ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA

Download Latar Belakang. Kontroversi mengenai kebijakan kenaikan harga BBM selalu menghangatkan suhu sosial dan politik dan selalu mendapatkan banya...

0 downloads 401 Views 915KB Size
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA MAKRO EKONOMI (ANALISIS MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh: Haryanto

Latar Belakang Kontroversi mengenai kebijakan kenaikan harga BBM selalu menghangatkan suhu sosial dan politik dan selalu mendapatkan banyak tantangan. Hal ini tidak terlepas dari isu subsidi BBM dalam APBN yang dapat dianggap sebagai “bom waktu yang tumbuh” karena nilainya terus meningkat sehingga jika tidak segera diatasi akan membuat APBN “jebol” pada masa mendatang. Nilai subsidi BBM saat ini bisa menghabiskan 20% belanjanya, bisa terus meningkat, sehingga subsidi BBM harus dikurangi. Dilihat dari argumen ekonomi bisa dipahami bahwa pengurangan subsidi BBM memang perlu dilakukan dan mestinya pengalihannya dianggarkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin atau kegiatan yang bisa memberikan kesejahteraan sosial yang besar. Namun terdapat banyak masalah dalam kebijakan yang tampak bagus tadi. Penyediaan anggaran subsidi oleh Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini jumlahnya mengalami peningkatan yang cukup besar. Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Belanja subsidi terdiri dari subsidi energi dan subsidi non energi. Dalam rentang waktu 2007-2012, realisasi anggaran belanja untuk subsidi cukup berfluktuasi, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,3 persen per tahun, atau secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 94,9 triliun/tahun. Subsidi energi (BBM dan Listrik) merupakan alokasi anggaran yang cukup besar. Realisasi anggaran belanja subsidi BBM dan Listrik, dalam rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp. 85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, yaitu dari Rp. 116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp. 202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012. Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut, antara lain disebabkan oleh: (1) perubahan parameter subsidi, antara lain harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, volume BBM bersubsidi, kuantum raskin, jumlah rumah tangga sasaran (RTS), volume pupuk dan benih bersubsidi; dan (2) berbagai kebijakan Pemerintah antara lain berupa kebijakan penetapan harga BBM dalam negeri dan tarif tenaga listrik serta kebijakan dalam rangka mendukung program surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsidi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defisit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah, dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defisit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Perkembangan realisasi belanja subsidi tahun 2007-2012 disajikan dalam Tabel 1 berikut:

1

Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013

Disisi lain, isu mengenai defisit transaksi berjalan hingga saat ini juga masih menjadi pembahasan yang menarik terkait perkembangan ekonomi Indonesia. Data yang diolah dari World Economic Outlook menunjukkan bahawa defisit transaksi berjalan di Indonesia tahun 2012 mencapai USD 3,89 Milyar atau sebesar 0,42% dari PDB. Defisit transaski berjalan ini merupakan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia sejak tahun 2005. Penyebab utamanya adalah adanya surplus neraca perdagangan yang terus menyusut sehingga tidak dapat mengimbangi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang semakin melebar. Tingginya impor BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat juga ditengarai sebagai penyebab defisit transaski berjalan. Berdasarkan data, selama Januari – Juli 2012 ini, realisasi konsumsi BBM telah mencapai sekitar 25,6 juta kilo liter atau sekitar 64% dari kuota volume BBM tahun 2012. Tingginya realisasi volume konsumsi BBM ini, tentunya harus dipenuhi melalui impor karena kemampuan produksi BBM domestik yang tidak mencukupi masih lebih besar daripada surplus neraca perdagangan gas. Defisit transaski berjalan juga telah menyebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD yang cenderung melemah selama tahun 2012. Sejauh ini, Rupiah menunjukkan kinerja yang paling buruk jika dibandingkan dengan mata uang pada kawasan Asia Tenggara. Implikasi dari pelemahan Rupiah ini menyebabkan cadangan devisa tergerus dari sebesar USD111,99 milyar menjadi USD106,6 milyar pada Juli 2012 sebelum menjadi USD108,99 milyar pada Agustus 2012. Gambaran tentang perkembangan transaksi berjalan sejak tahun 2000 s.d. 2012 terlihat dalam gambar 1 berikut. Gambar 1: Perkembangan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012

Sumber:

Diolah

dari

World

Economic

Outlook

(http://world-economic-outlook.findthedata.org/

compare/2583-2584/Indonesia-vs-Indonesia#/) 2

Dari perspective fiskal, selama kurun waktu 2005–2012, realisasi APBN memperlihatkan defisit yang cenderung meningkat. Pada periode 2005–2012, realisasi pendapatan negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB, realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan defisit fiskal berada pada kisaran 0,9 persen sampai dengan 2,4 persen terhadap PDB. Kecenderungan peningkatan defisit APBN tersebut tidak terlepas dari pengaruh adanya gejolak eksternal yang berimbas pada perekonomian nasional. Terdapat setidaknya 3 (tiga) gejolak eksternal yang berpengaruh terhadap peningkatan defisit APBN, yaitu: (1) Lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 112,73 per barel pada tahun 2012. Pada tahun 2005, harga minyak masih berada pada posisi USD 53,66 per barel, dan terus melonjak hingga mencapai USD 111,555 per barel pada tahun 2011 dan USD 112,73 per barel pada tahun 2012; (2) lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai, cabai, bawang, dan daging yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%. Masalahnya, beberapa produk dan bahan pangan yang harganya melonjak, sebagian diimpor untuk memenuhi kekurangan produksi domestik. Dalam kondisi krisis pangan, lonjakan harga ini mendorong pemerintah meningkatkan anggaran subsidi pangan yang juga dibiayai APBN; dan (3) Perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan Eropha, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit keuangan. Fenomena pertama dan kedua merupakan penyebab utama membengkaknya belanja, seiring peningkatan subsidi. Subsidi energi (BBM dan Listrik) merupakan alokasi anggaran yang cukup besar. Realisasi anggaran belanja subsidi BBM dan Listrik, dalam rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp. 85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, yaitu dari Rp. 116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp. 202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012. Sementara itu, dari sisi penerimaan negara tercatat bahwa rata-rata pertumbuhan penerimaan negara selama kurun waktu 2006-2013 hanya tumbuh sebesar 14,3%/tahun; sedangkan, dari sisi belanja negara selama kurun waktu yang sama tumbuh sebesar 15,1 %. Mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang masih belum sepenuhnya stabil, dan dengan memperhatikan sumber-sumber penerimaan yang dapat dihimpun dibandingkan dengan tuntutan kebutuhan anggaran yang dihadapi ke depan, kebijakan fiskal pada tahun 2013 diperkirakan masih akan tetap ekspansif, di mana belanja negara lebih besar dibandingkan pendapatan negara. Hal ini diperlukan terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kondisi perkembangan APBN dan kondisi surplus/defisit sejak tahun 2005 s.d. 2013 terlihat dalam Gambar 2. Sementara itu, gambaran tentang defisit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013 tercermin dalam Gambar 3 berikut ini.

3

Gambar 2: Perkembangan APBN dan Kondisi Surplus/Defisit 2005 s.d. 2013

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas, 2014

Gambar 3: Gambaran Defisit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas, 2014

Permasalahan fiskal, khususnya defisit neraca perdagangan dan membengkaknya subsidi migas inilah yang menghantui stabilitas perekonomian Indonesia hingga tahun 2014 ini. Untuk itu, salah satu opsi klasik yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan meningkatkan harga BBM. Secara teoretis, kenaikan harga BBM akan mengakibatkan naiknya biaya produksi, naiknya biaya distribusi dan menaikan juga inflasi. Harga barang-barang menjadi lebih mahal, daya beli merosot, kerena penghasilan masyarakat yang tetap. Ujungnya perekonomian akan stagnan dan tingkat kesejahteraan terganggu. Di sisi lain, kenaikan harga serta penurunan permintaan barang dan jasa dapat mendorong meningkatnya kredit macet dan semakin sempitnya lapangan kerja karena dunia usaha menyesuaikan produksinya. Dengan meningkatnya biaya operasi perusahaan, maka kemungkinan akan terjadi PHK. Terjadinya inflasi ini tidak dapat dihindari karena bahan bakar, merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat, dan merupakan jenis barang komplementer. Meskipun ada berbagai cara untuk mengganti penggunaan BBM, tapi BBM tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Inflasi akan terjadi karena apabila subsidi BBM 4

dicabut, harga BBM akan naik. Masyarakat mengurangi pembelian BBM. Uang tidak tersalurkan ke pemerintah tapi tetap banyak beredar di masyarakat. Jika harga BBM naik, harga barang dan jasa akan mengalami kenaikan pula. Dengan dasar pemikiran diatas, melalui model CGE, makalah ini mencoba melakukan simulasi, sejauhmana dampak kebijakan kenaikan harga BBM terhadap kinerja perekonomian Indonesia yang tercermin melalui perubahan berbagai indikator makro ekonomi. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk: (1) melakukan simulasi sederhana model CGE untuk menjelaskan dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja makroekonomi, dan (2) memberikan usulan rekomendasi terkait kebijakan subsidi BBM Permasalahan Masalah fiskal, khususnya defisit neraca perdagangan dan membengkaknya subsidi migas, telah menjadi beban bagi APBN dan dapat berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian Indonesia. Untuk itu, salah satu opsi klasik dalam mengatasi masalah fiskal, yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia saat ini adalah dengan meningkatkan harga BBM. Kenaikan harga BBM dapat mengakibatkan naiknya biaya produksi, naiknya biaya distribusi dan menaikan juga inflasi, serta perekonomian akan stagnan dan tingkat kesejahteraan terganggu. Untuk itu, pemerintah harus hati-hati dalam menyikapi opsi pengurangan subsidi BBM melalui kenaikan harga BBM. Berbagai simulasi dampak kenaikan harga BBM ini perlu dilakukan untuk menentukan kebijakan yang tepat agar apabila opsi ini dipilih, maka kesejahtaeraan masyarakat secara umum tidak akan terganggu. Metodologi Salah satu perkembangan menarik dalam analisis ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan metodologi secara matematik, selama satu dasawarsa terakhir adalah meningkatknya penggunaan model kesimbangan umum yang dapat dikomputasi (Computable General Equilibrium/CGE). Konsep General Equilibrium (GE) merupakan sebuah formalisasi dari kenyataan bahwa pasar saling terkait satu sama lain. Suatu perubahan pada sisi permintaan dan penawaran di suatu pasar cenderung mempunyai dampak reperkusi (keterkaitan) pada kondisi harga equilibrium di pasar-pasar yang lain. Pendekatan CGE mencoba untuk menerpakan konsep GE tersebut sebagai alat analisis yang berorientasi empiris untuk menganalisis isu-isu yang terkait dengan alokasi sumber daya pada ekonomi berbasis mekanisme pasar. Selama ini, CGE banyak digunakan oleh para pembuat kebijakan sebagai alat untuk menganalisis berbagai aspek dari kebijakan ekonomi. Model CGE sering digunakan untuk mengkaji dampak dari berbagai kebijakan ekonomi yang mempunyai potensi imbas dampak antar sektor yang besar. Seberapa penting keterkaitan antar pasar dalam menganalisis dampak sebuah kebijakan dapat diilustrasikan sebagai berikut: Pengurangan subsidi BBM berdampak pada meningkatnya harga BBM, sehingga 5

permintaan BBM akan menurun. Ini adalah dampak partial equilibrium. Dalam perekonomian pasar terbuka, dimana pasar saling terkait, hampir semua orang memahami bahwa akan terjadi efek berantai dari naiknya harga BBM. Secara teoretis, untuk sektor transportasi, kenaikan harga BBM akan menggeser kurva penawaran angkutan umum bergerak ke kiri yang berakibat meningkatnya harga transportasi. Kenaikan harga transportasi akan mengakibatkan penurunan penawaran barangbarang lain yang menggunakan transportasi sebagai inputnya. Sementara itu, untuk sektor tenaga kerja, kenaikan harga BBM akan mengakibatkan kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke kiri yang dapat menyebabkan menurunnya tingkat upah, atau bahkan pengangguran. Gambar 4 berikut memperlihatkan sirkulasi arus perekonomian. Gambar 4: Mekanisme Sirkulasi Perekonomian Factor Market

Factor Cost

Wages & Rents Cost

Domestic Private Savings

Transfer s

Activities

Intermediate Factor Cost

Households

Wages & Rents Cost

Commodity Market

Sales

Eksport

Government Savings

Government Transfer s

Wages & Rents Cost

Wages & Rents Cost

Foreign Transfer s

Import

Rest of the World

Saving/Investment

Foreign Savings Rents

Sumber: Hasil Kajian Pengembangan Model Ekonomi Makro, Bappenas, 2014.

Model CGE mencoba untuk menjelaskan arus sirkular tersebut ke dalam sebuah model kuantitatif yang komprehensif. CGE menjelaskan dua jenis pasar dalam perekonomian, yaitu: (a) pasar barang, dan (b) pasar faktor produksi. Sektor (activities) mensuplai barang dan jasa di pasar komoditi yang kemudian di beli oleh pengguna (users). Pengguna ini antara lain: industri (sebagai intermediate input), rumah tangga, pemerintah, investor, dan eksportir. Industri juga membeli faktor produksi dari pasar faktor produksi, dan sebagai imbalannya, rumah tangga memperoleh upah/gaji dan sewa sebagai balas jasa dari kepemilikan modal. Dalam analisis kebijakan, model CGE digunakan untuk mengeksplorasi berbagai skenario dimana kebijakan berubah dan di dalam model didapatkan solusi tentang bagaimana perubahan yang terjadi memberi dampak pada perekonomian. Skenario yang dibuat tidak harus selalu didesain untuk realistis dalam arti hal tersebut “akan” terjadi, tetapi mampu memberikan informasi kepada pembuat kebijakan mengenai bobot dari berbagai hal potensial yang akan berdampak pada perubahan kebijakan. Penyusunan model CGE dalam analisis ini bertumpu pada data yang dikenal dengan tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Penggunaan sumber data ini sangat penting mengingat SNSE atau Social Accounting Matrix (SAM) merupakan salah satu sistem 6

pendataan dan juga alat analisis penting yang dikembangkan untuk mengamati dan menganalisis apakah sebuah kebijakan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuat distribusi pendapatan semakin merata di suatu negara. Analisis dalam makalah ini menggunakan data SAM Indonesia tahun 2005 sebagai basis data untuk mewakili kondisi perekonomian Indonesia yang akan dianalisis. Analisis Dalam analisis ini akan dijelaskan dampak dari dua simulasi utama yang akan dilakukan, apabila terjadi peningkatan harga BBM rata-rata sebesar 12,2% (Premium naik Rp. 1.000,-/liter atau 15,4% dari Rp. 6.500,- menjadi Rp. 7.500,-/liter dan Solar naik Rp. 500,-/liter atau 9,1% dari Rp. 5.500,-/liter menjadi Rp. 6.000,-/liter), yaitu: 1. Dampaknya terhadap kinerja makro ekonomi apabila tanpa disertai kompensasi Bantuan Langsung Sementara (Balsem) 2. Dampaknya terhadap kinerja makro ekonomi apabila disertai dengan kompensasi Bantuan Langsung Sementara (Balsem) Berdasarkan data yang bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) Tahun 2013 yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), tercatat bahwa Jumlah Rumah Tangga Miskin di Indonesia sebanyak 24 Juta RT. Sementara itu program Bantuan Langsung Sementara (Balsem) hanya diberikan kepada 15,5 juta RT (25% dari total jumlah RT di Indonesia), yang masuk kategori termiskin. Untuk itu, dalam analisis ini diasumsikan total RT di Indonesa sebanyak 62 juta RT. Hasil Analisis: 1. Dampak kenaikan harga BBM sebesar 12,2% terhadap kinerja makro ekonomi apabila tanpa disertai kompensasi Bantuan Langsung Sementara (Balsem) Dari simulasi yang dilakukan, dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja makro ekonomi meliputi indikator-indikator: indek harga konsumen, kesempatan kerja, impor, ekspor, konsumsi rumah tangga, PDB Riil, output sektoral, kemiskinan, dan pemerataan pendapatan. Hasil simulasi disajikan dalam bentuk gambar-gambar sebagai berikut: a. Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Indikator Makro

Gambar 5: Dampak Kenaikan Harga BBM 12.2% terhadap Indikator Makro

7

Gambar 5 diatas memperlihatkan bahwa kenaikan harga BBM sebesar 12,2% (tanpa diikuti program kompensasi) akan berdampak pada penurunan IHK sebesar 0,066% relatif terhadap baseline, penurunan kesempatan kerja secara umum 0,576%, penurunan impor sebesar 2,146%, penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 1,189%, dan penurunan PDB Riil sebesar 0,154% relatif terhadap baseline. Sementara itu, ekspor akan mengalami peningkatan sebesar 0,065 relatif terhadap baseline. b. Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan

Gambar 6: Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Kemiskinan

Sementara itu, sebagiamana ditunjukkan oleh Gambar 6, bahwa kenaikan harga BBM 12,2% akan berdampak pada meningkatnya jumlah kemiskinan rata-rata sebesar 0,248%, yaitu kemiskinan di perkotaan akan meningkat sebesar 0,239%, dan di perdesaan akan meningkat sebesar 0,256%.

Gambar 7: Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Distribusi Pendapatan

Dampak terhadap distribusi pendapatan, terlihat bahwa 10% kelompok penduduk termiskin di perkotaan akan mengalami penurunan kesejahteraan sekitar 0,8% dan 10% penduduk terkaya di perkotaan akan mengalami penurunan kesejahteraan sekitar 1,2% relatif terhadap baseline. 8

c. Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Output Sektoral

Gambar 8: Dampak Kenaikan Harga BBM sebsar 12,2% terhadap Output Sektoral Industri dan Sektor Pertanian

Dari gambar 8 terlihat bahwa kenaikan harga BBM 12,2%, dampak positif tertinggi adalah meningkatnya produksi industri pertanian minyak dan lemak dan industri pertanian rotan dan serat yang masing-masing meningkat sebesar 0,371% dan 0,349% relatif terhadap base line. Sementara itu, dampak negatif paling buruk terlihat pada menurunnya produksi sektor industri BBM dan angkutan air, masing-masing turun sebesar 3,924% dan 3,097% relatif terhadap base line. d. Dampak Kenaikan Harga BBM 12,2% terhadap Kesempatan Kerja Sektoral

Gambar 9: Dampak Kenaikan Harga BBM sebesar 12,2% terhadap Kesempatan Kerja Sektoral

9

Dilihat dari segi penyerapan tenaga kerja, kenaikan harga BBM 12,2%, berdampak positif pada peningkatan kesempatan kerja khususnya di sektor industri minyak dan lemak dan industri rotan dan serat, masing-masing meningkat sebesar 0,867% dan 0,646% relatif terhadap base line. Sementara itu, dampak terburuk dalam hal penyerapan tenaga kerja, terjadi pada sektor industri BBM dan angkutan air masingmasing turun sebesar 13,335% dan 5,860% relatif terhadap base line. 2. Dampak Kenaikan Harga BBM sebesar 12,2% terhadap Kinerja Makro Ekonomi Apabila Disertai dengan Kompensasi Bantuan Langsung Sementara (Balsem) Untuk melakukan simulasi dampak kenaikan harga BBM disertai dengan program kompensasi, akan dilakukan dua jenis simulasi, yaitu (a) Simulasi Dampak terhadap Kemiskinan, dan (b) Simulasi Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Makro. Asumsi dari simulasi ini antara lain: (a) jumlah RT Miskin sebanyak 24 juta RT (berdasarkan data yang Basis Data Terpadu/BDT Tahun 2013 yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K), (b) Jumlah RT di Indonesia sebanyak 62 juta RT, (c) Besarnya kompensasi/Balsem sebesar 1 juta rupiah/RT dalam tahun dimana terjadi kenaikan harga BBM tersebut (atau Rp. 200.000,-/bulan/RT selama 5 bulan). a. Simulasi Dampak Terhadap Kemiskinan. Dengan keterbatasan dana APBN, pemerintah perlu menentukan berapa jumlah ideal RT miskin yang perlu mendapat kompensasi sehingga apabila harga BBM dinaikkan sebesar 12,2% tidak akan meningkatkan jumlah RT miskin, atau bahkan dapat mengurangi jumlah RT miskin. Simulasi dilakukan mulai dengan pemberian kompensasi kepada 1 juta RT miskin, 2 juta RT miskin, dst sd Rp. 24 juta RT miskin. Hasil simulasi terlihat dalam Gambar 10 berikut:

Persen (%)

Gambar 10: Hasil Simulasi Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kemiskinan dengan Kompensasi Program Bantuan Langsung Sementara

0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 -0.100 -0.200 -0.300 -0.400 -0.500 -0.600 -0.700 -0.800 -0.900 -1.000

0.250 0.251 0.253 0.254 0.255

1 Juta RT

2

3

4

5

6

7

8

-0.253 -0.288

9

10

12

15

20

24 Juta RT

-0.479 -0.649 -0.648 -0.645 -0.642 -0.637 -0.633

Kemiskinan

10

Berdasarkan hasil simulasi diatas, dapat dijelaskan bahwa kenaikan harga BBM sebesar 12,2% yang disertai dengan pemberian kompensiasi dalam bentuk, semisal program bantuan langsung sementara, akan efektif dalam menanggulangi kemiskinan apabila pemerintah melakukan perhitungan yang cermat mengenai berapa jumlah RT miskin yang akan menerima bantuan kompensasi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila bantuan kompensasi, yang sebesar Rp. 1.000.000,- per RT miskin hanya diberikan kepada 1 juta RT miskin s.d 5 juta RT miskin (dari total 24 juta RT miskin), maka justru akan meningkatkan jumlah RT miskin sebesar rata-rata 0,253% relatif terhadap baseline. Prosentase kenaikan angka RT miskin ini justru lebih tinggi bila dibandingkan dengan dampaknya terhadap kenikan RT miskin tanpa disertai bantuan kompensasi, yang besarnya hanya meningkat 0,248% relatif terhadap baseline (lihat Gambar 6). Pemberian kompensasi kepada 6 juta RT miskin mulai memberikan dampak yang positif terhadap penurunan jumlah RT miskin. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 10, bahwa pemberian kompensasi Rp. 1 juta kepada 6 juta RT miskin mampu mengurangi jumlah RT miskin sebesar 0,253% relatif terhadap baseline. Penurunan RT miskin akan terus terjadi dan mencapai optimum ketika kompensasi diberikan kepada 9 juta RT miskin karena akan berdampak kepada penurunan RT miskin sebesar 0,649% relatif terhadap baselines. Apabila pemberian kompensasi dilakukan kepada 10 juta RT miskin s.d. 24 juta RT miskin, maka dampaknya masih dapat menurunkan jumlah RT miskin, namun dengan prosentase penurunan yang semakin kecil, yaitu dari 0,648% (untuk 10 juta RT) menjadi 0,637% (untuk 24 juta RT miskin). b. Simulasi Dampak Terhadap Kinerja Ekonomi Makro. Simulasi dilakukan mulai dengan pemberian kompensasi kepada 1 juta RT miskin, 2 juta RT miskin, dst sd Rp. 24 juta RT miskin. Dampak hasil simulasi terhadap bebarapa indikator ekonomi makro terlihat dalam Gambar 11, berikut:

Persen (%)

Gambar 11: Hasil Simulasi Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kinerja Ekonomi Makro (Dengan Kompensasi Program Bantuan Langsung Sementara) 1.000 0.900 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 -0.100 -0.200 -0.300 -0.400 -0.500 -0.600 -0.700 -0.800 -0.900 -1.000 -1.100 -1.200 -1.300 -1.400 -1.500 -1.600 -1.700 -1.800 -1.900 -2.000 -2.100 -2.200 -2.300 -2.400

1 Juta RT

IHK

2

3

4

Kesempatan Kerja

5

6

Impor

7

8

Ekspor

9

10

12

Konsumsi RT

15

20

24 Juta RT

PDB Riil

11

Hasil simulasi memperlihatkan bahwa semakin banyak RT miskin yang diberikan bantuan akan berdampak pada semakin meningkatnya Indek Harga Konsumen (IHK), dimana ketika kompensasi diberikan kepada 1 juta RT, IHK masih menurun sebesar 0,023% tetapi kemudian IHK terus meningkat sebesar 0,884% relatiif terhadap baseline ketika kompensasi diberikan kepada 24 juta RT miskin. Sementara itu, kesempatan kerja secara nasional terus menurun dari -0,582% ketika kompensasi diberikan kepada 1 juta RT miskin terus menurun menjadi -0,677% ketika kompensasi diberikan kepada 24 juta RT. Dampak terhadap ekspor pada awalnya masih positif, namun ketika kompensasi diberikan kepada 4 juta RT miskin, maka dampaknya sudah mulai negatif dan terus negatif hingga -0,405% ketika kompensasi diberikan kepada 24 juta RT miskin. Terhadap konsumsi RT, ketika kompensasi diberikan kepada 1 juta RT miskin dampaknya paling parah yaitu konsumsi menurun sebesar -1,167%, namun dampak negatif semakin berkurang ketika kompensasi diberikan kepada 24 juta RT miskin. Pola yang sama juga terjadi pada indikator impor. Hal ini berlawanan dengan pola PDB riil, dimana semakin besar jumlah RT miskin yang menerima kompensasi, maka dampak penurunan PDB riil semakin tinggi. Secara rasional hal ini disebabkan karena dampak terhadap impor yang semakin meningkat, sementara dampak terhadap ekspor semakin menurun, sehingga mempengaruhi penurunan PDB riil. Kesimpulan Permasalahan fiskal, khususnya defisit neraca perdagangan dan membengkaknya subsidi migas, menghantui stabilitas perekonomian Indonesia hingga tahun 2014. Untuk mengatasi masalah fiskal tersebut, berbagai kemungkinan kebijakan dapat dilakukan yang salah satunya adalah dengan meningkatkan harga BBM. Namun, kontroversi mengenai kebijakan kenaikan harga BBM selalu menjadi isu yang menarik dan selalu mendapatkan banyak tantangan. Melalui model CGE, makalah ini mencoba menyajikan simulasi analisis dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja ekonomi makro, termasuk terhadap kemiskinan di Indoensia. Hasil simulasi dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara umum, dampak kebijakan kenaikan harga BBM tanpa disertai dengan kompensasi akan menurunkan kinerja ekonomi makro: jumlah RT miskin semakin meningkat, kesempatan kerja turun, impor turun, konsumsi rumah tangga turun dan PDB riil turun. Pengaruh terhadap IHK menurun dalam jangka pendek dan pengaruh terhadap ekspor naik. 2. Dampak kebijakan kenaikan harga BBM yang disertai dengan kompensasi bantuan langsung sementara tidak selalu memperbaiki kinerja makro ekonomi. Simulasi dalam makalah ini, apabila terjadi kenaikan harga BBM 12,2%, bantuan yang diberikan sebesar Rp. 1 juta setiap RT miskin, maka bantuan akan mulai efektif untuk mengatasi kemiskinan apabila diberikan kepada sekurang-kurangannya 6 juta RT miskin (kelompok RT termiskin dari 24 juta RT miskin di Indonesia). Hasil paling efektif apabila bantuan diberikan kepada 9 juta RT miskin. Validitas hasil simulasi tergantung dari asumsi yang mendasari, seperti: basis data CGE yang digunakan, data tentang jumlah RT miskin di Indonesia, besarnya kompensasi (Rp.) yang akan diberikan kepada setiap RT miskin. 3. Semakin banyak RT miskin yang menerima bantuan kompensasi maka IHK cenderung meningkat, ekspor cenderung menurun, kesempatan kerja cenderung

12

menurun; sedangkan, impor, konsumsi rumah tangga, dan PDB Riil menurun dengan kecenderungan penurunan yang semakin kecil. Rekomendasi Kebijakan 1. Dalam rangka mengatasi masalah fiskal, secara sosial-ekonomi, Pemerintah dapat saja mengambil langkah-langkah menaikkan harga BBM, yang disertai dengan kompensasi program bantuan, semacam Balsem. Namun, penentuan berapa besarnya kompensasi dan berapa besarnya jumlah RT miskin yang akan menerima kompensasi perlu di analisis secara cermat, karena apabila salah dalam menentukan berapa besarnya kompensasi dan berapa jumlah RT miskin penerima kompensasi akan justru berdampak negatif terhadap penurunan kemiskinan. 2. Karena kenaikan harga BBM secara umum berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro, maka selain kompensasi, pemerintah juga harus mengendalikan sektor-sektor riil lainya, seperti: kesempatan kerja, impor, inflasi, konsumsi rumah tangga dan PDB riil. Dalam jangka menengah perlu juga dikendalikan ekspor dan pemerataan distribusi pendapatan. Meningkatkan koordinasi antara sektor moneter dan sektor riil menjadi kunci dalam pengendalian kinerja makro ekonomi. 3. Mengingat aspek politis akan menjadi isu penting dalam kebijakan ini, maka upaya pendekatan, sosialisasi dan desiminasi informasi terhadap resiko fiskal (apabila harga BBM tidak naik) dan dampak positif kenaikan harga BBM perlu diupayakan secara intensif kepada para stakehoklders dan masyarakat secara luas.

Referensi: Abimanyu, Anggito. 2005. Kebijakan Fiskla dan Effektifitas Stimulus Fiskal di Indonesia. Aplikasi Model makro-Modfi dan CGE-Indorani. Journal Ekonomi Indonesia No. 1, Juni 2005. Bappenas, Laporan Kajian Pengembangan Ekonomi Makro, Jakarta: 2013 Bank Indonesia, Evaluasi Perekonomian Tahun 2012, Prospek 2013-2014, dan Kebijakan Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indoensia, 2013. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013. Badan Pusat Statistik. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesis 2005. Jakarta: 2005. Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1. Brian Ng, Twin Deficits: An empirical analysis on the relationship between budget deficits and trade deficits in Argentina, USA: The College of New Jersey, 2007. Fleegler, Ethan, The Twin Deficits Revisited: A Cross-Country, Empirical Approach. Durham: Duke University, 2006. Haryanto. 2013. Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Mengantisipasi Fenomena Defisit Kembar (twin defisit). Jakarta: Majalah Perencanaan Pembangunan, Edisi Desember 2013. Hossain, A dan A. Chowdurry, Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK, 1998.

13

Iskandar Simorangkir, Peranan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal terhadap Perekonomian Indonesia, dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2012. John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Deficit Hypothesis: The Effect of Fiscal Consolidation on the current Account, 2003. Mankiw, Gregory, Macroeconomics fifth edition. Worth Publisher, 2002. Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2013. Sachs, Jeffrey, and Felipe Larrain, "Macroeconomics in the Global Economy", Harverter Wheatsheaf, New York, 1993. Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi, Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, Yogyakarta: Kanisus, 2012. Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990. Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, 2001. World Economic Outlook (http://world-economic-outlook.findthedata.org/compare/25832584/Indonesia-vs-Indonesia#/)

14