JURNAL TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI (2014) 1-3
1
Ekstraksi Mineral Tembaga : Optimasi Debit Aliran Udara pada Tuyere Menggunakan Mini Blast Furnace Rivananto Hernanda dan Sungging Pintowantoro Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak— Proses pyrometallurgy merupakan suatu proses ekstraksi logam dengan menggunakan energi panas. Temperatur yang dicapai ada yang hanya 50-250 oC, tetapi ada yang mencapai temperatur 2000 oC. Untuk melaksanakan proses pyrometallurgy ini dapat digunakan Mini Blast Furnance. Dalam penelitian ini diamati pengaruh debit udara sehingga mengoptimalkan proses pemurnian tembaga dengan menggunakan mini blast furnace. Pengujian bom kalorimeter dan proximate analysis untuk menentukan nilai kalor dan carbon fixed pada batu bara. Pengujian XRF digunakan untuk mengetahui persentase kadar Cu sebelum dan setelah dilakukan proses ekstraksi. Pada tiap proses dimasukkan batu bara dalam furnace kemudian bijih tembaga jenis malachite serta limestone sebagai flux. Udara panas disemburkan dari tuyer dengan debit semburan masing-masing proses peleburan 18 m3/min, 20 m3/min, 22 m3/min, 24 m3/min dan 26 m3/min. Lelehan hasil peleburan diambil melalui tapping point selama 1 menit dari tiap proses peleburan untuk mengamati laju alir cairan yang keluar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa debit udara berpengaruh pada proses peleburan. Semakin tinggi debit udara maka temperatur dan laju alir cairan meningkat. Namun kadar Cu tertinggi terjadi pada saat disemburkan dengan debit udara 24 m3/min. Kata Kunci—Ekstraksi, Tembaga, Debit Udara, Blast Furnace.
I. PENDAHULUAN
T
Embaga adalah salah satu logam dengan struktur facedcentered cubic. Di awal peradaban tembaga dibentuk dengan ditempa menjadi bentuk yang diinginkan atau dengan metode smelting dan casting. Banyak jenis bijih tembaga seperti oxide (cuprite), sulfide(chalcopyrite, bronite, chalconite, dan covellite), carbonat (malachite dan auzurite), atau dalam bentuk silika (chrysocolla). Banyak dari jenis jenis ore ini ditemukan pada permukaan bumi yang tidak terlalu dalam. [1] Tiap mineral tembaga memiliki komposisi, struktur kimia dan struktur kristal yang berbeda. Hal tersebut mengakibatkan sifat fisik, termal, mekanik dan kimia tiap mineral tembaga berbeda. Akibatnya, laju reduksi tiap mineral tembaga juga akan berbeda-beda. [2] Tembaga di alam umumnya berupa mineral tembaga-besisulfat dan tembaga-sulfat . Bijih tembaga yang paling umum adalah sulphides, chalcocite Cu2S, chalcopyrite CuFeS2, covellite CuS, dan Bornite Cu5FeS4. Konsentrasi mineral tersebut rendah dalam sebuah bijih. Umumnya copper ore mengandung dari 0,5% (open pit mines) hingga 1 atau 2 % Cu (underground mines). Tembaga murni yang diproduksi dari bijih bijih ini menggunakan metode pembentukan konsentrat,
peleburan dan pemurnian. Tembaga juga didapat dari mineral yang teroksidasi, cuprite (Cu2O): karbonat, malachite, dan azurite: silica, chrsocholla. bijih dalam bentuk ini kebanyakan diolah dengan menggunakan metode hydrometallurgy. [3]. Proses lain untuk memperoleh tembaga yaitu proses Pyrometallurgy. Proses pyrometallurgy menggunakan perlakuan panas dengan temparatur pemanasan dapat mencapai lebih dari 1500oC. [4]. Pada saat ini kebanyakan di dunia menggunakan teknologi smelting seperti Noranda, Mitusibshi, Outokumpu, Flash Furnace, dll untuk mengolah mineral tembaga dengan deposit yang besar. Namun jika digunakan untuk mengolah mineral tembaga dengan deposit yang kecil akan sangat tidak ekonomis. Oleh karena itu, dibuatlah smelter ukuran kecil yang ekonomis untuk mengolah hasil tambang rakyat dengan deposit mineral tembaga yang kecil. Pada penelitian ini digunakan Mini Blast Furnace sederhana, tanpa mengubah prinsip dasar dari teknologi yang sudah ada, akan tetapi ditambahkan beberapa hal yang dapat meningkatkan efisiensinya. Tinggi blast furnace banyak di kurangi, untuk mereduksi biaya pembuatan. Dan efek dari pengurangan tinggi blast furnace ini adalah meningkatkan tekanan pada daerah melting zone menjadi 2,3 atm. Dengan tekanan yang tinggi ini, menjadikan pembakaran pada daerah di bawah tuyer menjadi lebih maksimal. [5]. Tekanan pada desain blast furnace yang umum adalah 1,2 atm. Pada tungku bagian atas, diameter tungku dikurangi secara bertahap, sampai menjadi diameter 3.5 inch. Kemudian disalurkan melalui pipa ke dalam air yang terdapat pada drum drum yang telah disiapkan. Fungsi dari teknik ini adalah untuk mereduksi asap yang terjadi dan menangkap partikel logam yang terbang ataupun menguap Reduksi asap ini dilakukan tiga kali, sehingga asap dapat tereduksi secara maksimal. Jarak antara tuyer dan lubang tap diperpendek. Hal ini dapat menambah suhu pemanasan, sehingga mengurangi resiko beku pada logam cair. Dengan suhu yang tinggi, sangat berpengaruh terhadap liquiditas terak. Tungku dipisah perbagian (knock down). Sehingga dengan mudah dapat diangkut ke daerah-daerah kecil sekalipun. Proses pemasangannya pun menjadi sangat mudah. Pengolahan mineral tembaga terjadi di dalam reaktor mini blast furnace. Pada reaktor ini dimasukkan batu bara, mineral tembaga dan limestone. Batu bara, mineral tembaga dan limestone dimasukkan secara berlapis dengan lapisan paling bawah diisi oleh batu bara, kemudian mineral tembaga di atasnya, dan limestone pada layer paling atas. Begitu seterusnya disusun berlapis-lapis hingga memenuhi reaktor mini blast furnace. Pada proses peleburan dibutuhkan suplai udara agar terjadi
JURNAL TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI (2014) 1-3 reaksi pembakaran. Oksigen pada udara selain digunakan dalam reaksi pembakaran juga dibutuhkan untuk menghasilkan gas CO yang berfungsi sebagai reduktor. Sehingga suplai udara sangat penting untuk diperhatikan dalam proses peleburan di dalam cupola. Pada rasio kokas : logam tertentu (atau lebih tepatnya, rasio karbon yang dibakar dengan besi), peningkatan blast rate akan menyebabkan peningkatan baik kecepatan pelelehan dan temperatur logam hingga mencapai nilai optimal tertentu. Kemudian, peningkatan blast rate akan menyebabkan temperatur logam turun. [6]. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang pengaruh debit udara pada tuyer yang optimum untuk mengoptimalkan kadar Cu hasil ekstraksi dan laju aliran produk dengan memperhatikan distribusi temperatur pada titik-titik yang dianggap penting. II. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini mula-mula dilakukan preparasi dengan memperkecil ukuran malachite, batu bara dan limestone. Pada batu bara diuji dengan bom kalorimeter untuk mengetahui nilai kalor yang dibutuhkan dalam proses pembakaran serta uji proximate analysis untuk mengetahui kadar carbon fixed dalam batu bara. Pada mineral malachite dilakukan uji XRF untuk mengeahui kadar Cu. Uji XRF juga dilakukan pada limestone untuk mengetahui kadar CaO yang berfungsi mengikat slag. Tabel 1 Komposisi Malachite Unsur/ Jumlah Unsur/ Jumlah Senyawa (%) Senyawa (%) MgO 20,89 Fe2O3 12,74 Al2O3 1,86 Ni 0,14 SiO2 45,75 Cu 7,91 K2O 0,04 Zn 0,01 CaO 0,45 As 0,00 Cr 0,07 Se 0,00 Tabel 2 Karakteristik Batu Bara Hasil Unit Metode Pengujian Kelembaban 1,80 %, ar ASTM Total D3302-02 Kadar Abu 4,75 %, adb ASTM D3174-02 Kadar Zat yang 52,86 %, adb ASTM Mudah D3175-02 Menguap Kadar Karbon 42,35 %, adb ASTM Tetap D3172-02 Nilai Kalori 7204 Cal/gr, ASTM adb D5865-03 Parameter
2 Tabel 3 Komposisi limestone Unsur/ Jumlah Unsur/ Jumlah Senyawa (%) Senyawa (%) MgO 18,47 Fe2O3 0,46 P2O5 0,49 Cu 0,02 S 0,00 Zn 0,01 Cao 42,46 Sn 0,06 TiO2 0,02 Pb 0,00 MnO 0,06 Dari komposisi unsur/senyawa dari malachite dan limestone serta karakteristik batu bara dapat menentukan berat tiap bahan untuk dimasukkan dalam mini blast furnace. Sehingga didapatkan rasio feed material ore : batu bara : kapur ialah (25:15:16) kg atau 1:0,6:0,64. Pada penelitian ini dihembuskan debit udara 18 m3/min, 20 m3/min, 22 m3/min, 24 m3/min dan 26 m3/min pada masing-masing proses. Pada tiap proses dilakukan pengukuran temperatur mini blast furnace pada titik yang dinggap penting. Produk hasil peleburan diambil melalui tapping point selama 1 menit kemudian ditimbang massa untuk mengamati laju aliran produk. Selanjutnya produk yang telah ditimbang tersebut dipisahkan antara logam, matte dan slag. Kemudian logam, matte dan slag diuji XRF untuk mengetahui kadar Cu yang terkandung. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengukuran Temperatur Pada pengukuran temperatur diukur menggunakan termokopel pada titik-titik yang dianggap penting. Titik 1 terletak di atas tuyere namun masih di bawah wind belts. Titik 2 terletak persis di atas wind belts. Pengukuran pada titik 1 dan 2 dimaksudkan untuk memantau temperatur disekitar melting zone. Titik 3 dan titik 4 dimaksudkan untuk memantau temperatur pada zona preheat. Tabel 4 Hasil Pengukuran Temperatur pada Mini Blast Furnace Titik Temperatur (oC) pada debit udara Ukur 18 20 22 24 26 m3/min m3/min m3/min m3/min m3/min 1 Bridging 1.298 1.327 1.384 2 Bridging 1.087 1.132 1.173 3 Bridging 494 512 560 4 Bridging 102 143 166 Pada debit udara 26 m3/min, temperatur naik secara signifikan karena adanaya reaksi oleh sulfur yang berlangsung secara eksoterm membentuk SO2 sehingga menyebabkan panas di lingkungan sekitarnya. Adanya reaksi eksoterm oleh sulfur ini juga dapat menjaga agar panas Cu tetap terjaga saat berada di well zone sehingga tidak membeku di dalam mini blast furnace.
JURNAL TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI (2014) 1-3
3
Laju Aliran Produk (kg/min)
B. Hasil Pengukuran Laju Aliran Produk 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Debit (m3/ min) 22 24 26
18
20
22
24
26
Debit Udara (m3/min)
Gambar 1 Pengaruh Debit Udara Terhadap Laju Aliran Produk Pada debit udara 18 m3/min dan 20 m3/min terjadi bridging dikarenakan suplai udara yang dihembuskan sangat kurang untuk melakukan proses pembakaran. Pada debit udara 22 m3/min didapatkan laju alir cairan sebesar 1,9 kg/min. Jika dilihat dari berjalannya proses peleburan di dalam mini blast furnace, lelehan slag masih terlihat sangat kental sehingga bepotensi untuk membeku. Jika slag membeku maka dapat dipastikan bridging dan menghentikan proses smelting. Pada saat debit udara ditingkatkan menjadi 24 m3/min, laju alir cairan naik menjadi 2,5 kg/min. Pada saat proses berlangsung lelehan slag dapat dilihat sudah lebih cair, namun masih terdapat potensi slag membeku jika proses dilakukan secara kontinu dalam waktu yang lama. Jika debit udara dinaikkan hingga 26 m3/min maka laju alir produk semakin tinggi hingga 2,9 kg/min. Jika diamati pada saat proses peleburan berlangsung aliran lelehan sangat lancar karena slag menjadi sangat encer. Debit udara 26 m3/min ini cocok digunakan untuk proses yang berlangsung kontinu dalam waktu yang lama karena kemungkinan slag membeku dan menyumbat lebih kecil.
IV. KESIMPULAN Dari penelitian optimasi debit aliran udara pada tuyere menggunakan Mini Blast Furnace untuk ekstraksi mineral malachite dari Atambua diperoleh produk hasil smelting yang keluar dari lubang tap berupa logam, matte dan slag. Pada debit udara 26 m3/min, temperatur naik secara signifikan sehingga dapat menjaga panas Cu tetap terjaga saat berada di well zone dan tidak membeku di dalam mini blast furnace. Pada debit udara 26 m3/min, laju alir produk mencapai 2,9 kg/min. Melting rate semakin meningkat seiring meningkatnya debit semburan udara. Dari percobaan yang dilakukan, debit udara 24 m3/min menghasilkan kadar Cu tertinggi sebesar 94,84 %. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] [3] [4] [5] [6] [7]
Pada Gambar 2 dapat diketahui kadar Cu pada logam, matte dan slag. Pada debit udara 22 m3/min kadar Cu pada matte masih lebih tinggi dari kadar Cu pada logamnya. Semakin meningkatnya debit udara maka kadar Cu pada logam juga semakin meningkat.
S
5,48 7,99 0,25 1,51 84,43 0,27 0,89 1,96 0,09 2,00 94,84 0,21 0,82 1,02 0,04 1,48 93,60 0,03 2,73 Jika ditinjau kadar Cu pada logam dengan debit udara 22 m3/min sebanyak 84,43 %, maka kadar pada Cu pada logam dengan debit 24 m3/min mengalami peningkatan kadar Cu menjadi 94,84%. Namun ketika debit udara ditingkatkan menjadi 26 m3/min maka kadar Cu pada logam mengalami penurunan menjadi 93,60 %. Hal ini terjadi karena jika diamati pada hasil XRF maka muncul sulfur sebesar 2,37 % sehingga mengurangi persentase Cu pada logam. Sulfur fused ini terjadi akibat sulfur memiliki critical point 1.314 K atau sekitar 1.041 oC.[7]. Sehingga ketika sulfur mencapai critical point maka akan sangat mudah berikatan.
C. Hasil Pengujian XRF
Gambar 2 Pengaruh Debit Udara Terhadap Kadar Cu Hasil Ekstraksi
Tabel 5 Hasil Uji XRF pada Logam Kadar Unsur (%) Al Si Ti Ni Cu Pb
Horath, L., (2001), Fundamentals of materials Science for Technologist: Properties, Testing, and laboratory Exercises, 2nd Edition, New Jersey, Prentice Hall. Sarangi, B. dan Sarangi, A., (2011), Sponge Iron Production in Rotary Kiln, 1st Edition, PHI Learning Private Ltd, New Delhi. Davenport, W. G., King, M., Schlesiner, M., Biswas, A.K., (2002). Extractive Metallurgy of Copper, 4th Edition, Tucson, Pergamon. Liew, F.C. Engineering Departement. TES-AMM Singapore (2008) Stephen D.C., (2000), Iron Melting Cupola Furnaces For the Small Foundry, 1st edition, Stephen D. Chastain, Jacksonville. Birmingham, A, (1979), Cupola, Design and Operation Control, BCIRA Melting, Boiling, and Critical Temperatures of The Elements, CRC Press LLC (2000)