KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN PENELITIAN DI BIDANG PERTAHANAN

Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian di Bidang Pertahanan dan Keamanan ... Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN ... p...

5 downloads 696 Views 636KB Size
Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian di Bidang Pertahanan dan Keamanan

KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN PENELITIAN DI BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN RESEARCH MANAGEMENT POLICY IN DEFENSE AND SECURITY Vita Susanti, Agus Hartanto, dan Ridwan Arief Subekti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

INFO ARTIK EL Naskah Masuk : 14/10/2014 Naskah Revisi : 15/11/2014 Naskah Terima : 17/12/2014

Keywords: Review Policy Research Management Defense Equipment

ABSTRACT As a sovereign nation, Indonesia has a strategy to defend itself against threats from outside and within the country. That requires a strong defense, both in terms of the number of military personnel and the number of defense equipment. So far, we have mostly the weaponry purchased and hung from abroad. This paper discusses the results of the study several policies and government regulations in defense and security in Indonesia. The methodology used is the start of data collection both primary data and secondary data, and from these data calculated the ideal number of military personnel and defense equipment. From the analysis of the data can be identified that one of the obstacles faced by Indonesian defense is the ratio of the number of military personnel to the personnel composition of the population as well as Army, Navy, and Air Force are still not ideal as well as the number of defense equipment owned is but below standard. In addition, the documents are not MP3EI clear roadmap on the development, engineering, and purchases of defense equipment and targets each year. Another problem is the absence of good coordination on defense research consortium activities. For that recommended the need for cooperation between military R & D, universities, and other research institutions under one umbrella defense research resulting in better research synergy.

SARI KARANGAN Kata kunci: Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian Pertahanan Keamanan

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mempunyai strategi untuk mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar maupun dalam negeri. Untuk itu dibutuhkan pertahanan yang kuat, baik dari segi jumlah personil TNI maupun jumlah alutsista. Selama ini persenjataan yang kita miliki kebanyakan dibeli dan tergantung dari luar negeri. Makalah ini membahas hasil kajian beberapa kebijakan dan peraturan pemerintah di bidang Pertahanan dan Keamanan (Hankam) di Indonesia. Metodologi yang digunakan adalah dimulai dari pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder, kemudian dari data tersebut dilakukan perhitungan jumlah personil TNI ideal dan jumlah alutsista ideal. Dari analisis data dapat diidentifikasikan bahwa salah satu kendala Hankam yang dihadapi Indonesia adalah perbandingan jumlah personil TNI dengan jumlah penduduk serta komposisi personil AD, AL, dan AU yang masih belum ideal serta jumlah alutsista yang dimiliki masih di bawah standar. Selain itu, dalam dokumen MP3EI tidak terdapat roadmap yang jelas mengenai pengembangan, rekayasa,dan pembelian alutsista serta target tiap tahunnya. Permasalahan lainnya adalah belum adanya koordinasi yang baik pada kegiatan konsorsium penelitian Hankam. Untuk itu direkomendasikan perlunya kerjasama antar litbang TNI, universitas, dan lembaga riset lainnya dalam satu payung penelitian Hankam sehingga terjadi sinergi penelitian yang baik. © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014: 169—176

* Korespondensi Pengarang, Komplek LIPI Bandung, Jl. Cisitu No.21/154 D, Gd 20, Lt 2, Bandung 40135 Telp: 022-2503055, Fax:021-2504773, E-mail: [email protected] ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI

V. Susanti, A. Hartanto, & R.A. Subekti (2014)

1. PENDAHULUAN Isu politik, ekonomi, dan kedaulatan negara merupakan faktor yang penting dan strategis dalam hal pertahanan dan keamanan suatu negara. Isu tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain dan sangat berpengaruh terhadap kondisi nasional suatu negara. Indonesia merupakaan negara kepulauan sehingga memiliki resiko sangat besar terhadap masuknya ancaman dari luar. Berdasarkan data Internasional Maritime Bureau (IMB) (2010) Kuala Lumpur tahun 2001, dari 213 laporan pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan Asia dan kawasan Samudera Hindia, 91 kasus di antaranya terjadi di perairan Indonesia. Sedangkan data yang dikeluarkan oleh TNI AL, selama tahun 2001 terjadi 61 kasus yang murni dikategorikan sebagai aksi pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan Indonesia. Walaupun terjadi perbedaan data, tetapi data tersebut menunjukkan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan pihak luar terhadap negara Indonesia. Hal tersebut merupakan suatu ancaman yang sangat serius, sehingga perlu dilakukan penanganan dengan segera. Dalam konteks strategis, pada ‘Buku Putih’ Departemen Pertahanan (2008) diperkirakan ancaman dan gangguan terhadap kepentingan pertahanan Indonesia di masa mendatang dapat berupa terorisme internasional, gerakan separatis, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, kegiatan imigrasi gelap, gangguan keamanan laut, gangguan keamanan udara, perusakan lingkungan, dan bencana alam. Hal tersebut berdampak terhadap keselamatan bangsa. Berdasarkan perkiraan ancaman serta kepentingan nasional Indonesia, maka kepentingan strategis pertahanan negara ke depan, meliputi kepentingan strategis yang bersifat tetap, kepentingan strategis yang bersifat mendesak, dan kerjasama internasional di bidang pertahanan dan keamanan. Dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara, maka terdapat lima faktor yang membentuk kekuatan bangsa yaitu ekonomi, militer, criticalmass, strategi, dan pencapaian sasaran (Cline, 1975). Melihat adanya ancaman dan gangguan terhadap kepentingan pertahanan Indonesia seperti yang diterangkan di atas, faktor militer menjadi hal yang paling krusial dan harus segera dibenahi. Faktor militer ini meliputi jumlah personil dan sistem persenjataannya atau lebih dikenal dengan istilah alutsista (alat utama sistem persenjataan). Saat ini TNI memiliki personil sekitar 376.000 170

yang terdiri dari 288.000 personil TNI AD, 59.000 personil TNI AL, dan 28.000 personil TNI AU (Harsono, 2009; Purwanto, 2011). Idealnya perbandingan jumlah personil TNI dengan jumlah penduduk adalah 1 : 629 (Bakrie, 2007). Perhitungan jumlah ideal personil TNI ini berbeda dengan negara lain. Jumlah ideal personil TNI ini kalau dipersentasekan hanya 0,15% dari jumlah penduduk. Sedangkan kalau di Singapura jumlah personil militer sekitar 20% dari jumlah penduduk, padahal jumlah penduduk Singapura hanya 1,89% dari jumlah penduduk Indonesia (Bakrie, 2007). Dalam hal alutsista, permasalahan yang dihadapi selama ini adalah Indonesia selalu membeli peralatan persenjataan dari luar negeri, seperti meriam, rudal/peluru kendali/guide missile, serta peralatan lainnya. Hal ini membuat Indonesia sangat tergantung dengan luar negeri, padahal Komite Kebijakan Industri Pertahanan telah merumuskan strategi di bidang industri pertahanan meliputi kebijakan dalam bidang penelitian, pengembangan dan perekayasaan, pendanaan, strategi pemasaran, pembinaan, pemberdayaan, peningkatan sumber daya manusia, dan kerjasama luar negeri dalam industri pertahanan. Mirdanies (2013) dalam kajiannya menjabarkan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mengambil keputusan terkait kebijakan Hankam yaitu masalah keterbatasan anggaran, ketegasan arah kebijakan, dan menentukan fokus riset. Ketiga faktor ini menjadi sangat penting untuk mewujudkan kemandirian teknologi di bidang Hankam. Dari latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan suatu kajian yang mendalam mengenai kebutuhan, kemampuan dalam negeri, dan kebijakan Hankam yang diperlukan untuk membentuk militer yang kuat dimana faktor militer ini merupakan faktor utama kekuatan bangsa. Makalah ini bertujuan memberikan rekomendasi melalui kebijakan untuk melakukan penelitian dan pengembangan di bidang Hankam, dalam rangka memperkecil ketergantungan terhadap produk luar dan agar industri alutsista di dalam negeri dapat berkembang.

2. METODE PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam makalah ini adalah: a. Pengumpulan data Data dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang digunakan adalah data primer dan data

ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek,

Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian di Bidang Pertahanan dan Keamanan

sekunder. Data primer didapat dari hasil kunjungan dan diskusi terbatas dengan pihak terkait. Selanjutnya dilakukan diskusi dengan ruang lingkup peserta yang lebih besar dalam bentuk RTD (round table discussion) dengan mengundang narasumber dari berbagai instansi seperti Pusdiklat TNI AD, Pusdiklat TNI AL, PT. Pindad, KKIP, Ristek, dan pihak swasta yang berkecimpung di bidang Hankam untuk dapat lebih memfokuskan arah kebijakan yang diperlukan dalam bidang Hankam. Sedangkan data sekunder berasal dari internet, buku, dan dokumen Kementerian. Jenis dokumen yang didapat antara lain adalah teori bela negara, Agenda Riset Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Buku Putih Hankam, Peraturan Presiden RI. No.42 tahun 2010, dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. b. Analisis data Dimana literatur yang ada kemudian dianalisis untuk mendapatkan suatu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk alutsista dari luar negeri. Berdasarkan data yang didapat mengenai jumlah personil dan kebutuhan alutsista, maka dibuat perhitungan jumlah personil TNI ideal berdasarkan banyaknya jumlah penduduk. Selain itu dibuat juga perhitungan jumlah alutsista ideal berdasarkan banyaknya jumlah personil TNI. Luas wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari perairan, maka dibuatlah perbandingan ideal antara jumlah personil TNI AL, AD dan AU. Selain itu juga menganalisis kebijakan Hankam dari dokumen Buku Putih Hankam dan Ristek, serta dari dokumen MP3EI. c. Rekomendasi Dari hasil analisis kemudian dapat ditentukan rekomendasi yang akan menunjang dan bermanfaat bagi kebijakan pertahanan dan keamanan selanjutnya. Dari analisis selanjutnya dibuat suatu rekomendasi untuk menuju kondisi ideal.

3. HASIL DAN DISKUSI Menurut Cline (1975) kaitan antara kebijakan sipil dengan militer dapat dipahami dengan model mengenai kekuatan bangsa. Cline mengajukan model abstrak tentang pencapain kekuatan bangsa. Menurutnya, kekuatan bangsa (P) dibentuk oleh lima faktor, yaitu ekonomi (E), militer (M), criticalmass (Cm), strategi (S), dan pencapaian

sasaran (W) (naturalwill). Faktor E, M, dan Cm dikatakan sebagai hardware-nya, sedangkan S dan W dikatakan sebagai faktor non-fisik. Sebagai salah satu faktor non-fisik, natural will ‘W’ atau kekayaan alam sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD agar seluruh rakyat Indonesia sejahtera, cerdas dan damai. Untuk mencapai sasaran ‘W’, maka diperlukan Strategi ‘S’ yang tepat dan matang. Untuk menciptakan ‘S’ yang tepat, memerlukan dukungan Cultural Value, Economic System, Laws/Regulation. Sedangkan Cm adalah critical mass yang menciptakan strategi yang tepat untuk mencapai national will dengan cara mempertinggi E dan M (Cline, 1975). Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari daratan dan perairan. Luas daratan Indonesia sekitar 1,9 juta km2, dan luas perairan sekitar 3,5 juta km2 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Hal ini berarti 2/3 luas wilayah Indonesia adalah perairan. Untuk itu diperlukan kekuatan militer yang tangguh, baik dari jumlah personil maupun jumlah persenjataan. Rumus pertahanan negara seperti yang dibuat oleh Cline mengidentifikasikan bahwa setiap variabelnya saling ketergantungan. Pada makalah ini akan membahas salah satu faktor pertahanan negara yaitu faktor ‘M’ (military) yaitu ‘kesiapan alutsista dan personil pendukungnya’. Wilayah Indonesia yang sangat luas dan kekayaan alam yang dimiliki sangat melimpah sehingga harus dijaga dan dipertahankan sebaik-baiknya. Untuk itulah diperlukan kekuatan militer yang tangguh. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membentuk suatu kekuatan militer (faktor ‘M’/military) yang tangguh antara lain adalah jumlah personil militer, jumlah alutsista, dan kebijakan Hankam yang mendukung. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan sebagai berikut. JUMLAH PERSONIL TNI Kekuatan personil TNI sebagai salah satu komponen utama saat ini berjumlah sekitar 376.000 prajurit. Bila kita bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah personil militer yang kita dimiliki masih belum seimbang atau masih kurang. Idealnya perbandingan jumlah personil TNI dengan jumlah penduduk adalah 1 : 629 (Bakrie, 2007). Jadi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 241 juta jiwa, maka idealnya jumlah TNI adalah sebanyak 383.148 personil. Selain dari segi jumlah personil, perbandingan komposisi tiap angkatan juga masih belum ideal.

ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI

171

V. Susanti, A. Hartanto, & R.A. Subekti (2014)

Tabel 1. Komposisi TNI Kondisi Saat Ini TNI

Jumlah Personil

Persentase antar Angkatan

Jumlah Personil

Persentase antar Angkatan

AD AL

288.000 59.000

75% 17%

127.716 153.259

33% 40%

AU

28.000

8%

102.173

27%

Untuk menjaga wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan sebagian besar merupakan perairan, seharusnya dibutuhkan lebih banyak personil TNI AL. Jumlah ideal personil TNI AL dan TNI AU adalah 2/3 dari total keseluruhan personil TNI dengan perbandingan 60% personil TNI AL dan 40% personil TNI AU. Maka didapat komposisi ideal personil TNI yang tercantum pada Tabel 1. JUMLAH DAN KEMAMPUAN INDUSTRI ALUTSISTA Faktor penting lainnya untuk mendukung kekuatan militer adalah jumlah alutsista yang dimiliki. Dalam buku putih Kementerian Riset dan Teknologi mengenai iptek Hankam untuk mendukung kekuatan pokok TNI/MEF 2025, telah dipetakan apa saja yang diperlukan oleh TNI, kemampuan industri Hankam, dan kemampuan lembaga litbang yang dapat berperan serta dalam mendukung pengembangan alutsista. Kondisi alutsista TNI saat ini dapat dijabarkan sebagai berikut: TNI AD siap 60%; TNI AL (KRI pemukul siap 83%, KAL patroli siap 68%, KAL pendukung siap 43%); TNI AU (pesawat tempur siap 45%, pesawat angkut siap 45%, pesawat latih siap 45%, helikopter siap 45%) (Bakrie, 2007). Jumlah tank yang dimiliki Indonesia sekarang sebanyak 231 unit dengan jenis PT 76, AMX 13 dan Scorpion 90. Alutsista tersebut berasal dari generasi 50an dan 70an, dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang. Jumlah ideal tank yang dimiliki TNI AD sebaiknya 1.161 unit, dimana jumlah ideal 1 unit tank diperuntukkan bagi 110 personil. Sebagai perbandingan di Vietnam, mereka memiliki 2.200 unit tank, padahal jumlah penduduk Vietnam lebih sedikit dari Indonesia (Bakrie, 2007). Jumlah ideal ACV (Armoured Combat Vehicle) adalah sebanyak 3.991 unit dimana jumlah ideal 1 unit ACV diperuntukkan bagi 32 personil, sedangkan untuk artileri seharusnya kita memiliki 1.703 unit dimana 1 unit artileri diperuntukkan bagi 75 personil (Bakrie, 2007). Untuk memperkuat pertahanan Indonesia maka alutsista yang dimiliki juga harus seimbang dengan jumlah 172

Kondisi Ideal

personil TNI. Sedangkan jumlah personil TNI yang dimiliki sekarang sebanyak 376.000 orang yang terdiri dari TNI AD, AU, dan AL. Kondisi alutsista yang dimiliki TNI saat ini sudah tidak memadai dan jauh dari standar karena usianya yang sudah lebih dari 40 tahun. Secara kualitas, alutsista tersebut di bawah standar dan secara kuantitas tidak mencukupi yang seharusnya dibutuhkan. Kendala utamanya adalah pada masalah pendanaan untuk alutsista. Selama 10 tahun terakhir ini, anggaran belanja pertahanan RI rata-rata di bawah 1% dari PDB (produk domestik bruto), sedangkan anggaran belanja pertahanan untuk negara-negara di Asia Tenggara di atas 2% dari PDB, bahkan ada negara yang mengalokasikan anggaran pertahanannya mencapai 3%-5% dari PDB-nya (Harsono, 2009; Purwanto, 2011). Erat kaitannya dengan alutsista adalah keberadaan dan kemampuan industri Hankam dalam negeri. Saat ini sebenarnya industri Hankam di Indonesia cukup memiliki kemampuan untuk menghasilkan alutsista yang berkualitas. Kemampuan industri Hankam dalam negeri telah menghasilkan beberapa jenis alutsista seperti (Kementerian Ristek, 2010): a. Daya Tempur: Roket (FFAR, Ø 122 termasuk R-HAN1-D230), SS2 V3, Senjata Api, MKK; b. Daya Gerak: Kendaraan perintis, Panser Anoa 6x6, KPC 40, LPD Ship, CN235 MPA, UAV, MSR, AWC; c. K4IPP: Alkom HF/VHF, radio jammer, radar, Combat Manajemen System (CMS), teknologi enkripsi, teropong bidik siang/malam, target simulator; d. Bekal Prajurit: Rompi dan helm anti peluru, DNA forensik, alat pemindai bom/narkoba, granat airmata, senjata/peluru karet, narkoba test kit, mobile insenerator narkoba, alat rekam sidik jari; e. Produk penunjang: Polsek/Pos TNI di perbatasan (Unit Mobile Pengolahan Air Bersih, PLT Surya, Alkomlek), Alat pemindai bom/ bahan peledak, kendaraan listrik (sepeda/ mobil) patroli Polmas. Beberapa industri dalam negeri yang dapat

ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek,

Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian di Bidang Pertahanan dan Keamanan

berperan serta dalam pembuatan alutsista antara lain adalah PT. Krakatau Steel, PT. PAL, PT. Dirgantara Indonesia, PT. Pindad, PT. LEN, PT. Dahana, PT. INTI, PT. BBI, PT. Barata, dan PT. INKA. Sedangkan lembaga riset/universitas yang dapat berperan serta untuk menunjang perkembangan alutsista antara lain LIPI, BPPT, LAPAN, Balitbang Kemenhan, Dislitbang TNI (AD, AL, AU), Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Sebelas Maret. Kemajuan Indonesia di bidang Hankam tidak lepas dari peran serta lembaga riset baik lembaga riset pemerintah, universitas, maupun lembaga riset yang dimiliki oleh industri. Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh lembaga riset tersebut yaitu dana yang kurang memadai, SDM, sarana dan prasarana untuk penelitian Hankam kurang memadai, serta kurangnya kerjasama antara lembaga riset/ universitas dengan litbang TNI sehingga penelitian yang dilakukan menjadi kurang sinergis. KEBIJAKAN HANKAM Faktor yang berperan penting dalam kemandirian industri alutsista suatu negara adalah

kebijakan Hankam yang keluarkan dan dijalankan oleh pemerintahnya untuk mendukung industri Hankam dalam negeri dan pengadaan alutsista. Kebijakan tersebut antara lain: A. Kebijakan Riset Kekuatan bangsa dalam bidang Hankam tak lepas dari adanya kebijakan yang mendukungnya. Kebijakan tersebut dapat dimulai dari adanya perancanaan matang yang tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. RPJMN dibuat sebagai acuan pembangunan nasional Indonesia. Dalam RPJMN 2010 - 2014, telah dibuat matrik kegiatan prioritas dimana setiap bidangnya telah ditentukan instansi yang bertanggung jawab dan target tiap tahunnya. Dana yang dialokasikan untuk setiap kegiatan tersebut juga telah ditetapkan (Bappenas, 2010). Selajutnya RPJMN yang dibuat oleh pemerintah dijabarkan lebih terperinci pada Agenda Riset Nasional (ARN) sebagai agenda perencanaan iptek di Indonesia. ARN dirumuskan oleh peneliti dari litbang kementerian dan non kementerian, universitas, dan pelaku usaha (ARN, 2010). Di dalam ARN terdapat tujuh fokus bidang yang kesemuanya didukung oleh sains dasar

Tujuan Pembangunan Iptek dalam RPJMN/RPJPN

Penguatan Dimensi Sosial dan Kemanusiaan

Fokus Ketahanan Pangan

Fokus Energi

Fokus Teknologi Informasi dan Komunikasi

Fokus Teknologi dan Manajemen Transportasi Pangan

Fokus Teknologi Pertahanan & Keamanan

Fokus Teknologi Kesehatan & Obat

Fokus Material Maju

Penguatan Sains Dasar

Gambar 1. Keterkaitan antara bidang-bidang fokus dan faktor pendukung keberhasilan pembangunan Iptek (ARN, 2010). ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI

173

V. Susanti, A. Hartanto, & R.A. Subekti (2014)

seperti tergambar dalam Gambar 1. Seluruh kegiatan tersebut difokuskan untuk pembangunan Iptek dengan dukungan dari bidang sosial dan kemanusiaan. Salah satu fokus bidang pada ARN adalah teknologi pertahanan dan keamanan dimana yang menjadi prioritas utamanya adalah (ARN, 2010): pendukung daya gerak, daya tempur, teknologi pendukung komando kendali komunikasi komputasi informatik pengamatan dan pengintaian (K4IPP), teknologi pendukung bekal prajurit, teknologi pendukung peralatan khusus, dan teknologi pendukung kemandirian. Untuk setiap bidang fokus telah ditentukan topik penelitiannya, target selama 4 tahun, indikator keberhasilan, serta capaian pada tahun 2025. Untuk bidang Hankam terdapat beberapa topik utama, diantaranya adalah rancang bangun dan rekayasa alat angkut/wahana darat, laut dan udara; rancang bangun dan rekayasa ranjau laut pintar dan smart bomb; rancang bangun dan rekayasa roket dan peluru kendali; rancang bangun dan rekayasa alat komunikasi khusus; rancang bangun dan rekayasa data streaming; rancang bangun dan perlengkapan khusus; rancang bangun dan rekayasa robot anti teror; kajian strategis Hankam; peralatan khusus kepolisian; rancang bangun dan rekayasa kendaraan taktis, hovercraft dan tank amphibi; rancang bangun dan rekayasa meriam; rancang bangun dan rekayasa amunisi besar dan produk propelan; rancang bangun dan rekayasa perangkat optronik, radar dan satelit; rancang bangun dan rekayasa pesawat terbang tanpa awak; rancang bangun dan rekayasa alat penjinak bahan peledak, deteksi bom dan metal; rancang bangun dan rekayasa peralatan perang elektronika; dan rancang bangun dan rekayasa simulasi strategi perang (ARN, 2010). Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) mengklasifikasikan 12 produk prioritas industri pertahanan yang terbagi dalam empat industri Hankam. Industri Hankam tersebut antara lain: Industri Hankam A (sistem K4I, yang terdiri dari satelit, radar, UAV, dan UCAV); Industri Hankam B (pesawat tempur, pesawat pengangkut, dan peluru kendali); Industri Hankam C (tank ringan, kendaraan tempur infantri mekanik, kendaraan pengangkut personil, kendaraan taktis serbaguna, dan meriam); dan Industri Hankam D (kapal patroli rudal, kapal selam, landing platform helikopter). Untuk mempercepat penelitian di bidang Hankam, maka dibentuklah Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) malalui Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2010 (2010). Komite ini 174

bekerja untuk merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis dalam hal industri pertahanan, mengkoordinasi pelaksanaan industri pertahanan, mengkoordinasi kerjasama dengan luar negeri dalam hal industri pertahanan, serta memantau dan mengevaluasi kebijakan industri pertahanan. Ristek dan KKIP memprakarsai konsorsium pesawat tempur, peluru kendali, kapal selam, kendaraan tempur, dan lain-lain. Akan tetapi konsorsium tersebut belum berjalan secara maksimal dan tidak ada yang mengkoordinasi. Pembentukan konsorsium penelitian sebenarnya sangat bagus untuk mensinergikan suatu penelitian dan mengikutsertakan beberapa lembaga penelitian. Setiap lembaga penelitian yang ikut serta dalam konsorsium tersebut mempunyai perannya masing - masing dan tujuannya adalah alutsista berupa roket, kapal perang atau pesawat, dan lain-lain. LIPI sebagai salah satu lembaga penelitian ikut serta dalam konsorsium yang dibentuk oleh Ristek dan KKIP karena rekam jejak LIPI yang sudah sejak lama melakukan penelitian untuk peralatan pertahanan dan keamanan. Peralatan Hankam yang telah dibuat LIPI salah satunya adalah teropong bidik siang dan teropong bidik malam untuk senapan dimana alat tersebut telah digunakan oleh TNI AD di Timor Timur. Selain itu masih banyak lagi penelitian di bidang Hankam yang telah dilakukan oleh LIPI. Hasil penelitian yang telah dilakukan LIPI tidak bisa langsung digunakan oleh pengguna dalam hal ini oleh TNI karena hasil penelitian tersebut belum mendapat sertifikasi oleh TNI. Untuk mendapatkan sertifikasi TNI diperlukan persyaratan dan biaya yang besar. Salah satu persyaratannya adalah prototipe tersebut harus memenuhi spesifikasi peralatan militer. Harga komponen yang sesuai dengan spesifikasi militer harganya mahal sedangkan dana penelitian terbatas. Untuk itu diperlukan kerjasama antara lembaga penelitian dan TNI agar hasil penelitian di LIPI bisa diuji coba oleh anggota TNI. Prototipe yang dihasilkan oleh LIPI tentu saja belum proven, sehingga untuk menuju ketingkat proven diperlukan uji coba oleh anggota TNI. Dari hasil uji coba tersebut akan didapat feedback bagi para peneliti untuk mengetahui kekurangan dari prototipe yang dihasilkan, dan memperbaikinya sesuai masukan dari pengguna sehingga produk alutsista tersebut menjadi produk yang proven dan siap di produksi. Untuk itu sebagai lembaga litbang perlu dukungan dari instansi terkait seperti TNI untuk menjadikan hasil penelitian lembaga litbang menjadi produk yang proven, sehingga negara Indone-

ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek,

Kajian Kebijakan Manajemen Penelitian di Bidang Pertahanan dan Keamanan

sia tidak perlu lagi membeli alutsista dari luar negeri. B. Kebijakan Industri Alutsista Dalam Negeri Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) terdapat 8 program utama yang menjadi fokus untuk percepatan pembangunan. Dari 8 program utama tersebut dibagi menjadi 22 kegiatan ekonomi utama yang salah satunya adalah alutsista. Program nasional untuk mendukung keberadaan alutsista ini antara lain adalah: pembuatan pesawat, roket/rudal, torpedo, kapal perang/selam, kendaraan tempur (ranpur), senjata, dan pembuatan amunisi (Kemenko Perekonomian, 2011). Program-program ini dipilih karena kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan dikelilingi lautan sehingga sangat rawan ancaman yang datang dari perbatasan darat, laut dan udara. Ancaman yang datang menyebabkan ketidakharmonisan dengan negara tetangga, seperti illegal logging, illegal fishing, illegal ·

Misi · · ·

Memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok matra darat laut dan udara TNI sehingga Indonesia bisa mandiri. Menguasai teknologi dan mempunyai akar industri dalam negeri. Memiliki SDM yang mumpuni dan kreatif. Mempunyai jaringan yang luas melalui kerjasama strategis dengan mitra luar dan dalam negeri.

mining, trading, dan lainnya. Sebagai negara yang berdaulat, kita harus mempertahankan kekayaan yang kita miliki, salah satu cara mempertahankannya adalah dengan memiliki peralatan persenjataan yang memadai sehingga tidak kalah dengan peralatan persenjaan para pelaku kejahatan tersebut. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah kurangnya industri alutsista di Indonesia. Peralatan alutsista selama ini dibeli dari industri luar negeri, sehingga industri di dalam negeri tidak berkembang. Kurang berkembangnya industri dalam negeri juga disebabkan tidak adanya Undang-Undang mengenai pengembangan dan pemanfaatan industri strategis nasional untuk mendukung sistem pertahanan di Indonesia. Tujuan MP3EI untuk program alutsista ini adalah untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan alutsista bagi TNI dan POLRI. Strategi yang dilakukan yaitu dengan mensinkronkan pemenuhan kebutuhan alutsista dengan kemampuan industri di dalam negeri, mempercepat alih teknologi, peningkatan penggunaaan konten lokal,

Jangka Panjang : · Pembangunan kompetensi inti · Kerjasama jangka panjang/ strategic alliances 2015 - 2020

2025 Industri Pertahan yang mandiri

Perluasan pasar ke luar negeri melalui aliansi/ kemitraan . 2011 - 2015 · · · ·

Pengembangan kompetensi Investasi Progressive manufacturing Prototyping Jangka Menengah : Reposisi bisnis & sistem pemasaran · Financial Access · Kemitraan dalam & luar negeri · Inovasi & pengembangan produk & jasa

2011 · · 2009 - 2010 ·

Penetapan kebutuhan

· · ·

TNI Kebijakan industri Pertahanan nasional Penetapan perusahaan

·

·

Perumusan program nasional Penetapan misi perusahaan Kebijakan anggaran

· · · · ·

Jangka Pendek : Penetapan misi Penyehatan perusahaan Penyiapan SDM Reorganisasi & pembenahan sistem Peningkatan revenue mix

Gambar 2. Industri strategis pertahanan sampai dengan 2025 (Kemenko Perekonomian) ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, LIPI

175

V. Susanti, A. Hartanto, & R.A. Subekti (2014)

serta kerjasama produksi untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri. Roadmap industri strategis Hankam yang terdapat pada dokumen MP3EI seperti yang terdapat pada Gambar 2. Gambar 2 memperlihatkan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan mulai tahun 2009 2025 untuk menuju kemandirian industri pertahanan di Indonesia. Sejak awal telah dilakukan pemetaan kebutuhan alutsista, kemampuan SDM dan industri dalam negeri yang kita miliki, dan yang tidak kalah penting adalah masalah pendanaan untuk mendukung program ini. Namun demikian, dalam MP3EI tersebut tidak terdapat roadmap yang jelas mengenai pengembangan, rekayasa atau pembelian alutsista. Target tiap tahun untuk alutsista tersebut juga tidak dicantumkan. Hal tersebut terkesan bahwa kegiatan ekonomi alutsista tidak menjadi prioritas utama seperti kegiatan ekonomi lainnya. Untuk itu diperlukan penjabaran yang lebih mendetail roadmap tersebut.

4. PENUTUP Jumlah personil TNI yang dimiliki Indonesia belum sebanding dengan jumlah penduduk. Personil TNI AD lebih banyak dari personil TNI AL, padahal wilayah Indonesia terdiri dari kepulauan dan 2/3 terdiri dari perairan, untuk itulah seharusnya personil TNI AL lebih banyak dari personil TNI lainnya untuk menjaga wilayah perairan Indonesia. Jumlah komposisi ideal personil TNI, yaitu 33% personil TNI AD, 40% personil TNI AL, dan 27% personil TNI AU. Perbandingan jumlah penduduk dengan personil TNI saat ini adalah 641:1, masih di bawah perbandingan ideal 629:1. Jumlah ideal personil TNI adalah 0,15% dari jumlah penduduk. Kalau jumlah penduduk sebanyak 241 juta orang maka jumlah personil TNI seharusnya 383.148 personil. Selain itu, jumlah alutsista yang dimiliki Indonesia saat ini masih jauh dari standar dan tidak sebanding jumlahnya dengan jumlah personil TNI. Jumlah ideal tank yang dimiliki TNI AD sebaiknya 1.161 unit, dimana 1 unit tank diperuntukkan bagi 110 personil. Sedangkan untuk ACV (Armoured Combat Vehicle) sebanyak 3.991 unit dimana 1 unit ACV diperuntukkan bagi 32 personil. Dalam dokumen MP3EI target tiap tahun untuk alutsista tidak dicantumkan, sehingga terkesan kegiatan ekonomi alutsista tidak menjadi prioritas utama. Penelitian Hankam tidak bisa hanya dilakukan oleh satu lembaga atau kelompok saja. Untuk itu direkomendasikan perlunya kerjasama antar litbang TNI, universitas, dan

176

lembaga riset lainnya dalam satu payung konsorsium penelitian Hankam sehingga terjadi sinergi penelitian yang baik dengan melepaskan ego-sektoral mereka untuk kepentingan negara. LIPI telah banyak melakukan penelitian dan menghasilkan beberapa prototipe di bidang Hankam. Hasil litbang yang telah ada sebaiknya dimanfaatkan dan diujicoba untuk mengetahui performanya agar menjadi lebih proven.

CATATAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH Artikel ini adalah penyempurnaan dari makalah yang telah dipresentasikan dalam Forum Nasional IPTEKIN ke IV di Jakarta, tanggal 9 Oktober 2014, dengan penyelenggara Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, LIPI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para nara sumber yang telah memberikan masukan substansi untuk perbaikan makalah ini sehingga dapat diterbitkan dalam Warta Kebijakan Iptek dan Manajemen Litbang.

DAFTAR PUSTAKA Bakrie, C.H. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. BAPPENAS. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 - 2014. Jakarta: BAPPENAS. Cline, R.S. 1975. World Power Assessment. Colorado, USA: Westview Press. Departemen Pertahanan Republik Indonesia. 2008. Buku Putih Pertahanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Harsono, T. D. 2009. Economic Defense Dan Arah Kebijakan Pembangunan TNI Mempertanyakan Komitmen Negara. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. International Maritim Bureau. 2010. Agenda Riset Nasional 2010 – 2014. Jakarta. Diakses dari http://www.icc-ccs.org Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kementerian Riset dan Teknologi. 2010. Buku Putih Ristek Iptek Hankam. Kementerian Riset dan Teknologi Mirdanies, M., dkk. 2013. Kajian Kebijakan Alutsista Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Nogo Seno, H. A. 2011. Monster Tempur Kavaleri Indonesia. Jakarta: Mata Padi Presindo. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2010. Tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Purwanto, W.H. 2011. Tata Dunia Baru Sistem Pertahanan. Jakarta: CMB Press.

ISSN: 1907-9753 © Warta KIML Vol. 12 No. 2 Tahun 2014, Pusat Penelitian Perkembangan Iptek,