EKONOMI DAN KEADILAN

Download nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. ... 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemer...

0 downloads 456 Views 262KB Size
KEADILAN DALAM EKONOMI Tulus Tambunan Kadin Indonesia-JETRO, 2006 I. Pendahuluan Salah satu dari tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas bisnis, dan fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut masalah pembagian barang dan jasa yang terbatas kepada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas. Penekanan dalam paradigma ini adalah “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, dengan anggaran yang terbatas, seseorang berusaha mendapatkan rumah baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau produsen, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan tenaga kerja yang ada, seorang produsen berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan keuntungan paling tinggi baginya. Karena kelangkahan selalu muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah bisa dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah apabila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau apabila di suatu wilayah yang sangat luas dan sangat kaya akan sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin besar masalah distribusi, yang berarti semakin besar masalah keadilan di dalam ekonomi. Keadilan juga merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika bisnis, karena bisnis adalah kegiatan ekonomi. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jualbeli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi lainnya dengan tujuan memperoleh keuntungan. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan paling besar. Namun, etika bisnis menjadi relevan pada saat bisnis dinilai dari sudut pandang moral. Misalnya, demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan membayar upah sangat murah kepada pekerjapekerjanya, atau agar produktivitas dapat ditingkatkan perusahaan tersebut mengganti tenaga manusia dengan mesin atau robot sehingga mem-phk-kan semua buruhnya. Kadin Indonesia-Jetro, 2006

1

www.kadin-indonesia.or.id

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke semua orang sesuai proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan mendapatkan pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila di negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak).

II. Etika Bisnis dan Keadilan. Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita, atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 lalu. Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah Indonesia. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi dengan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruhburuhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya Kadin Indonesia-Jetro, 2006

2

www.kadin-indonesia.or.id

membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin. Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika ..........dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima. 1 Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di dalam pembajakan kaset tersebut. Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada usaha mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah keluarga tani tanpa lahan atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 1 Menurut Keraf (1998), ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara, berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

3

www.kadin-indonesia.or.id

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi 2membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang snagat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosialekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif. Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. (hal. 142). Tetapi sekarang pertanyaannya adalah: apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan sumbangan masingmasing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang mendapat bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada abad ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini juga yang melandasi sistem pemilihan umum dibanyak 2 Keraf (1998) menjelaskan ada empat prinsip etika profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab, baik terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya, maupun atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Kedua, prinsip keadilan, yakni dalam melakukan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Ketiga, prinsip otonom, yaitu kalangan profesional diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Keempat, prinsip integritas moral, yakni kalangan profesional dituntut untuk melakukan tugas profesinya sesuai norma-norma yang ada (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

4

www.kadin-indonesia.or.id

negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. Kedua, teori sosialistis yang memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yang berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan. Contoh dari prinsip pertama tersebut misalnya adalah setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk orang-orang cacat, namun orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan kondisi tubuh yang prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu adalah misalnya gaji atau upah dikatakan adil jika sesuai dengan kebutuhan pekerja. Ketiga, teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil. Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, penekanan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada masalah serius dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya mempunyai masalah, terutama dalam ekonomi. Dalam teori pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih bagus dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian juga masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan.3 Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya dengan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Bertens (2000) menjelaskan sebagai berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga 3

Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai adil tidaknya keadilan distributif berdasarkan pembagian sama rata di Keraf (1993, 1998).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

5

www.kadin-indonesia.or.id

beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menjelaskan Keadilan individual sering kali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya dinaikkannya pajak, bisa mengakibatkan ketidakadilan struktural untuk golongan tertentu. ............Keadilan sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini adalah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial.

III. Ekonomi Berazas Pancasila Keadilan dalam ekonomi juga pada dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kemanusian yang adil dan beradab, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini muncul ungkapan yang sudah menjadi baku “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini tidak bisa dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain dan bersama-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yang baik

Keadilan tidak akan tercapai jika tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup semua warga, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh warga masyarakat (Bertens, 2000). Keadilan dalam ekonomi sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, untuk mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik juga demokrasi ekonomi yang berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yang cocok dengan kehidupan asli masyarakat Indonesia yang biasa bermusyawarah untuk mufakat (Karman, 2006). Keadilan dalam perekonomian Indonesia juga ditegaskan di dalam pidato Supomo dalam penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yang berdasarkan integralistik, Kadin Indonesia-Jetro, 2006

6

www.kadin-indonesia.or.id

yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya.…… Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga oleh karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). Di dalam UUD 1945, kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34. Dinyatakan di dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia harus mendapatkan pekerjaan agar dia dapat memperoleh penghidupan yang layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut ia dapat hidup layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang mengatakan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun di dalam ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, namun di dalam realitas, asas kekeluargaan bisa juga dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, ….dapat juga dengan usaha-usaha moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga usaha-usaha yang dapat diurus oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu tidak semuanya diusahakan oleh yang kuat permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu sampai hilar tanpa sisa sedikit pun untuk tempat usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh mampu membeli saham perusahaan cukup berarti. (hal.135). Kadin Indonesia-Jetro, 2006

7

www.kadin-indonesia.or.id

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang dapat dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam.......Perekonomian bangsa berjalan di luar amanat konstitusi.........Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan biaya hidup sehari-hari (hal.6) Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh pembuat kebijakan, yang tidak sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan dalam perekonomian nasional, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan.

IV. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi) merupakan dua masalah besar di banyak negara sedang berkembang (NSB), tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan besar karena, apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsukwensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rejim Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut? Walaupun perkembangan dari tingkat kemiskinan (persentase dari jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan) dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan menunjukkan suatu tren yang menurun sejak Orde Baru hingga sekarang, masih adanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di dalam negeri mencerminkan masih adanya ketidakadilan di dalam perekonomian nasional. Hal ini, sebagian, disebabkan oleh masih adanya kegiatankegiatan bisnis yang tidak bermoral, atau yang melanggar etika bisnis (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas), dan, sebagian lainnya, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak terlalu mendepankan keadilan sosial, atau yang sering dituding tidak berpihak pada orang miskin..

IV.1 Paradigma Trickle down Effects

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

8

www.kadin-indonesia.or.id

Di Indonesia, pada awal pemerintahan Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan ekonomi sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects. 4Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru hingga akhir tahun 1970-an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung pemerintahan/administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di Jawa (khususnya Jakarta dan sekitarnya) dibandingkan di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah (NT) yang tinggi. Pemerintah percaya bahwa nantinya hasil daripada pembangunan itu akan “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya. Memang paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan Orde Baru tersebut dapat dipahami, dan bahkan dapat dikatakan itu merupakan satu-satunya strategi yang tetap sesuai kondisi ekonomi Indonesia yang pada awal periode Orde Baru sangat buruk. Bagaikan banyak orang ingin makan roti, tetapi rotinya hanya satu potong kecil. Jika satu potong roti yang kecil tersebut dibagikan sama rata ke semua orang, tentu tidak akan membuat mereka kenyang. Oleh karena itu, rotinya harus diperbanyak dulu, baru setelah itu dibagikan secara rata ke semua orang. Masalahnya dalam era Orde Baru adalah bahwa pada saat pembangunan yang terpusatkan di Jawa dan hanya di sektor-sektor tertentu sudah cukup pesat, efek menetes kebawahnya ternyata relatif kecil (kalau tidak bisa dikatakan sama sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Walaupun perlu diakui bahwa tingkat kesenjangan di Indonesia selama Orde Baru relatif kecil untuk ukuran internasional dan tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang cukup signifikan (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di Bagian IV.2) Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari buruknya kualitas pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai dirubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi tujuan penting daripada pembangunan. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan perdesaan, dan modernisasi sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi, sudah banyak dilaksanakan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya) jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air. Efek “cucuran kebawah” merupakan salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di NSB pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teori yang menghasilkan kesimpulan bahwa akan terjadi efek “cucuran ke bawah” dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya. 4

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

9

www.kadin-indonesia.or.id

Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya di perdesaan), program Keluarga Sejahtera, program Keluarga Berencana (KB), program Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah Dasar, program Transmigrasi, kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) atau Propinsi (UMP), dan Jaringan Pengaman Sosial.

IV.2 Tren Perkembangan Kemiskinan dan Kesenjangan Sejak Orde Baru IV.2.1 Kemiskinan Pada awal Orde Baru (tahun 1966), rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dollar AS per tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di perdesaan dan sebagian besar dari jumlah ini bekerja di sektor pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil atau marjinal dan buruh tani. Sekitar 60% dari anak-anak di Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir 65% dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Pada tahun 1969 pemerintah mulai melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Repelita I, dan sejak itu dengan kebijakan ekonomi terbuka, investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya pemerintahan Soekarno dapat ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum krisis, Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 7%. Dengan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, pendapatan per kapita meningkat, dan dengan didukung oleh berbagai kebijakan dan program terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembangunan ekonomi perdesaan, sejumlah indikator sosial menunjukkan perbaikan yang sangat nyata. Pendapatan rata-rata per kapita per bulan meningkat dari US$ 940 pada tahun 1970 ke hampir US$ 2900 pada tahun 2000; jumlah bayi yang meninggal pada saat lahir berkurang dari 90 dari 1000 anak yang lahir hidup pada tahun 1980 ke 42 menjelang akhir 90-an; harapan hidup juga membaik dari 55 pada awal 80-an ke 66 pada akhir 90-an; persentase anak yang terdaftar di sekolah-sekolah pendidikan dasar hingga menengah meningkat; dan penduduk yang bisa membaca dan menulis membaik secara signifikan; (Tabel 1). Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan selama Orde Baru. Seperti yang ditunjukkan oleh statistik resmi di Tabel 2, 5persentase kemiskinan menurun dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan terbesar terjadi selama periode

Angka di Tabel 2 didasarkan metode Head Count Index, yang umum digunakan untuk menghitung penduduk miskin. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan seperti beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya, maupun kebutuhan hidup bukan makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi enerjinya minimal sebesar 2100 kilo kalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum enerjinya sebesar 2100 kilo kalori per hari. Dalam menghitung kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilo kalori per hari didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi 5

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

10

www.kadin-indonesia.or.id

70s hingga awal 80s dengan 13 persentase poin, sedangkan selama periode 1981-93 laju penurunannya hanya sekitar 16 persentase point. Pada saat krisis ekonomi 1997/98, kemiskinan mengalami peningkatan yang substansial karena banyaknya pekerja yang di-PHK-kan akibat banyaknya perusahaan yang terhimbas krisis. Pada tahun 1998, pada saat krisis mencapai titik klimaksnya, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 24,23%, dan setelah itu cenderung menurun terus. Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sekitar hampir 16% dari jumlah penduduk, dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah dicapai pada masa Orde Baru. Tabel 1: Beberapa Indikator Sosial di Indonesia dan Beberapa NSB Lainnya, 1970-2000 Awal Periode

Akhir Periode

Rata-rata per kapita GDP (dalam 1999 PPP$)* - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan

Indikator

1970 940 875 1 051

2000 2 882 4 413 2 216

Meninggal pada saat bayi (per 1.000 bayi yang lahir hidup) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

1980 90 55 119 86

1999 42 35 74 59

Harapan hidup pada saat lahir (tahun) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

55 65 54 60

66 69 63 64

Rasio pendaftaran pendidikan dasar (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

107 111 77 96

113 119 100 107

Rasio pendaftaran pendidikan sekunder (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

29 44 27 22

56 69 49 59

Buta huruf (% dari penduduk berumur 15 dan di atas)*** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

13(L), 27(P) 13(L), 29(P) 41(L), 66(P) 22(L),39(P)

9(L),19(P) 8(L),22(P) 34(L),58(P) 18(L),32(P)

Catatan: * Data adalah tiga tahun rata-rata, terpusat pada tahun yang ditunjukkan di atas. ** Data paling akhir adalah untuk 1997, bukan 1999. *** L=lelaki, P=perempuan Sumber: Balisacan dkk. (2002).

Masalah kesejahteraan ekonomi tidak hanya bicara soal berapa banyak orang miskin tetapi juga berapa banyak penduduk yang hampir miskin. Suatu negara yang presentase penduduk miskinnya rendah tidak selalu berarti awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelompok tersebut disebut penduduk referensi (BPS, 2005).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

11

www.kadin-indonesia.or.id

tingkat kesejahteraan di negara tersebut tinggi jika jumlah penduduknya yang masuk kategori hampir miskin lebih besar daripada jumlah penduduk kayanya. Di Indonesia, jumlah dan presentase penduduk hampir miskin pada tahun 2005 (Februari) disajikan di Tabel 3. Mereka yang tergolong hampir miskin dikategorikan sebagai kelompok yang rentan terperosok menjadi miskin apabila terjadi gejolak ekonomi dan sosial, seperti crisis ekonomi 1997/98 lalu, atau kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005 lalu. Tabel 2: Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia: 1976-2005 Tahun 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tingkat miskin (%) Perkotaan Perdesaan National 38,8 40,4 40,1 30,8 33,4 33,3 29,0 28,4 28,6 28,1 26,5 26,9 23,1 21,2 21,6 20,1 16,1 17,4 16,8 14,3 15,1 13,4 13,8 13,7 13,4 19,8 17,5 21,9 25,7 24,2 19,4 26,03 23,4 14,6 22,4 19,1 9,8 24,8 18,4 14,5 21,1 18,2 13,6 20,2 17,4 12,1 20,1 16,7 11,4 19,5 15,97

Jumlah orang miskin (juta orang) Perkotaan Perdesaan Nasional 10,0 44,2 54,2 8,3 38,9 47,2 42,3 9,5 32,8 9,3 31,3 40,6 9,3 25,7 35,0 9,7 20,3 30,0 9,4 17,8 27,2 8,7 17,2 25,9 34,01 9,4 24,6 49, 5 17,6 31,9 15,6 32,3 48,0 38,7 12,3 26,4 37,9 8,6 29,3 38,4 13,3 25,1 12,2 25,1 37,3 11,4 24,8 36,1 22,7 35,1 12,4

Sumber: BPS

Table 3: Jumlah dan Persentase Penduduk Hampir Miskin di Indonesia, 2005 (Februari) Daerah Perkotaan Perdesaan Nasional Sumber: BPS

Jumlah (juta) 7,9 18,3 26,2

Persentase 8,7 15,2 11,97

Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk hampir miskin di Indonesia hingga awal 2005 tercatat sebanyak 26,2 juta orang yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan. Lebih besarnya jumlah orang miskin dan hampir miskin di daerah perdesaan adalah hasil dari pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Kesempatan kerja, khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi, perbankan dan perdagangan moderen jauh lebih besar di daerah perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah. Ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

12

www.kadin-indonesia.or.id

ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. 6 Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di negara tersebut. Tabel 4 menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia mengalami penurunan dalam periode setelah krisis hingga 2005. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 4,33 dan 2,78 pada tahun 2005. Keadaan ini menandakan bahwa pada periode tersebut di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (BPS, 2005). Tabel 4: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia, 1999-2005 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS

Perkotaan 3,52 1,89 1,74 2,59 2,55 2,18 2,05

Perdesaan 4,84 4,68 4,68 3,34 3,53 3,43 3,34

Nasional 4,33 3,51 3,42 3,01 3,13 2,89 2,78

Kecenderungan menurunnya indeks kedalaman kemiskinan juga terlihat baik di perkotaan maupun di perdesaan, namun laju penurunan di perkotaan terlihat lebih fluktuatif. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh efek langsung yang lebih besar dari dinamika ekonomi nasional terutama kenaikan inflasi yang dirasakan oleh penduduk miskin di perkotaan daripada di perdesaan. Walaupun secara umum, indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Dalam kata lain, jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perkotaan dengan garis kemiskinan perkotaan relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perdesaan dengan garis kemiskinan perdesaan. Berikut, Tabel 5 menyajikan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia yang juga menunjukkan tren yang menurun selama periode yang sama. Pada tahun 1999 tercatat 1,23 dan menjadi 0,76 pada tahun 2005. Perkembangan ini menandakan bahwa selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di indonesia secara umum semakin berkurang, atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Penurunan ini juga terjadi di perkotaan dan perdesaan namun penurunannya di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (lihat Tabel 4), maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan; 6

Kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gap Index (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masingmasing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai P1 semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Keparahan kemiskinan diukur dengan Poverty Severity Index (P2 ), yang adalah jumlah dari kedalaman kemiskinan (P1) tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan kedalaman kemiskinan itu sendiri. Dengan mengkuadratkan P1 , P2 secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jauh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS, 2005).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

13

www.kadin-indonesia.or.id

bahkan lebih tinggi daripada di tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Misalnya pada tahun 1999, P2 di perdesaan tercatat hampir 1,4 dibandingkan 0,98 di perkotaan atau 1,23 di Indonesia secara total, dan pada tahun 2005 perbandingannya adalah masing-masing 0,89, 0,60, dan 0,76. Tabel 5: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 1999-2005 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS

Perkotaan 0,98 0,51 0,45 0,71 0,74 0,58 0,60

Perdesaan 1,39 1,39 1,36 0,85 0,93 0,90 0,89

Nasional 1,23 1,02 0,97 0,79 0,85 0,78 0,76

Kemiskinan antar propinsi disajikan di Tabel 6. Dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan dan perubahannya bervariasi menurut propinsi, dan variasi ini disebabkan oleh perbedaan antar propinsi dalam banyak hal yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti laju pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (yakni apakah padat tenaga kerja atau modal), kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan dan kesehatan, khususnya dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan implementasi dari program-program anti kemiskinan dari pemerintah pusat. Lebih dari 55% dari jumlah orang miskin di tanah air terdapat di pulau Jawa, yang memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang juga di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lainnya. Fakta ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah) dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa benar tentu dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk antardaerah tidak tinggi. Ada dua hal yang menarik dari data di tabel ini. Pertama, Jawa merupakan pusat kemiskinan di Indonesia Kawasan Barat (IKB), sedangkan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Indonesia Kawasan Timur (IKT). Paling besarnya kemiskinan di propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara lebih dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang rendah, bukan karena kepadatan penduduk karena jumlah penduduk di wilayah tersebut relatif sedikit. Kedua, sebagian dari propinsipropinsi di Indonesia mengalami penurunan sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami peningkatan

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

14

www.kadin-indonesia.or.id

kemiskinan selama periode yang diteliti, dan laju penurunan/peningkatan bervariasi per propinsi, yang erat kaitannya dengan kinerja perekonomian regional yang juga bervariasi menurut propinsi. Selain dalam bentuk banyaknya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat juga diukur dengan sejumlah variabel lain seperti jumlah rumah tangga yang membayar listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, yang memiliki sambungan telepon, yang memakai air PAM, yang punya rumah dengan lantai ubin, atau yang memiliki sanitasi yang baik per 1000 rumah tangga. BPS dkk. (2004), membuat suatu indeks yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) yang terdiri dari lima (5) unsur utama, yakni suatu proporsi dari jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, yang buta huruf, yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sarana kesehatan, dan balita kurang gizi (Tabel 7). Variasi antar propinsi dalam kelima indikator sosial ini erat kaitannya dengan perbedaanperbedaan antar propinsi dalam fasilitas-fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, di satu sisi, dan akses masyarakat dari semua golongan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut, di sisi lain, dan pendapatan masyarakat dalam nilai riil. Sedangkan adanya variasi tersebut mencerminkan tidak meratanya pembangunan ekonomi dan sosial antar propinsi di Indonesia. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi: 2000, 2001 dan 2002 Propinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/Papua

Jumlah (000) 2000 1.491,8 482,5 485,6 504,9 1.338,0 249,0 2.017,8 416,1 6.658,4 6.513,6 1.035,8 7.845,4 176,8 1.070,5 1.425,9 1.095,0 213,7 385,3 393,6 365,9 503,2 1.198,0 419,2 970,9

2001 1.359,7 643,3 491,6 480,4 1.113,8 308,5 1.674,1 127,9 247,5 3.532,3 6.856,7 767,6 7.508,3 1424,0 248,4 1.175,5 1.317,5 728,5 215,4 357,5 349,7 213,2 530,5 1.296,3 457,5 253,0 418,8 110,1 900,8

2002 1.199,9 1.883,9 496,4 722,4 326,9 1.600,6 372,4 1.650,7 106,2 286,9 4.938,2 7.308,3 635,7 7.701,2 786,7 221,8 1.145,8 1.206,5 644,2 231,4 259,8 313,0 229,3 564,6 1.309,2 463,8 274,7 418,8 110,1 984,7

% 2000 13,05 11,43 10,38 21,15 17,37 17,83 30,43 4,96 15,40 21,16 33,39 22,77 5,68 28,13 36,52 29,42 11,97 13,03 16,30 13,03 24,51 15,44 23,88 46,35

2001 11,73 15,16 10,06 19,71 16,07 21,65 24,91 13,28 3,14 15,34 22,07 24,53 21,64 17,24 7,87 30,43 33,01 19,23 11,72 11,92 14,04 10,67 25,29 16,50 25,20 29,74 34,79 14,03 41,80

2002 29,8 15,8 11,6 13,7 13,2 22,3 22,7 24,1 11,6 3,4 13,4 23,1 20,1 21,9 9,2 6,9 27,8 30,7 15,5 11,9 8,5 12,2 11,2 24,9 15,9 24,2 32,1 34,8 14,0 41,8

Indonesia

37.256,9**

37.108,4***

38.394,1

18,95**

18,40***

18,2

Keterangan: *= hasil estimasi berdasarkan KOR Susenas tahun 2000 dan 2001; **=tanpa Aceh dan Maluku; ***=tanpa Aceh Sumber: BPS (2001).dan BPS dkk. (2004).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

15

www.kadin-indonesia.or.id

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode Orde Baru dan yang mulai positif lagi sejak 1999 berperan sangat besar terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia selama ini. Tentu hubungan negatif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang dialami Indonesia tersebut tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah suatu faktor yang sangat penting bagi penurunan kemiskinan, tetapi bukan satu-satu faktor penentu. Kebijakan-kebijakan yang “pro-miskin” baik yang sifatnya langsung seperti memberikan kompensasi penurunan subsidi BBM kepada kaum miskin, modal kerja kepada pengusaha-pengusaha mikro dan kecil, dan subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, maupun yang sifatnya tidak langsung seperti proyek-proyek pembangunan infrastruktur padat karya, pembangunan desa-desa tertinggal (seperti IDT pada era Orde Baru), dan modernisasi sektor pertanian sangat

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

16

www.kadin-indonesia.or.id

Tabel 7:. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) menurut Propinsi, 1998, 1999 dan 2002 Propinsi

Penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun (%) 1999

Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/ Papua

12,7 13,5 16,2 12,4 14,2 16,2 16,6 15,4

Indonesia

2002

Angka buta huruf usia dewasa (%)

1999

61,5 47,9 46,4 71,8 57,3 59,7 59,2 54,4

28,8 11,6

10,5

6,9 4,2 5,3 4,4 6,3 6,6 7,4 8,2

17,8 15,2

15,0

11,7 31,5 19,5 18,6 10,4 24,5 10,7 12,0 21,2 11,7 17,0 13,1

1999

4,2 3,9 4,9 3,5 5,3 5,9 7,0 7,0 8,3 1,8 6,9 14,3 14,1 16,8 6,2 15,8 22,2 15,9 13,1 3,6 6,7 4,8 1,2 6,7 16,5 11,8 4,8 3,7 4,2 26,9

12,6 13,3 15,2 12,0 13,9 16,0 16,3 15,2 16,0 6,7 18,0 10,9 6,7 15,3 21,7 9,5 27,3 19,2 18,1 10,2 23,9 10,2 8,4 20,1 11,3 16,8 18,5 16,2 20,7 16,8

7,9 18,2 11,7 8,2 16,2

2002

Penduduk tanpa akses terhadap air bersih (%)

2,2 7,8 15,2 14,5 18,7 17,3 27,2 19,6 16,8 5,2 7,2 6,5 2,8 7,4 16,8 12,9 4,2

2002

Penduduk tanpa akses terhadap sarana kesehatan (%) 1999 37,6 20,9 21,7 39,2 21,5 28,9 24,8 34,5

54,5

48,5 41,8 42,4 58,9 47,4 52,7 45,0 45,9 48,9 30,3 53,0 39,8 38,9 36,7 55,8 27,8 52,3 46,8 78,5 66,7 41,5 37,3 35,7 53,8 45,1 41,3 62,4 43,9 43,2 61,6

51,9

44,8

40,2 62,1 47,8 48,9 43,0 34,2 62,5 41,9 78,4 68,2 46,7 35,8 44,5 51,7 49,1 43,6 52,1

2002

IKM

1999

2002

28,3

31,3

28,4 24,8 23,4 25,1 22,7 27,7 22,7 23,9 25,2 13,2 23,0 21,0 16,1 21,7 25,1 17,3 30,2 28,9 38,0 30,7 25,5 19,1 17,8 28,9 24,6 25,8 32,4 22,9 27,9 30,9

30,0

25,8

25,2

22,7

36,0 21,6

23,1

23,8

1999 31,4 24,5 24,4 32,3 26,3 27,3 27,1 27,9

35,6 35,3 34,0 27,9 32,9 26,4 30,0 29,1

14,9 17,5 38,2 43,3 26,2 16,2 19,6 26,1 30,2 26,0 21,3

2002

IKM

35,2 33,0 28,0 18,4 25,0 28,2 26,4 24,2 21,1 23,2 21,5 25,0 16,9 25,5 20,5 18,7 37,8 38,8 33,2 31,9 30,2 21,5 21,9 29,6 29,1 28,3 42,0 29,3 29,6 28,3

38,0 30,4 27,6 29,7 23,1 36,0 22,0 29,8 35,3 2,9 19,0 20,9 7,7 22,2 23,5 19,8 21,6 32,8 50,1 33,6 27,3 22,2 18,4 36,8 27,3 37,4 32,7 26,1 42,2 36,1

2,0 22,4 17,1 8,6 17,1

Peringkat

Balita kurang gizi (%)

23,7 27,2 30,5 17,3 30,7 21,0 39,7 38,7 42,0 30,5 29,0 31,9 25,8 34,9 33,9 27,1 29,3

15,5 26,9 23,2 18,5 23,4 18,7 33,7 29,5 38,7 29,0 24,4 20,6 22,7 28,4 26,3 22,9 24,7

Sumber: BPS dkk (2004).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

17

www.kadin-indonesia.or.id

1999

2002

23 11 10 24 13 17 16 18

23 15 12 16 9 21 8 13 18 1 11 6 22 27 17 3 26 24 30 27 19 5 4 25 14 20 29 10 22 29

1 15 7 2 8 3 25 21 26 20 9 4 5 19 14 6 12 22

diperlukan agar pertumbuhan ekonomi mempunyai suatu dampak positif yang berarti bagi pengurangan kemiskinan. Sebagai perbandingan, Tabel 8 menunjukkan kemiskinan di sejumlah negara di Asia dan Tabel 9 menyajikan perbandingan hasil penghitungan proporsi populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan di sejumlah NSB berdasarkan garis kemiskinan nasional dan dengan pendekatan Bank Dunia yakni berdasarkan pengeluaran 1 dan 2 dollar AS per hari. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang laju penurunan kemiskinan per tahun cukup tinggi relatif dibandingkan di negara-negara lain di tabel tersebut, sedangkan pada tahun 1960an Indonesia merupakan negara termiskin setelah Filipina dan Bangladesh. Pada tahun 1960 sebanyak 60% dari jumlah penduduk saat itu hidup di bawah batas miskin, dan pada tahun 2000 menjadi 14.6%. Perkembangan ini menandakan bahwa usaha-usaha pemerintahan pada era Orde Baru relatif sangat berhasil dalam mengurangi kemiskinan di dalam negeri. Ini yang membuat Indonesia dipakai sebagai salah satu contoh success story dalam pengentasan kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di NSB. Tabel 8. Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya, Berdasarkan Garis-Garis Kemiskinan Nasional, 1970-2000 Negara

Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang berlaku/Indeks HC (%) 1970 1980 1990 2000

China 33,0 28,0 10,1 Korea Selatan 23,0 10,0 8,2 (1993) Indonesia 60,0 29,0 16,8 Malaysia 18,0 9,0 6,1 (1989) Filipina 61,6 (1971) 59,7 (1985) 45,2 (1991) Thailand 26,0 17,0 18,0 Viet Nam .. 75,0 (1988) 58,0 (1993) Bangladesh 71,0 (1973/74) 52,3 (1983/84) 49,7 (1991/92) India 55,6 48,4 (1978) 40,9 (1992) Nepal .. 41,4 (1984/85) .. Pakistan 54,0 (1961) 29,1 (1986/87) 26,1 (1990/91) Sri Lanka 37,0 (1963) 27,3 (1985/86) 22,4 (1990/91) Keterangan; di dalam kurung adalah tahun yang menjadi ukuran. Sumber: Indonesia: BPS; untuk Negara-negara lain tersebut: ESCAP & UNDP (2003).

4,6 11,6 (1999) 14,6 8,1 (1999) 40,0 14,2 37,0 (1998) 39,8 26,1 (1999/2000) 44,6 (1995/96) 32,6 22,9 (1995/96)

Rata-rata pertumbuhan (%) 1980s 1990s -6,4 -1,4 -4,8 -3,6 -4,0 0,6 -4,5 -0,6 -1,1 .. -2,6 -3,6

-5,4 6,9 8,8 3,3 -1,3 -2,1 -7,2 -2,3 -4,5 .. 2,9 0,4

Sedangkan dari Tabel 9, satu hal yang sangat menarik adalah bahwa sebenarnya besarnya kemiskinan di suatu negara sangat tergantung pada garis kemiskinan yang ditentukan sebelumnya. Seperti yang dapat dilihat, pada saat garis kemiskinan adalah 1 dollar AS per hari, banyak negara yang menunjukka angka kemiskinan yang relatif rendah; namun pada saat batas miskin dinaikkan ke 2 dollar AS per hari, tingkat kemiskinan di negara-negara tersebut meningkat cukup signifikan. Di Indonesia, dengan memakai batas miskin 1 dollar AS per hari, jumlah orang miskin, yakni mereka yang pengeluarannya per hari lebih kecil dari 1 dollar AS (atau sekitar Rp 9000 dengan kurs rata-rata Rp 9000 per dollar AS), tercatat sekitar 7,5% dari jumlah populasi; namun pada saat batas miskin di naikkan 100% (atau sekitar Rp18.000 per hari), tingkat kemiskinan di Indonesia naik drastis ke 52,4%. Tabel 9: Kemiskinan di Sejumlah NSB; data terakhir (%) 18

Negara

Tahun survei

Tingkat kemiskinan nasional berdasarkan garis kemiskinan Nasional

Tahun survei

Tingkat kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan internasional Di bawah US$1/hari Di bawah US$2/hari

Albania 11,8 2002 25,4 2002 <2,0 Argentina 14,3 1998 29,9** 2001 3,3 Bangladesh 82,8 2000 49,8 2000 36,0 Bolivia 34,3 1999 62,7 1999 14,4 Brazil 22,4 1990 17,4 2001 8,2 Cambodia 77,7 1997 36,1 1997 34,1 Cameroon 50,6 2001 40,2 2001 17,1 Chile 9,6 1998 17,0 2000 <2,0 China 46,7 1998 4,6 2001 16,6 Costa Rica 9,5 1992 22,0 2000 2,0 Egypt 43,9 1999-00 16,7 2000 3,1 El Savador 58,0 1992 48,5 2000 31,1 Guatemala 37,4 2000 56,2 2000 16,0 India 79,9 1999-00 28,6 1999-00 34,7 Indonesia 52,4 16,6 2002 7,5 Korea, Rep. <2,0 2004* .. 1998 <2,0 Lao PDR 73,2 38,6 1997-98 26,3 Malaysia 9,3 1997-98 15,5 1997 <2,0 9,9 Mexico 26,3 1989 10,1 2000 45,1 Nicaragua 79,9 1988 47,9 2001 7,2 Panama 17,6 1998 37,3 2000 18,1 Peru 37,7 1997 49,0 2000 14,6 Philippines 46,4 1997 36,8 2000 <2,0 Thailand 32,5 1997 13,1 2000 <2,0 Tunisia 6,6 1992 7,6 2000 <2,0 Uruguay 3,9 1995 .. 2000 17,7 Vietnam 22,9 1993 50,9 1998 Keterangan: * = data BPS (dalam laporan Bank Dunia ini, data Indonesia untuk tahun 1999 dengan tingkat kemiskinan 27,1%). ** = perkotaan Sumber: Bank Dunia (database)

IV.2.1 Kesenjangan Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. 7Karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan di dalam banyak studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia selama ini didekati dengan penggunaan data pengeluaran rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang 7

Ada empat cara yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan, yakni koefisien Gini, ukuran Bank Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran atau pendapatan kumulatif yang membandingkan distribusi dari pengeluaran/pendapatan dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini punya nilai antara 0 dan 1. Nilai 0 artinya pemerataan sempurna, sedangkan nilai 1 artinya ketimpangan sempurna. Sedangkan Indeks Theil dan Indeks-L masuk dalam famili ukuran ketimpangan ”generalized enthropy”. Nilai dari kedua indeks tersebut vervariasi antara 0 dan ∞ (tidak terhingga) dengan 0 mewakili distribusi pendapatan yang merata dan nilai di atas itu mewakili tingkat ketimpangan. Semakin tinggi nilainya berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan. Bedanya antara Indeks Theil dan Indeks –L adalah nilai α di dalam penghitungan indeks-indeks tersebut. Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1. Dengan α = 0, disebut Indeks Theil, dan α = 1 disebut Indeks-L, yakni ukuran deviasi log rata-rata karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari log pendapatan. Sedangkan ukuran Bank Dunia adalah pembagian penduduk menurut kelompok pendapatan, yakni 40% terendah, 40% menengah, dan 205 terendah.

19

tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan. Demikian pula, pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja, atau menjual jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang tua mereka). 8 Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan perkembangan sejumlah variabel-variabel ekonomi makro selama Orde Baru hingga krisis ekonomi terjadi, seperti misalnya laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata per tahun, peningkatan pendapatan nasional (PN) per kapita, diversifikasi ekonomi, dan pangsa ekspor non-migas, diakui ada keberhasilan daripada pembangunan ekonomi selama periode tersebut. Akan tetapi, keberhasilan suatu pembangunan ekonomi tidak dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau peningkatan pendapatan secara agregat atau per kapita. Tetapi, bahkan lebih penting, harus dilihat juga dari pola distribusi dari peningkatan pendapatan tersebut. Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dollar AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. 9Sedangkan, sisanya (80%) hanya menikmati 10% dari PN. Atau, kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti. Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang memang berusaha memperbaiki ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Hasil dari upaya pemerintah selama Orde Baru untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bisa dilihat pada perkembangan koefisien Gini sejak 1965 hingga 1999 dengan memakai data SUSENAS. Selama 1965-70, rata-rata laju pertumbuhan PDB di Indonesia masih sangat rendah sekitar 2,7%, dan koefisien Gini rata-rata per tahun sebesar 0,35. Selama 1971-80 laju pertumbuhan PDB jauh lebih besar, rata-rata 6% per tahun dengan koefisien Gini rata-rata per tahun sedikit di atas 0,4. Ini berarti selama periode itu, pertumbuhan memang sangat baik namun kesenjangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pengeluaran konsumsi semakin memburuk. Sedangkan, selama 1981-90 pertumbuhan PDB 5,4% per tahun dan koefisien Gini rata-rata per tahun

8 Lihat pembahasan lebih dalam mengenai isu ini dari Hasibuan (1978, 1980, 1995). 9 Berarti dapat dibayangkan secara sederhana: 10 persen dari penduduk menikmati 0,90 x (US$1080 x jumlah penduduk).

20

sedikit di atas 0,3. Walaupun ada variasi antara tahun-tahun tertentu, perubahan koefisien Gini tersebut menandakan bahwa dalam periode 1980-an, dibandingkan 1960-an hingga 1970-an, tingkat ketidak-merataan pembagian pendapatan di tanah air menunjukkan penurunan. Sebagaimana negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya, koefisien Gini di Indonesia juga meningkat selama awal 1990-an, tetapi kemudian menurun lagi secara tajam menjadi 0,32 tahun 1998, dan naik sedikit menjadi 0,33 tahun 1999 dan relatif stabil hingga awal tahun 2000-an. Pada tahun 2005, koefisien Gini tercatat 0.34. Menurut daerah, pada era 60-an tingkat kesenjangan pengeluaran konsumsi di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Baru sejak 1970-an ada perbaikan: angka Gini di perdesaan setiap tahun lebih rendah daripada di perkotaan. Selama 1980-1999 nilai rasio Gini di perdesaan berkisar antara 0,26 (terendah) dan 0,31 (tertinggi), sedangkan di perkotaan rata-rata 0,33. Pada tahun 2004, indeks Gini di perdesaan tercatat sekitar 0,27 dan diperkotaan 0,35 (Gambar 1) Kalau perubahan nilai Gini tersebut memang memberi gambaran yang sebenarnya, 10maka bisa dikatakan ada perbaikan dalam distribusi pendapatan di perdesaan. Gambar 1: Tren jangka panjang dari perkembangan koefisien gini dari pengeluaran konsumsi di Indonesia menurut wilayah perdesaan dan perkotaan, 1965-2004 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%

Perkotaan Perdesaan

1965 1970 1976 1980 1986 1990 1995 1998 2002 2003 2004 2005 Sumber: BPS

Tabel 10 menunjukkan Indeks Theil dan Indeks-L di perkotaan dan Perdesaan dan pada tingkat nasional selama periode 1996-2005. Dapat dilihat bahwa Indeks Theil dan Indeks-L mengalami penurunan selama periode 1996-1999 (Februari). Antara periode 1999-2002, Indeks Theil di perkotaan sedikit meningkat dari 0,1044 ke 0,1891 sedangkan di perdesaan menurun dari 0,1177 menjadi 0,1164. Sedangkan Indeks-L pada periode yang sama cenderung menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan, masing-masing, dari 0,1762 ke 0,1616 dan dari 0,1044 menjadi 0,1017. Pada periode 2002-2005, kedua indeks tersebut mengalami peningkatan baik di perkotaan maupun di perdesaan, yang mengindikasikan adanya ketimpangan pengeluaran penduduk yang semakin besar pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun 2002. 10

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan memakai data pengeluaran konsumsi rumah tangga (sebagai proksi daripada pendapatan), informasi yang didapat mengenai tingkat pendapatan dan distribusinya bisa tidak sama seperti keadaan sebenarnya. Dalam perkataan lain, dengan memakai data konsumsi tingkat kesenjangan lebih rendah, dibandingkan kalau menggunakan data pendapatan. Sebagai suatu contoh, kalau seorang kaya sangat pelit dalam pngeluaran; lebih suka menabung daripada beli pakaian atau makanan yang banyak, jumlah pengeluaran konsumsinya bisa relatif sama dengan jumlah konsumsi dari seorang yang tidak kaya yang membelanjakan semua gajinya untuk pembelian makanan dan pakaian.

21

Tabel 10: Indeks Theil dan Indeks-L di Indonesia, 1996-2005 Tahun Perkotaan 1996 0,264 1999 0,104 2002 0,189 2005 0,218 Sumber: BPS

Indeks Theil Perdesaan Nasional 0,150 0,261 0,118 0,151 0,116 0,149 0,123 0,167

Perkotaan 0,224 0,176 0,162 0,187

Indeks-L Perdesaan Nasional 0,133 0,216 0,104 0,133 0,102 0,128 0,112 0,147

Tabel 11 menunjukkan ukuran Bank Dunia mengenai ketimpangan distribusi pengeluaran di Indonesia untuk periode 1996-2005. Kelompok 40% terendah adalah bagian dari populasi termiskin; kelompok 40% menengah adalah yang sering disebut sebagai kelas masyarakat menengah; dan 20% teratas adalah bagian dari populasi terkaya. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di suatu wilayah dianggap tinggi jika pengeluaran konsumsi dari 40% penduduknya dengan pengeluaran konsumsi terendah kurang dari 12% dari total pengeluaran dari seluruh penduduk di wilayah tersebut. Jika porsi dari kelompok 40% ini antara12% hingga 17% dari total pengeluaran dari seluruh penduduk, tingkat ketimpangan dianggap sedang. Apabila rasionya di atas 17%, tingkat ketimpangan rendah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa selama periode 1996-2005, tingkat pemerataan distribusi pendapatan di perdesaan relatif lebih baik dibandingkan di perkotaan yang ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase pendapatan rata-rata per tahun yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan paling rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Tabel ini juga menunjukkan bahwa selama periode tersebut, terjadi peningkatan persentase pengeluaran pada kelompok 40% terendah bersamaan dengan penurunan di kelompok 20% teratas di perkotaan dan perdesaan. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa di Indonesia selama periode tersebut terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatan, yang dalam hal ini diwakili oleh data pengeluaran. 11 Pada tahun 2002 (Februari) persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah kembali meningkat dan dari kelompok 20% teratas menurun, dan ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Perkembangan ini menandakan bahwa pada tahun 1999-2002 ketimpangan di Indonesia mengalami penurunan. Sementara itu, pada periode 2002-2005 terjadi kebalikannya, yakni persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah menurun dan dari kelompok 20% teratas meningkat di perkotaan dan perdesaan, yang menandakan pada periode tersebut distribusi pendapatan (yang diwakili oleh distribusi pengeluaran) di Indonesia kembali memburuk. Namun demikian, secara keseluruhan, berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia baik di perdesaan maupun di perkotaan tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh porsi pengeluaran dari kelompok 40% termiskin di Indonesia jauh di atas 12%. Tabel 11: Distribusi Pengeluaran Penduduk di Indonesia Menurut Pengukuran Bank Dunia, 1996-2005 Daerah & Kelompok Penduduk

1996

1999

2002

2005

Menurut BPS (2005), penurunan ini lebih merupakan fenomena peningkatan pengeluaran dari golongan atas akibat harga dan tingkat suku bunga yang menurun pada periode tersebut; jadi bukan fenomena peningkatan pendapatan sepenuhnya.

11

22

Perkotaan -40% terendah -40% menengah -20% teratas

19,03 36,93 44,04

20,52 37,74 41,74

21,34 37,43 41,23

20,38 36,86 42,75

Perdesaan -40% terendah -40% menengah -20% teratas

23,18 38,99 37,83

24,59 39,53 35,88

24,97 39,27 35,75

24,19 39,13 36,68

20,25 35,05 44,70

21,50 37,35 41,15

22,83 38,19 38,98

21,84 37,73 40,43

Nasional -40% terendah -40% menengah -20% teratas Sumber: BPS

Selain ukuran-ukuran di atas, BPS (2005) juga mengukur ketimpangan dengan persentase pembagian pengeluaran menurut kuantil (1-5). Berdasarkan persentase pembagian pengeluaran pada kuantil 1 dan 2, ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Hal ini juga dapat dilihat dari rasio Q5/Q1 di perkotaan yang lebih besar dibandingkan di perdesaan (Tabel 12). Penemuan ini konsisten dengan penemuan-penemuan sebelumnya dengan koefisien Gini, Indeks Theil dan Indeks-L. Tabel 12: Persentase Pembagian Pengeluaran Menurut Kuantil di Indonesia, 2005 Kuantil Q1 Q2 Q3 Q4 Q5

Perkotaan 8,22 12,16 15,63 21,24 42,75

Perdesaan 10,22 13,96 17,27 21,86 36,68

Nasional 8,99 12,85 16,26 21,48 40,43

Rasio Q5/Q1 Sumber: BPS

5,20

3,59

4,50

Ketimpangan distribusi pendapatan juga terjadi antar propinsi. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, data BPS mengenai produk domestik regional bruto (PDRB) dari 27 propinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari PDB nasional berasal dari propinsi-propinsi di pulau Jawa, khususnya propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selama dekade 90-an propinsi-propinsi tersebut menyumbang lebih dari 60% terhadap pembentukan PDB Indonesia. Di pulau Jawa sendiri terjadi ketimpangan, terutama antara Jakarta dan wilayah di luar Jakarta. DKI Jakarta dengan luas wilayah hanya sekitar l0,03% dari luas tanah air (daratan) dan dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5% dari total populasi di Indonesia menikmati antar 15% hingga 16% lebih dari PDB nasional, sedangkan Jawa Timur misalnya paling tinggi hanya sekitar 15% pada tahun 1996 dan 1997, atau Jawa Tengah sekitar 10%. Memang dilihat dari data BPS sejak 1980-an hingga saat ini dan dibandingkan dengan 1970-an dan periode sebelumnya, diperoleh suatu gambaran adanya dekonsentrasi dari DKI Jakarta ke daerah-daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri dan jasa, ke daerah Jabotabek yang masuk dalam kawasan Jawa Barat. Walaupun demikian, DKI Jakarta masih tetap merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

23

Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa, jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas seperti D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur lebih kecil lagi. Sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 13 menunjukkan bahwa pada tahun 1995, D.I Aceh menyumbang sekitar 3% terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang sekitar 50%-nya. Ini artinya, 50% dari perekonomian D.I Aceh, relatif terhadap perekonomian nasional, tergantung pada sektor gas. Riau dan Kalimantan Timur juga demikian; dengan minyak kedua propinsi tersebut pada tahun 1995 menyumbang sekitar 5% terhadap PDB Indonesia; tanpa minyak, peran dari masing-masing propinsi hanya 2% dan 2.9.%. Pada tahun 2000, kontribusi output regional yang dihasilkan oleh D.I. Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas terhadap PDB nasional menurun menjadi masing-masing 2.5% dan 1.6%; sedangkan dari Riau meningkat menjadi 5,4%. Hal ini memberi kesan bahwa sektor migas bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi dari suatu wilayah yang kaya akan migas. Yang paling menyolot dari data di Tabel 13 adalah bahwa DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Satu hal yang pasti sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan perekonomian dari tiga propinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastuktur yang jauh lebih banyak dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ada di tiga propinsi tersebut. Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh antara lain Hughes dan Islam (1981), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan Khan ((1986), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995) Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998), Sjafrizal (1997,2000), dan Booth (2000). Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia kawasan barat (IKB) dan Indonesia kawasan timur (IKT) dan perbedaan dalam ketimpangan antarpropinsi antara kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation (WCV). 12Nilai indeks ini antara 0 dan 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut propinsi sangat merata (atau variasi PDRB per kapita antar propinsi sangat kecil), dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat disparitas sangat tinggi. 13 Tabel 13: Distribusi PDRB dengan dan tanpa Migas menurut Propinsi atas dasar harga konstan 1993: 1995-2000 (%) 12 Penghitungan WCV didasarkan pada coeffisient of variation (CV), yakni pembagian rata-rata dari standar deviasi. Williamson (1965) memodifikasi penghitungan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi populasi menurut wilayah(Ni /N). 13 Williamson (1965) menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayahwilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Penemuan ini sesuai hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan "hipotesa U terbalik": pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar propinsi cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita (dan laju pertumbuhannya) rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan ekonomi regional (Kuznets, 1957). Lihat juga Kuznets (1976), dan Easterlin (1960).

24

Propinsi

Denagan migas 1997 1998

1995

1996

Aceh Sumut Sumba Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Bali NTB NTT Maluku Irian Jaya

3,0 5,8 1,9 5,0 0,8 3,3 0,4 1,7 16,1 16,6 10,4 1,3 14,1 1,6 1,0 1,4 4,9 0,9 0,6 2,5 0,5 1,8 0,9 0,9 0,8 1,6

2,8 5,8 1,9 4,9 0,8 3,3 0,4 1,7 16,2 16,5 10,2 1,3 15,1 1,6 1,0 1,5 5,1 0,9 0,5 2,3 0,4 1,7 0,8 0,7 0,7 1,7

2,7 5,8 1,9 4,8 0,8 3,3 0,4 1,7 16,3 16,7 10,1 1,3 15,3 1,7 1,0 1,5 4,8 0,9 0,5 2,3 0,4 1,8 0,8 0,7 0,7 1,7

Σ Propinsi

100,0

100,0

100,0

Tanpa migas 1998 1999

1999

2000

1995

1996

1997

2000

2.8 5.9 2,0 5,2 0,8 3,5 0,4 1,8 15,2 15,6 10,4 1,3 14,4 1,9 1,8 1,1 1,6 5,4 1,0 2,6 2,5 0,4 0,9 0,7 0,8 2,1

2,6 6,0 2,0 5,3 0,8 3,6 0,4 1,8 15,0 15,7 10,3 1,3 14,4 1,9 1,8 1,1 1,6 5,6 1,0 0,6 2,5 0,4 0,9 0,7 0,6 2,1

2,5 6,0 2,0 5,4 0,8 3,7 0,4 1,8 14,9 15,8 10,2 1,3 14,4 1,9 1,8 1,0 1,6 5,5 1,0 0,6 2,5 0,4 1,1 0,7 0,5 2,1

1,7 6,1 2,0 2,0 0,8 3,1 0,5 1,9 17,7 17,4 10,8 1,4 16,6 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,6 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

1,7 6,2 2,0 2,1 0,8 3,1 0,5 1,9 17,7 17,3 10,7 1,4 16,5 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,5 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

1,7 6,3 2,0 2,2 0,8 3,1 0,5 1,8 17,8 17,3 10,5 1,4 16,6 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,5 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

1,8 6,4 2,2 2,5 0,8 3,3 0,5 2,0 16,7 16,1 10,4 1,4 15,8 2,1 2,0 1,2 1,7 3,2 1,0 0,6 2,7 0,5 1,0 0,8 0,8 2,4

1,7 6,5 2,2 2,5 0,8 3,3 0,5 2,0 16,4 16,4 10,6 1,4 15,8 2,1 2,0 1,2 1,7 3,3 1,1 0,7 2,7 0,5 1,0 0,8 0,6 2,3

1,6 6,6 2,2 2,6 0,8 3,2 0,5 1,9 16,3 16,6 10,5 1,4 15,8 2,1 2,0 1,1 1,7 3,1 1,1 0,7 2,8 0,5 1,2 0,8 0,6 2,3

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

Keterangan: tidak lagi termasuk Timor Timur dan belum memasukan propinsi-propinsi baru seperti propinsi Banten dsb.nya. Sumber: BPS (2001).

Dengan memakai data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antarpropinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu, sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini manandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB. Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya yang lain menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antarpropinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk NSB. NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia sejak awal 1970an. Sedangkan tingkat ketimpangan menunjukkan sedikit penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605 pada tahun 1998. Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan propinsi-propinsi yang kurang maju pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti 25

misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat perekonomian propinsi-propinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Tadjoeddin dkk. (2001) menganalisa ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagregat dengan memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada tahun itu, ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Hasil penghitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa PDRB dari tujuh daerah pusat produksi migas, yakni Aceh Utara (Aceh), Kepulauan Riau dan Bengkalis (Riau), Kutai, Bulungan dan Balik Papan (Kalimantan Timur), dan Fak-Fak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, karena kabupaten Kutai yang tetap memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi setelah dikurangi dengan penghasilan dari migas termasuk di dalam kedua kategori tersebut. Hasil penghitungan mereka menunjukkan bahwa semua daerah kantong itu dengan jumlah penduduk hanya sekitar 9% dari total populasi Indonesia menyumbang sekitar 33% dari PDB nasional. 14 Selain itu, Tadjoeddin dkk. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antar individu di dalam propinsi dan ketimpangan pendapatan antar propinsi, dengan indeks Theil dan indeks L Hasilnya di Tabel 14 juga menunjukkan kecenderungannya yang sama, yakni adanya migas dan daerah kantong memperparah ketimpangan regional di Indonesia. Selanjutnya, di Tabel 15 diperlihatkan bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60% hingga 70%. Tabel 14: Beberapa Indeks Ketimpangan Regional dalam PDRB per kapita (atas harga konstan 1993) menurut Kabupaten/Kota: 1993-1998 1993

1994

1995

1996

1997

1998

Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,412 0,363 0,248

0,411 0,366 0,251

0,411 0,371 0,256

0,415 0,378 0,267

0,415 0,381 0,271

0,407 0,363 0,257

Theil Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,342 0,263 0,102

0,339 0,268 0,104

0,336 0,275 0,108

0,338 0,282 0,119

0,339 0,288 0,122

0,345 0,266 0,109

0,274 0,213

0,273 0,217

0,270 0,222

0,277 0,230

0,277 0,234

0,268 0,212

Gini

L Total Tanpa Migas

Yang menarik dari studi mereka adalah jika out layers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisa, ketimpangan PDRB per kapita antar propinsi menjadi sangat rendah. Tanpa migas dan daerah kantong, nilai Gini dari distribusi PDB nasional per kapita menurut kabupaten/kota selama 1993-1998 berkisar antara 0,24 dan 0,27. Jika daerah kantong juga diperhitungkan, koefisien Gini naik sampai sekitar 0,36-0,38, dan tambah tinggi lagi menjadi sekitar 0,41 jika migas juga diikut sertakan 14

26

Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,096

0,098

0,102

0,110

0,114

0,103

WCV Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

1,076 0,923 0,483

1,067 0,938 0,489

1,070 0,962 0,511

1,073 0,966 0,526

1,080 0,982 0,534

1,165 0,965 0,501

Sumber: Tadjoeddin dkk (2001).

Hal lain yang menarik dari studi Tadjoeddin dkk. (2001) ini adalah mengenai ketimpangan di dalam propinsi. Dengan memakai data pengeluaran dan Indeks Theil dan Indeks-L, hasil analisis mereka menunjukkan bahwa ketimpangan dalam pengeluaran di dalam propinsi jauh lebih besar daripada ketimpangan antar propinsi. Pada tahun 1990, ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 83% terhadap ketimpangan pengeluaran konsumsi pada tingkat nasional. Sedang sisanya 17%, disebabkan oleh ketimpangan antarpropinsi. Pada tahun 1999 distribusinya sedikit perubah, namun kontribusi dari ketimpangan di dalam propinsi tetap dominan dalam penciptaan ketimpangan nasional. Penemuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pembangunan ekonomi yang timpang di Indonesia selama ini tidak hanya mengakibatkan ketimpangan antar daerah tetapi juga ketimpangan antara kaum kaya dengan kaum miskin di setiap daerah (Tabel 16).. Tabel 15: Persentase Perubahan Indeks-Indeks Ketimpangan antar Kabupaten/Kota setelah dikurangi Migas Dan Daerah Kantong: 1993-1998 Indeks Gini Theil L WCV

1993 40 70 65 55

1994 39 69 64 54

1995 38 68 62 52

1996 36 65 60 51

1997 35 64 59 51

1998 37 68 62 57

Sumber: Tadjoeddin dkk. (2001)

Studi lain yang juga dengan indeks Theil adalah dari Akita dan Alisjahbana (2002). Dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupaten/kota untuk periode 1993-1998, mereka melakukan analisis dekomposisi ketimpangan regional ke dalam tiga komponen, yakni antar-wilayah (yakni Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan ‘lainnya’), antar propinsi, dan di dalam propinsi. Studi ini menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997, ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7%, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun 1997. Hasil analisis dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh suatu kenaikan ketimpangan di dalam propinsi, terutama di Riau, Jakarta, dan Jawa Barat dan Jawa Timur. Tahun 1997, komponen ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 50% dari ketimpangan regional di Indonesia. Penyebaran dari efek dari krisis ekonomi, yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita ke tingkat tahun 1995, ternyata tidak merata lintas propinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun 1998 ketimpangan pendapatan regional menurun ke tingkat 1993-94. Berbeda dengan periode 1993-97, sekitar ¾ dari penurunan tersebut diakibatkan oleh suatu perubahan dalam ketimpangan antar propinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang suatu peran yang dominan. 27

Tabel 16: Ketimpangan Pengeluaran Konsumsi di dalam Propinsi dan antarpropinsi dengan Indeks Theil dan Indeks-L, 1990-1999 Theil Total Antar propinsi Di dalam propinsi % antar propinsi % di dalam propinsi

L

1990

1993

1996

1998

1999

1990

1993

1996

1998

1999

0,245 0,041 0,204 17 83

0,266 0,050 0,216 19 81

0,261 0,053 0,208 20 80

0,215 0,043 0,172 20 80

0,230 0,050 0,180 22 78

0,223 0,030 0,193 13 87

0,239 0,036 0,203 15 85

0,216 0,045 0,171 21 79

0,172 0,038 0,134 22 78

0,190 0,040 0,150 21 79

Sumber: Tabel 2 di Tadjoeddin dkk. (2001).

Bukti empiris diatas memberi kesan kuat bahwa pemerintah selama ini berhasil menahan tingkat ketimpangan paling tidak tetap rendah, dan rendahnya tingkat kesenjangan tersebut memperbesar efek positif dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi terhadap pengurangan jumlah orang miskin, terutama pada era Orde Baru. Secara teoritis, perubahan pola distribusi pendapatan di perdesaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini: 1. Akibat arus penduduk/tenaga kerja dari perdesaan ke perkotaan yang selama Orde Baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A. Lewis (1954), perpindahan orang dari perdesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap perekonomian di perdesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas dan pendapatan rata-rata masyarakat di perdesaan meningkat. Sedangkan, ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak mampu menampung suplai tenaga kerja yang meningkat terus setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah pendatang dari perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah/gaji, di pihak lain. 2. Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan dengan di perkotaan. Di perdesaan jumlah sektor relatif lebih kecil dibandingkan di perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di perdesaan lebih kecil (dilihat dari jumlah unit usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sektor) dibandingkan sektor-sektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat pendapatan per kapita di perdesaan yang lebih rendah daripada di perkotaan membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih sederhana daripada di perkotaan. Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relatif lebih kecil (kesempatan berusaha bagi individu lebih besar) di perdesaan dibandingkan di perkotaan. 3. Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk, diantaranya: a. semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian, seperti industri manufaktur (kebanyakan dalam skala kecil, atau industri rumah tangga, perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya, dan bangunan). Diversifikasi ekonomi perdesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan kerja di perdesaan dan juga menambah pendapatan petani; b. tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus manusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan (seperti di dalam teori A. Lewis), tetapi juga akibat penerapan/pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih baik, seperti 28

misalnya pupuk hasil pabrik, dan permintaan pasar domestik dan ekspor terhadap komoditas-komoditas pertanian meningkat; c. potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik dimanfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian semakin optimal). Tentu prestasi Indonesia mengenai keberhasilannya menahan tingkat ketimpangan tetap rendah dalam proses pembangunan yang pesat atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti pada masa pra-krisis 1997/98 tidak bisa diukur secara absolut, tetapi harus dilihat secara relatif dibandingkan di banyak negara lainnya, khususnya dari kelompok NSB. Untuk ini, Tabel 17 menyajikan data mengenai kesenjangan dalam distribusi pendapatan/ pengeluaran dengan kriteria Bank Dunia dari sejumlah NSB. Dilihat dari porsi dalam total pengeluaran dari kelompok 20% termiskin, dapat dikatakan bahwa Indonesia relatif baik dibandingkan banyak negara lainnya. Tabel 17. Ketimpangan Pendapatan di Sejumlah NSB Negara

Tahun survei

Albania 2002 Argentina 2001 Bangladesh 2000 Bolivia 1999 Brazil 1998 Cambodia 1997 Cameroon 2001 Chile 2000 China 2001 Costa Rica 2000 Egypt 1999 El Savador 2000 Guatemala 2000 India 1999-00 Indonesia 2002 Korea, Rep. 1998 Lao PDR 1997 Malaysia 1997 Mexico 2000 Nicaragua 2001 Panama 2000 Peru 2000 Philippines 2000 Thailand 2000 Tunisia 2000 Uruguay 2000 Vietnam 1998 Sumber: World Bank (2005a).

Indeks Gini

28,2 52,2 31,8 44,7 59,1 40,4 44,6 57,1 44,7 46,5 34,4 53,2 48,3 32,5 34,3 31,6 37,0 49,2 54,6 55,1 56,4 49,8 46,1 43,2 39,8 44,6 36,1

Persentase bagian dari pendapatan atau konsumsi 20% Terendah

20% Tertinggi

9,1 3,1 9,0 4,0 2,0 6,9 5,6 3,3 4,7 4,2 8,6 2,9 2,6 8,9 8,4 7,9 7,6 4,4 3,1 3,6 2,4 2,9 5,4 6,1 6,0 4,8 8,0

37,4 56,4 41,3 49,1 64,4 47,6 50,9 62,2 50,0 51,5 43,6 57,1 64,1 41,6 43,3 37,5 45,0 54,3 59,1 59,7 60,3 53,2 52,3 50,0 47,3 50,1 44,5

V. Kemiskinan di Pertanian Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor (World Bank, 2000). Namun, di Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat 29

kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan ini didukung oleh banyak fakta. Fakta pertama adalah bahwa sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini adalah pertanian. 15Walaupun tren perkembangan jangka panjangnya menurun, pertanian tetap paling banyak menyerap tenaga kerja (Tabel 18). Pada awal dekade 70-an, sekitar 67% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sekitar 46,3%. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja ini juga terjadi di banyak negara lainnya, yang merupakan salah satu ciri utama dari proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Gambar 2). Tabel 18: Kesempatan Kerja menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%) Sektor Pertanian Industri Pertambangan Lainnya Sumber: BPS

1971

1980

67,04 6,92 0,21 25,83

56,3 9,14 0,76 33,80

1985 54,66 9,28 0,67 35,39

1990 55,87 10,14 0,7 33,29

1995 43,98 12,64 0,8 42,58

2000 45,28 12,96 0,58 41,18

2003 46,26 12,04 0,98 40,72

Gambar 2: Pangsa Pertanian dalam Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja di Negara-Negara Tertentu di Asia [%]: 1985-2003 80 70 60

Indonesia

50

China

40

Thailand

30

Vietnam

20 10 0 1985

1990

1995

2000

2003

Sumber: BPS dan ADB database

Data berikut yang disajikan di Tabel 19 s/d Tabel 21 memperkuat bukti empiri bahwa posisi pertanian memang sangat krusial bagi pertumbuhan kesempatan kerja atau sumber pendapatan di Indonesia. Dapat dilihat bahwa sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja terdapat di daerah perdesaan, yang pada tahun 2003 tercatat 60% dari jumlah angkatan kerja yang bekerja, berkurang dari 75% pada awal dekade 90-an (Tabel 19). Sebagian besar dari tenaga kerja yang bekerja di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 20). Pada awal dekade 90-an, sektor ini menyerap sekitar 70%, dan sedikit menurun ke 68% pada tahun 15

Itu sebabanya kenapa ada suatu kepercayaan umum bahwa Indonesia sebagai suatu ekonomi agraris yang besar, hanya intervensi pemerintah di sektor pertanian yang bisa berdampak besar terhadap pengurangan kemiskinan di tanah air, atau seperti argumen dari Mason dan Baptist (1996), bahwa cara-cara langsung untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dari sisi kebijakan adalah lewat penyempurnaan kerja/mekanisme pasar atau menghilangkan distorsi-distorsi pasar terutama untuk output, tanah, dan modal.

30

2003. Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti elektronik, mesin, dan tekstil dan pakaian jadi berada di daerah perkotaan atau dipinggir kota-kota besar seperti Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar. Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam, dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di daerah perkotaan. Sumber pendapatan satu-satunya atau utama bagi sebagian besar rumah tangga (RT) di perdesaan berasal dari bertani, yang tercatat sebesar 46,3%; sedangkan di perkotaan sebaliknya, hanya sekitar 6%. Jumlah RT di perdesaan yang salah satu sumber pendapatannya di pertania juga cukup besar, yakni sekitar 13,2%. Bahkan sekitar 2,6% dari jumlah RT di perkotaan juga sangat tergantung pada pertanian (Tabel 21). .Tabel 19: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia, 1990-2003 (%) Sektor Perdesaan Perkotaan Sumber: BPS

1990

1995

75 25

67 33

2000

2003

62 38

60 40

Tabel 20: Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%) Sektor Pertanian Industri Jasa Source: BPS

1990

1995

70 9 22

60 11 29

2000

2003

66 10 24

68 9 24

Tabel 21: Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995 (%) Sumber Semua: - Pertanian - Non-pertanian Kombinasi - Sebagian besar pertanian - Sebagian besar non-pertanian Sumber: BPS

Nasional

Perdesaan

24,9 52,5 22,6 9,9 12,7

46,3 27,4 26,3 13,2 13,1

Perkotaan 6,0 84,0 10,0 2,6 7,4

Fakta kedua adalah bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di Indonesia bekerja di pertanian, seperti yang ditunjukkan oleh data SUSENAS di Tabel 22. Pada tahun 1996, tercatat hampir 69% dari jumlah keluarga miskin di Indonesia memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani (dengan lahan atau tanpa lahan sendiri) maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002 porsinya sekitar 67%. 16 Bahkan, satu hal yang menarik seperti yang ditunjukka di Tabel 23 adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa dilihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi

16

Satu hal yang menarik dari Tabel 8 adalah bahwa pada tahun 1998 walaupun jumlah keluarga miskin di pertanian meningkat, seperti juga terjadi di sektor-sektor lain pada masa krisis ekonomi, namun secara relatif menurun. Distribusi dari peningkatan kemiskinan menurut sektor pada tahun 1998 ini membuktikan bahwa pertanian bukanlah sektor yang paling menderita karena krisis. Pandangan ini juga didukung oleh studi dari Pradhan dkk. (2000) yang menganalisis peningkatan kemiskinan menurut sektor semasa krisis. Berdasarkan data SUSENAS Februari 1996-Februari 1999, hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa walaupun tingkat kemiskinan di pertanian juga mengalami peningkatan selama periode tersebut, namun menurun sebagai suatu persentase dari jumlah orang miskin di Indonesia.

31

dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya. Tabel 22: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan, 1996-2002 (%) Sektor Pertanian Industri Jasa

1996

1998

1999

2000

2001

2002

68,5 6,7 24,7

56,7 7,4 35,9

58,4 8,7 32,9

51,7 13,8 34,5

63,0 11,9 25,1

67,4 10,3 22,3

Sumber: BPS

Tabel 23: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002 (%) Sektor Pertanian Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa Lainnya Sumber: BPS.

Perkotaan 31,11 0,23 1,48 1,25 12,17 0,10 9,67 14,06 8,94 0,69 8,14 0,04

Perdesaan 69,09 1,34 2,23 0,49 4,98 0,02 3,63 5,00 2,73 0,08 2,40 0,06

Bukti empiris di Tabel 22 dan Tabel 23 merefleksi satu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari sektor-sektor lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut subsektor atau kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya, diantaranya distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun. V.1 Pembagian Lahan Yang Timpang Satu faktor penyebab kemiskinan di pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan ini disebabkan antara lain oleh distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya Undangundang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Data dari Sensus Pertanian (SP) menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh jumlah yang besar dan meningkat terus dari petani skala kecil. SP paling akhir tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 25,437 juta petani yang menggunakan/memiliki lahan, 13,663 juta atau hampir 57%-nya adalah petani marjinal/gurem dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8% per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah 2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4% per tahun (Tabel 24). Petani-petani gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan

32

pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan (Mason dan Baptist, 1996). Tabel 24: Distribusi Rumah Tangga Petani menurut Luas Lahan: 1983, 1993, 2003 (%) Luas (ha)

1983 8,5 37,7 24,1 29,7

<0,1 0,1-0,49 0,50-0,99 ≥1,0 Sumber: BPS

1993 7,0 40,7 22,4 29,9

2003 17,2 39,2 18,4 25,2

Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa peralihan lahan pertanian ke non-pertanian seperti untuk pembangunan jalan raya/tol, perumahan/apartemen, lapangan golf, pertokoan/plaza/mall, perkantoran dan pabrik dalam 10 tahun belakangan ini semakin pesat. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 25, untuk kasus lahan padi, walaupun setiap tahun ada lahan baru untuk pertanian, namun laju penambahannya lebih kecil daripada tingkat konversinya sehingga setiap tahun jumlah lahan untuk sawah atau ladang padi terus berkurang. Di Jawa selama periode 1999-2003 luas lahan konversi tercatat sebesar 149,1 ribu hektar (ha) atau dengan tingkat konversi 4,425, dan di luar Jawa mencapai hampir 424 juta ha atau 5,23%.

Tabel 25: Perubahan-perubahan Lahan Padi di Indonesia, 1999-2003 Wilayah Jawa Luar Jawa Indonesia

Luas lahan tetap untuk padi tahun 1999 (juta ha) 3,38 4,73 8,11

Luas lahan padi yang hilang (000 ha) 167,2 396,0 563,2

Luas lahan baru untuk padi (000 ha) 18,1 121,3 139,3

Luas lahan konversi (000 ha)

% dari konversi

-149,1 -274,7 -423,9

4,42 5,81 5,23

Sumber: BPS

Socio-economic Accounting Matrix (SAM) dari BPS memberikan suatu cara lain dalam melihat relasi positif antara tingkat pendapatan dari petani dan luas lahan yang dimiliki oleh petani. Dalam SAM, kelompok-kelompok rumah tangga pertanian dibagi dalam: buruh tani, petani yang memiliki lahan 0,5 hektar atau kurang, petani dengan lahan dari 0,5 hingga 1 hektar, dan petani dengan lahan lebih dari 1 hektar. Seperti dapat dilihat di Tabel 26, pekerja/buruh tani adalah dari kelompok keluarga tani dengan pendapatan terendah. Ini membuktikan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak lepas dari masalah kemiskinan di pertanian, dan yang terakhir ini erat kaitannya dengan masalah ketidak adilan dalam pembagian lahan pertanian. Tabel 26: Pendapatan bersih per kapita menurut kelompok rumah tangga pertanian (ribu rupiah), 1975-1999 Kelompok rumah tangga tani Buruh tani Petani dengan 0,5 ha/kurang Petani dengan 0,501 – 1,0 ha Petani dengan > 1,0 ha

1975 40,1 43,3 57,7 84,4

1980 102,2 133,9 154,8 198,9

1985 238,1 228,7 342,0 553,7

1990 415,3 548,9 656,5 1035,3

1993 468,2 757,6 901,9 1471,8

1995 616,7 934,5 1200,2 1758,8

1999 1629,7 1676,9 2650,5 3422,3

Sumber: BPS

33

Memang, konversi lahan pertanian terjadi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, yang merupakan konsukuensi langsung dari proses pembangunan ekonomi atau industrialisasi, pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat rata-rata per kapita. Namun demikian, sesuai sistem perekonomian Indonesia yang berazas Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat, pemerintah harus tetap berusaha, di satu sisi, memperlambat laju peralihan lahan pertanian, terutama mencegah pemusatan kepemilikan tanah oleh keluarga-keluarga kaya atau pemodal-pemodal besar yang hidup di perkotaan untuk tujuan-tujuan non-produktif atau yang tidak menciptakan sumber pendapatan atau kesempatan kerja yang signifikan bagi masyarakat, dan, di sisi lain, mempermudah petani mendapatkan sertifikat tanah. Jika penguasaan tanah oleh segelintir orang terus dibiarkan, sementara petani, khususnya dari kelompok skala kecil, tetap sulit mendapatkan sertifikat tanah, akses petani ke tanah dan air akan semakin kecil dan berarti kemiskinan akan meningkat. Padahal, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial di negara agraris seperti Indonesia. Kata kunci dari aksesibilitas atas tanah adalah property rights. Ketidak adilan dalam ekonomi dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property rights, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani atas tanah juga disinggug oleh Amartya Sen dengan asumsi mengenai entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan (Hadar, 2006). Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945 tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh kebijakan seperti ini. Padahal sebenarnya reformasi pembagian lahan adalah bagian dari kewajiban penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah Indonesia (seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia) berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam hal ini petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya (Hadar, 2006). Banyak negara yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata: kesejahteraan petani di negara-negara tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Hasil dari kebijakan dalam pembagian lahan pertanian di negara-negara ini menghancurkan hak monopoli dari landlords dan membuat petani yang tadinya sebagai penyewa menjadi pemilik tanah. Keuntungan dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar (2006) sebagai berikut, Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak positif karena selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai manager dan pekerja tani (halaman 6).

34

V.2 Pendidikan Petani Yang Rendah Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk peningkatan produktivitas, dan peningkatan rasio output-tenaga kerja ini pada gilirannya berkorelasi positif terhadap peningkatan pendapatan riil per pekerja. Dalam perkataan lain, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau memerangi kemiskinan, peningkatan produktivitas menjadi suatu keharusan, dan untuk mencapai ini, pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat. Hal ini juga berlaku di sektor pertanian. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas di atau buruknya kualitas dari sebagian besar hasil pertanian Indonesia selama ini adalah karena pendidikan rata-rata petani dan buruh tani relatif rendah. Pendidikan menjadi ekstra sangat penting bagi kemajuan dan daya saing pertanian di Indonesia saat ini dan di masa depan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia. Data BPS (SP) menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar (44,98) dan tidak berpendidikan formal sama sekali (31,62%). Hanya sekitar 1,69% dari jumlah petani yang ada pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier (Tabel 27). Tidak diragukan, kondisi ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Jelas, usaha pemerintah untuk membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa membantu untuk mencapai keadilan ekonomi lintas sektoral. Tabel 27: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003 Tingkat Pendidikan

Jawa

Luar Jawa

Indonesia

Tidak ada pendidikan Hanya pendidikan dasar Sekunder Tersier

34,44 48,07 15,8 1,69

28,83 41,93 27,56 1,68

31,62 44,98 21,71 1,69

100,00

100,00

100,00

Jumlah Sumber: BPS

V.3 Akses ke Modal Yang Terbatas Sering dikatakan bahwa salah satu bukti konkrit dari adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia adalah sulitnya mendapatkan kredit perbankan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bahkan yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru sangat ironis: di satu sisi, begitu mudahnya pengusaha-pengusaha besar mendapatkan pinjaman dari bank, termasuk dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang sebagian besar diselewengkan dan pada akhirnya menciptakan kredit macet yang besar yang turut menyeret ekonomi Indonesia ke krisis 1997/98, dan, sisi lain, sulitnya pengusaha kecil mendapatkan pinjaman dari bank dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada BLBI tetapi sangat diperlukan untuk meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kelangsungan usaha mereka.

35

Contoh konkrit di atas ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia terhadap kelompok masyarakat lemah/miskin, dan petani, khususnya petani marjinal/gurem, termasuk di dalamnya. Padahal, sesuai sistem ekonomi nasional berazas Pancasila, semua pelaku usaha berhak memili akses yang sama ke semua sumber daya produksi termasuk pendanaan; tentu selama dapat dibuktikan bahwa usaha yang akan didanai oleh pinjaman mempunyai prospek bisnis yang baik. Seperti yang dibuktikan oleh data SP, proporsi petani yang pernah memakai pinjaman bank hanya sekitar 3,06%; dan ini kebanyakan pemilik-pemilik lahan perkebunan yang luas seperti di subsektor kelapa sawit, sedangkan petani padi sangat sulit mendapatkan akses ke bank. Sebagian besar petani memakai uang sendiri dan sekitar 9,7% memakai pinjaman atau bantuan modal dari kawan, tetangga atau keluarga (”lainnya”) dalam mendanai kegiatan bertani mereka (Gambar 3). Tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah sering disebut sebagai salah satu hambatan yang dihadapi banyak petani dalam mendapatkan modal pinjaman dari bank. Sulitnya kaum miskin mendapatkan sertifikat atas tanah yang mereka telah diami lebih dari satu generasi merupakan satu conoth konkrit dari adanya ketidakadilan sosial selama ini di Indonesia. Sebagai satu kasus, pernah diberitakan di harian Kompas (Rabu, 15 Maret 2006), bahwa para transmigran asal pulau Teon, Nila, dan Serua sudah 28 tahun lamanya mendiami dataran Waipia di pulau Seram tetapi tetap saja belum memiliki sertikifat atas tanah yang mereka diami tersebut. Gambar 3: Persentase dari petani menurut sumber pendanaan, 2003 Koperasi: 1,79 Bank: 3,06

Lainnya: 9,72

Uang sendiri: 85,43

Sumber: BPS

V.4 Nilai Tukar Petani Yang Merosot. Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan oleh besar kecilnya nilai tukar petani (NTP). Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni 36

indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani. Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat kesejahteraan petani terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang berhubungan dengan pasar input (atau pada, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun. Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan oleh Subandriyo (2006) sebagai berikut: Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur non-usaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna. Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas......... Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani. (halaman 6). Tabel 28 dan Tabel 29 menyajikan perkembangan NTP rata-rata di, masing-masing, empat (4) propinsi di Jawa dan 10 propinsi di luar Jawa untuk periode 1988-2003. Dapat dilihat bahwa perkembangan NTP berbeda menurut propinsi karena adanya perbedaan inflasi (laju pertumbuhan indeks harga konsumen), sistem distribusi pupuk dan input-input pertanian lainnya dan juga perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas-komoditas pertanian. Ekuilibrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut. 17Dari sisi penawaran, faktor penentu adalah terutama volume atau kapasitas produksi di sektor pertanian (ditambah dengan impor kalau ada), sedangkan dari sisi permintaan adalah terutama jumlah penduduk (serta komposisinya menurut umur dan jenis kelamin) dan tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita. Tabel 28: Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB), dan Nilai Tukar Petani

(NTP) di 4 Propinsi di Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1988-2003 (1983=100)* Tahun IT

17

Jawa Barat IB NTP

IT

Jawa Tengah IB NTP

IT

Yogyakarta IB NTP

IT

Jawa Timur IB

NTP

Dimisalkan tidak ada ekspor (permintaan dari luar wilayah: propinsi lain atau luar negeri) dan tidak ada impor (penawaran dari luar wilayah).

37

1988 162 153 106 179 1989 171 164 104 186 1990 190 180 106 201 1991 215 203 106 224 1992 224 220 102 227 1993 225 237 95 236 1994 274 268 102 278 1995 316 300 106 334 1996 329 326 101 377 1997 369 354 104 389 1998 642 634 101 593 1999 853 841 101 789 2000 337 320 106 303 2001 393 360 109 389 2002** 588 441 133 630 2003** 643 462 139 682 Keterangan:*=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember. Sumber: BPS.

161 175 190 214 231 249 278 318 346 373 628 839 329 381 495 523

112 106 106 105 99 95 100 105 109 104 94 94 92 102 127 130

170 172 189 213 215 223 278 322 349 384 760 935 357 441 571 619

156 168 182 203 216 230 257 294 312 335 576 721 309 350 450 457

109 102 104 105 100 97 108 109 112 115 131 130 116 126 127 136

166 167 181 200 205 214 263 313 348 398 665 951 377 490 721 731

147 159 173 194 207 227 257 294 325 353 629 825 363 427 593 609

113 105 104 104 99 94 102 106 107 113 105 115 104 115 122 120

Secara teoritis, dapat diduga bahwa di pusat-pusat produksi beras, misalnya Krawang (Jawa Barat), pada saat musim panen pasar beras di wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan stok beras, sehingga harga beras per kilo di pasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya, pasar beras di wilayah bukan pusat produksi beras, misalnya Kalimantan, cenderung mengalami kekurangan, sehingga harga beras per kilo di pasar setempat naik.18Tetapi, ini bukan berarti bahwa NTP di Krawang selalu harus lebih rendah daripada di Kalimantan. Rendah tingginya NTP juga ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian di masing-masing wilayah. Bisa saja, misalnya harga beras di Kalimantan tinggi karena persediaan terbatas namun harga pupuk di sana juga tinggi karena kekurangan stok akibat produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi, sehingga NTP di wilayah tersebut rendah. Tabel 29: Nilai Tukar Petani (NTP) di 10 Propinsi Luar Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1990-2003 (1987=100)* Provinsi

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Aceh Sumut Sumbar Sumsel Lampung Bali NTB Kalsel Sulut Sulsel

102 100 105 103 103 120 105 108 113 113

104 96 113 103 103 111 103 106 104 106

99 94 112 103 95 107 101 100 102 105

96 85 107 98 87 104 107 96 97 100

102 89 108 104 88 110 103 94 95 105

98 91 115 120 89 119 113 99 96 108

99 87 109 100 79 118 116 107 98 113

95 86 122 105 76 120 124 107 102 116

85 81 116 122 73 130 142 107 94 126

82 82 114 111 75 151 179 117 88 123

92 89 95 93 80 128 87 118 144 111

90 93 86 76 80 145 89 112 192 109

2002** 121 97 89 77 78 161 93 112 113 121

2003** 139 102 92 71 73 143 82 105 87 117

Keterangan: *=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember Sumber: BPS

VI. Pengangguran Adalah merupakan bagian dari HAM bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang bisa memberikan kehidupan layak baginya. Oleh karena itu, keadilan sosial dalam pengertian Pancasila adalah termasuk menciptakan kesempatan kerja yang sama kepada setiap warga negara Indonesia. Masalah

18

Terkecuali, bila impor beras dilakukan dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut, sehingga pasar lokal bisa kembali ekuilibrium pada tingkat harga semula (sebelum naik).

38

kemiskinan erat kaitannya dengan masalah pengangguran, dan kaitan ini bisa dijelaskan dengan memakai asumsi dari Amartya Sen mengenai entitlement, yaitu mereka yang miskin hanya karena tidak memiliki akses untuk mendapatkan uang, atau kesempatan kerja. Di dalam paradigma ekonomi makro, jalur utama lewat mana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan adalah yang disebut efek kesempatan kerja dari perubahan output: jika output turun maka kesempatan kerja juga berkurang sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat yang selanjutnya jumlah orang miskin bertambah, dan, visa versa.. Horton dan Mazumdar (2001), misalnya, menyimpulkan bahwa pendapatan dari kelompok miskin yang berkurang selama krisis ekonomi 1997/98 tidak hanya disebabkan oleh tingkat upah riil yang menurun tetapi juga sebagai suatu akibat dari tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Seperti yang diilustrasikan di Gambar 4, selama periode 1982-1996 persentase kemiskinan menunjukkan suatu tren pertumbuhan yang negatif, sementara tingkat pengangguran terbuka (resmi) kurang lebih stabil sekitar 2 hingga 2,5% rata-rata per tahun, dan mulai naik sejak 1993 dan mencapai tingkat sekitar 7,2% tahun 1995. Selama krisis, tingkat pengangguran terbuka sekitar 5,5% atau naik dari sekitar 4 juta pekerja tahun 1997 ke lebih dari 5 juta orang tahun 1998; sedangkan tingkat kemiskinan naik sangat signifikan pada periode yang sama. Waktu itu diperkirakan bahwa pada tahun 1998 total pengangguran jauh lebih tinggi dari data resmi tersebut (5,5%). Gambar 4: Pengangguran Terbuka dan Kemiskinan (%) di Indonesia, 1981-2002 % 30 25 20 15 10 5 0 82

84

86

88

90

Kemiskinan

92

94

96

98

00

02

Pengangguran

Sumber: BPS

Prediksi resmi dari BAPPENAS mengenai perkembangan pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai sekitar 10,22% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2005. Sedangkan prediksi dari BPS berdasarkan data SAKERNAS memberi suatu gambaran yang sedikit berbeda. Tingkat pengangguran terbuka pada bulan Oktober 2005 sekitar 11,6 juta orang dan mencapai 12% (atau lebih) dari jumlah angkatan kerja pada akhir tahun 2005. Prediksi jumlah orang yang menganggur pada bulan Oktober 2005 tersebut lebih banyak 700,000 orang daripada pada 7 bulan sebelumnya yang diperkirakan sebanyak 10,9 39

juta jiwa (atau 10,26% dari jumlah angkatan kerja sebanyak 105,8 juta orang dalam periode tersebut). 19Revisi terakhir terhadap prediksi jumlah pengangguran terbuka dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah orang yang menganggur mencapai 10.854.254 orang (Gambar 5). Banyak faktor yang membuat besarnya pengangguran di suatu ekonomi. Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan merupakan yang terpenting. Banyak orang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena pendidikannya rendah. Ini artinya masalah kesempatan kerja adalah juga masalah akses ke pendidikan. Seperti halnya akses ke tanah dan kesempatan kerja, akses ke pendidikan juga merupakan bagian dari HAM dan keadilan sosial, atau keadilan dalam ekonomi. Memberikan kesempatan yang sama ke pendidikan yang baik berarti memberikan kesempatan sama untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang baik. Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia, 2001-2005 (orang) 12000000 10000000 8000000

8005031

9132104

9820011

10251351

10854254

6000000 4000000 2000000 0 2001

2002

2003

2004

2005

Source: BPS

Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal (pengangguran terbuka) adalah dari golongan angkatan kerja berpendidikan rendah, yakni yang tidak tamat sekolah dasar (SD), hanya memiliki diploma sekolah dasar (SD), dan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Selama periode 2001-2005, porsi dari kelompok ini mencapai lebih dari 90%. Di dalam kelompok ini sendiri, subkategori yang paling dominan adalah lulusan SMP dan SMA yang persentasenya meningkat dari hampir 59% pada tahun 2001 menjadi sekitar 60,7% pada tahun 2005. Struktur ini konsisten dengan struktur pendidikan dari angkatan kerja di Indonesia, yang mana porsi dari yang lulus SMP dan SMA semakin besar, sedangkan yang mendaftarkan ke pasar tenaga kerja dari lulusan SD atau yang tidak memiliki diploma SD semakin kecil. Ini menandakan bahwa kebijakan pemerintah dalam wajib sekolah 9 tahun selama ini berhasil, namun belum memberi jaminan kesempatan kerja bagi yang lulus. Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Pendidikan di Indonesia, 2001-2005 (% dari jumlah pengagguran perbuka)

19

Prediksi BAPPENAS di Table 30 tersebut belum memasukkan efek negatif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dari misalnya pengurangan subsidi BBM Oktober 2005 lalu.

40

70 60

58,96

59,03

62,3

59,9

60,74

50 40 34,29

35,53

35,28

Primer

32,74

31,99

Sekunder

30

Tersier

20 6,75

10

5,69

4,57

6,52

5,71

0 2001

2002

2003

2004

2005

Source: BPS

VII. Pendidikan Tidak bisa dibantah bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu sumber penyebab kemiskinan, yang artinya kemiskinan tidak sepenuhnya disebabkan oleh pengangguran. Banyak orang/keluarga miskin memiliki pendapatan, bahkan pendapatan tetap namun masuk dalam kategori miskin sesuai garis kemiskinan yang berlaku karena pendapatan mereka sangat rendah. Diantara sejumlah faktor penyebab, rendahnya tingkat produktivitas itu sendiri dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, dan dua hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses bagi kelompok miskin ke pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan kualitas baik. Pendidikan dan kesehatan merupakan dua sumber utama untuk pengembangan manusia; oleh sebab itu merupakan dua komponen penting dari Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau human development indeks (HDI). Walaupun tidak mempengaruhi secara langsung, HDI yang baik sangat penting bagi usaha memerangi kemiskinan. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: perbaikan HDI di suatu wilayah berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan/atau peningkatan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan di daerah tersebut. Di dalam literatur dikatakan bahwa penurunan kemiskinan yang berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan juga berkelanjutan. Pada umumnya masyarakat miskin mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan tersebut juga membuat permintaan pasar meningkat terhadap pekerja berpendidikan rendah dengan upah murah dan output/jasa dengan harga murah yang dihasilkan oleh masyarakat miskin (seperti produk-produk dari usaha mikro dan kesil). Tetapi hanya mengandalkan jasa tenaga kerja dan harga barang murah, efek dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan tidak akan besar atau akan makan waktu yang lama hingga efeknya terrealisasi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pengurangan kemiskinan atau memperbesar efek positif dari pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan, perbaikan pendidikan dari masyarakat miskin adalah suatu keharusan (Danielson, 2001). Selama ini negara-negara miskin di Afrika merupakan wilayah paling penting bagi penelitian-penelitian pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Laporan-laporan dari Bank Dunia (World Bank, 1999a,b) dan tulisan-tulisan dari banyak 41

pengamat/peneliti menyatakan secara eksplisit bahwa untuk mendapatkan efek penurunan kemiskinan yang signifikan dan cepat dari pertumbuhan ekonomi di Afrika, perbaikan pendidikan kaum miskin harus menjadi prioritas utama. 20 Juga banyak studi lainnya yang mendukung pendapat bahwa pendidikan tidak hanya merupakan suatu input yang krusial bagi proses pembangunan ekonomi, 21tetapi pendidikan juga sangat penting bagi peningkatan potensi pendapatan dan mobilitas ekonomi bagi individu 22 Kombinasi antara peran pendidikan di dalam pembangunan ekonomi dan di dalam peningkatan potensi pendapatan serta mobilitas ekonomi individu membuat pendidikan sebagai suatu alat yang paling efektif bagi program-program pemerintah dalam memerangi kemiskinan. Namun demikian, peran optimum dari pendidikan dalam membantu mengurangi kemiskinan tergantung pada akses bagi masyarakat miskin ke pendidikan yang baik yang sangat menentukan kemampuan mereka nanti dalam bersaing di pasar buruh; seperti yang dikatakan oleh Mason dan Rozelle (1998) sebagai berikut: The effectiveness of education in helping to reduce poverty, however, depends on the poor obtaining sufficient levels of quality education to compete in labor or product markets. Obtaining such education depends both on the availability of adequate educational facilities and on the will and financial ability of families to send their children to school. This latter issue is particularly important in less-developed countries where systems of universal, compulsory, and low-cost education do not exist or are limited only to a few grades. Poor families often find the costs of sending children to school prohibitive or at least unacceptably high relative to expected future benefits (hal.12). Dengan memakai data propinsi, hasil regresi parsial menunjukkan bahwa memang HDI berkorelasi negatif dan secara statistik signifikan dengan kemiskinan (P) (Gambar 6), atau berkoreasi positif dan secara statistik signifikan dengan pendapatan (Y) (Gambar 7). Dapat dilihat bahwa kemiskinan di Indonesia terkonsentrasi di wilayah bagian timur dengan Papua sebagai propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, walaupun PDRB-nya bukan yang terendah di Indonesia. Pada zaman orde baru, pemerintah berusaha memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia melalui berbagai cara, yang diantaranya yang terpenting adalah kebijakan wajib belajar 9 tahun. Sebagai salah satu hasil dari kebijakan ini adalah menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf dan meningkatnya tingkat partisipasi sekolah secara drastis selama periode 1970an-1990an. Data SUSENAS menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis dengan baik untuk kelompok umur 15-24 tahun meningkat dari hampir 96,6% tahun 1992 ke hampir 98,7% tahun 2002 (Gambar 8). Sisa persentase mewakili orang-orang yang memang mengalami kesulitan untuk mengikuti pendidikan karena antara lain lokasi tempat tinggal mereka terpencil jauh dari letak sekolah terdekat, atau secara kondisi fisik/kesehatan memang tidak memungkinkan. Menurut laporan resmi dari pemerintah, tingkat buta huruf yang hampir 0% di dalam kelompok umur ini adalah hasil nyata dari peningkatan akses anak-anak ke pendidikan dasar dan perbaikan dalam jumlah anak-anak yang berhasil sampai ke 20

Lihat misalnya Rahmato dan Kidanu (1999), Kunfaa (1999), Khalila, dkk. (1999) dan Naraya (1997). Lihat misalnya Psacharopoulos dan Woodhall (1985); Ogawa dkk. (1993); dan World Bank (1993b). 22 Lihat misalnya Mincer (1974); Becker (1975); Schultz (1988) dan Psacharopoulos (1994). 21

42

kelas 5 (GOI, 2004). Namun demikian, masih ada kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan maupun antara kelompok masyarakat kaya dan miskin dalam akses ke pendidikan, termasuk pendidikan dasar, walaupun kesenjangan tersebut telah mengecil sejak 1995. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan masih relatif kecil, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga (Gambar 9). Data SUSENAS 1992-2002 juga menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai tingkat tertinggi dalam akses ke pendidikan dasar untuk anak-anak umur 7-12 tahun. Rasio pendaftaran neto (NER) meningkat dari 88,7% tahun 1992 ke antara 92-93% tahun 2002 (Gambar 10). Data dari Menteri Pendidikan (MP) menunjukkan NER yang sedikit lebih tinggi, yakni 94% tahun 2002. 23Akses ke pendidikan sekunder awal (SMP) juga meningkat sejak 1994, menyusul dilaksanakannya program wajib belajar 9 tahun. NER pada tingkat sekunder awal meningkat dari hampir 42% pada tahun 1992 ke hampir 62% tahun 2002.

Gambar 6: Korelasi antara Kemiskinan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002 41,8

60,1

14

Maluku Utara

65,8 34,8

66,5

32,1

Gorontalo

64,1

24,2

64,1

15,9

Sulsel

65,3 24,9

64,4

11,2

Sulut

71,3

12,2

70

8,5

Kalsel

64,3 11,9

69,1

15,5

Kalbar

62,9 30,7 27,8

NTB 6,9

57,8 67,5

9,2

Banten

60,3

66,6 21,9

64,1

20,1

D.I. Yogyakarta

70,8

23,1

66,3

13,4

Jabar

65,8

3,4 Bangka Belitung

75,6 11,6

65,4 24,1

65,8

22,7

Bengkulu

66,2

22,3 Jambi

66

13,2

67,1

13,7 Sumbar

69,1

11,6

67,5 15,8

23

D.I. Aceh

68,8 29,8

66

Perbedaan dalam sistem/metode pengumpulan data menjelaskan perbedaan sedikit antara kedua sumber tersebut. SUSENAS memakai 10 20 30 40 60 70 80 data pengeluaran konsumsi rumah 0 tangga/keluarga, sedangkan MP memakai data 50 sekolah, yang memungkinkan terjadinya suatu penghitungan ganda, sejak ada anak-anak yang pergi ke lebih dari satu sekolah. Juga data yang digunakan oleh MP dikumpulkan pada suatu awal tahun ajaran, sedangkan data SUSENAS tidak selalu begitu. HDI Kemiskinan

43

P = 127,201 – 0,625HDI (25,593) (-4,236)*

(* = nilai t)

Gambar 7: Korelasi antara Pendapatan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002 41,8

60,1

10,9

Maluku Utara

65,8

9,5

66,5

11,2

Gorontalo

64,1

9,5

64,1 13,4

Sulsel

65,3 20,5

64,4

17

Sulut

71,3 92,4

70 20,9

Kalsel

64,3

23,2

69,1

19,8

Kalbar

62,9

7,6

60,3 22,9

NTB

57,8

25

67,5 27,3

Banten

66,6

16,4

64,1

15,8

D.I. Yogyakarta

70,8

13,4

66,3

16,8

Jabar

65,8 20,8

Bangka Belitung

65,4

10,9

65,8

11,9

Bengkulu

66,2 17,7

66

12,7

Jambi

67,1 20,5

69,1

17,1

Sumbar

67,5 23,6

68,8 30,5

D.I. Aceh 0

10

77,1 75,6

20

30

66 40 HDI

50

60

70

80

90

100

PDRB riil p.k. (Rp00.000)

Y = -121,527 + 0,412HDI (-2,015) (2,393)

44

Gambar 8: Persentase penduduk bisa membaca dan menulis (15-24 tahun) di Indonesia: 1992-2002 (%) 99 98.5 98 97.5 97 96.5 96 95.5 1992

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

Keterangan: tanda titik diantara angka artinya koma dalam pengertian Indonesia Sumber: BPS

Gambar 9: Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan di Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga, 1996-1998 (% dari PNB) 5 4

Indonesia Singapura

3

Filipina

% 2

Malaysia Thailand

1 0

Sumber: UNDP dkk. (2001).

Gambar 10: NER tingkat dasar (7-12) dan sekunder awal (13-15) di Indonesia, 1992-2002 (%). 100 80 60 40 20 0 1992

1994

1995

1996

1997

NER Dasar

1998

1999

2000

2001

2002

NER Sekunder awal

Sumber: BPS Data SUSENAS 2002 menunjukkan secara konsisten NER yang tinggi dalam sekolah dasar di semua kelompok populasi, tanpa perbedaan yang signifikan antara perdesaan dan perkotaan, antara perempuan dan lelaki, dan antara kelompok miskin (berdasarkan kuantil) (Tabel 30). Tidak seperti pendidikan dasar (primer), jumlah pendaftaran di pendidikan S1 menunjukkan perbedaan yang nyata antara perdesaan dan perkotaan, dan antar kelompok miskin, namun demikian, tidak dari perspektif jender. NER di daerah perdesaan secara signifikan lebih

45

rendah daripada di perkotaan, dan NER dari kelompok termiskian diantara kelompok miskin (49,9%) berbeda sangat kontras dengan kelompok terkaya diantara kelompok miskin (72,3%) (Tabel 31). 24 Tabel 30: NER di SD menurut kelompok miskin, kelamin dan wilayah perdesaan-perkotaan, 2002 Kelompok miskin Q1 Q2 Q3 Q4 Q5

Pria 90,8 93,3 93,7 93,4 92,3

Rata-rata 92,7 Sumber: GOI (2004)

Nasional Wanita 92,1 93,5 93,2 93,1 91,8 92,8

Total 91,4 93,4 93,4 93,3 92,1

Pria 89,9 92,8 93,9 93,8 93,5

Perdesaan Wanita Total 91,0 90,4 93,6 93,2 94,0 94,0 93,9 93,9 93,4 93,5

Pria 92,1 94,2 93,4 92,9 90,7

Perkotaan Wanita Total 93,8 92,9 93,4 93,8 91,9 92,7 92,0 92,4 89,4 90,1

92,7

92,6

93,1

92,8

92,3

92,8

92,6

Tabel 31: NER di sekolah sekunder awal menurut kelompok miskin, kelamin dan wilayah perdesaanperkotaan, 2002 Kelompok miskin Q1 Q2 Q3 Q4 Q5

Pria 47,3 58,2 63,4 68,5 73,7

Rata-rata 60,9 Sumber: GOI (2004)

Nasional Wanita 52,7 59,7 64,9 68,3 70,8 62,4

Total 49,9 58,9 64,1 68,4 72,3

Pria 39,5 49,4 55,0 61,2 68,6

Perdesaan Wanita Total 41,9 40,6 51,1 50,2 57,6 56,3 61,7 61,5 68,2 68,4

Pria 57,6 70,5 75,8 78,9 80,6

Perkotaan Wanita Total 66,1 61,8 71,1 70,8 75,3 75,5 77,5 78,2 74,3 77,4

61,6

53,3

55,0

71,4

72,3

54,1

71,9

Tidak cukupnya dan tidak meratanya akses ke pelayanan kesehatan juga menyebabkan tidak meratanya tingkat pendidikan. Masalah yang dominan di kebanyakan NSB adalah bukan tidak adanya pelayanan kesehatan tetapi ketidak mampuan dari sistem-sistem pelayanan kesehatan publik untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas baik di semua wilayah. Kurang baiknya pelayanan kesehatan yang didapat oleh kelompok miskin membuat suatu masa kehidupan yang tidak terjamin bagi mereka, di mana kesempatan-kesempatan pendapatan dapat terganggu oleh episode-episode sakit. Kesehatan dan nutrisi yang buruk dapat mengganggu produktivitas individu maupun nasional dan dapat mempengaruhi masa hidup dari kelompok miskin. Kebalikannya yang sangat menyolot, sekelompok kecil orang kaya yang berada dalam posisi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sangat baik dari swasta, bahkan dari luar negeri, menikmati standar kesehatan yang tinggi. Kesenjangan ini yang terus melebar di banyak NSB sangat tidak adil karena menghalangi semua warga negara mendapatkan kesempatan-kesempatan yang sama dari suatu kehidupan yang sehat dan bahkan untuk bersaing di pasar.

VIII. Busung Lapar: Statu Kasus Ketidakadilan Memang sangat ironis, di satu sisi, Indonesia termasuk negara paling kaya dalam sumber daya alam (SDA) dengan tanah yang sngat luas dan subur dan iklim tropis yang sangat baik, sementara, pada di sisi lain, masih

24

Lihat juga Lampiran II.

46

banyak penduduk Indonesia yang “kelaparan” dalam arti tidak sanggup membeli makanan dengan gizi yang cukup untuk kehidupan yang sehat. Lebih ironisnya lagi, system ekonomi Indonesia dilandaskan pada azas Pancasila yang menekankan pada rakyat adil dan makmur, dan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun lamanya membangun sejak Repelita I dimulai tahun 1969 lalu. Dalam setahun belakangan ini hampir setiap minggu Harian Kompas memberitahukan soal adanya busung lapar. Terbitan tanggal 27 Mei 2005 melaporkan bahwa ada ribuan anak belita di Nusa Tenggara Timar (NTT) mengalami busung lapar atau gizi buruk. Juga dilaporkan ada banyak anak balita mengalami hal yang sama di Lampung. Lombok dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai hasil SUSENAS, di NTB, yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung padi, jumlah anak balita yang menderita kekurangan gizi sekitar 10% dari jumlah anak balita, atau 49.000 anak. Terbitan tanggal 12 April 2006, Kompas mencertikan pengalaman seorang warga di Lombok Timur sebagai berikut: .....Sumaini, warga Dusun Batu Rimpang, Desa Selebung Ketangga, Lombok Timur…….adalah janda satu anak (Hildatun, 2). Ia tinggal di rumah gubuk ukuran 3x5 meter yang dihuni sembilan jiwa, termasuk seorang suadaranya dan beberapa anaknya serta ayahnya, Nuralam (55). Sumaini yang bercerai saat usia kandungannya enam bulan bekerja serabutan, seperti ngerampek (merontokkan bulir padi dari batangnya) dan tukang cuci pakaian serta perkakas rumah tangga. Dari jasanya itu, selain diberi makanan ala kadarnya, ia juga mendapat upah Rp 3.000 per hari. Beban Sumaini kian berat sebab Hildatun menderita busung lapar dan kini dalam proses penyembuhan. Penghasilan itu bila ada yang meminta. Jika tidak ada, kosonglah pendapatan Sumaini hari itu. Sementara Nuralam tak mampu bekerja lagi, hanya mengharap ada tetangga yang datang berobat karena sakit mata, maklum dia dianggap “ahli” di bidang itu. (halaman 15). Menurut Sihadi (2005), sejak 1989, angka prevalensi gizi buruk secara nasional mengalami stagnasi, dalam arti belum ada penurunan yang berarti. Data tahun 2003 dari Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi anak balita gizi buruk di Indonesia mencapai sekitar 8%-8,55%. Menurut proyeksi penduduk Indonesia yang disusun BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta. Berarti dengan persentase tersebut, tahun 2005 ada sekitar

1,67 juta anak balita menderita busung lapar. Ini terntu suatu angka yang gawat, yang

memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Apalagi Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, yang Pasal 6 dan 24-nya menyebutkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi tersebut akan berupaya maksimal untuk melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Pertanyaan sekarang adalah: kenapa hal demikian bisa terjadi di negara yang dikenal sangat kaya akan SDA dan yang selalu memposisikan dirinya sebagai negara yang selalu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945? Jawabannya sederhana dan klasik: berdasarkan hasil pemamtauan Dinas Kesehatan setempat, banyaknya anak balita yang menderita kekurangan gizi disebabkan oleh kemiskinan orang tua mereka. Memang, masalah gizi memiliki dimensi luas, jadi tidak hanya masalah kemiskinan, atau sosial-ekonomi, tetapi juga masalah pendidikan, budaya, pola asuh, dan lingkungan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah faktor terpenting. Bahkan faktor-faktor lain tersebut mempunyai keterkaitan 47

dengan tingkat kesejahteraan atau pendapatan keluarga. Misalnya, sebagai suatu contoh, pada umumnya kepala keluarga/orang tua dari keluarga miskin berpendidikan rendah, dan hal ini sangat mempengaruhi pola pikir mereka mengenai kebutuhan anak-anak mereka akan gizi atau mengenai budaya hidup sehat. Jadi, kekurangan makanan bergizi atau busung lapar yang dialami oleh banyak anak balita di Indonesia melambangkan kemiskinan yang tengah melilit kehidupan rakyat di banyak wilayah seperti di NTT, NTB dan Lampung. Dari sisi sosial-politik, masalah kekurangan gizi ini mencerminkan ketidakpedulian atau ketidaksanggupan pemerintah Indonesia dalam menghargai harkat/martabat manusia dan juga dalam mengadakan pangan secara adil. Dapat dikatakan bahwa kekurangan gizi atau kelaparan merupakan salah satu dampak dari sistem pemerintahan yang amat buruk yang tidak mendahulukan kesejahteraan masyarakat (Chang, 2005). Jelas, kekurangan gizi atau masih banyaknya masyarakat di dalam negeri yang sangat sulit untuk bisa makan sehat mencerminkan adanya ketidakadilan sosial yang sedang dialami masyarakat Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari rendahnya pengeluaran APBN untuk kesehatan. Padahal masyarakat miskin sangat tergantung pada pelayanan dari sektor kesehatan publik, sementara masyarakat kaya bisa menikmati pelayanan kesehatan dari sektor swasta. Dari dulu anggaran kesehatan hanya sekitar 2,3% hingga 2,4%, yang membuat Indonesia negara paling kecil dalam pengeluaran kesehatan (Gambar 11).

Gambar 11: Pengeluaran Pemerintah Untuk Kesehatan, 1996-1998 (% dari PNB)

1,3

1,1

1.5 1

1,7

1,7

2

0,5

0.5 0 Indonesia

Singapura

Filipina

Malaysia

Thailand

Sumber: UNDP dkk. (2001)

Seperti yang telah dibahas di Bab II, bicara keadilan dalam ekonomi adalah terutama bicara keadilan distributif. Berdasarkan keadilan ini, negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial-ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik, dan makanan yang cukup untuk kehidupan layak atau sehat. Jadi, keadilan distributif menitikberatkan perlakuan yang sama terhadap semua pihak yang seharusnya mendapatkan haknya. Dalam paradigma ini, ketidakadilan muncul apabila sebagian dari masyarakat tidak mendapatkan hak mereka, seperti dalam kasus busung lapar di NTT, NTB dan Lampung tersebut. 48

Bertens, K. (1997), Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bertens, K. (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius BPS (2005), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Chang, William (2005), ”Lapar akan Keadilan”, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4 Hadar, Ivan a. (2006), ”Busung Lapar dan Reformasi Pertanian”, Kompas, Selasa, 21 Maret, halaman 6. Karman, Yonki (2006), ” Senjakala Demokrasi Sosial”, Kompas, Opini, Kamis, 6 April, halaman 6. Keraf, Sonny A. (1993), ”Ketidaksamaan yang Adil. Etika Politik Aristoteles”, Atma nan Jaya, No.1, Thn.VI, April, halaman 31-50. Keraf, Sonny A. (1998), Etika Bisnis, Yogyakara: Penerbit Kanisius. Magnis-Suseno (1986), Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia. Magnis-Suseno (1987), Etika Politik, Jakarta: Gramedia Sihadi (2005), ”Rajin ke Posyandu, Cegah Gizi Buruk’, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4. Subandriyo, Toto (2006), ”Saatnya Berpihak kepada Petani’, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret, halaman 6. Suwarno, P.J. (1993), Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. UNDP, BAPPENAS dan BPS (2001), Indonesian Human Development Report 2001, Jakarta. Von Hayek, F.A. (1995), ”’Social’ or distributive justice” dalam Alan Ryan (ed.), Justice, Oxford & New York: Oxford University Press.

49