PEMANFAATAN JAMUR TIRAM PUTIH (PLEUROTUS OSTREATUS

Download Abstrak. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jamur konsumsi yang saat ini cukup populer dan banyak digemari masyar...

0 downloads 501 Views 156KB Size
PEMANFAATAN JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) SEBAGAI TEPUNG, KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN UTILIZATION OF WHITE OYSTER MUSHROOMS (Pleurotus ostreatus) AS FLOUR, THE INFLUENCE STUDY OF TEMPERATURE AND DRYING TIME 1)

2)

2)

Gea Gita Puspitasari , Wignyanto , dan Beauty Suestining Diyah Dewanti 1) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP-Universitas Brawijaya 2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP-Universitas Brawijaya * email korespondensi: [email protected] Abstrak Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jamur konsumsi yang saat ini cukup populer dan banyak digemari masyarakat karena rasanya lezat dan juga penuh kandungan nutrisi, tinggi protein, dan rendah lemak. Daya simpan jamur tiram sendiri mudah sekali rusak setelah dipanen. Hal ini disebabkan jamur tiram memiliki kadar air cukup tinggi yaitu 86,6%. Mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu usaha untuk memperpanjang daya simpan jamur tiram putih. Salah satunya dengan mengolah jamur tiram menjadi bentuk bubuk atau tepung. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor pertama suhu (60°C dan 50°C) dan faktor kedua lama pengeringan (7 jam, 9 jam, dan 11 jam). Uji analisis yang dilakukan pada hasil tepung jamur tiram yaitu uji analisis kadar air dan kadar protein. Data yang diperoleh dari hasil penelitian berikutnya dilakukan pengolahan data. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisa keragaman ANOVA (Analysis of Variance). Dari data hasil analisis karakteristik tepung jamur tiram putih, kandungan protein tertinggi didapat dari sampel dengan kombinasi suhu 60°C dan lama pengeringan 11 jam sebesar 16,95% dan terendah pada sampel dengan kombinasi suhu 50°C dan lama pengeringan 7 jam sebesar 7,59%. Pada hasil analisis kadar air, kandungan air tertinggi didapat dari sampel dengan kombinasi suhu 50°C dan lama pengeringan 7 jam sebesar 75,39% dan terendah pada sampel dengan kombinasi suhu 60°C dan lama pengeringan 11 jam sebesar 13,15%. Kata kunci : jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), proses pengeringan, tepung jamur tiram putih. Abstract White oyster mushrooms (Pleurotus ostreatus) is one of the current consumption of mushrooms that quite popular and it’s preffered for almost people, because it tastes delicious and also full of nutrients, high protein, and low fat. Oyster mushrooms has low storability after harvested. This is due cause oyster mushrooms have 86,6% high enough moisture content. Knowing this, it needs to be made an attempt to be able to extend the storability of white oyster mushrooms. Processing into powder or flour is one of the solution. This research used Rancangan Acak Kelompok (RAK) consisting of two factors, first is temperature factor (60°C and 50°C) and second is drying time factor (7, 9, and 11 hours). The analysis performed for white oyster mushroom flour is moisture content test analysis and protein content test analysis. Obtained data from the results of research conducted subsequent data processing. Data analysis conducted in this research uses the analysis of diversity ANOVA (Analysis of Variance). The data results from white oyster mushroom flour characteristics analysis, the highest protein content obtained from temperature of 60°C and 11 hours drying time combination sample amounted to 16,95% and the lowest at temperature of 50°C and 7 hours drying time combination sample for 7,59%. The result for highest water levels obtained from temperature of 50°C and 7 hours drying time combination sample for 75,39% and the lowest water levels obtained from temperature of 50°C and 11 hours drying time combination sample for 13, 15%. Keywords : white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus), drying process, white oyster mushroom flour.

PENDAHULUAN Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) saat ini cukup populer dan banyak digemari oleh masyarakat karena rasanya yang lezat dan juga penuh

kandungan nutrisi, tinggi protein, dan rendah lemak. Jamur tiram putih mempunyai kemampuan meningkatkan metabolisme dan menurunkan kolesterol. Selain itu, manfaat lain yang dimiliki

jamur tiram adalah sebagai antibakterial, dan anti-tumor sehingga jamur tiram juga banyak dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit mulai dari diabetes, lever, dan lainnya. Jamur tiram juga sangat baik dikonsumsi terutama bagi mereka yang ingin menurunkan berat badan karena memiliki kandungan serat pangan yang tinggi sehingga baik untuk kesehatan pencernaan. Selain serat, setiap 100 gram jamur kering juga mengandung protein 10,5 - 30,4%, lemak 1,7 – 2,2%, karbohidrat 56,6%, tiamin 0,2 mg, riboflavin 4,7 – 4,9 mg, niasin 77,2 mg, kalsium 314 mg, dan kalori 367 (Suwito, 2006). Konsumsi jamur tiram dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung selera dan tujuan dari konsumsi jamur yang dimaksud. Ada yang dikonsumsi segar biasanya untuk lauk yang dicampur dengan daging, ikan atau sayuran lain. Ada pula yang dikeringkan dan apabila sewaktu-waktu ingin dimasak atau diolah kembali, jamur yang kering tersebut hanya perlu disiram dengan air panas. Pengolahan jamur tiram yang beragam ini, disebabkan harga jual jamur yang relatif murah dan dapat dijangkau yakni sekitar Rp 12.000/ kg. Daya simpan jamur tiram putih terbilang mudah sekali rusak setelah dipanen, jamur tiram mejadi mudah berubah warna dan keriput. Seperti dikemukakan oleh Arianto dkk (2009), jamur tiram memiliki umur simpan yang pendek atau cepat mengalami kerusakan. Produk hortikultura seperti buah dan sayur adalah produk yang masih melakukan aktivitas metabolisme setelah dipanen. Kerusakan produk dapat disebabkan kontaminasi mikroba, pengaruh suhu dan udara, serta kadar air. Menurut Sumoprastowo (2000), jamur tiram mudah rusak jika terlalu lama disimpan di udara terbuka, walaupun di lemari pendingin. Jamur akan lebih lama disimpan dalam keadaan kering dan tahan sampai 1 tahun. Menurut Achyadi dkk (2004), hal ini disebabkan jamur tiram memiliki kandungan kadar air yang cukup tinggi yaitu 86,6%. Kadar air yang tinggi dapat mempengaruhi daya tahan

pangan terhadap serangan mikroorganisme. Dimana semakin tinggi kadar air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, maka semakin cepat rusak bahan pangan tersebut karena aktivitas mikroorganisme. Mengetahui hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu usaha yang dapat memperpanjang daya simpan jamur tiram putih setelah dipanen. Menurut Widyastuti dkk (2012) melalui penelitiannya, jamur tiram dapat diolah menjadi tepung yang bertujuan agar dapat memperpanjang daya simpan jamur tiram. Pengeringan jamur dan mengolahnya menjadi tepung sendiri bertujuan untuk mengurangi kadar air yang ada di dalam tubuh jamur. Dengan kadar air yang berkurang, mikroba pembusuk tidak dapat hidup di dalamnya dan usia jamur bisa lebih lama (Wiardani, 2010). Proses pengeringan jamur tiram ini memerlukan kombinasi suhu dan lama pengeringan yang tepat agar menghasilkan output berupa tepung yang halus dan hasil yang baik. Tepung jamur tiram ini nantinya dapat diaplikasikan untuk olahan daging tiruan, nugget, sosis, dan flake. Pada olahan daging tiruan dengan substitusi tepung jamur tiram, daging tiruan yang dihasilkan tidak mengandung lemak hewani dan tidak mengandung kolesterol sehingga baik untuk kesehatan. Tekstur yang dapat dirasakan oleh selaput lendir mulut adalah butiran atau serabut yang menyerupai daging asli. Maka daging tiruan ini dapat dijadikan makanan alternatif yang baik bagi para vegetarian yang tidak dapat menkonsumsi daging (Permadi, 2009). Substitusi tepung jamur tiram juga berpengaruh nyata pada kadar protein sosis. Hasil pengujian kadar protein menunjukkan adanya pengaruh peningkatan kadar protein sosis yang disubstitusi dengan tepung jamur tiram (Rus’an, 2007). Penambahan tepung jamur tiram juga dilakukan pada pengolahan nugget. Penambahan tepung jamur tiram yang semakin tinggi dapat menurunkan kadar protein nugget ayam dan meningkatkan kadar protein jamur tiram. Sehingga mengurangi konsumsi dan pemakaian daging ayam dalam pembuatan nugget (Laksono, 2012). Menurut Suprihana dkk (2010), tepung

jamur tiram juga dapat diolah dan dikonsumsi menjadi flake. Flake merupakan sejenis produk sereal yang dapat dikonsumsi dengan susu, dapat pula dicampur dengan buah kering maupun segar, atau dikonsumsi secara langsung sebagai snack. Substitusi tepung jamur tiram berpengaruh nyata terhadap kadar pati, kadar protein, kadar serat, daya rehidrasi, dan daya patah pada flake yang dihasilkan. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah 1. Bagaimana proses pembuatan tepung dengan bahan baku dari jamur tiram putih? 2. Apakah faktor suhu dan lama pengeringan dapat berpengaruh pada proses pembuatan tepung jamur tiram putih? BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboraturim Agrokimia Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang dan Laboratorium Sentral Ilmu Hayati (LSIH), Universitas Brawijaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai November. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan digital, timbangan analitik, baskom plastik, blender kering, oven kering, termometer, panci, kompor, ayakan 60 mesh, loyang, dan pisau. Pada analisis kadar air, alatalat yang diperlukan yaitu oven kering, cawan petri, dan desikator. Bahan-bahan yang digunakan pada proses pembuatan tepung jamur tiram putih adalah jamur tiram dan air. Batasan Masalah 1. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah jamur tiram yang diperoleh dari Pasar Merjosari yang masih berusia 1 hari. 2. Pengeringan menggunakan oven kering.

3. Percobaan pembuatan tepung dengan bahan baku jamur tiram dilakukan dalam skala laboraturium. 4. Pengujian yang dilakukan terhadap sampel tepung jamur tiram putih adalah uji analisis kadar protein dan kadar air. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian untuk tahapan proses pembuatan tepung jamur tiram adalah pertama-tama pertama-tama jamur ditimbang terlebih dahulu seberat 1000g. Jamur yang telah ditimbang lalu dicuci dan direndam di dalam baskom untuk proses membersihkan kotoran dan pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Setelah itu, jamur dipotong menjadi lebih tipis dengan ketebalan ± 0,5mm. Jamur kemudian diblanching (dikukus) pada suhu 80°C selama ± 5 menit. Jamur yang telah dikukus, dikeringkan dalam oven kering dan setelah kering dihancurkan dengan blender selama ± 10 menit. Jamur yang sudah hancur, selanjutnya diayak menggunakan ayakan 60 mesh hingga didapat tepung yang halus. Pengujian dan Analisis Data Pengujian yang dilakukan terhadap sampel hasil pengolahan jamur tiram menjadi tepung yaitu uji analisis kadar protein dan analisis kadar air. Prosedur analisa kadar air dan kadar protein dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Data yang diperoleh dari hasil penelitian berikutnya dilakukan pengolahan data. Pengolahan data dilakukan berdasarkan rancangan percobaan. Analisis data diperlukan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan dalam penelitian. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisa keragaman ANOVA (Analysis of Variance) dengan selang kepercayaan 95% yang akan menghasilkan varian. Jika F Hitung kurang dari F Tabel maka tidak ada interaksi antar perlakuan. Apabila F Hitung lebih dari F Tabel maka ada interaksi atau berbeda nyata antar perlakuan. Apabila terdapat beda nyata pada interaksi kedua perlakuan dilakukan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan (α = 0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hasil Kadar Protein Tepung Jamur Tiram Putih Pada Tabel 1 di halaman berikutnya, dapat dilihat bahwa rerata kadar protein tepung jamur tiram putih yang tertinggi pada kombinasi suhu 60°C dan lama pengeringan 11 jam (S2L3) yaitu sebesar 16,95%. Rerata kadar protein tepung jamur tiram putih yang rendah diperoleh dari kombinasi suhu 50°C dan lama pengeringan 7 jam (S1L1) yaitu 7,59%. Pemberian notasi (huruf) yang berbeda pada Tabel 1 menunjukkan hasil antar perlakuan berbeda nyata, seperti pada perlakuan S1L1 (suhu 50°C dengan lama pengeringan 7 jam) dengan perlakuan S2L1 (suhu 60°C dengan lama pengeringan 7 jam), masing-masing memiliki notasi yang berbeda yaitu dari A ke B yang menandakan antar perlakuan

tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap hasil kadar protein. Pada perlakuan S2L1 (suhu 60°C dan lama pengeringan 7 jam) dengan S1L2 (suhu 50°C dan lama pengeringan 9 jam), perlakuan tersebut masing-masing menghasilkan protein dengan jarak nilai protein sebesar 0,20% dengan diikuti pemberian notasi yang tidak berubah yaitu notasi B ke B, sehingga kedua perlakuan tersebut dianggap tidak berbeda nyata. Hal serupa juga terjadi pada perlakuan S2L2 (suhu 60°C dan lama pengeringan 9 jam) dengan S1L3 (suhu 50°C dan lama pengeringan 11 jam), masing-masing perlakuan menghasilkan protein dengan jarak nilai protein hanya sebesar 0,02% dengan diikuti pemberian notasi yang tidak berubah yaitu C ke C, sehingga pada kedua perlakuan tersebut juga dianggap tidak berbeda nyata.

Tabel 1 Rerata Kadar Protein Tepung Jamur Tiram Putih Perlakuan Protein (%) Notasi *) Suhu (°C) Lama Pengeringan (jam) 50 7 7,59 A 60 7 8,00 B 50 9 8,20 B 60 9 13,98 C 50 11 14,00 C 60 11 16,95 D

Gambar 1 Diagram Kadar Protein Tepung Jamur Tiram Putih Dari diagram dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi suhu dan lama pengeringan yang dipakai, semakin tinggi kandungan protein yang terdapat pada tepung jamur tiram putih. Sedangkan

semakin rendah suhu dan lama pengeringan yang dipakai, maka semakin rendah pula kandungan protein yang terdapat pada tepung jamur tiram. Kadar protein untuk tepung menurut Standar

Nasional Indonesia (2009) adalah sebesar 7% dan hasil terbaik dari proses pengeringan tepung jamur tiram didapatkan pada perlakuan S2L3 yaitu 16,95% sehingga kadar protein yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dari Christina dkk (2012), kadar protein yang dihasilkan sebesar 19,09%. Menurut Ohiro (1990), jamur tiram yang dikeringkan, kandungan proteinnya lebih tinggi daripada jamur tiram yang masih basah yakni antara 10,5-30,4% dibanding kadar protein awal sekitar 7,04%. Sehingga jamur tiram kering ini lebih baik dibandingkan sumber protein lain yang berasal dari kedelai dan kacang-kacangan. Analisis Hasil Kadar Air Tepung Jamur Tiram Putih Pada Tabel 2 di halaman berikutnya, dapat dilihat bahwa rerata kadar air tepung jamur tiram putih yang terendah terdapat pada kombinasi suhu 60°C dan lama pengeringan 11 jam (S2L3)

Suhu (°C) 60 60 50 60 50 50

yaitu sebesar 13,15%. Rerata kadar air tepung jamur tiram putih tertinggi diperoleh dari kombinasi suhu 50°C dan lama pengeringan 7 jam (S1L1) yaitu sebesar 75,39%. Pemberian notasi (huruf) yang berbeda pada Tabel 2 menunjukkan hasil antar perlakuan berbeda nyata, seperti pada perlakuan S2L3 (suhu 60°C dengan lama pengeringan 11 jam) dengan S2L2 (suhu 60°C dengan lama pengeringan 9 jam), masing-masing memiliki notasi yang berbeda yaitu A ke B yang menandakan antar perlakuan tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap hasil kadar air. Pada perlakuan S2L1 (suhu 60°C dengan lama pengeringan 7 jam) dan S1L2 (suhu 50°C dengan lama pengeringan 9 jam), masingmasing perlakuan tersebut menghasilkan kadar air dengan jarak nilai hanya sebesar 0,32% dengan diikuti pemberian notasi yang tidak berubah yaitu dari D ke D, sehingga pada kedua perlakuan tersebut dianggap tidak berpengaruh nyata.

Tabel 2 Rerata Kadar Air Tepung Jamur Tiram Putih Perlakuan Air (%) Lama Pengeringan (jam) 11 13,15 9 46,54 11 47,38 7 65,42 9 65,74 7 75,39

Gambar 2 Diagram Kadar Air Tepung Jamur Tiram Putih

Notasi *) A B C D D E

Dari diagram tersebut terlihat adanya penurunan kadar air tepung jamur tiram putih. Hal ini disebabkan kombinasi suhu dan lama pengeringan yang berbeda-beda. Pengeringan dengan suhu 50°C tidak menghasilkan pengeringan yang maksimal pada jamur tiram walaupun sudah dikombinasikan dengan waktu pengeringan yang semakin meningkat. Sehingga pengeringan hanya menghasilkan serat-serat kasar yang tidak menyerupai tepung dan tidak halus. Hal serupa juga masih dihasilkan dengan pemakaian suhu 60°C dengan lama pengeringan 9 jam walaupun terjadi penurunan kadar air yang signifikan. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009) sendiri, tepung yang sesuai standar adalah yang berupa serbuk dan bebas dari bau asing. Terjadi perubahan penurunan kadar air tepung jamur tiram ketika suhu 60°C dikombinasikan dengan lama pengeringan 11 jam. Kadar air pada jamur tiram turun menjadi 13,15%. Kadar air tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (2009) untuk tepung yakni maksimal 14,5%. Perubahan tekstur juga terjadi dengan kenampakan yang menyerupai serbuk atau tepung yang halus. Maka dapat dikatakan, semakin tinggi suhu dan lama pengeringan yang dipakai, semakin rendah kandungan air yang terdapat pada tepung jamur tiram putih. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dari Kadir (2010), kadar air yang diperoleh 13,09%. Penurunan nilai kadar air yang terjadi dihubungkan dengan meningkatnya suhu dan waktu pengeringan yang digunakan. Pada suhu pengeringan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan hanya dapat menguapkan sebagian air yang ada di permukaan sehingga penurunan kadar air bahan relatif kecil. Sedangkan pada suhu pengeringan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama, panas yang diterima oleh bahan selain digunakan untuk menguapkan air pada permukaan bahan,

KESIMPULAN 1. Proses pembuatan tepung dengan bahan baku jamur tiram putih yaitu pertama-tama jamur ditimbang terlebih dahulu seberat 1000g. Jamur yang telah ditimbang lalu dicuci dan direndam di dalam baskom untuk proses membersihkan kotoran dan pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Setelah itu, jamur dipotong menjadi lebih tipis dengan ketebalan ± 0,5mm. Jamur kemudian diblanching (dikukus) pada suhu 80°C selama ± 5 menit. Jamur yang telah dikukus, dikeringkan dalam oven kering dan setelah kering dihancurkan dengan blender selama ± 10 menit. Jamur yang sudah hancur, selanjutnya diayak menggunakan ayakan 60 mesh hingga didapat tepung yang halus. 2. Pada hasil analisis hasil karakteristik tepung jamur tiram putih yaitu analisis kadar protein dan kadar air, didapatkan faktor suhu dan lama pengeringan yang tepat untuk proses pembuatan tepung jamur tiram putih yaitu suhu 60°C dengan lama pengeringan 11 jam. Hasil analisis kadar protein dan air dari kombinasi suhu 60°C dengan lama pengeringan 11 jam, didapatkan kadar protein sebesar 16,95% dan kadar air sebesar 13,15%. Hasil tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk tepung yang memenuhi standar kadar protein sebesar 7% dan kadar air sebesar 14,5%. SARAN Dalam penelitian pemanfaatan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dengan kajian pengaruh suhu dan lama pengeringan masih memiliki kelemahan yaitu tepung yang dihasilkan masih berwarna kuning keemasan. Disarankan pada penelitian berikutnya dapat menambahkan Na-bisulfit untuk perendaman setelah proses pemotongan agar tepung jamur tiram yang dihasilkan lebih berwarna putih.

DAFTAR PUSTAKA Achyadi, N. S. dan Alfiana, H. 2004. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengisi dan Konsentrasi Sukrosa Terhadap Karateristik Fruit Leather Campedak (Actopus champeden lour). Fakultas Teknik Universitas Pasundan. Bandung. Arianto, D. P. dan Supriyanto. 2009. Karakteristik Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Selama Penyimpanan. Agroteknos 20(1): 31-40. Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI375120090. Tepung. BSN. Jakarta. Christina, A. S. dan Hidayati, D. Y. 2012. Pengaruh Proses Penepungan dengan Berbagai Suhu Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Terhadap Zat Gizi Makro, Kadar Air, Abu, dan Lovastin. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 2(2): 1-10. Kadir, I. 2010. Pemanfaatan Iradiasi untuk Memperpanjang Daya Simpan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Kering. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Iradiasi 6(1): 86-103. Laksono, M. A. dan Bintoro, V. P. 2012. Daya Ikat Air, Kadar Air, dan Protein Nugget dengan Substitusi Tepung Jamur Tiram Putih (Pleurotus

ostreatus). Animal Agriculture Journal 1(1): 685-689. Ohiro, I. 1990. A Revision Status of Pleurotus Ostreatus. Mycological Institute Journal 2(8): 143-150. Permadi, S. N. dan Mulyani, S. 2009. Potensi Tepung Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dan Gluten dalam Pembuatan Daging Tiruan. Aplikasi Teknologi Pangan 1(4): 115-120. Rus’an. 2007. Pengaruh Penggunaan Tepung Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Terhadap Kadar Protein Sosis. Agroteknos 4(2): 104-114. Sumoprastowo, R. M. 2000. Memilih dan Menyimpan Sayur Mayur dan Bahan Makanan. Bumi Aksara. Bogor. Suwito, M. 2006. Resep Masakan Jamur dari Chef Ternama. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Wiardani, I. 2010. Budidaya Jamur Konsumsi. Lily Publisher. Yogyakarta. Widyastuti, N. dan Istini, S. 2008. Optimasi Pengeringan Tepung Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dengan Pengering Kabinet. Jurnal Teknologi Bioindustri 2(1): 30-33.