BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Download A. Depresi. 1. Pengertian Depresi. Depresi merupakan salah satu diantara bentuk sindrom gangguan- gangguan keseimbangan mood (suasana peras...

0 downloads 1040 Views 125KB Size
1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian Depresi Depresi merupakan salah satu diantara bentuk sindrom gangguangangguan keseimbangan mood (suasana perasaan). Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah hal yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan. Namun orang dengan gangguan mood (mood disorder) yang luar biasa parah atau berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal (Semiun, 2006). Depresi dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, perasaan tidak berharga, merasa kosong, putus harapan, selalu merasa dirinya gagal, tidak berminat pada ADL sampai ada ide bunuh diri (Yosep, 2009). Dalam pedoman penggolongan dan diagnosa gangguan jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) (1993) disebutkan bahwa gangguan utama depresi adalah adanya gangguan suasana perasaan, kehilangan minat, menurunya kegiatan, pesimisme menghadapi massa yang akan datang. Pada kasus patologi, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsang, disertai menurunya nilai dari delusi, tidak mampu dan putus asa (Maslim, 2001).

2

2. Ciri-ciri Umum Depresi Menurut Nevid dkk, (2003) ciri-ciri umum dari depresi adalah : a.

Perubahan pada kondisi emosional Perubahan pada kondisi mood (periode terus menerus dari

perasaan terpuruk, depresi, sedih atau muram). Penuh dengan air mata atau menangis serta meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan atau kehilangan kesadaran. b.

Perubahan dalam motivasi Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan untuk

memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur. Menurunya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial. Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas yang menyenangkan. Menurunya minat pada seks serta gagal untuk berespon pada pujian atau reward. c.

Perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik Gejala-gejala motorik yang dominan dan penting dalam

depresi adalah retardasi motor yakni tingkah laku motorik yang berkurang atau lambat, bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan dari biasanya. Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk tidur kembali). Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit). Perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan). Beraktivitas kurang efektif atau energik dari pada biasanya, orang-orang yang menderita depresi sering duduk dengan sikap yang terkulai dan tatapan yang kosong tanpa ekspresi. d.

Perubahan kognitif

Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih. Berpikir negatif mengenai diri sendiri dan masa depan. Perasaan bersalah atau menyesal mengenai kesalahan dimasa lalu. Kurangnya self-esteem atau merasa tidak adekuat. Berpikir kematian atau bunuh diri.

3

3. Faktor Penyebab Depresi Menurut Nevid dkk (2003) Faktor-faktor yang meningkatkan resiko seseorang untuk terjadi depresi meliputi : a. Usia Depresi mampu menjadi kronis apabila depresi muncul untuk pertama kalinya pada usia 60 tahun keatas. Berdasarkan hasil studi pasien lanjut usia yang mengalami depresi diikuti selama 6 tahun, kira-kira 80% tidak sembuh namun terus mangalami depresi atau mengalami depresi pasang surut. b. Status sosioekonomi Orang dengan taraf sosioekonomi yang lebih rendah memiliki resiko yang lebih rendah memiliki resiko yang lebih besar dibanding mereka dengan taraf yang lebih baik. c. Status pernikahan Berlangsungnya pernikahan membawa manfaat yang baik bagi kesehatan mental laki-laki dan perempuan. Pernikahan tak hanya melegalkan hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan, karena ikatan suami-istri ini juga dipercaya dapat mengurangi risiko mengalami depresi dan kecemasan. Namun, bagi pasangan suami istri yang gagal membina hubungan pernikahan atau ditinggalkan pasangan karena meninggal, justru akan memicu terjadinya depresi. Hasil penelitian para ilmuwan di New Zealand’s University of Otago baru-baru ini. Studi yang dipimpin oleh Kate Scott ini meneliti 34.493 orang yang tersebar di 15 negara. Dalam studi itu diketahui bahwa berakhirnya hubungan suami istri karena perceraian atau kematian dapat meningkatkan risiko mengalami gangguan kesehatan mental. Dari sini terlihat bahwa fakta yang juga sesuai dengan hasil survei dari WHO World Mental Health (WMH) itu menjelaskan bahwa kesehatan mental amat dipengaruhi oleh sebuah perkawinan. Bisa juga tergambar bagaimana kondisi kesehatan mental bagi

4

seseorang yang tidak pernah menikah dibandingkan dengan mereka yang mengakhiri pernikahan. Scott mengatakan dalam studi itu diketahui bahwa menikah memberikan dampak lebih baik ketimbang tidak menikah bagi kesehatan jiwa untuk semua gender. (Rachmanto, 2010) d. Jenis kelamin Menurut Schimeilpfering (2009), beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi : a.

Perbedaan hormon seks

Mengingat bahwa puncak onset gangguan depresi pada perempuan bertepatan dengan reproduksi tahun (antara usia 25 sampai 44 tahun usia), faktor resiko hormon mungkin memainkan peran. Estrogen dan progesteron telah ditunjukkan untuk mempengaruhi neurotransmitter, neuroendokrin dan sistem sirkadian yang telah terlibat dalam gangguan suasana perasaan. Fakta bahwa perempuan sering mengalami gangguan suasana hati yang berhubungan dengan siklus menstruasi mereka, seperti gangguan pramenstruasi dysphoric, juga menunjukkan hubungan antara hormon seks wanita dan suasana perasaan. Selain itu, fluktuasi hormon yang berhubungan dengan kelahiran adalah pemicu umum bagi gangguan suasana perasaan. Meski menopause adalah saat ketika seorang wanita risiko depresi berkurang, periomenopausal periode adalah masa peningkatan resiko bagi orang-orang dengan riwayat depresi besar. Hormon lain faktor yang dapat menyebabkan risiko wanita untuk depresi adalah

perbedaan

jenis

kelamin

berhubungan

dengan

hypothalmic-hipofisis-adrenal (HPA) axis dan untuk tiroid berfungsi.

5

b.

Perbedaan gender Sosialisasi

Para peneliti telah menemukan bahwa perbedaan gender dalam sosialisasi

dapat

memainkan

peran

juga.

Gadis

kecil

disosialisasikan oleh orangtua dan guru untuk lebih memelihara dan sensitif terhadap pendapat orang lain, sementara anak lakilaki didorong untuk mengembangkan kesadaran yang lebih besar penguasaan dan kemandirian dalam kehidupan mereka. Jenis sosialisasi berteori mengarah pada depresi pada wanita lebih besar, yang harus melihat keluar diri mereka untuk validasi. c.

Perbedaan gender dalam menghadapi masalah

Penelitian

menunjukkan

bahwa

perempuan

cenderung

menggunakan emosi yang lebih fokus, ruminative mengatasi masalah, merenungkan masalah mereka ke dalam pikiran mereka, sementara laki-laki cenderung menggunakan masalah yang lebih fokus, gaya coping mengganggu untuk membantu mereka melupakan masalah. Telah dihipotesiskan bahwa mengatasi gaya ruminative ini bisa mengakibatkan lebih lama dan lebih parah episode depresi dan berkontribusi lebih besar perempuan kerentanan terhadap depresi. d.

Perbedaan Frekuensi dan Reaksi terhadap Stres dalam

kehidupan Bukti menunjukkan bahwa, sepanjang hidup mereka, perempuan mungkin mengalami peristiwa kehidupan yang lebih stres dan memiliki kepekaan yang lebih besar bagi mereka daripada pria. Gadis-gadis remaja cenderung untuk melaporkan peristiwa kehidupan yang lebih negatif daripada anak laki-laki, biasanya berkaitan dengan hubungan mereka dengan orang tua dan teman sebaya, dan untuk mengalami tingkat kesulitan yang lebih tinggi berhubungan dengan mereka. Studi tentang wanita dewasa telah menemukan bahwa perempuan lebih mungkin daripada laki-laki menjadi tertekan dalam menanggapi peristiwa hidup yang penuh

6

tekanan dan mengalami peristiwa yang menegangkan dalam waktu enam bulan sebelum episode depresif besar. e.

Peran sosial dan pengaruh budaya

Juga telah berteori bahwa perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dan ibu dapat menemukan peran mereka, sementara perempuan yang mengejar karir di luar rumah mungkin akan menghadapi diskriminasi dan ketidaksetaraan pekerjaan atau mungkin merasa konflik antara peran mereka sebagai seorang istri dan ibu dan pekerjaan mereka. Karena keadaan sosial mereka, peristiwa kehidupan buruk yang berhubungan dengan anak-anak,

perumahan

atau

reproduksi

dapat

memukul

perempuan sangat keras karena mereka menganggap area ini sebagai hal penting bagi definisi mereka sendiri dan mungkin merasa

mereka

tidak

memiliki

alternatif

cara

untuk

mendefinisikan diri ketika daerah ini terancam. Dengan demikian wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar dari pada pria untuk megalami depresi. Meski terdapat perbedaan gender pada prevalensinya, wacana depresi adalah sama untuk keduanya. Pria dan wanita untuk gangguan tersebut tidak berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh, keparahan/durasi kambuh atau jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya. (Nevid dkk, 2003). Sedangkan Menurut Durrand dan Barrow (2006) Faktor-faktor penyebab gangguan suasana perasaan depresi antara lain: a. Pengaruh genetik Bukti terbaik bahwa gen berhubungan dengan gangguan suasana perasaan adalah datang dari twin studies (studi orang kembar). Dalam studi ini menelaah frekuensi kembar identik (dengan gen identik) yang memiliki gangguan dibanding kembar fraternal yang hanya memiliki 50% gen identik (seperti anggota keluarga tingkat pertama lainya). Studi tersebut melaporkan bila salah satu pasangan kembar

7

mengalami depresi berat, maka 59% diantara pasangan kembar identik dan 30 % diantara diantara fraternal juga menunjukkan adanya gangguan suasana perasaan. b. Peristiwa kehidupan stressful Stres dan trauma adalah dua diantara kontribusi unik yang paling menonjol didalam etiologi semua gangguan psikologis. Sebagian besar orang yang mengembangkan depresi melaporkan bahwa mereka kehilangan pekerjaan, bercerai, atau megalami stres berat yang lain. c. Learned Helplessness Learned helpessness theory of depression adalah teori Seligman yang mengatakan bahwa orang menjadi cemas dan depresi ketika membuat atribusi bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupanya. d. Negative cognitive styles Menurut Beck (1976) dalam Durrand dan Barrow (2006) Depresi dapat timbul dari kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadiankejadian sehari-hari secara negative. Menurut Beck penderita depresi memandang yang terburuk dalam segala hal. Beck melihat bahwa pasien-pasien depresi selalu berpikir negatif tentang dirinya sendiri, dunianya, dan masa depanya. Tiga bidang yang secara bersama-sama disebut sebagai depressive cognitive triad (tiga serangkai kognisi depresi). e. Hubungan Pernikahan Hubungan pernikahan yang tidak memuaskan terkait erat dengan depresi. Karena berdasarkan studi Bruce dan kim (1992) dari 695 perempuan dan 530 laki-laki, selama kurun waktu sejumlah partisipan bercerai atau berpisah dengan pasanganya. Diperkirakan 21% perempuan yang bercerai menyatakan bahwa dirinya mengalami depresi. Dan hampir 21% laki-laki yang bercerai mengalami depresi berat.

8

f. Jenis kelamin Perbedaan gender dalam perkembangan gangguan emosional sangat dipengaruhi

oleh

persepsi

mengenai

ketidakmampuan

untuk

mengontrol. Sumber perbedaan ini bersifat kultural, karena peran jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat kita. Lakilaki sangat didorong untuk mandiri, masterful, dan asertif. Sedangkan perempuan sebaliknya, diharapkan lebih pasif, sensitif terhadap orang lain, dan mungkin lebih banyak tergantung pada oaring lain diibanding laki-laki. g. Dukungan sosial Semakin banyak jumlah dan semakin tinggi frekuensi hubungan dan kontak sosial semakin panjang pula harapan hidup kita. Hasil Studi mengemukakan tentang pentingnya dukungan sosial didalam onset depresi. Dalam studi pada perempuan yang mengalami stres serius, didapatkan bahwa 10% diantara perempuan yang memilki teman berbagi rahasia yang memiliki depresi dibanding 37% perempuan yang tidak memilki hubungan dekat yang suportif. 4. Tingkatan Depresi Depresi menurut PPDGJ-III dalam Maslim (2001), dibagi dalam tiga tingkatan yaitu depresi ringan, sedang dan berat. Dimana perbedaan antara episode terletak pada penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan. Menurut Beck dan Deck dalam Hidayat, (2007) dalam mengukur tingkat depresi pada lansia, terdiri dari 13 kelompok gejala masing masing kelompok gejala diberi penilaian antara 0-4 diantaranya: 1. Keadaan perasaan sedih (sedih, putus asa, tak berdaya dan tak berdaya, tak berguna). 2. Pesimis 3. Kegagalan

9

4. Ketidakpuasan 5. Rasa bersalah 6. Tidak menyukai diri sendiri 7. Membahayakan diri sendiri 8. Menarik diri 9. Keragu-raguan 10.

Perubahan gambaran diri

11.

Kesulitan kerja

12.

Keletihan

13.

Anoreksia

B. Usia Lanjut 1.

Pengertian Usia Lanjut Menurut Depkes RI (2001) usia lanjut merupakan seorang laki-laki

atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena suatu hal tidak mampu lagi berperan secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negaranegara maju seperti Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan mereka yang telah menjalani siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (Hawari, 2007). Usia lanjut diartikan sebagai perubahan biasa yang muncul pada pematangan genetik yang mewakili kondisi-kondisi lingkungan ketika mereka bertambah biologisnya. Jadi usia lanjut adalah mereka yang mengalami perubahan perubahan fisik secara wajar antara lain: kulit sudah tidak kencang lagi, otot-otot sudah mengendor, dan organ-organ tubuh kurang berfungsi dengan baik (Prawitasari, 1994) 2. Pembagian usia lanjut Menurut Ismayadi (2004) lanjut usia dibagi menjadi :

10

a. Batasan menurut World Health Organization (WHO) meliputi : 1)

Usia pertengahan (midle age), yaitu kelompok usia 45

sampai 59 tahun. 2)

Usia lanjut (elderly), yaitu kelompok usia 60 sampai 74

tahun. 3)

Usia lanjut tua (old), yaitu kelompok usia 75 sampai 90

tahun. 4)

Usia sangat tua (verry old), yaitu kelompok usia diatas 90

tahun. b. Menurut UU No.4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut : seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai umur, 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. c. Saat ini berlaku undang undang No. 15 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut yang berbunyi sebagai berikut; usia lanjut adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. 3. Proses Penuaan Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2000) Menua atau menjadi tua dapat diartikan sabagai suatu proses menghilangnya secara pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan suatu proses fisiologik yang berlangsung perlahan-lahan dan efeknya berlainan pada tiap individu. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh (Nugroho, 2000). Proses menua pada seseorang sebenarnya sudah mulai terjadi sejak pembuahan atau konsepsi dan berlangsung sampai saat kematian. Proses

11

menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada usia lanjut (Kuntjoro, 2002 ). Dengan demikian manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan stuktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes militus dan kanker yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidosis, metastasis kanker dan sebagainya (Martono & Darmojo, 2004). 4.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut Menurut Boedi Darmojo (2004), menjadi tua bukanlah suatu

penyakit atau sakit, tetapi suatu perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang yang sering dikenal dengan geriatric giant. Dimana lansia mengalami 13i, yaitu immobilisasi, instabilitas (mudah jatuh), intelektualitas terganggu (demensia), isolasi (depresi), inkontinensia, impotensi, imunodefisiensi, infeksi mudah terjadi, impaksi (konstipasi), iatrogenesis (salah diagnosis), insomnia, impairment of

(gangguan pada); penglihatan,

pendengaran, pengecapan, penciuman, komunikasi dan integritas kulit, inaniation (malnutrisi). Menurut setiabudhi (1999). Perubahan yang terjadi pada lansia yaitu: 1)

Perubahan dari aspek biologis

Perubahan yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu adanya perubahan genetika yang mengakibatkan terganggunya metabolisme protein, gangguan metabolisme Nucleic Acid dan Deoxyribonucleic (DNA), terjadi ikatan DNA dengan protein stabil

12

yang mengakibatkan gangguan genetika, gangguan kegiatan enzim dan sistem pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein diotak, otot, ginjal darah dan hati, terjadinya pengurangan parenchim serta adanya penambahan lipofuscin. 1) Perubahan yang terjadi di sel otak dan saraf berupa jumlah sel menurun dan fungsi digantikan sel yang tersisa, terganggunya mekanisme perbaikan sel, kontrol inti sel terhadap sitopalasma menurun, terjadinya perubahan jumlah dan

stuktur

mitokondria,

degenerasi

lisosom

yang

mengakibatkan hidrolisa sel, berkurangnya butir Nissil, penggumpalan kromatin, dan penambahan lipofiscin, terjadi vakuolisasi protoplasma. 2) Perubahan yang terjadi di otak lansia adalah menjadi atrofi yang beratnya berkurang 5 sampai 10% yang ukurannya kecil terutama dibagian prasagital, frontal, parietal, jumlah neuron berkurang dan tidak dapat diganti dengan yang baru, terjadi pengurangan neurotransmitter, terbentuknya struktur abnormal di otak dan akumulasi pigmen organik mineral (lipofuscin, amyloid, plaque, neurofibrillary tangle), adanya perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak seperti gangguan indra telinga, mata, gangguan kardiovaskuler, gangguan kelenjar thyroid, dan kortikodteroid. 3) Perubahan jaringan yaitu terjadinya penurunan sitoplasma protein, peningkatan metaplastik protein seperti kolagen dan elastin. 2)

Perubahan Psikologis Perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan

secara fisiologis. Masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia terhadap kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berarti adanya penarikan diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain. Lansia dianggap terlalu lamban dengan daya reaksi

13

yang lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak dan berfikir menurun. Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya individual differences pada lansia. Lansia memiliki kepribadian yang berbeda dengan sebelumnya. Penyesuaian diri lansia juga sulit karena ketidakinginan lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi (Hurlock, 1980). 3)

Perubahan seksual Pada dasarnya perubahan fisiologis yang terjadi pada

aktivitas seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurologiknya (Alexander & Allison, (1989) dalam Darmojo & Martono,Edisi ke-3 2004). Untuk suatu pasangan suamiistri, bila semasa usia dewasa dan pertengahan aktivitas seksual mereka normal, akan kecil sekali kemungkinan mereka akan mendapatkan masalah dalam hubungan seksualnya. 4)

Perubahan sosial Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial

mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (Santrock, 2002). 5.

Permasalahan yang terjadi pada lansia a.

Permasalahan dari Aspek Fisiologis Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang

dipengaruhi oleh faktor kejiwaan sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran

14

berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi organ didalam perut, dinding pembuluh darah menebal sehingga tekanan darah tinggi, otot jantung bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi terutama pada wanita, otak menyusut dan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta seksualitas tidak terlalu menurun. b.

Permasalahan dari Aspek Psikologis

Menurut Hadi Martono (1997) dalam Darmojo (1999), beberapa masalah psikologis lansia antara lain: 1)

Kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat

meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama gangguan pendengaran harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian karena aktivitas sosialnya tinggi, lansia yang hidup dilingkungan yang beranggota keluarga yang cukup banyak tetapi mengalami kesepian. 2)

Duka cita (bereavement), pada periode duka cita ini

merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia. meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka cita biasanya bersifat self limiting. 3)

Depresi, persoalan hidup yang mendera lansia seperti

kemiskinan, usia, stress yang berkepanjangan, penyakit fisik

15

yang tidak kunjung sembuh, perceraian atau kematian pasangan, keturunan yang tidak bisa merawatnya dan sebagainya dapat menyebabkan terjadinya depresi. Gejala depresi pada usia lanjut sedikit berbeda dengan dewasa muda, dimana pada usia lanjut terdapat gejala somatik. Pada usia lanjut rentan untuk terjadi: episode depresi berat dengan ciri melankolik, harga diri rendah, penyalahan diri sendiri, ide bunuh diri, penyebab terjadinya depresi merupakan gabungan antara faktor-faktor psikologik, sosial dan biologik. Seorang usia lanjut yang mengalami depresi bisa saja mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan menyangkal adanya depresi. Yang sering terlihat adalah hilangnya tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur atau keluhan rasa sakit dan nyeri kecemasan dan perlambatan motorik, (Stanley&Beare, 2002). 4)

Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu

fobia, gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan ganggua obstetif-kompulsif. Pada lansia gangguan cemas merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu obat. 5)

Psikosis pada lansia, dimana terbagi dalam bentuk psikosis

bisa terjadi pada lansia, baik sebagai kelanjutan keadaan dari dewasa muda atau yang timbul pada lansia. 6)

Parafrenia, merupakan suatu bentuk skizofrenia lanjut yang

sering terdapat pada lansia yang ditandai dengan waham (curiga) yang sering lansia merasa tetangganya mencuri barangbarangnya atau tetangga berniat membunuhnya. Parafrenia biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi atau diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.

16

7)

Sindroma diagnose, merupakan suatu keadaan dimana

lansia

menunjukkan

penampilan

perilaku

yang

sangat

mengganggu. Rumah atau kamar yang kotor serta berbau karena lansia ini sering bermain-main dengan urin dan fesesnya. Lansia sering menumpuk barang-barangnya dengan tidak teratur.

C. Kerangka Teori Skema 2.1 kerangka teori

Faktor penyebab terjadinya depresi • Pengaruh keluarga dan genetik • Learned helplessness • Pikiran negatif • Peristiwa kehidupan stressful • Status Pernikahan • Jenis kelamin

Depresi lanjut usia

• Dukungan sosial • Usia • Status sosioekonomi • Penyakit fisik yang diderita • Penurunan fungsi fisik Sumber : modifikasi Durand & barlow (2006) dan Nevid dkk (2003).

D. Kerangka Konsep Skema 2.2 kerangka konsep

Variabel Independent Jenis kelamin Usia Status pernikahan

Variabel Dependent Tingkat Depresi

17

Variable dependent adalah variable terikat yang dipengaruhi oleh veriable independent. Dalam proposal penelitian ini, tingkat depresi pada lanjut usia merupakan variable dependent atau terikat yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan status pernikahan sebagai variabel independent. Kondisi pendahuluan atau variabel independent dikaitkan dengan terjadinya kondisi atau efek lain atau variabel dependent. . E. Hipotesis Hipotesis dari rencana penelitian ini adalah 1. Adanya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat depresi pada lanjut usia. 2. Adanya hubungan antara usia dengan tingkat depresi pada lanjut usia. 3. Adanya hubungan antara satatus pernikahan dengan tingkat depresi pada lanjut usia.