AIDS

Download penderita HIV/AIDS. Hal itu menunjukkan adanya kecemasan akan diskriminasi yang dihadapi oleh penderita HIV/AIDS. Keadaan ini semakin terli...

0 downloads 493 Views 274KB Size
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Depkes RI., 2006). AIDS merupakan fase akhir dalam perjalanan infeksi HIV. Seseorang yang telah terinfeksi HIV belum dapat dikatakan bahwa orang tersebut menderita AIDS, namun seseorang yang menderita AIDS sudah dipastikan bahwa orang tersebut telah terinfeksi HIV. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang telah terinfeksi HIV tidak secara langsung dapat didiagnosis menderita AIDS karena proses perjalanan HIV hingga menimbulkan AIDS memerlukan waktu yang lama dan bervariasi antara individu yang satu dengan individu yag lain (Madyan, 2009). Perkembangan penyakit sejak seseorang terinfeksi HIV hingga menjadi AIDS umumnya berlangsung delapan hingga sepuluh tahun jika tidak disertai terapi antiretroviral (Stolley dan Glass, 2009). Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala penyakit tertentu sebagai akibat dari penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh HIV atau jika ditemukan jumlah CD4 dalam darah kurang dari 200/mm3 (Depkes RI., 2006). Angka penderita HIV/AIDS di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kecenderungan penularan infeksi HIV mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal penemuan kasus HIV/AIDS di Indonesia, penyakit ini banyak menginfeksi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pelanggan-pelanggannya serta

1

2

kaum homoseksual. Kecenderungan ini berbeda dengan keadaan saat ini dimana penderita HIV/AIDS mulai meluas ke ibu-ibu rumah tangga yang mendapatkan infeksi HIV dari suaminya dan berlanjut ke bayi-bayi yang terlahir dari ibu yang telah positif terinfeksi HIV (Depkes RI. 2006). Pergeseran kecenderungan penularan ini menyebabkan penderita HIV/AIDS merata di semua tingkatan usia. Menurut data WHO (2014), total kasus infeksi HIV di akhir tahun 2012 mencapai 75 juta orang. Lebih dari 36 juta orang meninggal akibat AIDS di seluruh dunia sejak penyakit ini ditemukan untuk pertama kalinya pada tahun 1981. Data WHO juga menunjukkan bahwa 0,8% orang dewasa (15-49 tahun) di seluruh dunia hidup dengan HIV. Data dari UNAIDS (2013) menyebutkan bahwa sebanyak 4,9 juta penduduk Asia Pasifik dinyatakan telah terinfeksi HIV di tahun 2012. Data tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah remaja berusia 15-24 tahun yang menderita HIV mencapai 690.000 orang. Data penderita HIV/AIDS di Indonesia menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) menunjukkan bahwa sejak 1 April 1987 hingga 31 Desember 2013 sebanyak 127.416 orang telah terinfeksi HIV, 52.348 orang menderita AIDS, dan 9.585 orang meninggal karenanya. Bersumber dari data itu pula diketahui bahwa penemuan kasus baru dan kematian yang dilaporkan sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2013 sebanyak 29.037 orang dinyatakan positif terinfeksi HIV, 5.608 orang terdiagnosis AIDS, dan 726 orang meninggal dunia. Data persebaran penderita AIDS menurut tingkat usia di Indonesia dijabarkan dalam tabel 1.

3

Tabel 1. Jumlah Penderita AIDS Berdasarkan Tingkat Usia Golongan Umur Jumlah Penderita AIDS Kurang dari 1 tahun 234 orang 1 – 4 tahun 921 orang 5 – 14 tahun 418 orang 15 – 19 tahun 1.710 orang 20 – 29 tahun 17.892 orang 30 – 39 tahun 15.204 orang 40 – 49 tahun 5.628 orang 50 – 59 tahun 1.733 orang Lebih dari 60 tahun 522 orang Tidak diketahui 8.086 orang Sumber: Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) Data dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) menyebutkan bahwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah kumulatif infeksi HIV mencapai 2.179 orang dan 916 orang menderita AIDS. Jumlah kejadian kasus HIV/AIDS yang cukup besar tersebut menyebabkan Yogyakarta menduduki peringkat ke-7 propinsi dengan prevalensi HIV/AIDS terbanyak di Indonesia setelah Papua, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku. Berbagai masalah dapat muncul pada penderita HIV/AIDS, baik yang berasal dari lingkungan sekitarnya atau dari dalam dirinya sendiri. Menurut Gaudine et al. (2010), terdapat empat macam permasalahan yang sering dialami penderita HIV/AIDS terkait lingkungan sekitarnya, yaitu penghindaran, pengalaman marah dan penolakan, dianggap sebagai penyakit sosial, serta perilaku menyembunyikan penyakitnya agar tidak dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya. Permasalahan tidak hanya dihadapi oleh penderita HIV/AIDS, terdapat pula tujuh permasalahan yang sering dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota penderita

HIV/AIDS.

Permasalahan

tersebut

antara

lain

mendapatkan

penghindaran dari tetangga, dipandang sebagai keluarga yang tidak dapat mendidik

4

anak-anaknya dengan baik, diskriminasi dari petugas kesehatan, merasakan stres ketika mendengar orang lain membicarakan tentang HIV/AIDS, berusaha menjaga rahasianya, mengalami kesulitan dalam hal finansial, dan perasaan takut tertular HIV (Gaudine et al., 2010). Zukoski dan Thorburn (2009) menambahkan bahwa HIV/AIDS masih dianggap sebagai penyakit kotor oleh masyarakat. Stigma seperti ini membentuk anggapan dan perilaku diskriminasi sosial dalam masyarakat. Baik stigma maupun diskriminasi yang berlaku di masyarakat sangat berhubungan dengan penurunan tingkat kesehatan penderita HIV/AIDS. Hal itu disebabkan adanya stigma dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS dapat meninggikan tingkat depresi, memperbesar keparahan gejala AIDS, menurunkan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan yang berakibat pada rendahnya kepuasan hidup penderita, penurunan akses pelayanan kesehatan akibat rasa malu dan perasaan takut bertemu dengan orang lain, serta peningkatan rasa kesepian. Penderita HIV/AIDS juga mengatakan bahwa adanya stigma dan diskriminasi yang melekat dalam diri mereka berakibat buruk terutama pada hilangnya pendapatan, isolasi dari komunitas, tidak dapat berpartisipasi sebagai anggota produktif suatu masyarakat, hingga kerap memunculkan ide bunuh diri (UNAIDS, 2013). Borton et al. (2011) menyebutkan bahwa tekanan yang ditimbulkan oleh adanya stigma yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan rendahnya penerimaan diri, kepercayaan diri, kreativitas, harga diri, serta kemampuan seseorang untuk menunjukkan perilaku nonverbal. Penelitian Behravan dan Abachi (2012) juga menyebutkan bahwa stigma negatif yang berkembang di masyarakat

5

memiliki efek negatif terhadap hubungan sosial dan berkurangnya sumber dukungan serta penerimaan sosial, terutama hubungan dalam keluarga. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS biasanya tidak mau menceritakan permasalahannya pada orang lain karena perasaan takut hal itu akan membuat orang-orang di sekitarnya menolak keberadaannya. Mereka umumnya memiliki pengalaman terpisah dari lingkungan sosial. Keadaan semacam ini akan meningkatkan kemiskinan, penurunan harga diri, ketidakpuasan, dan stres. Wahyu et al. (2012) menyebutkan bahwa orang dengan HIV/AIDS mengalami perubahan baik dari dalam diri maupun luar diri mereka. Perubahan yang terjadi ini membuat mereka memiliki persepsi yang negatif tentang diri mereka sendiri dimana hal ini akan mempengaruhi konsep diri mereka. Konsep diri dapat dijabarkan dalam 5 komponen, yaitu: gambaran diri (body image), ideal diri (self idea), harga diri (self esteem), peran diri (self role), dan identitas diri (self identity) (Sunaryo, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu et al. (2012) juga mengemukakan gambaran konsep diri pada penderita HIV/AIDS secara keseluruhan berada pada kategori kurang atau bahkan sangat kurang. Salah satu penyebab kurangnya konsep diri ini adalah sikap negatif dari masyarakat. Penderita HIV umumnya telah mencoba untuk memperbaiki diri dengan bersikap baik di lingkungan masyarakat, namun sikap dan pandangan negatif dari masyarakat seakan menyudutkan mereka sehingga sangat mempengaruhi konsep diri mereka (Murni et al., 2003). Harga diri merupakan penilaian seseorang akan dirinya sendiri yang mencerminkan sikap menerima atau menolak diri sendiri serta menunjukkan

6

seberapa jauh seseorang yakin akan kemampuan diri yang mereka miliki (Nurmalasari, 2007). Harga diri yang positif tidak hanya dilihat sebagai ciri dasar dari kesehatan mental, namun juga berperan sebagai faktor perlindungan untuk tingkat kesehatan yang lebih baik serta perilaku sosial yang positif (Mann et al., 2004). Stigma yang berkembang di masyarakat terkait HIV/AIDS menyebabkan adanya dampak negatif pada hilangnya status sosial seseorang di masyarakat, kegagalan dalam kegiatan sosial, ekonomi, serta akses pada pelayanan kesehatan (Deacon, 2006). Carr dan Gramling (2004) juga menyebutkan bahwa penolakan masyarakat yang disebabkan oleh adanya stigma terkait HIV/AIDS berakibat pada penurunan ketaatan dalam pengobatan, interaksi sosial, serta dukungan sosial. Carr dan Gramling (2004) menyebutkan bahwa ketakutan yang dialami oleh penderita HIV/AIDS umumnya bukan karena diagnosis tentang penyakit yang mereka derita. Ketakutan yang mereka rasakan lebih berkaitan dengan konsekuensi psikososial yang menyertai penyakit tersebut. Pandangan masyarakat pada penderita HIV/AIDS berpotensi menimbulkan pengucilan sosial dan diskriminasi terkait stigma AIDS. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya untuk mengatasi permasalahan interaksi sosial antara orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan orang-orang di sekitarnya, khususnya keluarga terdekatnya (Varaz-Dias et al., 2005). Remaja identik dengan hubungan antara teman sebaya yang tinggi. Peergroup merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, berbagi pengalaman, hingga dapat berperan sebagai tempat remaja mencapai otonomi dan independensi (Pratiwi

7

dan Basuki, 2011). Alasan inilah yang membuat berbagai aspek dalam kehidupan remaja sangat dipengaruhi oleh teman-teman sebayanya. Remaja dengan HIV/AIDS sering mengalami tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan. Keadaan seperti itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan emosi serta kemampuan mereka dalam menjalankan kewajiban dan aktivitasnya (Zukoski dan Thorburn, 2009). Ada 2 macam respon yang biasanya muncul pada remaja dengan HIV/AIDS terkait dengan tekanan yang berasal dari teman sebayanya, yaitu respon emosi dan respon tingkah laku. Respon emosi yang sering muncul antara lain perasaan marah, putus asa, dan malu. Respon tingkah laku yang tampak seperti usaha melindungi diri dengan cara mengisolasi diri dari dunia luar serta kesulitan untuk memutuskan kapan dan kepada siapa mereka dapat mengungkapkan status mereka (Zukoski dan Thorburn, 2009). Respon seperti ini rentan menimbulkan konflik internal dan eksternal pada diri remaja sehingga berisiko menyebabkan gangguan pada hubungan antara remaja HIV/AIDS dengan orang-orang di sekitarnya. Konsep diri yang tidak stabil terutama rendahnya harga diri pada remaja sangat mempengaruhi perkembangan sosial remaja seperti kecemasan, kekerasan, serta peningkatan perilaku berisiko tinggi (Mann et al., 2004). Rendahnya harga diri yang dialami oleh remaja dengan HIV/AIDS dalam waktu lama juga menyebabkan peningkatan level depresi pada remaja tersebut (Orth et al., 2008). Informasi yang didapatkan dari narasumber selama studi pendahuluan terhadap beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak menaungi orang-orang dengan HIV/AIDS di Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

8

permasalahan utama yang dihadapi oleh penderita HIV/AIDS adalah diskriminasi dari orang-orang di sekitar mereka. Diskriminasi yang mereka terima dapat berasal dari keluarga, kenalan, bahkan petugas kesehatan di pelayanan kesehatan. Banyak penderita HIV/AIDS yang tidak lagi tinggal bersama keluarganya. Mereka merasa lebih nyaman untuk tinggal sendiri atau bersama dengan orang-orang yang menderita penyakit sama. Narasumber tersebut juga mengatakan bahwa penderita HIV/AIDS telah berusaha menjalin hubungan yang wajar dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dengan orang-orang yang tidak mengetahui keadaan mereka sebagai penderita HIV/AIDS. Hal itu menunjukkan adanya kecemasan akan diskriminasi yang dihadapi oleh penderita HIV/AIDS. Keadaan ini semakin terlihat pada perilaku menyembunyikan status penyakitnya dari orang-orang di sekitarnya demi menjaga hubungan yang wajar dengan mereka.

B. Rumusan masalah penelitian Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: adakah hubungan antara tingkat harga diri dengan kecemasan interaksi sosial

pada

remaja

yang

telah

dinyatakan

positif

menderita

Human

Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)?

9

C. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat harga diri dengan kecemasan interaksi sosial pada remaja dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). 2. Tujuan khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui gambaran tingkat harga diri pada remaja dengan Human Immunodeficiency

Virus/Acquired

Immune

Deficiency

Syndrome

(HIV/AIDS). b. Mengetahui gambaran kecemasan interaksi sosial pada remaja dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).

D. Manfaat penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, antara lain: 1. Teoritis a. Menambah pengetahuan terkait dengan tingkat harga diri dan kecemasan interaksi

sosial

pada

remaja

dengan

Human

Immunodeficiency

Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).

10

b. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya, terutama penelitian terkait dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) pada remaja. 2. Aplikatif a. Bagi tenaga kesehatan Menambah wawasan terkait konsep harga diri dan hubungannya dengan kecemasan interaksi sosial pada remaja dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) sehingga dapat membantu mereka dalam menurunkan kecemasan interaksi sosial dengan orang-orang lingkungan sekitarnya. b. Bagi masyarakat Membuka

pandangan

Immunodeficiency

masyarakat

Virus/Acquired

bahwa

Immune

penderita Deficiency

Human Syndrome

(HIV/AIDS) khususnya remaja perlu mendapatkan penerimaan sosial serta dorongan agar dapat meningkatkan perannya di masyarakat.

E. Keaslian penelitian Sepengetahuan peneliti belum ada penelitian yang secara langsung membahas tentang hubungan antara tingkat harga diri dengan kecemasan interaksi sosial pada remaja dengan HIV/AIDS. Beberapa penelitian yang telah mengkaji tentang konsep diri dan interaksi sosial pada remaja di dunia, seperti: 1. Maharani (2004) dalam sebuah penelitian berjudul: Gambaran Konsep Diri Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jaringan ODHA Yogyakarta (JOY),

11

meneliti tentang gambaran konsep diri pada ODHA yang meliputi 5 komponen konsep diri, yaitu gambaran diri, ideal diri, harga diri, penampilan peran, dan identitas diri. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran diri ODHA di JOY cukup baik. ODHA mengalami perasaan cemas akan gambaran diri mereka saat pertama kali tahu tentang penyakit mereka. Perasaan cemas itu semakin berkurang seiring berjalannya waktu hingga akhirnya mereka tidak lagi merasa cemas dan menerima keadaan diri mereka. Ideal diri yang dimiliki ODHA di JOY cukup realistis. Keadaan ini terlihat dari adanya cita-cita dan harapan yang memicu tanggung jawab ODHA di JOY untuk mewujudkannya. Harga diri yang dimiliki ODHA di JOY cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap mereka saat menemui orang asing yang telah mengetahui bahwa mereka HIV positif dan tidak ada upaya untuk menyembunyikan informasi terkait keadaan dirinya. Penampilan peran ODHA di JOY diketahui bahwa mereka tetap berusaha menjalankan peran mereka dengan baik terutama bagi mereka yang berperan sebagai tulang punggung keluarga. Identitas diri ODHA di JOY didapatkan hasil yang agak kurang sesuai karena responden yang diteliti adalah waria dan mereka tidak mau mengakui jenis kelaminnya sendiri. Faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri ODHA di JOY diantaranya adalah adanya dukungan dari keluarga, sesama penderita HIV/AIDS, serta komunitas.

12

Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang konsep diri ODHA yang dikaitkan dengan dukungan serta perawatan diri pada ODHA. Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah salah satu variabel yang diteliti, yaitu harga diri pada penderita HIV/AIDS. Hal yang berbeda dari penelitian ini antara lain: rancangan dan metode penelitian yang digunakan, subjek penelitian, serta cara pengambilan data yang dilakukan. 2. Peng et al. (2011) dalam sebuah penelitian berjudul: Factors Associated with Social Interaction Anxiety among Chinese Adolescents, meneliti tentang faktor risiko kecemasan sosial terutama kecemasan interaksi sosial pada remaja di Cina. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross-sectional. Dari penelitian ini didapatkan bahwa terdapat 3 faktor yang berhubungan dengan kecemasan dalam berinteraksi sosial pada remaja di Cina. Satu diantaranya berhubungan dengan keadaan demografi, sedang 2 lainnya berhubungan dengan karakteristik individu. Ketiga faktor tersebut antara lain rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya harga diri, dan permusuhan. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan sutu penelitian dengan menggunakan rancangan kohort untuk melihat penyebab terjadinya kecemasan interaksi sosial berdasarkan dengan faktor risiko yang telah diteliti. Persamaan dari penelitian ini adalah salah satu variabel yang diteliti, yaitu kecemasan interaksi sosial, usia subjek penelitian, dan jenis serta rancangan

13

penelitian. Hal yang berbeda dari penelitian ini antara lain: subjek penelitian, lokasi penelitian, dan teknik sampling yang digunakan. 3. Aulia et al. (2014) dalam sebuah penelitian berjudul: Hubungan Antara Harga Diri dengan Interaksi Sosial pada Orang dengan HIV AIDS di Yayasan Lentera Minangkabau Support Tahun 2013, meneliti tentang hubungan harga diri dengan interaksi sosial pada ODHA di Yayasan Minangkabau Support Padang. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 45 orang. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara harga diri dan interaksi sosial. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Spiritia di tahun 2012 yang menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan bagian dari harga diri dan hal tersebut mempengaruhi kehidupan sosial ODHA. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian tentang harga diri dengan interaksi sosial dengan responden yang berada dalam lingkungan nonyayasan. Persamaan dari penelitian ini adalah salah satu variabel yang digunakan, yaitu harga diri, penyakit yang diderita oleh subjek penelitian, jenis penelitian, dan rancangan penelitian. Hal yang berbeda dari penelitian ini antara lain: usia subjek penelitian dan lokasi penelitian. 4. Varas-Diaz et al. (2005) dalam sebuah penelitian berjudul: AIDS-Related Stigma and Social Interraction: Puerto Ricans Living with HIV/AIDS, meneliti tentang peran interaksi sosial dalam proses stigmatisasi serta konsekuensi

14

adanya stigma terkait AIDS pada aktivitas harian dan relasi sosial partisipan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan cara wawancara semi terstruktur dan mendalam. Penelitian ini menjelaskan bahwa stigma yang berkembang di lingkungan sekitar pasien dengan HIV/AIDS menimbulkan diskriminasi dari orang-orang sekitarnya. Diskriminasi tersebut dapat berasal dari anggota keluarga, teman, pasangan seksual, rekan kerja, atau profesi tenaga kesehatan. Keadaan ini membuat orang-orang di sekitar penderita mengucilkan mereka. Hal tersebut mempengaruhi pada pola interaksi sosial penderita HIV/AIDS. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dikembangkannya upayaupaya untuk mengurangi stigma terkait HIV/AIDS di masyarakat. Persamaan dari penelitian ini adalah salah satu variabel yang digunakan, yaitu interaksi sosial dan penyakit yang diderita oleh subjek penelitian. Hal yang berbeda dari penelitian ini antara lain: rancangan dan metode penelitian yang digunakan, subjek penelitian, lokasi penelitian, cara pengambilan data yang digunakan, serta salah satu variabel yang diteliti.