PENGARUH TERAPI OKUPASI MEMASANG TALI SEPATU TERHADAP MOTORIK HALUS ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI SEMARANG Retno Lisa Yuniar*), Dera Alfiyanti**), S. Eko Purnomo***) *)
Mahasiswa Program Studi S.1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang **)
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran UNIMUS Semarang
***)
Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang
ABSTRAK Anak tunagrahita umumnya mengalami hambatan kemampuan intelektual yang akan mempengaruhi terhadap perkembangan motorik, sehingga memungkinkan mengalami kelemahan kemampuan motorik halus yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi memasang tali sepatu terhadap motorik halus pada anak tunagrahita di Sekolah Luar Biasa. Metode yang akan digunakan adalah quasy experiment design jenis one group pretest - posttest design. Subyek penelitian ini adalah 36 siswa tunagrahita kategori sedang hingga berat dari kelas 1 sampai 6 di SLBN Semarang dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dengan teknik analisis data yaitu uji wilcoxon. Pada karakteristik responden anak tunagrahita berdasarkan jenis kelamin terdapat 19 (52,8%) laki-laki dan 17 (47,2%) perempuan, karakteristik responden berdasarkan kategori diperoleh kategori sedang 24 (66,7%) anak dan kategori berat 12 (33,3%) anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi okupasi memasang tali sepatu terhadap motorik halus anak tunagrahita kategori sedang hingga berat kelas 1 hingga 6 di SLBN Semarang dengan didapatkan nilai Z hitung 4,963 dengan p-value sebesar 0,000 (=0,05). Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan peneliti selanjutnya untuk dapat dikembangkan terapi okupasi lainnya untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak tunagrahita usia sekolah. Kata kunci : terapi okupasi, memasang tali sepatu, motorik halus, anak tunagrahita ABSTRACT Mentally disabled children generally are facing problem with their intellectual ability which will influence their motoric development, that they may experience soft motoric ability weakening. This research is intended to figure out the influence of shoelace fixing occupancy toward the soft motoric of mentally disabled children of aspecial Need State School of Semarang. The method used in this study is Quasi Experiment with one group pretest - posttest design. The subject research of this study is the 36 mentally disabled students belong to mild to severe categories from grade 1 to grade 6 of Special Need State School of Semarang by purposive sampling technique. The data analysis of this study is using quantitative descriptive with Wilcoxon test. The characteristic of mentally disabled children based on their sex is 19 (52,8%) boys and 17 (47,2%) girls. Based on the category characteristic, it reveals that there are 24 (66,7%) kids with mild category and 12 (33,3%) kids with severe category. The result of the study shows that there is an influence of shoelace fixing occupancy toward the soft motoric of mentally disabled children from mild to severe category from grade 1 to grade 6 of the Special Need State School of Semarang with the value of Z 4,963 and p-value 0,000 (=0,05). The result of this study can be used as a reference for the next researchers to develop the other occupancy therapy beside to develop the soft motoric of mentally disabled school age kids. Key Words : Shoelace Fixing, Occupation Therapy, Soft Motoric, Mentally Disabled Children Pengaruh Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu…(R. L. Yuniar, 2015)
1
PENDAHULUAN
METODOLOGI PENELITIAN
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi dibawah intelegensi normal dengan skor IQ sama atau lebih rendah dari 70 (Kemis & Rosnawati, 2013, hlm.1). Salah satu gambaran klinis anak retardasi mental /tunagrahita yaitu koordinasi gerakan kurang / tidak terkendali (Muttaqin ,2008, hlm. 430). Anak retardasi mental / tunagrahita memiliki hambatan keterlambatan motorik kasar dan halus (Muttaqin, 2008, hlm. 429). Kemampuan mereka yang terbatas menyebabkan lemahnya persepsi terhadap rangsangan indera sehingga respon motoriknya tidak terarah dan tidak fungsional.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperiment dan menggunakan rancangan penelitian one group pretest-posttest design. Rancangan penelitian one group pretestposttest design adalah cara pengukuran dengan melakukan satu kali pengukuran di depan (pretest) sebelum adanya perlakuan (Experimental Treatment) dan setelah itu dilakukan pengukuran lagi (Post-test) (Notoatmodjo, 2010, hlm. 57).
Terapi yang diterapkan pada anak tunagrahita guna untuk melatih koordinasi gerak atau motorik kasar dan halusnya adalah terapi okupasi. Occuppasional Therapy (Terapi Gerak) menurut Smart (2010, hlm. 100) adalah terapi yang diberikan untuk mereka para penyandang tunagrahita agar dapat melatih secara utuh fungsi gerak tubuh mereka (gerak kasar dan gerak halus) karena kebanyakan dari anak penyandang tunagrahita masih merasa kesulitan untuk menggerakkan dengan baik seluruh anggota tubuh mereka. Terapi ini sangat membantu mereka untuk berlatih menggerakkan tubuhnya. Banyak cara yang dapat dilakukan pada terapi okupasi untuk meningkatkan koodinasi gerak, misalnya dalam kemampuan motorik halus seperti meremas, menempel, meronce, menulis, mewarnai gambar, memasang tali sepatu, memasang kancing baju. Dalam terapi ini anak akan dilatih untuk memasukkan tali ke dalam lubang dimana memasang tali sepatu dapat melatih motorik halus, karena yang biasanya digunakan dalam menalikan sepatu adalah jari telunjuk dan ibu jarinya sehingga seperti melatih jari-jemari. Koordinasi gerakan dengan pandangan juga dilatih sehingga tidak salah memasukkan tali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi memasang tali sepatu terhadap peningkatan kemampuan motorik halus pada anak tunagrahita di SLBN Semarang.
2
Populasi pada penelitian ini bejumlah 56 anak tunagrahita kategori sedang hingga berat.
Dalam penelitian ini tehnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel (Ideputri, 2011, hlm.227). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 36 anak dengan kriteria inklusi anak tunagrahita usia sekolah, anak tunagrahita yang mengalami keterlambatan motorik halus, anak tunagrahita kategori sedang – berat dan kriteria eksklusinya yaitu anak tunagrahita yang memiliki ketunaan lain, anak sakit yang tidak masuk sekolah saat penelitian berlangsung. Penelitian ini dilakukan pada anak usia sekolah yang mengalami gangguan tunagrahita di SLB Negeri Semarang dan dilaksanakan pada bulan Maret 2015. Mulai dari pengambilan data sampai dengan penyusunan hasil sesuai dengan jadwal yang terlampir. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan alat ukur berupa lembar observasi. Lembar observasi yang digunakan untuk menilai peningkatan motorik halus anak usia sekolah yang mengalami tunagrahita yaitu dengan menggunakan lembar observasi tertutup yang memiliki alternatif 2 jawaban mampu atau tidak mampu. Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Karakteristik responden dan variabel yang diteliti meliputi motorik halus sebelum dan sesudah terapi okupasi memasang tali sepatu. Uji statistik yang digunakan untuk menganalisa perbedaan rerata perkembangan
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...
motorik halus sebelum dan sesudah diberikan intervensi adalah uji wilcoxon.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang yang berada di Jalan Elang aya nomor 2 Mangunharjo Tembalang. Jenjang Pendidikan di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang mulai dari TK sampai dengan SMA. Dalam satu kelas terdiri dari 8-10 siswa yang diampu oleh 1 orang guru. Terapi yang tersedia di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang dibuka juga untuk umum. Jenis terapi yang tersedia yaitu terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi sensori integrasi. 1. Analisis univariat Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan usia responden di SLB Negeri Semarang (n=36) Karakteristik Std. MinMean Med ResDeviasi Maks ponden Usia Anak 7 – 11,36 12,00 1,915 Tuna15 grahita Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 36 responden usia minimal 7 tahun dan maksimal 15 tahun, rata-rata 11,36 dan standar deviasi 1,915. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Tunagrahitadi SLB Negeri Semarang, Maret 2015 (n=36) Persentase Jenis Kelamin Frekuensi (%) Laki-laki
19
52,8
Perempuan
17
47,2
Jumlah
36
100,0
Hasil analisis tabel 5.2 diperoleh jenis kelamin responden terbanyak adalah lakilaki yaitu sebanyak 19 responden (52,8%).
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Anak Tunagrahita di SLB Negeri Semarang, Maret 2015 (n=36) Kategori Frekuensi Persentase (%) Tunagrahita 24 66,7 Sedang 12 33,3 Tunagrahita Berat Jumlah 36 100,0 Hasil analisis tabel 5.3 diperoleh responden terbanyak adalah kategori sedang yaitu sebanyak 24 responden (66,7%). Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Motorik Halus Anak Tunagrahita di SLB Negeri Semarang Sebelum Dilakukan Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu, Maret 2015 (n=36) Frekuensi Motorik Jumlah Persentase Halus (f) (%) Delay 18 50,0% Normal 18 50,0% Jumlah 36 100,0% Tabel 5.4 menggambarkan data bahwa motorik halus anak tunagrahita yang delay berjumlah 18 anak (50,0%) dan yang normal juga berjumlah 18 anak (50,0%). Tabel 5.5 Ukuran Penyebaran Data Frekuensi Motorik Halus Anak Tunagrahita di SLB Negeri Semarang Sebelum Dilakukan Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu, Maret 2015 (n=36) Std. MinVariabel Mean Med Deviasi Maks Perkembangan motorik halus sebelum dilaku- 2,67 2,50 0,756 2 – 4 kan terapi okupasi memasang tali sepatu
Pengaruh Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu…(R. L. Yuniar, 2015)
3
Tabel 5.5 menggambarkan perkembangan motorik halus sebelum dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu. Rata-ratanya adalah 2,67 dan mediannya adalah 2,50 dengan standar deviasi 0,756. Nilai tertinggi motorik halusnya adalah 4 dan nilai terendahnya adalah 2. Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Motorik Halus Anak Tunagrahita di SLB Negeri Semarang Sesudah Dilakukan Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu, Maret 2015 (n=36) Frekuensi Motorik Halus Delay Normal Jumlah
Jumlah (f)
Persentase (%)
9 27 36
25,0% 75,0% 100,0%
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sesudah dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu, perkembangan motorik halus pada anak tunagrahita di SLB Negeri Semarang sebagian besar dalam kategori normal, yaitu sejumlah 27 anak (75,0%). Tabel 5.7 Ukuran Penyebaran Data Frekuensi Motorik Halus Anak Tunagrahita di SLB Negeri Semarang Sesudah DilakukanTerapi Okupasi Memasang Tali Sepatu Maret 2015 (n=36) Std. MinVariabel Mean Median Deviasi Maks Perkembangan motorik halus sesudah dilaku4,11 4,00 0,979 2 – 6 kan terapi okupasi memasang tali sepatu Tabel 5.7 menggambarkan perkembangan motorik halus setelah dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu. Rata-ratanya 4
adalah 4,11 dan mediannya adalah 4,00 dengan standar deviasi 0,979. Nilai tertinggi motorik halusnya adalah 6 dan nilai terendahnya adalah 2. 2. Analisis bivariat Tabel 5.8 Uji normalitas Shapiro Wilk perbedaan motorik halus sebelum dan sesudah terapi okupasi memasang tali sepatu di SLB Negeri Semarang, Maret 2015 (n=36) Shapiro Wilk Statistik Df Sig. Pre terapi okupasi ,760 36 ,000 memasang tali sepatu Post terapi okupasi ,908 36 ,006 memasang tali sepatu Dari tabel 5.8 nilai probabilitas pada data perkembangan motorik halus sebelum intervensi terlihat nilai probabilitas sebesar 0,000 < 0,05 tergolong berdistribusi tidak normal sedangkan nilai probabilitas pada data perkembangan motorik halus sesudah intervensi terlihat nilai probabilitas sebesar 0,006 <0,05 tergolong berdistribusi tidak normal sehingga digunakan uji Wilcoxon Match Pairs. Tabel 5.9 Analisis motorik halus anak tunagrahita sebelum dan sesudah dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu di SLB Negeri Semarang, Maret 2015 (n=36) Motorik Halus Sebelum & Sesudah Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu Z 4,963 Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000 Berdasarkan tabel 5.9 untuk mengetahui adanya pengaruh terhadap perkembangan motorik halus sebelum dan sesudah dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu maka dilakukan uji wilcoxon. Uji wilcoxon dilakukan karena data berditribusi tidak normal. Nilai Z = 4,963 signifikasi p value = 0,000 (α = 0,05) menunjukkan ada perbedaan rata-rata perkembangan motorik halus sebelum dan sesudah terapi okupasi
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...
memasang tali sepatu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi okupasi memasang tali sepatu terhadap motorik halus anak tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang.
INTERPRESTASI PENELITIAN
DAN
HASIL
Anak tunagrahita yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhannya menurut (Christanto, dkk, 2014, hlm. 324) dialami sebelum penderita berusia 18 tahun, dimana di dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti diperoleh anak usia 7-15 tahun. Usia 7-15 tahun adalah usia sekolah dimana terjadinya perkembangan fisik, motorik, kognitif, dan psikososial anak. Usia sekolah pada anak tunagrahita terjadi gangguan perkembangan tingkat intelegensi sehingga dapat timbul gangguan dari segi kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Berdasarkan tingkat usia, studi yang dilakukan oleh Mercer dalam solider (2014, ¶ 3) dengan responden sebanyak 812 orang dengan retardasi mental. Hasil penelitian menunjukkan persebaran retardasi mental, hanya 7% responden yang berusia di bawah 5 tahun. 72 % berusia antara 5 hingga 19 tahun dan 21 persen di atas 19 tahun. Pada penelitian ini didapatkan hasil distribusi frekuensi jenis kelamin secara keseluruhan jumlah anak tunagrahita jenis kelamin laki-laki 19 anak (52,8%) dan jenis kelamin perempuan berjumlah 17 anak. Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori (Marasmis (2010) dalam Yusuf (2015, hlm. 177)) bahwa anak tunagrahita paling banyak berjenis kelamin perempuan dibanding laki – laki, ini disebabkan karena adanya mutasi gen. Penelitian ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya bahwa anak tunagrahita banyak terjadi pada anak tunagrahita berjenis kelamin laki - laki dibanding perempuan. Anak lakilaki cenderung mengalami gangguan psikologis lebih banyak dibanding anak perempuan. Kesulitan belajar (learning disabilities) lebih banyak dialami laki-laki, misalnya hambatan membaca (disleksia), hambatan menghitung (diskalkulia) dan hambatan menulis (disgrafia). Pada penelitian ini didapatkan hasil distribusi frekuensi kategori secara keseluruhan jumlah anak tunagrahita kategori sedang 24 anak
(66,7%) dan kategori berat berjumlah 12 anak (33,3). Anak tunagrahita sedang adalah anak yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata yaitu 50-25 dari batas normal, anak ini memiliki keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan mental dibandingkan dengan teman sebayanya. dan berhitung. Anak tunagrahita sedang pada umumnya belajar hanya dengan meniru. Tetapi masih memiliki kemampuan yang dapat ditingkatkan dalam bidang keterampilan (Martayona, 2014, ¶ 1). Tunagrahita kategori severe (berat) dengan tingkat skor IQ=20-35 menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) memiliki keterampilan komunikasi formal yang sangat terbatas, sehingga tidak pernah bicara lisan dan jika adapun bicaranya hanya sebatas satu atau dua kata. Penderitanya total membutuhkan bantuan living home, tidak memiliki keselamatan, kesehatan apalagi keterampilan akademik. Hasil penelitian yang diperoleh peneliti banyak ditemukan anak tunagrahita dengan kategori sedang karena anak tunagrahita kategori sedang masih mampu untuk mengurus diri sendiri tetapi juga sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung sederhana, namun bisa diatasi dengan latihan setiap hari. Kemampuan motorik halus sebelum diberikan terapi okupasi memasang tali sepatu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil nilai minimum 2, maksimum 4, rata-rata 2,67 dan standar deviasi 0,756. Data yang diperoleh sebanyak 18 anak dalam kategori delay dan 18 anak dalam kategori normal. Berdasarkan hasil observasi oleh Sartika (2013) di SLB YPPA Padang, didapatkan seorang anak tunagrahita yang mengalami gangguan motorik halus kondisi tersebut didapatkan ketika anak sedang belajar menulis, meniru bentuk garis lingkaran, segiempat, segitiga, menulis huruf A,I,U,E,O, dan juga angka 1-10. Meremas-remas kertas dengan bebas dimana anak tidak mampu meremas-remas, saat memegang pena juga mengalami kesulitan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan anak tunagrahita akan mampu jika dilatih. Secara keseluruhan menurut Yusuf,dkk (2015, hal. 180), anak dengan gangguan perkembangan mempunyai kelemahan pada segi keterampilan gerak, fisik yang kurang sehat, koordinasi gerak, kurangnya perasaan percaya terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya, keterampilan kasar dan halus motor yang
Pengaruh Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu…(R. L. Yuniar, 2015)
5
kurang. Kemampuan motorik setelah diberikan terapi okupasi memasang tali sepatu Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti hingga anak mampu selama ±30 menit terhadap kemampuan motorik halus anak tunagrahita usia sekolah di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang didapatkan nilai minimum 2, maksimum 6, rata-rata 4,11, dan standar deviasi 0,979. Kemampuan motorik halus anak tunagrahita terdapat peningkatan diperoleh data sebelum diberikan terapi okupasi memasang tali sepatu yang delay sebanyak 9 anak (25,0%) dan setelah dilakukan terapi okupasi anak yang normal menjadi sebanyak 27 anak (75,0%). Menurut hasil pengamatan saat dilakukan penelitian sebelum dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu kebanyakan anak tunagrahita baru terpapar dengan terapi okupasi memasang tali sepatu yang diberikan oleh peneliti, oleh karena itu banyak dari anak tunagrahita belum mampu untuk melakukan terapi okupasi tersebut. Kemudian setelah dilatih terus menerus ± selama 30 menit dan diukur menggunakan lembar observasi sebanyak 6 parameter yaitu Memasukkan 3 peg board, menyusun menara dari 10 kubus, memasukkan 10 pil dalam botol dalam waktu 30 detik, meronce manik – manik, memahami 4 preposisi (atas, bawah, dalam, luar), memahami kanan dan kiri, hasil yang didapatkan kemampuan motorik halus anak tunagrahita sebagian besar meningkat. Terapi okupasi memasang tali sepatu ini bermanfaat mengasah kemampuan motorik halus, dan juga melatih koordinasi tangan dan mata, dengan memasang tali sepatu anak berlatih konsentrasi, kejelian dan kesabaran. Anak tunagrahita dalam penelitian ini termasuk anak tunagrahita yang mampu latih (custodial), dimana mereka dapat melakukan semua kegiatan setelah dilatih terus– menerus sampai mereka dapat melakukan dengan baik. Jika terapi jarang diterapkan atau dilatih maka anak tersebut akan lupa dengan apa yang diajarkan. Adanya latihan untuk meningkatkan kemampuan motorik sangat penting dalam tahap awal belajar ketrampilan motorik, dengan latihan tersebut anak akan meniru gerakan yang dilakukan oleh pembimbing.
diberikan intervensi terapi okupasi memasang tali sepatu 18 responden (50%) delay dan 18 responden (50%) normal. Setelah peneliti melakukan intervensi berupa terapi okupasi memasang tali sepatu terhadap motorik halus anak tunagrahita, didapatkan peningkatan data 9 responden (25%) delay dan 27 responden (75%) normal. Kemudian peneliti melakukan uji Wilcoxon, didapatkan nilai Z hitung 4,963 dengan p-value sebesar 0,000 (=0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan perkembangan motorik halus sebelum dan sesudah diberikan terapi okupasi memasang tali sepatu pada anak tunagrahita di SLB Negeri Semarang.Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurlina (2008) dalam penerapan terapi okupasi melalui keterampilan membuat pita rambut pada anak tunagrahita di sekolah berkebutuhan khusus Putra Jaya Malang mengalami peningkatan yang bagus pada pertemuan terakhir karena anak diberikan penerapan secara berulangulang dan diharapkan anak tetap berlatih agar motorik halus dan konsentrasi tetap bagus, serta anak dapat mengembangkan kreativitasnya dalam hal keterampilan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan terapi okupasi melalui keterampilan membuat pita rambut pada anak tunagrahita di sekolah berkebutuhan khusus Putra Jaya Malang berjalan lancar dan menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan. Penelitian ini terbukti bahwa terapi okupasi dapat meningkatkan motorik halus maupun motorik kasar untuk semua anak yang berkebutuhan khusus, khususnya anak tunagrahita untuk melatih keterampilan jari jemari. Responden tampak senang dan antusias dalam melakukan terapi yang diberikan oleh peneliti yaitu memasang tali sepatu. Bahkan tidak jarang juga dari mereka tidak mau bermain yang lain selain memasang tali sepatu, mereka meminta untuk melakukan memasang tali sepatu secara berulang. Kemampuan motorik halus responden dalam penelitian ini juga meningkat setelah diberikan terapi okupasi memasang tali sepatu.
Pengaruh Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu Terhadap Motorik Halus Anak Tunagrahita Hasil penelitian menunjukkan bahwa motorik halus anak tunagrahita sebelum
1. Berdasarkan hasil distribusi motorik halus responden sebelum dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu terlihat responden cenderung didominasi oleh anak
6
SIMPULAN
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...
tunagrahita yang ada di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang yang mengalami keterlambatan pada motorik halusnya, kemampuan motorik halus anak tunagrahita sebelum dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu anak yang delay sebanyak 18 anak (50%). 2. Berdasarkan hasil distribusi motorik halus sesudah dilakukan terapi okupasi memasang tali sepatu semua anak tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang terjadi peningkatan kemampuan motorik halus terbukti bahwa yang delay berkurang menjadi sebanyak 9 anak (25%) dan yang normal bertambah menjadi 27 anak (75%) normal. 3. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, positive ranks menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami peningkatan dari motorik delay menjadi normal setelah dilakukan terapi 4. Terbukti dari Z (4, 963) dengan nilai signifikasi = 0,000 < 0,05. Hasil membuktikan bahwa Ha diterima yang berarti terdapat pengaruh antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.
SARAN 1. Bagi Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang SLB Negeri Semarang perlu adanya pengembangan terapi okupasi yang berbeda untuk mengasah kemampuan motorik anak tunagrahita, agar kemampuan anak tunagrahita dapat lebih meningkat. Pengajar dan terapis juga harus memperhatikan adanya peningkatan motorik yang terjadi pada anak tunagrahita. 2. Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan sebaiknya memperhatikan tentang tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, bukan hanya di rumah sakit karena anak berkebutuhan khusus seperti tunagrahita juga perlu untuk dilatih dan dipantau agar kemampuan motoriknya dapat berkembang baik dan juga memasukkan terapi okupasi dalam asuhan keperawatan anak tunagrahita. 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya selain terapi okupasi memasang tali sepatu untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak tunagrahita usia sekolah, dapat dikembangkan terapi okupasi lainnya seperti: kolase, menjelujur baju, memasang kancing baju, menulis, melipat dan lain-
lain. Dengan demikian, penelitian ini masih butuh dikembangkan lagi dengan memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan motorik pada anak tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA Cristanto, dkk.(2014).Kapita Selekta Kedokteran.Edisi ke 4.Jakarta: Media Aesculapius Ideputri, M.E.,Muhith Abdul,dan Nasir.Abd.(2011). Buku Ajar : Metodologi Penelitian Kesehatan.Yogyakarta: Nuha Medika. Martayona, Sri.(2014).Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Bagi Anak Tunagrahita Sedang: Melalui Kegiatan Menenun Sederhana Kelas IX/C1 di SLB N.1 Limau Manis Padang. http:/ejournal.unp.ac.id/index.php/jupe khu, diperoleh tanggal 2 Mei 2015 Muttaqin, Arif.(2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, Soekidjo.(2005).Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo.(2010).Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta. _______.(2012).Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurlina.(2008).Terapi Okupasi Untuk Keterampilan Pita Rambut Pada Anak Tunagrahita.https://id.scribd.com/doc/ 189875291/Terapi-Okupasi-UntukKeterampilan-Pita-Rambut-Pada AnakTunagrahita,diperoleh tanggal 30 April 2015
Pengaruh Terapi Okupasi Memasang Tali Sepatu…(R. L. Yuniar, 2015)
7
Rosnawati. Ati, dan Kemis.(2013).Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita. Jakarta Timur: PT. Luxima Metro Media Sartika,Yulian.(2013). Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Melaui Meremas Adonan Pada Anak Tunagrahita. http://download.portalgaruda.org/articl e. php?article=24459&val=1496, diperoleh tanggal 3 Mei 2015 Smart, Aqila. (2010). Anak Cacat Bukan Kiamat : Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Katahati Solider.(2014).Memahami Retardasi Mental: Definisi, Penyebab, dan Klasifikasi. http://solider.or.id/2014/11/19/memaha mi-retardasi-mental-definisi-penyebabdan-klasifikasi, diperoleh tanggal 3 Mei 2015 Yusuf,
8
A.H, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.Jakarta: Salemba Medika
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol...No...