POTENSI KETERSEDIAAN KULIT BUAH KAKAO

Download Produksi KBK dihitung berdasarkan produksi biji kakao dengan komposisi persentasi yaitu KBK 68,5%, ... produksi KBK 3.427,54 t, sedangkan d...

0 downloads 527 Views 55KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

POTENSI KETERSEDIAAN KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cocoa L.) SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF UNTUK TERNAK RUMINANSIA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (The Aviability of Cocoa Pod Husk (Theobroma cocoa L.) for an Alternative Feed for Ruminants in Yogyakarta) F.F. MUNIER Pascasarjana Prodi Peternakan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro Karangmalang, Yogyakarta 55281

ABSTRACT The byproducts of smallholder cocoa plantations are potential sources to provide alternative feed for ruminants. The purposes of this experiment was to evaluate the availability of cocoa pod husk (CPH) to provide an alternative feed for ruminants in Yogyakarta. The study was undertaken in Gunung Kidul and Kulonprogo regencies of Yogyakarta during March to April, 2009. The locations were selected by a recommendation of the Forestry and Plantation Services of DIY Province and based on Statistical Data of Plantation. The secondary dat were according to the Forestry and Plantation Services of DIY Province. The primary data were collected by interview participatively from 15 – 20 respondents. Cocoa pod husk production was calculated according to cocoa beans production composing 68.5% CPH, 2.5% palcenta, and 29.0% beans. The production of cocoa beans in Yogyakarta was 1,184.46 tonnes and CPHs was 3,427.54 tonnes, while Gunung Kidul was 883.10 tonnes and Kulonprogo was 1,837.33 tonnes. The potency of CPH available in every farmers in Gunung Kidul and Kulonprogo was 0.63 – 1.25 tonnes/ha/year and 0.24 – 0.49 tonnes/ha/year respectively. Key Words: Potency, Cocoa Pod Husk, Feed ABSTRAK Perkebunan kakao rakyat memiliki potensi sebagai penyedia pakan alternatif untuk ternak ruminansia berupa hasil ikutan saat buah kakao dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan KBK di Provinsi DIY yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo, Provinsi DIY pada bulan Maret – April 2009. Penentuan lokasi dari arahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY dan mengacu data statistik perkebunan. Data sekunder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Pengumpulan data primer dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan secara partisipatif. Jumlah responden tiap lokasi penelitian berkisar 15 – 20 orang. Produksi KBK dihitung berdasarkan produksi biji kakao dengan komposisi persentasi yaitu KBK 68,5%, plasenta 2,5 dan 29,0% biji. Produksi biji kakao di Provinsi DIY (2007) 1.184,46 t dan produksi KBK 3.427,54 t, sedangkan di Kabupaten Gunung Kidul 883,10 t dan Kulonprogo 1.837,33 t. Potensi ketersediaan KBK setiap petani di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulonprogo masingmasing berkisar 0,63 – 1,25 t/ha/tahun dan 0,24 – 0,49 t/ha/tahun. Kata Kunci: Potensi, Kulit Buah Kakao, Pakan

PENDAHULUAN Pemeliharaan ternak ruminansia seperti sapi, kambing dan domba di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) cukup diminati oleh para petani peternak. Hal ini disebabkan karena ternak ini memiliki peluang pasar yang

752

baik dengan harga relatif stabil, bahkan pada saat hari-hari raya harga ternak ruminansia naik hingga berlipat ganda. Permasalahan utama dalam pemeliharaan ternak ruminansia di Provinsi DIY adalah terbatasnya ketersediaan hijauan pakan baik sebagai pakan dasar maupun sumber protein. Pada saat musim

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

kemarau kurangnya ketersediaan pakan (HANAFI et al., 2004) dan jika tersedia kualitasnya juga rendah. Kualitas pakan yang rendah biasanya karena bahan pakan tersebut umumnya berupa limbah pertanian yang mempunyai nilai kecernaan rendah (WINA, 2005). Adanya perluasan areal tanaman pangan dan perkebunan di wilayah pengembangan ternak ruminansia mengakibatkan para peternak tidak dapat membudidayakan hijauan pakan unggul karena semua lahan digunakan untuk kedua tanaman tersebut. Perluasan areal perkebunan khususnya tanaman kakao rakyat dari tahun ke tahun di Provinsi DIY cenderung meningkat. Data statistik perkebunan menunjukkan bahwa tahun 2005 luas areal pertanaman kakao rakyat di wilayah DIY 3.867,62 ha (DISHUTBUN PROV. DIY, 2006) dan selang dua tahun kemudian yakni 2007 naik menjadi 4.459,13 ha (DISHUTBUN PROV. DIY, 2008), selama dua tahun terakhir terjadi peningkat an sebesar 13,27%. Perkebunan kakao rakyat ini memiliki potensi sebagai penyedia pakan alternatif untuk ternak ruminansia berupa hasil ikutan saat panen buah kakao. Pemanfaatan pakan alternatif ini akan lebih optimal apabila diberikan pada tingkat yang tepat (PUTRA, 2002). Hasil ikutan buah kakao saat diambil biji kakao (cocoa bean) terdiri dari kulit buah kakao (KBK), plasenta dan lumpur biji. Hasil ikutan tertinggi dari buah kakao segar ini adalah KBK yakni sekitar 70% (SUTIKNO et al., 1994). Total produksi kakao kering di wilayah DIY tahun 2007 mencapai 1.184,46 t berarti diperkirakan menghasilkan KBK sebesar 3.316,48 t. Potensi ketersediaan KBK ini dapat memberikan kontribusi untuk

penyediaan pakan bagi ternak ruminansia (MUNIER, 2007). Produksi KBK yang berlimpah ini agar tahan lama dan meningkatkan kualitasnya sebagai pakan ternak ruminansia perlu diupayakan melalui proses fermentasi. Dengan proses fermentasi pada KBK ini dapat dijadikan pakan lokal berkualitas, dengan harapan dapat memenuhi kecukupan kebutuhan pakan baik kuantitas maupun kualitas sepanjang tahun (LUTHAN, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan KBK di Provinsi DIY yang nantinya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak ruminansia. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo, Provinsi DIY pada bulan Maret – April 2009. Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan arahan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY dan mengacu data statistik perkebunan (Tabel 1). Dari dua kabupaten ini diwakili hanya satu kecamatan yang memiliki tanaman kakao rakyat terluas. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini didapatkan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Data pendukung lainnya diambil dari kecamatan dan desa terpilih. Pengumpulan data primer dengan menggunakan kuesioner dengan daftar pertanyaan sistimatik yang dilakukan secara partisipatif, melibatkan stakeholder

Tabel 1. Luasan areal perkebunan kakao rakyat di DIY tahun 2007 Luas areal (ha)

Luas panen (ha)

Rataan produksi biji kakao kering (t/ha)

Gunung Kidul Bantul Sleman Kulonprogo Yogyakarya

1.105,20* 22,20 29,53 3.302,20* -

364,00 15,40 22,80 2.174,85 -

1,03 0,20 1,30 0,36 -

Jumlah

4.459,13

2.577,05

0,46

Kabupaten

*Dua Kabupaten yang mewakili terluas Sumber: DISHUTBUN PROV. DIY (2008)

753

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

kunci dalam suatu Focus Group Discussion (MASBULAN, 2007). Penentuan responden dipilih secara sengaja (purposive) yaitu memilih petani yang memiliki kebun tanaman kakao yang pemilikannya bervariasi mulai 0,25 – 1,00 ha atau lebih 1,00 ha. Jumlah responden tiap lokasi penelitian berkisar 15 – 20 orang. Hasil wawancara diperkuat dengan teknik observasi dan pengamatan secara langsung di lapangan (MASBULAN, 1999). Produksi KBK dihitung berdasarkan produksi biji kakao dengan komposisi persentasi yaitu KBK 68,5%, plasenta 2,5 dan 29,0% biji, dalam bentuk segar (SIREGAR, 1992). Buah kakao diklasifikasikan berdasarkan ukuran buah yakni ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar yang dikaitkan dengan berat KBK segar per kilogram. Pengukuran buah kakao menggunakan alat ukur (meteran plastik) untuk mengetahui panjang (cm) dan lebar (cm). Penimbangan KBK segar untuk mendapatkan berat 1 kg berdasarkan ukuran buah dengan menggunakan timbangan berkapasitas 10 kg. Sampel KBK diambil masing-masing 2 kg dari dua kabupaten pada lokasi terpilih untuk mengetahui kandungan nutrisinya. Analisis sampel KBK menggunakan prosedur Proksimat untuk mengetahui kadar air (KA), bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan serat kasar (SK) bahan organik (BO) (AOAC, 1990). Analisis ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran areal pertanaman kakao dan potensi produksi KBK Areal pertanaman kakao di Provinsi DIY tersebar pada empat kabupaten yakni Gunung Kidul, Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa produksi biji kakao kering tahun 2007 sebanyak 1.184,46 t, diikuti dengan produksi KBK segar sebanyak 3.427,54 t. Produksi KBK segar ini diperkirakan dapat menampung ternak kambing sebanyak1.142 ekor/tahun atau sapi sebanyak 380 ekor/tahun. Kabupaten Gunung Kidul memiliki 18 kecamatan tetapi hanya lima kecamatan yang memiliki areal pertanaman kakao rakyat yang dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil diskusi dengan aparat Kecamatan Patuk maka diarahkan untuk lokasi pengambilan data dan sampel KBK di Desa Bunder karena desa ini memiliki areal tanaman kakao rakyat yang cukup luas. Desa Bunder terletak di jalan poros Yogyakarta dan Solo sehingga aksesnya lebih mudah. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan bahwa para petani di Desa Bunder sudah menerapkan sistem budidaya tanaman kakao yang dianjurkan. Teknologi yang telah dilakukan yakni pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang, sanitasi kebun, pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit, serta peremajaan tanaman dengan sistem sambung samping dengan menggunakan klon unggul.

Tabel 2. Luasan areal produksi perkebunan kakao rakyat di DIY tahun 2007 Kabupaten Gunung Kidul

Luas areal (ha)

Luas panen (ha)

Produksi biji kakao kering (ton)

Produksi KBK segar** (ton)

1.105,20*

364,00

373,87

883,10

Bantul

22,20

15,40

3,07

7,25

Sleman

29,53

22,80

29,63

699,86

Kulonprogo

3.302,20*

2.174,85

777,90

1.837,33

Yogyakarya

-

-

-

-

4.459,13

2.577,05

1.184,46

3.427,54

Jumlah

*Dua Kabupaten yang mewakili terluas; **Data diolah Sumber: DISHUTBUN PROV. DIY (2008)

754

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 3. Luas areal dan produksi perkebunan kakao rakyat di Kab. Gunung Kidul tahun 2007 Kecamatan

Luas areal (ha)

Luas panen (ha)

Produksi biji kakao kering (ton)

Produksi KBK segar** (ton)

Karangmojo

94,30

30,00

27,57

65,12

Ponjong

322,90

135,00

122,03

288,23

Gedangsari

15,50

4,0

3,35

7,91

672,00*

195,00

220,93

521,84

Patuk Playen

0,50

-

-

-

Jumlah

1.105,20

364,00

373,87

883,10

*Kecamatan Patuk yang mewakili terluas; **Data diolah Sumber: DISHUTBUN PROV. DIY (2008)

Dengan penerapan teknologi anjuran ini maka rataan produktivitas tanaman kakaonya cukup tinggi yakni 1,13 t/ha/tahun (DISHUTBUN PROV. DIY, 2008). Kabupaten Kulonprogo memiliki 12 kecamatan dan sembilan kecamatan yang memiliki areal pertanaman kakao rakyat seperti pada Tabel 4. Pengambilan data dan sampel KBK diarahkan oleh aparat Kecamatan Kokap ke Desa Hargo Tirto. Penetapan desa ini dengan dasar pertimbangan karena desa ini memiliki areal pertanaman kakao rakyat terluas di Kecamatan Kokap. Desa Hargo Tirto terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian ± 400 m dari permukaan laut. Desa ini terletak

agak terpencil dengan akses jalan yang sempit dan mendaki. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan bahwa para petani di Desa Hargo Tirto kurang menerapkan sistem budidaya tanaman kakao anjuran. Tanaman kakao dibiarkan tinggi tanpa adanya pemangkasan, hanya sebagian petani yang melakukan pemupukan dengan pupuk kandang, sanitasi kebun dilakukan, pengendalian hama dan penyakit seperlunya, tidak dilakukan peremajaan tanaman padahal tanaman sudah berumur diatas 15 tahun. Hasil wawancara, petani tidak atau kurang melakukan pemupukan pada tanaman kakao karena sulit untuk mendapatkan pupuk buatan dan terbatasnya pupuk kandang. Disamping

Tabel 4. Luas areal dan produksi perkebunan kakao rakyat di Kab. Kulonprogo tahun 2007 Kecamatan Wates

Luas areal (ha)

Luas panen (ha)

Produksi biji kakao kering (ton)

Produksi KBK segar** (ton)

4,75

1,40

0,35

0,83

Temon

105,10

38,50

7,75

18,31

Kokap

1.197,50*

725,00

184,05

434,73

Pengasih

182,00

55,75

16,75

39,56

Panjatan

2,00

2,00

1,25

2,95

Nanggulan

35,75

6,50

2,85

6,73

Girimulyo

611,25

455,00

150,50

355,48

Kalibawang

900,75

700,25

330,65

780,92

Samigaluh Jumlah

263,10

190,45

83,75

197,82

3.302,20

2.174,85

777,90

1.837,33

*Kecamatan Kokap yang mewakili terluas; **Data diolah Sumber: DISHUTBUN PROV. DIY (2008)

755

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

itu, para petani berpendapat bahwa lahan mereka cukup subur. Hasil pengamatan di lahan petani kakao, tanahnya cukup subur karena umumnya lahan di kawasan pegunungan yang dulunya hutan dan dibuka menjadi kebun sehingga memiliki unsur hara yang tinggi. Kurangnya penanganan tanaman kakao di desa ini mengakibatkan produktivitasnya lebih rendah (Tabel 4) dibandingkan dengan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Rataan produktivitas tanaman kakao di Desa Hargo Tirto 0,25 t/ha/tahun (DISHUTBUN PROV. DIY, 2008). Potensi ketersediaan KBK di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo berdasarkan produksi biji kakao tahun 2007 dapat mencapai 2.720,43 t atau 82,03% dari total produksi KBK di Provinsi DIY. KBK ini selalu tersedia karena buah kakao pada perkebunan rakyat dapat dipanen hampir sepanjang tahun (PRABOWO et al., 2004). Ketersediaan KBK ini setiap tahun cenderung meningkat, mengingat sebagian tanaman kakao di Provinsi DIY masih tanaman muda atau tanaman belum menghasilkan (TBM). Ketersediaan biomassa KBK yang melimpah ini perlu ditindaklanjuti dengan proses fermentasi agar dapat disimpan lebih lama dan meningkatkan kualitas KBK sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia. Ukuran buah kakao sebagai penyedia KBK Ukuran buah kakao sangat mempengaruhi terhadap produksi KBK. Buah kakao yang berukuran besar menghasilkan biomassa yang

lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang berukuran sedang atau kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga katagori ukuran buah kakao yakni ukuran kecil, sedang dan besar (Tabel 5). Tingginya ukuran buah kakao di Desa Bunder, Kecamatan Patuk dipengaruhi oleh manajemen budidaya tanaman kakao. Para petani tanaman kakao di desa ini sudah melakukan teknologi budidaya sesuai anjuran. Sebaliknya ukuran buah kakao di Desa Hargo Tirto lebih kecil karena penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan hanya sebagian saja yang dilaksanakan. Besar kecilnya ukuran buah berkaitan dengan produksi biomassa KBK. Ukuran kecil buah kakao di kedua desa ini selisih 1,0 – 1,5 buah, ukuran sedang selisih 1,0 buah dan ukuran besar selisih 0,5 buah untuk mendapatkan 1 kg KBK segar. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa untuk mendapat 1 kg KBK segar lebih sedikit buah kakao yang dibutuhkan untuk Desa Bunder dibandingkan dengan di Desa Hargo Tirto. Jumlah buah untuk mendapat 1 kg KBK segar di Desa Bunder, Kecamatan Patuk ini relatif sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian MUNIER et al. (2005) pada perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, untuk mendapatkan 1 kg KBK segar yakni buah kecil memerlukan 5,0 – 6,0 buah, buah sedang memerlukan 4,0 – 4,5 buah dan buah besar hanya memerlukan 3,0 buah. Adanya kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya tanaman kakao sesuai anjuran.

Tabel 5. Ukuran buah kakao dan jumlah buah untuk 1 kg KBK segar Desa dan ukuran

Panjang (cm)

Lebar (cm)

Jumlah (buah)

Kecil

13,0 – 16,0

7,0 – 8,0

5,0 – 6,0

Sedang

18,0 – 22,0

7,5 – 9,0

4,0 – 4,5

Besar

25,0 – 27,0

10,0 – 13,0

2,5 – 3,0

Kecil

10,0 – 14,0

5,0 – 7,5

6,0 – 7,5

Sedang

18,0 – 20,0

7,0 – 8,0

5,0 – 5,5

Besar

21,0 – 23,0

10,0 – 12,0

3,0 – 3,5

Bunder

Hargo Tirto

756

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Pemanfaatan KBK KBK merupakan hasil ikutan panen buah kakao yang memiliki kandungan air yang tinggi. Kandungan air yang tinggi pada bahan pakan umumnya cepat rusak atau busuk. KBK memiliki kulit yang bertekstur tebal, kasar dan keras mulai dari kulit bagian terluar sampai daging buah (bagian dalam) sebelum kumpulan biji. Hal ini disebabkan karena KBK mengandung lignin yang tinggi berkisar 31,15 – 38,70% (RAMAYANTI, 2004; WONG et al., 1987). Kandungan lignin yang lebih tinggi pada hijauan pakan menyebabkan terjadinya pengayuan yang dapat menurunkan kecernaan (MILLER, 1987). Hasil wawancara dengan petani pada dua lokasi penelitian mengatakan bahwa KBK belum dimanfaatkan secara optimal karena masih banyak tersedia hijauan pakan lainnya terutama saat musim hujan. Sebagian kecil petani masih memanfaatkan KBK untuk ternak ruminansia dalam jumlah yang terbatas. Namun saat musim kemarau maka semua KBK dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia. Pemberian KBK untuk ternak sapi berkisar 20 – 30 kg/ekor/hari, sedangkan pada ternak kambing 2 – 3 kg/ekor/hari. Pemberian KBK ini masih taraf relatif aman, pemberian KBK yang banyak dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan ternak karena KBK mengandung alkoloid yakni theobromine atau 3,7dimethylxanthine (WONG et al., 1986; MAHYUDDIN dan BAKRIE, 1993). Namun hasil penelitian PRABOWO et al. (2004) menunjukkan bahwa pemberian KBK pada kambing Peranakan Ettawa (PE) hingga 50% dari total ransum tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Pemberian KBK tetap dikombinasikan dengan pemberian rumput alam atau jerami padi fermentasi. Khusus di Desa Bunder, Kecamatan Patuk sebagian petani sudah memanfaatkan daun kakao hasil pemangkasan untuk ternak kambing atau sapi. KBK dicacah untuk memudahkan ternak

mengkonsumsi terutama ternak kambing. Cara pemberian pakan pada ternak ruminansia yakni pada pagi dan sore hari, pertama diberikan KBK kemudian dilanjutkan dengan pemberian rumput alam atau jerami padi. Pemilikan lahan tanaman kakao pada kedua lokasi penelitian ini berkisar 0,25 – 1,00 ha, tetapi yang lebih umumnya pemilikan lahan untuk tanaman kakao berkisar 0,25 – 0,50 ha. Rataan produksi biji kakao 0,95 ton/ha/tahun untuk Kabupaten Gunung Kidul (DISHUTBUN PROV. DIY, 2008) maka ketersediaan KBK setiap petani berkisar 0,63 – 1,25 t/ha/tahun. Kabupaten Kulonprogo memiliki rataan produksi biji kakao 0,37 t/ha/tahun (DISHUTBUN PROV. DIY, 2008) maka ketersediaan KBK setiap petani berkisar 0,24 – 0,49 t/ha/tahun. Kandungan nutrisi KBK Kandungan nutrisi KBK dapat dipengaruhi oleh perbedaan pengelolaan tanaman kakao. Hasil analisis proksimat KBK dari Desa Bunder, Kecamatan Patuk dan Desa Hargo Tirto, Kecamatan Kokap dapat lihat pada Tabel 6. Kandungan nutrisi utama KBK yang pada Tabel 5 di atas seperti PK, LK dan SK secara umum mendekati hasil penelitian sebelumnya dibeberapa daerah. LACONI (1998) melaporkan bahwa kandungan PK, LK dan SK KBK dari PTP XII Rajamandala Kabupaten Bandung, Jawa Barat masing-masing yaitu 8,35, 2,48 dan 55,67%. ISMARTOYO (2000) melaporkan bahwa kandungan PK, dan LK KBK dari Sulawesi Selatan adalah 5,70 dan 1,70%. PRABOWO dan BAHRI (2002) melaporkan bahwa kandungan PK, LK dan SK KBK dari perkebunan rakyat di Lampung masing-masing 9,15, 1,25 dan 32,7%. MUNIER (2007) melaporkan bahwa kandungan PK, LK dan SK KBK dari perkebunan rakyat di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah masing-masing 9,90, 9,20 dan 32,70%.

Tabel 6. Rataan kandungan nutrisi KBK berdasarkan BK Kandungan nutrisi (%)

Desa asal KBK KA

BK

PK

LK

SK

BO

Bunder

81,77

89,77

6,39

1,82

31,21

91,05

Hargo Tirto

83,00

90,68

8,14

2,44

30,45

87,12

757

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

KESIMPULAN Potensi ketersediaan KBK di Provinsi DIY tahun 2007 cukup tinggi yaitu 3.427,54 t, sedangkan di Kabupaten Gunung Kidul 883,10 t dan di Kabupaten Kulonprogo 1.837,33 t. Potensi ketersediaan KBK setiap petani di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulonprogo masing-masing berkisar 0,63 – 1,25 t/ha/tahun dan 0,24 – 0,49 t/ha/tahun. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dinas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul dan Pemerintah Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo atas bantuan dan kerjasamanya pada kegiatan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara Abdul Hamid (Mahasiswa S1), Rakhmat M. Herlambang (Mahasiswa S1) dan Tuti Indrawati (Mahasiswa S1) atas bantuannya saat penelitian mulai pengumpulan data sekunder, wawancara dan pengambilan sampel sampai analisis di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th Ed. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC, USA. DISHUTBUN PROV. DIY. 2006. Statistik Perkebunan Tahun 2006. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DISHUTBUN PROV. DIY. 2008. Statistik Perkebunan Tahun 2008. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. HANAFI, H., SOEHARSONO dan SUPRIADI. 2004. Sikap Petani terhadap Inovasi “Crop Livestock System” di Lahan Kering Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTernak. Denpasar 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 175 – 181. ISMARTOYO. 2000. Degradasi dan fermentasi bahan pakan ruminansia oleh mikroba rumen dalam sistem Consecutive Batch Culture (CBC). Bull. Ilmu Peternakan dan Perikanan. VII(2).

758

LACONI, E.B. 1998. Peningkatan Mutu Pod Kakao melalui Amoniasi dengan Menggunakan Urea dan Biofermnetsi dengan Phenerochaete chrysosporium serta Penjabarannya kedalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. LUTHAN, F. 2007. Kebijakan umum pemberdayaan masyarakat pedesaan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-38 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 8 Nopember 2007. MASBULAN, E. 1999. Optimalisasi sistem usahatani pertanian (SUP) berbasis sapi perah di kawasan lahan kritis Daerah Istimewa Yogyakarta. JITV 4(4): 220 – 236. MASBULAN, E. 2007. Panduan Revitalisasi Pengembangan Peternakan Berkelanjutan dalam Kontek Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Makalah Pembukaan Kuliah Umum Program S2 dan S3 Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta 11 September 2007. MAHYUDDIN P. and B. BAKRIE. 1993. Different levels of cocoa shell in diets of growing cattle. Ilmu dan Peternakan 6(2): 1 – 4. MILLER. 1987. Dairy cattle feeding and nutrition. In: Fiber Utilization and Requirements of Dairy Cattle. 9th Ed. Acedemic Press, Inc., USA. pp. 213 – 220. MUNIER, F.F., A. ARDJANHAR, U. FADJAR, D. PRIYANTO, SYAFRUDDIN, FEMMI N.F., Y. LANGSA dan S. WIRYADIPUTRA. 2005. Laporan Hasil Pengkajian Pengembangan Sistem Usahatani Integrasi Kambing dan Kakao di Sulawesi Tengah. TA. 2005. Kerjasama BPTP Sulteng dengan LRPI Bogor dan Puslitbang Peternakan, Bogor. MUNIER, F.F. 2007. Bobot hidup kambing Peranakan Etawah (PE) betina yang diberikan kulit buah kakao (Theobroma cocoa L.). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 410 – 416. PRABOWO, A. dan S. BAHRI. 2002. Kajian Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Perkebunan Kakao Rakyat di Lampung. Laporan Hasil Pengkajian TA 2002 BPTP Lampung, Bandar Lampung. 16 hlm. PRABOWO, A., ELMA BASRI, FERDAUSIL A.B., B. SUDARYANTO dan S. BAHRI. 2004. Kajian system usahatani ternak kambing pada perkebunan kakao rakyat di Lampung. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTernak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN hlm. 336 – 374.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PUTRA, I-G.G. 2002. Pengaruh penggunaan pod kakao dalam ransum terhadap karakteristik karkas itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 5(2): 48 – 52. RAMAYANTI, N. 2004. Kajian Fermentasi dan Kecernaan In Vitro Kulit Buah Kakao (Theobroma cocoa L.) yang Difermentasi dengan Isolat Kapang Pestalotiopsis guepinii. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. SIREGAR, T.T.S., S. RIADI dan L. NURAINI. 1992. Budidaya Pengelolaan dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya, Jakarta. SUTIKNO, A.I., T. HARYATI dan J. DARMA. 1994. Perbaikan Kualitas Gizi Pod Coklat melalui Proses Fermentasi. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Ciawi, Bogor, 25 – 26 Januari 1994. Balitnak, Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 753 – 761.

WINA, E. 2005. Teknologi pemanfaatan mikroorganisme dalam pakan untuk meningkatan produktivitas ternak ruminansia di Indonesia: Sebuah review. Wartazoa 15(4): 173 – 186. WONG, H.K., A.H. OSMAN and M.S.H. IDRIS. 1986. Utilization of cocoa by-product as feed. In: Ruminant Feeding Systems Utilization Fibrous Agricultural Residues. DIXON, R.M. (Ed.). April 1 – 3, Los Baños, Philippines. pp. 99 – 103. WONG, H.K., A.H. OSMAN and M.S. IDRIS. 1987. Utilization of cocoa by-product as ruminant feed. In: Ruminant Feeding System Utilizing Fibrous Agricultural Residues. 1986. DIXON, R.M. (Ed). School of Agriculture and Forestry, University of Melbourne, Parkville, Victoria, Australia.

DISKUSI Pertanyaan: Data yang ditampilkan adalah data sekunder, apa perlunya ukuran kulit buah kakao, analisa proksimat dilakukan ? dimana? Jawaban: Data sekunder ditampilkan karena ini penelitian survey, data sekunder diolah untuk mengetahui produksi kulit buah kakao (KBK) segar. Ukuran buah kakao diperlukan untuk mengetahui jumlah buah kakao yang diperlukan untuk KBK 1 kg segar. Analisis proksimat di Lab. Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

759