4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanah Tanah sebagai tubuh alam yang bebas mampu menumbuhkan tanaman karena memiliki sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup terhadap bahan induk dalam keadaan relief dan jangka waktu tertentu. Sifat-sifat tanah ditentukan di lapangan dengan melihat ciri-ciri morfologi profil yang merupakan hasil genesa tanah dan pengaruh faktor-faktor pembentuk tanah (Lubis, 2006). Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Pengamatan sebaiknya dilakukan pada profil tanah yang baru dibuat. Pengamatan di lapang biasanya dimulai dengan membedakan lapisan-lapisan tanah atau horison-horison. Horison adalah lapisan dalam tanah lebih kurang sejajar dengan permukaan tanah dan terbentuk karena proses pembentukan tanah. Di lapang masing-masing horison diamati sifat-sifatnya yang meliputi: warna, tekstur, konsistensi, struktur, kutan, konkresi dan nodul, pori-pori tanah (void), pH (metode lapang), batas-batas horison (Hardjowigeno, 1993). Menurut Prijono (2010), karakterisasi morfologi tanah, antara lain meliputi: a) Warna tanah b) Tekstur tanah c) Struktur tanah d) Konsistensi e) Pori Perubahan yang bersifat permanen terlihat dari sifat morfologi profil tanah yang seringkali menjadi sangat berbeda dengan profil tanah asalnya (Nurdin, 2009). Sejarah pembentukan tanah tertera pada morfologi tanah. Banyak informasi tentang watak, perilaku, dan potensi berfungsi tanah tersimpan dalam morfologi tanah. Tiap sifat tanah mempunyai pola sebaran acak sendiri-sendiri, terbawa dari sejarah pemunculan yang berbeda-beda, sekalipun dalam satu individu tubuh tanah yang sama, sehingga tidak mudah mendeskripsikan morfologi tanah. Deskripsi biasa menggunakan gabungan pola sebaran acak beberapa sifat tanah terpilih yang dinilai
5
terpenting sebagai ciri diagnostik. Dengan penggabungan trersebut dapat digaris batasi horison-horison induk (Notohadiprawiro, 1998). Untuk keperluan pemerian profil tanah, horison yang tersidik diberi lambang huruf besar, huruf kecil, atau angka Arab. Lambang huruf besar digunakan menandai horison induk. Lambang huruf kecil dan angka Arab digunakan menandai pemilahan lebih lanjut horison induk. Ada banyak sistem penandaan horison yang digunakan di dunia. Disini hanya akan dikemukakan sistem penandaan horison induk menurut Soil Survey Staff (1992). Ada enam horison induk yang dalam urutan dari atas kebawah masingmasing ditandai dengan huruf besar O, A, E, B, C, dan R. Horison O adalah Lapisan tanah atas, merupakan lapisan tanah yang subur karena mengandung bahan organik (decomposite oraganic matter), terdir atas bagian-bagian yang tampak mesih utuh, sebagian terdekomposisi, dan lengkap terdekomposisi. Horison menumpang dipermukaan tubuh tanah mineral. Horison A adalah lapisan tanah atas, lapisan ini ditemukan di bawah horison O dan di atas harison E. benih-benih tanaman dan akar-akarnya tumbuh pada lapisan ini. Lapisan ini warnaya gelap, terdiri dari humus dan campuran partikel mineral. Horison A merupakan horison mineral yang terbentuk dibagian teratas tubuh tanah mineral./ kalau ada horison O, horison A berada dibawahnya. Horison ini dicirikan oleh masukan bahan organik terhumifikasi yang bercampur mesra dengan bahan mineral, konsistensi dan struktur yang berbeda nyata dengan horison yang berada langsung dibawahnya, atau sifat yang terubah oleh kegiatan budidaya (sifat antropogen). Dalam hal bercampur mesra dengan bahan organik terhumifikasi, warna horison A menjadi jelas lebih gelap daripada warna horison yang berada langsung dibawahnya. Bahan organik juga mengubah konsistensi dan struktur, akan tetapi pengubahan konsistensi dan struktur dapat terjadi tanpa peran serta bahan organik. Horison E adalah lapisan eluviasi yang berwarna terang. Lapisan tanah ini berpasir, sedikit mengandung mineral dan tanah liat karena tetesan air menembus masuk ke tanah. Ciri utamanya ialah penghilangan lempung aluminosilikat, Fe, Al, atau kombinasi ketiganya yang menyebabkan zarah-zarah pasir dan debu melonggok secara residual. horison ini dapat berada langsung di bawah horison O atau A.
6
apabila berada dibawah horison A, horison E terbedakan menurut warnanya yang lebih mudah dan kandungan bahan organik lebih sedikit daripada horison A. Horison B adalah lapisan tanah yang paling bawah. Lapisan ini mengandung sedikit tanah liat dan mineral yang didapati dari lapisan di atasnya ketika proses perembesan air ke bawah tanah dari lapisan di atasnya. Horison B terbentuk dibawah horison O, A, atau E. Ada beberapa ragam horison B menurut cara terbentuknya. Horison B dapat terbentuk dengan (1) proses illuviasi lempung aluminosilikat, besi, aluminium, humus, karbonat, gips, atau silika sendiri-sendiri, atau dalam suatu kombinasi tertentu, (2) pelonggokan seskuioksida secara residual (horison oksik), (3) penyelaputan zarah-zarah tanah dengan seskuioksida yang terbentuk in situ, sehingga horison bersangkutan berwarna lebih terang atau lebih merah daripada horison diatas dan dibawahnya, atau (4) neoformasi mineral lempung atau mineral oksida in situ. Kalau horison B terbentuk secara illuviasi, harus ada horison E yang tereluviasi. Horison C adalah lapisan regolith. Terdiri dari sedikit pelapukan dari batuan induk. Akar tanaman tidak dapat menembus lapisan tanah ini dan lapisan ini hanya mengandung sedikit bahan organik. Horison C adalah bahan bahan induk tanah atau dapat diduga merupakan bahan induk tanah yang ada diatasnya. Horison C merupakan campuran bahan lapukan batuan dan mineral. Dalam hal tanah alokhton, berarti tanah endapan yang diangkut dari tempat lain, horison C tidak ada hubungan sama sekali dengan tanah yang ada diatasnya dan penyebutannya semata-mata didasarkan atas tampakannya berupa campuran bahan lapukan batuan dan mineral. Horison C ditakrifkan sebagai bahan induk tanah hanya dalam hal tanah otokhton, berarti terbentuk setempat. Suatu lapisan yang sekalipun tersusun atas bahan lapukan tuntas dan bahkan kaya akan lempung, akan tetapi belum memperlihatkan tampakan pedogen (tampakan yang berkaitan dengan proses pembentukan tubuh tanah), tetap disebut horison C. Bahan seperti ini dinamakan saprolit. Akan tetapi dalam hal lapisannya sudah memperlihatkan tanda-tanda pedogen dan mengalami pengerasan, lapisan tersebut dinamakan horison B. Horison R adalah lapisan batuan induk yang berada pada lapisan paling bawah dari tanah. Horison R merupakan formasi batuan dasar keras yang dapat dikatakan masih utuh, belum mengalami pelapukan. Sifat keras menjadi kriterium pokok.
7
Horison O, A, E, B, C, dan R, ditetapkan dengan konsep genetik. Horison A, E, dan B adalah horison pedogen yang membentuk solum, yaitu tubuh tanah sebenarnya. Solum bersama dengan horison O dan C membentuk pedon (Notohadiprawiro, 1998). Dalam US Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1992), horison dipilahkan menurut konsep diagnostik karena mengutamakan keperluan klasifikasi tanah. Secara ringkas horison genetik dan diagnostik dapat dipadankan seperti tertera dalam daftar berikut. Tabel 1. Daftar Penyepadanan Rampat Horison Genetik dengan Horison Diagnostik. Horison Genetik Horison Diagnostik Horison O dan A Epipedon O Histik A Antropik (pengaruh budidaya) Melanik (hitam, bahan organik tinggi) Molik (gembur, kaya basa) Umbrik (gelap, miskin basa) Plaggen (longgokan pupuk kandang) Okhrik (pucat) Horison E dan B Horison bawah permukaan E Albik (putih, bule) B Agrik (illuviasi karena pengolahan) Argilik (illuviasi lempung) Oksik (seskuioksida residual) Kambik (horison B awal) Padas Kandik (tekstur halus, KTK kecil) Sombrik (illuviasi humus) Spodik (illuviasi humus, Al, dan Fe) Natrik (illuviasi lempung, kaya Na) Salik (kaya garam netral) Sumber: Soil Survey Staff (1992) Dengan konsep diagnostik, tubuh tanah dipilahkan menjadi dua penggal utama. Penggal atas yang mencakup horison O dan A, disebut epipedon. Penggal bawah yang mencakup horison E dan B, disebut horison bawah permukaan. Karena berbeda dalam konsep, horison genetik bukan kesetaraan horison diagnostik. Penunjukan horison genetik menggunakan pertimbangan kualitatif tentang macam perubahan yang dipercaya telah terjadi dalam tanah. Horison diagnostik adalah tampakan yang ditakrifkan secara kuantitatif bagi pembedaan antar kelompok taksonomi. Dapat
8
terjadi suatu perbedaan genetik antarlapisan diaggap belum cukup nyata untuk dipisahkan dari keperluan diagnostik. Maka dapat terjadi suatu horison diagnostik menerangkan lebih daripada satu horison genetik (Notohadiprawiro, 1998). 2.2 Sifat Fisik Tanah Menurut Hanafiah (2005), secara keseluruhan sifat-sifat fisik tanah ditentukan oleh: a. Ukuran dan komposisi partikel-partikel hasil pelapukan bahan penyusun tanah. b. Jenis dan proporsi komponen-komponen penyusun partikel ini. c. Keseimbangan antara suplai air, energi dan bahan dengan kehilangannya. d. Intensitas reaksi kimiawi dan biologis yang telah atau sedang berlangsung. 2.2.1 Tekstur Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separat) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand) (berdiameter 2,00 – 0,20 mm atau 2000 – 200 μm), debu (silt) (berdiameter 0,20 – 0,002 mm atau 200 – 2 μm) dan liat (clay) (<2 μm). Partikel berukuran diatas 2 mm seperti kerikil dan bebatuan kecil tidak tergolong sebagai fraksi tanah (Hanafiah, 2005). Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus (<2mm). Berdasar atas perbandingan banyaknya butir – butir pasir, debu dan liat maka tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas struktur. 1. Kasar, berupa pasir dan pasir berlempung. 2. Agak kasar, berupa lempung berpasir dan lempung berpasir halus. 3. Sedang, berupa lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, dan debu. 4. Agak halus, berupa lempung liat, lempung liat berpasir, dan lempung liat berdebu. 5. Halus, berupa liat berpasir Di lapangan tekstur tanah dapat ditetapkan berdasarkan kepekaan indera perasa (kulit jari jempol dan telunjuk) yang membutuhkan pengalaman dan kemahiran, dengan merasakan derajat kekasaran, kelicinan dan kelengketan. Melalui
9
perbandingan rasa ketiganya maka secara kasar tekstur tanah dapat diperkirakan, misalnya indera kulit mersakan partikel-partikel: 1. Terasa kasar, tanpa rasa licin dan tanpa rasa lengket, serta tidak bisa membentuk gulungan atau lempengan kontinu, maka berarti tanah bertekstur pasir. 2. Sebaliknya jika partikel tanah terasa halus, lengket dan dapat dibuat gulungan atau lempengan kontinu, maka berarti tanah bertekstur liat. 3. Tanah bertekstur debu akan mempunyai partikel-partikel yang terasa agak halus dan licin tetapi tidak lengket, serta gulungan atau lempengan yang terbentuk rapuh atau mudah hancur. 4. Tanah bertekstur lempung akan mempunyai partikel-partikel yang mempunyai rasa ketiganya secara proporsional, apabila yang tersa lebih dominan adalah sifat pasir, maka berarti tanah bertekstur lempung berpasir, dan seterusnya (Hanafiah, 2005). 2.2.2 Struktur Apabila tekstur mencerminkan ukuran partikel dari fraksi-fraksi tanah, maka struktur merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel-partikel primer tanah (pasir, debu dan liat individual) hingga partikel-partikel sekunder (gabungan partikelpartikel primer yang disebut ped (gumpalan) yang membentuk agregat (bongkah). Tanah yang partikel-partikelnya belum bergabung, terutama yang bertekstur pasir disebut tanpa struktur atau berstruktur lepas, sedangkan tanah bertekstur liat, yang terlihat massif (padu tanpa ruang pori, yang lembek jika basah dan keras jika kering) atau apabila dilumat dengan air membentuk pasta disebut juga tanpa struktur (Hanafiah, 2005). Struktur tanah dipengaruhi oleh: dari apa tanah itu berkembang, kondisi lingkungan dimana tanah itu terbentuk, adanya tanah liat, adanya material organik. Faktor lain yang penting dalam mempengaruhi struktur tanah adalah kestabilan dari kumpulan tanah di bawah pengaruh kondisi lembab dan kering, kestabilitas dari kumpulan partikel terhaadap gangguan fisik, susunan dan sifat dasar dari kumpulan partikel, dan bentuk profil.
10
Struktur tanah berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar-ped atau agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antar partikel primer. Oleh karena itu, tanah yang berstuktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan mengabsopsihara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik. Terdapat lima pengelompokan struktur tanah, yaitu: platy, prismatik, columnar, blocky dan granular. 2.2.3 Konsistensi Tanah Apabila struktur merupakan hasil keragaman gaya-gaya fisik (kimiawi dan biologis) yang bekerja dari dalam tanah, maka konsistensi merupakan ketahanan tanah terhadap tekanan gaya-gaya dari luar, yang merupakan indikator derajat manifestasi kekuatan dan corak gaya-gaya fisik (kohesi dan adhesi) yang bekerja pada tanah selaras dengan tingkat kejenuhan airnya (Hanafiah, 2005). Konsistensi ditetapkan dalam tiga kadar air tanah, yaitu: 1. Konsistensi basah (pada kadar air sekitar kapasitas-lapang) untuk menilai derajat kelekatan tanah terhadap benda-benda yang menempelinya, yang dideskripsikan menjadi, tak lekat, agak lekat, lekat dan sangat lekat, serta untuk menilai derajat kelenturan tanah terhadap perubahan bentuknya yaitu nonplastis (kaku), agak plastis, plastis dan sangat plastis. 2. Konsistensi lembab (kadar air antara kapasitas-lapang dan kering udara), untuk menilai derajat kegemburan-keteguhan tanah, dipilah menjadi, lepas, sangat gembur, gembur, teguh, sangat teguh dan ekstrim teguh. 3. Konsistensi kering (kadar air kondidsi kering udara) untuk menilai derajat kekerasan tanah yaitu, lepas, lunak, agak keras, keras, sangat keras dan ekstrim keras. 2.2.4 Bobot Tanah Bobot merupakan kerapatan tanah per satuan volume yang dinyatakan dalam dua batasan yaitu, kerapatan partikel dan kerapatan massa.
11
2.2.5 Porositas Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indicator kondisi drainase dan aerasi tanah. Jika dominasi fraksi pasir akan menyebabkan terbentuknya sedikit pori-pori mikro, dominasi fraksi liat akan menyebabkan terbentuknya banyak pori-pori mikro, dan dominasi fraksi debu akan menyebabkan terbentuknya pori-pori meso dalam jumlah sedang. 2.2.6 Aerasi Tanah Aerasi tanah merupakan istilah yang mengindikasikan kondisi tata-udara (keluar-masuknya udara) dalam tanah. Aerasi baik berarti keluar-masuknya udara dari dan kedalam tanah terjadi tanpa hambatan, sedangkan aerasi buruk berarti sebaliknya. 2.2.7 Temperatur Tanah Temperatur (suhu) adalah suatu sifat tanah yang sangat penting, secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan juga terhadap kelembaban, aerasi, struktur, aktivitas microbial, dan enzimatik, dekomposisi serasah/sisa tanaman dan ketersediaan hara-hara tanaman. Temperatur tanah ditentukan oleh interaksi sejumlah faktor dengan dua sumber panas, yaitu radiasi sinar matahari dan langit (dominan), serta konduksi dari interior tanah (sangat sedikit). Faktor-faktor eksternal (lingkungan) yang berperan menyebabkan terjadinya perubahan temperatur tanah meliputi: radiasi solar, radiasi dari langit, konduksi panas dari atmosfer, kondensasi, evaporasi, curah hujan, insulasi, dan vegetasi. Sedangkan faktor-faktor internal (tanah) yang berperan meliputi: kapasitas thermal, konduktivitas, dan difusivitas thermal, aktivitas biologis yang menghasilkan panas, radiasi dari tanah ke atmosfer, struktur, tekstur dan kelembaban tanah (Hanafiah, 2005). 2.2.8 Warna Tanah Warna merupakan salah satu sifat fisik tanah yang lebih banyak digunakan untuk pendeskripsian karakter tanah, karena tidak mempunyai efek langsung terhadap tetanaman tetapi secara tidak langsung berpengaruh lewat dampaknya terhadap temperatur dan kelembaban tanah.
12
Warna tanah dapat meliputi merah, putih, cokelat, kelabu, kuning dan hitam, kadangkala dapat pula kebiruan atau kehijauan. Kebanyakan tanah mempunyai warna yang tak murni tetapi campuran kelabu, cokelat, dan bercak (rust), kerap kali 2-3 warna terjadi dalam bentuk spot-spot, disebut karatan (mottling). Warna tanah merupakan
komposit
(campuran)
dari
warna-warna
komponen-komponen
penyusunnya. 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembentukan Tanah Ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah mulai dari bahan induk disebut genesa tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, tetapi hanya lima faktor yang dianggap penting yaitu; (1) iklim; (2) organisme; (3) bahan induk; (4) topografi; dan (5) waktu. 2.3.1 Iklim Secara menyeluruh diantara kelima faktor, iklim merupakan yang paling berpengaruh. Iklim merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan tanah. Setiap tempat pada waktu tertentu memiliki temperatur suhu udara, tekanan udara, kelembaban, keadaan awan, dan presipitasi yang relatif berbeda (Firdausy, 2011). Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pembentukan tanah antara lain yaitu; curah hujan, temperatur, angin dan pelapukan. Curah hujan ini merupakan besarnya kapasitas hujan yang turun ke permukaan yang berwujud air. Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah). Pada umumnya makin banyak curah hujan maka keasaman tanah makin tinggi atau pH tanah makin rendah, karena banyak unsur-unsur logam alkali tanah yang terlindi misalnya, Na, Ca, Mg, dan K, dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin rendah tingkat keasaman tanah dan makin tinggi pH tanah. Makin lembab suatu tanah maka makin jelek aerasinya dan juga sebaliknya, hal ini desebabkan karena adanya pergantian antara air dan udara dalam tanah. Temperatur mempengaruhi pembentukan tanah menurut dua cara yaitu; memperbesar evapo-transpirasi, sehingga mempengaruhi pula gerakan air dalam tanah, dan mempercepat reaksi kimia dalam tanah. Angin berpengaruh terhadap proses desintegrasi atau pelapukan
13
fisik. Pengaruh angin serupa dengan aliran air. Akibat langsung dari gerakan angin terhadap pembentukan tanah yaitu berupa erosi angin dan secara tidak langsung berupa pemindahan panas. Sedangkan pelapukan adalah proses alterasi dan fragsinasi batuan dan material tanah pada atau dekat permukaan bumi yang disebabkan karena proses fisik, kimia atau biologi (Firdausy, 2011). Menurut Haryanto (2011), suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Setiap suhu naik 100 C maka kecepatan reaksi menjadi dua kali lipat. Reaksi-reaksi oleh mikroorganisme juga sangat dipengaruhi oleh suhu tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Akibatnya banyak tanah di indonesia telah mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Dengan adanya perubahan temperatur suhu udara, tekanan udara, kelembaban, keadaan awan, dan presipitasi akan mempengaruhi terbentuknya tanah yang ada di permukaan bumi. Unsur iklim tersebut merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan tanah, terutama suhu dan curah hujan (Firdausy, 2011). Menurut Iskandar (2012), suhu akan berpengaruh terhadap proses pelapukan bahan induk. Apabila suhu tinggi, maka proses pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan tanah akan cepat pula. Sedangkan curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah. Pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah). 2.3.2 Organisme Pengaruh organisme dalam proses pembentukan tanah tidaklah kecil. Akumulasi bahan organik, siklus unsur hara, dan pembentukan stuktur tanah yang stabil sangat dipengaruhi oleh kegiatan organisme dalam tanah. Di samping itu unsur nitrogen dapat diikat ke dalam tanah dari udara oleh mikroorganisme, baik yang hidup sendiri di dalam tanah maupun yang bersimbiose dengan tanaman. Demikian juga vegetasi yang tumbuh di tanah tersebut dapat merupakan penghalang untuk terjadinya erosi, sehingga mengurangi jumlah tanah permukaan yang hilang (Haryanto, 2011).
14
Menurut Iskandar (2012), organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal; 1) membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi, 2) membantu proses pembentukan humus, 3) pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang, dan 4) kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah. 2.3.3 Bahan induk Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi (Iskandar, 2012). Sifat-sifat dari bahan induk masih tetap terlihat, bahkan pada tanah humid yang telah mengalami pelapukan sangat lanjut, contohnya tanah-tanah bertekstur pasir adalah akibat dari kandungan pasir yang tinggi dari bahan induk. Susunan kimia dan mineral bahan induk tidak hanya mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan, tetapi kadang-kadang menetukan jenis vegetasi alami yang tumbuh di atasnya. Terdapatnya batu kapur di daerah humid akan menghambat tingkat kemasaman tanah. Di samping itu, vegetasi yang hidup di atas tanah berasal dari batu kapur biasanya banyak mengandung basa-basa lapisan tanah atas melalui serasah dari vegetasi tersebut maka proses pengasaman tanah menjadi lebih lambat (Haryanto, 2011). Menurut Haryanto (2011), batu-batuan di mana bahan induk tanah berasal dapat dibedakan menjadi; 1) batuan beku yang terbentuk karena magma yang membeku, 2) batuan sedimen/batuan endapan yaitu; batuan endapan tua terdiri dari bahan endapan (umumnya endapan laut) yang telah diendapkan berjuta tahun yang lalu hingga telah membentuk batuan yang keras dan bahan endapan baru yang belum menjadi batu misalnya diendapkan oleh air (daerah dataran banjir) atau diendapkan oleh angin misalnya pada pasir pantai, 3) batuan metamorfosa (malihan) umumnya bertekstur lembar (foliated texture) akibat rekritalisasi dari beberapa mineral dan
15
orientasi mineral menjadi paralel sehingga terbentuk lembar-lembar, 4) bahan induk organik. 2.3.4 Topografi Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentuk tanah dengan cara: (1) mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, (2) mempengaruhi dalamnya air tanah, (3) mempengaruhi besarnya erosi, dan (4) mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut didalamnya (Haryanto, 2011). Topografi alam dapat mempercepat atau memperlambat kegiatan iklim. Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil daripada tanah yang berombak. Topografi miring mempergiat berbagai proses erosi air, sehingga membatasi kedalaman solum tanah, sebaliknya genangan air di dataran, dalam waktu lama atau sepanjang tahun, pengaruh iklim nibsi tidak begitu nampak dalam perkembangan tanah (Agustino, 2010). 2.3.5 Waktu Menurut Iskandar (2012), tanah merupakan benda alam yang terus menerus berubah, akibat pelapukan dan pencucian yang terus menerus. Oleh karena itu tanah akan menjadi semakin tua dan kurus. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa. Karena proses pembentukan tanah yang terus berjalan, maka induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua. Tanah Muda ditandai oleh proses pembentukan tanah yang masih tampak pencampuran antara bahan organik dan bahan mineral atau masih tampak struktur bahan induknya. Contoh tanah muda adalah tanah aluvial, regosol dan litosol. Tanah Dewasa ditandai oleh proses yang lebih lanjut sehingga tanah muda dapat berubah menjadi tanah dewasa, yaitu dengan proses pembentukan horison B. Contoh tanah dewasa adalah andosol, latosol, grumosol. Tanah Tua proses pembentukan tanah berlangsung lebih lanjut sehingga terjadi proses perubahan-perubahan yang nyata pada horizon-horoson A dan B. Akibatnya terbentuk horizon A1, A2, A3, B1, B2, B3. Contoh tanah pada tingkat tua adalah jenis tanah podsolik dan latosol tua
16
(laterit). Jika sudah membentuk tanah yang lengkap akan terbentuk horizon-horizon tanah (Iskandar, 2012). Menurut Haryanto (2011), bahwa tingkat perkembangan tanah tidak setara dengan tingkat pelapukan tanah. Tingkat perkembangan tanah berhubungan dengan perkembangan pembentukan horison-horison tanah, sedang tingkat pelapukan tanah berhubungan dengan tingkat pelapukan mineral dalam tanah. Tanah muda yang baru mempunyai horison A dan C dapat berupa tanah yang baru sedikit mengalami pelapukan bila berasal dari bahan induk baru seperti abu volkan, tetapi dapat juga telah mengalami pelapukan lanjut bila berasal dari bahan induk tua atau bahan induk yang telah mengalami pelapukan lanjut di tempat lain. Kekeringan dan erosi dapat menghambat perkembangan tanah. Dalam periode waktu yang sama (umur yang sama) tanah di suatu tempat mungkin telah berkembang lanjut sedang di tempat lain yang beriklim kering atau terus menerus tererosi, mungkin tanahnya belum berkembang. Oleh karena itu, tua mudanya tanah tidak dapat dinyatakan dari umur tanah tersebut (dalam tahun), tetapi harus didasarkan pada tingkat perkembangan horison-horison tanah yang ada. Proses perkembangan tanah mula-mula berjalan agak cepat tetapi makin tua tanah, proses tersebut berjalan sangat lambat (Haryanto, 2011). 2.4 Klasifikasi Tanah Genesis dan klasifikasi tanah ini sangat penting untuk pengelolaan tanah berkelanjutan yang memberikan informasi tentang karakteristik dan perilaku tanah kepada ilmu tanah terapan, seperti kesuburan tanah dan konservasi tanah. Pengetahuan genesis dan klasifikasi tanah membantu untuk mengetahui bagaimana perilaku dan sifat tanah termasuk yang menjadi kendala bagi aplikasi percobaannya. Dengan demikian, kita akan memfokuskan kepada sifat yang menjadi kendala tersebut kemudian mencari solusi agar sifat tersebut dapat ditanggulangi lebih dulu sebelum menuju ke tujuan utamanya. Sifat tanah berbeda-beda, ada yang berwarna hitam, kelabu, bertekstur pasir, debu, liat,dsb. Untuk membedakan tanah tersebut diperlukan klasifikasi tanah meskipun dengan cara yang sangat sederhana. Klasifikasi tanah itu sendiri berarti
17
usaha untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya. Tujuan dari klasifikasi tanah yaitu: 1. Mengorganisasi atau menata tanah 2. Mengetahui hubungan individu tanah 3. Memudahkan mengingat sifat-sifat tanah 4. Mengelompokkan tanah untuk: menaksir sifat-sifatnya, mengetahui lahanlahan terbaik, menaksir produktivitas, dan penelitian eksplorasi Tanah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu klasifikasi alami dan klasifikasi teknis. Klasifikasi alami adalah klasifikasi tanah yang didasarkan atas sifat tanah yang dimilikinya tanpa menghubungkan dengan tujuan penggunaan tanah tersebut. Klasifikasi ini memberikan gambaran dasar terhadap sifat fisik,kimia, dan mineralogi tanah yang dimiliki masing-masing kelas yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan berbagai penggunaan tanah. Sedangkan klasifikasi teknis adalah klasifikasi tanah yang didasarkan sifat-sifat tanah yang mempengaruh kemampuan tanah untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Misalnya klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman perkebunan, maka tanah akan diklasifikasikan atas dasar sifat-sifatr tanah yang mempengaruhi tanaman perkebunan tersebut seperti keadaan drainase tanah, lereng, tekstur tanah, dan lainnya. Dalam pengertian sehari-hari pengklasifikasian tanah sering diartikan sebagai klasifikasi alami. Banyak negara yang menggunakan sistem klasifikasi tanah secara alami bahkan di Indonesia dikenal tiga sistem pengklasifikasian tanah yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor, FAO/UNESCO, dan USDA (Amerika Serikat). Seperti halnya sistem klasifikasi hewan atau tanaman, klasifikasi tanah juga mengenal berbagai kategori klasifikasi. Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk membedakan tanah pada kategori tinggi juga merupakan pembeda pada kategori rendah, sehingga jumlah faktor pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.
18
2.4.1 Sistem Klasifikasi Tanah Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor Sistem klasifikasi tanah yang digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor adalah sistem yang dikembangkan oleh Dudal-Soepraptohardjo (1957), sistem tersebut sebenarnya mirip dengan sistem yang berkembang di AS oleh Baldwin, Kellogdan Thorp (1938): Thorn dan Smith (1949) dengan beberapa modifikasi. Perkembangan selanjutnya, sistem menurut Dudal-Soepraptohardjo (1957), terus disempurnakan sesuai dengan Sistem AS yg baru (Soil Taxonomy, 1975) dan dari USDA terutama dalam definisi jenis-jenis tanah (great group) dan macam tanah (subgroup). Taksonomi tanah berdasarkan sistem Dudal-Soepraptohardjo mendasarkan pada penampilan profil tanah dan sejumlah ciri-ciri fisika dan kimia. Dasar sistem ini adalah dari Rudi Dudal, ahli tanah dari Belgia, yang dimodifikasi untuk situasi Indonesia oleh M. Soepraptohardjo. Sistem ini disukai oleh pekerja lapangan pertanian karena mudah untuk diterapkan di lapangan. Versi aslinya dirilis pada tahun 1957. Modifikasinya dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1978 dan 1982. Sistem ini (dan modifikasinya) berlaku khusus untuk Indonesia, dengan mengadopsi beberapa sistem internasional, khususnya dalam penamaan dan pemberian kriteria. Berikut adalah klasifikasi tanah Indonesia menurut sistem DudalSoepraptohardjo (D-S), diberikan dengan padanannya menurut empat sistem klasifikasi lain.
19
Tabel
2.
Klasifikasi Tanah di Indonesia menurut Sistem DudalSoepraptohardjo dan Padanannya dengan Empat Sistem Klasifikasi lain
DudalSoepraptohardjo (D-S) (19571961)
Modifikasi PPT atas D-S (1978/1982)
FAO/UNESC O (1974)
Tanah alluvial
Fluvisol
Andosol
Andosol
Andosol
Andisol
Kambisol
Cambisol
Cambisol
Inceptisol
Grumusol
Vertisol
Vertisol
Vertisol
Latosol
Kambisol, Latosol, Lateritik
Cambisol, Litosol, Ferralsol
Litosol
Litosol
Litosol
Mediteran
Mediteran
Luvisol
Organosol
Organosol
Histosol
Chromic Luvisols Histosol
Inceptisol, Ultisol, Oxisol Entisol (subkelompok lithic) Alfisol, Inceptisol Histosol
Podsol
Podsol
Podsol
Podzols
Spodosol
Tanah aluvial (endapan, alluvial soil) Andosol Tanah Hutan Coklat (Brown Forest Soil) Grumusol
World Reference Base (WRB) (2007)
Soil Survey Staff USDA (1975 – 1990)
Entisol, Inceptisol
Podsolik Merah Kuning Podsolik Coklat Podsolik Coklat Kelabu
Podsolik
Acrisol
Ultisol
Kambisol
Cambisol
Inceptisol
Podsolik
Acrisol
Ultisol
Regosol
Regosol
Regosol
Entisol, Inceptisol
Renzina
Renzina
Rendzina
Calcic Leptosols
Rendoll
-
Ranker
Ranker
Acidic Leptosols
-
20
Sistem yang dikenal dengan nama ”Sistem Dudal-Supraptohardjo” ini menggunakan 6 kategori, yaitu: Golongan (ordo) Kumpulan (Subordo) Jenis (Greatgroup) Macam (Subgroup) Rupa (Famili) Seri (seri ) Menurut Shalih (2007), pada tingkat ordo dan subordo yang tidak dikenal, tanah diberi nama dengan nama mulai jenis tanah (Great group). Pada tingkat rupa dan seri penciri utamanya tekstur dan drainase tanah. Jenis Tanah :
Latosol
Macam Tanah :
Latosol Argilik
Rupa :
Latosol Argilik, tekstur halus, drainase baik
Seri :
Bengkulu (Latosol Argilik, tekstur halus, drainase baik)
Jenis Tanah dibedakan atas: Organosol
Litosol
Renzina
Grumusol
Gleisol
Aluvial
Regosol
Andosol
Latosol
Lateritik
Kambisol
Podsolik
Mediteran
Planosol
Podsol