BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah suatu proses membiarkan bayi dengan nalurinya sendiri untuk menyusu sesegera dalam satu jam pertama setelah lahir, bersamaan dengan kontak antara kulit bayi dengan kulit ibu (Depkes RI, 2008). Kebijakan inisiasi menyusu dini telah disosialisasikan di Indonesia sejak Agustus 2007 (Roesli, 2008). World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan kepada semua bayi untuk mendapatkan kolostrum yaitu ASI pada hari pertama dan kedua untuk melawan berbagai infeksi dan mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan (Kemenkes, 2012). Kebijakan pelaksanaan inisiasi menyusu dini tersebut juga diharapkan dapat menurunkan kematian bayi (AKB) sesuai dengan pencapaian Millineum Development Goals (MDGs) sebanyak 23 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2015 (Depkes, 2013). Inisiasi menyusu dini telah terbukti mampu menurunkan angka kematian neonatus. Penelitian yang dilakukan oleh Ghana terhadap 10.947 bayi lahir menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan menyusu dalam waktu satu jam pertama dan membiarkan kontak kulit ke kulit antara bayi dengan ibu, maka dapat mengurangi 22% kematian bayi di 28 hari pertamanya. Penundaan dalam melakukan inisiasi menyusu dini akan meningkatkan risiko kematian pada masa neonatus yaitu bayi usia 0-18 hari (Edmond et al., 2006). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 melaporkan bahwa 95% anak di bawah umur 5 tahun di Indonesia telah mendapat
1
2
ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat ASI dalam satu jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir (SDKI, 2007). Data UNICEF tahun 2003 menyebutkan bahwa angka cakupan praktik inisiasi menyusu dini di dunia sebesar 42% dalam kurun waktu 20052010. Prevalensi inisiasi menyusu dini di Indonesia sendiri masih lebih rendah yaitu 39%. Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain di sebagian negara Asia Tenggara misalnya Myanmar (76%), Thailand (50%), dan Filipina (54%) (UNICEF, 2013). Hal ini menunjukkan program inisiasi menyusu dini di Indonesia belum sepenuhnya terlaksana secara optimal. Saat ini, pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat rendah, padahal ASI eksklusif memiliki manfaat yang besar bagi ibu maupun bayi. Manfaat bagi ibu salah satunya untuk menurunkan resiko kanker payudara serta sebagai alat kontrasepsi alamiah sedangkan bagi bayi ASI mengandung nutrisi yang optimal, meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bayi (Rosita, 2008). Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka cakupan ASI eksklusif di Indonesia pada bayi umur 4-5 bulan hanya 27 %. Angka cakupan tersebut masih sangat rendah namun setidaknya telah mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 yaitu 17 % (SDKI, 2012). Faktor keberhasilan ASI eksklusif salah satunya adalah dengan pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Inisiasi menyusu dini dan ASI eksklusif sejak lahir hingga usia enam bulan merupakan dua praktik pemberian ASI yang penting untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan optimal bayi (Noer, 2011). Inisiasi menyusu dini menjadi sangat penting dalam kaitannya menjaga produktivitas ASI.
3
Isapan bayi dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin yaitu hormon yang merangsang kelenjar susu untuk memproduksi ASI. Isapan itulah yang akan meningkatkan produksi susu 2 kali lipat (Yuliarti, 2010). Pemberian ASI secara dini atau inisiasi menyusu dini, memberikan kemungkinan delapan kali lebih besar dalam meningkatkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan (Aprilia, 2010). Menurut Tamara dan Adjie (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0,033) antara pasien yang berhasil melakukan inisiasi menyusu dini dengan keberhasilan ASI eksklusif. Penelitian di Jakarta pada tahun 2003 juga menunjukkan bahwa bayi yang diberikan kesempatan menyusu secara dini lebih tinggi persentase menyusunya pada enam bulan pertama (59%) daripada yang tidak (19%) (Fikawati dan Syafiq, 2003). Keberhasilan inisiasi menyusu dini sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motivasi baik ibu hamil, tenaga kesehatan atau penolong persalinan itu sendiri (Lin-lin Su, 2007). Selain itu salah satu aspek yang mempengaruhi pelaksanaan praktik inisiasi menyusu dini antara lain banyak ibu yang belum dibekali pengetahuan yang cukup tentang manajemen laktasi, pengaruh budaya dan norma yang berkembang di kalangan anggota keluarga, rekan, dan masyarakat secara umum (Dinkes, 2005). Oleh karena itu sikap petugas kesehatan khususnya perawat yang didasari pengetahuan tentang inisiasi menyusu dini besar pengaruhnya terhadap keberhasilan inisiasi menyusu dini. Penelitian Hartatik (2012) di Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa pengetahuan ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini adalah baik (17,2%) ,cukup
4
(57,1%), dan kurang (25,7%). Menurut Anggraini (2010) mayoritas ibu hamil (59,7%) di Yogyakarta memiliki sikap tidak mendukung atau negatif tentang inisiasi menyusu dini. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini yang kurang masih perlu ditingkatkan lagi. Wahyuningsih (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu keberhasilan inisiasi menyusu dini yaitu pengetahuan ibu hamil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 25 responden sebanyak 19 diantaranya (76%) melakukan inisiasi menyusu dini karena memiliki pengetahuan yang baik. Jadi, dapat disimpulkan semakin baik pengetahuan ibu bersalin maka semakin baik pula sikap ibu bersalin dalam pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Pada kenyataannya penyampaian informasi tentang inisiasi menyusu dini kepada masyarakat belum menyebar secara luas pada masa sekarang ini. Penyebaran informasi tentang inisiasi menyusu dini di media tidak segencar informasi tentang ASI eksklusif atau isu-isu lain dalam kesehatan ibu dan bayi padahal pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki delapan kali lebih berhasil apabila diawali dengan menyusu dini (Anggraini, 2010). Oleh sebab itu informasi mengenai inisiasi menyusu dini perlu ditingkatkan lagi salah satunya dengan memberi pendidikan kesehatan. Peran perawat, salah satunya adalah sebagai pendidik, dimana perawat membantu
klien
dalam
meningkatkan
kesehatannya
melalui
pemberian
pengetahuan (Kusnanto, 2003). Perawat sebagai pendidik perlu memahami metode dan media yang tepat dalam penyampaian informasi agar target atau subjek dapat menerima asupan informasi dengan baik. Pemilihan metode dan
5
media yang tepat dapat mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang atau kelompok dalam menerima informasi (Maulana, 2009). Penelitian tentang penggunaan media yang digunakan untuk memberikan pendidikan kesehatan telah banyak dilakukan misalnya ceramah, diskusi kelompok, leaflet, poster, atau media audiovisual. Akan tetapi data yang dipaparkan memberikan adanya perbedaan hasil. Hasil penelitian Wijayanti (2001) menyimpulkan bahwa media poster dan leaflet kurang efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap. Menurut Roestiyar (2001) dan Adrian (2010) teknik ceramah adalah cara mengajar yang paling tradisional, kadang membosankan, sehingga memerlukan keterampilan tertentu dalam pelaksanannya sedangkan teknik diskusi kelompok informasi yang didapat terbatas dan biasanya hanya dikuasai oleh orang-orang yang suka bicara. Penelitian oleh Pandiangan (2005) menyatakan bahwa pengaruh pendidikan kesehatan melalui metode ceramah ternyata tidak lebih baik dari media audiovisual. Oleh sebab itu, salah satu media yang tepat sasaran, efektif, serta menarik untuk digunakan dalam memberikan informasi pada masyarakat salah satunya adalah media audiovisual (Dermawan & Setiawati, 2008). Media audiovisual merupakan media pendidikan kesehatan yang mampu menstimulasi indera pendengaran dan penglihatan sehingga hasil yang diperoleh lebih maksimal (Suliha et al., 2002). Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan manusia 75% diperoleh melalui indera penglihatan, sehingga apabila indra tersebut digunakan secara optimal maka semakin mempermudah manusia untuk menerima informasi. Menurut Sadiman et al., (2009) kelebihan dari media ini
6
antara lain dapat menarik perhatian, memberikan gambaran yang lebih nyata, dan meningkatkan retensi memori serta mudah diingat. Keefektifan media audiovisual dapat dibuktikan dengan Penelitian oleh Sandhi (2011) yang menyatakan adanya peningkatan yang signifikan pada pengetahuan responden sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, angka prevalensi inisiasi menyusu dini di Yogyakarta sebesar 47,19% dari total angka kelahiran hidup sebesar 4.658 bayi. Hal ini menunjukkan bahwa cakupan inisiasi menyusu dini masih belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil wawancara di Puskesmas Jetis, Yogyakarta bahwa masih banyak ibu hamil yang tidak mengetahui tentang inisiasi menyusu dini karena pemberian edukasi yang kurang adekuat dari tenaga kesehatan di puskesmas. Selain itu, kebanyakan ibu hamil tidak pernah mengikuti berbagai penyuluhan yang telah tersedia di puskesmas walaupun hanya dilakukan kurang lebih dua kali dalam masa kehamilan. Menurut tenaga kesehatan di puskesmas tersebut bahwa salah satu faktor keberhasilan pemberian edukasi di komunitas adalah penyediaan media penyampaian informasi yang efektif seperti media audiovisual. Dengan tersedianya media audiovisual ini dapat memberikan kemudahan baik pada tenaga kesehatan dalam pemberian edukasi di masyarakat dan masyarakat dalam mendapatkan berbagai informasi. Peneliti memilih untuk melakukan penelitian di Puskesmas Jetis dengan justifikasi fasilitas rawat inap sehingga memudahkan peneliti untuk melaksanakan penelitian. Selain itu, puskesmas tersebut memiliki cakupan angka kelahiran tinggi yaitu sebesar 395 pertahun sedangkan prevalensi inisiasi menyusu dini
7
sebesar 47,59%. Berdasarkan fakta tersebut peneliti ingin lebih mengoptimalkan pelaksanaan inisiasi menyusu dini dengan memberikan suatu bentuk pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode audiovisual kepada para ibu hamil.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Adakah pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini di Puskesmas Jetis, Yogyakarta ?
C. Tujuan 1.
Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan dengan media audiovisual dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu hamil mengenai inisiasi menyusu dini di Puskesmas Jetis, Yogyakarta.
2.
Tujuan Khusus a.
Mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual di Puskesmas Jetis, Yogyakarta.
b.
Mengetahui sikap ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual di Puskesmas Jetis, Yogyakarta.
8
c.
Mengetahui hubungan karakteristik responden dengan pengetahuan dan sikap ibu hamil sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual di Puskesmas Jetis, Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat teoritis Penelitian
ini
diharapkan
mampu
menambah
wawasan,
ilmu
pengetahuan, serta informasi dalam dunia kesehatan terutama keperawatan maternitas tentang penerapan iniasi menyusu dini. 2) Manfaat Praktis a.
Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam praktik penelitian secara ilmiah serta menjadikan suatu motivasi untuk lebih meningkatkan pemahaman mengenai penerapan inisiasi menyusu dini dalam komunitas.
b.
Bagi ibu hamil Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah suatu informasi bagi ibu hamil mengenai manfaat dan pentingnya inisiasi meyusu dini untuk meningkatkan angka harapan hidup bayi. Selain itu dapat menjadikan suatu motivasi ibu untuk menerapkan inisiasi menyusu dini.
c.
Bagi Institusi Pelayanan kesehatan (Puskesmas) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan dan evaluasi kebijakan penerapan inisiasi menyusu dini serta menambah pengetahuan dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman pada tenaga kesehatan
9
tentang mencapai keberhasilan inisiasi menyusu dini dengan prinsip dan tatacara yang benar. d.
Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pemerintah untuk lebih mengoptimalkan program inisiasi menyusu dini agar dapat terealisasikan secara baik dan merata sehingga kualitas kesehatan ibu dan bayi dapat meningkat.
e.
Bagi Peneliti lain Penelitian ini dapat menjadi wawasan dan sumber informasi untuk mengembangkan penelitian-penelitian lain dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas ilmu kesehatan di Indonesia terutama mengenai inisiasi menyusu dini.
E. Keaslian Penelitian Adapun beberapa penelitian lain yang mirip dengan penelitian ini antara lain: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari pada tahun 2010 yaitu “Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Inisiasi Menyusui Dini oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten“. Penelitian menggunakan jenis penelitian kuantitatif non-eksperimental dan rancangan deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan bidan tentang inisiasi menyusu dini sebagian besar dalam rentang baik. Sebagian besar bidan bersikap positif terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini di ruang bersalin RSUP dr.
10
Soeradji Tirtonegoro Klaten. Selain itu, tindakan yang dilakukan bidan sudah sesuai dengan ketentuan namun tingkat keberhasian inisiasi menyusu dini masih sangat rendah. Persamaan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah variabel penelitian yaitu tingkat pengetahuan dan sikap. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada metode penelitian dan populasi yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan metode quasi experimental sedangkan populasinya ibu hamil. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiyowati pada tahun 2011 yaitu “ Efektifitas Media Audiovisual pada Pendidikan Kesehatan Personal Hygiene Terhadap Pengetahuan
dan
Sikap
Siswa
SD
Negeri
Pusmalang,
Wukirsari,
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pra-eksperimen (pre-experimental design) dengan one group pretest-postest dengan tidak adanya kelompok kontrol. Penelitian ini diikuti oleh 46 responden yang sebelumnya berjumlah 50 orang, hal ini dikarenakan 4 orang anak masuk ke dalam kriteria eksklusi yaitu tidak hadir saat dilakukan pendidikan kesehatan. Hasil dari penelitian ini adalah adanya peningkatan pengetahuan setelah pemberian pendidikan kesehatan tentang personal hygiene melalui media audiovisual pada siswa SD Negeri Pusmalang, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada media yang digunakan yaitu audiovisual dalam pemberian intervensi pendidikan kesehatan dan metode penelitian. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel, populasi, dan lokasi penelitian.
11
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Goma pada tahun 2012 yaitu “Pengaruh Pemberian Pamflet Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil mengenai Inisiasi Menyusu Dini”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental posttest only control group design dengan responden terdiri dari 30 orang pada kelompok kontrol dan 30 orang pada kelompok perlakuan sehingga didapatkan jumlah total sampel 60 orang. Hasil dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan yang bermakna pada ibu hamil yang diberi pengetahuan mengenai inisiasi menyusu dini melalui pamphlet dengan yang tidak diberi pamphlet (p=0,023). Persamaan penelitian disini terletak pada variabel yang diteliti yaitu pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini. Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada metode, populasi, dan media yang digunakan untuk pemberian pendidikan kesehatan dan dalam penelitian ini menggunakan media audiovisual.
4.
Penelitian yang dilakukan oleh Khresheh, et.al. pada tahun 2011 di Jordan dengan judul yaitu “The Effect of a Postnatal Education and Support Program on Breastfeeding among Primiparous Women: A Randomized Controlled Trial”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental pretest and posttest design. Penelitian ini diikuti oleh 90 wanita primigravida yang telah melahirkan bayi secara normal, kemudian seluruh responden ini dibagi menjadi dua kelompok secara acak yaitu kelompok intervensi yang diberi edukasi postnatal tentang berbagai informasi tentang ASI eksklusif 6 bulan, dan kelompok kontrol yang menerima pelayanan postnatal sesuai
12
prosedur rumah sakit. Dari hasil yang didapatkan menyatakan bahwa edukasi postnatal sangat efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang informasi ASI Eksklusif selama 6 bulan serta memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada kelompok intervensi dalam memberikan ASI selama 6 bulan dibandingkan kelompok kontrol. Persamaan pada penelitian ini terletak pada jenis penelitian yaitu pretest posttest design serta pemberian pendidikan kesehatan pada ibu hamil sebagai bentuk intervensi. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode, variabel, dan populasi penelitian. 5.
Penelitian yang dilakukan oleh Carfoot, et.al. pada tahun 2005 di rumah
sakit Warrington, Inggris Utara dengan judul “A Randomised Controlled Trial in The North of England Examining The Effects of Skin-to-skin care on Breastfeeding”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental dengan diikuti oleh 204 ibu, yang terbagi menjadi dua kelompok secara acak yaitu kelompok intervensi yang diberikan perlakuan inisiasi menyusu dini atau early skin-to-skin care dan kelompok kontrol dengan perlakuan sesuai rutinitas di rumah sakit. Hasil penelitian didapatkan bahwa inisiasi ini memberikan angka yang signifikan pada kelompok intervensi yaitu lebih mensukseskan dalam hal melaksanakan ASI Eksklusif selama 4 bulan, mempertahankan temperature bayi, meningkatkan kenyamanan dan perasaan puas dalam menyusu dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian Carfoot (2005) mendukung penelitian ini sebagai landasan pentingnya inisiasi menyusu dini. Perbedaan penelitian terletak pada variabel, metode, dan populasi.