PERKEMBANGAN MUTAKHIR INFEKSI KOLERA

Download beban yang ditimbulkan oleh penyakit kolera pada masyarakat, perlu pemahaman yang lebih luas mengenai biologi, ekologi, epidemiologi dan ...

0 downloads 475 Views 41KB Size
J Kedokter Trisakti

Juli-September 2004, Vol.23 No.3

Perkembangan mutakhir infeksi kolera Murad Lesmana Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

ABSTRAK Kolera tetap merupakan masalah utama kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan, walaupun epidemilogi dan bakteriologi penyakit kolera sudah diketahui sejak abad yang lalu. Diperkirakan ada 5,5 juta kasus kolera terjadi setiap tahunnya di Asia dan Afrika. Teknik-teknik molekuler baru seperti chromosomal restriction fragment length polymorphism dan pulse field gel electrophoresis ribotyping telah digunakan untuk mengetahui lebih mendalam tentang patogenesis, hubungan antara kedaan lingkungan dan galur baru. Penatalaksanaan penyakit ditujukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dengan memberikan cairan intravena. Pemberian antimikroba seperti tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol, dan golongan quinolon mampu mengurangi berat dan lamanya penyakit, walaupun saat ini banyak dilaporkan adanya multiresistensi. Saat ini tesedia dua jenis vaksin secara oral yaitu attenuated live vaccine berdasarkan genetically modified V.cholerae galur O1 (Orochol) dan sel dari galur O1 V.cholerae yang sudah dimatikan dengan purified cholera toxin (Dukoral). Untuk mengurangi beban yang ditimbulkan oleh penyakit kolera pada masyarakat, perlu pemahaman yang lebih luas mengenai biologi, ekologi, epidemiologi dan pengobatan serta pencegahan penyakit ini. Kata kunci : Kolera, epidemiologi, bakteriologi, pengobatan, pencegahan

Recent developments of cholera infections ABSTRACT Cholera continues to be an imporant public health problem among many developing countries in Africa, Asia and Sout America, despite the bacteriology and epidemiology of the disease having been described over a century ago. The number of reported cholera cases worldwide around 5.5 million cases per year. Molecular techniques such as chromosomal restriction fragment length polymorphism and pulse field gel electrophoresis ribotyping have enabled researchers to gain new insight into pathogenicity, and into the relationship between environmental and clinical strains. Disease management continues to be based on dehydration pevention. Therapy with antimicrobial agents (tetracycline, cotrimoxazole and ciprofloxacin) reduces the severity and duration of symptoms although resistance to these agents has been reported.Two oral cholera vaccines are available; an attenuated live vaccine based on the genetically modified V.cholerae O1 strain (Orochol), and a killed wholecell V.cholerae O1 strain with purified cholera toxinc (Dukoral). A greater understanding of the pathogen, its biology, ecology, epidemiology, treatment and prevention, are essential for the control of cholera. Keywords : Cholera, epidemiology, bacteriology, therapy, prevention

101

Lesmana

PENDAHULUAN Kolera merupakan suatu sindrom epidemiologik klinis yang disebabkan oleh Vibrio cholerae (V.cholerae), umumnya serogrup O1. Dalam bentuknya yang berat, penyakit ini ditandai oleh diare yang hebat dengan tinja menyerupai air cucian beras (rice water), yang dengan cepat dapat menimbulkan dehidrasi. Ada dua perangai epidemiologik yang khas dari kolera, yaitu (i) kecenderungannya untuk menimbulkan wabah secara eksplosif, acapkali pada beberapa foki secara bersamaan, dan (ii) kemampuannya untuk menjadi pandemik yang secara progresif mengenai banyak tempat di dunia, seperti yang terjadi dalam perjalanannya selama ini. Ada lebih dari 150 antigen O spesifik dari V.cholerae yang telah berhasil diidentifikasi. (1) Antigen O adalah polisakarida termostabil dan merupakan bagian dari lipopolisakarida dinding sel. Serogrup O1 V.cholerae sudah lama dikenal sebagai penyebab kolera epidemik dan pandemik. Di samping O1, baru-baru ini serogrup O139 juga dikaitkan dengan wabah besar dengan derajat kematian yang tinggi. Serogrup non-O1/non-O139 biasanya hanya menyebabkan diare yang sifatnya sporadis. Diperkirakan ada 5,5 juta kasus kolera terjadi setiap tahunnya di Asia dan Afrika. Sekitar 8% dari pada kasus-kasus ini cukup berat sehingga memerlukan perawatan rumah sakit dan 20% dari kasus-kasus berat ini berakhir dengan kematian sehingga jumlah kematian besarnya 120.000 per tahun.(2-4) Badan Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO) pada awal tahun 2004 melaporkan adanya kejadian luar biasa kolera di enam negara di Afrika.(3) Kejadian luar biasa ini mengingatkan bahwa di samping infeksi baru seperti severe acute respiratory syndrome (SARS), musuh lama seperti kolera masih harus diwaspadai terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. EPIDEMIOLOGI KOLERA Epidemiologi kolera harus ditinjau secara global, karena perangainya yang pandemik. Penyakit ini dengan mudah menyebar secara luas, melampui batas-batas geografis Asiatik. Ciri khas 102

Perkembangan infeksi kolera

dari kolera, bila menyerang suatu daerah yang baru sama sekali, yang sebelumnya belum pernah mengenal kolera, maka insidens paling tinggi terjadi pada laki-laki dewasa muda. Tetapi ketika penyakit sudah mulai menjadi endemik, insidens pada wanita dan anak-anak akan meningkat.(4) Dalam waktu 30 tahun terakhir, hasil studi laboratorium dan epidemiologik telah membawa ke suatu perubahan besar di dalam pemikiran mengenai kolera. Apa yang dulu diyakini, yaitu bahwa manusia merupakan satu-satunya reservoir V.cholerae O1, kini telah berubah karena V.cholerae O1 ternyata dapat hidup di alam bebas dan memiliki reservoir alamiah.(5) Ini berarti bahwa pengendalian kolera tidak akan berhasil bila hanya dipusatkan pada individu yang terinfeksi. Upaya haruslah diarahkan kepada (i) cara-cara untuk mengubah kondisi paparan terhadap reservoir infeksi yang sebelumnya tidak terdeteksi, atau (ii) pengendalian penyebaran sekunder penyakit. Telah diketahui bahwa penyebaran kolera secara primer melalui air minum yang terkontaminasi, tetapi penelitian wabah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa binatang laut seperti kerang, tiram dan remis, serta udang dan kepiting, dapat juga menjadi perantara (vehicle) transmisi yang penting untuk infeksi Vibrio. Beberapa dari jenis binatang laut ini bahkan hidup jauh di tengah laut. Ini menandakan bahwa Vibrio dapat mempertahankan siklus hidupnya tanpa harus melalui ekskreta manusia secara terus menerus. Berbagai penelitian terhadap kontak di dalam keluarga penderita kolera juga menunjukkan adanya derajat infeksi asimtomatik yang tinggi di daerah-daerah endemik kolera. Meskipun telah banyak yang dipelajari mengenai transmisi kolera, tetapi untuk menentukan cara penyebaran tunggal yang dominan adalah sulit karena banyak faktor yang berperan, seperti imunitas, infeksi asimtomatik, rute penyebaran yang multipel dan berbagai faktor lainnya. Di dalam keadaan endemik, prevalensi kolera yang berat dapat tampak rendah, seperti di Bangladesh di mana insidens hospitalisasi antara 1,0 - 3,0 kasus per 1.000 penduduk per tahun untuk waktu 20 tahun terakhir. Namun angka-angka ini perlu ditafsirkan secara hati-hati. Pertama, insidens

J Kedokter Trisakti

terjadi pada seluruh populasi dari umur 2 tahun sampai usia lanjut, sehingga risiko kumulatif terhadap kolera untuk seseorang pada usia 20 tahun pertama adalah sekitar 6%. Jika derajat kematian secara kasar adalah 20%, maka 1% dari penduduk Bangladesh akan meninggal karena kolera bila tidak diobati.(5) Kedua, penelitian terhadap kontak keluarga dari kasus kolera menunjukkan untuk setiap individu dengan kasus kolera yang berat, lebih dari sepuluh orang akan menderita diare ringan dan sedang dan jumlah yang sama akan menderita infeksi asimtomatik. Dengan demikian, derajat penyakit yang berat yang dilaporkan tidak mencerminkan secara wajar kasus-kasus ringan yang jumlahnya lebih banyak. Pemahaman lebih jauh mengenai epidemiologi kolera dimungkinkan dengan adanya teknik-teknik molekuler seperti chromosomal restriction fragment length polymorphism dan ribotyping. Teknik ini telah digunakan dalam penyelidikan wabah di berbagai lokasi dan periode waktu yang berbeda. Penelitian klinis dan lingkungan yang dilakukan di Thailand(6) dengan menggunakan pulsed field gel electrophoresis (PFGE), ribotyping dan toxin genotyping menunjukkan adanya ribotipe baru V.cholerae O1 dibandingkan dengan isolat O1 yang didapatkan beberapa tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa suatu ribotipe baru dari galur O1 mungkin berasal dari reservoir lingkungan. Air sumur dan mata air dapat terkontaminasi dengan V.cholerae sehingga dapat menjadi tempat hidup sekaligus transmisi dari kuman tersebut. Juga air yang disimpan di tempat penyimpanan yang bermulut lebar seperti tempayan, dapat terkontaminasi melalui tangan atau benda-benda lain yang digunakan untuk mengambil air. Di samping kontaminasi air yang merupakan rute utama transmisi kolera, makanan juga merupakan faktor penting dalam penularan kolera, terutama makanan yang tidak dimasak atau setengah matang. Di makanan, V.cholerae dapat hidup antara 2-14 hari dan ketahanan hidup ini menjadi lebih baik bila makanan dimasak terlebih dahulu sebelum terjadi kontaminasi. Dengan memasak flora kompetitif terbunuh, dan zat-zat penghambat pertumbuhan yang sifatnya termolabil rusak oleh

Juli-September 2004, Vol.23 No.3

pemanasan. Juga dengan memasak terbentuk bahanbahan protein yang sudah mengalami denaturasi, yang baik untuk pertumbuhan V.cholerae. Biotipe El Tor beradaptasi lebih baik pada transmisi melalui makanan dari pada biotipe klasik. Di makanan, biotipe El Tor berkembang biak lebih cepat dibandingkan biotipe klasik. Keuntungan dari makanan sebagai media trasmisi untuk El Tor ini menerangkan mengapa El Tor telah menggeser biotipe klasik di banyak tempat dan menjadi mikroorganisme yang dominan dalam beberapa pandemi baru-baru ini. Ikan dan kerang-kerangan telah lama diketahui berperan dalam transmisi kolera. Binatang-binatang laut itu dapat terkontaminasi oleh V.cholerae melalui air di mana kuman itu secara persisten sudah berada di sana, atau karena air terkontaminasi oleh tinja manusia. Di beberapa tempat, ikan dan kerang-kerangan dimakan dalam keadaan mentah sehingga menyebabkan terjadinya infeksi. Kejadian infeksi Vibrio di beberapa tempat di Amerika Serikat, seperti di Florida dan Teluk Meksiko, dilaporkan sebagai akibat dari konsumsi makanan laut (seafood) yang tidak dimasak dengan benar.(7,8) Kejadian wabah yang merupakan hubungan antara peristiwa penguburan dengan transmisi kolera juga pernah dilaporkan di Afrika(9) dan di Indonesia.(10) Sebelumnya, wabah kolera yang berhubungan dengan penguburan terjadi karena transmisi dari orang ke orang (person to person). Di Guinea, Afrika Barat, nasi ditemukan sebagai sebab terjadinya wabah kolera yang mengikuti upacara penguburan. Nasi itu disiapkan dan dimasak untuk disajikan pada upacara penguburan oleh para wanita-wanita yang sebelumnya juga merawat penderita kolera yang meninggal tersebut, membersihkan tempat tidur dan memandikannya.(9) Di Irian Jaya, Indonesia, wabah kolera berkaitan dengan upacara duka cita di rumah penderita yang meninggal karena kolera.(10) Transmisi langsung dari orang ke orang sangat kecil kemungkinannya karena dosis infeksi kolera tinggi. Juga transmisi melalui lalat secara epidemiologik tidak memainkan peranan penting. Secara teoritis, lalat dapat mengontaminasi makanan di mana Vibrio berkembang biak sampai 103

Lesmana

jumlah dosis infektif tetapi belum ada bukti dan laporan terjadinya wabah kolera yang berkaitan dengan transmisi oleh lalat. Di alam bebas, V.cholerae ditemukan hidup di lingkungan akuatik, baik di daerah yang tidak ditemukan kolera maupun daerah yang endemik. Beberapa laporan baru-baru ini menunjukan bahwa Vibrio patogen dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan air yang tidak mengalir, bersuhu hangat dengan konsentrasi kegaraman (salinity) dan nutrien yang tinggi.(11,12) Suhu air merupakan faktor paling penting yang memegang peranan di dalam kemampuan Vibrio patogen untuk bertahan hidup di dalam lingkungan alam bebas. Semua spesies Vibrio yang patogen menyesuaikan diri pada lingkungan dengan kadar garam antara 5‰ sampai 30‰ (86mM–500mM).(10) Vibrio patogen dapat tumbuh di air yang berkadar garam rendah, asalkan suhunya hangat dan banyak terdapat sedimen yang mengandung nutrien organik. Collins (11) juga melaporkan bahwa adanya nutrien organik dalam konsentrasi tinggi dapat mengatasi keadaan kurangnya konsentrasi garam. Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh para ahli ekologi mikrobial adalah ketidak mampuan sistem biakan untuk mengisolasi dan menumbuhkan bakteri yang ada di alam bebas. Keadaan hidup tetapi tidak dapat dibiak (viable but nonculturable) ini merupakan suatu fenomena bakteri yang mencerminkan fase tidur (dormancy), ketahanan hidup (survival) dan keberadaannya secara persisiten di lingkungan. Kesulitan yang berkaitan dengan upaya isolasi V.cholerae dalam keadaan seperti di atas disebabkan karena metode isolasi dikembangkan dan digunakan untuk sampel klinik di mana kebanyakan sel bakteri sedang aktif tumbuh. Metode kultural ini tidak dapat digunakan untuk sampel dari lingkungan (environmental samples) yang kondisinya sangat berbeda. Oleh karena itu, bakteri yang hidup tetapi tidak bisa dibiak ini mungkin tidak akan terdeteksi tanpa menggunakan metode yang sesuai seperti misalnya teknik biologi molekuler, imunologis atau dengan mikroskop fluoresen. Dengan menggunakan teknik mikroskop fluoresen, Huq dkk.(12) membuktikan bahwa keberadaan V.cholerae di air dapat dideteksi sepanjang tahun meskipun organisme ini tidak dapat 104

Perkembangan infeksi kolera

diisolasi melalui teknik pembiakan. Sifat tidak dapat dibiak yang ditunjukkan oleh V.cholerae merupakan mekanisme adaptasi bakteri terhadap lingkungan alam yang kurang mengandung nutrisi. Pada fase tidur (dormant) ini ukuran sel menjadi lebih kecil dan berbentuk kokoid Di banyak daerah endemik, kolera menunjukkan adanya pola musiman di mana pada bulan-bulan tertentu insidensnya tinggi dan pada bulan lain insidensnya rendah. Sekali terjadi keadaan endemik pada suatu daerah, kolera cenderung untuk menampakkan diri dalam pola musiman (seasonality) yang jelas. Di Bangladesh, misalnya, musim kolera (El Tor) di mulai setelah musim hujan yaitu pada bulan Agustus atau September, dengan puncaknya pada musim dingin, 1-3 bulan kemudian, setelah itu dengan cepat menurun. Awal dari musim kolera bertepatan dengan saat suhu menghangat, turunnya permukaan air sungai, berhentinya hujan, dan berakhir ketika cuaca dingin dan kering.(13) Untuk alasan yang belum diketahui, kasus-kasus yang disebabkan oleh V.cholerae biotipe klasik cenderung terjadi pada bulan-bulan yang lebih tua, yaitu Nopember atau Desember. Pola musiman untuk daerah-daerah yang berbeda, tidak sama. Misalnya di Calcutta, India, yang letaknya kurang dari 500 km dari Bangladesh, puncak kolera terjadi pada bulan April, Mei dan Juni. Di Amerika Selatan, kolera juga menunjukkan suatu periodisitas yang sama dengan konsentrasi kasus-kasus pada bulan Januari dan Februari.(14) Perbedaan pola musiman ini juga terlihat di Indonesia.(15) Di bagian barat Indonesia pola kolera sangat berbeda dengan bagian timur. Mirip dengan keadaan di Bangladesh, kolera sporadik ataupun epidemik di bagian barat Indonesia berkaitan dengan periode curah hujan yang subnormal, yaitu pada bulan September dan Oktober, sedangkan di Indonesia bagian timur kasus-kasus kolera mencapai puncaknya justru pada musim hujan, yaitu Februari dan April. Di daerah-daerah yang endemik, puncak kasus-kasus kolera banyak dijumpai pada anakanak berumur 2 sampai 9 tahun, menyusul wanita masa produktif yaitu antara 15-35 tahun. Derajat infeksi yang lebih rendah pada anak-anak di bawah 1 tahun mungkin berkaitan dengan sedikitnya

J Kedokter Trisakti

mereka berada dalam paparan infeksi, atau karena adanya efek protektif dari air susu ibu. Pada wanita usia produktif, diperkirakan bahwa meningkatnya jumlah kasus pada golongan ini disebabkan karena penurunan imunitas pada saat mengurus anak. Sebaliknya, di daerah-daerah di mana kolera menyerang penduduk yang paparannya rendah, penyakit cenderung untuk mengenai semua kelompok umur dengan frekuensi yang sama besarnya. Ini terlihat pada epidemi yang terjadi di Amerika Selatan, seperti misalnya di Peru, di mana derajat serangan (attack rate) pada anak-anak <1 tahun, anak-anak berumur 1-4 tahun dan anak-anak yang lebih besar serta orang dewasa adalah sekitar 0,5 - 0,6%.(14) ASPEK BAKTERIOLOGIS DAN DIAGNOSIS LABORATORIUM Sebelum tahun 1992, hanya V.cholerae O1 enterotoksigenik yang memproduksi toksin kolera (cholera toksin = CT) dikenal menyebabkan kolera endemik dan epidemik. Belakangan, V.cholerae O139 juga diketahui memproduksi toksin dalam jumlah sebesar seperti serogrup O1. Beberapa jenis V.cholerae tidak memproduksi cholera toxin (nontoxigenic), terutama yang hidup di alam bebas sehingga dianggap tidak patogen. Dalam waktu 20 tahun terakhir, V.cholerae O1 non-toksigenik ini juga ditemukan pada manusia, namun peranan serta kemaknaannya secara klinis dan epidemiologik masih tidak jelas dan kontroversial. Secara garis besar, V.cholerae dibedakan atas O1 dan non-O1 menurut antigen somatiknya, namun secara biokimiawi keduanya tidak dapat dibedakan satu sama lain. Vibrio cholerae O1 memiliki sedikitnya satu antigen somatik yang unik, yang memberikan reaksi aglutinasi hanya dengan O1 antiserum. Antigen flagela (H) yang sifatnya termolabil, juga diproduksi, tetapi manfaatnya terbatas karena secara umum kesamaan antigen H dijumpai pada semua spesies Vibrio. Vibrio cholerae O1 dapat diuji lebih jauh menurut serotipenya. Ada 3 serotipe V.cholerae O1, yaitu (i) Ogawa, (ii) Inaba, dan (iii) Hikojima. Serotipe Hikojima jarang dijumpai dan tidak stabil, dan pada umumnya diabaikan, sehingga hanya Ogawa dan

Juli-September 2004, Vol.23 No.3

Inaba saja yang sering dilaporkan serta dianggap signifikan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Ogawa dijumpai sebagai serotipe yang paling dominan di Indonesia, dengan frekuensi sekitar 98% dari seluruh isolat yang didapatkan pada pasien-pasien kolera.(16) Vibrio cholerae O1 kecuali dibedakan atas serotipe Ogawa dan Inaba juga dibedakan menurut biotipenya yaitu klasik dan El Tor. Pembedaan biotipe tidak penting untuk penanganan dan pengobatan penderita atau pengendalian wabah, tetapi secara epidemiologik penting untuk menentukan sumber infeksi, terlebih apabila V.cholerae baru untuk pertama kalinya diisolasi di suatu negara atau daerah. Biotipe El Tor merupakan biotipe yang dominan sejak pandemi kolera yang ketujuh dan dijumpai di banyak negara, baik dari kasus-kasus klinis maupun dari peristiwa wabah. Perubahan dominansi dari biotipe klasik ke El Tor terlihat di Pakistan Timur (sekarang, Bangladesh) ketika pada tahun 1963 wabah El Tor menyerang negara tersebut, menggantikan biotipe klasik yang sebelumnya endemik untuk daerah itu. Untuk selanjutnya, dalam peristiwa wabah biotipe klasik adalah yang dominan di bagian selatan Bangladesh, sedangkan El Tor di bagian utara negara ini.(17) Mesksipun tindakan pengobatan terhadap diare yang berat dengan dehidrasi tidak perlu dan tidak boleh menunggu hasil identifikasi kuman penyebab, tetapi pemeriksaan mikrobiologis untuk menemukan V.cholerae dari bahan pemeriksaan klinis mempunyai arti penting dalam menentukan upaya klinis dan epidemiologik. Bahan pemeriksaan berupa tinja atau usap dubur harus diambil pada saat dini atau awal penyakit. Bahan pemeriksaan ini kemudian dimasukkan ke dalam medium transport Cary-Blair dan dikirim ke laboratorium pada suhu kamar. Usap dubur ditanamkan secara langsung ke lempeng perbenihan thiosulfate citrate bile salts sucrose (TCBS) agar yang merupakan medium selektif untuk Vibrio. Juga bahan pemeriksaan ini dimasukkan ke dalam medium persemaian alkaline peptone water (APW) sebelumkan ditanam di TCBS. Lempeng agar TCBS diinkubasi pada suhu 360 ± 10C selama 1820 jam. APW diinkubasi pada suhu 360 ± 10C selama 6-8 jam(18) dan 20-24 jam,(16) sesudah itu 105

Lesmana

biakan APW dipindah-tanamkan ke lempeng agar TCBS dan diinkubasi pada suhu 360 ± 10C selama 18-20 jam. Inkubasi APW 6-8 jam adalah cara yang direkomendasikan(19) dan digunakan oleh hampir semua laboratorium. Dalam periode 6-8 jam pertama, kuman-kuman Vibrio tumbuh dengan pesat; waktu inkubasi yang lebih lama dari 8 jam dikuatirkan akan menyebabkan berkembangnya kuman-kuman lain yang merupakan pesaing sehingga menekan pertumbuhan Vibrio sehingga sulit diisolasi. Akan tetapi hasil penelitian barubaru ini menyatakan yang sebaliknya, yaitu persemaian di APW selama 24 jam meskipun mendorong pertumbuhan kuman-kuman nonvibrio seperti Proteus dalam jumlah yang lebih besar dari Vibrio, tetapi tidak mengurangi pertumbuhan V.cholerae.(16) Juga persemaian APW 6-8 jam tidak lebih dibandingkan APW 24 jam. Akan tetapi dengan melakukan kedua sistem tersebut, yaitu APW 6 jam dan APW 24 jam, diperoleh hasil isolasi V.cholerae yang lebih besar secara bermakna daripada bila hanya satu sistem saja yang digunakan.(16) Koloni-koloni V.cholerae pada agar TCBS diuji secara biokoimiawi untuk identifikasi. Konfirmasi dilakukan dengan reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik. Isolat yang aglutinasinya positif dengan polivalen O1 (V.cholerae O1) selanjutnya diuji dengan antiserum Ogawa dan Inaba untuk menentukan serotipenya. Isolat yang memberikan reaksi biokimia V.cholerae tetapi aglutinasinya dengan antiserum polivalen O1 negatif, dikelompokkan dalam V.cholerae non-O1. PATOFISIOLOGI DAN GAMBARAN KLINIS Pada manusia, infeksi V.cholerae O1 terjadi karena masuknya kuman melalui air atau makanan yang terkontaminasi ke saluran cerna. Tergantung pada jumlah inokulum dan kerentanan individu, masa inkubasi infeksi V.cholerae O1 berkisar antara 12 sampai 72 jam. Dibandingkan dengan jumlah kuman yang diperlukan untuk terjadinya infeksi pada jenis enterik lain, jumlah inokulum untuk terjadinya infeksi V.cholerae O1 relatif lebih besar. Ini mungkin disebabkan karena V.cholerae O1 sangat tidak stabil dalam suasana asam sehingga sebagian besar V.cholerae O1 yang masuk ke 106

Perkembangan infeksi kolera

saluran cerna (ingested) terbunuh pada lingkungan asam di lambung. Makanan mempunyai efek penyangga (buffering) seperti yang terlihat pada pemberian sodium bikarbonat. Masuknya 10 6 organisme bersamaan dengan makanan seperti ikan dan nasi dapat meningkatkan attack rate (100%) seperti bila inokula diberikan bersamaan dengan larutan penyangga (buffer). Usus halus adalah tempat primer infeksi V.cholerae O1 dan merupakan asal terjadinya diare sekretorik. Derajat kehilangan cairan paling tinggi pada jejunum. Kehilangan cairan di bagian usus ini mencapai 11 ml/cm/jam.(20) Vibrio cholerae O1 berkolonisasi di epitel intestinal tetapi tidak bersifat invasif atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel. Efek utama dari infeksi V.cholerae O1 adalah meningkatnya secara aktif sekresi klorida dan bikarbonat, dan menurunnya absorpsi sodium klorida. Kedua peristiwa ini terjadi melalui pekerjaan toksin kolera, yaitu (i) subunit B, yang mengikatkan diri pada reseptor di permukaan mukosa epitel intestinal yang mengandung glikolipid GM1 gangliosida, dan (ii) subunit A yang secara enzimatis mengaktifkan adenilat siklase dan meningkatkan konsentrasi intraseluler AMP siklik (cAMP). Selanjutnya cAMP bekerja sebagai pembawa perintah intraseluler kedua (intracellular second messenger) untuk menghambat absorpsi sodium klorida yang terjadi secara aktif, dan sebaliknya meningkatkan sekresi klorida dan bikarbonat. Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi intraseluler dari cAMP yang juga dianggap berperan di dalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah meningkatnya kadar prostaglandin. Prostaglandin meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro dan meningkatnya prostaglandin dapat dijumpai di dalam tinja penderita kolera. Gambaran klinis kolera yang paling menyolok adalah produksi tinja cair yang jumlahnya besar dan terjadinya dehidrasi sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui tinja yang tidak diganti. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kepada jumlah inokulum. Awal terjadinya gejala penyakit dapat mendadak, dengan

J Kedokter Trisakti

diare air yang hebat; atau mungkin didahului oleh perasaan tidak enak perut, mual, dan diare ringan. Mula-mula tinja masih mengandung masa dan berwarna kuning cokelat, tetapi dengan berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna abu-abu pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras. Tinja kolera ini tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir tidak ada protein. Tidak adanya sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang sifatnya noninflamatorik dan noninvasif. Diare sering diikuti muntah, terutama pada awal penyakit. Pada beberapa penderita, muntah dapat sangat hebat. Penyebab dari muntah belum diketahui dengan pasti, tetapi karena muntah biasanya berkurang dengan pemberian cairan dan elektrolit yang adekuat, beberapa peneliti menduga bahwa muntah ini disebabkan karena adanya gangguan elektrolit, khususnya gangguan keseimbangan asam-basa. Dehidrasi berat memberikan gambaran yang khas dan menonjol sehingga kolera merupakan sedikit dari penyakitpenyakit pada orang dewasa yang dapat didiagnosis secara tepat secara klinis. Nadi perifer tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat diukur. Turgor kulit menurun sehingga memberi kesan kulit seperti adonan kue; mata cekung dan kaki tangan keriput seperti terendam lama di air (washerwoman’s hands). Suara penderita serak, penderita menjadi gelisah dan merasa sangat haus. Oleh karena V.cholerae O1 tidak bersifat invasif terhadap mukosa intestinal, dan tidak menyebabkan terjadinya repons inflamatorik pada penderita-penderita maka suhu badan biasanya normal atau subnormal; demam derajat rendah mungkin terdapat pada sekitar 20% penderita, terutama pada anak-anak, yang mungkin disebabkan karena adanya vasokonstriksi perifer. PENGOBATAN Pemberian cairan dan elektrolit merupakan hal yang paling penting di dalam pengobatan penderita kolera. Pemberian cairan secara dini dapat menghindarkan terjadinya dehidrasi, sedangkan bilamana diberikan setelah terjadi dehidrasi maka

Juli-September 2004, Vol.23 No.3

upaya ini penting untuk memulihkan keseimbangan cairan dan menghindarkan kematian. Terapi cairan dibagi dua fase: (i) fase rehidrasi, pada saat di mana air dan elektrolit yang hilang karena dehidrasi diganti, dan (ii) fase maintenance, di mana cairan tinja yang keluar diganti. Terapi cairan intravena atau intravenous fluid therapy (IVFD) merupakan pengobatan terpilih untuk rehidrasi penderita dehidrasi berat dan untuk penggantian cairan pada penderita dengan muntah yang persisten. Sedangkan cairan per oral diberikan pada penderita dengan dehidrasi ringan/sedang yang tidak mengalami muntah hebat dan sebagai maintenance hidrasi setelah keadaan dehidrasi terkoreksi. Ada beberapa larutan yang dapat digunakan untuk terapi cairan intravena, larutan yang paling ideal adalah yang memiliki komposisi elektrolit yang serupa dengan cairan tinja kolera. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan larutan Ringer’s lactate sebagai cairan yang terbaik untuk IVFD.(20) Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian IVFD, larutan rehidrasi oral (oral rehydration solution/ORS) dapat diberikan kepada penderita untuk mempertahankan (maintenance) hidrasi. Ada banyak pilihan antibiotika untuk pengobatan infeksi V.cholerae O1. Tetrasiklin adalah antibiotika pertama yang secara sistematis dikaji penggunaannya dalam pengobatan kolera dan hingga kini masih merupakan antibiotika yang paling umum digunakan untuk kolera. Antibiotika lain yang juga efektif untuk kolera adalah eritromisin, furazolidon, trimetoprimsulfametoksazol dan golongan quinolon (norfloksasin). (21) Dalam dua dekade terakhir, pengobatan antibiotika terhadap kolera menjadi lebih kompleks karena adanya galur-galur V.cholerae O1 yang resisten terhadap banyak antibiotika (multiresisten), seperti yang dilaporkan di India,(21) dan Afrika.(22) Untuk ini dapat dipakai norfloksasin atau jenis quinolon yang lain yang kesemuanya efektif untuk kolera.(20) Oleh karena adanya multiresistensi dari V.cholerae O1, maka di daerah-daerah di mana kolera endemik, pola kepekaan antibiotika dari kuman ini perlu diawasi dari waktu ke waktu. 107

Lesmana

Perkembangan infeksi kolera

PENCEGAHAN

2.

Dua jenis vaksin secara oral tersedia saat ini yaitu an attenuated live vaccine berdasarkan genetically modified V.cholerae galur O1 (Orochol) yang diberikan dalam dosis tunggal dan sel dari galur O1 V.cholerae yang sudah dimatikan dengan purified cholera toxin (Dukoral) yang memberikan pencegahan yang sangat kuat diberikan dalam 2 dosis 1-6 minggu secara terpisah.(3) Orochol tidak dianjurkan bagi wisatawan untuk penggunaan secara rutin bila berkunjung ke daerah endemik kolera, kecuali mereka yang mempunyai risiko tinggi seperti petugas kesehatan yang bertugas di derah endemik. Wisatawan dianjurkan makan dan minum yang bersih. Dosis ulang dibutuhkan karena imunitas tidak berlangsung lama. Vaksin Dokoral saat ini sedang dicoba di Mozambique untuk menurunkan insidens pada populasi yang berisiko tinggi.(23) Vaksin baru sedang dicoba berdasarkan pemahaman molekuler dari patognenitas kolera.(24)

3.

PENUTUP Pada awal abad ke-21 ini penyakit kolera tetap merupakan penyakit yang sifatnya epidemik dan endemik untuk banyak negara di dunia. Penelitian telah memberikan banyak informasi mengenai patogenesis dan genetik V.cholerae. Juga melalui penelitian telah diketahui cara-cara pengobatan yang sederhana dan efektif terhadap penyakit kolera. Namun demikian, agaknya untuk waktu yang lama kolera tidak akan mungkin dapat dilenyapkan. Jenis-jenis baru Vibrio akan selalu timbul seperti misalnya kejadian dengan munculnya V.cholerae O139 yang baru-baru ini menimbulkan wabah besar di seluruh dunia. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ekologi kuman ini sangat perlu dan akan banyak membantu di dalam upaya mengatasi dan membatasi penyebaran dari infeksi V.cholerae.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11. 12.

13.

14.

Daftar Pustaka 15. 1.

108

Shimada T, Arakawa E, Itoh K, Kosako Y, Okitsu T, Yamai S, et al. Extended serotyping scheme for Vibrio cholerae. Curr Microbiol 1994; 28: 175-8.

Sack DA, Sack RB, Nair GB, Siddique AK. Cholera. Lancet 2004; 363: 223-33. Wier E, Haider S. Cholera outbreaks continue. JAMC 2004; 170: 1092-3. Viret JF, Dietrich G, Favre D. Biosafety aspects of the recombinant live oral Vibrio cholerae vaccine strain CVD 103-HgR. Vaccine 2004; 22: 2457- 69. Sack RB, Siddique AK, Longini IM Jr, Nizam A, Yunus M, Islam MS, et al. A 4 year study of the epidemiology of Vibrio cholerae in four rural areas of Bangladesh. J Infect Dis 2003; 187: 96-101. Dalsgaard A, Serichantalergs O, Forslund A, Lin W, Mekalanos J, Mintz E, et al. Phenotypic and molecular characterization of Vibrio cholerae O1 isolated in Samutsakorn, Thailand before, during and after the emergence of V.cholerae O139. Epidemiol Infect 1998; 121: 259-68. Hlady WG, Klontz KC. The epidemiology of Vibrio infections in Florida, 1981-1993. J Infect Dis 1996; 173: 1176-83. Altekruse SF, Bishop RD, Baldy LM, Thompson SG, Wilson SA, Ray BJ. Vibrio gastroenteritis in the US Gulf of Mexico region: the role of raw oysters. Epidemiol Infect 2000; 124: 489- 95. Gunnlaugsson G, Angulo FJ, Einarsdottir J, Passa A, Tauxe RV. Epidemic cholera in Guinea-Bissau: the challenge of preventing deaths in West Africa. Int J Infect Dis 2000; 4: 8-13. Korthuis PT, Jones TR, Lesmana M, Clark SM, Okoseray M, Ingkokusumo G, et al. An outbreak of El Tor cholera associated with a tribal funeral in Irian. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1998; 29: 550-4. Collins AE. Vulnerability to coastal cholera ecology. Soc Sci Med 2003; 57: 1397-407. Huq A, Colwell RR, Rahman R, Ali A, Chowdhury MA, Parveen S, et al. Detection of Vibrio cholerae O1 in the aquatic environment by fluorescentmonoclonal antibody and culture methods. Appl Environ Microbiol 1990; 56: 2370-3. Longini IM Jr, Yunus M, Zaman K, Siddique AK, Sack RB, Nizam A. Epidemic and endemic cholera trends over a 33-year period in Bangladesh. J Infect Dis 2003; 186: 245-51. Kaper JB, Morris JG, Levine MM. Cholera. Clin Microbiol Rev 1995; 8: 48-86. Simanjuntak CH, Larasati W, Arjoso S, Putri M, Lesmana M, Oyofo BA, et al. Cholera in Indonesia in 1993-1999. Am J Trop Med Hyg 2001; 65: 78897.

J Kedokter Trisakti

16. Lesmana M, Richie E, Subekti D, Simanjuntak C, Walz SE. Comparion of direct plating and enrichment methods for isolation of Vibrio cholerae from diarrhea patients. J Clin Microbiol 1997; 35: 1856-8. 17. Ryan ET, Dhar U, Khan WA, Salam MA, Faruque AS, Fuchs GJ. Mortality, morbidity, and microbiology of endemic cholera among hospitalized patients in Dhaka, Bangladesh. Am J Trop Med Hyg 2000; 63: 12-20. 18. Famer JJ III, Janda M, Birkhead K. Vibrio. In: Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Pfaller MA, Yolken RH, editors. Manual of Clinical Microbiology. 8th ed. Washington DC: American Society for Microbiology; 2003. p. 706-18. 19. Kay BA, Bopp CA, Wells JG. Isolation and identification of Vibrio cholerae O1 from fecal specimens. In: Wachsmuth IK, Blake PA, and Olsvik Ø, editors. Vibrio cholerae and cholera: molecular to global perspective. Washington DC: American Society for Microbiology; 1994. p. 3-25. 20. Bennish ML. Cholera: pathophysiology, clinical features, and treatment. In: Wachsmuth IK, Blake

Juli-September 2004, Vol.23 No.3

21.

22.

23.

24.

PA, and Olsvik Ø, editors. Vibrio cholerae and cholera: molecular to global perspective. Washington DC: American Society for Microbiology; 1994. p. 229-55. Ramamurthy T, Pal A, Bhattacharya MK, Bhattacharya SK, Chowdhury AS, Takeda Y, et al. Serovar, biotype, phage type, toxigenicity, and antibiotic susceptibility patterns of Vibrio cholerae isolated during two consecutive cholera seasons (1989-1990) in Calcutta. Indian J Med Res 1992; 95: 125-9. Shapiro RL, Kumar L, Phillips-Howard P, Wells JG, Adcock P, Brooks J, et al. Antimicrobialresistant bacterial diarrhea in rural western Kenya. J Infect Dis 2001; 183: 1701-4. World Health Organization. Mozambique mass campaign test the therapy. Geneva: The Organization, 2004 Jan 14. Available at: www.who.int/mediacentre/releases/2004/pr3/en (Accessed 2004, Mar 12). Shears P. Recent developments in cholera. Curr Opin Infect Dis 2001; 14: 553-8.

109