PENGARUH UMUR TANAM TERHADAP PENGURAIAN DAN PRODUKSI

PENGARUH UMUR TANAM TERHADAP PENGURAIAN DAN PRODUKSI JATUHAN SERASAH (STUDI KASUS EKOSISTEM MANGROVE Rhizophora sp.) ... fisiognomi serta tutupan)...

3 downloads 539 Views 273KB Size
PENGARUH UMUR TANAM TERHADAP PENGURAIAN DAN PRODUKSI JATUHAN SERASAH (STUDI KASUS EKOSISTEM MANGROVE Rhizophora sp.) Devi N. Choesin1 dan Anang Kadarsah2 1Departemen Ekologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung 2Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarbaru *Alamat korespondensi : Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru ; email : [email protected] ABSTRAK

ABSTRACT Aims. The structure and function of an ecosystem determine the ecological services it provides, including those important for human welfare and will change with increasing age or maturity; however, the mechanisms and patterns of relationships between ecosystem structure and function (especially the function of production and the function of regulating) with age (time) is not fully understood. The objective of this study was to determine how structure and function change (production and decomposition) as ecosystems develop with age. Methods. The study was conducted in a restricted silvofishery zone managed by resort forest stakeholder (RPH) Poponcol, Perhutani Unit III West Java in Subang, from January to December 2011. Within this area can be found Rhizophora sp. mangrove stands which have been purposely planted so that their ages are known with certainty. Comparisons were made among five stands of different ages, stands planted in 2007 (4 years), 1999 (12 years), 1990 (21 years), 1982 (29 years), and 1973 (38 years). Structural parameters compared were tree density, height, DBH (diameter at breast height) and biomass, physiognomy and vegetation cover; whereas the two main parameters of ecosystem function included litter production and litter decomposition. Vegetation structure was observed in three plots measuring 10 m x 10 m in each age stand. Profile diagrams were created based on data collected from plots measuring 10 m x 20 m. The function of production is representative by litterfall and the function of regulation is representative by litter decomposition. The two main function of it were measured through eight sampling periods in 120 days. Important Findings. We found that vegetation structure differed among stand ages (P <0.05). At the youngest stand (4 years), average tree height measured 1.56±0.33 meters, DBH 2.92±0.23 cm,, and biomass 1.45 kg m-2; whereas at the oldest stand (38 years), average height measured 8.13±5.65 meters, DBH 16.29±7.23 cm, and biomass 108.62 kg m-2. Highest tree density was found at age 4 years (800 trees ha-1) and lowest at age 29 years (333 trees ha1). Age also affected plant cover physiognomy (P <0.05), although the pattern did not always show increasing complexity with age. Litterfall production also differed among stands (P <0.05); Litterfall recorded between the ages of 4 to 21 years measured 11.91±4.40 ton ha-1yr-1, was lower at age 29 years (7.54±3.54 ton ha-1yr-1), and again high at age 38 years (11.16±3.80 ton ha-1yr-1). Litter decomposition was also affected by planting age (P <0.05); Decomposition rate was highest at 12 years (day 75) with half-life of 11 days, and lowest at 38 years (day 120 ), with half-life of 22 days. The general conclusion of this study is that planting age (as substitute for time) affected the complexity of certain parameters of ecosystem structure and two main 1

parameters of ecosystem function. Vegetation structure, cover physiognomy, litter production and litter decomposition varied among stands, with indication of increasing complexity with age. Keywords : ages, decomposition, litterfall, mangrove,Rhizophora PENDAHULUAN Pada ekosistem hutan mangrove, umumnya hanya ditemukan sekitar 100 jenis tumbuhan, dibandingkan dengan ribuan jenis yang tumbuh pada ekosistem terestrial lainnya. Meskipun kekayaan jenisnya tidak setinggi ekosistem terestrial lain, hutan mangrove memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi. Akumulasi sedimen sungai dan pasang air laut yang terperangkap oleh akar tumbuhan menjadikan hutan mangrove sebagai tempat tumbuh yang subur dan kaya bahan organik (Hogart, 2007). Substrat yang terkumpul juga ditempati hewan-hewan ecosystem engineer, seperti tiram dan teritip. Vegetasi yang tumbuh menjadi habitat yang baik untuk serangga (Duke, 2006), serta tempat singgah atau bersarang bagi beraneka jenis burung. Tentunya melalui fotosintesis, tumbuhan mangrove menyediakan sumber energi pada seluruh ekosistem. Dengan demikian, mangrove menjadi salah satu ekosistem yang paling produktif di dunia dan berbeda secara biologis (Hogart, 2007). Kondisi ekosistem mangrove pada daerah perbatasan antara daratan dengan lautan (Bengen, 2001), menyebabkan tumbuhannya harus memiliki karakter khusus untuk beradaptasi (Alongi, 2002). Kekhususan struktur ekosistem mangrove antara lain dapat dilihat dari ciri struktur vegetasinya. Bentuk akar tunjang pada Rhizophora sp. sebagai contohnya, menjadi penanda adaptasi tumbuhan terhadap kondisi substrat anoksik dan minim oksigen (Hogart, 2007). Perubahan struktur dan fungsi merupakan ciri dinamika ekosistem (Myster, 2001), yang disebabkan adanya fluktuasi lingkungan dan aktivitas organisme dalam berbagai skala waktu mulai dari mikrodetik sampai jutaan tahun (Chapin dkk, 2002). Seiring berjalannya waktu, dinamika akan menentukan karakter yang dimiliki ekosistem (Field, 1998) dan faktor utama penentu jasa layanan yang diberikan ekosistem bagi semua organisme, termasuk kepada manusia (Odum dan Barret, 2005). 2

Asumsi yang berlaku adalah bahwa struktur dan fungsi akan berubah dengan bertambahnya umur ekosistem; namun mekanisme dan pola hubungan antara struktur dan fungsi ekosistem dengan umur (waktu) belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian yang secara khusus mengkaji hubungan tersebut. Pertanyaan penting dan menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. berubah

sejalan

dengan

peningkatan

umur.

Kondisi

mangrove

akan

memengaruhi

berkembangnya vegetasi yang mampu eksis, ditunjukkan dengan kehadirannya pada berbagai umur tanam. Perbedaan umur tanam selanjutnya memengaruhi struktur (struktur vegetasi dan fisiognomi serta tutupan) dan fungsi ekosistem (fungsi habitat, produksi, dan pengaturan). Selanjutnya pengaruh dari fungsi akan kembali memengaruhi kondisi mangrove melalui kesuburan tanah dan produktivitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola perubahan struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. sejalan dengan waktu. Pendekatan yang dilakukan untuk membandingkan faktor waktu adalah dengan membandingkan berbagai parameter struktur dan fungsi ekosistem pada hutan mangrove dengan umur tanam yang berbeda. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan mengambil kawasan zona silvofishery terbatas yang dikelola RPH (Resort Pemangku Hutan ) Poponcol di Subang, Jawa Barat sebagai studi kasus. Parameter struktur yang dibandingkan dalam penelitian adalah kerapatan, tinggi, diameter setinggi dada (DBH=diameter at breast height), biomassa, serta fisiognomi dan tutupan vegetasi mangrove; sedangkan parameter fungsi mencakup jatuhan serasah, penguraian serasah, herbivori, dan kehadiran burung pantai. Lima umur tanam yang dibandingkan adalah tegakan berumur 4, 12, 21, 29, dan 38 tahun. Lokasi ini dipilih karena dalam satu kawasan dapat dijumpai tegakan mangrove Rhizophora sp. yang sengaja ditanam sehingga umurnya dapat diketahui dengan pasti. Tegakan dengan umur berbeda ini membentuk chronosequence yang dapat dianalogikan dengan perbedaan waktu perkembangan. Tersedianya informasi tersebut sangat berguna dalam 3

meningkatkan keberhasilan pengelolaan mangrove (Ashton dkk, 2003), sehingga mangrove menghasilkan layanan yang produktif, stabil dan berkesinambungan (Begon dkk, 2006). Pengukuran Struktur Vegetasi Mangrove Penentuan jenis mangrove Rhizophora sp. dilakukan melalui pengamatan akar, batang, daun, bunga dan buah berdasarkan Kitamura dkk. (1997) dan Onrizal dkk (2005. Parameter struktur vegetasi diukur pada tiga buah plot acak berukuran 10 m x 10 m pada masing-masing tegakan umur tanam. Pengukuran meliputi jumlah individu, tinggi total, diameter setinggi dada (DBH=diameter at breast height), dan biomassa. Persamaan umum kerapatan (individu ha-1) adalah jumlah individu suatu jenis dibagi luas seluruh plot pengamatan. Nilai kerapatan selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai penting vegetasi atau kontribusi relatif jenis terhadap tumbuhan dalam suatu lokasi secara keseluruhan (Barbour dkk, 1999). Tingkat hidup vegetasi mangrove dibedakan menjadi tiga tingkat yaitu semai/seedling (dihitung dari masa perkecambahan sampai dengan tinggi 1 m), pancang/sapling (masa pertumbuhan dengan tinggi > 1 m, dan diameter setinggi dada < 2,5 cm), dan pohon/tree (tinggi > 1 m serta DBH > 2,5 cm) (CARICOMP, 2001). DBH adalah diameter kulit luar dari batang pohon yang diukur pada ketinggian 4,5 kaki (atau 1,3 meter pada sistem metrik), pada sisi permukaan pohon (Ek dkk, 2003) yang dihitung berdasarkan rumus keliling pohon dibagi π=3,14 (English dkk,1997 dalam McGowan, 2006). Nilai biomassa tumbuhan ditentukan berdasarkan persamaan Cintron Novelli melalui rumus b((DBH2 atau D302)h)m, dimana b=125,9576 kemudian h=tinggi total (cm) dan m=0,8557 (CARICOMP, 2001). Pengukuran Fungsi Produksi: Jatuhan Serasah Jatuhan serasah mangrove ditangkap melalui jaring penangkap serasah (ukuran mulut 0,5 m x 0,5 m atau luas 0,25 m2) sebanyak enam buah pada setiap umur tanam dengan ukuran plot 10 m x 10 m. Jaring serasah digantungkan pada empat sisi tegakan pohon terdekat, lalu ditinggikan sekitar 1,5 m dari permukaan agar bebas dari genangan air pasang (Khairijon, 1988). Pengambilan jatuhan serasah dilakukan setiap 15 hari sekali selama 120 hari. Sampel yang 4

diambil dikering-anginkan, kemudian dipisahkan antara daun, organ reproduksi (bunga dan buah), ranting, serta frass (kotoran herbivora) (May, 1999)

Selanjutnya kantong serasah

dikeringkan pada suhu 60o C dalam oven selama 48 jam sehingga mencapai berat kering konstan. Berat kering konstan (biomassa) selanjutnya ditimbang dan dikonversikan kedalam satuan kg ha-1 tahun-1. Pengukuran Fungsi Pengaturan: Penguraian Serasah Penguraian serasah diukur dengan cara menempatkan tiga buah kantong serasah pada lantai hutan untuk setiap umur tanam, diikat pada tegakan pohon Rhizophora sp. agar tidak terbawa oleh air pasang. Kantong berbentuk persegipanjang berukuran 20 cm x 30 cm, terbuat dari kain kassa nilon berdiameter > 7 mm dengan tujuan agar mikroorganisme dan invertebrata pengurai dapat masuk ke dalamnya (Mason, 1976). Serasah daun yang dimasukkan ke dalam kantong disesuaikan dengan umur tanam tegakan mangrove Rhizophora sp. Sebelum dimasukkan ke dalam kantong, serasah ditimbang dengan berat awal sekitar 100 gr (sebagai Wo). Serasah dalam kantong dikoleksi dalam jangka waktu 120 hari dengan selang pengambilan 15 hari sekali. Serasah dibawa ke laboratorium kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C selama tujuh hari sampai berat keringnya konstan. Parameter yang diukur dalam penguraian serasah adalah berat akhir hari ke-n, laju penguraian, konstanta, dan waktu paruh. Kondisi Lingkungan Abiotik Pengukuran kondisi lingkungan abiotik pada mangrove Rhizophora sp. meliputi kondisi udara dan kondisi tanah. Pengukuran kondisi udara (intensitas cahaya, kelembaban udara, suhu udara) dan kondisi tanah (pH tanah, suhu tanah, salinitas air) dilakukan setiap kali pengambilan sampel. Pengukuran dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 - 08.00 WIB sebanyak tiga kali untuk masingmasing lokasi penelitian kemudian dihitung reratanya. Sementara itu, data kondisi udara (iklim: kecepatan angin, dan curah hujan) diperoleh dari BMKG Bandung. Kondisi tanah dianalisis di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. Untuk kepentingan tersebut dilakukan pengukuran pada awal pengambilan sampel (Januari 2011). Sebanyak 1 kg sampel 5

tanah diambil dari lima lokasi umur tanam mangrove Rhizophora sp. Pengambilan sampel dilakukan mulai dari bagian tanah paling atas sampai kedalaman 20 cm (Neves dkk, 2010). Analisis Data Perbandingan struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. yang berbeda umur tanam digambarkan secara deskriptif. Pengaruh umur tanam mangrove Rhizophora sp. terhadap struktur dan fungsi ekosistem dianalisis menggunakan metode General Linear Model (Multivariate) pada taraf kepercayaan 95%, sedangkan perbedaan kondisi lingkungan antar umur tanam dianalisis dengan metode One-Way ANOVA pada tingkat kepercayaan 95%. Semua perhitungan analisis statistik menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2010 dan SPSS versi 16. HASIL Struktur Vegetasi Mangrove Jenis dan Tingkat Hidup. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis utama yang tumbuh adalah Rhizophora mucronata. Menurut Kitamura dkk (1997) dan Onrizal dkk (2005) tumbuhan ini memiliki ciri-ciri antara lain: akar tunjang (stilt roots); kulit batang kasar, retak-retak persegi empat dengan bagian tepi terangkat; perbungaan menggarpu dengan (2)-3-(5) bunga, bunga hijau kekuningan sampai kecoklatan. Selain Rhizophora sp., dalam lokasi pengamatan juga ditemukan tumbuhan asosiasi yaitu Acanthus sp. atau jeruju, pada tegakan dengan umur 29 dan 38 tahun. Dari lima umur tanam yang diamati tidak ditemukan tingkat pancang, dan hanya dijumpai dua tingkat hidup (pohon dan semai). Tingkat pohon dijumpai pada semua umur tanam, sedangkan tingkat semai ditemukan pada umur 21 sampai dengan 38 tahun (Lampiran B). Kerapatan dan INP. Kerapatan pohon mangrove Rhizophora sp. menunjukkan kecenderungan semakin berkurang seiring meningkatnya umur tanam. Kerapatan pohon tertinggi dijumpai pada umur 4 tahun (800 pohon ha-1) dan terendah pada umur 21 tahun (333 pohon ha-1). Kerapatan pohon kembali tinggi pada umur 29 tahun (633 pohon ha-1), dan lebih rendah pada umur 38 6

tahun (567 pohon ha-1). Sebaliknya, kerapatan semai tidak menunjukkan pola tertentu bila dihubungkan dengan umur tanam. Kerapatan semai umur 21 tahun ialah 2.267 individu ha-1, lebih rendah pada umur 29 tahun (1.600 individu ha-1), dan tertinggi pada umur 38 tahun yakni 3.767 individu ha-1. INP (Indeks nilai penting) Rhizophora sp. tertinggi (300) pada tegakan dengan umur 4, 12, dan 21 tahun. Selanjutnya INP tumbuhan ini menurun bersamaan dengan ditemukan tumbuhan asosiasi pada umur 29 tahun (Rhizophora sp. = 241,95 dan Acanthus sp. = 58,05) dan 38 tahun (Rhizophora sp. = 270,52 dan Acanthus sp. = 29,48) (Lampiran B). Tinggi, DBH, dan Biomassa. Nilai tinggi, DBH, dan biomassa pada tingkat pohon mangrove Rhizophora sp. menunjukkan peningkatan selaras dengan penambahan umur tanam. Rata-rata tinggi pohon umur termuda (4 tahun) adalah 1,56±0,33 meter; DBH 2,92±0,23 cm; dan biomassa 1,45 kg m-2. Nilai ini meningkat pada umur tanam 12 tahun dengan rata-rata tinggi pohon 5,17±1,25 meter; DBH 5,15±0,93 cm; dan biomassa 7,96 kg m-2. Pada umur tanam 21 tahun, rata-rata tinggi mencapai 5,32±1,59 meter; DBH 10,14±2,83 cm; dan biomassa 11,03 kg m-2, meningkat pada umur 29 tahun sehingga rata-rata tinggi 5,23±2,51 meter; DBH 12,39±5,44 cm; dan biomassa 49,14 kg m-2. Peningkatan tetap berlangsung hingga mencapai umur tanam 38 tahun dengan rata-rata tinggi 8,13±5,63 meter; DBH 16,29±7,23 cm; dan biomassa 108,62 kg m2

(Lampiran B).

Fungsi Produksi: Jatuhan Serasah Mangrove Jenis, kerapatan, dan umur adalah beberapa faktor yang memengaruhi produksi serasah mangrove. Jenis yang sama dengan umur berbeda akan menghasilkan produksi serasah yang berbeda pula (Lestarina, 2011). Menurut Robertson dan Daniel (1989), hutan Rhizophora yang berumur tua menghasilkan lebih banyak jatuhan bagian pohon (serasah) dibandingkan dengan hutan berumur muda, dilihat dari besarnya akumulasi materi kering, karbon-nitrogen pada batang, akar, dan cabang di lantai hutan. Pengamatan Bunyavejchewin dan Nuyim (2001) pada Rhizophora apiculata membuktikan bahwa mangrove berumur lebih tua menghasilkan lebih banyak serasah daun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi serasah mangrove 7

Rhizophora sp. dari berbagai umur dalam penelitian ini berkisar antara 1,20 – 20,34 on ha-1 tahun-1. Produksi serasah terendah dijumpai pada umur 4 tahun sampai umur 21 tahun meningkat mencapai 11,91±4,40 ton ha-1tahun-1, lebih rendah pada umur 29 tahun (7,54±3,54 ton ha-1 tahun1

), dan kembali tinggi pada umur 38 tahun (11,16±3,80 ton ha-1 tahun-1) (Lampiran D).

Jika dibandingkan dengan penelitian lain , hasil pengukuran oleh Lestarina (2011), Sinaga (2009), Siarudin dan Rahman (2008), Zamroni dan Rohyani (2008), Kuriandewa (2003), Khairijon (1988), Soeroyo (1988), serta Sediadi dan Pramudji (1987) menunjukkan produksi serasah mangrove berada pada kisaran 1,26 – 11,46 ton ha-1 tahun-1 (Lampiran VII.4). Menurut Mason (1976), total produksi serasah pada berbagai jenis dari daerah iklim berbeda memiliki variasi antara 1,5 ton ha-1 tahun-1 untuk pohon cemara di Norwegia dan sekitarnya sampai 23,3 ton ha-1 tahun-1 untuk hutan hujan tropis di Asia Tenggara. Dengan demikian, poin penting dari perbandingan tersebut adalah nilai produksi serasah mangrove Rhizophora sp. di RPH Poponcol, Subang berada pada kisaran produksi serasah tumbuhan secara umum seperti yang diberitakan oleh Mason (1976). Daun adalah organ tumbuhan yang menjadi penyumbang terbesar dalam produksi serasah mangrove Rhizophora sp. Menurut Mason (1976) bahwa sumbangan biomassa daun jumlahnya berkisar antara 51 - 80% dari total biomassa serasah yang dihasilkan suatu vegetasi. Kontribusi daun dalam produksi serasah yang terkecil pada umur 4 tahun (75,54%), dan tertinggi umur 29 tahun (81,74%). Jumlah ini serupa dengan yang diperoleh Lestarina (2011) yakni 87,24% 97,86%, dan juga Sinaga (2009) yang menemukan data bahwa daun Avicennia marina menyumbang produksi serasah sebesar 59,9% dan jenis Rhizophora apiculata mencapai 82,4%. Tingginya kontribusi serasah daun dalam produksi serasah karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dan kontinyu dibandingkan dengan pembentukan organ reproduksi, ranting dan cabangnya (Lestarina, 2011). Fungsi Pengaturan : Penguraian Serasah Mangrove

8

Selama 120 hari pengamatan, parameter yang digunakan untuk menghitung kehilangan berat dalam uji penguraian serasah mangrove Rhizophora sp. di RPH Poponcol, Subang adalah : berat kering serasah tersisa, laju penguraian, konstanta penguraian, dan waktu paruh penguraian. Berdasarkan perhitungan berat kering sisa diketahui bahwa bertambahnya usia tanam akan memperlambat penguraian serasah. Penguraian total serasah yang tercepat dicapai pada umur 12 tahun (90 hari pengamatan), dan lebih lama pada umur 4, 21, dan 29 tahun (120 hari). Umur 38 tahun membutuhkan waktu penguraian yang paling lama (> 120 hari) sehingga sampai hari ke120, masih tersisa serasah sebanyak 2,16 gram atau jumlah yang baru terurai sekitar 97,84%.

Menurut Mason (1976), dalam kurun 1 bulan pertama serasah dengan cepat akan kehilangan berat dan nutrien yang dikandungnya melalui pelindian (leaching).

Hasil pengamatan

menunjukkan pada seluruh tegakan mangrove Rhizophora sp. laju penguraian serasah tertinggi dicapai dalam 15 hari pertama. Diketahui bahwa baju penguraian tercepat dalam kurun 15 hari pertama diperoleh pada umur 12 tahun (5,31 gram hari-1), dan paling lama umur 38 tahun (4,42 gram hari-1). Sedangkan pengamatan hari ke-30 dan seterusnya menunjukkan laju penguraian semakin lambat (kecenderungan ini berlaku sama pada semua umur tanam). Seperti halnya laju penguraian, nilai konstanta penguraian tertinggi dalam waktu 15 hari pertama. Nilai konstanta yang tinggi menunjukkan laju penguraian tergolong tinggi, yakni konstanta tertinggi pada umur 12 tahun (0,11) dan terendah umur 38 tahun (0,07) (Lampiran VII.5). Umumnya pola penurunan berat (biomassa) akibat penguraian serasah mengikuti bentuk kurva peluruhan eksponensial (decay exponential). Oleh karena itu, laju penguraian dapat dihitung sebagai waktu yang diperlukan oleh suatu massa tertentu menjadi setengahnya, atau dikenal dengan istilah waktu paruh (Hogart, 2007). Dalam penelitian ini, waktu paruh penguraian serasah pada tegakan mangrove Rhizophora sp. tidak menunjukkan pola tertentu seiring bertambhanya umur tanam. Waktu paruh tercepat dijumpai pada tegakan umur 12 tahun (10,86

9

hari), lebih lambat pada tegakan umur 21 tahun (17,6 hari), tegakan umur 4 tahun (17,75 hari), tegakan umur 29 tahun (18,04 hari) dan paling lama pada umur 38 tahun (21,68 hari). Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan penguraian serasah pada tegakan mangrove Rhizophora sp. antara umur 4, 12, 21, 29, dan 38 tahun digunakan uji hipotesis (Lampiran I.2). Melalui Tests of Between-Subjects Effects diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,015 (P<0,05). Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan penguraian serasah antar tegakan mangrove Rhizophora sp. yang berbeda umur tanam. Perbedaan penguraian serasah yang dimaksud diatas adalah penguraian pada tegakan mangrove Rhizophora sp., bukan pada daun yang dijadikan percobaan penguraian serasah maupun daun yang jatuh dari tegakan mangrove. Daun adalah komponen pendukung kanopi pohon yang bersifat sementara dan berumur relatif pendek. Meskipun hanya menyusun sebagian kecil biomassa penyusun kanopi, namun daun memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dan laju pergantian (turnover) yang cepat (Fonte dan Schowalter, 2004). Kondisi lingkungan berperan besar dalam mempengaruhi perbedaan penguraian serasah pada tegakan mangrove Rhizophora sp. yang berbeda umur tanam. Bukti yang menunjukkan hal tersebut dapat dilihat dari parameter kondisi tanah, terutama kondisi genangan air, kandungan nitrogen pada substrat di lantai hutan, dan kehadiran fauna tanah. Genangan air membantu aktivitas organisme dalam menguraikan bahan-bahan organik (Mason (1976). Menurut Hogart (2007) serasah yang terendam air sungai atau pasang-surut akan mengalami penguraian yang lebih cepat. Tegakan umur tanam 4 sampai 21 tahun adalah daerah yang selalu tergenang sehingga penguraian terjadi lebih cepat. Berbeda halnya dengan umur tegakan yang lebih tua (29 dan 38 tahun), sedimentasi di bagian akar membantu pengeringan lantai hutan ketika air sedang surut, sehingga memperlambat laju penguraian serasah. Penguraian juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi pada lingkungan sekitar (Lavelle dkk, dalam Fonte dan Schowalter, 2004). Jika kandungan nutrisi serasah penguraian dibatasi oleh keberadaan elemen penting (kebanyakan dibatasi oleh nitrogen atau fosfor) (Boddy dan 10

Watkinson, 1995 dalam Fonte dan Schowalter, 2004). Makin tinggi kandungan nitrogen, makin cepat penguraian serasah terjadi (Chapin dkk, 2002). Hasil pengukuran kadar nitrogen substrat menunjukkan bahwa kandungan nitrogen tertinggi (0,34 %) pada tegakan umur 12 tahun mengalami penguraian tercepat dan lebih rendah (0,29 %) pada tegakan berumur 38 tahun yang penguraiannya paling lama. Kelompok pengurai berperan mengatur penguraian agar dapat berlangsung dengan baik (Killham, 1994 dalam Fonte dan Schowalter, 2004). Pada habitat pesisir, fauna yang berperan sebagai pengurai adalah cacing polychaeta, amphipoda, mollusca (gastropoda dan bivalvia) (Mason, 1976).

Pengamatan fauna pengurai dari lima umur tanam tegakan mangrove

Rhizophora sp. pernah dilakukan pada saat pengamatan hari ke-15. Meskipun tidak tercatat secara detail, namun fauna pengurai yang dominan pada semua umur mangrove Rhizophora sp. adalah udang kecil Gammarus sp. (Amphipoda), serangga ordo Thysanura, dan kepiting (sesarmid crab; nama lokal Emped). Kondisi Lingkungan Abiotik Mangrove Hasil pengukuran menunjukkan secara umum kondisi lingkungan abiotik pada tegakan mangrove Rhizophora sp. memiliki kisaran nilai yang relatif sama pada suatu hari pengamatan tertentu. Melalui analisis one-way ANOVA diketahui bahwa parameter kondisi udara (suhu udara, kelembaban udara), dan kondisi tanah (kandungan ammonium, nitrat, orthofosfat, tekstur, kelembaban, berat kering, karbon organik, dan rasio C:N) tidak berbeda antar umur tanam (P>0,05); Sementara itu, parameter lingkungan lainnya seperti intensitas cahaya, salinitas, pH air, suhu air dan konduktivitas justru menunjukkan adanya perbedaan antar umur tanam (P<0,05) Faktor lingkungan (kondisi udara dan tanah) adalah komponen mendasar yang memengaruhi berlangsungnya berbagai proses transfer energi dan materi di dalam ekosistem mangrove Rhizophora sp. di RPH Poponcol, Subang. Kondisi lingkungan abiotik yang sesuai bagi pertumbuhan mangrove Rhizophora sp. akan menghasilkan pengaruh positif. Bentuk pengaruh

11

yang ditimbulkannya adalah pengaturan habitat yang spesifik, pembentukan komposisi, struktur atau fisiognomi serta asosiasi mangrove (Semeniuk, 1994). Karakteristik struktur hutan (tinggi kanopi, kerapatan pohon, dan akumulasi biomassa) dipengaruhi oleh kondisi udara (iklim) seperti curah hujan dan input nutrien (Smith, 1996). Dari berbagai parameter yang diukur, data kondisi udara seperti curah hujan, menurut hasil pengamatan BMKG Bandung menunjukkan nilai cukup tinggi (tertinggi mencapai 77,7 mm). Suatu area dengan karakter curah hujan cukup tinggi umumnya tinggi dalam hal kanopi dan basal areanya, namun kerapatan pohonnya rendah (Feller dan Sitnik, 1996). PEMBAHASAN Hubungan Struktur dengan Fungsi Ekosistem Mangrove Hubungan antara umur tegakan mangrove Rhizophora sp. dengan struktur dan fungsi ekosistem berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan respon hubungan yang berbeda. Diketahui bahwa umur tanam berpengaruh terhadap parameter struktur vegetasi (tinggi, kerapatan, DBH, biomassa), dan fisiognomi tutupan. Umur tanam tegakan mangrove juga memengaruhi dua fungsi utama ekosistem yaitu produksi dan penguraian serasah. Namun fungsi pengaturan (herbivori) dan fungsi habitat (kehadiran burung) tampaknya tidak dipengaruhi oleh umur tanam, dan tidak menunjukkan kecenderungan pola tertentu sejalan umur tanam (Lampiran H). Komponen struktur dan fungsi masing-masing membentuk ikatan yang erat dan mempengaruhi komponen lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa ciri ekosistem adalah terjadinya transfer energi serta pendauran materi (Chapin dkk, 2002). Proses yang terjadi pada kanopi (misalnya herbivori dan rontoknya daun) merupakan proses yang berpasangan dengan peristiwa di lantai hutan (misalnya : penguraian) (Schowalter et al. 1991 dalam Rinker dan Lowman, 2004). Gambaran mengenai struktur dan fungsi ekosistem dapat diambil dari tulisan De Groot dkk (2002) yang menyatakan bahwa pengamatan struktur dan fungsi ekosistem adalah langkah awal yang penting untuk dijadikan pijakan dalam rangka menentukan jenis barang dan layanan yang akan dihasilkan oleh suatu ekosistem.

Fungsi ekosistem sendiri telah banyak ditafsirkan dan 12

difahami dengan berbagai kepentingan, namun yang paling penting lebih ditujukan untuk menjelaskan fungsi internal ekosistem (misalnya menjaga aliran energi, mengolah kembali nutrien, dan interaksi jaring makanan). Fungsi ekosistem juga sering dihubungkan dengan manfaat yang dapat diperoleh manusia dari berbagai kelengkapan dan proses yang berlangsung di dalam ekosistem (misalnya produksi makanan dan penyaringan buangan limbah). Pengertian fungsi ekosistem diatas pada dasarnya juga cocok dengan kondisi hutan mangrove Rhizophora sp. di RPH Poponcol, Subang. Dalam hal salinitas air misalnya, secara ekologis salinitas akan mengarahkan perkembangan fisiognomi pohon menuju ke atas agar aman dari jangkauan air pasang (Ellison dan Simmon, 2003). Sedangkan dari layanan yang dihasilkan ekosistem mangrove dalam menurunkan salinitas pengaruhnya dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah sekitarnya. Seperti pemukiman dalam kawasan RPH Poponcol di Kampung Muara, Desa Tegalurung, walaupun jaraknya dekat laut tetapi masyarakat masih bisa mendapatkan air tawar (Sadi, 2006). Kesimpulan yang dapat diambil tentang hubungan antara struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. dengan waktu (umur) adalah sesuai hipotesis penelitian bahwa struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. akan berbeda antar umur tanam. Struktur dan fungsi adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi, perubahan struktur akan mengubah fungsi yang dihasilkannya. Beberapa parameter struktur dan fungsi menunjukkan pola perubahan tertentu sejalan dengan peningkatan umur tanam, namun dijumpai pula beberapa parameter tidak menunjukkan pola tertentu. Namun hal ini dapat dimaklumi karena besarnya campur tangan (gangguan) manusia pada ekosistem tersebut. Diketahui aktivitas manusia sangat berpengaruh terhadap kondisi tanah (air dan sedimen) sebagai tempat hidup berbagai fauna akuatik (ikan, tiram, udang) dan hewan pengurai (cacing, serangga, kepiting, dan lain-lain). Parameter struktur dan fungsi ekosistem hutan mangrove Rhizophora sp. di RPH Poponcol, Subang di RPH Poponcol, Subang pada umur tertua (38 tahun) masih menunjukkan peningkatan sejalan dengan umurnya. Diperkirakan beberapa tahun kemudian tegakan mangrove Rhizophora 13

sp. di RPH Poponcol, Subang akan terus tumbuh dan terus berlangsung hingga struktur dan fungsi ekosistem yang dihasilkannya mencapai tingkat maksimal. Dikethaui waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi yang mirip hutan mangrove alami seperti yang dikemukakan Luo (2011), yaitu sekitar 50 tahun. Namun demikian, keputusan untuk tetap menjaga kelestarian mangrove di daerah ini tergantung kepada pengelola (Perhutani Unit III Jawa Barat), perilaku masyarakat sekitar hutan dan pengguna layanan yang dihasilkannya. Unsur-unsur itu dapat menentukan apakah hutan akan tetap dipelihara ataukah ditebang habis kemudian digantikan dengan jenis baru yang dinilai lebih menguntungkan secara ekonomis.  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Struktur vegetasi mangrove Rhizophora sp. berubah sejalan dengan penambahan umur tanam. Pada umur termuda (4 tahun) rata-rata tinggi pohon adalah 1,56±0,33 meter; DBH 2,92±0,23 cm; dan biomassa 1,45 kg m-2, sedangkan pada umur tertua (38 tahun), rata-rata tinggi mencapai 8,13±5,63 meter; dbh 16,29±7,23 cm; biomassa 108,62 kg m-2. Nilai kerapatan tertinggi dijumpai pada umur tanam 4 tahun (800 pohon ha-1) dan terendah pada umur 29 tahun (333 pohon ha-1).  Produksi jatuhan serasah juga dipengaruhi umur tanam (P<0,05). Produksi tertinggi (pada tegakan antara umur 4 sampai 21 tahun) mencapai 11,91±4,40 ton ha-1 tahun-1, lebih rendah pada umur 29 tahun (7,54±3,54 ton ha-1 tahun-1), dan kembali tinggi pada umur 38 tahun (11,16±3,80 ton ha-1 tahun-1).  Penguraian serasah juga dipengaruhi umur tanam (P<0,05). Waktu penguraian serasah > 90 % tercepat tercatat pada umur tanam 12 tahun (hari ke-75) dan membutuhkan waktu paruh 11 hari, sedangkan waktu penguraian terlama dijumpai pada umur tanam 38 tahun (hari ke-120), dengan waktu paruh sekitar 22 hari.  Kelima lokasi umur tanam memiliki kisaran nilai faktor abiotik yang relatif sama pada suatu hari pengamatan tertentu, meskipun terdapat perbedaan antar umur tanam dalam hal parameter intensitas cahaya, suhu air, pH air dan salinitas. 14

 Hasil pengamatan beberapa parameter struktur dan fungsi ekosistem pada tegakan mangrove Rhizophora sp. tidak selalu sejalan penambahan umur tanamnya, terkadang bervariasi menunjukkan dinamika pola tertentu.  Adanya berbagai variasi hubungan struktur dan fungsi ekosistem tersebut lebih disebabkan tingginya aktivitas manusia dalam mengubah kondisi lingkungan sebagai tempat tumbuh mangrove Rhizopora sp., khususnya di RPH Poponcol, Subang.  Kesimpulan umum penelitian ini adalah bahwa umur tanam memengaruhi beberapa parameter struktur dan fungsi ekosistem, dengan demikian mengindikasikan bahwa parameter struktur dan fungsi tersebut berubah sejalan dengan waktu. Hasil menunjukkan adanya kompleksitas pola hubungan yang tidak selalu nyata, atau berbanding lurus, terutama dalam hal fungsi ekosistem.  Penelitian lanjutan yang disarankan adalah keterkaitan proses ekosistem mendasar (produksi dan penguraian) pada berbagai tegakan yang berbeda umurnya dengan tujuan untuk mengoptimalkan kemampuan mangrove dalam menghasilkan fungsi dan layanan bagi manusia dan ekosistem sekitarnya. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai kemampuan yang dimiliki oleh satu jenis tumbuhan dan umur tertentu yang memiliki karakteristik struktur dan fungsi tertentu dalam menghasilkan layanan ekosistem. UCAPAN TERIMA KASIH We thank Mr. Asep Supriatna, Mr. Sudana, Mr. Nono, Dimas Panjaitan, Udin, Gathot and all friends for field assistance and resort forest stakeholders (RPH) Poponcol, Perhutani Unit III West Java in Subang for site access permission and technical support. Conflict of interest statement. None declared. DAFTAR PUSTAKA Ashton,E.C., D.J. Macintosh, dan P.J. Hogarth. (2003). A Baseline Study of the Diversity and Community Ecology of Crab and Molluscan Macrofauna in the Sematan Mangrove Forest, Sarawak, Malaysia. Journal of Tropical Ecology (2003) 19:127–142. Cambridge University Press, United Kingdom. 15

Barbour, M.G., H.B. Jack, D.P. Wanna, S.G. Frank, dan W.S. Mark. (1999). Terrestrial Plant Ecology. Third Edition. Addison Wesley Longman Inc. Bunyavejchewin, S. dan T. Nuyim. (2001). Litterfall Production in A Primary Mangrove Rhizophora apiculata Forest in Southern Thailand. Silvicultural Research Report : 28-38. Burrows, D.W. (2003). The Role of Insect Leaf Herbivory on The Mangroves Avicennia marina and Rhizophora stylosa. Thesis of Doctor Philosophy in Zoology and Tropical Ecology. The School of Tropical Biology, James Cook University. Carribean Coastal Marine Productivity (CARICOMP). (2001). Manual of Methods for Mapping and Monitoring of Physical and Biological Parameters in The Coastal Zone of The Carribean. A Cooperative Research and Monitoring Network of Marine Laboratories, Parks and Reserves. CARICOMP Data Management Centre, Kingston, Jamaica. Chapin III, F.S., Matson, P.A., and Mooney, H.A. (2002). Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. Springer-Verlag, New York, USA. deGroot,R., M. Stuip, M. Finlayson, dan N. Davidson. (2006). Valuing Wetlands: Guidance for Valuing The Benefits Derived from Wetland Ecosystem Services. Ramsar Technical Report No. 3.Ramsar Convention Secretariat, Switzerland. Ellison, J.C., dan S.Simmonds. (2003). Structure and Productivity of Inland Mangrove Stands at Lake MacLeod, Western Australia. Journal of the Royal Society of Western Australia, 86:25– 30, (2003), Jabiru. Ek,A.R., G.L. Martin, dan G.W. Gilmore. 2003. Measuring and Monitoring Forest Resources. Chapter 11 dalam Introduction to Forest Ecosystem Science and Management. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., Danver. Field, C. D. (1998). Rehabilitation of Mangrove Ecosystems : An Overview. Marine Pollution Bulletin Vol. 37, No. 8±12, pp. 383±392. Elsevier Science Ltd. Feller,I.C., and Sitnik,M. (1996). Mangrove Ecology: A Manual for a Field Course A Field Manual Focused on the Biocomplexity on Mangrove Ecosystems. Smithsonian Institution, Washington. DC. Fonte, S.J., dan T.D. Schowalter. (2004). Decomposition in Forest Canopies. Chapter 21. Page 413-420. dalam Forest Canopies. Second Edition. Edited by Margaret D. Lowman and H. Bruce Rinker. Elsevier Academic Press, Tokyo. Forman, R.T.T. (1995). Land Mosaics. The Ecology of Landscape and Regions. Cambride University Press, Cambridge. Hogart. P. (2007). The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University Press, Oxford, New York. Howes, J., D. Bakewell, Y.R. Noor. (2003). Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International, Bogor. Kartijono, N.E., Margareta, R., dan Muhammad, A. (2010). Keanekaragaman Jenis Vegetasi dan Profil Habitat Burung di Pulau Nyamuk Taman Nasional Karimunjawa. Biosaintifika Vol. 2 No. 1, Maret (2010). ISSN 2085-19IX, Hal 27-39. Khairijon. (1988). Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah di Hutan Bakau Hasil Reboisasi yang Berbeda Kelas Umurnya. Tesis Pascasarjana S2. Institut Teknologi Bandung. Kitamura,S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. (1997). Handbook of Mangroves in Indonesia. Bali and Lombok. The Development of Sustainable Mangrove Management Project. Ministry of Forestry of Indonesia and Japan International Cooperation Agency, Denpasar. Kuriandewa, T.E. (2003). Produksi Serasah Hutan Mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Sembilang, Provinsi Sumatera Selatan. Pesisir dan Pantai Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Lestarina, P.M. (2011). Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. Tesis Pascasarjana. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor 16

Lowman, M.D. (1983). Insect Herbivory in Australian Rain Forests - is it Higher Than in The Neotropics? Proc.Ecol.Soc. Aust. 14:109-119. Lugo,A.E., and Snedaker,S.C. (1974). The Ecology of Mangroves. Annual Rev. Ecology Systematic., 5 : 39-64. Luo, Z., O.J. Sun, dan H. Xu. (2010). A Comparison of Species Composition and Stand Structure Between Planted and Natural Mangrove Forests in Shenzhen Bay, South China. Journal of Plant Ecology Volume 3, Number 3, pages 165–174, September (2010). MacKinnon,J., K. Phillips, S. van Ballen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Mason,C.F. (1976). Decomposition. The Institute of Biology`s. Studies in Biology no. 74. Edward Arnold (Publishers) Limited, London. May,J.D. 1999. Spatial Variation in Litter Production by The Mangrove Avicennia marina var. australasica in Rangaunu Harbour, Northland, New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. Vol. 33: 163-172 Myster. (2001). What is Ecosystem Structure? Caribbean Journal of Science,Vol. 37, No. 1-2, 132-134, (2001). Copyright (2001) College of Arts and Sciences, University of Puerto Rico, Mayagu¨ez Nadkarni,N.M. G. G. Parker, H. B. Rinker, dan D. M. Jarzen. (2004). The Nature of Forest Canopies. Chapter I. Page 3-18. dalam Forest Canopies. Second Edition. Edited by Margaret D. Lowman and H. Bruce Rinker. Elsevier Academic Press, Tokyo. Neves, F.S., S. A. Lucimar, M.E. Ma´rio, F. Marc´ılio, G. Wilson, G. Arturo, dan Q. Mauricio. 2010. Canopy Herbivory and Insect Herbivore Diversity in a Dry Forest–Savanna Transition in Brazil. Biotropica 42(1): 112–118 2010. The Association for Tropical Biology and Conservation. Onrizal, Rugayah, dan Suhardjono. (2005). Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk. Biodiversitas. ISSN: 1412-033X. Volume 6, Nomor 1. Januari 2005. Halaman: 34-39. Rinker, H.B., dan M.D. Lowman. (2004). Insect Herbivory in Tropical Forests. Chapter 18. Page 3-18. dalam Forest Canopies. Second Edition. Edited by Margaret D. Lowman and H. Bruce Rinker. Elsevier Academic Press, Tokyo. Robertson, A.I., dan P. A. Daniel. (1989). Decomposition and The Annual Flux Of Detritus from Fallen Timber in Tropical Mangrove Forests. Limnol. Oceanogr. 34(3), 1989. 640-646. The American Society of Limnology and Oceanography, Inc. Sadi. (2006). Kajian Finansial Usaha Tani Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove : Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Saifullah, S.M., dan M. S. Ali. 2004. Insect Herbivory in Polluted Mangroves of The Indus Delta. Pak. J. Bot., 36(1): 127-131, 2004.Schulze, E.D., E. Beck, dan K.M. Hohenstein. (2002). Plant Ecology. Springer-Verlag, Heidelberg. Sediadi A, Pamudji. (1987). Penelitian Kecepatan Gugur Mangrove dan Penguraiannya dalam Hutan Bakau di Teluk Ambon. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Denpasar, Bali. 5 – 8 Agustus 1986. Siarudin, M. dan E. Rahman. (2008). Biomassa Lantai Hutan Dan Jatuhan Serasah Di Kawasan Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. V No. 4 : 329-335, (2008). Sinaga, H. 2009. Efisiensi Resorpsi Nitrogen (Nitrogen Resorption Efficiency, NRE) pada Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Vierh. dan Rhizopora apiculata Blume. Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung. Smith III,T.J. (1996). Mangrove Forest Structure. Edited by Ilka C. Feller and Marsha Sitnik. in Mangrove Ecology: A Manual for a Field Course, A Field Manual Focused on the 17

Biocomplexity on Mangrove Ecosystems. http://www.uprm.edu/biology/profs/chinea/ecolplt/datoslab/manglar.pdf Soegianto,A. (1994). Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit Usaha Nasional, Jakarta. Soeroyo. (1988). Faktor Iklim Terhadap Produksi Serasah Mangrove. Puslitbang OseanologiLIPI. Makalah Meningkatkan Prakiraan dan Pemanfaatan Iklim Untuk mendukung Pengembangan Pertanian Tahun 2000. Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia, Jakarta. Tansley, A.G. (1935). The Use and Abuse of Vegetational Concept and Terms. Ecology 42 ; 237-245. Zamroni, Y. dan Rohyani, I.S. (2008). Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas. Volume 9, Nomor 4. Halaman : 284-287. ISSN: 1412-033X .

1. LAMPIRAN

I. Lampiran Lampiran B Nilai rata-rata parameter struktur vegetasi mangrove Rhizophora sp. Tinggi (m) 1,56±0,33 5,17±1,25 5,32±1,59 5,23±2,51 8,13±5,63 1,053±0,02 0,98±0,06 1,03±0,02

Umur (tahun)

Tingkat pohon

Tingkat semai

4 12 21 29 38 21 29 38

Dbh (cm) 2,92±0,23 5,15±0,93 10,14±2,83 12,39±5,44 16,29±7,23 1,047±0,09 1,08±0,07 1,32±0,09

Biomassa total (kg m-2) 1,45 7,96 11,03 49,14 108,62 0,5 0,36 1,22

Kerapatan (individu ha-1) 800 600 333 633 567 2267 1600 3767

Indeks Nilai Penting (INP) 300 300 300 241,9 270,5

Lampiran C Fisiognomi tutupan mangrove Rhizophora sp.

4 tahun

4 tahun

12 tahun

12 tahun

21 tahun

29 tahun

29 tahun 38 tahun tutupan Lampiran D Produksi jatuhan serasah mangrove Rhizophora sp. Lokasi

Legonkulon, Subang

21 tahun

38 tahun

Jenis dominan Rhizophora sp. (4 tahun) Rhizophora sp. (12 tahun) Rhizophora sp. (21 tahun)

Kisaran (ton Rataha-1 tahun-1) Rata 1,20-9,99 4,74±2,80 2,37-14,73 8,48±4,15 4,96-20,34 11,91±4,40

18

Perbandingan

Keterangan

Penelitian ini

Pulau Panjang, Banten Pulau Dua, Banten Blanakan, Subang Teluk Sepi, Lombok Sernbilang, Sumatera Selatan Pamanukan, Subang Cilacap Passo, Teluk Ambon

Rhizophora sp. (29 tahun) Rhizophora sp. (38 tahun) Rhizophora apiculata ; Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata, Avicennia marina Rhizophora apiculata Avicennia marina

2,47-14,44 7,54±3,54 5,97-17,65 11,16±3,80 -

1,26

Lestarina, 2011

-

6,26 11,04 4,95 6,51

Siarudin dan Rahman, 2008

-

5,41

Zamroni dan Rohyani, 2008

Hutan mangrove

8,70-15,99

11,46

Kuriandewa, 2003

Avicennia sp. Hutan mangrove Hutan mangrove

7,96-15,60 -

11,30 7,75

Khairijon, 1988 Soeroyo, 1988 Sediadi dan Pramudji, 1987

-

Rhizophora sp.

Sinaga, 2009

Lampiran E Penguraian serasah mangrove Rhizophora sp. Umur tanam 4 tahun 12 tahun 21 tahun 29 tahun 38 tahun Umur tanam 4 tahun 12 tahun 21 tahun 29 tahun 38 tahun

Rata-rata laju penguraian serasah (gram hari-1) Pengamatan hari ke15 30 45 60 75 2,97 1,97 1,55 1,30 5,17 3,10 2,09 1,56 1,32 5,31 2,77 1,78 1,57 1,26 5,01 2,61 1,78 1,36 1,13 4,98 2,54 1,76 1,32 1,11 4,42 Rata-rata nilai konstanta penguraian (k) Pengamatan hari ke15 30 45 60 75 0,07 0,05 0,04 0,05 0,10 0,09 0,06 0,05 0,06 0,11 0,06 0,06 0,05 0,04 0,09 0,05 0,04 0,03 0,03 0,09 0,05 0,03 0,03 0,02 0,07

90 1,09 0,00 1,05 0,97 0,94

105 0,94 0,00 0,94 0,94 0,82

120 0,00 0,00 0,00 0,00 0,82

90 0,04 0,00 0,03 0,02 0,02

105 0,04 0,00 0,04 0,04 0,02

120 0,00 0,00 0,00 0,00 0,03

Lampiran H Hubungan struktur dan fungsi ekosistem mangrove Rhizophora sp. Ekosistem mangrove Rhizophora sp. Umur tanam

Fungsi

Struktur Tutupan

Tinggi

(+)

(+)

(+) Kerapatan (+) DBH (+)

Produksi Serasah

Penguraian Serasah

Fisiognomi

(+)

(+)

Herbivori

(-) Burung Pantai

Biomassa

(-)

(+)

19