nelayan/buruh 7. Lainnya 1. Kuintil ke-1 2. Kuintil ke-2 3. Kuntil ke-3 4. Kuintil ke-4 5. Kuintil ke-5 1. Perkotaan 2. Perdesaan 1. Tiap hari 2. Kadang-kadang 3. Pernah 4. Tidak pernah 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak 1. Cukup 2. Kurang 1. > 1 kali/hari 2. 1 kali/hari 3. 3-6 kali/minggu 4. 1-2 kali/minggu 5. < 3 kali/bulan 6. Tidak pernah 1. Terganggu 2. Tidak terganggu 1. Normal ( 90 cm pada laki-laki; 80 cm pada perempuan) 2. Obesitas sentral (> 90 cm pada laki-laki; > 80 cm pada perempuan)

*Self Reporting Questionnaire (SRQ) WHO

Analisis data terdiri atas analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk mendapatkan ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan menggunakan Korelasi Spearman dan Kontingensi. Korelasi Spearman digunakan untuk menguji hubungan variabel ordinal, sedangkan Kontingensi untuk menguji hubungan variabel nominal. Variabel bebas yang diuji adalah variabel umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, tipe wilayah, kebiasaan merokok, aktivitas fisik berat, konsumsi minuman beralkohol,

konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis, konsumsi makanan berlemak, dan

kondisi mental emosional. Adapun variabel terikat

adalah obesitas sentral. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan analisis regresi logistik. Kriteria untuk dapat dilakukan analisis regresi logistik, yaitu variabel memiliki nilai signifikan p<0.05 pada analisis bivariat. Variabel-variabel dengan nilai signifikan p<0.05 yang terpilih, kemudian dimasukkan dalam kandidat model multivariat. Analisis ini menggunakan model binary logistic regression dengan metode backward wald. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn π ( x) = 1 + e β 0 + β1 x1 + β 2 x2 + β 3 x3 +.......+ β n xn Keterangan: (x)

= Peluang terjadinya obesitas sentral (0 = tidak, 1=ya)

e

= eksponensial 0-

1

= koefisien regresi

x1

= umur (0=15-34 tahun, 1=35-54 tahun, 2= >55 tahun)

x2

= jenis kelamin (0=laki-laki, 1=perempuan)

x3

= status kawin (0=belum kawin, 1=kawin, 2=cerai)

x4

= besar keluarga (0= 4; 1= >4)

x5

= pendidikan (0=tidak sekolah/tidak tamat SD, 1=SD/SMP, 3=SMA/PT)

x6

= pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah, 1=ibu rumah tangga, 2=TNI/POLRI/PNS, 3=pegawai BUMN/swasta, 4=wiraswasta/pedagang/jasa, 5=petani/nelayan/buruh/lainnya)

x7

= pengeluaran per kapita (0=kuintil 1, 1=kuintil 2, 2=kuintil 3, 3=kuintil 4, 4=kuintil 5)

x8

= tipe wilayah (0=perdesaan, 1=perkotaan)

x9

= kebiasaan merokok (0=tidak merokok, 1=pernah merokok, 3=merokok)

x10

= aktivitas fisik berat (0=ya, 1= tidak)

x11

= konsumsi minuman beralkohol (0=tidak, 1=ya)

x12

= konsumsi sayuran dan buah (0=cukup, 1=kurang)

x13

= konsumsi makanan/minuman manis (0=jarang, 1= sering)

x14

= konsumsi makanan berlemak (0=jarang, 1=sering)

x15

= kondisi mental emosional (0=tidak terganggu, 1=terganggu)

Asumsi dan Keterbatasan Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi dan beberapa keterbatasan. Asumsi-asumsi tersebut digunakan agar hasil penelitian ini dapat diterima secara umum. Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian seluruhnya benar.

2.

Keadaan wilayah yang diteliti stabil dan normal. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1.

Terbatas pada asumsi-asumsi tertentu.

2.

Tergantung kepada data sekunder yang digunakan.

3.

Tergantung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Batasan Operasional

Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi, adalah kondisi individu dan sosial seseorang yang terdiri atas umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pekerjaan, pendidikan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Status kawin, adalah status seseorang yang digolongkan menjadi belum kawin, kawin, dan cerai hidup/mati. Besar keluarga, adalah banyak anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dan digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1-2 anggota rumah tangga, 3-4 anggota rumah tangga, 5-6 anggota rumah tangga, dan > 6 anggota rumah tangga. Pendidikan, adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh seseorang yang dikategorikan menjadi tidak pernah sekolah; tidak tamat SD; tamat SD; tamat SMP; tamat SMA; dan tamat Perguruan Tinggi. Pekerjaan, adalah jenis aktivitas yang mendatangkan penghasilan utama yang dikategorikan

menjadi

tidak

bekerja/sekolah;

ibu

rumah

tangga;

TNI/POLRI/PNS; pegawai BUMN/swasta; wiraswasta/pedagang/jasa; petani/buruh/nelayan; dan lainnya. Pengeluaran per kapita, adalah besar pengeluaran yang dikeluarkan untuk membelanjakan kebutuhan suatu rumah tangga yang digolongkan menjadi lima kuintil.

Gaya hidup, adalah kebiasaan hidup seseorang, yang terdiri atas aktivitas fisik, kebiasaan merokok, perilaku konsumsi makanan/minuman, dan kondisi mental emosional. Aktivitas fisik berat, adalah kegiatan tubuh seseorang setiap harinya yang terkait dengan aktivitas fisik, seperti bersepeda cepat, mencangkul, tenis tunggal, lari cepat, mendaki gunung, angkat besi, dan bulu tangkis tunggal, yang dikategorikan menjadi dua, yaitu ya dan tidak. Kebiasaan merokok, adalah kebiasaan merokok/penggunaan tembakau dalam sebulan terakhir, seperti rokok, cerutu, cangklong, rokok linting, dan tembakau yang dikunyah, yang dikategorikan ke dalam 4 kategori, yaitu tiap hari merokok, kadang-kadang merokok, pernah merokok, dan tidak pernah merokok. Perilaku konsumsi makanan/minuman, adalah perilaku seseorang dalam mengonsumsi makanan dan/atau minuman yang terdiri atas konsumsi sayuran dan buah, makanan/minuman manis, makanan berlemak, dan minuman beralkohol. Konsumsi sayuran dan buah, adalah kebiasaan makan sayuran dan buah seseorang yang meliputi frekuensi konsumsi sayuran dan/atau buah dalam seminggu dan banyaknya/porsi konsumsi selama sehari, yang dikategorikan atas: cukup apabila mengonsumsi

5 porsi/hari dalam

seminggu dan kurang apabila mengonsumsi < 5 porsi/hari dalam seminggu. Konsumsi

makanan/minuman

manis,

adalah

kebiasaan

makan

makanan/minuman manis seseorang, seperti dodol, cake, biskuit, buah kaleng, yang diukur berdasarkan frekuensi konsumsi yang dikategorikan menjadi 6, yakni: >1 kali per hari, 1 kali per hari, 3-6 kali per minggu, 1-2 kali per minggu, < 3 kali per bulan, dan tidak pernah. Konsumsi dikatakan sering

apabila

mengonsumsi

1

kali/hari,

dan

jarang

apabila

mengonsumsi < 1 kali/hari. Konsumsi makanan berlemak, adalah kebiasaan makan makanan berlemak seseorang, seperti sop buntut, sate, pizza, burger, dan gorengan, yang diukur berdasarkan frekuensi konsumsi yang dikategorikan menjadi 6, yakni: >1 kali per hari, 1 kali per hari, 3-6 kali per minggu, 1-2 kali per minggu, < 3 kali per bulan, dan tidak pernah. Konsumsi dikatakan sering

apabila mengonsumsi 1 kali/hari, dan jarang apabila mengonsumsi < 1 kali/hari. Konsumsi minuman beralkohol, adalah keadaan konsumsi minuman yang mengandung alkohol dalam sebulan terakhir, seperti minuman beralkohol merek (bir, whiskey, vodka, anggur/wine, dll) dan minuman tradisional (tuak, poteng, sopi), yang dikategorikan menjadi dua, yaitu ya dan tidak. Kondisi mental emosional, adalah suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Individu mengalami kondisi mental emosional terganggu apabila menjawab minimal enam jawaban ”ya” dari 20 pertanyaan (Self-Reporting Questionnaire) yang diberikan. Faktor risiko, adalah faktor-faktor yang keberadaannya meningkatkan obesitas sentral. Obesitas sentral, adalah kondisi kelebihan lemak pada seseorang yang terpusat di perut, diukur dengan lingkar perut; pada laki-laki ukurannya >90 cm, dan pada perempuan >80 cm.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Sulawesi Utara Sulawesi Utara terletak di jazirah Pulau Sulawesi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota, 100 kecamatan, dan 1196 kelurahan/desa. Dilihat dari kondisi geografisnya, Sulawesi Utara terletak pada 0°15’-5°34’ Lintang Utara dan 123°7’127°10’ Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Sulawesi, Samudra Pasifik, dan Republik Filipina (sebelah utara), Laut Maluku (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan) dan Gorontalo (sebelah barat). Sulawesi Utara beribukota di Manado. Luas wilayah Sulawesi Utara adalah 15 364.08 km2

yang meliputi 9 kabupaten (Boolaang Mongondow, Bolaang

Mongondow Utara, Minahasa, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kepulauan Sitaro, dan Minahasa Tenggara) serta 4 kota (Manado, Bitung, Tomohon, dan Kotamobagu). Jumlah penduduk Sulawesi Utara pada tahun 2007 adalah 2 186 810 jiwa. Penduduk Sulawesi Utara terdiri atas Suku Minahasa (40%), Sangir (19.8%), Mongondow (11.3%), dan Gorontalo (7.4%). Bahasa yang digunakan di Sulawesi

Utara

adalah

Bahasa

Minahasa

(Toulour,

Tombulu,

Tonsea,

Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan, dan Bantik), Bahasa Sangihe Talaud (Sangihe Besar, Siau, Talaud), Bahasa Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang). Agama yang dianut oleh penduduk Sulawesi Utara adalah Protestan (65%), Islam (28.4%), Katolik (6%), dan lainnya (0.6%). Pada tahun 2006, total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Utara mencapai 13.53 triliun rupiah. Kontribusinya berasal dari sektor pertanian sebesar 2.77 triliun rupiah atau 21.8% dari total PDRB diikuti sektor jasa sebesar 2.08 triliun rupiah (16.3%) kemudian sektor bangunan sebesar 1.98 triliun rupiah atau sekitar (15.6%) dari total PDRB. Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Utara pada tahun 2008 adalah 845 000 rupiah. Komoditas unggulan Sulawesi Utara di bidang pertanian adalah kentang, wortel dan nanas. Komoditas unggulan di bidang perikanan adalah industri ikan tuna, cakalang dan layang. Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber-daya ekonomi seperti wisata alam, wisata bahari, dan wisata budaya.

Gorontalo Gorontalo adalah provinsi ke-32 berdasarkan Undang-Undang nomor 38 tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000. Gorontalo terdiri atas 6 kabupaten/kota, 65 kecamatan, dan 577 desa/kelurahan. Dilihat dari kondisi geografisnya, Gorontalo terletak antara 0°30’- 1°0’ Lintang Utara dan 121°0’-123°30’ Bujur Timur. Gorontalo berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Laut Pasifik (sebelah utara), Sulawesi Utara (sebelah timur), Teluk Tomini (sebelah selatan), dan Sulawesi Tengah (sebelah barat). Gorontalo beribukota di Gorontalo. Luas wilayah Gorontalo adalah 12215.44 km2 yang mencakup Kabupaten Gorontalo Utara, Boalemo, Gorontalo, Pohuwato, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Jumlah penduduk provinsi ini pada tahun 2008 adalah 941 444 jiwa. Mayoritas penduduk Gorontalo (97.5%) beragama Islam, sedangkan sisanya pemeluk agama Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Bahasa daerah yang digunakan di Gorontalo terbagi menjadi tiga dialek, yaitu dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Pada tahun 2007, PDRB Gorontalo mencapai 4.761 trilyun rupiah. UMR Gorontalo pada tahun 2008 adalah 600 000 rupiah. Secara sektoral perekonomian Gorontalo didominasi oleh sektor pertanian dan sektor jasa serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Komoditas unggulan Gorontalo di bidang pertanian adalah jagung, padi, cabai, dan tomat. Komoditas sektor perikanan terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Gorontalo memiliki satu kawasan industri yaitu kawasan Industri Agro Terpadu (KIAT) yang terletak di Kabupaten Bone Bolango. DKI Jakarta DKI Jakarta adalah ibukota negara dan pusat pemerintahan, sesuai dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1964 tanggal 31 Agustus 1964 yang menyatakan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya adalah Ibukota Negara Republik Indonesia. DKI Jakarta terdiri atas 5 kota dan 1 kota administratif (kotif), 43 kecamatan, dan 265 kelurahan. Secara geografis, DKI Jakarta terletak antara 6°11 Lintang Selatan dan 106°50 Bujur Timur. DKI Jakarta berbatasan langsung dengan Jawa Barat, Banten, dan Laut Jawa. Ibukota DKI Jakarta adalah Jakarta. Luas wilayah DKI Jakarta adalah 7639.02 km², terdiri atas daratan seluas 661.52 km² dan lautan seluas 6 977.5 km² yang mencakup Kota Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat, sedangkan 1 kotif adalah Kotif Kepulauan Seribu.

Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2006 adalah 7 523 591 jiwa. DKI Jakarta memiliki penduduk lebih dari 300 suku bangsa dengan 200 bahasa. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta pada tahun 2006 mencapai 312.70 triliun rupiah. Kontribusi terbesar berasal dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mencapai 30.8% dari total PDRB diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan dengan nilai untuk masing-masing sektor tersebut sebesar 21.5% dan 17.3%. UMR DKI Jakarta pada tahun 2008 adalah 972 605 rupiah. Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Sampel Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel terdiri atas umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Tabel 2 memperlihatkan proporsi terbesar umur sampel total berkisar antara 25 dan 34 tahun (24.8%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar umur sampel di Sulawesi Utara sekitar 35-44 tahun (22.9%), sedangkan di Gorontalo (26.1%) dan DKI Jakarta (26.4%) sekitar 25-34 tahun. Untuk jenis kelamin, sekitar separuh sampel total adalah perempuan (52.3%); begitu juga berdasarkan sebaran per provinsi: 51.3% sampel di Sulawesi Utara, 52.1% sampel di Gorontalo dan 53.2% sampel di DKI Jakarta adalah perempuan. Untuk status kawin, kebanyakan sampel total berstatus kawin (69.5%); demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: mayoritas sampel di Sulawesi Utara (72.5%), Gorontalo (72.6%), dan DKI Jakarta (65.8%) berstatus kawin. Adapun untuk besar keluarga, proporsi terbesar sampel total mempunyai 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah (47.2%); begitu pun berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: sekitar separuh sampel di Sulawesi Utara (51.4%) dan Gorontalo (50.2%), dan kurang dari separuh sampel di DKI Jakarta (42.5%) memiliki 3-4 anggota keluarga yang tinggal serumah. Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi dan sosialekonomi sampel. Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar pendidikan sampel total (29.2%) adalah tamat SMA. Menurut sebaran per provinsi, proporsi terbesar pendidikan sampel di Sulawesi Utara (26.6%) dan DKI Jakarta (37.1%) adalah tamat SMA, sedangkan proporsi terbesar pendidikan sampel di Gorontalo (29.3%) adalah tamat SD. Untuk pekerjaan, proporsi terbesar pekerjaan sampel total adalah ibu rumah tangga (28.8%), demikian juga berdasarkan sebaran tiap provinsi: sampel di Sulawesi Utara (29.5%), Gorontalo

(30.5%), dan DKI Jakarta (27.6%) adalah ibu rumah tangga. Proporsi terbesar kedua

pekerjaan

sampel

total

adalah

petani/nelayan/buruh

dan

wiraswata/pedagang/jasa. Menurut sebaran masing-masing provinsi, proporsi terbesar kedua pekerjaan sampel di Sulawesi Utara (28.4%) dan Gorontalo (29.1%) adalah petani/nelayan/buruh, sedangkan di DKI Jakarta (20.1%) adalah wiraswasta/pedagang/jasa. Pengeluaran per kapita sampel merupakan salah satu ukuran tingkat sosial-ekonomi sampel. Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran per kapita sampel total hampir sama (20%). Begitu pula berdasarkan sebaran per provinsi, pada ketiga provinsi proporsi pengeluaran per kapita kurang lebih sama. Tidak terdapat perbedaan proporsi pengeluaran per kapita yang mencolok pada ketiga provinsi. Karakteristik lain sampel yang dilihat adalah karakteristik tempat tinggal. Lebih dari separuh sampel total tinggal di perkotaan (62.2%). Bila dilihat menurut sebaran tiap provinsi, kebanyakan sampel di Sulawesi Utara (63.8%) dan Gorontalo (74.6%) tinggal di perdesaan. Adapun di DKI Jakarta, semua sampel bertempat tinggal di perkotaan. Tabel 2. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi sampel Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi

Provinsi (%) Sulawesi Utara n=8885

Total n=26561

Gorontalo n=5871

DKI Jakarta n=11805

1386(23.6) 1543(26.1)

2743(23.2) 3111(26.4)

5773(21.7) 6589(24.8)

1565(17.6) 899(10.1) 555(6.2)

1397(23.8) 846(14.4) 474(8.1) 189(3.2)

2551(21.6) 1798(15.2) 972(8.2) 470(4.0)

5981(22.5) 4209(15.8) 2345(8.8)

245(2.8)

45(0.8)

160(1.4)

1214(4.6) 450(1.7)

4330(48.7) 4555(51.3)

2813(47.9) 3058(52.1)

5523(46.8) 6282(53.2)

12666(47.7) 13895(52.3)

1852(20.8) 6439(72.5)

1282(21.8) 4264(72.6)

3228(27.3) 7763(65.8)

6362(24.0) 18466(69.5)

594(6.7)

325(5.5)

814(6.9)

1733(6.5)

1119(12.6) 4564(51.4)

519(8.8) 2948(50.2)

1297(11.0) 5021(42.5)

2935(11.1) 12533(47.2)

Umur 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75

1644(18.5) 1944(21.9) 2033(22.9)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status kawin Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati Besar keluarga 1-2 3-4

Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi 5-6 >6

Provinsi (%) Sulawesi Utara n=8885 2421(27.2) 781(8.8)

Total n=26561

Gorontalo n=5871 1782(30.4) 622(10.6)

DKI Jakarta n=11805 3677(31.1) 1810(15.3) 474(4.0) 856(7.3) 2265(19.2) 2690(22.8) 4383(37.1)

764(2.9) 4045(15.2) 6285(23.7) 5770(21.7) 7753(29.2)

505(5.7)

180(3.1) 1697(28.9) 1722(29.3) 961(16.4) 1009(17.2) 302(5.1)

1137(9.6)

1944(7.3)

1564(17.6) 2618(29.5)

1069(18.2) 1789(30.5)

2265(19.2) 3253(27.6)

4898(18.4) 7660(28.8)

486(5.5) 393(4.4) 938(10.6) 2526(28.4)

358(6.1) 96(1.6) 610(10.4) 1706(29.1)

373(3.2) 2017(17.1) 2371(20.1)

1217(4.6)

360(4.1)

243(4.1)

1065(9.0) 461(3.9)

1706(19.2) 1810(20.4) 1773(20.0) 1780(20.0)

1130(19.2) 1138(19.4) 1181(20.1) 1199(20.4)

2351(19.9) 2372(20.1) 2365(20.0) 2345(19.9)

1816(20.4)

1223(20.8)

2372(20.1)

5319(20.0) 5324(20.0) 5411(20.4)

3220(36.2) 5665(63.8)

1490(25.4) 4381(74.6)

11805(100.0)

16515(62.2)

0(0.0)

9046(34.1)

7880(29.7) 3213(12.1)

Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT

110(1.2) 1492(16.8) 2298(25.9) 2119(23.8) 2361(26.6)

Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh Lainnya

2506(9.4) 3919(14.8) 5297(19.9) 1064(4.0)

Pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

5187(19.5) 5320(20.0)

Tipe wilayah Perkotaan Perdesaan

Gaya Hidup Sampel Gaya hidup sampel terdiri atas kebiasaan merokok selama satu bulan terakhir, aktivitas fisik berat, perilaku konsumsi makanan/minuman dan kondisi mental emosional. Tabel 3 menunjukkan bahwa kurang dari separuh sampel total memiliki kebiasaan merokok (33.4%), demikian pula berdasarkan sebaran masing-masing provinsi: 33.9% sampel di Sulawesi Utara, 37.8% sampel di Gorontalo dan 30.9% sampel di DKI Jakarta biasa merokok. Untuk aktivitas fisik berat, lebih dari separuh sampel total (62.9%) tidak beraktivitas fisik berat. Menurut sebaran per provinsi, separuh sampel di Sulawesi Utara (59.1%) dan Gorontalo (54.3%) dan sebagian besar sampel di DKI Jakarta (84.1%) tidak beraktivitas fisik berat.

Perilaku konsumsi terdiri atas konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir pada sampel total sebesar 10.1%. Berdasarkan sebaran tiap provinsi, konsumsi minuman beralkohol selama satu bulan terakhir di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut sebanyak 18.5%, 12.1%, dan 2.8%. Hampir semua sampel total (98.5%) kurang mengonsumsi sayuran dan buah, demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 98.3% sampel di Sulawesi Utara, 99.3% sampel di Gorontalo, dan 97.5% sampel di DKI Jakarta kurang mengonsumsi sayuran dan buah. Untuk konsumsi makanan/minuman manis, kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (36.3%). Berdasarkan sebaran per provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi

Utara

(37.6%)

dan

Gorontalo

(33.4%)

mengonsumsi

makanan/minuman manis > 1 kali per hari, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel mengonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (39.7%). Perilaku konsumsi lainnya yang dapat dilihat adalah konsumsi makanan berlemak. Kurang dari separuh sampel total mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu (27.2%). Menurut sebaran tiap provinsi, kurang dari separuh sampel di Sulawesi Utara (38.7%) dan Gorontalo (23.7%) mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan, sedangkan di DKI Jakarta, kurang dari separuh sampel (30.9%) mengonsumsi makanan berlemak 1-2 kali per minggu. Kondisi mental emosional adalah suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut (Balitbangkes, Depkes 2008). Tabel 3 menunjukkan bahwa sekitar 13.7% sampel total terganggu kondisi mental emosionalnya. Berdasarkan sebaran per provinsi, sampel yang terganggu kondisi mental emosionalnya di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta berturut-turut adalah 9.8%, 17.4%, dan 14.6%.

Tabel 3. Gaya hidup sampel Gaya Hidup

Sulawesi Utara n=8885

Provinsi (%) Gorontalo n=5871

Kebiasaan merokok 5408(60.9) Tidak pernah 465(5.2) Pernah 580(6.5) Kadang kadang 2432(27.4) Setiap hari Aktivitas fisik berat 5252(59.1) Tidak 3633(40.9) Ya Konsumsi minuman beralkohol 7238(81.5) Tidak 1647(18.5) Ya Konsumsi sayuran dan buah 8735(98.3) Kurang 150(1.7) Cukup Konsumsi makanan/minuman manis Tidak pernah 202(2.3) < 3 kali per bulan 527(5.9) 1 – 2 kali per minggu 787(8.9) 3 – 6 kali per minggu 928(10.4) 1 kali per hari 3098(34.9) > 1 kali per hari 3343(37.6) Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah 888(10.0) < 3 kali per bulan 3376(38.0) 1 – 2 kali per minggu 2358(26.5) 3 – 6 kali per minggu 1653(18.6) 1 kali per hari 362(4.1) > 1 kali per hari 248(2.8) Kondisi mental emosional Tidak terganggu 8011(90.2) Terganggu 874(9.8)

DKI Jakarta n=11805

Total n=26561

3470(59.1) 182(3.1) 363(6.2) 1856(31.6)

7517(63.7) 636(5.4) 872(7.4) 2780(23.5)

16395(61.7) 1283(4.8) 1815(6.8) 7068(26.6)

3190(54.3) 2681(45.7)

9925(84.1) 1880(15.9)

18367(62.9) 8194(30.8)

5163(87.9) 708(12.1)

11480(97.2) 325(2.8)

23881(89.9) 2680(10.1)

5827(99.3) 44(0.7)

11505(97.5) 300(2.5)

26167(98.5) 494(1.9)

265(4.5) 165(2.8) 802(13.7) 809(13.8) 1868(31.8) 1962(33.4)

380(3.2) 352(3.0) 1260(10.7) 1276(10.8) 4688(39.7) 3849(32.6)

847(3.2) 1044(3.9) 2849(10.7) 3013(11.3) 9654(36.3) 9154(34.5)

678(11.5) 1391(23.7) 1208(20.6) 1288(21.9) 815(13.9) 491(8.4)

874(7.4) 2340(19.8) 3650(30.9) 2418(20.5) 1710(14.5) 813(6.9)

2440(9.2) 7107(26.8) 7216(27.2) 5359(20.2) 2887(10.9) 1552(5.8)

4848(82.6) 1023(17.4)

10076(85.4) 1729(14.6)

22935(86.3) 3626(13.7)

Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Karakteristik Demografi dan Sosial Ekonomi Tabel 4 menunjukkan sebaran sampel menurut karakteristik demografi dan sosial-ekonomi terhadap kejadian obesitas sentral. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan kisaran umur 45-55 tahun (38.1%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel dengan kisaran umur 45-55 tahun di Sulawesi Utara (37.3%) dan DKI Jakarta (39.7%) dan 55-64 tahun di Gorontalo (37.8%).

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas sentral pada sampel total lebih tinggi pada perempuan (40.2%) dibandingkan dengan laki-laki (11.5%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 27.2% pada perempuan dan 13.6% pada laki-laki di Sulawesi Utara, 40.6% pada perempuan dan 8.4% pada laki-laki di Gorontalo, serta 36.9% pada perempuan dan 11.5% pada laki-laki di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menemukan tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan. Di Yunani, prevalensi obesitas sentral 36% pada laki-laki dan 43% pada perempuan (Panagiotakos et al. 2004); di Turki, 18.1% pada laki-laki dan 38.9% pada perempuan (Erem et al. 2004); di Oman, 31.5% pada laki-laki dan 64.6% pada perempuan (Al-Riyami&Afifi 2003); dan di China, 16.1% pada laki-laki dan 37.6% pada perempuan (Reynolds et al. 2007). Tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan diduga akibat lebih banyaknya kelebihan lemak pusat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Menurut status kawin, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang berstatus cerai hidup atau mati (39.5%), begitu pula berdasarkan sebaran tiap provinsi: 37.5% di Sulawesi Utara, 38.8% di Gorontalo, dan 41.3% di DKI Jakarta. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada sampel yang berstatus cerai. Menurut besar keluarga, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang memiliki anggota keluarga 1-2 orang (30.6%), demikian pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 33.0% di Sulawesi Utara, 31.2% di Gorontalo dan 28.4% di DKI Jakarta. Terdapat kecenderungan

penurunan

prevalensi

obesitas

sentral

dengan

semakin

banyaknya anggota keluarga, baik pada sampel total maupun sampel per provinsi. Berdasarkan pendidikan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak sekolah. Menurut sebaran tiap provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang tidak sekolah di DKI Jakarta (41.4%) dan tamat perguruan tinggi di Gorontalo (36.8%) dan Sulawesi Utara (38.4%). Berdasarkan pekerjaan, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (47.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 49% di Sulawesi Utara, 46.7% di Gorontalo dan 45.1% di DKI Jakarta.

Menurut pengeluaran per kapita, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-5 (30.6%), demikian pula berdasarkan sebaran per provinsi: 33.8% sampel di Sulawesi Utara, 33.0% sampel di Gorontalo, dan 26.9% sampel di DKI Jakarta memiliki pengeluaran per kapita kuintil ke-5. Terdapat kecenderungan meningkatnya prevalensi obesitas sentral seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita, baik pada sampel total maupun sampel tiap provinsi. Menurut tipe wilayah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang bertempat tinggal di perkotaan (59.4%), demikian pula berdasarkan masing-masing provinsi: 35.4% sampel di Sulawesi Utara, 30.9% sampel di Gorontalo, dan 25% sampel di DKI Jakarta bermukim di perkotaan. Tabel 4. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik demografi dan sosialekonomi terhadap kejadian obesitas sentral Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi

Sulawesi Utara

Obesitas Sentral (%) Gorontalo DKI Jakarta

Total

Umur 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75

152(9.2) 544(28.0) 721(35.5) 583(37.3) 334(37.2) 193(34.8) 80(32.7)

134(9.7) 339(22.1) 458(32.8) 308(36.4) 179(37.8)

232(8.5) 633(20.3) 792(31.0) 714(39.7)

518(9.0) 1516(23.0) 1971(33.0) 1605(38.1) 872(37.2)

52(27.5) 9(20.0)

359(36.9) 177(37.7) 50(31.3)

587(13.6) 2020(44.3)

237(8.4) 1242(40.6)

636(11.5) 2321(36.9)

1460(11.5) 5583(40.2)

167(9.0) 2217(34.4) 223(37.5)

98(7.6) 1255(29.4) 126(38.8)

254(7.9) 2367(30.5) 336(41.3)

519(8.2) 5839(31.6) 685(39.5)

369(33.0)

162(31.2)

368(28.4)

899(30.6)

1378(30.2) 688(28.4) 172(22.0)

775(26.3) 412(23.1) 130(20.9)

1303(26.0) 902(24.5) 384(21.2)

3456(27.6) 2002(25.4) 686(21.4)

24(21.8) 423(28.4)

29(16.1) 354(20.9)

196(41.4)

249(32.6)

281(32.8)

651(28.3) 556(26.2)

469(27.2) 223(23.2)

639(28.2) 648(24.1)

1058(26.2) 1759(28.0) 1427(24.7)

422(34.8) 139(30.9)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status kawin Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati Besar keluarga 1-2 3-4 5-6 >6 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP

Karakteristik Demografi dan SosialEkonomi Tamat SMA Tamat PT

Sulawesi Utara

Obesitas Sentral (%) Gorontalo DKI Jakarta

Total

767(35.2) 186(36.8)

288(28.5) 116(38.4)

903(20.6) 290(25.5)

1958(25.3) 592(30.5)

263(16.8) 1306(49.9)

141(13.2) 835(46.7)

298(13.2) 1468(45.1)

702(14.3) 3609(47.1)

190(39.1) 114(29.0) 300(32.0)

152(42.5) 18(18.8) 144(23.6)

91(24.4) 336(16.7) 533(22.5)

433(35.6) 468(18.7)

333(13.2) 101(28.1)

136(8.0) 53(21.8)

135(12.7) 96(20.8)

431(25.3) 496(27.4) 520(29.3) 546(30.7) 614(33.8)

191(16.9) 265(23.3) 281(23.8) 338(28.2) 404(33.0)

550(23.4) 562(23.7) 606(25.6) 601(25.6) 638(26.9)

1172(22.6) 1323(24.9) 1407(26.5)

1139(35.4)

460(30.9)

2957(25.0)

4556(59.4)

1468(25.9)

1019(23.3)

0(0.0)

2487(24.8)

Pekerjaan Tidak bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh Lainnya

977(24.9) 604(11.4) 250(23.5)

Pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

1485(27.9) 1656(30.6)

Tipe wilayah Perkotaan Perdesaan

Profil Obesitas Sentral Berdasarkan Gaya Hidup Tabel 5 menunjukkan sebaran sampel menurut gaya hidup terhadap timbulnya obesitas sentral. Berdasarkan kebiasaan merokok, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah merokok (34.1%), demikian pula menurut sebaran per provinsi: 37.7% di Sulawesi Utara, 35.3% di Gorontalo dan 31.0% di DKI Jakarta. Berdasarkan aktivitas fisik berat, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak beraktivitas fisik berat (30.2%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 35.7% di Sulawesi Utara, 32.9% di Gorontalo dan 26.4% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi minuman beralkohol, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol dalam satu bulan terakhir (28.1%), begitu pula menurut sebaran masing-masing provinsi: 32.6% di Sulawesi Utara, 27.8% di Gorontalo dan 25.5% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi sayuran dan buah, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah (28.3%). Menurut sebaran per provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi

ditemukan pada sampel yang cukup mengonsumsi sayuran dan buah di DKI Jakarta (30.7%) dan kurang mengonsumsi di Sulawesi Utara (29.4%) dan Gorontalo (25.2%). Berdasarkan konsumsi makanan/minuman manis, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis (31.9%), demikian pula menurut sebaran tiap provinsi: 34.2% di Sulawesi Utara, 28.7% di Gorontalo dan 32.9% di DKI Jakarta. Berdasarkan konsumsi makanan berlemak, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan (27.6%). Menurut sebaran masing-masing provinsi, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel yang mengonsumsi makanan berlemak 3-6 kali per minggu di Sulawesi Utara (34.4%) dan 1 kali per hari dan <3 kali per bulan di Gorontalo (26.4%), sedangkan di DKI Jakarta, prevalensi obesitas

sentral

tertinggi

ditemukan

pada

sampel

yang

tidak

pernah

mengonsumsi makanan berlemak (29.4%). Berdasarkan kondisi mental emosional, prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada sampel total yang terganggu kondisi mental emosionalnya (32.0%); demikian pula menurut sebaran per provinsi: 34.0% di Sulawesi Utara, 32.1% di Gorontalo dan 31.1% di DKI Jakarta. Tabel 5. Sebaran sampel berdasarkan gaya hidup terhadap kejadian obesitas sentral Gaya hidup

Sulawesi Utara

Obesitas Sentral(%) Gorontalo DKI Jakarta

Total

Kebiasaan merokok Tidak pernah Pernah Kadang kadang Setiap hari

2038(37.7)

1226(35.3)

2333(31.0)

5597(34.1)

104(22.4)

38(20.9)

145(22.8)

96(16.6) 369(15.2)

45(12.4) 170(9.2)

133(15.3) 346(12.4)

287(22.4) 274(15.1) 885(12.5)

2275(32.6)

1409(27.8)

2887(25.5)

6571(28.1)

332(17.3)

70(8.8)

70(13.9)

472(14.7)

1875(35.7)

1050(32.9)

2618(26.4)

5543(30.2)

732(20.1)

429(16.0)

339(18.0)

1500(18.3)

2569(29.4)

1469(25.2)

38(25.3)

10(22.7)

2865(24.9) 92(30.7)

6903(26.5) 140(28.3)

Konsumsi minuman beralkohol Tidak Ya Aktivitas fisik berat Tidak Ya Konsumsi sayuran dan buah Kurang Cukup

Konsumsi makanan/minuman manis

Gaya hidup

Sulawesi Utara

Tidak pernah < 3 kali per bulan 1 – 2 kali per minggu 3 – 6 kali per minggu 1 kali per hari > 1 kali per hari Konsumsi makanan berlemak Tidak pernah < 3 kali per bulan 1 – 2 kali per minggu 3 – 6 kali per minggu 1 kali per hari > 1 kali per hari

Obesitas Sentral(%) Gorontalo DKI Jakarta

Total

69(34.2)

76(28.7)

125(32.9)

270(31.9)

166(31.5) 239(30.4) 277(29.8) 909(29.3) 947(28.3)

38(23.0) 173(21.6) 195(24.1) 479(25.6) 518(26.4)

114(32.4) 379(30.1) 291(22.8) 1150(24.5) 898(23.3)

318(30.5) 791(27.8) 763(25.3) 2538(26.3)

230(25.9)

178(26.3) 367(26.4)

257(29.4)

665(27.3) 1958(27.6)

957(28.3) 668(28.3) 568(34.4)

121(24.6)

634(27.1) 883(24.2) 527(21.8) 434(25.4) 222(27.3)

1151(23.7) 328(32.1)

2420(24.0) 537(31.1)

277(22.9) 321(24.9) 215(26.4)

105(29.0) 79(31.9)

2363(25.8)

1828(25.3) 1416(26.4) 754(26.1) 422(27.2)

Kondisi mental emosional Tidak terganggu Terganggu

2310(28.8) 297(34.0)

5881(25.6) 1162(32.0)

Hubungan Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi dengan Obesitas Sentral Umur Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan pada umur yang lebih tua (Tabel 4). Martins dan Marinho (2003) menyatakan bahwa kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang akibat penumpukan lemak tubuh, terutama lemak pusat. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara umur dengan timbulnya obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil analisis sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Janghorbani et al. (2007) yang menemukan kuatnya hubungan antara umur dengan obesitas. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan, kecenderungan obesitas dialami oleh seseorang yang berumur lebih tua diduga akibat lambatnya metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, seringnya frekuensi konsumsi pangan, dan kurangnya perhatian pada bentuk tubuhnya. Jenis Kelamin Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih tingginya kejadian obesitas sentral pada

perempuan

dibandingkan

dengan

laki-laki

(Al-Riyami&Afifi

2003;

Martins&Marinho 2003; Guitierrez-Fisac et al. 2004; Sonmez et al. 2003; De

Pablos-Velasco et al. 2002). Hal ini diduga karena lebih tingginya cadangan lemak tubuh pada perempuan daripada laki-laki. Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya kejadian obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan. Perempuan menopause cenderung mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan perempuan premenopause. Hal ini karena penurunan massa otot dan perubahan status hormon (Lee et al. 2005). Status Kawin Status kawin berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004). Penelitian lain menemukan tidak terdapatnya hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral tertinggi pada sampel yang berstatus cerai mati/hidup (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada orang yang berstatus cerai daripada yang belum menikah. Terdapatnya hubungan antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang sudah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian ini dapat memengaruhi pola pikir dan perubahan

gaya

hidup

seseorang

seperti

perubahan

perilaku

makan.

Penyesuaian diri dengan pasangan yang buruk mengakibatkan tingginya depresi seseorang. Kondisi stres atau depresi ini dapat menjadikan gaya hidup yang tidak baik seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi makanan tinggi lemak. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami depresi cenderung mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan. Besar Keluarga Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas di Thailand. Penelitian di Oman juga menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral (Al-Riyami&Afifi 2003). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil

penelitian sebelumnya. Terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan kejadian obesitas sentral diduga karena ketersediaan pangan dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil memperoleh lebih banyak bagian dalam pemenuhan pangan dibandingkan dengan yang memiliki anggota keluarga lebih besar. Pendidikan Pendidikan yang rendah berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Panagiotakos et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan hubungan nyata negatif pada perempuan dan hubungan nyata positif pada laki-laki antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral di Thailand. Di Korea, pendidikan dapat menurunkan risiko obesitas sentral (Yoon et al. 2006). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan Gorontalo dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara pendidikan dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hubungan pendidikan dengan kejadian obesitas sentral dalam penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena tingginya pendidikan tidak paralel dengan pengetahuan gizi seseorang. Seseorang yang memiliki level pendidikan yang tinggi, belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang baik. Walapun pendidikan dapat memengaruhi kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006), seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang obesitas, masih saja melakukan perilaku yang tidak sehat seperti gaya hidup sedentary dan makan dalam jumlah yang berlebihan ketika mengalami stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Pekerjaan Pekerjaan berhubungan dengan perubahan berat badan dan lingkar perut (Lahmann et al. 2000; Erem et al. 2004). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian obesitas sentral diduga karena hubungannya dengan aktivitas fisik. Penelitian ini menemukan prevalensi obesitas sentral tertinggi pada ibu rumah tangga dan terendah pada petani/nelayan/buruh (Tabel 4). Petani/nelayan/buruh memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu rumah tangga dan pekerja kantor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Erem et al. (2004) yang menemukan tingginya prevalensi obesitas pada ibu rumah

tangga dan pedagang. WHO (2000) menyatakan bahwa perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain cenderung kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan pekerjaan manual seperti yang terdapat pada masyarakat tradisional. Pengeluaran per Kapita Pendapatan rumah tangga berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Erem et al. 2004; Yoon et al. 2006). Pendapatan rumah tangga per kapita seseorang paralel dengan pengeluaran per kapitanya. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara pengeluaran per kapita dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini diduga karena seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi akan lebih konsumtif sehingga pengeluarannya akan tinggi pula, terutama untuk konsumsi makanan berenergi tinggi. Hubungan pendapatan dengan kejadian obesitas sentral terletak pada ketersediaan dalam membeli dan kemampuan dalam memanfaatkan akses seperti transportasi, kecanggihan komunikasi, ketersediaan pangan, pendidikan modern.

Kemudahan

dalam

pemanfaatan

akses

mendorong

seseorang

cenderung kurang melakukan aktivitas fisik (WHO 2000). Tipe Wilayah Kejadian

obesitas

sentral

lebih

banyak

ditemukan

di

perkotaan

dibandingkan dengan di perdesaan (Tabel 5). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antara tipe wilayah dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Reynolds et al. (2007) yang menemukan lebih tingginya prevalensi obesitas sentral pada sampel yang tinggal di perkotaan. Hal ini diduga karena tingginya urbanisasi yang berhubungan dengan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Penduduk

perkotaan

berhubungan

dengan

sejumlah

faktor

yang

memengaruhi diet, aktivitas fisik dan komposisi tubuh, yang melibatkan perubahan transportasi, akses dan kegunaan fasilitas kesehatan, pendidikan modern, komunikasi, pemasaran, ketersediaan pangan, dan perbedaan profil pekerjaan. Pada banyak negara, penduduk di perkotaan cenderung rendah mengonsumsi makanan sumber karbohidrat dan tinggi mengonsumsi makanan berprotein dan berlemak (WHO 2000).

Hubungan Gaya Hidup dengan Obesitas Sentral Kebiasaan Merokok Merokok berhubungan nyata negatif dengan peningkatan berat badan berdasarkan IMT, namun berhubungan nyata positif dengan peningkatan distribusi lemak perut (Canoy et al. 2004; Xu et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara kebiasaan merokok dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Mekanisme biologi antara merokok dengan kejadian obesitas sentral masih belum jelas. Review yang dilakukan Chiolero et al. (2008) memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan, sedangkan di sisi lain, perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau tidak merokok, jika diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti rendahnya aktivitas fisik, dan diet yang buruk. Di samping itu, merokok dapat memengaruhi penurunan konsentrasi estrogen pada perempuan dan testosteron pada laki-laki. Penurunan kedua jenis hormon ini dapat meningkatkan massa lemak perut. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan lebih besarnya berat badan mantan perokok daripada perokok atau bukan perokok. Hal ini diduga karena terjadinya peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa seperti aktivitas lipoprotein (Chiolero et al. 2008). Ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian lainnya diduga karena kelemahan studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya mekanisme hubungan merokok dengan kejadian obesitas sentral. Aktivitas Fisik Berat Penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Slentz et al. 2004; Erem et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Terdapatnya hubungan antara aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral diduga karena efek aktivitas fisik berat melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa (Koh-Banerjee et al. 2003). Beberapa penelitian longitudinal selama 12 tahun menemukan bahwa

exercise dapat menurunkan kelebihan berat badan, lemak tubuh total, dan lemak perut (Irwin et al. 2003; McTiernan et al. 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi. Aktivitas fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan

obesitas

(McTiernan

et

al.

2007).

Adapun

WHO

(2003)

menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Perilaku Konsumsi Konsumsi Minuman Beralkohol Konsumsi minuman beralkohol berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral (Dorn et al. 2003; Erem et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004; Riserus&Ingelsson 2007; Zhang et al. 2008). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif antara konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hasil penelitian ini bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hubungan konsumsi minuman beralkohol dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Riserus dan Ingelsson (2007) menyatakan, minuman beralkohol berhubungan dengan kejadian obesitas sentral melalui mekanisme non-energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testosteron pada laki-laki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi lemak visceral. Penelitian kohort yang dilakukan Tolstrup et al. (2008) menemukan hubungan nyata negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan lima tahun peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak berhubungan. Vadstrup et al. (2003) menemukan bahwa minuman beralkohol jenis beer dan liquor dapat meningkatkan lingkar perut, sedangkan minuman beralkohol jenis wine tidak. Ketidakkonsistenan hasil penelitian diduga karena kelemahan desain studi cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara exposure dan outcome. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang gemuk sudah memiliki kesadaran akan dampak negatif konsumsi minuman beralkohol sehingga pada waktu wawancara dilakukan, sampel sudah tidak mengonsumsi minuman beralkohol lagi.

Konsumsi sayuran dan buah Konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup dapat menurunkan kejadian obesitas sentral (Newby et al. 2003; He et al. 2004). Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan konsumsi lemak seseorang. Konsumsi buah lebih baik untuk program pengontrolan berat badan dibandingkan dengan sayuran karena buah lebih mudah dimakan sebagai dessert atau snack. Sementara sayuran harus diolah dan dicampur dengan mentega, minyak, dan saus yang mengandung energi. Asupan serat yang berasal dari konsumsi sayuran dan buah dapat membatasi asupan energi dengan efek rendahnya densitas energi dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000). Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa asupan serat 12 gram/hari dapat menurunkan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Sulawesi Utara dan Gorontalo antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena pada penelitian ini tidak diperhitungkan asupan serat dari sayuran dan buah yang dikonsumsi. Padahal serat penting dalam hubungannya dengan kejadian obesitas sentral. Di samping itu, kelemahan desain cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan menyebabkan tidak dapat dijelaskannya hubungan sebab akibat antara konsumsi sayuran dan buah dengan kejadian obesitas sentral. Kemungkinan pada waktu pengambilan data, sampel yang mengalami obesitas sentral sudah memiliki kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup. Konsumsi makanan/minuman manis Drapeau et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan manis dapat mengakibatkan peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata negatif di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta dan tidak berhubungan di Gorontalo antara konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Hasil analisis bertentangan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Pertama, pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi dan tidak mengukur banyak dan jenis karbohidrat dari makanan/minuman manis yang dikonsumsi sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat menggambarkan kondisi konsumsi makanan/minuman manis sampel

sebenarnya. Kedua, terdapatnya bias informasi pada waktu pengambilan data. Kemungkinan responden kurang mengerti pertanyaan yang ditanyakan atau responden berusaha menutupi kondisi yang sebenarnya. Ketiga, terdapatnya kemungkinan konsumsi pemanis buatan di pasaran sebagai pengganti pemanis alami yang memiliki kandungan energi rendah sehingga tidak memberikan kontribusi energi yang tinggi. Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis serta efek lemahnya rasa kenyang. Sementara review Malik et al. (2006) mengenai

asupan

minuman

manis

dengan

peningkatan

berat

badan

memperlihatkan bahwa minuman manis berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Konsumsi makanan berlemak Beberapa penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan peningkatan kejadian obesitas sentral (Garaulet et al. 2001; Drapeau et al. 2004; Guallar-Castillon et al. 2007). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif di Sulawesi Utara dan hubungan nyata negatif di DKI Jakarta antara konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral (Tabel 6). Sementara di Gorontalo, tidak terdapat hubungan nyata antara konsumsi makanan berlemak dengan obesitas sentral. Hasil penelitian tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan hasil analisis diduga karena pada penelitian ini hanya ditanyakan frekuensi konsumsi makanan berlemak dan tidak mengukur besarnya kontribusi energi dari makanan berlemak yang dikonsumsi sampel sehingga hasil yang diperoleh tidak menggambarkan kondisi konsumsi makanan berlemak sampel sebenarnya. Mekanisme makanan berlemak menyebabkan obesitas diduga karena tingginya kontribusi energi dari makanan berlemak dan efek penurunan rasa kenyang sehingga seseorang terus mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebihan (Drewnowski 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah kenyang sehingga seseorang makan dalam jumlah yang berlebihan.

Kondisi Mental Emosional Lee et al (2005) menyatakan bahwa stres atau depresi berhubungan pada peningkatan lingkar perut. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata positif antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa makin terganggu kondisi mental emosional

sampel,

semakin

meningkat

prevalensi

obesitas

sentralnya.

Hubungan antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas sentral diduga karena seseorang yang terganggu kondisi mental emosionalnya cenderung

mengonsumsi

makanan

dalam

jumlah

yang

berlebihan

(Kantachuvessiri et al. 2005). Perubahan hormon pada seseorang yang mengalami depresi atau stres diduga juga dapat menyebabkan peningkatan penumpukan lemak tubuh terutama di daerah perut. Roberts et al. (2007) menemukan bahwa depresi dapat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Demikian halnya dengan Katz et al. (2000) yang menemukan tingginya level metabolit kortisol pada laki-laki yang mengalami depresi. Peningkatan konsentrasi kortisol diduga berhubungan dengan penumpukan lemak perut. Pada orang yang obese, konsentrasi kortisol cenderung lebih tinggi (WHO 2000). Tabel 6. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral Variabel

Koefisien Korelasi (r) Sulawesi Gorontalo DKI Jakarta Utara

Umur Jenis Kelamin Status Kawin Besar keluarga Pendidikan

0.185* 0.320* 0.224* -0.051* 0.045*

0.217* 0.347* 0.217* -0.060* 0.081*

0.254* 0.281* 0.244* -0.043* -0.087*

Pekerjaan Pengeluaran per kapita Tipe wilayah Kebiasaan merokok Konsumsi minuman beralkohol Aktivitas fisik berat Konsumsi sayuran dan buah Konsumsi makanan/minuman manis

0.326* 0.063* 0.099* -0.229* -0.125* -0.168* -0.012 -0.022*

0.361* 0.121* 0.076* -0.283* -0.139* -0.194* -0.005 -0.025

0.297* 0.029* -0.188* -0.044* -0.070* 0.021* -0.046*

0.043* 0.034*

-0.007 0.073*

-0.024* 0.057*

Konsumsi makanan berlemak Kondisi mental emosional * signifikan pada p<0,05

Faktor Risiko Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan akumulasi lemak pusat atau lemak perut (WHO 2000). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes tipe 2, Cardiovascular Disease (CVD), batu empedu, hipertensi, dan dislipidemia. Shen et al. (2006) menyatakan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan risiko kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum. Obesitas disebabkan oleh adanya interaksi antara berbagai faktor. Obesitas tidak hanya dampak tingginya konsumsi makanan atau kurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan DKI Jakarta. Namun, setelah dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat secara bersama, maka diperoleh beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi yang disajikan pada Tabel 7, 8, dan 9. Hal yang menyebabkan suatu variabel tidak signifikan pada analisis multivariat, sementara pada analisis bivariat berhubungan, diduga karena obesitas sentral disebabkan oleh banyak faktor, terdapatnya confounding dan faktor yang saling berinteraksi dalam

analisis

menyebabkan

suatu

variabel

menjadi

tidak

signifikan

(Kantachuvessiri et al. 2005). Faktor Risiko Obesitas Sentral di Sulawesi Utara Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara adalah umur

35 tahun,

perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SMA/PT, ibu rumah tangga, TNI/POLRI/PNS, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, tinggal di perkotaan, dan tidak beraktivitas fisik berat (Tabel 7). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=1.863) dan

55 tahun (OR=2.136) berpeluang

mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.863 dan 2.136 kali lebih besar dibandingkan dengan sampel dengan umur 15-34 tahun. Beberapa penelitian menemukan peningkatan kejadian obesitas sentral seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini diduga karena terjadinya penumpukan lemak perut dengan bertambahnya umur seseorang. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa tingginya risiko obesitas pada umur yang lebih tua diduga karena pada seseorang yang lebih tua terjadi penurunan metabolisme, rendahnya aktivitas fisik, dan peningkatan frekuensi konsumsi pangan. Disamping itu, umur yang lebih tua biasanya kurang begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.

Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 4.259 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=4.259). Lemak pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada lakilaki dan perempuan. Pada perempuan menopause akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat (Chang et al. 2000). Faktor risiko obesitas sentral yang ketiga adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=3.216) dan cerai (OR=2.434) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 3.216 dan 2.434 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Seseorang yang telah menikah akan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal ini dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku makan. Sementara seseorang yang berstatus cerai hidup/mati biasanya mengalami stres atau depresi akibat transisi perkawinan dengan perceraiannya. Depresi akibat cerai hidup/mati dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku konsumsi seseorang. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tamat SMA/PT. Sampel yang tamat SMA/PT berpeluang mengalami obesitas sentral 1.364 kali lebih besar daripada sampel yang tidak sekolah/tidak tamat SD (OR=1.364). Pendidikan berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Meskipun demikian, orang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai obesitas sentral masih saja melakukan gaya hidup yang tidak baik ketika mengalami depresi/stres (Kantachuvessiri et al. 2005). Hal ini diduga karena pengetahuan gizi tidak paralel dengan level pendidikan seseorang. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.529), TNI/POLRI/PNS (OR=1.459), pegawai BUMN/swasta (OR=1.471), dan wiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.691) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.529; 1.459; 1.471; dan 1.691

kali

lebih

besar

daripada

sampel

yang

tidak

bekerja/sekolah.

Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pengeluaran energi bervariasi pada pekerjaan yang berbeda. Beberapa pekerjaan melibatkan tingginya pengeluaran

energi

pengeluaran energi.

sementara

pekerjaan

yang

lain

melibatkan

sedikit

Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tipe wilayah perkotaan. Sampel yang tinggal di perkotaan berpeluang mengalami obesitas sentral 1.532 kali lebih besar daripada sampel yang tinggal di perdesaan (OR=1.532). Orang yang tinggal di perkotaan lebih mudah dalam pemanfaatan akses dan ketersediaan pangan sehingga cenderung kurang aktivitas fisik (WHO 2000). Disamping itu, urbanisasi memengaruhi perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku makan seperti tingginya konsumsi makanan berlemak. Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah tidak beraktivitas fisik berat. Sampel yang tidak beraktivitas fisik berat berpeluang mengalami obesitas sentral 1.184 kali lebih besar daripada sampel yang beraktivitas fisik berat (OR=1.184). Kurangnya beraktivitas fisik menyebabkan penyimpanan kelebihan energi sebagai lemak yang menyebabkan penumpukan lemak tubuh terutama lemak pusat atau perut. Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 26.6% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara. Terdapat 73.4% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di Sulawesi Utara (Lampiran 3). Tabel 7. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara Variabel

B

Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 0.622 55 tahun 0.759 Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan 1.449 Status kawin (0=belum kawin) Kawin 1.168 Cerai 0.890 Pendidikan (0= tidak sekolah/tidak tamat SD) SMA/PT 0.310 Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) 0.425 Ibu rumah tangga 0.378 TNI/POLRI/PNS 0.386 Pegawai BUMN/swasta 0.526 Wiraswasta/pedagang/jasa Tipe wilayah (0=perdesaan) Perkotaan 0.427 Aktivitas fisik berat (0=ya) Tidak 0.169 Konstan -3.834

95,0% C.I.for OR Lower Upper

Sig.

OR

0.000 0.000

1.863 2.136

1.639 1.818

2.118 2.509

0.000

4.259

3.653

4.966

0.000 0.000

3.216 2.434

2.606 1.858

3.969 3.188

0.000

1.364

1.154

1.611

0.000 0.009 0.012 0.000

1.529 1.459 1.471 1.691

1.252 1.101 1.088 1.342

1.867 1.934 1.989 2.132

0.000

1.532

1.371

1.712

0.008 0.000

1.184 0.022

1.045

1.342

Faktor Risiko Obesitas Sentral di Gorontalo Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo adalah umur

35 tahun,

perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SD/SMP, ibu rumah tangga, TNI/POLRI/PNS, wiraswasta/pedagang/jasa, pengeluaran per kapita kuintil ke-2 hingga ke-5, tinggal di perkotaan, tidak beraktivitas fisik berat, dan kondisi mental emosional terganggu (Tabel 8). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=2.325) dan

55 tahun (OR=2.777) berpeluang

mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.325 dan 2.777 kali lebih besar daripada sampel dengan umur 15-34 tahun. Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 7.085 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=7.085). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=3.143) dan cerai (OR=2.404) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 3.143 dan 2.404 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tamat SD/SMP. Sampel yang tamat SD/SMP berpeluang mengalami obesitas sentral 1.348 kali lebih besar daripada sampel yang tidak sekolah/tidak tamat SD (OR=1.348). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.728), TNI/POLRI/PNS (OR=2.597), dan wiraswasta/ pedagang/jasa (OR=1.872) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.728; 2.597; dan 1.872 kali lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja/sekolah. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pengeluaran per kapita. Sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-2 (OR=1.591), kuintil ke-3 (OR=1.612), kuintil ke-4 (OR=1.991), dan kuintil ke-5 (OR=2.269) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 1.591; 1.612; 1.991; dan 2.269 kali lebih besar daripada sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-1. Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan konsumsi rumah tangga seperti makanan tinggi lemak dan konsumsi daging (WHO 2000). Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik (Yoon et al. 2006). Seseorang yang memiliki

pendapatan yang tinggi, cenderung memilki pengeluaran yang tinggi pula terutama untuk konsumsi makanan berlemak dan berenergi tinggi. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah tipe wilayah perkotaan. Sampel yang tinggal di perkotaan berpeluang mengalami obesitas sentral 1.294 kali lebih besar daripada sampel yang tinggal di perdesaan (OR=1.294). Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah tidak beraktivitas fisik berat. Sampel yang tidak beraktivitas fisik berat berpeluang mengalami obesitas sentral 1.302 kali lebih besar daripada sampel yang beraktivitas fisik berat (OR=1.302). Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah kondisi mental emosional. Sampel yang terganggu kondisi mental emosionalnya berpeluang mengalami obesitas sentral 1.193 kali lebih besar daripada sampel yang tidak terganggu kondisi mental emosionalnya (OR=1.193). Hal ini terkait dengan perilaku yang buruk pada orang yang terganggu kondisi mental emosionalnya, seperti konsumsi makanan berenergi tinggi dan konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan. Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 34.4% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di Gorontalo. Terdapat 65.6% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di Gorontalo (Lampiran 3). Tabel 8. Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo Variabel

B

Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 0.844 55 tahun 1.021 Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan 1.958 Status kawin (0=belum kawin) Kawin 1.145 Cerai 0.877 Pendidikan (0=tidak sekolah/tidak tamat SD) SD/SMP 0.298 Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS Wiraswasta/pedagang/jasa Pengeluaran per kapita (0=kuintil 1) Kuintil 2 Kuintil 3

Sig.

OR

95% C.I.for OR Lower

Upper

0.000 0.000

2.325 2.777

1.983 2.190

2.726 3.521

0.000

7.085

5.639

8.902

0.000 0.000

3.143 2.404

2.371 1.662

4.166 3.476

0.001

1.348

1.138

1.596

0.547 0.954 0.627

0.000 0.000 0.000

1.728 2.597 1.872

1.328 1.798 1.362

2.249 3.752 2.571

0.464 0.477

0.000 0.000

1.591 1.612

1.259 1.279

2.010 2.031

Variabel

B

Sig.

Kuintil 4 0.688 Kuintil 5 0.819 Tipe Wilayah (0=perdesaan) Perkotaan 0.258 Aktivitas fisik berat (0=ya) Tidak 0.264 Kondisi mental emosional (0=tidak terganggu) Terganggu 0.177 Konstan -5,190

OR

95% C.I.for OR

0.000 0.000

1.991 2.269

Lower 1.580 1.793

Upper 2.507 2.872

0.002

1.294

1.097

1.527

0.001

1.302

1.107

1.532

0.048

1.193

1.001

1.422

0,000

0,006

Faktor Risiko Obesitas Sentral di DKI Jakarta Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta adalah umur

35 tahun,

perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, ibu rumah tangga, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, pernah merokok, konsumsi makanan berlemak dan kondisi mental emosional terganggu. Sementara konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral (Tabel 9). Faktor risiko obesitas sentral yang pertama adalah umur. Sampel dengan umur 35-54 tahun (OR=2.318) dan

55 tahun (OR=2.723) berpeluang

mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.318 dan 2.723 kali lebih besar daripada sampel dengan umur 15-34 tahun. Faktor risiko obesitas sentral yang kedua adalah perempuan. Perempuan berpeluang mengalami obesitas sentral 4.184 kali lebih besar daripada laki-laki (OR=4.184). Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah status kawin. Sampel yang berstatus kawin (OR=2.579) dan cerai (OR=2.213) berpeluang mengalami obesitas sentral berturut-turut 2.579 dan 2.213 kali lebih besar daripada sampel yang belum kawin. Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pekerjaan. Sampel yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (OR=1.419), pegawai BUMN/ swasta (OR=1.254), dan berwiraswasta/pedagang/jasa (OR=1.290) berpeluang mengalami obesitas sentral 1.419; 1.254; dan 1.290 kali lebih besar daripada sampel yang tidak bekerja/sekolah. Faktor risiko obesitas sentral selanjutnya adalah pengeluaran per kapita kuintil ke-5. Sampel yang memiliki pengeluaran per kapita kuintil ke-5 berpeluang mengalami obesitas sentral 1.202 kali lebih besar daripada sampel dengan pengeluaran per kapita kuintil ke-1 (OR=1.202). Faktor risiko obesitas sentral lainnya adalah pernah merokok. Sampel yang pernah merokok berpeluang

mengalami obesitas sentral 1.284 kali lebih besar daripada sampel yang tidak merokok (OR=1.284). Penelitian pada laki-laki di Amerika Serikat menemukan bahwa perokok dapat menurunkan 0.68 cm lingkar perut, sedangkan mantan perokok berhubungan dengan peningkatan 1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Hal ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein) pada mantan perokok. Konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral. Sampel yang sering mengonsumsi makanan/minuman manis berpeluang mengalami obesitas sentral 0.866 kali lebih besar daripada sampel yang jarang mengonsumsi makanan/minuman manis (OR=0.866). Hal ini berarti bahwa konsumsi makanan/minuman manis dapat menurunkan risiko obesitas sentral. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, terdapatnya kemungkinan konsumsi pemanis buatan di pasaran sebagai pengganti pemanis alami yang memberikan kontribusi energi rendah sehingga tidak menyebabkan kelebihan asupan energi. Review yang dilakukan oleh Malik et al. (2006) memperlihatkan bahwa penggantian minuman manis berkalori dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Kedua, kelemahan desain studi cross sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan serta kelemahan metode pengukuran yang digunakan. Faktor risiko selanjutnya adalah konsumsi makanan berlemak. Sampel yang sering mengonsumsi makanan berlemak berpeluang mengalami obesitas sentral 1.216 kali lebih besar daripada sampel yang jarang mengonsumsi makanan

berlemak

(OR=1.216).

Konsumsi

makanan

berlemak

dapat

menyebabkan tingginya asupan energi (Guallar-Castillon et al. 2007). Makanan berlemak memberikan densitas energi yang tinggi, efek rasa lezat, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, dan lemahnya regulasi fisiologi asupan lemak terhadap asupan karbohidrat (Drewnowski 2007). Faktor risiko obesitas sentral yang terakhir adalah kondisi mental emosional. Seseorang yang terganggu kondisi mental emosionalnya berpeluang mengalami obesitas sentral 1.135 kali lebih besar daripada yang tidak terganggu (OR=1.135).

Variabel-variabel yang dianalisis hanya mewakili 24.2% dari variabelvariabel yang memengaruhi kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta. Terdapat 75.8% variabel lain diluar variabel yang dianalisis yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta (Lampiran 3). Tabel 9. Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta Variabel

B

Umur (0=15-34 tahun) 35-54 tahun 55 tahun Jenis kelamin (0=laki-laki) Perempuan Status kawin (0=belum kawin) Kawin Cerai Pekerjaan (0=tidak bekerja/sekolah) Ibu rumah tangga Pegawai BUMN/swasta

95.0% C.I.for OR Lower Upper

Sig.

OR

0.841 1.002

0.000 0.000

2.318 2.723

2.069 2.330

2.597 3.183

1.431

0.000

4.184

3.561

4.915

0.947 0.794

0.000 0.000

2.579 2.213

2.162 1.756

3.076 2.789

0.350 0.227 0.254

0.000 0.021 0.006

1.419 1.254 1.290

1.184 1.035 1.076

1.702 1.520 1.546

0.015

1.202

1.037

1.393

0.031

1.284

1.023

1.612

0.005

0.866

0.782

0.958

0.001

1.216

1.087

1.360

0.046 0.000

1.135 0.030

1.002

1.285

Wiraswasta/pedagang/jasa Pengeluaran per kapita (0=kuintil ke-1) 0.184 Kuintil ke-5 Kebiasaan merokok (0=tidak merokok) Pernah Merokok 0.250 Konsumsi makanan manis (0=jarang) Sering -0.144 Konsumsi makanan berlemak (0=jarang) Sering 0.195 Kondisi mental emosional (0=tidak terganggu) Terganggu 0.126 Konstan -3.516

Pembahasan Umum Penemuan Penting Penelitian

ini memberikan penemuan yang menarik untuk bahan

pengetahuan ataupun acuan pemerintah dalam membuat kebijakan/ promosi kesehatan. Pertama, hubungan karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan kejadian obesitas sentral. Umur

35 tahun merupakan faktor risiko

obesitas sentral pada ketiga provinsi. Lemak tubuh meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Seseorang yang berumur

35 tahun harus sudah mulai

memperbaiki pola hidup dan perilaku makan ke arah lebih baik sehingga kemungkinan timbulnya obesitas sentral dapat berkurang.

Jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Peluang perempuan mengalami obesitas sentral di Gorontalo paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini diduga karena gaya hidup di Gorontalo seperti konsumsi sayuran dan buah yang lebih rendah dan kondisi mental emosional terganggu yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya (Tabel 3). Karena lemak tubuh perempuan cenderung lebih tinggi, perempuan harus lebih sehat dalam mengatur pola makan dan gaya hidup. Status kawin juga merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Pada seseorang yang telah menikah, penyesuaian diri yang buruk dengan pasangannya dapat menyebabkan depresi berat. Pengendalian diri dan rasa saling memahami dapat menurunkan kemungkinan depresi seseorang. Gaya hidup dan kebiasaan makan dari pasangan yang tidak baik sebaiknya tidak diikuti sehingga perkembangan obesitas sentral dapat ditekan. Tamat SMA/PT merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan tamat SD/SMP di Gorontalo. Terdapat ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Hal ini diduga karena seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik belum tentu menerapkan pola hidup yang baik pula. Menurut

Kantachuvessiri

pengetahuan,

keahlian

et al. (2005) berpikir

dan

pendidikan kemampuan

dapat meningkatkan sosialisasi.

Namun,

Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa orang yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai obesitas masih saja melakukan gaya hidup yang

tidak

baik

ketika

mengalami

depresi/stres.

Walaupun

terdapat

ketidakkonsistenan, pendidikan dapat digunakan sebagai salah satu jalan yang efektif dalam pembatasan perkembangan obesitas sentral. Pekerjaan merupakan faktor risiko obesitas sentral pada ketiga provinsi. Hal ini terkait dengan kurangnya aktivitas fisik pada beberapa pekerjaan tertentu seperti pekerjaan di perkantoran. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki pekerjaan yang cenderung kurang gerak harus mengimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup seperti olahraga, jogging, atau jalan kaki minimal 30 menit/hari. Pengeluaran per kapita merupakan faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo dan DKI Jakarta. Pendapatan per kapita yang tinggi paralel dengan pengeluaran per kapita yang tinggi pula. Seseorang yang memiliki pendapatan tinggi cenderung konsumtif, terutama dalam mengonsumsi makanan tinggi energi dan lemak, dan kemudahan memanfaatkan akses membuat orang kurang

beraktivitas fisik. Sebaiknya seseorang yang memiliki pendapatan tinggi lebih bijak dalam mengalokasikan pengeluarannya, terutama dalam mengonsumsi makanan dan olahraga yang cukup seperti jogging, fitness, tennis. Tipe wilayah perkotaan merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Urbanisasi yang tinggi menyebabkan perubahan gaya hidup dan perilaku konsumsi seseorang. Seseorang yang tinggal di perkotaan harus lebih selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Gaya hidup perkotaan yang cenderung kurang aktivitas fisik juga harus dirubah ke arah gaya hidup yang lebih sehat. Kedua, hubungan gaya-hidup dengan kejadian obesitas sentral. Mantan perokok merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kebiasaan merokok berhubungan negatif, positif, atau tidak berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Ketidakkonsistenan ini diduga karena pemilihan jenis desain studi, bias informasi, atau kelemahan metode pengukuran. Seseorang yang berhenti merokok harus lebih memperhatikan pola konsumsi dan gaya hidup yang lebih sehat. Walaupun pada penelitian ini kebiasaan merokok tidak menunjukkan sebagai faktor risiko obesitas sentral, sebaiknya seseorang menghindari kebiasaan merokok karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan. Tidak beraktivitas fisik berat merupakan faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Hubungan aktivitas fisik berat dengan kejadian obesitas sentral diduga karena penggunaan energi dan peningkatan pengeluaran energi seseorang ketika melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik berat seperti bersepeda cepat, tennis tunggal, lari cepat, mendaki gunung, dan lari maraton sangat dianjurkan dalam pencegahan dan penanganan obesitas sentral. Aktivitas fisik yang dilakukan sebaiknya disesuaikan dengan jenis kelamin dan umur seseorang. WHO (2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit. Konsumsi makanan/minuman manis merupakan faktor yang dapat menurunkan kejadian obesitas sentral di DKI Jakarta. Hubungan konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral masih kontroversial. Beberapa

penelitian

menemukan

hubungan

positif,

negatif,

atau

tidak

berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Kontribusi energi dari konsumsi makanan/minuman manis diduga merupakan penyebab obesitas sentral.

Sementara dalam penelitian ini hanya menganalisis frekuensi konsumsi makanan/minuman manis karena tidak tersedianya data jumlah dan jenis dari makanan/minuman manis yang dikonsumsi. Di samping itu, kelemahan desain cross-sectional yang mengambil exposure dan outcome dalam waktu yang bersamaan tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara konsumsi makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral. Walaupun hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya, sebaiknya konsumsi makanan/minuman manis yang terlalu sering dihindari karena diduga kontribusi energi tinggi dari makanan/minuman manis dapat menyebabkan penumpukan energi sebagai lemak dalam tubuh. Konsumsi makanan berlemak merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Beberapa penelitian menemukan hubungan nyata positif antara konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral. Hal ini diduga karena kontribusi energi yang dihasilkan dari makanan berlemak dan penurunan rasa kenyang ketika mengonsumsi makanan berlemak sehingga menyebabkan seseorang makan dengan jumlah yang berlebihan. Konsumsi makanan berlemak yang terlalu sering sebaiknya dihindari karena tingginya kontribusi energi yang dihasilkan. Kondisi mental emosional terganggu merupakan faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo dan DKI Jakarta. Beberapa penelitian menemukan terdapatnya pola hidup yang tidak baik seperti konsumsi minuman beralkohol dan konsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan pada seseorang yang mengalami depresi atau kondisi mental emosional terganggu. Kondisi mental emosional terganggu sebaiknya dihindari dan menerapkan pola hidup yang lebih sehat sehingga perkembangan obesitas sentral dapat dibatasi. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini ditemukan hubungan beberapa faktor dengan kejadian obesitas sentral terutama perilaku konsumsi makanan/minuman yang tidak sesuai dengan teori yang ada sebelumnya seperti hubungan kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak dengan kejadian obesitas sentral. Terdapatnya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Pertama, desain cross-sectional yang mengambil data exposure dan outcome secara bersamaan menyebabkan tidak dapat dijelaskannya hubungan

sebab akibat antara exposure dan outcome. Kemungkinan pengambilan data dilakukan pada saat sampel sudah mulai mengubah gaya hidup yang sebelumnya tidak baik sehingga menyebabkan tidak terekamnya hubungan exposure dan outcome yang sebenarnya dengan lebih jelas. Misalnya, seseorang yang mengalami obesitas sentral, sebelumnya memiliki kebiasaan kurang mengonsumsi sayuran dan buah, namun setelah sadar akan pentingnya konsumsi sayuran dan buah terutama untuk penurunan berat badan, sampel sudah mulai mengonsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup. Data yang diambil pada waktu pengambilan sampel adalah data pada waktu kebiasaan sampel sudah mulai berubah, sementara kebiasaan lama yang mungkin menyebabkan obesitas sentral tidak terekam pada waktu pengambilan data. Kedua, ketidakkonsistenan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya diduga karena pemilihan metode pengukuran yang digunakan seperti pemilihan metode kualitatif atau kuantitatif. Pada penelitian ini konsumsi sayuran dan buah hanya mengukur frekuensi konsumsi dan banyak porsi yang dikonsumsi, sementara berat sayuran dan buah yang dikonsumsi tidak diukur. Padahal kandungan serat dalam sayuran dan buah penting kontribusinya terhadap

kejadian

obesitas

sentral.

Demikian

pula

dengan

konsumsi

makanan/minuman manis dan konsumsi makanan berlemak, pada penelitian Riskesdas 2007 hanya diukur frekuensi konsumsi, dan tidak diukur banyaknya asupan energi yang dikonsumsi. Pada makanan berlemak juga tidak ditanyakan jenis lemak yang dikonsumsi. Padahal terdapat beberapa jenis lemak yang berkontribusi pada peningkatan kejadian obesitas sentral. Ketiga, diduga terdapatnya bias informasi pada waktu pengambilan data di lapangan. Kemungkinan responden kurang mengerti terhadap pertanyaan yang diberikan enumerator atau responden berusaha menyembunyikan keadaan sebenarnya. Keempat, quality control dalam pengumpulan data yang berbeda pada wilayah penelitian Riskesdas 2007 menyebabkan kualitas data memiliki standar yang berbeda. Penelitian Lanjutan Melihat terdapatnya hasil penelitian yang bertentangan dengan teori yang ada, maka penelitian lanjutan sangat dibutuhkan. Pada penelitian ini kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, dan konsumsi makanan/minuman manis berhubungan negatif dengan kejadian obesitas sentral. Penelitian yang

dapat dilakukan adalah penelitian kohort (longitudinal) mengenai pengaruh kebiasaan

merokok,

konsumsi

minuman

beralkohol,

dan

konsumsi

makanan/minuman manis dengan kejadian obesitas sentral pada ketiga provinsi. Benarkah faktor tersebut berpengaruh pada peningkatan kejadian obesitas sentral? Penelitian lain yang dapat dilakukan adalah mengenai hubungan antara faktor genetik dan etnis dengan kejadian obesitas sentral.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Prevalensi obesitas sentral di Sulawesi Utara tertinggi ditemukan pada sampel berumur 45-54 tahun, perempuan, berstatus cerai, besar keluarga 1-2 orang, tamat perguruan tinggi, ibu rumah tangga, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, tinggal di perkotaan, tidak pernah merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, tidak beraktivitas fisik berat, kurang mengonsumsi sayuran dan buah, tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis, mengonsumsi makanan berlemak 3-6 kali per minggu, dan kondisi mental emosional terganggu. Prevalensi obesitas sentral di Gorontalo tertinggi ditemukan pada sampel berumur 55-64 tahun, perempuan, berstatus cerai, besar keluarga 1-2 orang, tamat perguruan tinggi, ibu rumah tangga, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, tinggal di perkotaan, tidak pernah merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, tidak beraktivitas fisik berat, kurang mengonsumsi sayuran dan buah, tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis, mengonsumsi makanan berlemak < 3 kali per bulan, dan kondisi mental emosional terganggu. Prevalensi obesitas sentral di DKI Jakarta tertinggi ditemukan pada sampel berumur 45-54 tahun, perempuan, berstatus cerai, besar keluarga 1-2 orang, tidak sekolah, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, tinggal di perkotaan, tidak pernah merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, tidak beraktivitas fisik berat, cukup mengonsumsi sayuran dan buah, tidak pernah mengonsumsi makanan/minuman manis, tidak pernah mengonsumsi makanan berlemak, dan kondisi mental emosional terganggu. Berdasarkan analisis Korelasi Kontingensi, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan tipe wilayah berhubungan nyata dengan kejadian obesitas sentral. Berdasarkan analisis Korelasi Spearman, umur, pendidikan (Sulawesi Utara dan Gorontalo), pengeluaran per kapita, konsumsi sayuran dan buah (DKI Jakarta), konsumsi makanan berlemak (Sulawesi Utara), dan kondisi mental emosional berhubungan nyata positif dengan kejadian obesitas sentral. Adapun pendidikan (DKI Jakarta), besar keluarga, kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, beraktivitas fisik berat, konsumsi makanan/minuman manis (Sulawesi Utara dan DKI Jakarta), dan konsumsi makanan berlemak (DKI Jakarta) berhubungan nyata negatif dengan obesitas sentral. Faktor risiko obesitas sentral di Sulawesi Utara adalah umur

35 tahun,

perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai, tamat SMA/PT, ibu rumah tangga,

TNI/POLRI/PNS, pegawai BUMN/swasta, wiraswasta/pedagang/jasa, tinggal di perkotaan, dan tidak beraktivitas fisik berat. Faktor risiko obesitas sentral di Gorontalo adalah umur

35 tahun, perempuan, berstatus kawin, berstatus cerai,

tamat SD/SMP, ibu rumah tangga, wiraswasta/pedagang/jasa, TNI/POLRI/PNS, pengeluaran per kapita kuintil ke-2 hingga ke-5, tinggal di perkotaan, tidak beraktivitas fisik berat, dan kondisi mental emosional terganggu. Faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta adalah umur kawin,

berstatus

cerai,

ibu

rumah

35 tahun, perempuan, berstatus

tangga,

pegawai

BUMN/swasta,

wiraswasta/pedagang/jasa, pengeluaran per kapita kuintil ke-5, pernah merokok, konsumsi makanan berlemak, dan kondisi mental emosional terganggu. Sementara konsumsi makanan/minuman manis bukan merupakan faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta. Perempuan merupakan faktor risiko obesitas sentral yang paling dominan pada ketiga provinsi. Saran Hendaknya masyarakat mulai menyadari akan faktor risiko obesitas sentral dan dampaknya terhadap timbulnya penyakit degeneratif. Obesitas sentral dapat dicegah dengan melaksanakan pola hidup sehat, seperti melakukan aktivitas fisik berat serta menghindari konsumsi makanan berlemak terlalu sering, kebiasaan merokok dan stres terutama pada perempuan berumur

35 tahun yang

sudah/pernah menikah dan tinggal di perkotaan. Pemerintah hendaknya makin meningkatkan promosi pola hidup sehat dan keluarga sadar gizi sebagai upaya pencegahan obesitas sentral. Mengingat dalam penelitian ini masih terdapat beberapa bukti yang bertentangan dengan teori yang ada, penelitian lebih lanjut diperlukan terutama mengenai pengaruh gaya-hidup terhadap obesitas sentral.

DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2006. Sulawesi Utara dalam angka. [dikutip 13 Mei 2009]. Tersedia dari: http://sulut.bps.go.id/sulutdalamangka.php. [Anonim]. 2006. Gorontalo dalam angka. [dikutip 13 Mei 2009]. Tersedia dari: http://bankdata.gorontaloprov.go.id/component/option. [Anonim]. 2006. Profil DKI Jakarta. [dikutip 15 Mei 2009]. Tersedia dari: http://www.indonesia.go.id. Adiningrum RD. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Aekplakorn W et al. 2007. Trends in obesity and associations with education and urban or rural residence in Thailand. Obesity. 15:3113-3121. Al-Riyami AA, Afifi MM. 2003. Prevalence and correlates of obesity and central obesity among Omani Adults. Saudi Med J. 24:641-646. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes. Baik I et al. 2000. Adiposity and mortality in men. Am J Epidemiol. 152:264-271. Barbagallo CM et al. 2001. Prevalence of overweight and obesity in a rural southern Italy population and relationships with total and cardiovascular mortality: the Ventimiglia di Sicilia project. Int J Obes Relat Metab Disord. 25:185-190. Barbeau P et al. 2007. Ten months of exercise improves general and visceral adiposity, bone, and fitness in Black girls. Obesity. 15:2077-2085. Besson H et al. 2009. A cross-sectional analysis of physical activity and obesity indicators in European participants of The EPIC-PANACEA study. Int J Obes. 33:497-506. Bigaard J, Tjønneland A, Thomsen BL, Overvad K, Heitmann BL, Sørensen TIA. 2003. Waist circumference, BMI, smoking, and mortality in middle-aged men and women. Obesity. 11:895–903. Bobak M, Skodova Z, Marmot M. 2003. Beer and obesity: a cross-sectional study. Eur J Clin Nutr. 57:1250-1253. Bray GA, Nielsen SJ, Popkin BM. 2004. Consumption of high-fructose corn Syrup in beverages may play a role in the epidemic of obesity. Am J Clin Nutr. 79:537-543. Canoy D et al. 2005. Cigarette smoking and fat distribution in 21.828 British men and women: a population-based study. Obesity. 13: 1466-1475.

Chang CJ, Wu CH, Yao WJ, Yang YC, Wu JS, Lu FH. 2000. Relationships of age, menopause and central obesity on cardiovascular disease risk factors in Chinese women. Int J Obes Relat Metab Disord. 24:1699-1704 Chen Y, Rennie D, Cormier YF, Dosman J. 2007. Waist circumference is associated with pulmonary function in normal-weight, overweight, and obese subjects. Am J Clin Nutr. 85:35-39. Chiolero A, Jacot-Sadowski I, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. 2007. Association of cigarettes smoked daily with obesity in a general adult population. Obesity. 15:1311-1318. Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. 2008. Consequences of smoking for body weight, body fat distribution, and insulin resistance. Am J Clin Nutr. 87:801-809. Dekkers JC et al. 2004. Development of general and central obesity from childhood into early adulthood in African American and European American males and females with a family history of cardiovascular disease. Am J Clin Nutr. 79:661-668. Demerath EW et al. 2007. Anatomical patterning of visceral adipose tissue: race, sex, and age variation. Obesity. 15:2984-2993. de Pablos-Velasco PL, Martinez-Martin FJ, Rodriguez-Perez F. 2002. Prevalence of obesity in a Canarian community. Association with type 2 diabetes mellitus: the Guia study. Eur J Clin Nutr. 56:557-560. Dorn JM et al. 2003. Alcohol drinking patterns differentially affect central adiposity as measured by abdominal height in women and men. J. Nutr. 133:26552662. Drapeau V et al. 2004. Modifications in food-group consumption are related to long-term body-weight changes. Am J Clin Nutr. 80:29-37. Drewnowski A. 2007. The real contribution of added sugars and fats to obesity. Epidemiol Rev. 29:160-171. Epstein LH, Gordy CC, Raynor HA, Beddome M, Kilanowski CK, Paluch R. 2001. Increasing fruit and vegetable intake and decreasing fat and sugar intake in families at risk for childhood obesity. Obes Res. 9:171-178. Erem C et al. 2004. Prevalence of obesity and associated risk factors in a Turkish population (Trabzon City, Turkey). Obesity. 12:1117–1127. Garaulet M et al. 2001. Endocrine, metabolic and nutritional factors in obesity and their relative significance as studied by factor analysis. Int J Obes. 25:243-251. Gotera W, Aryana S, Suastika K, Santoso A, Kurwardhani T. 2006. Hubungan antara obesitas sentral dengan adiponektin pada pasien geriatri dengan penyakit jantung koroner. J Peny Dalam. 7:102-107.

Griesemer R. 2008. Index of central obesity as a parameter to evaluate metabolic syndrome for white, black, and hispanic adults in the United States. [Tesis]. Georgia, Atlanta: Georgia State University. Guallar-Castillon P et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European prospective investigation into cancer and nutrition. Am J Clin Nutr. 86:198-205. Gutierrez-Fisac JL, Lopez E, Banegas JR, Graciani A, Rodriguez-Artalejo F. 2004. Prevalence of overweight and obesity in elderly people in Spain. Obesity. 12:710-715. Hasler G et al. 2005. Major depression predicts an increase in long-term body weight variability in young adults. Obesity. 13:1991-1998. He K et al. 2004. Changes in intake of fruits and vegetables in relation to risk of obesity and weight gain among middle-aged women. Int J Obes. 28: 1569-1574. Huot, Paradis G, Ledoux M. 2004. Factors associated with overweight and obesity in Quebec adults. Int J Obes. 28: 766-774. Irwin ML et al. Effect of exercise on total and intra-abdominal body fat in postmenopausal women: a randomized controlled trial. JAMA. 289(3):323-330. Jakicic JM, Otto AD. 2005. Physical activity considerations for the treatment and prevention of obesity. Am J Clin Nutr. 82(suppl):226S-9S. Janghorbani M et al. 2007. First nationwide survey of prevalence of overweight, underweight, and abdominal obesity in Iranian adults. Obesity. 15:27972808. Kamso S. 2007. Dislipidemia dan obesitas sentral pada lanjut usia di Kota Padang. J Kes Mas Nas. 2:73-77. Kantachuvessiri A, Sirivichayakul C, KaewKungwal J, Tungtrongchitr R, Lotrakul M. 2005. Factors associated with obesity among workers in a metropolitan waterworks authority. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 36:1057-1065. Katz JR et al. 2000. Central obesity, depression and the hypothalamo- pituitaryadrenal axis in men and postmenopausal women. Int J Obes.24:246-251 Klein S et al. 2007. Waist circumference and cardiometabolic risk: a consensus statement from Shaping America’s Health: Association for Weight Management and Obesity Prevention; NAASO, the Obesity Society; the American Society for Nutrition; and the American Diabetes Association. Diabetes Care. 30:1647-1652. Ko GTC, Tang JSF. 2007. Waist circumference and BMI cut-off based on 10-year cardiovascular risk: evidence for “central pre-obesity”. Obesity. 15:28322839.

Koh-Banerjee P et al. 2003. Prospective study of the association of changes in dietary intake, physical activity, alcohol consumption, and smoking with 9-y gain in waist circumference among 16 587 US men. Am J Clin Nutr. 78:719-727. Krishnan S, Rosenberg L, Djousse L, Cupples LA, Palmer JR. 2007. Overall and central obesity and risk of type 2 diabetes in U.S. black women. Obesity. 15:1860-1866. Lahmann PH, Lissner L, Gullberg B, Berglund G. 2000. Sociodemographic factors associated with long-term weight gain, current body fatness and central adiposity in Swedish women. Int J Obes Relat Metab Disord. 24:685-694. Lee CD, Jacobs DR, Schreiner PJ, Iribarren C, Hankinson A. 2007. Abdominal obesity and coronary artery calcification in young adults: The coronary artery risk development in young adults (CARDIA) study. Am J Clin Nutr. 86:48-54. Lee ES et al. 2005. Depressive mood and abdominal fat distribution in overweight premenopausal women. Obesity. 13:320-325. Li C, Ford ES, McGuire LC, Mokdad AH. 2007. Increasing trends in waist circumference and abdominal obesity among U.S. adults. Obesity. 15:216-224. Lofgren I et al. 2004. Waist circumference is a better predictor than body mass index of coronary heart disease risk in overweight premenopausal women. J. Nutr. 134:1071-1076. Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review on epidemic of obesity. Ann Acad Med Singapore. 38:57-65 Malik VS, Schulze MB, Hu FB. 2006. Intake of sugar-sweetened beverages and weight gain: a systematic review. Am J Clin Nutr. 84:274-288. Mansour AA, Al-Hassan AA, Al-Jazairi MI. 2007. Cut-off values for waist circumference in rural Iraqi adults for the diagnosis of metabolic syndrome. Rural and Remote Health 7:765. Martins IS, Marinho SP. 2003. The potential of central obesity antropometric indicators as diagnostic tools. Rev Saúde Pública. 37(6) McTiernan A et al. 2007. Exercise effect on weight and body fat in men and women. Obesity. 15:1496-1512. Misra A, Pandey RM, Devi JR, Sharma R, Vikram NK, Khanna N. 2001. High prevalence of diabetes, obesity and dyslipidemia in urban slum population in Northern India. Int J Obes. 25:1722-1729.

Mustelin L et al. 2009. Physical activity reduces the influence of genetic effects on BMI and waist circumference: a study in young adult twins. Int J Obes. 33:29-36. Newby PK et al. 2003. Dietary patterns and changes in body mass index and waist circumference in adults. Am J Clin Nutr. 77:1417-1425. Panagiotakos DB et al. 2004. Epidemiology of overweight and obesity in a Greek adult population: the ATTICA study. Obesity. 12:1914-1920. Pischon T et al. 2008. General and abdominal adiposity and risk of death in Europe. N Engl J Med. 359:2105-2120. Poirier P, Despres JP. 2003. Waist circumference, visceral obesity, and cardiovascular risk. J Cardiol Rehab. 23:161-169. Reynolds K et al. 2007. Prevalence and risk factors of overweight and obesity in China. Obesity. 15:10-18. Risérus U, Ingelsson E. 2007. Alcohol intake, insulin resistance, and abdominal obesity in elderly men. Obesity. 15:1766 -1773. Roberts C et al. 2003. Prospective association between obesity and depression: evidence from the Alameda county study. Int J Obes. 27:514-521. ___________. 2007. The Effects of stress on body weight: biological and psychological predictors of change in BMI. Obesity.15: 3045-3055. Roemmich JN, Smith JR, Epstein LH, Lambiase M. 2007. Stress reactivity and adiposity of youth. Obesity. 15:2303-2310. Rosmond R, Björntorp P. 2000. Occupational status, cortisol secretory pattern and visceral obesity in middle-aged men. Obes Res. 8:445-450. Shen W et al. 2006. Waist circumference correlates with metabolic syndrome indicators better than percentage fat. Obesity. 14:727-736. Slentz CA et al. 2004. Effects of the amount of exercise on body weight, body composition, and measures of central obesity. Arch Intern Med. 164:3139. Sonmez K et al. 2003. Which method should be used to determinate the obesity, in patients with coronary artery disease? (body mass index, waist circumference or waist-hip ratio). Int J Obes Relat Metab Disord. 27: 341-346. The Western Pacific Region, World Health Organization, International Associates for the Study of Obesity, International Obesity Task Force. 2000. The Asia-Pacific Perspective: redefining obesity and its treatment. Melbourne: Health Communications Australia.

Tolstrup JS et al. 2008. Alcohol drinking frequency in relation to subsequent changes in waist circumference. Am J Clin Nutr. 87:957-963. Tsai CJ, Leitzmann MF, Willett WC, Giovannucci EL. 2004. Prospective study of abdominal adiposity and gallstone disease in US men. Am J Clin Nutr 80:38-44. Vadstrup ES et al. 2003. Waist Circumference in relation to history of amount and type of alcohol: results from the Copenhagen City heart study. Int J Obes. 27:238-246. Visscher TLS, Seidell JC, Molarius A, van der Kuip D, Hofman A, Witteman JCM. 2001. A comparison of body mass index, waist-hip ratio and waist circumference as predictors of all-cause mortality among the elderly: the Rotterdam study. Int J Obes. 25:1730-1735. von Eyben FE et al. 2003. Intra-abdominal obesity and metabolic risk factors: a study of young adults. Int J Obes Relat Metab Disord. 27:941-949. Wang Y, Rimm EB, Stampfer MJ, Willett WC, Hu FB. 2005. Comparison of abdominal adiposity and overall obesity in predicting risk of type 2 diabetes among men. Am J Clin Nutr. 81:555-563. Wannamethee SG, Shaper AG, Morris RW, Whincup PH. 2005. Measures of adiposity in the identification of metabolic abnormalities in elderly men. Am J Clin Nutr. 81:1313-1321. World Health Organization. The challenge of obesity in the WHO European Region and the strategies for response. Di dalam Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review on epidemic of obesity. Ann Acad Med Singapore. 38:57-65. Weng HH et al. 2004. Number of children associated with obesity in middle-aged women and men: results from the health and retirement study. http://www.medscape.com/viewarticle/471014 [19 Agustus 2009] WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of a WHO consultation. Geneva, Switzerland. _____. 2003. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health. Obesity and Overweight: fact sheet. Geneva, Switzerland. Wildman RP, Gu D, Reynolds K, Duan X, He J. 2004. Appropriate body mass index and waist circumference cut offs for categorization of overweight and central adiposity among Chinese adults. Am J Clin Nutr. 80:11291136. Wildman RP et al. 2005. Are waist circumference and body mass index independently associated with cardiovascular disease risk in Chinese adults? Am J Clin Nutr. 82:1195–202.

Williams PT, Satariano WA. 2005. Relationships of age and weekly running distance to BMI and circumferences in 41 582 physically active women. Obesity. 13:1370-1380. Wittchen HU et al. 2006. International day for the evaluation of abdominal obesity: rationale and design of a primary care study on the prevalence of abdominal obesity and associated factors in 63 countries. Eur Heart J. 8(suppl B): B26-B33. Wolff H, Delhumeau C, Beer-Borst S, Golav A, Contanza MC, Morabia A. 2006. Converging prevalences of obesity across educational groups in Switzerland. Obesity. 14:2080-2088. World Health Organization Western Pacific Region. 2000. International Association for the Study of Obesity and the International Obesity Task Force. The Asia-Pacific perspective: Redefining obesity and its treatment. Crows Nest, NSW, Australia: Health Communications Australia. Xu F, Yin XM, Wang Y. 2007. The Association between amount of cigarettes smoked and overweight, central obesity among Chinese adults in Nanjing, China. Asia Pac J Clin Nutr. 16 (2):240-247. Yoon YS, Oh SW, Park HS. 2006. Socioeconomic status in relation to obesity and abdominal obesity in Korean adults: a focus on sex differences. Obesity. 14:909-919. Zhang X et al. 2007. Abdominal adiposity and mortality in Chinese women. Arch Intern Med.167:886-892. ___________. 2008. Prevalence and associated factors of overweight and obesity in a Chinese rural population. Obesity. 16:168-171.

Lampiran 1. Hasil analisis bivariat korelasi spearman dan kontingensi Sulawesi Utara A 1,000 ,185(**) ,045(**) ,063(**) -,051(**) -,229(**) -,168(**) -,125(**) -0,012 -,022(*) ,043(**) ,034(**)

B

C

D

E

F

G

H

I

1,000 -,251(**) ,093(**) -,195(**) ,078(**) ,042(**) -0,019 ,030(**) -,022(*) -,030(**) ,122(**)

1,000 ,210(**) ,029(**) -,070(**) -,200(**) 0,011 ,041(**) -,054(**) ,119(**) -,095(**)

1,000 -,335(**) -,024(*) -,118(**) -,028(**) ,042(**) 0,000 ,047(**) -0,009

1,000 -0,006 ,034(**) -,027(*) 0,007 ,039(**) -,029(**) -,023(*)

1,000 ,399(**) ,523(**) 0,003 ,040(**) 0,000 -,041(**)

1,000 ,262(**) -0,002 ,080(**) -,115(**) -,033(**)

1,000 -0,002 0,004 ,070(**) -0,020

1,000 ,024(*) 0,006 -0,005

1,000 ,069(**) -0,020

1,000 -,033(**)

1,000

,320(**) ,225(**)

,053(**) ,628(**)

0,024 ,246(**)

0,015 0,040

,033(*) ,182(**)

,572(**) ,135(**)

,370(**) ,147(**)

,380(**) ,063(**)

0,003 0,024

0,034 ,068(**)

0,024 0,052

,094(**) ,125(**)

,326(**) ,578(**) ,563(**) ,244(**) ,131(**) ,502(**) ,474(**) ,319(**) ,057(*) ,099(**) 0,034 ,215(**) ,142(**) ,040(*) ,043(*) ,213(**) 0,012 0,010 ** korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed); * korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed)

0,132(**) 0,127(**)

,191(**) ,201(**)

,120(**) ,038(**)

A B C D E F G H I J K L M N O P

J

K

L

M

N

O

P

1,000 ,165(**) ,577(**) 0,012

1,000 ,550(**) ,041(*)

1,000 ,322(**)

1,000

A=obesitas sentral, B=umur, C=pendidikan, D=pengeluaran per kapita, E=besar keluarga, F=kebiasaan merokok, G=aktivitas fisik berat, H=konsumsi minuman beralkohol, I=konsumsi sayuran dan buah, J=konsumsi makanan/minuman manis, K=konsumsi makanan berlemak, L=kondisi mental emosional, M=jenis kelamin, N=status kawin, O=pekerjaan, P=tipe wilayah.

Gorontalo A 1,000 ,217(**) ,081(**)

1,000 -,177(**)

1,000

,121(**)

,049(**)

,333(**)

1,000

E

-,060(**)

-,094(**)

0,004

-,334(**)

1,000

F

-,283(**)

,108(**)

-,118(**)

-,027(*)

-0,013

1,000

G

-,139(**)

-,037(**)

-,117(**)

-,063(**)

0,021

,446(**)

1,000

H

-,194(**)

,100(**)

-,279(**)

-,155(**)

-0,005

,423(**)

,263(**)

1,000

I J K L

-0,005 0,025 -0,007

0,019 -0,022 -,056(**)

0,007 ,032(*) ,089(**)

,046(**) 0,024 ,043(**)

-0,009 ,036(**) 0,020

0,019 -0,024 -0,021

-0,002 ,031(*) 0,006

,027(*) -0,011 -0,004

1,000 -0,022 -0,005

1,000 ,140(**)

1,000

,073(**)

,162(**)

-,149(**)

-0,023

-,041(**)

-0,024

-0,010

,027(*)

0,002

-,035(**)

-0,017

M

,347(**)

0,039

,074(**)

0,023

0,020

,608(**)

,350(**)

,381(**)

,031(*)

,051(**)

0,041

,091(**)

1,000

N O P

,217(**) ,361(**) ,076(**)

,605(**) ,528(**) ,048(*)

,232(**) ,619(**) ,334(**)

,066(*) ,340(**) ,117(**)

,190(**) ,142(**) ,040(*)

,158(**) ,533(**) ,092(**)

,064(**) ,316(**) ,060(**)

,175(**) ,484(**) ,146(**)

,039(*) ,066(*) 0,013

0,061 ,150(**) ,154(**)

,079(**) ,161(**) ,171(**)

,126(**) ,141(**) ,102(**)

,142(**) ,576(**) ,027(*)

A B C D

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

O

P

1,000 ,549(**) ,090(**)

1,000 ,349(**)

1,000

1,000

** korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed); * korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed) A=obesitas sentral, B=umur, C=pendidikan, D=pengeluaran per kapita, E=besar keluarga, F=kebiasaan merokok, G=aktivitas fisik berat, H=konsumsi minuman beralkohol, I=konsumsi sayuran dan buah, J=konsumsi makanan/minuman manis, K=konsumsi makanan berlemak, L=kondisi mental emosional, M=jenis kelamin, N=status kawin, O=pekerjaan, P=tipe wilayah.

DKI Jakarta

A B C D E F G H I J K L

A 1,000 ,254(**) -,087(**) ,029(**) -,043(**) -,188(**) -,044(**) -,070(**) ,021(*) -,046(**) -,024(**) ,057(**)

B 1,000 -,225(**) ,066(**) -,073(**) ,079(**) -,032(**) -0,013 ,041(**) -,020(*) -,122(**) ,040(**)

M N O

,281(**) ,244(**) ,297(**)

0,023 ,697(**) ,552(**)

C

1,000 ,224(**) ,047(**) ,047(**) 0,016 -,041(**) ,046(**) ,024(**) ,047(**) -,117(**) ,147(**) ,286(**) ,452(**)

D

E

F

G

H

I

1,000 -,287(**) -,041(**) -0,009 -,069(**) ,052(**) -0,011 0,016 -,086(**)

1,000 -,029(**) -0,008 -,026(**) 0,015 0,010 ,020(*) -,028(**)

1,000 ,203(**) ,226(**) -,021(*) ,053(**) 0,017 -,022(*)

1,000 ,088(**) -0,007 0,006 0,017 ,021(*)

1,000 -,029(**) 0,002 ,053(**) ,044(**)

1,000 -0,009 -0,004 -,018(*)

0,012 ,050(**) ,192(**)

0,009 ,211(**) ,166(**)

,557(**) ,126(**) ,418(**)

,155(**) ,041(**) ,110(**)

,213(**) ,067(**) ,241(**)

,027(**) ,029(*) ,060(**)

J

K

L

1,000 ,126(**) -,024(**)

1,000 0,003

1,000

,057(**) ,085(**) ,116(**)

0,021 ,113(**) ,117(**)

,104(**) ,081(**) ,117(**)

M

N

O

1,000 ,178(**) ,513(**)

1,000 ,525(**)

1,000

** korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed); * korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed) A=obesitas sentral, B=umur, C=pendidikan, D=pengeluaran per kapita, E=besar keluarga, F=kebiasaan merokok, G=aktivitas fisik berat, H=konsumsi minuman beralkohol, I=konsumsi sayuran dan buah, J=konsumsi makanan/minuman manis, K=konsumsi makanan berlemak, L=kondisi mental emosional, M=jenis kelamin, N=status kawin, O=pekerjaan

75

Lampiran 2. Hasil analisis regresi logistik Model Summary No -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square 8916,435(a) 0,187 1 5073,903(b) 0,233 2 11185,054(a) 0,163 3 a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by than 0,001. b. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by than 0,001.

0,266 0,344 0,242 less less

Regresi Logistik Sulawesi Utara Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases

N Percent 8.885 100,0 0 0,0 8.885 100,0 Unselected Cases 0 0,0 Total 8.885 100,0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Included in Analysis Missing Cases Total

Variable in the Equation

B Step 11(a)

15-34 tahun 35-54 tahun 55 tahun Jenis kelamin Tidak sekolah/tamat SD/SMP SMA/PT Tipe wilayah AF Berat Tidak bekerja Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS BUMN/swasta Wiraswasta/pedang /jasa Petani/nelayan/asa/l ainnya Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati Constant

S.E.

Wald

df

Sig.

2 1 1 1 2 1 1 1 1 5 1 1 1

0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,138 0,000 0,000 0,008 0,000 0,000 0,009 0,012

OR

95,0% C.I.for OR Lower

Upper

1,863 2,136 4,259

1,639 1,818 3,653

2,118 2,509 4,966

1,116 1,364 1,532 1,184

0,965 1,154 1,371 1,045

1,289 1,611 1,712 1,342

1,529 1,459 1,471

1,252 1,101 1,088

1,867 1,934 1,989

0,622 0,759 1,449

0,065 0,082 0,078

0,109 0,310 0,427 0,169

0,074 0,085 0,057 0,064

0,425 0,378 0,386

0,102 0,144 0,154

115,735 90,690 85,430 342,097 15,078 2,202 13,295 56,756 7,037 48,319 17,321 6,922 6,298

0,526

0,118

19,780

1

0,000

1,691

1,342

2,132

-0,009

0,111

0,007

1

0,935

0,991

0,796

1,233

1,168 0,890

0,107 0,138

119,300 118,541 41,718

2 1 1

0,000 0,000 0,000

3,216 2,434

2,606 1,858

3,969 3,188

-3,834

0,138

771,912

1

0,000

0,022

76

Logit C (Obesitas Sentral) = -3.834 +0.622 (umur 35-54 tahun) +0.759 (>=55 tahun) + 1.449 (wanita) + 1.168 (kawin) + 0.890 (cerai) + 0.310 (SMA/PT) + 0.425 (ibu rumah tangga) + 0.378 (TNI/POLRI/swasta) +0.386(BUMN/swasta) + 0.526 (wiraswasta/pedagang/jasa) + 0.427 (perkotaan) + 0.169 (tidak aktivitas fisik) Gorontalo Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases

N Percent 5.871 100,0 0 0,0 5.871 100,0 Unselected Cases 0 0,0 Total 5.871 100,0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Included in Analysis Missing Cases Total

Variable in the Equation B Step 3(a)

15-34 tahun 35-54 tahun 55 tahun Jenis kelamin Belum kawin Kawin Cerai hidup/mati Tdk sekolah/tamat SD SD/SMP SMA/PT Tidak bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh/lainnya Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Tipe wilayah alkohol Aktivitas fisik berat Kondisi mental Constant

S.E.

0,844 1,021 1,958

0,081 0,121 0,116

1,145 0,877

0,144 0,188

0,298 0,231

0,086 0,119

0,547 0,954 0,499 0,627 0,027

0,134 0,188 0,316 0,162 0,152

Wald

df

Sig.

128,098 107,999 71,002 282,647 64,062 63,480 21,713 11,933 11,924 3,780 50,786 16,542 25,855 2,485 14,969 0,031 51,544 15,151 16,355 34,161 46,532 9,367 3,114 10,134 3,903

2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 5 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,003 0,001 0,052 0,000 0,000 0,000 0,115 0,000 0,860 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,002 0,078 0,001 0,048

OR

95,0% C.I.for OR Lower

Upper

2,325 2,777 7,085

1,983 2,190 5,639

2,726 3,521 8,902

3,143 2,404

2,371 1,662

4,166 3,476

1,348 1,260

1,138 0,998

1,596 1,590

1,728 2,597 1,647 1,872 1,027

1,328 1,798 0,886 1,362 0,762

2,249 3,752 3,062 2,571 1,384

0,464 0,119 1,591 1,259 2,010 0,477 0,118 1,612 1,279 2,031 0,688 0,118 1,991 1,580 2,507 0,819 0,120 2,269 1,793 2,872 0,258 0,084 1,294 1,097 1,527 0,283 0,161 1,328 0,969 1,819 0,264 0,083 1,302 1,107 1,532 0,177 0,089 1,193 1,001 1,422 0,209 618,342 1 0,000 0,006 5,190 Logit C (Obesitas Sentral ) = -5.190 + 0.844 (35-54 tahun) + 1.021 ( 55 tahun) + 1.958 (wanita) + 1.145 (kawin) + 0.877 ( cerai) + 0.298 (SD/SMP) + 0.547 (ibu rumah tangga) + 0.954 (TNI/POLRI/PNS) + 0.627 (wiraswasta/pedagang/jasa) + 0.464 (kuintil ke-2) + 0.477 (kuintil ke-3) + 0.688 (kuintil ke-4) + 0.819 (kuintil ke-5) + 0.258 (perkotaan) + 0.264 (tidak aktivitas fisik) + 0.177 (kondisi mental emosional terganggu)

77

DKI Jakarta Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases

N Percent 11.805 100,0 0 0,0 11.805 100,0 Unselected Cases 0 0,0 Total 11.805 100,0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Included in Analysis Missing Cases Total

Variable in The Equation

B Step 6(a)

15-34 tahun 35-54 tahun 55 tahun Jenis kelamin Belum kawin kawin Cerai hidup/mati Tdk bekerja/sekolah Ibu rumah tangga TNI/POLRI/PNS BUMN/swasta Wiraswasta/pedagang/jasa Petani/nelayan/buruh/lainnya Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Tidak merokok Pernah merokok Merokok Makanan manis Makanan berlemak Kondisi mental Constant

S.E.

Wald

df

Sig.

2 1 1 1 2 1 1 5 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 2 1

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,000 0,387 0,021 0,006 0,785 0,078 0,729 0,070 0,117 0,015 0,005 0,031

OR

95,0% C.I.for OR Lower

Upper

2,318 2,723 4,184

2,069 2,330 3,561

2,597 3,183 4,915

2,579 2,213

2,162 1,756

3,076 2,789

1,419 1,139 1,254 1,290 1,029

1,184 0,848 1,035 1,076 0,836

1,702 1,531 1,520 1,546 1,267

1,026 1,145 1,125 1,202

0,886 0,989 0,971 1,037

1,189 1,326 1,304 1,393

0,250

0,116

246,584 209,964 158,269 303,263 111,222 110,718 45,285 20,729 14,295 0,747 5,351 7,576 0,074 8,384 0,120 3,292 2,459 5,956 10,408 4,658

1,284

1,023

1,612

-0,114

0,078

2,119

1

0,146

0,892

0,765

1,040

-0,144 0,195 0,126

0,052 0,057 0,063

7,842 11,667 3,979

1 1 1

0,005 0,001 0,046

0,866 1,216 1,135

0,782 1,087 1,002

0,958 1,360 1,285

-3,516

0,125

789,126

1

0,000

0,030

0,841 1,002 1,431

0,058 0,080 0,082

0,947 0,794

0,090 0,118

0,350 0,130 0,227 0,254 0,029

0,093 0,151 0,098 0,092 0,106

0,026 0,135 0,118 0,184

0,075 0,075 0,075 0,075

Logit C (Obesitas Sentral ) = -3.516 + 0.841 ( 35-54 tahun) + 1.002 ( 55 tahun) + 1.431 ( wanita) + 0.947 (kawin)

+

0.794

(cerai

)

+

0.350

(ibu

rumah

tangga)

+

0.227

(BUMN/swasta)

+

0.254

(wiraswasta/pedagang/jasa)+ 0.184 (kuintil 5) + 0.250 (pernah merokok ) - 0.144 (makanan manis) + 0.195 (makanan berlemak) + 0.126 (kondisi mental emosional terganggu)

78

Lampiran 3. Variabel yang diambil dari kuisioner Riset Kesehatan Dasar 2007

79

80

D. PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU (SEMUA UMUR

10 TAHUN)

PENGGUNAAN TEMBAKAU D11

Apakah (NAMA) merokok/mengunyah tembakau selama 1 bulan terakhir ? (Bacakan Pilihan Jawaban) 1. Ya, setiap hari 3. Tidak, sebelumnya pernah 2. Ya, kadang kadang 4. Tidak pernah sama sekali ALKOHOL D 19 Apakah dalam 1 bulan terakhir (NAMA) pernah mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol (minuman bermerk : contohnya bi, whiskey, vodka, anggur/wine, dll dan minuman tradisional : contohnya tuak, poteng, sopi) ? AKTIVITAS FISIK (GUNAKAN KARTU PERAGA) D 22 Apakah (NAMA) biasa melakukan aktivitas fisik berat, yang dilakukan terus menerus paling sedikit selama 10 menit setiap kali melakukannya?

1.ya 2.tidak

1.ya 2.tidak

PERILAKU KONSUMSI D31 Biasanya dalam satu minggu, berapa hari (NAMA) makan buah-buahan segar ? …..hari D32 D33

GUNAKAN KARTU PERAGA JIKA JAWABAN “0” D33 Berapa porsi rata-rata (NAMA) makan buah-buahan segar dalam satu hari dari hari-hari tersebut? (GUNAKAN KARTU PERAGA) Biasanya dalam satu minggu, berapa hari (NAMA) makan sayur-sayuran segar ?

…..porsi …..hari

D34

D35

GUNAKAN KARTU PERAGA JIKA JAWABAN “0” D35 Berapa porsi rata-rata (NAMA) makan sayur-sayuran segar dalam sehari ? (GUNAKAN KARTU PERAGA)

…..porsi

TANYAKAN D35 TANPA PERAGA DAN ISIKAN KODE PILIHAN JAWABAN 1. > 1 kali per hari 3. 3-6 kali per minggu 5. < 3 kali per bulan 2. 1 kali per hari 4. 1-2 kali per minggu 6. Tidak pernah Biasanya berapa kali (NAMA) mengonsumsi makanan berikut : a. b.

Makanan/ minuman manis Makanan berlemak

F. KESEHATAN MENTAL (SEMUA ART UMUR

15 TAHUN)

F02

ISIKAN DENGAN KODE 1=YA ATAU 2=TIDAK Apakah (NAMA) sering menderita sakit F11 Apakah (NAMA) merasa sulit untuk menikmati kegiatan kepala? sehari-hari ? Apakah (NAMA) tidak nafsu makan? F12 Apakah (NAMA) sulit untuk mengambil keputusan ?

F03

Apakah (NAMA) sulit tidur?

F13

Apakah (NAMA) pekerjaan sehari-hari terganggu?

F04

Apakah (NAMA) mudah takut?

F14

F05

Apakah (NAMA) merasa tegang, cemas, atau kuatir? Apakah tangan (NAMA) gemetar?

F15

Apakah (NAMA) tidak mampu melakukan hal-hal yang Bermanfaat dalam hidup? Apakah (NAMA) kehilangan minat pada berbagai hal?

F16

Apakah (NAMA) meras tidak berharga?

F17

F08

Apakah pencernaan (NAMA) terganggu /buruk? Apakah (NAMA) sulit berpikir jernih ?

F18

Apakah (NAMA) mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup ? Apakah (NAMA) merasa lelah sepanjang waktu?

F09

Apakah (NAMA) merasa tidak bahagia ?

F19

Apakah (NAMA) mengalami rasa tidak enak di perut?

F10

Apakah (NAMA) menangis lebih sering ?

F20

Apakah (NAMA) mudah lelah?

F01

F06 F07

XI. PENGUKURAN DAN PEMERIKSAAN 4

Lingkar Perut

……..cm