BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pembiayaan Perbankan Syariah
Berdasarkan sifat penggunaanya, bank syariah menyalurkan dua jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan produktif adalah pembiayaan yang digunakan untuk peningkatan usaha atau bantuan modal bagi peminjamnya, contohnya adalah pembiayaan mudharabah, sedangkan pembiayaan konsumtif adalah pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bagi yang meminjamnya, contohnya adalah pembiayaan murabahah untuk pembelian sepeda motor. Jenis pembiayaan berdasarkan prinsip, yaitu pembiayaan bagi hasil, pembiayaan jual-beli, dan pembiayaan sewa (leasing). Pembiayaan bagi hasil adalah pembiayaan yang dilakukan untuk membiayai suatu kegiatan usaha yang berbentuk kerjasama anatara penyedia dana dengan pengelola usaha dimana keuntungan usaha ini dibagi kepada setiap pihak sesuai dengan perjanjian, contohnya adalah pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pembiayaan jual-beli adalah pembiayaan yang dilakukan untuk membiayai pembelian barang atau komoditi berdasarkan prinsip jual-beli, contohnya murabahah,salam dan isthisna. Pembiayaan sewa digunakan untuk usaha perpindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,dengan atau tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri,contohnya ijarah.
15
2.1.2 Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi hasil 2.1.2.1 Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah salah satu jenis usaha patungan dimana terdapat dua
pihak yang bekerja sama. Satu pihak berperan sebagai penyedia dana (shahib al
maal) dan pihak lain sebagai pengelola usaha (mudharib) shahib al maal menyediakan dana seluruhnya (100%) untuk dipercayakan kepada mudharib agar
dikelola sebaik mungkin dan menghasilkan keuntungan yang optimal. Kontribusi
mudharib adalah mencurahkan keterampilan manajerialnya dalam mengelola usaha patungan tersebut. Bagi hasil dari keuntungan ditetapkan berdasarkan nisbah (ratio) yang telah disetujui bersama sedangkan apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh risiko bisnis, maka yang menanggung adalah shahib al maal. Aplikasi pada bank syariah adalah biasanya bank syariah berperan sebagai shahib al maal dan nasabah sebagai mudharib. Secara umum,pembiayaan mudharabah dibagi ke dalam dua jenis,yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayadah. 1. Mudharabah mutlaqah Mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara penyedia dana (shahibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh batasan jenis usaha,waktu, atau tempat usaha. 2. Mudharabah Muqayadah Mudharabah
muqayadah
atau
disebut
juga
dengan
istilah
restricted
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah, pada mudharabah muqayadah bentuk kerjasama antara penyedia dana (shahibul
16
maal) dengan pengelola usaha (mudharib) dibatasi oleh batasan jenis usaha,waktu atau tempat usaha. Adapun beberapa manfaat dari pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
a. Bank akan menikmati bagi hasil yang tinggi apabila usaha nasabah sedang mengalami peningkatan.
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara
tetap,tetapi disesuaikan dengan pendapatan hasil usaha bank sehingga bank tidak
akan pernah mengalami negatif spread. c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. d. Bank akan lebih berhati-hati dalam memilih nasabah yang akan dibiayaai karena jenis usaha yang benar-benar layak yang nantinya akan mendatangkan bagi hasil yang menguntungkan bagi kedua pihak.
2.1.2.2 Pembiayaan Musyarakah Musyarakah juga merupakan salah satu jenis usaha patungan dimana terdapat beberapa
pihak
yang bekerja
sama. Pihak
yang bekerja
sama
tersebut
menggabungkan sumber daya baik berupa modal usaha dan keterampilan manajerial untuk bersama-sama membentuk sebuah perusahaan (syirkah al inan) sebagai sebuah badan hokum (legal entity) dan mengelolanya. Setiap pihak memiliki bagian secara proposional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting rights) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan,setiap pihak menerima pembagian keuntungan sesuai dengan proporsi kontribusi modal mereka,demikian halnya jika usaha tersebut
17
mengalami kerugian, rugi ditanggung sesuai dengan proporsi kontribusi modal. Dengan
demikian,
dalam
musyarakah
bank
bersama
nasabahnya
dapat
mengumpulkan modal mereka untuk menjalankan suatu usaha bersama.
Pembiayaan musyarakah terbagi ke dalam 2 jenis yaitu musyarakah
pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). musyarakah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh
dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih
berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan
aset tersebut. Musyarakah akad adalah kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyaraka akad ini terdiri dari beberapa jenis yaitu syirkah al-inan,syirkah mufawadah ,syirkah a’maal, dan syirkah wujuh. 1. Syirkah al-„Inan Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih dimana porsi dari keseluruhan keuntungan dana dari partisipasi kerja tidak sama besarnya sesuai dengan kesepakatan. 2. Syirkah Mufawadhah Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dimana porsi dari keseluruhan dana dan partisipasi kerjasama besarnya. 3. Syirkah A‟maal Syirkah A’maal adalah kontrak kerjasama anatara dua orang yang sama pekerjaanya atau profesinya untuk mengerjakan suatu proyek.
18
4. Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atu lebih yang memiliki
reputasi baik dalam berbisnis. Mereka membeli barang yang kredit untuk kemudian
dijual secara tunai. Manfaat dari pembiayaan musyarakah ini adalah sebagai berikut:
a. Bank akan menikmati bagi hasil yang tinggi apabila usaha nasabah sedang
mengalami peningkatan.
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap,tetapi disesuaikan dengan pendapatan hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negatif spread. c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. d. Bank akan lebih berhati-hati dalam memilih nasabah yang akan dibiayaai karena jenis usaha yang benar-benar layak yang nantinya akan mendatangkan bagi hasil yang menguntungkan bagi kedua pihak.
2.1.3 NPF Pembiayaan Mudharabah dan NPF Pembiayaan Musyarakah Muhammad (2005:361) mendefinisikan risiko (risk) sebagai “kemungkinan kerugian, selama periode tertentu” Sedangkan dalam Kamus Perbankan (2001:125) dijelaskan bahwa resiko adalah” ketidakpastian yang mengandung kemungkinan kerugian dalam bentuk harta atau kehilangan keuntungan atau kemampuan ekonomis”. “Risiko pembiayaan merupakan salah satu jenis risiko yag melekat pada aktivitas fungsional bank syariah selain risiko pasar dan risiko operasional” 19
(Adiwarman, 2006:260). Risiko pembiayaan adalah suatu keadaan dimana nasabah tidak dapat mengembalikan jumlah pinjaman dari bank beserta imbalannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko pembiayaan muncul akibat
adanya pembiayaan yang bermasalah. Berdasarka UU no 21 tahun 2008 pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko
tersebut,jaminan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dam kesanggupan nasabah untuk melunasi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Menurut pasal 11 UU no 11 tahun 1998 menyatakan bahwa pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahawa pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank, risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tertentu. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pemberian jaminan atau fasilitas sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu (kasmir, 2004:3) dapat disimpulkan bahwa bank syariah merupakan merupakan bank yang sarat dengan risiko, sehingga terkait hal ini bank harus mampu mengendalikan risiko seminimal mungkin untuk dapat memperoleh keuntungan yang optimum. Risiko pembiayaan melekat pada setiap pada setiap pembiayaan yang diberikan oleh bank termasuk risiko pembiayaan pada jenis pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Maka risiko pembiayaan mudharabah dan risiko 20
pembiayaan musyarakah dapat diartikan sebagai risiko/kerugian yang timbul karena bank tidak dapat memperoleh kembali dana yang telah disalurkan kepada nasabah melalui pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah.
Adapun
beberapa
risiko-risiko
permasalahan
yang
dihadapi
terkait
pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah yaitu sebagai berikut: 1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak.
2. Kelalaian dan kesalahan yang disengaja. 3. penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabah tidak jujur. 4. Risiko investasi relative tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi. 5. Kompetensi sumber daya insani (SDI) yang masih rendah untuk menjalankan pola pembiayaan bagi hasil. 6. Kurang tersedianya informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor usaha yang menjadi target investasi. Dari berbagai permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah dapat digolongkan sebagai pembiayaan dengan NPF yang tinggi. NPF pembiayaan merupakan rasio yang menunjukan risiko bank atas pembiayaan dan merupakan perbandingan antara saldo atau jumlah Non Performing Financing/pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan yang diberikan. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
21
𝑁𝑃𝐹 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑁𝑜𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑖𝑛𝑔 𝐹𝑖𝑛𝑎𝑛𝑐𝑖𝑛𝑔 𝑥 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
(sumber : Muljono, 1999:120) Non Performing Financing diartikan sebagai piutang tak tertagih, untuk
perbankan syariah. Non Performing Financing dapat diartikan juga sebagai
pembiayaan bermasalah. Dalam hal ini pembiayaan bermasalah untuk jenis pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan bermasalah ini yaitu jenis pembiayaan dengan tingkat kolektibilitas/ tingkat pengembalian kurang lancar, diragukan, dan macet. Sedangkan untuk total loan pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah baik secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis pembiayaannya, dalam hal ini yang dihitung yaitu total pembiayaan mudharabah dan total pembiayaan musyarakah. hal tersebut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.9/PBI/2007 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.9/24/2007 mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah. Pengukuran NPF pembiayaan mudharabah yaitu dengan membandingkan saldo pembiayaan mudharabah bermasalah terhadap total pembiayaan mudharabah. Pengkuran NPF pembiayaan musyarakah yaitu dengan membandingkan saldo pembiayaan musyarakah bermasalah terhadap total pembiayaan musyarakah.
22
Rasio tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Risiko Pembiayaan Mudharabah:
Pembiayaan Mudharabah kurang lancar + Pembiayaan Mudharabah
Diragukan+ Pembiayaan Mudharabah Macet
X 100% Total Pembiayaan Mudharabah
Risiko Pembiayaan Musyarakah: Pembiayaan Musyarakah kurang lancar + Pembiayaan Musyarakah Diragukan+ Pembiayaan Musyarakah Macet X 100% Total Pembiayaan Musyarakah
2.1.4 Pembiyaan Bermasalah 2.1.4.1 Pengertian Pembiayaan Bermasalah Dalam operasionalnya bank konvensional memberikan kredit kepada peminjam atau debitur, sedangkan bank syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah yang akan dibiayainya. Menurut Kasmir (2003:92) dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, menjelaskan kredit sebagai berikut “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga “. Dalam buku yang sama dijelaskan pembiayaan sebagai berikut “Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan 23
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”
Berdasarkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No 31(revisi
2000), non performing financing (NPF) / pembiayaan bermasalah pada umumnya merupakan pembiayaan yang pembayaran angsuran pokok dan /atau bunganya telah
lewat sembilan puluh hari lebih setelah jatuh tempo, atau kredit/pembiayaan yang
pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Unsur pembiayaan bermasalah
yaitu penjumlahan dari pembiayaan dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Pembiayaan bermasalah dapat juga diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan debitur yang dapat diukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitas merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanam dalam surat-surat berharga. Menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 21/147/KEP/DIR tanggal 12 Desember 2008 tentang kualitas aktiva produktif bahwa kredit digolongkan ke dalam kredit lancar, kredit dalam perhatian khusus, kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Kriteria bagi masing-masing kredit adalah sebagai berikut: 1. Lancar (Pass) a. Pembayaran angsuran pokok dan/ atau bagi hasil tepat;dan b. Bagian dari kredit dijamin dengan agunan yang tunai (cash collateral).
24
2. Dalam Perhatian Khusus (Special Mention) a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil yang belum melampaui 90(Sembilan puluh) hari ;atau
b. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau
c. Didukung oleh perjanjian baru
3. Kurang Lancar (Substandard)
a. Terdapat tunggakan pokok dan/atau bagi hasil yang telah melampaui 90(Sembilan puluh) hari. b. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 (Sembilan puluh)hari c. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur dokumentasi pinjaman yang rendah. 4. Diragukan (Doubtfull) a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bagi hasil yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh)hari; atau b. Terjadi kapitalisasi bagi hasil ; atau c. Dokumentasi yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. 5. Macet (loss) a. Terdapat tunggakan pokok dan/atau bagi hasil yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh hari);atau b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau 25
c. Dari segi hokum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang termasuk ke dalam Non Performing
Financing (NPF)/ pembiayaan bermasalah adalah kredit atau pembiayaan yang
kolektibilitasnya tergolong kurang lancar, diragukan dan kredit macet. Kredit kurang lancar adalah kredit yang memiliki tunggakan angsuran pokok lebih dari 90(Sembilan
puluh) hari, kredit diragukan memiliki tunggakan angsuran pokok lebih dari 180
(Seratus delapan puluh) hari, sedangkan kredit macet memiliki tunggakan lebih dari
270 (dua ratus tujuh puluh) hari.
2.1.4.2 Penyebab Pembiayaan Bermasalah Kredit lancar yang diberikan bank dapat berubah menjadi kredit bermasalah. Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor berikut: 1. Faktor ekstern a. Keadaan ekonomi secara mikro. b. Kenaikan kurs US $ terhadap rupiah (Rp) yang menaikan harga produk/jasa. c. Peraturan/kewajiban pemerintah. d. Persaingan yang ketat dalam suatu sektor industry. e. Persaingan yang tidak sehat karena pengaruh dari budaya KKN. f. Sistem perpajakan yang berlaku. 2. Faktor intern perusahaan (nasabah bank) a. Mis management dalam pengurusan para nasabah.
26
b. Kesulitan keuangan. c. Kesalahan dalam produksi.
d. Kesalahan dalam strategi pemasaran. e. Sengketa antar pemilik atau antara pemilik dan direksi. intern bank yang memberikan kredit 3. Faktor
a. Kenaikan yang dilakukan dengan sengaja.
b. Studi kelayakan yang dibuat sesuai proyek. c. Kolusi antara staf bank dan nasabah. d. Kurang ketatnya pengawasan kredit. e. Kurang keahlian dalam analisis pemberian kredit. f. Kesalahan dalam memilih sektor industri nasabah.
2.1.4.3 Dampak Pembiayaan Bermasalah Implikasi bagi bank sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan/kredit bermasalah tersebut dapat berupa: 1. Hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan pengaruh buruk bagi profitabilitas bank. 2. Rasio kualitas aktiva prodiktif atau yang lebih dikenal bad debt ratio menjadi semakin besar karena menggambarkan kondisi yang buruk.
27
3. Bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktiva produktif yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan sangat berpengaruh terhadap CAR
(capital adequacy ratio). 4. Return On Equity (ROE) mengalami penurunan.
2.1.4.4 Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan yang telah diklasifikasikan sebagai pembiayaan bermasalah, sebelum dilakukan penyelamatan kredit/pembiayaa dapat ditempuh beberapa usaha sebagai berikut: 1. Peringatan tertulis untuk segera melaksanakan kewajibannya yang tertunggak di samping usaha lain untuk melakukan penagihan. Peringatan tersebut dapat diulangi sampai tiga kali. Apabila debitur belum juga menyelesaikan kewajibannya, maka bank dapat mencabut fasilitas pembiayaan sehingga yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi. 2. Apabila setelah dilakukan peringatan sampai tiga kali namun belum ada reaksi dan usaha debitur melunasi utangnya, dapat ditempuh jalur hukum yaitu lembaga somatie yang ada di pengadilan negeri bank swasta. Sedangkan bagi bank BUMN melalui Badan Usaha Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Menurut Kasmir (2003:103) dalam buku Manajemen Perbankan ada beberapa cara yang dapat dipertimbangkan dalam upaya penyelamatan kredit/pembiayaan bermasalah adalah sebagai berikut:
28
1. Rescheduling (penjadwalan ulang) Yaitu perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu kredit. Kredit yang memperoleh fasilitas ini hanya debitur
yang memenuhi persyaratan tertentu, misalnya usaha debitur yang memiliki
prospek untuk bankit kembali, debitur menunjukan itikad baik, yaitu memiliki willingness to pay dan adanya keyakinan bahwa debitur tetap berminat dan berniat
untuk terus mengelola usahanya.
2. Reconditioning (persyaratan ulang) Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal saldo Reconditioning dapat diberikan kepada debitur berupa pembebasan sebagian bunga tertunggak atau penghentian perhitungan bunga bagi debitur yang bersifat jujur, terbuka, dan kooperatif
serta
usahanya
masih
potensial
dapat
beroperasi
dengan
menguntungkan namun mengalami kesulitan kerugian. 3. Restructuring (penataan ulang) Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagai tunggaka bunga menjadi pokok kredit baru dan atau konversi seluruh tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan atau konversi seluruh atau sebagian kredit menjadi pernyertaan dalam perusahaan yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan atau persyaratan kembali. 4. Penyitaan barang jaminan Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan. Pelaksanaan ini dilakukan terhadap kredit yang memang benar-benar menurut bank sudah tidak dapat dibantu lagi untuk disehatkan kembali. 29
2.1.5 Profitabilitas
Profitabilitas didefinisikan oleh Niswonger (2000:99) dalam buku Prinsip-
prinsip Akuntansi, yaitu “Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba”. Tingkat kesehatan bank yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan adalah profitabilitas. Profitabilitas merupakan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan suatu pendapatan atau laba. Beberapa
hal yang harus diketahui terlebih dahulu sebelum mencari profitabilitas adalah mengenai sumber pendapatan bank dan indicator profitabilitas.
2.1.5.1 Sumber Pendapatan Bank Sumber pendapatan bank diperoleh dari: 1. Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah. 2. Keuntungan atas kontrak jual beli. 3. Hasil sewa atau kontrak ijarah 4. Fee dan biaya administrasi
2.1.5.2 Indikator Profitabilitas Indikator profitabilitas yakni dilihat dari rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas merupakan gambaran kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.9/PBI/2007 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.9/24/2007 mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum
30
berdasarkan prinsip syriah, untuk mengukur tingkat profitabilitas bank dapat menggunakan beberapa rasio keuangan sebagai berikut: 1. Pendapatan Operasional Bersih (Net Operating Margin, NOM)
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 − 𝐷𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝐵𝑎𝑔𝑖 𝑎𝑠𝑖𝑙 − 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖
NOM =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓
𝑥100%
(sumber : Handono, 2009) Rasio keuangan ini digunakan untuk mengetahui kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi nilai rasio ini menunjukan semakin besar kemampuan aktiva produktif bank dalam menghasilkan laba. 2. Return On Assets (ROA)
𝑅𝑂𝐴 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑥 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
(sumber : Handono,2009) Muhammad (2005:257) dalam Pengantar Akuntansi Syariah mendefinisikan Return on Asset sebagai “ Rasio yang menggambarkan kemampuan bank dalam mengelola dana yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang menghasilkan keuntungan”. ROA merupakan rasio yang menunjukan kemampuan manajemen dalam meningkatkan keuntungan perusahaan sekaligus untuk menilai kemampuan manajemennya dalam mengendalikan biaya-biaya, maka dengan kata lain dapat menggambarkan produktifitas bank tersebut. ROA digunakan untuk menganalisis
31
tingkat profitabilitas. ROA dihitung dengan cara membandingkan laba sebelum pajak dengan total aktiva. Semakin tinggi nilai ROA maka semakin baik tingkat profitabilitas perusahaan.
3. Return On Equity (ROE)
𝑅𝑂𝐸 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖 𝑥 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
(sumber : Handono:2009)
Rasio yang sering dijadiakan indikator tingkat keberhasilan bank selain ROA adalah rasio ROE. Seluruh bank hampir pasti menggunakan ROE dalam mengontrol kinerjanya. Hessel Nogi (2003: 157) manyatakan bahwa “ROE menunjukan kemampuan modal sendiri dalam menghasilkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham”. Dengan mengamati perkembangan ROE bank dari tahun ke tahun, maka para pemegang saham bisa mengontrol perkembangan bank sehingga prospek dan perkiraan return yang akan diterima bisa diprediksi. Hal yang sama juga diungkapkan Muhammad (2005: 245), “ROE dinilai lebih penting karena merefleksikan kepentingan para pemilik”. Dan lebih lanjut di jelaskan oleh Rico dan Rudy
(2003:
28)
mengungkapkan
bahwa
“ROE
dihitung
dengan
cara
membandingkan laba bersih (net income) dengan rata-rata modal (equity)”.
2.1.6 NPF Pembiayaan Mudharabah dan NPF Pembiayaan Musyarakah Mempengaruhi Tingkat Profitabilitas Akibat dari adanya pembiayaan yang bermasalah, akan mengakibatkan atau mempengaruhi tingkat profitabilitas seperti dijelaskan oleh Y. Sri Susilo, S. Triondani, A. Budi Santosa (2000:30) dalam buku Bank Dan Lembaga Keuangan
32
Lain, sebagai berikut “Alokasi dana yang telah berhasil dihimpun oleh bank dalam berbagai bentuk aktiva mengandung risiko yang berbeda-beda, hal tersebut dapat menggangu kelancaran dan kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan”.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah yang merupakan bagian dari pembiayaan yang dilakukan bank syariah, serta merupakan bagian dari aktiva bank, memiliki NPF tertentu yang
dapat mempengaruhi kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan. Artinya
tingkat profitabilitas akan terganggu pada NPF pembiayaan yang dihadapi oleh bank.
Setiap pembiayaan yang dilakukan oleh bank, akan selalu terdapat risiko yakni risiko pembiayaan dalam hal ini adalah pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Hal ini berdasarkan pada pendapat Kasmir (2003:71) dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya : Peranan bank sebagai lembaga keuanagn tidak pernah lepas dari masalah kredit/pembiayaan. Bahkan kegiatan bank sebagai lembaga keuangan,pemberian kredit/pembiayaan merupakan kegiatan utamanya. Besarnya jumlah kredit/pembiayaan yang diberikan akan membuat risiko kredit/pembiayaan semakin besar, dan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit/pembiayaan sementara dana yang terhimpun dari simpanan banyak maka akan menyebabkan suatu bank tersebut mengalami kerugian. Risiko Pembiayaan akan terjadi apabila pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dapat dikembalikan sebesar pembiayaan yang diberikan ditambah dengan imbalan atau bagi hasil dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi bank, karena jumlah dana yang terhimpun dari masyrakat tidak dapat disalurkan kembali kepada masyarakat, keadaan tersebut akan mempengaruhi tingkat profitabilitas bank karena risiko pembiayaan tersebut.
33
2.1.7 Moral hazard dan Hubungannya Dengan Tingkat Risiko.
Moral hazard dalam dunia perbankan setidaknya dapat dibedakan atas 2
Pertama, Moral hazard pada tingkat bank dan yang kedua adalah Moral tingkatan.
hazard di tingkat nasabah. Moral hazard di tingkat bank dapat dibedakan atas
beberapa diantaranya : 1) Moral hazard dalam penyaluran dana pihak ketiga, yaitu risky lending behavior yang menyebabkan timbulnya Moral hazard dan adverse
selection di tingkat nasabah, yang disebut juga Moral hazard tidak langsung
(mengacu kepada pengertian Moral hazard yang dikemukakan oleh Vaubel (1983)
dalam Dreher (2004). 2) Moral hazard ketidakhati-hatian bank dalam menyalurkan kredit karena adanya penjaminan dari pemerintah atau keberadaan lembaga penjamin simpanan dalam hal ini termasuk dalam Moral hazard langsung (mengacu kepada pengertian Moral hazard yang dikemukakan oleh Vaubel (1983) dalam Dreher (2004). 3) Moral hazard pada saat penyaluran bank tidak mencerminkan bank sebagai lembaga intermediasi atau tidak meyalurkan dana kepada sektor riil. 4) Moral hazard ketika bank memberikan cost of fund yang rendah dan menerapkan tingkat yang tinggi, juga termasuk dalam kategori Moral hazard dan lainnya. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip-prinsip ilahiyah yang dalam operasionalnya memiliki perbedaan dengan bank konvensional. Meskipun prinsip syariah dalam perbankan berasal dari nilai-nilai ilahiah namun sebagaimana kegiatan perekonomian lainnya, perbankan syariah pun tidak lepas dari masalah korupsi (Gunawan, 2005), termasuk juga masalah Moral hazard dan adverse selection. Seperti perbankan konvensional, Moral hazard di bank syariah setidaknya dapat dibedakan menjadi Moral hazard pada bank dan juga Moral hazard pada nasabah. Moral hazard pada bank terjadi ketika bank syariah sebagai mudharib tidak berhatihati dalam menyalurkan dana sehingga berpotensi menimbulkan Moral hazard di sisi nasabah dan menyebabkan kerugian. Moral hazard lainnya yaitu pada saat bank tidak membayarkan bagian shahibul maal sebagaimana rasio yang telah ditetapkan di awal perjanjian, atau ketidakpatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, juga 34
dapat dikategorikan dalam tindakan Moral hazard. Sedangkan Moral hazard pada nasabah umumnya terjadi pada produk pembiayaan yang berbasis pada equity financing (mudharabah dan musyarakah) atau biasa dikenal dengan profit loss
sharing. Akad mudharabah yang tidak mensyaratkan jaminan dan juga memberikan hak penuh pada mudharib untuk menjalankan usaha tanpa campur tangan shahibul maal dan ditanggungnya kerugian oleh shahibul maal (kecuali kesalahan manajemen) mengakibatkan akad pembiayaan ini sangat rentan terhadap masalah Moral hazard. Moral hazard pada sisi nasabah ini merupakan isu global yang menyebabkan bank
syariah lebih 16 memilih dengan pembiayaan dengan basis debt financing (murabahah, ishtisna, dan salam). Pada penelitian ini, Moral hazard hanya dibatasi pada peran bank sebagai mudharib yang bertanggung jawab terhadap dana yang diamanahkan oleh pihak shahibul maal (mengacu kepada definisi dari Vaubel (1993) yang dikutip oleh Dreher (2004)).
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan selalu berdasarkan atas ilmu pengetahuan yang
sudah ada, yang diantaranya adalah berdasarkan pendapat para peneliti yang dapat menghasilkan pendapat yang kredibel dari penelitiannya. Penelitian terdahulu yang dapat saya jadikan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Bambang Dodi Santoso (2011) dengan judul Analisis Pengaruh CAR, NPF, FDR dan BOPO terhadap ROA (Perbandingan Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri 2008-2010). Dengan Variabel bebas, adalah CAR, NPF, FDR, serta BOPO, dan variabel terikat adalah ROA. Guna meneliti pengaruh variabel bebas terhadap varibel terikatnya tersebut, penulis menggunakan analisis regresi linear berganda,
hasil penelitiannya menghasilkan
bahwa CAR pada Bank Muamalat Indonesia berpengaruh negatif tidak signifikan secara linear terhadap ROA,sedangkan pada Bank Syariah Mandiri Berpengaruh 35
positif tidak signifikan secara linear terhadap ROA. NPF Pada Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri berpengaruh negatif tidak signifikan secara linear terhadap ROA. FDR pada Bank Muamalat Indonesia, berpengaruh positif tak
signifikan secara linear terhadap ROA. Sedangkan pada BSM berpengaruh negatif tidak signifikan secara linearnterhadap ROA. BOPO pada Bank Muamalat Indonesia dan BSM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA. Secara simultan CAR,NPF,FDR,BOPO Pada bank Muamalat Indonesia dan Bank syariah Mandiri secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap ROA.
Pengaruh Modal Inti,DPK dan NPF terhadap Tingkat Profitabilitas pada Bank Muamalat Indonesia Periode 2002-2010, merupakan penelitian yang dilakukan Endry (2011). Dimana Variabel bebasnya adalah Modal Inti, DPK,NPF dan ROA sebagai variabel terikat. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Peneliti menyatakan bahwa Tingkat kecukupan modal berpengaruh positif terhadap profit (ROA), Dana Pihak Ketiga berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ROA. Sedangkan NPF berpengruh negatif dan tidak signifikan terhadap ROA. Sedangkan I‟Shaam Abdul Baaqi (2011) atas dasar penelitiannya yang berjudul Pengaruh FDR dan NPF terhadap Profitabilitas pada PRT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk pada periode tahun 2002 sampai dengan 2010 menyatakan bahwa FDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Untuk NPF berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROA. Dan FDR dan NPF secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap ROA. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Pengaruh
Non
Performing
Financing
(NPF)
Musyarakah
terhadap
Profitabilitas(ROA) pada Bank Syariah Muamalat. merupakan penelitian yang dilakukan Nikmatulah Tubagus.A.F pada tahun 2010, dengan menggunakan analisis regresi linear berganda, yang menyimpulkan bahwa NPF berpengaruh negatif terhadap ROA. Husnul Fitra (2009) dengan judul skripsi “Pengaruh non Performing Financing (NPF) musyarakah terhadap tingkat profitabilitas pada PT.Bank Syariah 36
Mandiri, hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat pengaruh negatif antara NPF Musyarakah dengan tingkat profitabilitas.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No 1
Nama
Judul
Variabel
Alat
Peneliti
Penelitian
Penelitian
Analisis
Hasil Temuan
Bambang Analisis
1.Variabel
Regresi
NPF
Dodi
Pengaruh
Independen
Berganda
Muamalat Indonesia
Santoso
CAR,NPF,dan
CAR,NPF,
berpengaruh negatif
(2011)
BOPO
dan ROA
tidak
terhadap ROA
pada
Bank
signifikan
terhadap ROA 2.Variabel Dependen ROA
2
Endry
Pengaruh
(2011)
Modal
1.Variabel
Regresi
Tingkat
Berganda
modal
berpengaruh
DPK,NPF dan DPK,NPF
positif
terhadap
ROA
profit (ROA), Dana
inti Independen
kecukupan
2.Variabel
Pihak
Ketiga
Dependen
berpengaruh negatif
ROA
dan tidak signifikan terhadap
ROA.
Sedangkan
NPF
berpengruh
negatif
dan tidak signifikan terhadap ROA.
37
3
I‟Shaam
Pengaruh FDR
1.Variabel
Regresi
FDR
Abdul
dan NPF
Independen
Berganda
positif dan signifikan
Baaqi
terhadap
FDR,NPF
(2011
Profitabilitas
berpengaruh
terhadap
ROA. NPF
Untuk
pada Bank
2.Variabel
berpengaruh negatif
Muamalat
Dependen
tidak
Indonesia,Tbk
ROA
terhadap ROA. Dan
pada periode
FDR dan NPF secara
tahun 2002
bersama-sama
sampai dengan
berpengaruh
2010
signifikan
signifikan
secara terhadap
ROA. Alat analisis yang
digunakan
adalah regresi linear berganda. 4
Nikmatul Pengaruh Non 1.Variabel ah
Performing
Independen
Tubagus.
Financing
NPF
A.F
(NPF)
Musyarakah
(2010)
Musyarakah terhadap
Regresi
NPF berpengaruh
Berganda
negatif terhadap ROA.
2.Variabel
Profitabilitas(R Dependen OA) 5
ROA
Husnul
Pengaruh non 1.Variabel
Regresi
Terdapat pengaruh
Fitra
Performing
Independen
Sederhana
negatif antara NPF
(2009)
Financing
NPF
Musyarakah dengan
(NPF)
Musyarakah
tingkat
38
musyarakah
profitabilitas.
terhadap
2.Variabel
tingkat
Dependen
profitabilitas
ROA
pada PT.Bank
Syariah
Mandiri
Sumber: Jurnal-jurnal penelitian terdahulu diolah
2.3 Kerangka Pemikiran Bank syariah sebagimana bank konvensional berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Peran bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary) yang tugas pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat, dan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan (kredit dalam perbankan konvensional). Pertumbuhan setiap bank akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana dari masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK). Selain itu, bank juga menghimpun dana dari beberapa pihak yaitu dana pihak pertama (pinjaman jangka pendek) dan dana pihak ke dua (pinjaman jangka panjang). Danadana yang di gunakan untuk pembiayaan sebagian besar berasal dari dana pihak ketiga. Dendawijaya (2003 : 56) mengatakan bahwa “dana pihak ketiga adalah dana yang berasal dari masyarakat dan merupakan sumber dana yang terbesar yang paling di andalkan oleh bank”. Seperti yang di ungkapkan oleh Susilo (2000 : 62) “pada dasarnya sumber dana dari masyarakat atau (DPK) dapat berupa tabuangan, giro, dan deposito”. Peyaluran dana dalam bentuk pembiayaan biasanya mendominasi sebagaian besar pengalokasian dana bank. Suhardjono (2003: 3) mengemukakan bahwa 39
“Penyaluran kredit atau pembiayaan merupakan bisnis utama bank, sehingga bagian terbesar dari asset bank berupa kredit atau pembiayaan”. Peyaluran pembiayaan ini diharapkan mendapatkan kauntungan sehingga dapat mengembangkan usaha. Dalam
UU No. 10 Tahun 1998 di sebutkan bahwa :
“Pembiayaan adalah peyediaan uang atau tagihan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangaka waktu tertentu dengan imbalan/bagi hasil”.
Salah satu pembiayaan yang turut serta menyumbang aktivitas perbankan
syariah adalah pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Istilah lain dari musyarakah adalah sharikah atau syirkah atau kemitraan (sri dan Wasilah, 2008: 134). Syafi‟I Antonio (2001: 90) mendefinisikan musyarakah sebagai berikut : Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Syafi‟I Antonio, 2001:90) Jadi, musyarakah merupakan akad kerjasama diantara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut. Modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seijin mitra lainya. Setiap mitra memberi kontribusi dalam pekerjaan dan ia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak lepas tangan dari aktivitas yang dilakukan mitra lainya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal. Pengertian AI-mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila 40
rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk
pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau
tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial
yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.
Perjalanan aktivitas bisnis perbankan syariah pada dasarnya tidak terlepas dari hambatan dan risiko kegagalan. Begitu juga dengan praktik pembiayaan dalam perbankan syariah. Risiko pembiayaan mudharabah dan musyarakah antara lain kurang lancarnya pengembalian pembiayaan atau non performing financing (NPF) yang bisa mengandung kemungkinan kegagalan, sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan bank. Secara luas non performing financing didefinisikan sebagai suatu kredit dimana pembayaran yang dilakukan tersendat-sendat dan tidak mencukupi kewajiban minimum yang diterapkan sampai dengan kredit yang sulit untuk memperoleh pelunasan atau bahkan tidak dapat ditagih.Hal ini disebabkan karna pembiayaan mudharabah dan musyarakah termasuk pembiayaan yang berbasis natural uncertainty contracts (Adiwarman, 2006: 80). Risiko tersebut juga timbul karena ketidakmampuan nasabah dalam memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo. Menurut Mahmoedin (2004 : 52), non performing fianancing pada dasarnya disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Lukman Dendawijaya (2005 : 86) mengungkapkan bahwa “sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan bermasalah yaitu hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan (income) dari pembiayaan yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk pada profitabilitas bank”. 41
Pemberian pembiayaan oleh bank syariah dimaksudkan sebagai salah satu usaha bank untuk meningkatkan perolehan laba. Berkaitan dengan profitabilitas, menurut Muhammad (2005 : 271) bahwa alokasi penggunaan dana bank syariah pada
dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank seperti aktiva yang menghasilkan (Earning Assets)
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan dampak buruk dari
non
performing financing (NPF) bagi kinerja keuangan bank. Kinerja keuangan bank
dapat dilihat dari laporan keuangan. Laporan keuangan berisi akun-akun dari hasil
transaksi bank baik dalam proses penghimpunan dana dari pihak ketiga dan modal sendiri maupaun dari penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan. Dari data-data yang tercantum dalam laporan keuangan, manejemen bank dapat menghitung rasio keuangan bank dengan cara menganalisis rasio keuangannya. Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan. Dengan demikian profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank. Menurut Suhardjono bahwa profitabilitas adalah : “Kemampuan suatu bank mendapatkan profit, biasanya ditunjukkan dengan marjin, baik margin kotor, margin usaha, maupun margin bersih. Profitabilitas juga bisa menunjukkan pengambilan keuntungan bank baik terhadap modal yang dimiliki bank (Return On Equity) maupun terhadap asset (Return On Assets). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja kauangan bank dalam rasio adalah return on equty (ROE). ROE merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri (Suad Husnan dan Enny, 2004: 73). Rasio ini digunakan sebagai indikator keberhasilan manajemen dalam memaksimalkan kembalian kepada pemegang saham. Semakin tinggi rasio menunjukan semakin besarnya kemampuan perusahaan dalam manghasilkan laba bersih bagi pemilik perusahaan/pemegang 42
saham (Suhardjono, 2003 : 419). Rico dan Rudy (2003: 28) sependapat dengan hal ini bahwa “semakin tinggi rasio akan semakin baik karena memberikan tingkat kembalian yang lebih besar kepada pemegang saham.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan suatu pendapatan atau laba Pembiayaan bermasalah yang dialami oleh bank akibat pembayaran kembali
pembiayaan yang tidak lancar akan berpengaruh terhadap pendapatan dan profit yang
diterima oleh bank. Hal ini seperti dikemukakan oleh Y. Sri Susilo (2002 : 101) yaitu: “Alokasi dana yang telah berhasil dihimpun bank dalam berbagai bentuk aktiva mengandung resiko yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat mengganggu kelancaran dan kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan.” Pembiayaan mudharabah dan musyarakah dimaksudkan untuk menyatukan capital dengan labour (skill and entrepreneurship) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional karena memang sistem tersebut diciptakan untuk menunjang mereka yang menciptakan capital (modal). Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank adalah kualitas kredit yang ditunjukan oleh tingkat pengembaliannya, jumlah modal, mobilisasi dana masyarakat dalam memperoleh sumber dana yang murah, penerapan tingkat bunga bank, manajemen pengalokasian dana dalam menekan biaya operasi. Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa pembiayaan merupakan bagian dari aktiva bank yang berpotensi mendatangkan keuntungan dan kerugian. Ketika pembiayaan tersebut memilki tingkat pengembalian yang baik, maka dapat dikatakan bahwa NPF pembiayaan tersebut rendah, sehingga kemungkinan besar bank memperoleh keuntungan lebih besar. Namun ketika pembiayaan yang dilakukan oleh bank memilki tingkat pengembalian yang buruk (pembiayaan bermasalah), maka dapat dikatakan bahwa NPF pembiayaan tersebut tinggi, sehingga dapat mengurangi pendapatan yang seharusnya diterima oleh bank tersebut, pada 43
akhirnya menyebabkan penurunan perolehan laba. Dapat disimpulkan bahwa “Semakin besar NPF pembiayaan maka semakin rendah profitabilitas bank, sebaliknya semakin kecil NPF pembiayaan maka semakin besar profitabilitas
bank(Sumber Dikutip Dari: Hidayatullah:2008). Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, paradigma penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
44
BANK SYARIAH
Penyaluran Dana
Pembiayaan
Pembiayaan Mudharabah h
Lancar (Pass)
Pembiayaan Musyarakah
Dalam Perhatian Khusus (Special Mention)
Kurang Lancar (substandard)
Diragukan (Doubtful)
Macet (Loss) )
NPF Mudharabah dan Musyarakah
Pendapatan
Profitabilitas (ROE)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran (Sumber:Diolah Penulis) 45
2.4 Hipotesis Hipotesis menurut Sugiyono (2006: 51), merupakan “jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian”. Dikatakan sementara karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum
jawaban yang empirik. Maka dengan mengacu pada tinjauan pustaka, kajian empiris, dan kerangka pemikiran diatas.
Hipotesis yang penulis rumuskan dalam penelitian ini adalah: Hipotesis 1: NPF pembiayaan mudharabah memiliki pengaruh negatif terhadap profitabilitas pada P.T Bank Syariah Muamalat Indonesia Hipotesis 2: NPF pembiayaan musyarakah memiliki pengaruh negatif terhadap profitabilitas pada P.T Bank Syariah Muamalat Indonesia Hipotesis 3: NPF pembiayaan mudharabah dan tingkat resiko pembiayaan musyarakah secara simultan memiki pengaruh negatif terhadap profitabilitas pada P.T Bank Syariah Muamalat Indonesia
46