BioSMART Volume 7, Nomor 2 Halaman: 83-90
ISSN: 1411-321X Oktober 2005
Komposisi Pakan Buatan Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Kandungan Protein Ikan Tawes (Puntius javanicus Blkr.) The composition of artificial diet to increase the growth and protein content of Java carp (Puntius javanicus Blkr.). NING PRABAN DANI, AGUNG BUDIHARJO♥, SHANTI LISTYAWATI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 13 Nopember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.
ABSTRACT The aim of this research was to find out the quality of artificial diet that consist of value of protein, lipid, ash, water, and carbohidrate, and to find out the composition of artificial diet which was effective for the growth and the protein value of java carp. Complete Randomised Design with 5 groups of the gift of diet consisting mixture which consist of fish powder, maizena, rice siftings, turi leaves powder, tapioca and premix vitamin with ingredients in treatment A: 3%: 32%: 46%: 2%: 15%: 2%; treatment B: 12%: 25%: 39%: 10%: 12%: 2%; treatment C: 23%: 20%: 30%: 16%: 9%: 2%; treatment D: 33%: 14%: 21.5%: 22.5%: 7%: 2%; treatment E: 42%: 8%: 14%: 30%: 4%: 2%. Commercial pellet was given to positive control, no artificial diet was given to negative control. Each treatment had three replications. The parameters measured were total length, body weight, the total of dead fish, protein value of meat, temperature and pH. Data collected were then analyzed using Anova and continued with DMRT test at the level of 5% significancy. The result showed that artificial diet in treatment E produced the best growth of java carp and the highest meat protein content. Key words: diet composition, diet quality, growth, protein contens, java carp.
PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat lebih dari 4.000 jenis ikan yang meliputi ikan laut, ikan payau, dan ikan tawar. Sebagian besar di antaranya dapat dikonsumsi secara aman (Suseno, 2000). Kebutuhan manusia akan ikan, selain diperoleh dari tangkapan alami, juga diperoleh dari hasil budidaya. Dalam usaha untuk mencukupi kebutuhan konsumsi ikan yang meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, perlu usaha peningkatan produksi ikan. Dalam usaha budidaya ikan, perlu diperhatikan tentang penyediaan benih dan pakan yang cukup memadai baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, antara lain dicapai melalui sistem intensif. Menurut Djajasewaka (1985), budidaya ikan yang intensif merupakan suatu usaha pemeliharaan ikan dengan padat penebaran tinggi dan keharusan memberi pakan buatan. Salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan secara intensif adalah ikan tawes. Budidaya tawes tidak memerlukan modal yang besar. Ikan ini banyak digemari masyarakat karena memiliki daging cukup tebal, rasa daging yang enak, dan termasuk ikan prolifik. Menurut Ardiwinata (1981) ikan tawes (Puntius javanicus Blkr.) merupakan ikan herbivor, daun-daunan ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail:
[email protected],
[email protected] [email protected]
merupakan pakan yang penting bagi tawes. Menurut Mudjiman (2000), ikan tawes pada waktu masih benih suka makan plankton. Setelah dewasa ikan tawes suka makan lumut dan pucuk-pucuk ganggang muda. Selain itu, ikan tawes juga makan daun-daun tanaman lain, misalnya daun keladi, daun singkong, dan daun pepaya. Pertumbuhan pakan alami dalam usaha budidaya ikan yang intensif, akan mengalami kesulitan. Untuk mencapai laju pertumbuhan ikan yang baik, selain diberi pakan alami perlu diberikan pakan buatan sesuai kebutuhan ikan. Menurut Britner et al. (1989), banyak bahan yang dapat digunakan untuk pakan buatan. Tipe bahan yang digunakan tergantung dua faktor, yaitu jenis ikan dan ketersediaan bahan. Permasalahan yang sering dihadapi dalam penyediaan pakan buatan ini adalah biaya yang cukup tinggi untuk pembelian pakan. Menurut Rasidi (1998), biaya pakan ini dapat mencapai 60-70% dari komponen biaya produksi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi tersebut adalah dengan membuat pakan buatan sendiri. Pembuatan pakan buatan ini menggunakan teknik yang sederhana dengan memanfatkan sumbersumber bahan baku lokal, termasuk pemanfaatan limbah hasil industri pertanian yang relatif murah. Bahan yang dapat dipakai untuk pakan buatan, antara lain tepung ikan, tepung jagung, dedak, dan daun turi. Tepung ikan berasal dari afkir ikan, dedak diperoleh dari hasil sampingan penggilingan padi, dan daun turi dapat dipakai sebagai bahan baku karena banyak dijumpai di pedesaan dan kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
84
kurang lebih 27%. Bahan baku yang ada tersebut dapat dipakai sebagai pengganti pakan buatan pabrik apabila disusun dalam komposisi yang tepat. Untuk mendapatkan pertumbuhan ikan yang optimum, perlu ditambahkan pakan tambahan yang berkualitas tinggi, yaitu pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Nilai gizi pakan ikan pada umumnya dilihat dari komposisi zat gizinya, seperti kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Selain nilai gizi makanan, perlu diperhatikan pula bentuk dan ukuran yang tepat untuk ikan yang dipelihara. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1991; Sumantadinnata, 1983). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kombinasi pakan meliputi kadar protein, lemak, abu, air dan karbohidrat dari pakan buatan yang terdiri atas tepung ikan,tepung jagung, dedak, daun turi, kanji, dan premix vitamin serta mengetahui kombinasi pakan yang paling efektif untuk memacu pertumbuhan ikan tawes dan kadar protein dagingnya. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan bulan Oktober 2003 -Januari 2004, dilakukan di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Analisis kadar protein, lemak, karbohidrat, abu, dan air dilakukan di Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Bahan Ikan tawes (Puntius javanicus Blkr.) dengan panjang 35 cm atau yang berumur ± 2 bulan. Bahan pakan berupa tepung ikan, dedak, tepung daun turi, tepung jagung, tepung kanji, dan premix vitamin. Pellet komersil, larutan Lowry A, Lowry B, Lowry C, Lowry D, Lowry E, akuades, kapas, air, kertas saring, dan petroleum eter. Cara kerja Macam perlakuan Tabel 1. Macam perlakuan yang diberikan pada hewan uji. Jenis bahan Tepung ikan Tepung jagung Dedak Tepung daun turi Tepung Kanji Premix vitamin
A 3%
B
C
D
12% 23% 33%
32% 25% 20% 14%
E
Kontrol Kontrol Positif Negatif
42% Diberi
Tidak
8%
Diberi
Pakan
Pembuatan pakan Semua bahan yang terdiri atas tepung ikan, tepung jagung, dedak, tepung daun turi, kanji, dan premix vitamin dicampur dengan komposisi sesuai pada macam perlakuan yang diberikan. Campuran diseduh dengan air panas dan diaduk hingga menjadi pasta. Selanjutnya, dicetak menggunakan penggiling daging atau pencetak pellet dan hasilnya dikeringkan di bawah sinar matahari. Uji protein Uji protein dilakukan dengan metode Lowry (Sudarmadji dkk, 1997). Pakan sebanyak 3 g ditumbuk halus kemudian ditambah aquadest sampai volumenya 100 ml. Larutan disaring menggunakan kertas saring, ditambah aquadest sampai volume kembali 100 ml. Larutan sebanyak 1 ml dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan Lowry D, dan segera digojog dengan vortex. Kemudian, diinkubasikan pada suhu kamar selama 15 menit. Ditambahkan 3 ml larutan Lowry E ke dalam cuplikan dan digojog dengan vortex. Kemudian, diinkubasi pada suhu kamar selama 45 menit, dan diukur absorbansinya pada 590 nm. Dibuat kurva standar serum albumin dengan konsentrasi 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; dan 1/ml H2O. Dan bahan-bahan ini, juga diukur absorbansinya pada 590 nm, sehingga diperoleh garis regeresi hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi protein. Berdasarkan garis ini, kandungan protein cuplikan bisa diketahui. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: Persen protein = c x FP x 100 x 3
1 1000
c = konsentrasi FP = Faktor Koreksi Uji lemak Uji lemak dilakukan dengan metode Soxhlet (Apriyantono dkk., 1987). Pakan sebanyak 1.5 g dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring dan diberi kapas pada bagian atas dan bawahnya, dan dimasukkan dalam tabung ekstraksi soxhlet. Air pendingin dialirkan melalui kondensor, selanjutnya diekstraksi pada alat destilat soxhlet dengan pelarut petroleum eter secukupnya, selama 3-4 jam. Botol timbang yang berisi hasil ekstraksi soxhlet diuapkan di dalam oven 105o C sampai berat konstan. Persentase lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut:
46% 39% 30% 21,5% 14% Pellet Pakan Komer 2% 10% 16% 22,5% 30% sil/ pakan
%lemak=
15% 12% 9%
7%
4%
Buatan
2%
2%
2%
Pabrik
Uji kadar air Uji kadar air dilakukan dengan cara pemanasan (Sudarmadji dkk, 1997). Pakan sebanyak a g ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven pada temperatur 100101oC selama 3 jam. Selanjutnya, didinginkan dan ditimbang. Sampel dipanaskan kembali dalam oven 30 menit, didinginkan dan ditimbang lagi. Perlakuan ini diulangi sampai tercapai berat konstan. Hasil penimbangan sebagai b g dan kadar air dihitung sebagai berikut: Kadar air = (a-b) g.
2%
2%
Pembuatan tepung ikan Afkir ikan direbus selama ± 30 menit, air rebusannya dibuang kemudian ikan dikeringkan dengan dijemur. Selanjutnya, ikan digiling menjadi tepung.
penambahan berat terhadap labu atau botol timbang x100% berat sampel yang digunakan
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
Kadar abu Pakan sebanyak 2 g diletakkan dalam krus porselin yang kering dan telah diketahui beratnya. Dioven pada suhu 105oC selama 2 jam, dipijarkan dalam furnace bersuhu 600oC selama 2 jam sampai diperoleh abu berwarna putih. Krus dan abu dimasukkan dalam eksikator, kemudian ditimbang. Berat abu yang dihasilkan dari selisih penimbangan merupakan kadar abu. Penetapan kadar karbohidrat Penetapan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode “carbohidrat by difference “. Angka 100 dikurangi kadar air, abu, protein, dan lemak (Nugroho, 1999). Pemeliharaan ikan Kolam diisi air dan diberi aerasi, masing-masing kolam dimasukkan ikan tawes sebanyak 5 ekor yang sebelumnya diaklimasi selama 1 minggu. Ikan diberi perlakuan dengan perbedaan komposisi pakan yang diberikan seperti pada Tabel 1. Pakan diberikan 3 kali sehari, yaitu pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 sebanyak 5% berat biomassa ikan. Dan setiap satu minggu sekali kolam dibersihkan. Pengukuran pertumbuhan ikan, mortalitas, efisiensi pakan dan retensi protein • Laju pertumbuhan harian (Effendi,1997). SGR = ln Wt − ln Wo x100% t 2 − t1
Wt Wo t1 t2 SGR •
= Berat akhir ikan = Berat awal ikan = Waktu awal (hr) = Waktu akhir (hr) = Laju pertumbuhan harian
x100%
L0
Mortalitas (Effendi, 1995) Mortalitas = Σ ikan mati pada waktu penelitian
x100%
Efisiensi pakan (Huisman dalam Mokoginta et al, 1995). FE = (Wt + D − Wo ) x100% F
Wt Wo D F •
= Berat akhir ikan = Berat awal ikan = Berat ikan yang mati = Berat pakan yang diberikan
Pengukuran retensi protein (PR) berdasar rumus Viola dan Rappaport dalam Mokoginta et al (1995). PR = Berat protein tubuh akhir - Berat protein tubuh awal Berat protein yang dimakan
Pengumpulan data Pengamatan terhadap pertumbuhan ikan setiap 10 hari sekali. Kadar protein ikan pada awal perlakuan sebanyak 3 kali ulangan untuk semua perlakuan dan pada akhir perlakuan sebanyak 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan. Data pendukung meliputi pengukuran temperatur dan pH air. Analisis data Menggunakan analisis varians (anava) yang kemudian dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas pakan Salah satu syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan adalah tersedianya pakan yang bergizi. Uji kualitas pakan tersebut meliputi pengukuran kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. Komposisi dari tiap pakan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 2.
Perlakuan
Σ ikan yang digunakan dalam penelitian
•
Pengukuran temperatur dan pH Pengukuran suhu menggunakan termometer air raksa dan pengukuran pH menggunakan pH meter elektrik.
x100%
Wt / Lt = Berat/panjang pada akhir penelitian Wo / Lo = Berat/panjang awal penelitian •
Pengukuran kadar protein ikan Pengukuran kadar protein ikan dilakukan dengan metode Lowry dan dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Sampel yang diambil pada jaringan otot (daging) ikan bagian dorsal (musculus epaxial) dari masing-masing perlakuan.
Tabel 2. Kualitas pakan buatan yang digunakan untuk perlakuan dalam percobaan.
Laju pertumbuhan relatif (Effendi,1997). Pwt = Wt − Wo dan PLt = Lt − L0 Wo
85
x100%
A B C D E
Kadar air (%) 2,15a 2,42ab 2,82b 2,62ab 2,42ab
Uji kualitas pakan buatan Kadar Kadar Kadar Kadar abu lemak protein karbohidrat (%) (%) (%) (%) 8,65a 6,82d 6,95a 75,92e 19,48b 5,09b 10,14b 62,87d 21,14c 5,48c 13,27c 57,29c d a d 24,21 4,54 20,73 47,91b 24,94d 5,41c 22,88e 44,35a
Dari Tabel 2 tentang kualitas pakan buatan, dapat diketahui bahwa hasil analisis statistik menunjukkan kadar air pakan pada perlakuan A menunjukkan beda nyata dengan perlakuan C. Tetapi, perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan B, D, dan E. Nilai terendah kadar air pakan adalah pada perlakuan A, yaitu 2,15% dan tertinggi pada pakan C, yaitu 2,82%. Nilai tersebut tidak terpaut jauh. Hal ini karena proses pengeringan pada pakan dilakukan pada tempat yang sama. Oleh karena itu, tingkat kekeringan dari pakan buatan relatif sama. Menurut Sahwan (2002) kadar air pakan sebaiknya lebih baik tidak lebih besar dari 10%. Jadi, kadar air pada pakan ini masih dalam batas kisaran ideal. Tingkat kekeringan pakan ini
86
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
sangat menentukan daya tahan pakan karena apabila pakan buatan mengandung banyak air maka akan menjadi lembab. Dalam kondisi ini apabila pakan disimpan terlalu lama akan ditumbuhi jamur. Dengan demikian, kualitas dari pakan akan menurun, bahkan dapat berbahaya bagi ikan. Kadar air pada pakan buatan ini sudah relatif rendah sehingga dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Hasil pengukuran pada kadar abu pakan, perlakuan D dan E tidak beda nyata. Tetapi perlakuan D dan E ini berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C. Hal ini karena komposisi bahan dari masing-masing perlakuan mempunyai persentase yang berbeda-beda. Kadar abu pada pakan menunjukkan indikator besarnya kandungan untuk mineral yang terdapat dalam pakan tersebut (Jangkaru, 1974). Kadar abu tertinggi pakan buatan pada perlakuan E, yang juga memberikan laju pertumbuhan yang tertinggi di antara perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan pakan perlakuan E tersebut mempunyai kandungan mineral yang tertinggi. Perbedaan kadar abu pada pakan buatan, dikarenakan persentase bahan yang berlainan antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya. Kadar lemak perlakuan C dan E tidak beda nyata, tetapi perlakuan ini beda nyata dengan A, B dan D. Lemak dalam makanan mempunyai peran yang penting sebagai sumber tenaga, bahkan dibanding dengan protein dan karbohidrat, lemak dapat menghasilkan tenaga yang besar. Protein dan karbohidrat berisi sekitar 4,6 kcal/g, tetapi ikan hanya dapat menghasilkan 3,9 kcal/g untuk protein dan 1,6 kcal/g untuk karbohidrat. Lipid mengandung 9,6 kcal/g mempunyai nilai kalori efektif sebesar 8 kcal/g untuk ikan (Wedemeyer, 1996). Dalam kaitan dengan pakan buatan, adanya lemak dalam pakan berpengaruh terhadap rasa dan tekstur pakan yang dibuat. Menurut Mudjiman (1989) kandungan lemak ideal untuk makanan ikan berkisar 4-18%. Jadi, kadar lemak pada pakan buatan ini masih dalam batas kisaran kadar lemak ideal untuk pakan ikan. Dari uji menggunakan DMRT ini, dapat diketahui kadar protein pakan buatan pada semua perlakuan, yaitu pada A, B, C, D, dan E menunjukkan beda nyata. Berarti dari masing-masing perlakuan tersebut mempunyai kadar protein yang berbeda-beda. Protein merupakan senyawa kimia yang sangat diperlukan oleh tubuh ikan sebagai sumber energi dan diperlukan dalam pertumbuhan, pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan enzim dan hormon steroid (Breet dan Grover dalam Dharma dan Suhenda, 1986). Bagi ikan, protein merupakan sumber
tenaga yang paling utama. Pemberian protein dengan kadar yang sesuai akan meningkatkan pertumbuhan ikan. Kadar karbohidrat pakan buatan pada semua perlakuan yaitu perlakuan A, B, C, D, dan E menunjukkan beda nyata. Pada ikan, karbohidrat merupakan salah satu sumber energi setelah protein dan lemak yang didapat dari pakan. Kadar karbohidrat pada pakan A sebesar 75,92%. Persentase yang besar ini diperoleh karena pakan A komposisinya lebih banyak tepung jagung dan dedak yang merupakan sumber karbohidrat. Sebaliknya, kadar karbohidrat terendah adalah pada pakan E, yaitu sebesar 44,35%. Hal tersebut karena pada penyusunan komposisi pakan, pada perlakuan E kadar tepung jagung dan dedak tidak sebesar pada pakan A. Pertumbuhan Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah (Effendie, 1997). Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah berat ikan, laju pertumbuhan berat relatif, panjang total ikan, laju pertumbuhan panjang relatif, dan laju pertumbuhan harian. Setelah dipelihara selama 60 hari dengan tujuh perlakuan yang berbeda, secara umum ikan tawes mengalami peningkatan dalam hal berat maupun panjang. Data yang diperoleh selama penelitian sebagai berikut. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa pertambahan berat terendah adalah pada perlakuan A. Namun demikian, pertambahan berat pada perlakuan A tidak beda nyata dengan perlakuan B dan C. Akan tetapi, perlakuan A beda nyata dengan perlakuan D dan E. Hal ini karena perlakuan A, B, dan C tersebut dari segi kualitas pakan, kadar proteinnya semuanya masih di bawah 20%. Menurut Khairuman (2002), pakan yang diberikan untuk pembesaran ikan tawes yang optimum, kadar proteinnya ± 20%. Jadi, pakan yang diberikan pada ketiga perlakuan tersebut tidak optimum. Perlakuan E tidak beda nyata dengan kontrol positif, karena dari kelima perlakuan yang diberikan, pakan pada perlakuan E mempunyai kadar protein yang tertinggi, yaitu 22,88%. Menurut Khans et. al. dalam Yanti dkk. (2003), salah satu nutrien penting yang dibutuhkan ikan adalah protein. Hal ini karena protein merupakan zat pakan yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan. Pemanfaatan protein bagi pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
Tabel 3. Parameter pertumbuhan dan kandungan protein ikan tawes (Puntius javanicus Blkr.) selama percobaan. Kadar protein Laju Laju Laju Mortalitas Pertambahan Pertambahan daging pertumbuhan pertumbuhan pertumbuhan ikan tawes panjang ikan Perlakuan berat ikan setelah panjang relatif berat relatif harian (%) (%) (%) per ekor (g) perlakuan (%) ikan (%) (%) a a a a a 0.83 0,43 Kontrol Negatif 48,38 11,64 0,61 73,33a 12.84a Perlakuan A 2.94b 183,40b 1,51b 29,69b 1.73b 20,00b 13.01a bc b bc b bc b Perlakuan B 3.29 221,50 1,57 30,52 1,94 20,00 13.76a Perlakuan C 3.87bc 299,69c 1,75bcd 35,86bc 2,28cd 13,33b 16.40b Perlakuan D 4.25cd 285,72c 1,82bcd 36,00bc 2.25cd 20,00b 18.16c Perlakuan E 5.06d 385,37d 2,16cd 42,72cd 2.63d 13,33b 18.43c Kontrol Positif 5.21d 403,77d 2,30d 48,57d 2,63d 20,00b 17.36bc Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
lain ukuran ikan, umur ikan, kualitas protein pakan, kandungan energi pakan, suhu air dan frekuensi pemberian pakan. Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran berat ikan setiap 10 hari sekali selama 60 hari penelitian. Pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-20, ikan tawes yang dipelihara dengan 5 perlakuan yang berbeda komposisinya belum menunjukkan perbedaan berat yang jelas. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif, pertambuhan ikan pada kelima perlakuan sudah terlihat berbeda. Mulai hari ke-30, semua perlakuan termasuk kontrol menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda. Pada perlakuan E, kenaikan berat ikan tawes relatif konstan apabila dibandingkan dengan perlakuan lain. Setelah hari ke-50, pertumbuhan ikan pada perlakuan E mulai mengimbangi kontrol positif. Hal ini terjadi karena pada pertumbuhan awal, pakan ikan masih tercukupi oleh pakan alami. Setelah pakan alami berkurang, kemudian ikan mulai mengandalkan pakan buatan yang diberikan. Pakan buatan yang diberikan pada setiap perlakuan mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda-beda, jadi juga memberikan laju pertumbuhan yang berbeda. Adanya perbedaan pertambahan berat ikan tawes menunjukkan bahwa ikan benar-benar memanfaatkan pakan yang diberikan selama penelitian. Perbedaan komposisi pakan yang diberikan menghasilkan perbedaan rerata pertambahan berat ikan. Ukuran ikan juga berpengaruh terhadap konsumsi makan, ikan kecil kebutuhan makanannya lebih rendah daripada ikan besar. Jadi, adanya perbedaan ini membuktikan bahwa semakin meningkat kualitas dan kuantitas protein pakan semakin efektif untuk memacu pertumbuhan berat ikan. Perlakuan A dan B tidak beda nyata. Tetapi, perlakuan A dan B berbeda nyata dengan perlakuan C, D, dan E. Kontrol negatif menunjukkan beda nyata dengan semua perlakuan. Laju pertumbuhan berat relatif tertinggi pada perlakuan E yaitu sebesar 385,37% yang tidak beda nyata dengan kontrol positif. Sementara itu, empat perlakuan lain, yaitu A, B, C, dan D beda nyata dengan kontrol positif ini. Pada pertambahan berat dan laju pertumbuhan berat relatif, terlihat bahwa pakan E tidak beda nyata dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan pakan E dapat mengimbangi pakan buatan pabrik dalam hal pertumbuhan berat. Tabel 3 menunjukkan pertumbuhan ikan, dilihat dari pertambahan panjang total ikan. Nilai terendah pada perlakuan A yang tidak beda nyata dengan perlakuan B, C, dan D. Perlakuan E mempunyai nilai tertinggi dan tidak beda nyata dengan C dan D. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pemberian pakan buatan B, C, D, dan E tidak memberikan beda nyata dalam pertambahan panjang total ikan. Kontrol negatif mempunyai nilai pertambahan panjang total dibawah semua perlakuan karena tanpa diberi pakan tambahan. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif pakan C, D, dan E tidak menunjukkan beda nyata. Jadi, dari pertambahan berat maupun panjang ikan jelas terlihat bahwa pakan E yang dapat mengimbangi pakan komersil buatan pabrik. Hal ini karena pakan E yang mempunyai kadar protein tertinggi. Disamping itu, pakan
87
perlakuan E juga mempunyai kadar lemak dan abu yang tinggi. Dari grafik pengukuran panjang ikan selama 60 hari percobaan ini terlihat bahwa pada awal percobaan sampai hari ke-10 dan ke-20 antara kontrol negatif perlakuan A, B, C, D, dan E tidak terpaut jauh untuk pertambahan panjang ikan. Tetapi, setelah hari ke-30 dan seterusnya mulai membentuk pola yang makin terpaut jauh antar perlakuan, walaupun perlakuan B dan C masih relatif sama. Selanjutnya, mulai hari ke-50 baru terlihat bahwa perlakuan E mulai meningkat tajam dan mendekati kontrol positif, hal ini terjadi karena pada tahap awal ikan masih mencoba menyesuaikan dengan makanan tambahan yang baru diberikan dan setelah 30 hari ikan telah menyesuaikan dengan pakan tersebut. Dari pola pada grafik, dapat dilihat bahwa perlakuan E setelah hari ke-60 dimungkinkan dapat melebihi perlakuan kontrol positif. Seperti halnya pada Tabel 3 pertambahan panjang dan grafik panjang ikan selama percobaan, laju pertumbuhan panjang relatif inipun meningkat seiring dengan peningkatan kadar protein pada pakan tambahan berupa pakan buatan ini. Laju pertumbuhan panjang relatif tertinggi pada perlakuan E yang tidak beda nyata dengan perlakuan C dan D. Nilai laju pertumbuhan panjang relatif perlakuan E di bawah kontrol positif walaupun kadar proteinnya masih dibawah perlakuan E, hal ini karena komposisi bahan pakannya berbeda, jadi asam aminonya juga berlainan. Pakan A, B, C, D dan E berbeda dalam hal penyusunan komposisi sedangkan pada kontrol positif berbeda dalam bahan penyusunnya. Jadi, walaupun kadar protein kontrol positif lebih rendah dari perlakuan E, laju pertumbuhan relatif panjangnya tidak berbeda nyata. Laju pertumbuhan panjang relatif terendah pada perlakuan A, karena kadar protein pakan perlakuan ini paling rendah. Laju pertumbuhan panjang relatif perlakuan A masih diatas kontrol negatif, jadi pemberian pakan tambahan masih lebih efektif daripada hanya mengandalkan pakan alami saja. Dari data analisis kualitas pakan (Tabel 3), komposisi dari makanan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam memelihara tubuh dan untuk pertumbuhan ikan. Setelah dilakukan percobaan dengan 7 perlakuan yang berbeda, memperlihatkan laju pertumbuhan harian yang berbeda pula. Pada penelitian ini laju pertumbuhan harian tertinggi pada perlakuan E dengan pakan yang mengandung protein sebesar 22,88%, serta pada perlakuan kontrol positif, yaitu dengan pakan komersil buatan pabrik yang mengandung protein 18,16%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pakan buatan yang dapat mengimbangi perlakuan kontrol positif dengan pakan komersil buatan pabrik dalam hal laju pertumbuhan harian adalah perlakuan E dengan komposisi pakan seperti pada Tabel 1. Faktor makanan sangat penting dalam pertumbuhan, diperlukan jumlah dan mutu makanan yang bagus untuk meningkatkan berat dan panjang dari ikan. Pakan yang diberikan pada perlakuan E tersebut, kandungan proteinnya paling tinggi di antara perlakuan lainnya (Tabel 3). Dengan kandungan protein tersebut akan memberikan pengaruh yang lebih efektif terhadap laju pertumbuhan harian.
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
Laju pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan kontrol negatif yang tidak diberikan pakan tambahan jadi hanya berupa pakan alami saja. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar apapun pakan tambahan yang diberikan tetap berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan dari ikan. Untuk laju pertumbuhan terendah pada perlakuan A, karena kandungan protein pada pakannya paling rendah, yaitu sebesar 6,95%. Pada kontrol positif dengan pemberian pakan komersil buatan pabrik dapat memberikan laju pertumbuhan harian yang sama dengan perlakuan E, walaupun bila dilihat dari kadar protein pakan perlakuan E diatas kontrol positif. Hal ini, karena perbedaan dari komposisi bahan pakannya. Mortalitas Mortalitas pada ikan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain pemeliharaan, kualitas air, penyakit, dan makanan yang diberikan. Dari hasil pengamatan dan pengukuran selama percobaan diperoleh hasil sebagaimana tersaji pada Tabel 3. Angka mortalitas terbesar pada kontrol negatif. Hal ini karena pada kontrol negatif ini tidak diberikan pakan tambahan dan hanya mengandalkan pakan alami saja. Jadi, tidak ada masukan pakan sehingga ikan banyak yang mati karena selama 60 hari tidak diberikan pakan, walaupun masih ada yang tetap bertahan hidup dengan pakan alami tetapi hanya sebagian kecil saja. Untuk perlakuan lainnya tidak ada beda nyata untuk persentase mortalitas. Beberapa hal yang mempengaruhi mortalitas pada ikan, antara lain juga karena penyakit. Pada percobaan yang dilakukan terhadap ikan tawes ini, pada hari ke-10 beberapa ikan terserang penyakit sirip merah dengan ciriciri pangkal sirip berwarna merah, yaitu pada bagian antara sirip dan badan. Akan tetapi setelah diberikan antibiotik, warna merah pada sirip mulai menghilang sedikit demi sedikit dan akhirnya bisa sembuh. Jadi, kemungkinan mortalitas pada percobaan ini salah satunya karena penyakit tersebut, selain itu juga dimungkinkan karena ikan menjadi sedikit stres karena pengukuran panjang dan berat ikan setiap 10 hari sekali. Angka mortalitas yang besar pada kontrol negatif, bukan hanya karena penyakit dan stres tersebut, melainkan yang utama karena tidak adanya pakan tambahan. Hal ini karena kematian pada kontrol negatif justru mulai pada pengukuran hari ke-20 dan seterusnya. Jadi, pada 6 perlakuan selain kontrol negatif, faktor makanan tidak banyak memberikan pengaruh pada besarnya mortalitas. Efisiensi pakan Dari hasil yang diperoleh melalui penelitian selama 60 hari, dapat diketahui pengaruh pemberian pakan yang berbeda terhadap efesiensi pakan. Seperti yang terlihat pada Gambar 1. Efisiensi pakan merupakan jumlah pakan yang masuk dalam sistem pencernaan ikan untuk melangsungkan metabolisme dalam tubuh dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Efisiensi pakan berkisar antara 32,79%55,89%. Semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka akan semakin optimal dalam meningkatkan pertumbuhan. Efisiensi pakan yang paling optimal untuk pertumbuhan adalah pada perlakuan E. Pada perlakuan E ini efisiensi
pakan seimbang dengan kontrol positif. Efisiensi pakan terendah adalah pada pakan perlakuan A.Menurut Efendie (1997), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan antara lain genetika, seks, umur, parasit, penyakit, makanan, dan suhu perairan. Di daerah tropik, dalam kaitannya dengan pertumbuhan, makanan merupakan faktor yang lebih berpengaruh dari pada suhu perairan. 60 50
Efisiensi Pakan (%)
88
40 30 20 10 0
A
B
C
D
E
Kontrol Positif
Perlakuan
Gambar 1. Efisiensi pakan pada penelitian.
Berdasarkan penelitian Martosewojo dkk. dalam Pongsapan dkk. (1995) pada budidaya ikan beronang pemberian pakan berkali-kali dalam sehari memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik jika dibanding pemberian pakan sekali dalam sehari dengan jumlah pakan yang sama. Sementara itu Schimittou (1991) mengatakan bahwa tinggi rendahnya konversi pakan ditentukan oleh beberapa faktor, terutama kualitas dan kuantitas pakan, jenis dan ukuran ikan serta kualitas air. Saluran pencernaan pada ikan terdiri dari mulut, pharynx, oesofagus, ventrikulus, intestinum, dan anus. Kelenjar pencernaan terdiri dari pankreas dan kantong empedu. Pada ikan, makanan yang masuk ke mulut menuju ventrikulus. Makanan dapat merangsang dinding pencernaan untuk menghasilkan hormon gastrin yang akan memacu pengeluaran HCl dan pepsinogen. HCl akan mengubah pepsinogen menjadi pepsin yang merupakan enzim pencernaan yang aktif sebagai pemecah protein menjadi peptida. Tripsin yang dikeluarkan pankreas akan mengubah peptida tersebut menjadi peptida yang lebih sederhana yang selanjutnya akan diubah menjadi asam amino oleh karboksipeptidase (Lovell, 1989). Pada hewan, sumber energi adalah makanan, tetapi energi dalam makanan tidak dapat digunakan sampai makanan tersebut dicerna dan diserap oleh sistem pencernaan. Ada komponen utama dari makanan yang berperan dalam menghasilkan energi yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Semua energi dari makanan dapat dioksidasi dengan oksigen dalam sel dan pada proses ini sejumlah besar energi dikeluarkan. Energi yang dihasilkan digunakan untuk maintenance metabolisme basal aktivitas, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain (Fujaya, 2002). Kadar protein daging dan retensi protein Setelah 60 hari penelitian, dilakukan uji kadar protein daging ikan tawes. Dari uji di laboratorium diperoleh hasil sebagai berikut: kadar daging sebelum perlakuan sebesar
DANI dkk. – Pakan buatan untuk Puntius javanicus
12.19%. Setelah 60 hari percobaan, kadar protein daging antara kontrol negatif, perlakuan A dan perlakuan B menunjukkan beda nyata dengan perlakuan C, D, E dan kontrol positif. Kadar protein daging tertinggi pada perlakuan E. Hal ini sesuai dengan kandungan protein pakannya yang tertinggi di antara semua perlakuan. Pada kontrol positif dengan pakan berupa pellet komersil buatan pabrik yang setelah diuji di laboratorium mengandung protein 18,16% ini, kadar protein dagingnya tidak beda nyata dengan perlakuan C, D, dan E. Menurut Djuanda (1981) sebagian dari makanan yang dimakan berubah menjadi energi yang digunakan untuk aktivitas hidup dan sebagian keluar dari tubuh. Jadi, tidak semua protein makanan yang masuk diubah menjadi daging. Selain itu, pembentukan protein daging juga tergantung kemampuan fisiologis ikan. Setelah dilakukan perhitungan terhadap data, diperoleh diagram retensi protein sebagai berikut (Gambar 2).
52
Retensiprotein Protein (%) Retensi (5)
50 48 46 44 42 40 38 A
B
C
Perlakuan
D
E
Kontrol Positif
Gambar 2. Retensi protein.
Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki selsel tubuh yang rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolisme sehari-hari. Cepat tidaknya pertumbuhan ikan, ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ikan sebagai zat pembangun. Oleh karena itu, agar ikan dapat tumbuh secara normal, pakan yang diberikan harus memiliki kandungan energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme dan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sel-sel tubuh yang baru. Dari Gambar 2 terlihat bahwa retensi protein yang mendekati kontrol positif adalah pada perlakuan E, sehingga laju pertumbuhan perlakuan E juga dapat mengimbangi kontrol positif. Retensi protein tertinggi pada perlakuan A. Tetapi, laju pertumbuhan pada perlakuan A lebih rendah dibanding perlakuan lain, karena pakan pada perlakuan ini kadar proteinnya rendah. Sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, apabila telah mencapai batas ini, setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak, yang dimulai dengan proses yang dikenal sebagai deaminasi (pembuangan gugus amino dari
89
asam amino) dan diekskresi sebagai amoniak (NH3) atau ion ammonium (NH4) (Fujaya, 2002). Kualitas air Kualitas air merupakan salah satu faktor luar yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini meliputi pH dan suhu. Data yang diperoleh mulai hari ke-0 sampai hari ke-60 sebagai berikut. Tabel 4. Rerata parameter kualitas air selama percobaan. Parameter pH Suhu (0C)
Hari ke0 10 20 30 40 50 60 6,88 7,46 6,67 6,7167 6,8767 8,163 7,56 27,75 27,7 27,33 28,33 28,167 28,267 26,73
Dari data Tabel 4 terlihat bahwa pH selama 60 hari percobaan berkisar antara 6,67 sampai 8,163. Menurut Evi (2001) pH air untuk budidaya tawes berkisar antara 6,7 sampai 8,6, pH air selama masa penelitian ini masih dalam batas kisaran pH optimum untuk budidaya tawes. Dari pH yang masih optimum tersebut, dapat diketahui bahwa pakan buatan yang diberikan selama percobaan, tidak memberikan pengaruh buruk terhadap kualitas air. Derajad keasaman (pH) merupakan salah satu indikator kualitas lingkungan air. Air yang mendekati basa dapat lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan anorganik menjadi garam mineral seperti amonia, nitrat dan phosfat. Garam mineral tersebut akan diserap oleh tumbuh-tumbuhan dalam air, yang menjadi makanan alami bagi ikan. Pada umumnya perairan yang basa lebih produktif dari perairan yang asam (Soeseno, 1983). Jadi apabila dilihat pada kisaran pH, perairan yang digunakan untuk penelitian ini termasuk produktif. Hal ini karena pH pada air kolam yang digunakan untuk penelitian mendekati basa. Kisaran suhu air selama masa penelitian adalah antara 26,73-28,33oC. Setiap organisme mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk hidupnya. Organisme juga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri sampai batasan tertentu (Wardoyo,1978). Menurut Santoso dan Wikatma (2001) suhu ideal untuk habitat ikan tawes berkisar antara 20-33oC. Suhu air selama penelitian ini masih dalam kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan ikan tawes. Fluktuasi suhu air yang lebih besar dari 5oC sudah dapat mengakibatkan stres sehingga proses metabolisme dan aktivitas enzim dalam tubuh ikan menjadi tidak normal (Boyd dan Lichtkopler, 1979). Kenaikan suhu mempengaruhi kelarutan oksigen. Menurut penelitian Harminani et al. (1979) kenaikan suhu air yang dalam keadaan normal adalah 27-28oC menjadi suhu 36,77oC dan 35,8oC. Selama 24 jam terhadap Tilapia nilotica dan Cyprinus carpio menyebabkan antara lain: i) Pergerakan ikan menjadi sangat lambat dan kurang memberikan respon terhadap stimulan dan (ii) Penurunan kadar oksigen terlarut, bertambahnya CO2 terlarut dengan pH relatif tetap. Selain itu ada juga suhu optimum untuk selera makan ikan yaitu berkisar antara 25-33oC (Jangkaru, 1974). Kisaran suhu selama penelitian ini, masih dalam batas kisaran optimum untuk selera makan ikan.
90
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 83-90
KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (i)Tepung ikan, tepung jagung, tepung daun turi , dedak, dan tepung kanji dapat digunakan sebagai pakan ikan tawes. (ii) Berbagai variasi komposisi bahan-bahan dalam pakan buatan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda bagi ikan tawes. (iii) Pakan buatan dengan komposisi 42% tepung ikan, 8% tepung jagung, 14% dedak, 30% tepung daun turi, 4% tepung kanji, dan 2% premix vitamin menghasilkan pertumbuhan ikan tawes paling baik, dan kandungan protein daging paling tinggi. DAFTAR PUSTAKA Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.H. Puspitasari, Sudarnawati, dan S. Budiyanto. 1987. Analisis Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Ardiwinata, R.O. 1981. Pemeliharaan Ikan Tawes. Bandung: Penerbit Sumur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Edisi I. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Depatemen Pertanian. Boyd, C.E. dan F. Lichtkopler. 1979. Water Quality Management in Pond Fish Culture. International Center for Aquacultur, Agricultural Station. Alabama: Auburn University. Britner, A., E. Omar, A.M. Nour. 1989. Budidaya Air. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dharma, L. dan N. Suhenda. 1986. Pengaruh pemberian pakan dengan tangan dan alat self feeder terhadap pertumbuhan dan produksi ikan mas di kolam air deras. Bulletin Penelitian Perikanan Darat 5 (1): 7984. Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Edisi II. Jakarta: Penerbit CV Yasaguna. Djuanda, T. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Penerbit Armico Effendie, M.I. 1995. Metode Biologi Perikanan. Jakarta: Yayasan Dewi Sri. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Evi, R. 2001. Usaha Perikanan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Mutiara Sumber Widya. Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Harminani, S.Dj.T., H.S. Suntoro, dan T.S. Djohan. 1979. Beberapa Efek Pencemaran Panas terhadap Kahidupan Ikan Air Tawar. Yogyakarta: Laboratorium Penelitian UGM. Jangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan. Bogor: Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Khairuman. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Depok: Penerbit Agromedia Pustaka. Makfoeld, D. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta: Penerbit Agritech. Mokoginta, I., M.A. Suprayudi, dan M. Setiawati. 1995. Kebutuhan optimum protein dan energi pakan benih ikan gurame (Osphronemus gouramy). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1 (3): 82-94. Mudjiman. 2000. Makanan Ikan. Jakarta: CV Simplex. National Research Councill. 1977. Nutrien Requirements of Warm Water Fishes. Washington D.C: National Academy of Sciences. Nugroho, A. 1999. Pemanfaatan Limbah Abon Nila sebagai Makanan Tambahan untuk Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM. Pongsapan, D.S., Rachmansyah, N.N. Palinggi. 1995. Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup nener bandeng (Chanos chanos) dalam bak terkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 1 (1): 1-4. Rasidi. 1998. Formulasi Pakan Lokal Alternatif Untuk Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya. Sahwan, F.M. 2002. Pakan Ikan dan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya. Santoso, B. dan T.S. Wikatma. 2001. Petunjuk Praktis Budidaya Tawes.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture: A Method of Fish Production in Indonesia. FRDP Central Research Institute For Fisheries. Jakarta. Indonesia. Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Bandeng dalam Tambak. Jakarta: Penerbit Gramedia. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Sumantadinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan Peliharaan di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Suseno, D. 2000. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Jakarta. Penebar Swadaya. Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Perikanan dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Bogor: PPLN-PUSDIIPPSL. IPB. Wedemeyer, G.A. 1996. Physhiology of Fish in Intensive Culture Systems. New York: An International Thomson Publishing Company. Yanti, S., A. Priyadi, dan H. Mundriyanto. 2003. Rasio energi dan protein yang berbeda terhadap efisiensi pemanfaatan protein pada benih ikan baung (Mystus nemurus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (1): 1-4.