Analisis Degradasi Untuk Penyusunan Arahan...............................................................................................................................(Carolyn, R.D., dkk.)
ANALISIS DEGRADASI UNTUK PENYUSUNAN ARAHAN STRATEGI PENGENDALIANNYA DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN–SALAK PROVINSI JAWA BARAT (Degradation Analysis for the Management Strategic in Gunung Halimun - Salak National Park, West Java Province) 1
2
Rully Dhora Carolyn , Dwi Putro Tejo Baskoro dan Lilik Budi Prasetyo 1 Jurusan Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana IPB 2 Departemen ITSL Fakultas Pertanian IPB, Sekolah Pascasarjana IPB 3 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB E-mail:
[email protected] Diterima (received): 2 April 2013;
Direvisi (revised): 25 April 2013;
3
Disetujui untuk dipublikasikan (accepted):15 Mei 2013
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji status degradasi hutan pada Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Peta kerapatan tajuk dihasilkan dari citra Landsat tahun 2003, 2006 dan 2011, yang selanjutnya digunakan untuk mendeteksi kelas kerapatan hutan dan tingkat degradasi hutan. Degradasi hutan terjadi akibat interaksi berbagai faktor, oleh karena itu analisis terhadap faktor-faktor yang diduga memberikan pengaruh terhadap degradasi hutan penting untuk dikaji, antara lain faktor fisik dan sosial. Teknik Stepwise Generalized Linear/Nonlinear Regression yang digunakan untuk melihat faktor-faktor ini menunjukkan bahwa jarak Desa dengan Kecamatan, laju perubahan luas lahan non pertanian, laju pertumbuhan penduduk dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luas degradasi. Memperhatikan hal tersebut maka disusunlah alternatif strategi pengendalian degradasi hutan dengan menggunakan teknik Analytic Hierarchy Process. Berdasarkan pembobotan, disimpulkan bahwa strategi yang paling penting sebagai langkah awal pengendalian degradasi hutan adalah strategi penyelarasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor dengan Surat Penunjukkan TNGHS. Kata Kunci : Degradasi Hutan, Faktor-Faktor yang Berpengaruh, Regulasi. ABSTRACT The study investigated the status of forest degradation in Gunung Halimun-Salak National Park. Forest canopy density maps derived from 2003, 2006, and 2011 Landsat satellite imagery, were used to detect the forest canopy density and forest degradation level. Forest degradation caused by interaction of many factors, therefore it is important to examine the driving factors of forest degradation, such as social and physical factors. Stepwise generalized linear/nonlinear regression models were applied. The results showed that the distance to the nearest town, the growth of builtup area (non agriculture area), population growth, and amount of agriculture family unit are significantly influencing forest degradation. Considering the driving factors, the alternative strategy have been arranged and scored by Analytic Hierarchy Process. It was concluded that synchronization between Bogor Regency regional planning and officially status authorized of the Park was the most important strategy to become starting point to manage forest degradation in Gunung Halimun-Salak National Park. Keyword : Forest Degradation, Driving Factors, Regulation. PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia yang memicu peningkatan kebutuhan akan sumber daya alam, terjadi pula peningkatan tekanan yang mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem. Faktor sosial dan ekonomi sering dijadikan alasan bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak selaras dengan lingkungan dan regulasi. Hal ini kemudian memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, termasuk hutan pada Taman Nasional. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan salah satu Taman Nasional yang berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
bagi wilayah sekitarnya. Kawasan ini ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/KptsII/2003 dengan luas 113.357 ha, yang merupakan perluasan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun (SK Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992; luas ± 40.000 ha). Perluasan kawasan TNGHS tersebut berimplikasi pada dinamika sosial, ekonomi, hukum maupun politik yang berpengaruh, langsung maupun tidak, terhadap nilai ekologi kawasan TNGHS (TNGHS, 2007). Prasetyo dan Setiawan (2006), memperkirakan dalam kurun waktu 1989 – 2004 telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS sebesar 25 % atau berkurangnya luas hutan alam sebesar 22.000 ha dengan laju kerusakan rata-rata 1.3 % per tahun. Perubahan terhadap kualitas dan kapasitas hutan
39
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 39-47
TNGHS akan berdampak bagi kemampuannya memberikan manfaat ekologi bagi wilayah sekitar Kawasan TNGHS ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan submontana dan hutan montana di Pulau Jawa yang memiliki peranan penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan ini menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi dan merupakan perlindungan fungsi hidrologis di Kabupaten Bogor, Lebak dan Sukabumi. Kawasan hutan memiliki sifat keruangan, maka proses yang terjadi di dalamnya dipengaruhi oleh berbagai faktor kewilayahan, termasuk proses degradasi hutan. Proses degradasi hutan dapat terjadi secara cepat atau berjalan lambat dan bertahap. Beberapa teknik estimasi degradasi melalui penginderaan jauh telah berkembang, salah satunya dengan menilai kerapatan tajuk/kanopi sebagai indikator degradasi hutan. Memperhatikan peran penting TNGHS dan dinamika sosial ekonomi, budaya, serta regulasi pada wilayah sekitarnya, maka analisis terhadap faktorfaktor yang diduga mempengaruhi (driving factors) proses degradasi hutan diperlukan guna penyusunan strategi yang tepat dan beradaptasi pada perubahan berbagai faktor tersebut, sehingga mampu mengendalikan atau menekan laju degradasi. Gambar 1 secara sederhana menyajikan bagan kerangka pemikiran penelitian ini.
dalam wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, dan seperangkat komputer dengan perangkat lunak: FCD Mapper Versi 2 lisensi atas nama Dr. Sigit Nugroho, ERDAS versi 9.2, ArcGIS versi 9.3, Statistika dan Microsoft Excel 2007. Bahan yang digunakan meliputi Citra Landsat (2011), Peta Tutupan Hutan klasifikasi Forest Canopy Density (FCD) tahun 2003 dan 2007 (Rikimaru, 2003; Nugroho, 2012), Peta Tata Batas TNGHS, Peta Administrasi Pemerintahan, dan Kuesioner Penelitian.
Wilayah sekitar
Kawasan TNGHS
Degradasi hutan
Deteksi kerapatan tajuk inderaja
Analisis driving factors
Analisis spasial tingkat degradasi hutan
Analisis skenario pengendalian (AHP)
Gambar 2. Peta lokasi penelitian.
Arahan strategi pengelolaan kawasan TNGHS
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeteksi tingkat degradasi kawasan TNGHS melalui indikator kerapatan penutupan tajuk. 2. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi (driving factors) terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS. 3. Menyusun arahan strategi untuk pengendalian degradasi hutan pada wilayah TNGHS. METODE Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 sampai dengan Januari 2013. Lokasi penelitian pada kawasan TNGHS seperti pada Gambar 2, termasuk
40
Analisis Tingkat Kerapatan Tajuk dan Degradasi Deteksi terhadap tingkat degradasi dengan indikator kerapatan tajuk hutan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh berupa analisis terhadap indeks–indeks biofisik (tumbuhan, tanah, tubuh air) (Rikimaru, 2002; Joshi, et al., 2006; Azizi, 2008) yang ditampilkan oleh citra satelit Landsat pada 3 (tiga) titik tahun pengamatan (2003, 2007, dan 2011). Data berupa nilai FCD kawasan TNGHS pada tahun 2003 dan 2007 menggunakan data sekunder yang merupakan hasil penelitian terkait sebelumnya oleh Mon, et al. (2011); Nugroho (2012), sedangkan nilai FCD 2011 dihasilkan peneliti melalui pengolahan dengan menggunakan teknik yang sama. Hasil klasifikasi FCD tersebut selanjutnya digunakan untuk menetapkan 4 kelas kerapatan tajuk dengan kategori non hutan (kerapatan tajuk 0-10%), kerapatan rendah (11-30%), kerapatan sedang (31-50%), dan kerapatan tinggi (51-100%). Degradasi hutan kemudian dianalisis berdasarkan perubahan tingkat kerapatan tajuk dengan kriteria seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Analisis Degradasi Untuk Penyusunan Arahan...............................................................................................................................(Carolyn, R.D., dkk.)
Tabel 1. Deteksi perubahan kelas kerapatan tajuk. Tahun 2003 Non Hutan Kerapatan Rendah Kerapatan Sedang Kerapatan Tinggi
Non Hutan 1
Tahun 2007 Kerapatan Kerapatan Rendah Sedang 5 5
Kerapatan Tinggi 5
2
1
5
5
2
3
1
5
2
4
3
1
Keterangan : Kelas 1 : tidak terdegradasi Kelas 2 : deforestasi Kelas 3 : degradasi ringan Kelas 4 : degradasi berat Kelas 5 : kerapatan bertambah
Selanjutnya untuk mendapatkan luasan degradasi yang akan digunakan sebagai peubah dependen dalam analisis faktor yang mempengaruhi kejadian degradasi hutan maka luas degradasi dihitung dengan menggunakan Desa sebagai unit pengamatan. Dalam proses ini dilakukan konversi peta degradasi yang berupa raster menjadi satuan poligon dengan unit desa. Tahap analisis spasial diakhiri dengan melakukan teknik tumpang tindih (overlay) peta degradasi yang dihasilkan dengan peta zonasi yang telah disusun oleh Balai TNGHS selaku pengelola kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi guna mengantisipasi kejadian degradasi bagi pengelolaan yang berbasis zona (keruangan). Untuk memberikan gambaran di lapangan pada setiap kelas degradasi, maka dilakukan pengecekan lapang dengan menghitung jumlah tunggak pada setiap plot contoh. Keterkaitan antara jumlah tunggak dengan degradasi hutan telah diuji dalam penelitian Nandy, et al. (2010) dan Nugroho (2012), yang menyimpulkan bahwa jumlah tegakan mati berkorelasi terhadap degradasi dengan tingkat akurasi (overall acuracy) pada 3 kelas degradasi hutan sebesar 68%. Jumlah plot contoh untuk setiap kelas kerapatan disajikan pada Tabel 2. Plot pengamatan dibuat pada tiap kelas kerapatan dengan mempertimbangkan kemudahan identifikasi dan aksesibilitas, yang berukuran 50x50 m. Tabel 2. Jumlah plot pengamatan. Kelas kerapatan tajuk Non hutan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah plot 8 4 4 4 20
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Degradasi Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh (driving factors) pada terjadinya degradasi
menggunakan teknik regresi bertatar (stepwise) dengan Generalized Linear/Nonlinear Model (GLZ). Berdasarkan studi literatur terhadap penelitian terkait degradasi dan deforestasi, serta mempertimbangkan keterbatasan waktu penelitian serta ketersediaan data maka faktor-faktor penduga sebagai peubah bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian (luas lahan yang terbangun berupa permukiman, jalan dan infrastruktur), jarak dengan kecamatan, persentase perubahan luas ladang, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian. Regresi yang digunakan untuk penelitian ini seperti pada Persamaan 1. Y = f (β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4+β5X5)+ e ......(1) dengan hipotesis : H0 : β1, β2, β3 = 0 H1 : β1, β2, β3 ≠ 0 dimana : Y =
X1 X2
= =
X3 X4
= =
X5
=
luas degradasi pada tiap unit pengamatan yaitu degradasi ringan + degradasi berat (ha) laju pertumbuhan penduduk (%/tahun) laju perubahan luas lahan non pertanian (%/tahun) persentase perubahan luas ladang (%) persentase perubahan jumlah keluarga pertanian (%) jarak desa dengan kecamatan (km)
Arahan Strategi untuk Pengendalian Degradasi Arahan strategi untuk pengendalian degradasi hutan, serta implikasinya pada pengelolaan kawasan TNGHS disusun berdasarkan hasil identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh. Teknik analisis yang digunakan pada tahap ini adalah teknik Analytic Hierarchy Process (AHP).
41
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 39-47
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Kelas Kerapatan Hutan dan Tingkat Degradasi Hasil klasifikasi terhadap tutupan hutan antar tahun pengamatan memperlihatkan terjadinya perubahan pada kelas kerapatan tajuk. Perubahan yang dapat diidentifikasi dengan jelas terjadi antara tahun 2003 dan 2007, sedangkan antara tahun 2007 hingga 2011 tidak dapat terdeteksi secara jelas karena tidak dihasilkannya informasi dengan baik (tertutup awan). Namun peta penggunaan lahan yang disusun oleh Bappeda Kab. Bogor dapat memberikan informasi tentang penggunaan lahan pada daerah yang tertutup awan (Bappeda Kab. Bogor, 2005), seperti tersaji pada Gambar 3. Sedangkan Gambar 4 memperlihatkan perubahan tutupan hutan antar tahun pengamatan. Selanjutnya perubahan kelas kerapatan tersebut, digunakan untuk menetapkan degradasi hutan. Pada proses pengolahan indeks biofisik dalam teknik FCD digunakan penentuan ambang batas (threshold) yang sangat menentukan ketepatan operator (dalam hal ini peneliti) dalam mengidentifikasi suatu obyek, misalnya vegetasi atau tanah terbuka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkat akurasi dalam menggunakan teknik ini bersifat subyektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman operator tentang digital image processing. Perbedaan pengetahuan antar peneliti dalam menentukan threshold dapat menimbulkan perbedaan interpretasi suatu obyek yang diidentifikasi. Mengingat bahwa dalam metode FCD ini informasi yang ditampilkan hanya berupa persentase kerapatan kanopi, maka perbedaan kondisi tegakan di lapangan antara hutan primer dan sekunder, atau antara hutan heterogen dengan homogen kurang dapat disajikan dengan baik.
Gambar 4.
Gambar 3. Penggunaan Lahan 2010 (Bappeda Kab. Bogor, 2005).
42
Kelas kerapatan hutan antar titik tahun pengamatan.
Kelebihan dari metode FCD ini adalah tidak diperlukannya jumlah data yang banyak dari lapangan, sehingga untuk kawasan TNGHS yang bersifat luas dengan topografi yang beragam, maka teknik ini cukup baik untuk dapat mendeteksi dan memantau (monitoring) terjadinya degradasi dan deforestasi Berdasarkan hasil analisis, luas total penurunan kelas hutan yang terjadi antara tahun 2003 – 2007 adalah sebesar 5.005,71 ha, yang terbagi ke dalam 3 kelas degradasi. Degradasi hutan dengan luasan paling besar adalah tingkat degradasi ringan seluas 2.764,80 ha, selanjutnya deforestasi sebesar 1.493,46 ha, dan degradasi berat sebesar 747,45 ha. Sedangkan deteksi degradasi antara tahun 2003 – 2011 mengindikasikan degradasi yang lebih luas dari yang terjadi pada periode 2003 – 2007. Namun luas deforestasi yang terdeteksi justru berkurang dari sebelumnya, hal ini dapat terjadi antara lain disebabkan oleh tutupan awan (bayangan awan) yang
Analisis Degradasi Untuk Penyusunan Arahan...............................................................................................................................(Carolyn, R.D., dkk.)
luas pada tahun tersebut, juga adanya kegiatan rehabilitasi dan kegiatan penanaman yang dilakukan pada lahan yang sebelumnya terbuka, sehingga pada saat pengolahan data kenampakan tutupan tajuk tersebut diinterpretasikan sebagai tutupan tajuk hutan. Hasil analisis degradasi hutan pada periode 2003 – 2011 menunjukkan telah terjadinya degradasi ringan sebesar 6.197,13 ha, degradasi berat sebesar 1.200,15 ha, dan deforestasi sebesar kondisi degradasi hutan TNGHS pada selang waktu tersebut ditunjukkan pada Gambar 5. Selanjutnya sebagai pendekatan terhadap kondisi pada tiap tingkat degradasi di lapangan diamati jumlah tunggak yang ada. Pada Tabel 3 disajikan jumlah tunggak yang dapat ditemui pada plot pengamatan.
Legenda tidak terdegradasi deforestasi degradasi ringan degradasi berat kerapatan bertambah
Gambar 5. Kelas degradasi.
Tabel 3. Jumlah tunggak pada plot pengamatan. Jumlah Tunggak Tingkat d ≥ 5 cm Tunggak/ha Degradasi (individu/plot) Ringan 2 – 15 32 – 240 Berat >15 >240 Kondisi plot Deforestasi berupa sawah, semak
Faktor yang Mempengaruhi Degradasi Berdasarkan teknik regresi didapati bahwa faktor laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian, jarak desa dengan kecamatan, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian merupakan faktor yang memberikan pengaruh terhadap luas degradasi hutan, seperti disajikan pada Tabel 4. Pertumbuhan penduduk akan mendorong meningkatnya aktifitas manusia yang berdampak langsung terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan, dan hal ini mempengaruhi kemampuan ekosistem dalam menampung populasi dan menyediakan jasa untuk mendukung kehidupan populasi di dalamnya. Penduduk yang bertambah akan meningkatkan kebutuhan terhadap sumber daya alam, salah satunya adalah sumber daya lahan. Lahan merupakan sumber daya yang penting bagi proses pembangunan, mengingat infrastruktur dan sarana prasarana wilayah membutuhkan ruang bagi keberadaannya. Pertumbuhan penduduk pada desa-desa sekitar TNGHS tentunya berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan lahan bagi proses-proses pemenuhan kebutuhan wilayah. Namun terbatasnya ketersediaan lahan pada wilayah desa dapat mendorong munculnya bentukbentuk penggunaan lahan yang dapat menimbulkan tekanan atau bahkan mengancam keberadaan lahan dalam kawasan. Berdasarkan nilai Wald Statistic diketahui bahwa jarak desa dengan kecamatan merupakan faktor yang pengaruhnya paling signifikan atau paling besar terhadap degradasi hutan. Faktor jarak menunjukkan intensitas interaksi antara desa dengan pusat-pusat pelayanan atau kegiatan. Desa-desa yang berada dekat dengan kota kecamatan mengalami perkembangan yang lebih cepat dari pada desa-desa yang jauh, karena kecenderungan dan kemudahan transportasi dalam pembangunan fasilitas pelayanan umum. Faktor jarak juga erat kaitannya dengan kemudahan aksesibilitas desa tersebut untuk dicapai. Dapat dikatakan kemudahan mengakses suatu desa menunjukkan kemudahan mengakses kawasan TNGHS. Dengan semakin tingginya aksesibilitas terhadap kawasan TNGHS, maka akan meningkatkan potensi gangguan yang mempengaruhi perubahan kondisi kawasan tersebut akibat aktivitas pengembangan wilayah desa. Hasil analisis juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi atau cepat laju perubahan luas lahan non pertanian yang berupa pembangunan sarana dan infrastruktur wilayah, maka akan semakin tinggi dan cepat pula laju degradasi hutan kawasan TNGHS. Sedangkan pertimbangan jumlah keluarga pertanian sebagai salah satu faktor penduga yang berpengaruh terhadap degradasi didasari oleh asumsi bahwa mata pencaharian atau bidang pekerjaan akan berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku yang mendorong terbentuknya suatu penggunaan lahan tertentu. Asumsi dasarnya adalah besarnya jumlah keluarga pertanian akan berpengaruh terhadap pola, bentuk dan kebutuhan akan lahan pertanian.
43
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 39-47
Tabel 4. Hasil regresi faktor terhadap luas degradasi. Efek Intersep* Laju pertumbuhan penduduk* Laju perubahan luas lahan non pertanian* Persentase perubahan luas ladang Persentase perubahan jumlah keluarga pertanian* Jarak desa dengan kecamatan*
p
Wald Stat
1,98857
Standard Error 0,329469
36,42925
0,000000
0,14884
0,028581
27,11916
0,000000
0,00091
0,000200
20,64112
0,000006
0,00043
0,001398
0,09672
0,755797
0,00541
0,002324
5,42416
0,019860
0,14611
0,014846
96,85301
0,000000
Estimate
Ket : *cetak miring = faktor yang berpengaruh pada α =0,05.
Pengendalian Degradasi
Fokus
Kebijakan/Regulasi Pemerintah Daerah (0,486)
Faktor
Kriteria
Skenario
Pengendalian pemanfaatan ruang (0,403)
Strategi penyelarasan antara RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan Kawasan TNGHS (0,438)*
Kebijakan/Regulasi Kementerian Kehutanan (0,514)*
Sosialisasi kawasan (0,495)*
Strategi pengendalian degradasi dalam RPTN (0,240)
Pemanfaatan nilai ekonomi langsung (0,102)
Strategi pembentukan kelembagaan kolaboratif multistakeholder (0,322)
Gambar 6. Hasil analisis hierarki AHP.
Arahan Strategi Pengendalian Degradasi Dari Analytic Hierarchy Process (AHP) dihasilkan bobot pada setiap elemen prioritas, dimana hasilnya ditampilkan pada Gambar 6. Berdasarkan hasil pembobotan, regulasi dan kebijakan Kementerian Kehutanan menjadi prioritas dalam fokus pengendalian degradasi dengan skor sebesar 0,514. Adapun hasil skor regulasi dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor sebesar 0,486, berbeda tipis yaitu 0,028. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi Kementerian Kehutanan dan Kabupaten memiliki peran penting dalam menekan laju degradasi hutan. Kementerian Kehutanan dalam kapasitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pengelola TNGHS, berwenang menyusun dan merumuskan regulasi terkait konservasi kawasan, yang meliputi aspek prakondisi dan pengelolaan kawasan. Terkait dengan kawasan TNGHS, Surat Penunjukan Kawasan TNGHS serta berbagai peraturan terkait Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) merupkan regulasi pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) yang diimplementasikan di lapangan. 44
Walaupun pengelolaan TNGHS bersifat eksklusif, namun Pemerintah Kabupaten Bogor, memiliki otoritas dalam pembangunan wilayahnya, yang secara langsung atau tidak, prosesnya akan berimbas kepada fisik wilayah, yang di dalamnya termasuk kawasan TNGHS. Secara yuridis melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Bogor tahun 2005 – 2025 (Bappeda Kab. Bogor, 2005) yang telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) No. 19 Tahun 2008, dapat dikatakan bahwa Pemkab Bogor mendukung dan mengakui keberadaan kawasan TNGHS. Hal ini tertuang dalam Perda tersebut yang mengalokasikan kawasan TNGHS sebagai kawasan lindung (Pasal 27 ayat 2). Arahan kebijakan Pemkab Bogor bagi kawasan lindung ini adalah a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan peta pola ruang dalam RTRWK tersebut, pada daerah penyangga TNGHS diperuntukan bagi tanaman tahunan, namun pada beberapa wilayah justru ditetapkan sebagai fungsi kawasan pertanian lahan kering dan basah. Hal ini
Analisis Degradasi Untuk Penyusunan Arahan...............................................................................................................................(Carolyn, R.D., dkk.)
kurang menguntungkan bagi keberadaan TNGHS, mengingat kecenderungan perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian atau bahkan perluasan fungsi memiliki peluang yang besar. Berdasarkan teknik AHP juga didapati bahwa sosialisasi kawasan merupakan kriteria kebijakan/ regulasi dengan skor tertinggi yaitu sebesar 0,495, yang diikuti oleh pengendalian pemanfaatan ruang sebesar 0,403 dan pemanfaatan nilai ekonomi langsung sebesar 0,102. Sosialisasi dinilai penting guna menunjang keberhasilan dalam implementasi regulasi dan kebijakan pengendalian degradasi hutan. Proses sosialisasi ini merupakan prakondisi (enabling condition) yang merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk mengendalikan degradasi pada kawasan TNGHS. Sosialisasi akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang berpengaruh terhadap kesadartahuan dan persepsi para pihak terhadap keberadaan dan fungsi kawasan TNGHS. Dengan kesadartahuan dan munculnya persepsi yang benar terhadap keberadaan TNGHS maka akan terbentuk perilaku dan kebiasaan (habit) masyarakat yang mendukung pelestarian kawasan tersebut, sehingga pertumbuhan populasi penduduk dan dinamika unsur demografi lainnya tidak lagi menjadi sesuatu yang mengancam ekosistem TNGHS. Setelah sosialisasi, maka proses yang harus dilakukan guna mengendalikan degradasi hutan di TNGHS adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah, penataan ruang menjadi salah satu penunjang guna menyediakan kondisi ruang wilayah. Seluruh aktor pembangunan selayaknya dapat menempatkan rencana tata ruang sebagai arahan pembangunan jangka panjang berkelanjutan serta landasan pengembangan program-program pembangunan sektor dan daerah, termasuk di dalamnya pembangunan infrastruktur untuk pengembangan wilayah. Infrastruktur sendiri sangat penting perannya karena memiliki keterkaitan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah maupun terhadap peningkatan kondisi sosial-budaya masyarakat. Infrastruktur yang lengkap dan berfungsi baik pada suatu wilayah memberikan peluang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan sosial dan kehidupan budaya yang lebih baik. Sebaliknya, keberadaan infrastruktur yang kurang lengkap dan kurang berfungsi dengan baik mengakibatkan masalah ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah lingkungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengatasi atau menghindari masalah-masalah tersebut. Skor bobot terendah adalah penilaian terhadap kepentingan pemanfaatan nilai ekonomi langsung, sebesar 0,102. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengendalikan laju degradasi, maka pemanfaatan nilai ekonomi langsung dari ekosistem TNGHS dapat dilakukan jika proses sosialisasi kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang telah berjalan dengan baik. Alternatif strategi yang dihasilkan berdasarkan kriteria dalam regulasi dan kebijakan guna
pengendalian degradasi dikelompokan ke dalam 3 skenario, dimana skenario penyelarasan RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan Kawasan TNGHS memiliki prioritas tertinggi yaitu sebesar 0,438, diikuti dengan strategi pembentukan kelembagaan kolaboratif multistakeholders sebesar 0,322, dan strategi pengendalian degradasi dalam dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) sebesar 0,240. Idealnya hubungan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemkab Bogor bersifat koordinasi dengan proses-proses hubungan kerja dan penguatan institusi. Strategi penyelarasan antara RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan Kawasan TNGHS, merupakan langkah awal yang sangat menentukan dalam upaya pengendalian degradasi kawasan TNGHS. Hal ini mengingat bahwa kedua dokumen negara tersebut merupakan implementasi kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat dan pengelolaan kewilayahan. Untuk itu, evaluasi terhadap kedua dokumen tersebut kiranya dapat dilakukan secara simultan dalam kerangka koordinasi. Penyelarasan ini dapat dimulai dengan mengkaji pola peruntukan ruang wilayah atau zonasi yang telah disusun oleh kedua pihak dalam dokumen perencanaan masing-masing. Menilik peta pola ruang dalam RTRW Kabupaten Bogor, secara umum dapat dikatakan bahwa pola ruang yang telah disusun dalam RTRW Kabupaten Bogor mendukung atau mengakui keberadaan TNGHS. Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan pada sebagian besar wilayah daerah penyangga atau yang berbatasan langsung dengan TNGHS dengan peruntukan bagi tanaman tahunan yang merupakan bentuk yang cukup baik sebagai penyangga (buffer) kawasan. Namun pada beberapa wilayah justru ditetapkan dengan fungsi kawasan pertanian lahan kering dan basah. Hal ini kurang menguntungkan bagi keberadaan TNGHS, mengingat kecenderungan perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian atau bahkan perluasan fungsi atau areal memiliki peluang yang besar, sehingga dapat menimbulkan tekanan bahkan ancaman bagi kawasan. Pada sisi kawasan TNGHS sendiri, zona di tepi batas kawasan sebagian besar memang diarahkan sebagai zona rehabilitasi, namun belum ada arahan program yang mempertimbangkan status pola ruang RTRW Kabupaten Bogor. Untuk itu dalam strategi ini perlu dilakukan peninjauan kembali oleh kedua belah pihak terhadap sistem zonasi yang telah disusun. Manfaat yang dapat diperoleh dari skenario penyelarasan ini antara lain : 1) menjamin kemantapan dan keamanan kawasan TNGHS secara legal dan aktual, 2) mendorong pembangunan Kabupaten Bogor yang mendukung upaya konservasi, dan 3) meminimalisir konflik penataan ruang yang cenderung menjadi pemicu ketidakjelasan sistem tenurial dan kewenangan pengelolaan. Skenario kedua yang dapat menjadi pilihan adalah strategi pembentukan kelembagaan kolaboratif multistakeholders. Skenario ini dinilai dapat berjalan jika skenario pertama berjalan baik. Dengan adanya hubungan baik antara Kementerian Kehutanan sebagai pengelola TNGHS dengan Pemkab Bogor
45
Globe Volume 15 No. 1Juni 2013 : 39-47
selaku pemangku wilayah, maka kolaborasi diantara keduanya dapat menstimulasi dan membuka peluang bagi pihak lain untuk ikut serta dalam ”aksi” peduli terhadap degradasi yang terjadi pada kawasan TNGHS. Kolaborasi yang efektif dapat dilakukan sejak disusunnya perencanaan pengelolaan hingga pelaksanaan program. Membangun kelembagaan multipihak yang baik menjadi salah satu alternatif untuk menekan biaya-biaya sosial. Lebih jauh lagi, kelembagaan kolaboratif dapat menjadi modal sosial yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Skenario terakhir untuk dilaksanakan dalam strategi pengendalian degradasi adalah strategi pengendalian yang dituangkan dalam RPTN. Hal ini mengingat bahwa agar perencanaan pengendalian tersebut mendapat legitimasi dan dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas, jaminan akses yang aman bagi masyarakat untuk mendapat manfaat dari pengelolaan hutan serta kejelasan kewenangan pengelolaan wilayah hutan sangat diperlukan. Sedangkan jaminan akses terhadap pemanfaatan dan kejelasan kewenangan pemanfaatan wilayah dapat tercapai apabila kondisi kemantapan kawasan sudah tercapai. Idealnya RPTN merupakan perencanaan sistem, dalam artian perencanaan pengelolaan TNGHS merupakan bagian dari sistem perencanaan yang lebih luas, sehingga perencanaan dapat berlangsung tanpa berbenturan dengan kepentingan perencanaan yang lain. Memperhatikan degradasi yang terjadi dalam kawasan TNGHS maka diperlukan kebijakan perlindungan yang merupakan pendekatan integratif antara pemanfaatan dengan pelestarian sumber daya alam. Oleh karena itu beberapa langkah yang penting untuk dilakukan terkait strategi penyelarasan ini antara lain adalah : 1. Evaluasi fungsi kawasan. Hal ini penting untuk mengoptimalkan kegiatan pengelolaan dan pemantapan kawasan. Evaluasi fungsi ini meliputi antara lain kesesuaian habitat satwa, kemampuan resapan air, serta perlindungan rawan bencana longsor dan banjir. 2. Peninjauan zonasi. Zonasi penting dilakukan sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga sesuai dengan fungsinya. 3. Pemantauan dan pengamanan. Kegiatan pemantauan dilakukan dalam rangka pencegahan kegiatan budidaya dalam kawasan TNGHS, serta membatasi dan jika mungkin memindahkan kegiatan budidaya yang sudah terjadi ke luar kawasan TNGHS. 4. Pengembangan kesempatan kerja pada sentrasentra pertumbuhan wilayah, sehingga mampu menyediakan pekerjaan bagi masyarakat, khususnya penduduk sekitar kawasan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi intensitas interaksi penduduk dengan kawasan TNGHS. KESIMPULAN Penutupan tajuk kawasan TNGHS mengalami perubahan kerapatan sejak tahun 2003 hingga 2011. Pada kurun waktu antara tahun 2003 hingga 2007
46
telah terjadi degradasi dengan luas total sebesar 5.005,71 ha, yang terbagi ke dalam tingkat degradasi ringan seluas 2.764,80 ha, selanjutnya deforestasi sebesar 1.493,46 ha, dan degradasi berat sebesar 747,45 ha. Sedangkan interpretasi terhadap perubahan kelas kerapatan antara tahun 2003 hingga 2011 menunjukkan telah terjadinya degradasi ringan sebesar 6.197,13 ha, degradasi berat sebesar 1.200,15 ha, dan deforestasi sebesar 189,9 ha. Namun interpretasi antara tahun 2003 hingga 2011 ini tidak cukup baik karena tutupan awan pada sebagian besar wilayah penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi adalah laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian, jarak desa dengan kecamatan, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian. Strategi yang paling penting untuk pengendalian degradasi adalah strategi penyelarasan RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan Kawasan TNGHS. Untuk itu dibutuhkan komitmen Kementerian Kehutanan dalam implementasi regulasi, yang dapat diwujudkan melalui pengukuhan kawasan TNGHS. Langkah awal agar strategi berjalan efektif maka sosialisasi kawasan merupakan kondisi pemungkin yang harus dilakukan sehingga pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor sosial yang telah disebut di atas dapat dikendalikan dan tidak memberikan ancaman yang berarti terhadap kawasan TNGHS. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Terkait degradasi kawasan, perlu dilakukan monitoring terhadap indikator lain seperti sediaan air dan kondisi kualitas tanah hutan. 2. Perlu dilakukan kajian terhadap dampak dinamika regulasi dan kebijakan terkait pengelolaan kawasan TNGHS dan wilayah Kabupaten Bogor terhadap kondisi ekosistem TNGHS. 3. Pemantapan kawasan TNGHS harus segera dilakukan untuk meminimalisir konflik akibat ketidakjelasan sistem tenurial. Dalam prosesnya, koordinasi dan sosialisasi dengan para pihak perlu ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Azizi, Z., Najafia, A. dan Sohrabia, H. (2008). Forest Canopy Density Estimating, Using Satellite Images. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B8. Beijing: 1127 – 1130. Bappeda Kab. Bogor. (2005). Rencana Tata Ruang Wilayah Kebupaten Bogor Tahun 2005–2025. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kab. Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor. Joshi, Chudamani, De Leeuw J., Skidmore A.K., Van Duren I.C. and Van Oosten H. (2006). Remotely Sensed Estimation of Forest Canopy Density : A Comparison of Performance of Four Methods. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation. 8:84-94 Mon, MS, Mizoue N, Htun NZ, Kajisa, T. and Yoshida, S. (2011). Factors Affecting Deforestation and Forest Degradation in Selectively Logged Production Forest: A Case Study in Myanmar. Forest Ecology and Management. 267 : 190–198
Analisis Degradasi Untuk Penyusunan Arahan...............................................................................................................................(Carolyn, R.D., dkk.)
Nandy, S, Kushwaha, SPS. and Dadhwal, VK. (2010). Forest Degradation Assessment in The Upper Catchment of the River Tons Using Remote Sensing and GIS. Ecological Indicators. 11 : 509–513 Nugroho, S. (2012). Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prasetyo, L.B. and Setiawan, Y. (2006). Land Use dan Land Cover Change Gunung Halimun-Salak National Park 1989-2004. JICA and Ministry of Forestry Indonesia. Management Plan Project. Jakarta.
Rikimaru, A., Roy, P.S., and Miyatake, S. (2002). Tropical Forest Cover Density Mapping. Tropical Ecology. 43(1): 39-47 Rikimaru, A. (2003). Concept of FCD Mapping Model and Semi-Expert System. Overseas Forestry Consultants Association. Japan. TNGHS. (2007). Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Tahun 2007-2026. Kabandungan. Bogor. Yatap, Haryanto. (2008). Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
47