BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan sampai diperolehnya larva ikan nilem hasil ginogenesis. Kegagalan proses ginogenesis tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya pengaruh penggunaan sperma ikan mas untuk membuahi telur ikan nilem. Ikan mas dan ikan nilem merupakan ikan dengan spesies yang berbeda, perbedaan spesies tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses persilangan yang dilakukan. Hal ini sesuai seperti yang diungkapkan Yan dan Ozgunen (1993) yang menyatakan bahwa keterkaitan taksonomi induk yang digunakan akan menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan persilangan seperti tidak terjadinya pembuahan telur oleh sperma, kematian embrio, dan ada pula embrio yang bertahan hidup sampai menetas menjadi larva. Yan dan Ozgunen (1993) juga mengungkapakan pendapatnya bahwa pembuahan telur oleh sperma pada persilangan dipengaruhi oleh renggang taksonomi seperti perbedaan spesies induk yang digunakan. Sperma ikan mas yang digunakan untuk membuahi telur ikan nilem memungkinkan menjadi penyebab gagalnya ginogenesis yang dilakukan, mengingat sperma ikan mas berperan langsung pada proses pembuahan telur ikan nilem. Sperma ikan mas berukuran lebih besar dibandingkan ukuran sperma ikan nilem, sebagaimana diungkapkan oleh Risnawati (1995) dalam Yusrizal (2004) bahwa ukuran lebar kepala sperma ikan nilem adalah 1,499 ± 0,151µm, dan panjang ekor 28,829 ± 1,643µm; sedangkan ukuran lebar kepala sperma mas adalah 1,832 ± 0,179µm, dan panjang ekor 33,733 ± 2,093µm. Hal tersebut menjadi dasar bahwa sperma ikan mas akan lebih sulit untuk masuk ke dalam lubang mikropyle telur ikan nilem, selain itu sperma ikan mas yang digunakan telah diradiasi oleh sinar ultraviolet (UV) yang memungkinkan menjadikan sperma ikan mas tersebut dalam kondisi lemah, rusak ataupun mati. Hal ini didukung oleh 28
29
pernyataan Yatim (1992) yang mengungkapkan pendapatnya bahwa bentuk spermatozoa abnormal terjadi karena berbagai gangguan dalam spermatogenesis, gangguan itu mungkin karena faktor hormonal, nutrisi, obat, akibat radiasi, atau oleh penyakit. Yan dan Ozgunen (1993) juga mengungkapkan bahwa perbedaan spesies yang berbeda dapat menimbulkan beberapa kemungkinan proses biologis sperma untuk membuahi telur, seperti: 1. Kegagalan sperma asing untuk menembus sel telur, karena sperma yang tidak bisa melewati mikrofyl dari korion telur pada ikan. 2. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur, tapi mengecil dan menghilang di sitoplasma telur tanpa melakukan fungsi apapun. 3. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur dan membesar sebagai pronukleus jantan, tapi tidak bisa menyatu dengan pronukleus inti telur untuk membentuk zigot. 4. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur dan membesar sebagai pronukleus jantan, kemudian menyatu dengan pronukleus inti telur sebagai zigot secara terkoordinasi di dalam telur. Kondisi ini menunjukan proses pembuahan hibridisasi seksual antara sperma dan telur selesai dan hibrida dibuahi, sehingga telur mulai berkembang menjadi embrio. Berdasarkan rentetan kegagalan proses ginogenesis ikan nilem yang dilakukan dengan menggunakan sperma ikan mas, maka dipergunakanlah sperma ikan nilem untuk membuahi telur ikan nilem pada proses ginogenesis. Proses ginogenesis dilakukan dengan tahapan yang sama seperti yang dilakukan menggunakan sperma ikan mas, namun kegagalan juga terjadi pada proses ginogenesis yang dilakukan. Faktor lain yang diduga berpengaruh dalam menentukan keberhasilan ginogenesis ikan nilem adalah keterkaitan ketahanan telur ikan nilem terhadap suhu panas pada proses heat shok (kejutan suhu). Siraj et al. (1993) dalam Haryanto (2004) menyatakan bahwa sedikitnya persentase benih ginogenetik yang dihasilkan disebabkan karena kegagalan polar body II untuk melebur pada inti telur hingga terbentuk individu haploid (abnormal), bisa juga karena keluarnya polar body II tidak bersamaan karena matangnya telur tidak seragam, dan rusaknya telur akibat dari kejutan panas yang dapat membuat
30
kerusakan pada telur sehingga membuat telur mati dan tidak sempat berkembang. Hal tersebut ditegaskan oleh Richter dan Rustidja (1985) dalam Nurasni (2011) bahawa kejutan panas berpengaruh pada rendahnya daya tetas telur akibat penurunan aktivitas enzim chorionase yang bersifat mereduksi chorion menjadi lunak, karena suhu yang tinggi akan mereduksi enzim atau menyebabkan kerusakan protein-protein sitoplasma telur. Effendie (1997) menyebutkan bahwa derajat tetas telur dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain kualitas telur dan kualitas sperma, karena telur yang terbuahi sperma merupakan zigot hasil pertemuan gamet betina dan jantan. Faktor eksternal anatara lain suhu, oksigen, dan kondisi tempat telur diinkubasi. Proses embriogenesis embrio ikan nilem hasil ginogenesis hanya dapat hidup selama enam jam dari proses fertilisasi telur (Gambar 4).
(a)
(b)
(
(c)
(d)
Keterangan: (a) fase cleavage (1 jam dari fertilisasi), (b) fase morula (2 jam dari fertilisasi), (c) fase blastula (4 jam dari fertilisasi), (d) fase gastrula (6 jam dari fertilisasi)
Gambar 4. Embriogenesis Ginogenetik Ikan Nilem
31
Perkembangan embrio ikan nilem hasil ginogenesis pada penelitian dimulai dari fase cleavage, yaitu ditandai zigot memebelah menjadi dua buah sel. Menurut Sukra et al. (1989) dalam Nugraha (2004), cleavage adalah proses proliferasi zigot menjadi molural melalui pembelahan mitosis secara berangkai yang terjadi segera setelah pembuahan, di dalam tuba fallopii. Perkembangan embrio ikan nilem dilanjutkan dengan terjadinya perubahan bentuk embrio seperti pembentukan lapisan kedua. Balinsky (1970) dalam Nugraha (2004) mengungkapakan pendapatnya bahwa pada stadium morula sel membelah secara melintang dan mulai membentuk formasi lapisan kedua yang terlihat samar pada kutub anima. Perkembangan embrio setelah melalui fase morula adalah fase balastula. Embrio terus melakukan pembelahan sel untuk berkembang menjadi blastula, yaitu ditandai dengan terbentuknya rongga kosong. Pada stadium blastula, blastomer membelah beberapa kali sehingga blastomer makin mengecil, tetapi besar blastula tidak berbeda dengan besar morula. Menjelang proses pembelahan berakhir sebagian blastomer yang ada di bawah permukaan rongga kosong. Rongga kosong yang terbentuk itu disebut blastosul. Morula memiliki rongga, sedangkan blastula memiliki blastosul (Sukra 1989 dalam Nugraha 2004). Akhir perkembangan embrio ikan nilem pada penelitian ini adalah fase
gastrulasi,
mengingat
embrio
mati
setelah
fase ini, dan fase
perkembangan embrio tidak berlangsung sampai fase organogenesis ataupun fase penetasan embrio menjadi larva. Kematian embrio ikan nilem hasil ginogenesis pada penelitian diduga karena embrio yang dihasilkan bersifat lemah, tertambah fase gastrulasi meruapakan fase kritis karena merupakan fase pembentukan bakal organ larva ikan. Energi yang dibutuhkan embrio untuk pembentukan organ kemungkinan akan lebih besar dibandingkan untuk pembelahan sel saja. Effendie (1985) mengungkapkan pada stadium gastrula proses pembelahan sel dengan pergerakannya berjalan lebih cepat dari pada stadium
stadium blastula. Garis besarnya proses pergerakan sel dalam gastrula
adalah suatu
ada dua macam
pergerakan sel-sel
yaitu
yang
epiboli dan emboli. Epiboli
lelak
dianggap
akan
menjadi
epidermis, dimana pergerakannya itu ke depan, kebelakang dan juga ke
32
sampingnya dari sumbu bakal embrio. Gerakan yang banyak dan berlangsung cepat memungkinkan akan lebih mudah menimbulkan kematian pada embrio hasil ginogenesis, mengingat kondisi embrio yang lemah memiliki kemampuan yang fasip dalam melakukan gerakan-gerakan. Lemahnya emrio ginogenetik juga terjadi pada penelitian ginogenesis ikan sumatra pada penelitian Yusrizal (2004) melalui pengamatan yang dilakukan dibawah mikroskop diperoleh hasil bahwa embrio ikan hasil ginogenetik yang bersifat lemah ataupun abnormal tidak ditemui pigmen bintik mata, tidak bisa bergerak, hanya berada didasar, dan yang bergerak hanya jantungnya. Sangat berbeda dengan embrio normal yang dapat bergerak tubuh secara bolak-balik (Carman 1990 dalam Yusrizal 2004). 4.2 Hibridisasi Hibridisasi ikan nilem dengan menggunakan donor sperma mas dan ikan nilem (kontrol) dilaksanakan pada tanggal 23 April 2013. Berbeda dengan ginogenesis yang dilakukan, hibridisasi ikan nilem yang dilakukan menggunakan sperma ikan mas berhasil dilakukan. Keberhasilan hibridisasi diduga karena sperma ikan mas yang digunakan tetap dapat melakukan penetrasi untuk melakuakan pembuahan telur ikan nilem. Sperma ikan mas dalam hibridisasi sebelumnya tidak di radiasi UV, sehingga sperma ikan mas kemungkinan tetap memiliki energi untuk masuk ke dalam telur melalui lubang mikropyl. Berbeda dengan sperma
ikan mas yang digunakan pada proses ginogenesis yang
sebelumnya telah diradiasi dengan sinar UV, sehingga sperma bersifat lemah dan akan lebih sulit untuk masuk ke dalam telur. Keberhasilan pemijahan dilakukan dengan pengamatan derajat pembuahan telur (FR) dan derajat penetasan telur (HR) dilakukan dengan menghitung telur yang terbuahi dan kemudian menetas menjadi larva (Lampiran 3). Data hasil pengamatan pemijahan ikan nilem dengan menggunakan sperma ikan mas dan ikan nilem tersaji seperti pada Gambar 5.
33
Gambar 5. Diagram persentase derajat pembuahan dan derajat penetasan telur ikan nilem. Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan telur dan derajat penetasan telur pada pemijahan ikan nilem dengan menggunakan sperma ikan nilem yaitu FR sebesar 91,44% dan HR sebesar 92,68%; sedangkan pemijahan ikan nilem dengan menggunakan sperma ikan mas atau secara hibridisasi diperoleh FR sebesar 84,22% dan HR sebesar 89,84%. Hasil pemijahan ikan nilem dengan menggunakan donor sperma ikan nilem memiliki rata-rata FR dan HR lebih tinggi dibandingkan pada pemijahan secara hibridisasi menggunakan sperma ikan mas, namun secara keseluruhan hasil pemijahan yang dilakukan baik secara hibridisasi menggunakan sperma ikan mas maupun pemijahan secara normal menggunakan sperma ikan nilem tetap dapat dikatakan baik. menurut Effendie (1997) bahwa derajat pembuahan dan ponetasan telur telur yang mencapai nilai diatas 70% dikategorikan tinggi. 4.3 Karakteristik Morfometrik dan Meristik Nilai morfometrik ikan nilem hasil persilangan dengan ikan mas cenderung meengikuti karakter morfometrik ikan nilem dan ikan mas. Karakter tersebut diketahui dari perbandingan tinggi badan terhadap panjang total, dan panjang cagak terhadap panjang total ikan hibrid yang mengarah ke ikan mas;
34
sedangkan perbandingan panjang kepala terhadap panjang total, lebar badan terhadap panjang total, dan lebar kepala terhadap panjang total ikan hibrid yang lebih mengarah ke ikan nilem (Lampiran 8). Keseluruhan karakter meristik ikan hasil persilangan nilem dengan ikan mas cenderung mengarah ke ikan nilem. Penentuan pengarahan karakter tersebut dilakukan dengan membandingkan kisaran karakter yang dimiliki ikan hasil hibridisasi dengan karakter yang dimiliki oleh induknya, dan diperkuat dengan karakter meristik ikan mas ataupun ikan nilem hasil penelitian-penelitian serupa (Lampiran 4, 5, 6 dan 7). Data hasil pengamatan mengenai karakteristik morfometrik dan meristik dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Tabel 2. Nilai Rata-rata karakteristik morfometrik benih ikan hibrid hasil persilangan ikan nilem dengan ikan mas. Karakter Morfometrik
Kisaran (mm)
Rata-rata (mm)
Panjang Total (TL)
55-77
64,12 ± 4,54
Panjang Cagak (SL)*
43-57
52,12 ± 3,80
Tinggi Badan (TB)*
16-23
17,96 ± 1,40
Lebar Badan (LB)*
7-9
7,68 ± 0,63
Lebar Kepala (KP)*
4-7
5,88 ± 0,73
Panjang Kepala (PK)*
6-9
7,48 ± 0,77
* Dibandingakan dengan panjang total Tabel 3. Nilai kisaran karakteristik meristik benih ikan hibrid hasil persilangan ikan nilem dengan ikan mas. No
Karakter Meristik
Kisaran/Rumus
1
Sirip Punggung (D)
1.16-18/D.I.16-18
2
Sirip Dada (P)
1-2.11-12/P.I-II.11-12
3
Sirip Perut (V)
1.7-8/V.I.7-8
4
Sirip Dubur (A)
1-2.5-6/A.I-II.5-6
5
Linea Lateralis
32-33
Perpaduan karakteristik morfometrik dan meristik ikan nilem hasil persilangan dengan ikan mas merupakan peraduan karakter-karakter dari
35
induknya. Hal ini sesuai yang diungkapkan Chevasus (1983) dalam Syamsiah (2001) bahwa karakter morfologi ikan hasil persilangan sering berbeda diantara kedua tertuanya, kadang-kadang samadengan salah satu induknya, bahkan diluar kisaran nilai dari tertuanya. 4.4 Nilai Heterositas Kecenderungan karakteristik morfologi ikan dalam persilangan dapat dilihat dari nilai heterositas ikan hasil persilangan. Ikan hasil hibridisasi dalam penelitian ini dibandingkan karakter morfologinya dengan ikan nilem normal hasil persilangan nilem jantan dengan nilem betina. Nilai heterositas ikan nilem hibrid terhadap ikan nilem normal dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai heterositas ikan benih nilem hibrid terhadap benih ikan nilem normal Karakter Morfometrik
Ikan Nilem Hasil Hibridisasi
Ikan Nilem Normal
Nilai Heterositas (%)
Panjang Total (mm)
64,12 ± 4,54
46,48 ± 5,36
15,95
Panjang Cagak (mm)
52,12 ± 3,80
35,92 ± 4,91
18,40
Tinggi Badan (mm)
17,96 ± 1,40
10,56 ± 0,80
25,95
Lebar Badan (mm)
7,68 ± 0,63
5,64 ± 0,91
15,32
Lebar Kepala (mm)
5,88 ± 0,73
6,84 ± 0,75
4,47
Panjang Kepala (mm)
7,48 ± 0,77
5,00 ± 0,58
8,09
Bobot Ikan (Gram)
3,39 ± 0,70
1,32 ± 0,41
44,02
Berdasarkan tabel 4 nilai heterositas karakter ikan hibrid bernilai positif terhadap karakter ikan nilem normal. Nilai heterositas tersebut dapat diartikan bahwa ikan nilem hasil hibridisasi memiliki pertambahan lebih cepat dibandingkan ikan nilem normal. Pertambahan dalam hal ini dapat diartikan juga sebagai pertumbuhan, mengingat semua karakter yang diukur juga merupakan pertumbuhan seperti berat, ataupun panjang.
36
4.5 Korelasi Panjang dan Berat Perhitungan korelasi panjang berat dilakukan untuk melihat jenis pertumbuhan ikan. Pada penelitian ini analisis korelasi panjang berat dapat digunakan untuk menetukan pertumbuhan ikan nilem hasil hibridisasi lebih mengarah pada ikan nilem atau ikan mas sebgai induknya (Lampiran 10, 11, 12, dan 13). Hasil perhitungan korelasi panjang berat ikan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Korelasi Panjang Berat Ikan Ikan
b
Pertumbuhan
Induk Ikan Mas
3,02
Isometrik
Induk Ikan Nilem
0,94
Allometrik
Ikan Nilem Hibrid
2,23
Allometrik
Ikan Nilem Normal (Nilem >< Nilem)
1,95
Allometrik
Ket: b (Korelasi panjang berat), b=3 (Isometrik), 3>b<3 (allometrik) Hasil perhitungan korelasi panjang berat menunjukan pertumbuhan ikan nilem hibrid mengikuti ikan nilem. Nilai korelasi panjang berat (b) ikan nilem hibrid yaitu 2,23 atau lebih kecil dari 3, sehingga pertumbuhannya adalah allometrik. Pertumbuhan allometrik disini berarti pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan berat, sama halnya seperti pada induk ikan nilem 0,94; ataupun ikan nilem hasi persilangan dengan nilem sebesar 1,95. Berbeda dengan korelasi panjang berat ikan mas adalah 3,02 atau dapat dikatakan sama dengan 3 yang berarti pertambahan panjang dan beratnya berlangsung sama cepat. Walaupun jenis pertumbuhannya sama, dalam hal ini korelasi panjang berat ikan nilem hibrid lebih besar dibandingkan induk ikan nilem atau ikan nilem normal, sehingga dapat diartikan pertambahan bobotnya lebih cepat dibandingkan ikan nilem. Hal tersebut dapat dijadikan dasar bahwa ikan nilem hibrid dalam pertambahan bobotnya cenderung seperti ikan mas dan pertambahan panjang seperti ikan nilem.
37
4.6 Rasio Jenis Kelamin Rasio jenis kelamin merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin jantan dan kelamin betina ikan, baik ikan nilem hasil hibridisasi maupun ikan nilem normal. Hasil pengamatan rasio jenis kelamin menunjukan bahwa ikan nilem hasil hibridisasi memiliki persentase jenis kelamin betina lebih banyak, yaitu sebesar 52%. Hal tersebut berbeda dengan ikan nilem normal yang memiliki persentase jenis kelamin betina lebih sedikit, yaitu sebesar 44% (Gambar 6).
Gambar 6. Rasio Jenis Kelamin Ikan Nilem Hibrid dan Ikan Nilem Normal Pengamatan rasio jenis kelamin menunjukan terjadinya sex dimorfisme pada ikan nilem hasil hibridisasi, yaitu ikan yang memiliki bobot lebih besar cenderung berjenis kelamin betina dan ikan yang memiliki bobot lebih kecil cenderung berjenis kelamin jantan (Lampiran 4 dan 5). Persentase jenis kelamin betina ikan nilem hibrid yang lebih besar dibandingkan ikan nilem normal diduga diturunkan dari genetis induk ikan mas yang digunakan. Hal tersebut sesuai seperti yang diungkapkan Kumar at al. (2011) dalam penelitiannya bahwa keturunan ikan mas memiliki persentase jenis kelamin betina lebih banyak yaitu 57,14%
berkelamin
betina
dan
42,86%
berkelamin
jantan.
Menurut
Silverman et al. (2000) jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor
38
genetik dan faktor lingkungan yang bekerja secara sinergis untuk menentukan ekspresi fenotipe suatu karakter. Faktor genetik yang memegang peranan utama dalam menentukan jenis kelamin disebut kromosom kelamin (gonosom), sedangkan
kromosom
yang
tidak
menentukan
jenis
kelamin
autosom
(yatim, 1986). Banyaknya persentasi jenis kelamin betina ikan nilem hasil hibridisasi dibandingkan ikan nilem normal menjadi keunggulan tersendiri. Keunggulan komparatif ikan nilem yang memiliki pertumbuhan lebih cepat berpotensi mempercepat waktu panen dan memperkecil biaya operasional dalam budidaya. Proporsi ikan nilem hibrid betina yang lebih besar berperan sebagai daya dukung untuk memaksimalkan produksi telur ikan nilem sebagai bahan baku caviar ataupun untuk pemijahan.