PENGGANTIAN TEMPAT AHLI WARIS (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam) Oleh: Muthmainnah, M. Ag
Abstrak Shariah Islam is the completed of the rules law, that basede on the Qur‟an and Sunnah. It was connected to the law of kewarisan sharia with clearly. Suppose whoever can be ahli waris if same one of moslem was die and wathever of the parts that they got from the warisan. But in the grouth of the sharia Islam, AlQur‟an was analysied of the fuqaha, suitable for the mind and the life time. each other. This condition had caused the burden to the nash countain the warisan. Depend on change of ahli waris, before walked the Kompilasi Hukum Islam, be confessed can get the warisan (patah titi). By walking the KHI that based on pasal 185, the right of change of ahli waris to get the warisan from the death father can be excepted. KHI is new pruduct of the law that be answeared by the scholar of Moslem which it the previous or the modern of them. The KHI is one of the solution about all problems depend on the marriage, the wakaf and the waris special about the change of ahli waris. Keywords : change of ahli waris, Shariah Islam A. Pendahuluan Hukum Islam merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang khusus mengatur masalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia. Hukum ini selalu berkaitan erat dengan sistem normative dan struktur sosial serta organisasi keluarga. Dengan kata lain, hukum kewarisan senantiasa berpangkal pada sistem menarik garis keturunannya. Secara garis besar di Indonesia dapat dibedakan atas tiga macam; pertama sistem patrilinial, yaitu menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung laki-laki saa sampai kepada keluarga yang diyakini leluhur, asal mereka semuanya termasuk dalam klan bapak. Kedua sistem matrilinial, yaitu sistem menarik garis keturunan ke atas melalui penghubung perempuan saja sampai yang duyakini leluhur asal mereka, semua digolong dalam klan ibu. Ketiga sistem bilateral, yaitu sistem menarik garis keturunan dari kedua belah pihak.1 Ketiga sistem tersebut di atas membawa konsekwensi tersendiri terhadap sistem pergaulan. Dalam kontek hukum kewarisan, masyarakat senantiasa mempertahankan sistem yang sesuai dengan sistem garis keturunan mereka . Dengan demikian, penyelesaian perkara kewarisan dalam masyarakat 1
Al-yasa‟ abu bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah Kaian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan penalaran Fiqih Mazhab, Disertasi Doktor, 1989, hlm. 32-34
105
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
106
masih sangat tergantung kepada hukum adat setempat yang dianutnya oleh sistem kekeluargaan itu sendiri.. Dalam hukum kewarisan Islam, ahli waris dibagi kepada tiga golongan. Pertama dzawil furudh yaitu orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam al-Quran dan hadits. Kedua „ashabah dalah semua ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam al-Quran dan Hadits. „Ashabah ini terdiri dari ashabah binafsih, „ashabah bighairi dan „ashabah ma‟a ghairii. Hubungan mereka dengan sesamanya dianggap sangat kuat,karena hubungan kekerabatan mereka dipertalikan melalui perantaraan ayah, bukan perantara ibu, dengan anggapan bahwa hubungan melalui perantaraan ibu kekerabatannya lemah, seperti saudara seibu. Ketiga dzawil arham, semua golongan yang bukan zawil furudh dan bukan „ashabah, yang pada umumnya termasuk anggota keluarga ayah2 . Mawali adalah ahli waris pengganti. Maksudnya adalah ahli waris yang menggantikan sesorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan itu. Sebab orang yang digantikan adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau ia masih hidup, tetapi dalam kasus ini yang bersangkutan dia telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris. Orang yang digantikan itu hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Lebih jelasnya mereka yang menjadi adalah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewarisi, yang bentuknya dapat saja berupa dalam bentuk wasiat dengan pewaris.3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu hukum materil di lembaga Peradilan Agama di Indonesia yang memuat aturan-aturan hukum menyangkut perkawinan, kewarisan dan perwakafan.4Penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh panitia yang telah dibentuk oleh Pemerintah. Materi-materi yang menjadi pembahasannya tersebut digali dari berbagai kitab fiqih, pendapat-pendapat ulama 5 , Yurisprudensi 6 , dan juga 2
Muhammad Ali ash-Shabuni, Al-Mawaris fi asy-Syari‟ati al-Islam, al-Kutub, Bairut,1995, hlm.82-84 3 Sayuti Thalib, Hukum kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara Cet. III Jakarta, 1987, hlm. 80-81 4 Pengkajian terhadap kitab-kitab fiqih dimaksud dilakukan dengan bantuan beberapa ulama; tenaga pengajar Fakultas Syari,ah IAIN di seluruh Indonesia. 5 Beberapa ulama fiqih di Indonesia dihubungi, diwawancarai dan di catat pendapat mereka mengenai beberapa hlm tertentu yang menjadi pembahasan dan di jadikan bahan masukan dalam penyusunan KHI tersebut. 6 Melihat kembali himpunan putusan-putusan pengadilan-pengadilan agama diseluruh Indonesia ; terbitan tahun 1977/1988, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983 dan 1983/1984 (lihat Al-Yasa‟ Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah dan Kajian perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan PenalaranFiqih Mazhab,Disertasi Doktor, 1989, hlm 73
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
107
dilakukan studi perbandingan mengenai pelaksanaan hukum Islam di Negaranegara lain , yaitu Mesir, Turki dan Maroko7. Sampai saat ini, keberadaan Kompilasi Hukum Islam dianggap cukup yuridis dan representative untuk diberlakukan. Artinya ia bersumber dari kitabkitab fiqih yang merupakan pegagangan para ulama, hakim sejak dulu dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih tersebut kemudian dipahami sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, perlu diadakan kajian-kajian lebih lanjut untuk memahami ketetapan-ketetapan hukum yang ada di dalamnya. Apakah ada landasannya yang jelas dalam fiqih serta penalaran apa yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum tersebut. Dalam penulisan ini penulis mengkaji mengenai salah satu pasal dalam Kompilasi Hukum Islam menyangkut masalah kewarisan, yaitu pasal 185 ayat (1) dan (2). Di harapkan, melalui kajian tentang masalah tersebut dapat menjawab pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ahli waris pengganti dan sejauh mana relevansi masalah ahli waris pengganti dalam fiqih dan Kompilasi Hukum Islam. B. Penggantian Tempat Menurut KHI dan Fiqih Islam Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa terbentuknya hukum materil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) di dalamnya adalah berasal dari referensi kitabkitab dariberbagai mazhab, terutama mazhab syafi‟i. Yang dimaksud dengan penggantian tempat adalah berpindahnya hak mewarisi kepada ahli waris pengganti, yaitu cucu yang orang tuanya telah meninggal ketika harta warisan difaraidhkan. 8 Di Aceh, penggantian tempat dikenal dengan istilah “Patah titi” atau Patah jembatan”, yaitu putusnya jembatan (penghubung) yang menghubungkan antara kakek dan nenek atau dengan cucu dikarenakan ayah dari cucu tersebut telah meninggal pada saat warisan dibagikan, sedangkan kakek dan atau nenek masih mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup.9 Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak ada perundangundangan di Indonesia yang mengatur tentang penggantian tempat ahli waris. Penyelesaian terhadap perkara tersebut diselesaikan menurut hukum adat, yaitu pemberian sejumlah bagian harta kepada keturunan penggati tersebut dimusyawarahkan oleh keluarga yang bersangkutan. Pada dasarnya, kepada 7
Abdul Gani Abdullah, Pengantar kompilasasi hukum dalam tata hukum indonesia, gema insani press akarta, 1994, hlm. 65 8 Bandingkan : Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan bintang, Jakarta 1978, hlm 80. 9 Ibid,
108
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
ahli waris pengganti tidak diberikan bagian warisan. Walaupun ada diberikan bagian tertentu, maka itu bukan sebagai dhawil furudh; furudhul muqaddarah, melainkan sebagai pemberian semata atau wasiat wajibah. Dalam kaitan ini tentu harus mengikutib ketentuan-ketentuan wasiat. Setelah adanya KHI, Terlihat telah diadakannya upaya guna mengatasi atau menyelesaikan perkara penggantian tempat ahli waris, yaitu dengan dirumuskan dan diundangkannya masalah ahli waris pengganti dalam Pasal 185 KHI tersebut. Dengan demikian, telah dikenal dua cara penyelesaian kasus penggantian tempat; melalui wasiat wajibah yang memiliki landasan hukum yang jelas dalam Fiqih Islam dan melalui ahli waris pengganti sebagaimana yang telah diundangkan dalam KHI, yaitu Pasal 185 ayat (1) dan (2).Secara jelas bunyi ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.10 2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.11 Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu (telah meninggal pada saat warisan dibagikan) daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan catatan mereka (ahli waris atau penggantinya) tidak terhalanginya menerima warisan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 173 KHI. Selanjutnya, dalam ayat {2} dijelaskan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang digantikannya. Agaknya, kalimat “bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti” yang terdapat dalam ayat (2) Pasal 185 tersebut masih ambigu, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah bagian harus persis sama antara ahli waris pengganti dengan ahli waris atau bagian ahli waris pengganti lebih kurang dari bagian ahli waris, atau boleh sama, atau boleh juga kurang? Kalau bagian harta warisan kepada ahli waris penggati tersebut boleh sama dengan bagian ahli waris sederajat yang digantikannya atau bagian ahli waris pengganti boleh kurang dari bagian ahli waris yang digantikannya, siapa 10
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dalam putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap dihukum karena : a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris. B. dipersalahkan secara menfitnah telah mengadukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 11
Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1992/1993 hlm 86
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
109
yang akan menentukan jumlah yang diberikan, hakim (melalui putusan pengadilan) kah atau keluarga yang bersangkutan kah? Selanjutnya, menyangkut ahli waris pengganti ini, KHI hanya menentukan ahli waris (baik dari pihak laki-laki atau pihak perempuan) yang telah meninggal orang tuanya, berhak mendapat warisan dari kakek dan atau dari neneknya, yaitu sebagai pengganti orang tua mereka yang telah meninggal tersebut. Sedangkan menyangkut jumlah yang akan diberikan kepada ahli waris pengganti tidak secara rinci atau tegas dijelaskan. Kenyataan tersebut memberi peluang -bisa jadi memang disengaja- untuk terjadinya musyawarah (baik atas pertimbangan hakim maupun pertimbangan keluarga). Selama ini pun (baik sebelum ada maupun setelah ada KHI), pemberian harta kepada cucu yang orang tuanya telah meninggal ketika warisan dibagikan, diselesaikan secara hukum adat, yaitu cucu tersebut diberi bagian tertentu (menurut keputusan musyawarah keluarga), tetapi bukan sebagai ahli waris,hanya sebagai pemberian saja; tidak mengikuti aturan-aturan waris mewaris. Bisa juga diberikan (tergantung pada keluarga yang bersangkutan). Menurut Sayyid Asy-Syarif, istilah penggantian tempat dalam Fiqih Islam dikenal dengan nama “munasakhah”, yaitu memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya, disebabkan meninggal sebelum pembagian harta warisan dilakukan.12 Dalam kitab “Hasyiyah” Ibnu „Umar al-Baqri, kata “munasakhah” didefinisikan dengan “kematian seseorang sebelum harta peninggalan dibagibagikan sampai seseorang atau beberapa orang yang mewarisinya meninggal dunia”.13 Apabila kita hubungkan kedua definisi di atas, maka antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena keduanya sudah mencakup unsur-unsur munasakhah atau penggantian tempat. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Harta pusaka si mati belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurur ketentuan pembagian harta pusaka. 2. Adanya kematian dari seseorang satu atau beberapaorang ahli warisnya. 3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang menionggal kemudian kepada ahli waris yang lain atau ahli waris yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama.14 12
Ali Bin Muhammad Al-Jurjani, Syarhu as-sayyid asy-Syarif „Ala Sirajiah, Farjallahu Zaki al-Qurdi, Kairo,tt,, hlm. 195. 13 Muhammad bin „Umar al-Baqri, Hasyyah Muhammad bin „Umaral-Baqri, Maktabah Mishriyah,tt, hlm. 39 14 A. Hamid S. Attamimi, Perkembangan Perundang-undangan dan Hukum Tidak Tertulis Di Indonesia, Uraian disampaikan Pada Pendidikan Hakim Senior Angkatan I.
110
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai bukan dengan jalan pemberian atau hibah.15 Dalam kitab “Khulasah „Ilmil Faraidh”ditegaskan bahwa penggantian ahli waris itu sudah merupakan suatu keharusan, bahkan dalam kitab ini sudah ditegaskan siapa-siapa yang bisa menggantikan tempat orang lain dalam warisan serta bagian mereka masing-masing.16 Pada umumnya, pemberian warisan pada cucu yang ayahnya telah meninggal ketika warisan akan difaraidhkan adalah berdasarkan ayat:
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggal harta yang banyak, hendaklah ia berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma‟ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (al-Baqarah, 180).17 Jumhur ulama memahami lafadh “kutiba“ yang terdapat dalam ayat tersebut di atas bukan sebagai wajib melainkan sebagai sunat, yaitu dengan qarinah-qarinah sebagai berikut : 1. Ayat-ayat tentang kewarisan yang telah memberikan hak-hak (saham) kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya. 2. Hadits yang mengatakan tidak boleh berwasiat kepada ahli waris. 3. Kenyataan sejarah; bahwa Rasulullah SAW dan kebanyakan para shahabat-shahabat tidak melakukan (pemberian) wasiat untuk kerabatnya. Berdasarkan qarinah-qarinah tersebut, jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwasiat kepada kerabat yang tidak mewarisi hanyalah sunat.18 C. Undang-Undang Kewarisan; Penggantian Tempat di Beberapa Negara KHI sebagaimana telah disebutkan sebelumnya disusun dengan mengadakan studi perbandingan ke negara-negara muslim yang memiliki perundang-undangan tentang kewarisan. Para penyusun KHI mempelajari undang-undang tersebut, untuk kemudian diadopsi setelah diadakan penyusuaian dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Diselenggarakan oleh direktorat Badan peradilan agama, Departemen Agama, Tanggal 20 Desember 1991, ditugu Bogor. 15 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Ma‟arif, Bandung, Cet. II 1981. Hlm 460-461 16 Muhammad Amin Al-asyi, Khulasah „Ilmil Faraidh, al-Maktaabah Al-Asyah AlKubra, Kuta Raja, Hlm.25 17 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an, Jakarta,1989, hlm 122 18 Lihat : Op-cit, Al-Yasa; Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian darah…, hlm 383 -387
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
111
Mesir sebagai sebuah negara yang sangat peduli perkembangan hukum Islam serta merupakan tempat berdirinya perguruan tinggi universitas Islam terbesar didunia “al-Azhar”, telah mengeluarkan undang-undang kewarisan menurut Islam, yaitu Undang-undang Nomor 77 tahun 1942. Seterusnya Undang-undang Nomor 71 tahun 1946. Dalam Pasal 74 undang-undang Mesir tahun 1946, tersebut menetapkan bahwa apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak yang sudah meninggal lebih dulu atau meninggal bersama-sama pewaris, maka berdasarkan wasiat wajibah, keturunan tersebut berhak menerima bagian sejumlah bahagian orang tuanya andaikata orang tuanya masih hidup. Dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan, dengan syarat bahwa keturunan tersebut tidak menjadi ahli waris dan belum pernah diberikan sejumlah itu pada masa hayat (hidup) pewaris. Kalau sudah diberikan tetapi kurang dari jumlah itu, disempurnakanlah jumlah tersebut sampai 1/3. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu adalah pengadilan, karena si mati memang tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. 19 Langkah Mesir itu ternyata dipandang lebih mendekati keadilan, sehingga wasiat wajibah itu juga diberlakukan oleh Syiria, Tunisia, Maroko dan Pakistan dengan beberapa modifikasi. Di Mesir, aturan wasiat wajibah diberlakukan bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Di Syiria dan Maroko, wasiat wajibah hanya berlaku bagi cucu dari anak laki-laki. Di Tunia, aturan wasiat wajibah itu sama dengan di Mesir, tetapi hanya untuk generasi pertama. Di Pakistan, dengan ordonansi Hukum Keluarga tahun 1861 diberlakukann aturan yang radikal lagi, yaitu cucu dalam keadaan demikian mendapat bagian yang sama dengan bagian yang semestinya diterima oleh ayahnya bila ia masih hidup.20 Jadi ketetapan yang tercantum dalam Pasal 185 KHI bukanlah hal baru di dunia Islam. Negara-negara Muslim seperti tersebut di atas bahkan lebih dulu berijtihad menetapkan hukum yang dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak ditemukan hukumnya yang jelas. Penetapan hukum itu pun tidak terlepas dari „uruf, kebutuhan dan kemaslahatan suatu masyarakat.
19
M. Anshary MK, Pembaruan Sistem Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Madani Press, Jakarta, 2009, hlm. 65, dan lihat Uraian Imron AM, Mempersempit Ruang Lingkup Penafsiran Pasal 185 KHI, di muat dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 54, edisi September-oktober, 2001, hlm. 26 20 Lihat : Letak Gagasan ReaktualisasiHukum Islam Munawir Sadzali di Dunia Islam, Paramadiana, Jakarta,1995, hlm. 316
112
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
D. Analisa Sejauh yang mampu diamati, masalah penggantian ahli waris yang selama ini menjadi pembicaraan dan permasalahan adalah cucu laki-laki yang orang tuanya telah meninggal dunia ketika pewaris meninggal, sedang si pewaris meninggal anak laki-laki lain yang masih hidup. Dalam kasus seperti ini, cucu tersebut tidak mendapat warisan menurut hukum fiqh. Ketentuan demikian menimbulkan ketidak-adilan, karena cucu tersebut mendapat dua kemalangan sekaligus, yaitu kehilangan orang tua dan tidak mendapat warisan dari kakek dan atau neneknya. Terhadap kasus seperti ini, apakah warisan diberikan melalui wasiat wajibah atau sebagai ahli waris pengganti, perlu tinjauan khusus. Maksudnya bahwa terhadap penerapan Pasal 185 KHI tersebut harus dipandang sebagai upaya dalam menghadapi keadaan yang mendesak. Dengan kata lain, ini merupakan masalah kasuistik, bukan merupakan prinsip umum. Oleh karena itu perlu penyesuaian tersendiri dan tidak dapat digeneralisasikan.21 Bila pada kenyataannya cucu tersebut sangat membutuhkan pemberian harta tersebut, maka oleh pihak yang berkompeten dapat diwajibkan kepada pihak ahli waris untuk memberikannya –paling tidak- kalaupun tidak sama dengan jumlah yang seharusnya diterima oleh orang tuanya jika masih hidup, diberikan sejumlah maksimal wasiat, yaitu 1/3 dari harta peninggalan.Perubahan hukum seperti itu (meski pada asalnya wasiat itu dipahami sebagai sunat saja), lalu karena kondisi cucu yang sangat membutuhkan harta tersebut atau walau pada dasarnya cucu yang orang tuanya telah meninggal memang tidak mendapat warisan, lalu karena kondisi yang mendesak dan untuk menjaga agar tidak terjadi ketimpangan; ketidak-adilan, maka diterapkan hukum penggantian ahli waris sebagaimana tersebut dalam KHI dapat diberlakukan, yaitu sebagai hukum “dharurat”. Menyangkut masalah ini, di Pakistan telah pula diterapkan Undangundang Kekeluargaan Muslim Pakistan (Muslim Family Law Ordinance,1961 : Ordinance VIII of 1961). Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan: “Dalam keadaan ada anak laki-laki atau perempuan pewaris yang meninggal dunia dan ia meninggalkan keturunan pada saat warisan akan dibagikan, maka anak-anak tersebut bahagian persis atau sama dengan yang seharusnya diterima orang tua mereka jika masih hidup22”.
21
Lihat : A. Wasiat Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia.” Dalam kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Amrullah Ahmad dkk (ed), PT. IHAKA, Jakarta, 1994, hlm. 97. 22 M. Anshary MK, Pembaruan Sistem ...., hlm. 65, dan lihat Uraian Imron AM, Mempersempit Ruang Lingkup ...., hlm. 26
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
113
Di Indonesia, hal senada ini dikemukakan oleh Prof, DR. Hazairin, SH, hanya berbeda alasannya saja. Kalau ulama modernis Pakistan menjadikan alasan sejarah atau perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Pemahaman seperti ini didasarkan pada kenyataan sejarah dan fenomenafenomena yang ada, yaitu bahwa aturan hijab menghijab tersebut cocok dengan masa awal Islam, ketika masyarakatnya masih cenderung untuk bertanggungjawab secara kolektif (laki-laki tertua dalam suatu kelompok kekeraban bukan hanya bertanggungjawab terhadap anak-anaknya sendiri saja, tetapi juga terhadap semua anggota keluarga yang lain, termasuk anak yatim yang menjadi kemenakannya). Namun pada masa sekarang (setelah keadaan sosial ekonomi berubah seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia dalam segala hal), setiap keluarga inti cenderung membentuk rumah tangga sendiri dan bertanggung-jawab penuh hanya terhadap keluarganya tersebut.23 Kenyataan seperti itu menjadi sebab berubah aturan hijab-menghijab ahli waris (yang lebih dekat menghijab yang lebih jauh, aturan bahwa anak laki-laki menghijab semua cucu, baik keturunannya sendiri maupun keturunan saudaranya) tidak dapat dipertahankan. Illat bahwa anak laki-laki derajat pertama lebih dekat dari cucu sebagai keturunan derajat kedua, hanya dapat diterapkan terhadap cucu yang menjadi keturunan yang masih hidup. Karena cucu dari anak yang telah meninggal harus dianggap sama kedudukannya dengan anak (langsung) lain yang masih hidup.24 Maka Hazairin menjadikan pemahaman terhadap ayat 33 Surat An-Nisa‟ sebagai argumennya. Beliau memahami kata “ Waa lidaani“ yang terdapat dalam ayat tersebut sebagai subjek dari kata “Taraka“. Oleh karena itu, maka pengertian kata “Mawaali “ adalah cucu dari anak yang telah meninggal terlebih dulu. Dalam al-Qur‟an tidak terdapat ayat lain yang menyebutkan bahwa cucu dari anak yang telah meninggal lebih dulu terhalang dengan adanya anak laki-laki lain yang masih hidup. E. Kesimpulan Keberadaan ahli waris pengganti merupakan pergantian kedudukan ahli waris oleh anak dan keturunannya dikarenakan lebih dulu meninggal orang tuanya dari pada sipewaris untuk dapat menerim bagian harta yang seharusnya akan didapatkan oleh orang tuanya, Pada dasarnya, penggantian tempat tidak dikenal dalam hukum fiqih Islam. Penyelesaian terhadap kasus cucu yang telah meninggal orang tuanya ketika harta warisan dibagikan ialah dengan memberikan sejumlah harta 23
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadits, Tinta Mas, jakarta,1982, hlm. 27 24 Al-Yasa‟ Abu Bakar, Op-Cit Ahli Waris Sepertalian Darah…., hlm 396.
114
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
(bergantung kepada keputusan musyawarah keluarga) sebagai pemberian semata, bukan jalan waris mewaris. Di samping itu juga hukumnya hanya sunat saja. Di Indonesia, masalah penggantian tempat di atur dalam KHI Pasal 185 ayat (1) dan (2), diterangkan dalamnya bahwa ahli waris yang meninggal pada saat warisan dibagikan, posisinya dapat digantikan oleh keturunannya, sedangkan menyangkut jumlah bagiannya tidak ditetapkan secara pasti. Hukum penggantian tempat ahli waris tersebut dalam KHI dipengaruhi oleh pemahaman Hazairin yang menganut sistem kewarisan bilateral. Sehingga terlihat terjadi perbedaan antara ulama fiqih Islam dan KHI menyangkut hukum waris, yaitu tentang katagori dhawil furudh, dhawil arham, ashabah, bahkan tentang hijab dan mahjub. Pendapat A Wasit Aulawi bahwa Pasal 185 KHI tersebut dapat diterapkan secara kasuistik dan tidak dapat digenerasikan, dapat diterima. Artinya terhadap kasus-kasus tertentu, ahli waris pengganti tidak mendapat bagian harta melalui warisan, tetapi hanya sebagai pemberian saja. Dan terhadap kasus-kasus tertentu, diberikan melalui ketentuan waris mewaris, bisa dengan jumlah yang sama dengan ahli waris yang digantikannya atau kurang dari bagian ahli waris yang digantikannya (tidak boleh lebih). Untuk memenuhi tata cara pembentukan hukum, pada tahun 1985 telah dibentuk panitia bersama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung RI yang selanjutnya, oleh panitia dilakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan berbagai data dengan cara melaksanakan wawancara kepada para pakar hukum Islam, riset ke berbagai Negara Islam termasuk Indonesia dan selanjutnya dirumuskan dalam bentuk pasal dan dikelompokkan ke dalam tiga buku dimana hukum waris berada pada buku II sedangkan waris pengganti dirumuskan dengan sumir dan sederhana dalam satu pasal, yaitu Pasal 185. Selanjutnya perumus diberi nama dengan Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya di positifkan melalui instrument Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan ditetapkan Kompilasi hukum Islam pasal 185 ayat 1 dan 2 maka dengan ini kedudukan ahli waris pengganti sudah diakui akan keabsahannya. Dalam menggantikan posisi orang tuanya yang sudah duluan meninggal dari sipewaris untuk menerima seumlah harta warisan sejumlah bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti dan dalam hal ini konsep patah titie tidak berlaku lagi. Wallahu A‟lam bi ash-shawab.
Muthmainnah Penggantian Tempat Ahli Waris (Kajian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam)
115
DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin Muhammad al-Jurjaini, Syarhu as-Sayyid asy-syarif „Ala Sirajiyah, Farjallau Zaki al-Qurdi, Kairo, tt. A.Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia.“ Dalam kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Amrullah Ahmad dkk (ed), PT. IHAKA, Jakarta, 1994. Al-Yasa‟ Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah dan Kajian perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan PenalaranFiqih Mazhab,Disertasi, Perpustakaan IAIN Jami‟ah Ar-Raniry, 1989 Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur‟an, al-Qur‟an dan terjemahannya, Jakarta, 1989. _______Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1995. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. al-Ma‟arif Bandung Cet. II, 1981 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qu‟an dan Hadits, Cet. VI, Timtamas, Jakarta, 1982. Ismuha, Penggantian tempat dalamHukum Waris Menurut KUHP Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan Bintang , Jakarta, 1978. Muhammad bin Umar al-Baqri, Hasyiyah Muhammad Bin Umar al-Baqri, Maktabah Mishriyah, tt. Munawir Sadzali, Konstektualisasi Ajaran Islam, Paramadina, Cet.I, Jakarta, 1995 M. Anshary MK, Pembaruan Sistem Kewarisan Islam di Indonesia, Madani Press, Jakarta, 2009 Imron AM, Mempersulit Ruang Lingkup Penafsiran Pasal 185 KHI, di muat dalam Majalah Mimbar Hukum, Nomor 54, edisi September-Oktober, 2001 Muhammad Amin AlAsyi, Khulasah „Ilmil Faraidh, Al-Maktaabah Al-Asyah Al-Kubra, Kuta Raja, tt.