Bab IV Dogma Tentang Hal-Hal Terakhir Nama Eskatologi Hal-hal terakhir. Itulah pokok percakapan kita dalam bab ini. Ada berbagai nama yang dikenakan kepada dogma yang satu ini. Abraham Kuyper menyebutnya consummatio saeculi. Luis Berkhof menyebukan juga nama lain, yakni Novissimis. Meskipun begitu menurut Berkhof nama yang paling lazim dipakai adalah eskatologi.175 Ada bebarapa referensi Alkitab yang dirujuk untuk penamaan ini antara lain Yesaya 2:2 dan Mika 4:1 yang berbicara tentang hari-hari terakhir (eschatai hemerai) atau I Petrus 1:20: zaman terakhir (eschaton ton chronon) dan I Yohanes 2:18: waktu yang terakhir (eschate hora). Terbatasnya rujukan ini yang kami tunjukkan tidak berarti bahwa eskatologi merupakan tema minor dalam Alkitab. Tidak! Eskatologi ternyata bukan sekedar satu tema di antara tema-tema lain dalam Alkitab. Seluruh kesaksian Alkitab, juga tema-tema yang terdapat dalam Alkitab bercorak eskatologis, artinya Luis Berkhof. Systematic Theology. London: The Banner of Truth Trust. 1949. hlm. 666. 175
157
mengarah ke hal-hal yang akan datang.176 Bahkan Alkitab sendiri, kata Karl Barth adalah, kitab yang eskatologis.177 Blackwell Encyclopedia menjelaskan istilah
eskatologi dalam arti percakapan mengenai hal-hal terakhir, apakah mengenai hidup seseorang atau dunia dan apa yang biasa dikenal dengan nama penghakiman, sorga dan neraka.178 Eskatologi adalah percakapan tentang hal-hal terakhir. Nomenklatur hal-hal terakhir memberi kesan bahwa hal-hal yang menjadi isi dari dogma ini baru akan terjadi di penghujung sejarah dan bersifat kurang penting. Padahal sesungguhnya tidak begitu. Apa yang dimaksud dengan hal-hal terakhir dalam eskatologi adalah tujuan atau maksud dari setiap pekerjaan Allah baik dalam penciptaan, pendamaian dan penyelamatan.179 Eskatologi merupakan percakapan kristen tentang tujuan dari seluruh karya Allah dalam sejarah, mulai dari penciptaan sampai kepada
J. Koopmans, Wat Zegt de Bijbel over Volk, Overheid, Israel, Oorlog, Toekomst. Amsterdam: Uitgevermaatschappij Holland. 1941. hlm. 81. 177 Karl Barth. The Word of God and the Word of Man. London: Hodder and Stoughton. 1928. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Douglas Horton. 178 Alister E. Macgrath, ed., The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian thought, 1993. 179 Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God. United Kingdom. The Paternoster Press. 1994. hlm. 743. 176
Gezin,
158
penyelamatan.180 Jadi dalam eskatologi kita tidak sekedar berbicara tentang hal-hal yang baru akan terjadi di akhir atau penghujung sejarah. Ini tidak sepenuhnya benar. Hal-hal terakhir atau eskatologi dalam paham Kristen bukan peristiwa yang murni futuristik. Ia adalah peristiwa masa depan yang sudah mulai dinyatakan di dalam masa kini dunia dan manusia, yakni dalam berbagai karya dan pekerjaan Allah dalam sejarah. Karena eskatologi sudah menunjuk pada telos, tujuan dari setiap pekerjaan Allah yang nyata pada masa kini, maka masa kini bukan sesuatu yang statis, dalam arti sebagai roda yang berputar di tempat. Mereka yang miskin akan tepat miskin. Anak pejabat akan kembali menjadi pejabat. Paham tentang masa kini seperti itu tidak dikenal Alkitab. Alkitab berbicara sebaliknya. Israel yang hidup sebagai bangsa budak di Mesir dapat bangkit menjadi bangsa yang merdeka bahkan menjadi bangsa adidaya dalam pemerintahan Saul, Daud dan Salomo. Tetapi kemudian ia kembali lagi menjadi budak bangsa-bangsa dalam pembuangan di Babel. Masa kini bukan sesuatu yang statis. Itu terjadi karena hal-hal yang akan terjadi di masa depan menyerobot masuk ke masa kini dengan kekuatan yang dahsyat untuk membaharui masa kini. Eskatologi dalam paham Kristen bukan sebuah event masa depan yang telah mulai dinyatakan pada masa kini.
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 780. 180
159
Meskipun begitu adalah sebuah kekeliruan untuk memahami bahwa hal-hal terakhir itu sebagai sekedar perpanjangan atau juga perluasan dari hal-hal yang sudah mulai dinyatakan sekarang. Apa yang akan dinyatakan kelak berbeda dengan apa yang sudah mulai dinyatakan sekarang.181
Allah Selalu di Depan Kita Hal-hal terakhir ternyata bukan monopoli pengajaran kristen. Dalam agama-agama lain, bahkan juga dalam agama asli zaman akhir dan akhir zaman juga merupakan pokok perenungan yang hangat. Apa yang membuat ajaran kristen tentang zaman akhir dan akhir zaman berbeda dengan yang ada dalam agama-agama lain terletak dalam hal berikut.
Pertama, zaman akhir itu sudah mulai pada masa kini (I Yoh. 2:18-19). Zaman akhir dan akhir zaman bukan hal yang masih jauh dan bersifat nanti. Akhir zaman itu bukan hal yang datang tiba-tiba dan menimbulkan kebingungan dan ketakutan. Ia merupakan satu periodisasi waktu yang berkarakter dialektis: sudah datang tetapi belum selesai. Hal-hal yang akan terjadi pada akhir zaman sudah mulai diwujudkan dalam zaman akhir, yakni masa kini di mana kita semua hidup (I Pet. 1: 10-12). Bertolak dari prinsip thinking after the bible, Grenz menyebut masa 181
J.T. Bakker. “Toekomst als Terechtbrengen.” Dalam:
Gereformeerd Theologische Tijdschrift. No. 1. Februari 1982. Tweeentachtigste jaargang. Kampen: J.H. Kok. hlm. 3.
160
kini sebagai immanent fulfilment of the eschatology,182 eskatologi yang diwujudkan pada masa kini.
Kedua, konsern utama kita bukan pada hal-hal terakhir. Yang jadi fokus perhatian kristen saat berbicara tentang zaman akhir dan akhir zaman bukan masalah apa melainkan siapa. Zaman akhir dan akhir zaman itu bersangkut paut dengan satu nama, Yesus Kristus. Ada paham tentang tujuan atau maksud dari semua realita yang ada dalam sejarah dalam berbagai agama dan aliran kepercayaan. Umpamanya disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi budak bagi dewa-dewi. Bumi pada akhirnya akan dibakar hangus. Iman kristen datang dengan kesaksian yang sama sekali baru tentang tujuan atau maksud dari realita ciptaan. Itu terjadi karena tujuan atau maksud kenyataan ciptaan, menurut iman kristen bukan hal yang independen tetapi berhubungan dengan nama yang satu itu, Yesus Kristus. Alkitab bersaksi bahwa Yesus Kristus adalah yang Alfa dan Omega (Why. 1:8). Yesus Kristus tidak berubah: kemarin, hari ini dan selama-lamanya (Ibr. 1:12, 13:8). Yesus Kristus juga disebut sebagai dasar dari segala sesuatu (Rm. 15:20, I Kor. 3:11), batu penjuru (Ef. 2:20), yang sulung dari segala ciptaan (Kol. 1:15). Selain itu Alkitab juga bersaksi bahwa Yesus Kristus adalah tujuan dari semua yang diciptakan Allah (Fil. 2:2, 3:14).
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 807. 182
161
Jadi dasar dan tujuan keberadaan ciptaan ada di dalam nama yang satu ini, Yesus Kristus. Dasar dan tujuan dari ciptaan adalah Allah yang memperkenalkan diri kepada Musa dengan nama AKU ADA YANG AKU AKAN ADA (Kel. 3:14). Nama ini merupakan kombinasi dari dasar dan tujuan. Selanjutnya Allah ini seperti disaksikan Alkitab menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Atas dasar itu Karl Barth menegaskan bahwa kapan saja kita berbicara tentang Yesus Kristus kita sebenarnya berbicara tentang Allah beserta dan kita berserta Allah.183 Pernyataan kembar ini mengarahkan perhatian kita ke masa depan yang adalah tujuan dari kehidupan masa kini dunia dan manusia. Di manakah keberadaan Allah yang berserta kita itu? Melihat pada Yesus Kristus, Allah itu serentak berada di pre-temporal, supra temporal dan post temporal (sebelum ada waktu, di dalam waktu sebagai Tuhan dan setelah waktu berlalu).184 Sebelum ada waktu Allah ada. Dia jugalah yang mengawali segala sesuatu. Selain itu Allah yang sama berada dalam waktu sebagai Tuhan. Ketika waktu sudah berlalu Dia ada sebagai tujuan. Dengan demikian Allah selalu berada di depan kita. Dia adalah masa depan, tujuan dari semua jalan dan gerakan.185
Karl Barth. Church Dogmatics. IV/1. hlm. 14,18. Karl Barth. Church Dogmatics. II/2. hlm. 620. 185 E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension in Karl Barth‟s Thinking and Speaking about the Future. Kampen: Drukkerij van den Berg. 2011. hlm. 343. 183 184
162
Isi ajaran kristen tentang eskatologi tidak lain dan tidak bukan adalah Allah. Ia mendahului manusia dalam semua babakan dan periode waktu. Ia ada sebelum manusia. Ia ada bersama manusia di dalam sejarah sebagai Tuhan. Dia juga ada di masa depan sebagai tujuan dari kehidupan segenap ciptaan. Dalam dogma tentang Allah kita katakan bahwa Allah adalah beresyit, kepala dari ciptaan. Sekarang kami temukan satu arti baru lagi untuk ungkapan ini. Dia bukan saja yang menentukan arah dan tujuan ciptaan. Dia juga berada di depan ciptaan.
Tiga Periodisasi Waktu Kalau kita memeriksa nubuat para nabi Perjanjian Lama kita memperoleh kesan mengenai adanya dua periodisasi waktu: masa kini (Ibrnai: olam hazzeh, Yunani: aion houtos) dan masa depan (Ibrnai: olam habba, Yunani: aion mellon). Yang dimaksud para nabi dalam nubuatan mereka tentang masa depan adalah saat kedatangan Mesias. Dengan demikian, masa kini sebagaimana yang ada dalam pemahaman para nabi adalah periode sebelum kedatangan sang Mesias. Para nabi sendiri sama sekali tidak membuat pembedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan yang kedua. Dalam persepsi mereka kedatangan Mesias sekaligus juga berarti berakhirnya sejarah dunia dan manusia.186 Dalam Perjanjian Baru masa Mesianis seperti yang dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama 186
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 666.
163
digambarkan sebagai sebuah peristiwa rangkap dua: ada perbedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan yang kedua. Periode kedatangan Mesias yang pertama disebut masa kini. Sementara peristiwa kedatangan Mesias untuk kali kedua disebut sebagai masa depan. Itulah saat eskatologi, satu masa yang terdiri dari dua babak: Kedatangan Mesias dalam kerendahan dan kedatanganNya kembali dalam kemuliaan. Kita sekarang diperhadapkan dengan dua pengertian yang berbeda mengenai masa kini dan masa depan. Pada tempat pertama menurut para nabi, masa kini adalah rentang waktu sejarah manusia sebelum kedatangan Mesias. Masa depan adalah ditandai dengan kedatangan Mesias. Bersamaan dengan itu berakhirlah juga sejarah. Pada tempat kedua, para rasul dan umat dalam Perjanjian Baru melihat periodisasi waktu secara berbeda. Apa yang disebut oleh para nabi disebut sebagai masa kini, justru dianggap sebagai masa lalu oleh para rasul dan umat PB. Pada pihak lain apa yang oleh para nabi dan umat PL dinamakan masa depan justru dialami sebagai dua babak dari masa depan. Babak pertama adalah kedatangan Mesias dalam kerendahan. Babak kedua adalah kedatangan Mesias dalam kemuliaan. Kedatangan dalam kerendahan itu disebut masa kini. Sedangkan kedatangan dalam kemuliaan adalah masa depan yang bersamaan dengan itu berakhirlah juga sejarah dunia. Di antara dua masa ini ada satu masa lagi, yakni kedatangan kembali Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Ini adalah masa gereja untuk memberitakan kebangkitan kepada segala makhluk. 164
Dua persepsi ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Itu kelihatannya membingungkan meskipun sebenarnya tidak, mengingat perhatian utama kedua umat ini bukan pada zaman akhir an sich, pada dirinya. Perhatian utama umat dalam PL dan PB mengenai akhir zaman adalah pada kedatangan Mesias, Yesus Kristus. Akhir zaman menurut pengertian kedua umat ini berhubungan erat dengan kedatangan Mesias. Umat dan para nabi PL percaya bahwa kedatangan Mesias sama artinya dengan akhir zaman. Hal yang sama juga diyakini oleh umat dalam PB. Bedanya, karena umat dalam PL berdiri jauh di luar masa itu mereka menyangka bahwa kedatangan itu merupakan satu peristiwa tunggal. Sebaliknya, sebagai kaum yang mengalami langsung peristiwa kedatangan Mesias, umat dalam PB mengertai bahwa kedatangan itu bukan suatu peristiwa tunggal, melainkan satu peristiwa yang terdiri dari tiga babak. Gambarannya seperti seseorang yang melihat puncak sebuah gunung dari kejauhan. Yang nampak padanya hanya satu gunung. Tetapi apabila ia mendaki sendiri gunung itu, barulah ia sadar bahwa gunung itu terdiri dari beberapa puncak. Antara puncak yang satu dan puncak yang lain ada lembah panjang yang harus pula dilalui. Puncak yang hanya satu dalam penglihatan umat PL ternyata ada tiga dalam penglihatan umat PB. Itu juga yang terjadi dengan temuan umat PB tentang akhir zaman. Ia terdiri dari tiga babakan. Babak pertama dari peristiwa kedatangan Mesias adalah peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara 165
orang mati. Babak kedua adalah peristiwa pencurahan Roh Kudus oleh Mesias yang bangkit itu untuk menyertai umatNya. Babak ketiga adalah kedatangan kembali sang Mesias di dalam kemuliaan untuk mewujudkan pemerintahan yang abadi di antara manusia. Untuk membantu kita memahami periodisasi sejarah dunia yang rada membingungkan ini, Karl Barth membuat sebuah konstruksi yang kami anggap sangat berguna menolong kita memahami persoalan ini dengan lebih baik.
Konstruksi Dogmatis Terhadap Waktu Percakapan tentang waktu bisa kita lakukan dari tiga sudut pandang. Pertama, waktu dari sudut pandang Allah atau waktu Allah. Allah memiliki waktu sendiri yang berbeda dengan waktu kita. Waktu Allah itu disebut eternal present, masa kini yang kekal. Artinya, waktu Allah itu tidak memiliki masa lalu, masa kini dan masa depan.
Kedua, waktu dari sudut padang manusia atau waktunya manusia. Ini adalah waktu yang diciptakan Allah dan diberikan kepada manusia. Waktu manusia ini memiliki tiga babak yang susul-menyusul, atau merupakan realita yang terus mengalir: masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu hanya bisa diingat. Masa kini sangat singkat yang digambarkan kitab Mazmur sebagai bunga yang pagi hari berkembang, sore hari lisut dan lalu kemudian gugur ke tanah. Sedangkan masa 166
depan adalah realita di hadapan kita yang masih kita harapkan atau cita-citakan.
Ketiga, percakapan tentang waktu dari sudut padang Yesus Kristus, yakni waktu keselamatan (salvation history – Heilgeschiedenis). Karl Barth membagi heilgeschiedenis ini dalam tiga babak atau periode: masa lalu, masa kini dan masa depan. Titik tolak pembagian ini adalah peristiwa Kebangkitan Yesus Kristus. Masa yang terbentang antara Paskah dan Pentakosta Barth namakan sebagai the eternal present, masa kini yang kekal. Ini adalah titik pusat dari waktu manusia. Ia juga identik dengan waktu yang Allah miliki bagi diriNya dan waktu di dalam mana Allah berdiam. Masa antara Paskah dan Pentakosta itu sesungguhnya adalah kekekalan. Itu adalah the heart of all time.187 Dalam berbicara tentang periodisasi waktu ini para nabi dan rasul berdiri dalam rentang waktu Paskah sampai Pentakosta. Dari situ mereka mulai berbicara tentang masa lalu, masa kini dan masa depan.188 Masa lalu adalah saat di mana kita sudah berdiam di dalam Allah betapapun kita belum ada. Masa kini adalah saat di mana kita dimampukan untuk hidup dalam iman, kasih dan pengharapan akan Allah. Masa kini, yakni antara kenaikan dan kedatangan kembali Yesus kristus adalah waktu kesabaran Allah, sekaligus adalah waktu
187 188
Kark Barth. Church Dogmatics III/2. hlm. 455. Kark Barth. Church Dogmatics III/2. hlm. 443.
167
untuk mendengar dan memperdengarkan Injil.189 Masa depan adalah saat di mana kita tetap ada dalam tangan Allah betapapun kita tidak ada lagi.190 Dari sudut pandang Paskah yang disebut masa lalu adalah rentangan waktu yang mendahului kebangkitan Yesus Kristus. Masa itu terbentang ke belakang, yakni dari peristiwa kebangkitan Yesus ke peristiwa penciptaan langit dan bumi. Itu adalah periode di mana segenap ciptaan menanti peristiwa kedatangan Mesias, yakni kebangkitanNya. Masa ini adalah periode di mana Allah berada dalam perjalanan menjumpai manusia berdosa untuk menawarkan keselamatan. Dari sudut pandang kebangkitan Yesus Kristus, yang disebut masa kini adalah rentangan yang berlangsung antara kenaikan Yesus Kristus ke sorga sampai kedatanganNya kembali. Inilah masa di mana orang-orang percaya diberi mandat oleh Allah untuk memberitakan kepada dunia dan semua manusia tentang dimulainya zaman baru dan kemanusiaan baru, supaya dunia dan semua manusia boleh ambil bagian dalam gerakan pembaharuan dan perubahan dunia dan manusia yang sudah diwujudkan Allah lewat kebangkitan Yesus Kristus. Merujuk pada judul buku ketiga ini, masa kini adalah masa di mana manusia berada dalam perjalanan menjumpai Allah untuk masuk dalam persekutuan dengan Dia. G.C. van Niftrik – B.J. Boland. Dogmatika Masakini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 238. 190 E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm. 141. 189
168
Sedangkan yang disebut masa depan adalah waktu yang baru akan datang bersamaan dengan kedatangan kembali Yesus Kristus. Inilah waktu di mana Allah akan memberi nilai kepada semua aktivitas dan karya manusia. Mereka yang selama hidup masa kini melakukan karya yang sejalan dengan tuntutan hidup di zaman baru demi mempromosikan kemanusiaan baru akan diundang ambil bagian dalam persekutuan yang kekal dengan Allah. Sedangkan mereka yang menjalani hidup dalam semangat permusuhan dengan kaidah-kaidah di zaman baru itu akan ditolak oleh Allah ke dalam kegelapan yang paling gelap, yang di dalamnya hanya terdapat ratap dan kertak gigi" (Mt. 8:12). Lalu bagaimana dengan zaman akhir? Dilihat dari perspektif kebangkitan Yesus zaman akhir itu bukan baru akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Zaman akhir itu sudah mulai sejak kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati dan akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Jadi waktu yang terbentang ke depan sejak peristiwa Paskah adalah bagian dari zaman akhir itu. Itu merupakan the beginning of the great
consummatum est.191
191
Kark Barth. Church Dogmatics III/2. hlm. 489.
169
Tiga Babakan Eskatologi Umat pada masa pra Paskah melihat kedatangan Mesias sebagai zaman akhir sementara umat yang hidup pada masa post paskah menggambarkan kedatangan kembali Yesus Kristus sebagai akhir zaman. Dua persepsi ini tidak bertentangan. Ini karena akhir zaman itu bukan satu moment yang seketika. Ia adalah satu peristiwa yang juga memiliki rentang waktu.192 Rentang waktu yang disebut zaman akhir itu dimulai dengan kedatangan Mesias, yakni Yesus Kristus yang terjadi pada peristiwa kebangkitan. Moment ini sebagaimana sudah kami sebutkan adalah the beginning of the great consummatum est. J. Koopmans menulis begini: “Perhitungan waktu menurut Alkitab, sejak kebangkitan Yesus dari antara orang mati, manusia sudah berada dalam akhir zaman.”193 Hal-hal terakhir sudah mulai menjadi nyata kedatangan Yesus Kristus dan akan mencapai puncak perwujudan secara sempurna dan utuh pada kedatangan kembali Yesus Kristus. Bertolak dari pemahaman ini, eskatologi merupakan sebuah peristiwa rangkap tiga, yakni: paskah, pentakosta dan parousia.194 Diskusi di kalangan para ahli teologi dan kitab suci Kristen tentang kapan akhir zaman itu terjadi membuahkan kesimpulan 192
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
198. J. Koopmans. Wat Zegt di Bijbel over Volk, Overheid, Israel, Oorlog, Toekomst. Amsterdam: Uitgevermaatschappij Holland. 1941. hlm. 83. 194 Kark Barth. Church Dogmatics IV/1. hlm. 342. 193
Gezin,
170
berikut: akhir zaman itu sudah mulai tetapi belum selesai.195 Menjadi jelas sekarang bahwa masa depan itu bukanlah sesuatu kejadian yang masih jauh dan tidak pasti. Ia benar-benar harapan yang dekat sekali dengan kita bahkan sudah mulai terwujud dalam kehidupan masa kini orang-orang percaya. Masa depan itu bukan temuan atau hasil skenario kita. Masa depan itu adalah tindakan Allah. Ia menyatakan bagi kita tujuan dan akhir dari kehidupan masa kini kita. Di dalam karya Allah ini kita beroleh kesempatan untuk mempersiapkan diri supaya ikut menerima berkat masa depan dimaksud. Seperti apakah kenyataan masa depan itu sehingga kita patut mempersiapkan diri? Secara garis besar, sebagaimana terus-menerus kami tegaskan dari bab pertama kenyataan masa depan itu adalah persekutuan yang sempurna antara Allah dan manusia. Untuk tujuan atau masa depan itu Allah menciptakan dunia dan manusia, Allah mengerahkan seluruh energi yang ada padaNya untuk meniadakan dosa dan menaklukan si jahat. Tujuan atau masa depan yang menanti kita adalah hidup bersama Allah yang oleh anugerah dan kasih sayang berkenan membenarkan dan menguduskan kita di dalam Kristus melalui Roh Kudus.
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 793. 195
171
Dalam masa depan itu kita bukan lagi seteru melainkan sekutu Allah.196 Ini realita akhir atau tujuan dari semua yang kami tunjukan dalam uraian di bab-bab sebelumnya. Tujuan itu memang baru akan terwujud sempurna di masa depan (parousia), tetapi di dalam kemurahannya Allah sudah mulai menyingkapkan itu di dalam paskah dan pentakosta yang adalah bentuk pertama dan kedua dari eskatologi.
Penundaan Eskatologi Masa eskatologi yang dicirikan dengan ungkapan sudah terjadi tetapi belum selesai menimbulkan ketegangan sendiri dalam kehidupan dunia dan pengharapan orang percaya. Dunia masih harus terus berada dalam sakit bersalin (Rm. 8:22), sementara orang percaya masih harus terus hidup dalam iman melalui pendengaran, belum sampai pada hidup dari melihat (Rm. 10:17). Muncul
pertanyaan,
apa
sebabnya
terjadi
penundaan eskatologi ini? Allah sebenarnya bisa serta merta mengakhiri sejarah dunia dan menyingkapkan tujuan dari karya-karyaNya dalam sekejap. Tetapi Allah tidak ingin melakukan itu. Ia menahan diri atau menaruh batas bagi diri dan keputusanNya karena mempertimbangkan manusia yang akan menjadi
196
199.
172
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
sekutuNya. Ia menyingkapkan tujuan dan akhir itu secara bertahap: mulai dengan paskah, berlanjut pada pentakosta dan akhirnya parousia. Ini Tuhan buat dengan dua maksud.
Pertama, supaya manusia beroleh kesempatan untuk mempersiapkan diri menyambut hari yang besar itu. Kedua, supaya makhluk-makhluk lain pun boleh ambil bagian dalam persekutuan yang sempurna itu. Makhluk lain yang dimaksud bukan hanya ciptaan yang kelihatan, tetapi juga ciptaan yang tidak kelihatan. Bahkan kita juga boleh katakan bahwa Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk berdamai dengan Allah dan ambil bagian dalam keselamatan. Ini mengandaikan dua hal. Allah tidak ingin melangkahi manusia dalam hal penyataan tujuan akhir seluruh karyaNya, meskipun begitu keselamatan itu tidak hanya diperuntukan bagi manusia. Allah menginginkan segala makhluk ambil bagian dalam penyataan akhir tujuan sejarah. Karl Barth merampungkan dua poin tadi dalam kalimat berikut: “Allah berkerinduan membagi-bagikan kehidupannya dengan ciptaan. Dia sudah melakukan segala sesuatu bagi manusia, tetapi Dia berharap manusia ambil bagian dalam karyaNya. Dalam kasih Allah mengingini respons manusia terhadap kehidupan baru yang sudah secara sempurna diwujudkan di dalam Yesus Kristus. Allah memang tidak membutuhkan itu, tetapi dalam anugerah dan pengasihan, Ia tidak ingin mengabaikan jawaban: Ya! Pujian dan Terima Kasih dari manusia. Allah sudah menetapkan bahwa perwujudan akhir dari KerajaanNya tidak akan terjadi sebelum Dia 173
mendengarkan jawaban: Ya, Pujian dan Terima Kasih dari ciptaanNya. Inilah kebesaran dari kasih karunia Allah. Waktu antara Pentakosta dan Parousia adalah masa bagi karya Roh Kudus, bagi persekutuan dan bagi manusia.”197
Corporate dan Personal Eskatologi Eskatologi seperti sudah kami tegaskan merupakan percakapan kristen tentang tujuan dari seluruh karya Allah dalam sejarah, mulai dari penciptaan sampai kepada penyelamatan. Ia mencakup juga tujuan dari karya Allah untuk masing-masing individu. Jadi dalam eskatologi ada dua aspek yang patut mendapat perhatian: corporate (eskatologi) dan personal (individu). Aspek umum (corporate eskatologi) bersangkut paut dengan sejarah. Corporate eskatologi membicarakan tujuan sejarah dari perspektif karya keselamatan Allah. Stanley J. Grenz mencatat tiga medan pembahasan dari corporate eschatology.198 Pertama, bagaimana akhir dari sejarah? Apakah sejarah memiliki tujuan, arti atau makna ataukah ia hanya kesia-siaan? Kedua, bagaimana dengan keberadaan Israel Kark Barth. Church Dogmatics IV/1. hlm. 736. Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 781. Sambil mengikuti pembagian yang dibuat Grenz, kami membuat beberapa penambahan pokok bahasan dalam tiga medan corporate eskatologi sejauh kami anggap itu relevan dengan konteks Indonesia. 197 198
174
dan Gereja? Apakah yang akan terjadi dengan kedua wujud dari persekutuan ini jika Allah menyatakan KerajaanNya? Ketiga, bagaimana keberadaan langit dan bumi? Apakah ia akan dibinasakan ataukah diperbaharui? Tanpa mengurangi appresiasi terhadap referensi yang diberikan Grenz, kami menambahkan satu medan bahasan yakni terusirnya Iblis dari sorga. Pokok ini akan kami bahas mendahului tiga pokok yang disebutkan Grenz. Aspek personal dari eskatologi sebagian besarnya sudah kami bahas dalam bab terdahulu, yakni di bawah sub judul: Pengampunan dosa, Kebangkitan Daging dan Hidup yang kekal. Pokok-pokok itu tidak akan kami bahas lagi di sini. Yang akan kami bahas berhubungan dengan ini adalah penghakiman manusia. Erat berkaitan dengan itu kami akan membicarakan juga mengenai sorga dan neraka. Hubungan protologi dan eskatologi, serta nisbah eskatologi dan primal history juga akan ikut disoroti.
Iblis Jatuh dari Langit Salah satu kejadian eskatologis yang patut kita beri perhatian adalah jatuhnya penghukuman atas iblis dan para pengikutnya. Untuk memahami peristiwa ini kita perlu mengetahui siapakah Iblis itu, dari mana asalusulnya, apakah pekerjaannya serta bagaimana nasibnya pada zaman akhir?
175
Dalam dogma penciptaan (bab dua) kami hanya berbicara sepintas tentang makhluk-makhluk ciptaan Allah yang bersifat spiritual. Di situ kami berjanji untuk menuntaskan percakapan tentang pokok ini dalam bab tentang eskatologi. Menurut kami di sinilah tempat yang tepat untuk membicarakan pokok ini karena dengan kedatangan Yesus Kristus realitas makhlukmakhluk spiritual itu benar-benar disingkapkan. Kami sudah menunjukkan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan (Kol. 1:16). Makhluk-makhluk yang tidak kelihatan juga diberikan Allah kesadaran dan kuasa, begitu juga akal budi. Dengan adanya kualitas tadi mereka dapat terlibat dalam tindakan-tindakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Tapi bukan itu maksud Allah terhadap mereka. Allah menciptakan makhluk-makhluk spiritual itu dengan maksud mengerjakan urusan-urusan Allah baik di sorga maupun dalam hubungan dengan hal-hal di dunia dan manusia.199 Mereka ini tergolong pada apa yang Alkitab sebut tentara-tentara sorga (Kej. 32:2, I Raja 22:19, Neh. 9:6, Dan. 4:35, Lk. 2:13). Makhluk spiritual ini terbagi dalam dua kelompok.200 Yang pertama adalah malaikat-malaikat dalam jumlah yang cukup banyak (Mt. 26:53, Why.
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 284. 200 Luis Berkhof. Systematic Theology. Michigan: W.M.B. Eerdmans Publishing Co. 1941. hlm. 733. 199
176
5:11). Mereka ini terbagi lagi dalam tiga kelompok. Pertama, yang ada di sekitar takhta Allah adalah kerubim dan seraphim. Yang kedua, mereka yang diperlengkapi dengan kuasa dan wewenang. Ketiga yang menjadi pimpinan, yakni archangel, malaikat utama. Mereka memainkan peranan yang cukup penting dalam kesaksian Alkitab tentang pergaulan Allah dan manusia. Alkitab memperlihatkan beberapa tugas dari bala tentara sorga, Mereka mengawal takhta Allah dan terus-menerus bersiaga baik untuk menaikan puji kepada Allah maupun untuk melaksanakan tugas yang diberikan Allah (Yes. 6:1). Mereka juga melaksanakan tugas melaksanakan pemerintahan di bumi atas nama Allah (I Raja. 22:19), termasuk melindungi umat Allah di bumi (2 Raja 6:17).201 Malaikat juga memainkan peran penting dalam kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus. Mereka menyertai Dia mulai dari kelahiran sampai dengan kebangkitan Yesus Kristus (Lk. 1:11-20, 22:43, Mt. 28:57). Ini merupakan sebuah bukti betapa pentingNya Yesus itu. Malaikat-malaikat bertugas mengawal takhta Allah dan menyertai Dia. Kalau Yesus terus-menerus dikawal oleh malaikat-malaikat, bukankah itu sebuah pertanda bahwa Yesus itu adalah Allah? Alkitab juga melaporkan bahwa malaikat ikut memainkan peran dalam peristiwa akhir zaman (Mt. 13:29, 25:31, Mk. 8:38, 13L37, Lk. 12:8, II Tes. 1:7). Malaikat juga akan muncul pada saat penghakiman 201
Karl Barth. Church Dogmatics. III/3. hlm. 375.
177
terakhir, ketika Yesus Kristus datang kembali di dalam kemuliaan (Why. 7:1, 8:1-9:21, 16:5). Dengan tegas Alkitab melarang penyembahan terhadap malaikat. Yesus Kristus juga bukan salah satu dari antara malaikat karena ternyata malaikat-malaikat menyembah Yesus Kristus (Ibr. 1:5-14). Di dalam Kristus, manusia sesungguhnya lebih tinggi dari malaikat (Ibr. 2:5-9). Bukan malaikat yang akan menghakimi kita, justru kitalah yang akan menghakimi malaikat (I Kor. 6:3). Alkitab memberi perhatian khusus terhadap satu dari malaikat itu, yakni malaikat TUHAN (the angel of Yahweh). Dia disebut sebagai utusan istimewa Allah. Dialah yang khusus diutus Allah untuk melaksanakan tugas tertentu di antara manusia. Malaikat TUHAN ini bukan utusan biasa. Dia malah disebut sebagai penjelmaan diri Allah (Kej. 16:7, 22:11). Dia juga selalu menampakkan diri dalam rupa manusia.202 Betapa sering orang-orang yang bertemu dengan malaikat TUHAN berseru bahwa mereka telah melihat Allah (Kej. 32:30, Kel. 3:2). Fenomena yang unik tentang malaikat TUHAN ini membuat banyak penafsir membangun pemikiran yang menghubungkan malaikat TUHAN ini dengan Yesus Kristus. Ia disebut sebagai pre-incarnate logos,
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 286. 202
178
kehadiran Kristus sebelum kelahiran di Betlehem.203
peristiwa
inkarnasi,
Kelompok kedua dari makhluk spiritual yang diciptakan Allah adalah roh-roh jahat yang disebut demons yang dari kata Yunani: daimon dan daimonion. Arti dari kata itu adalah ilah-ilah atau dewa-dewi yang lebih rendah. Banyak dari pemikir Kristen mengolongkan roh-roh jahat sebagai malaikat-malaikat yang jatuh (2 Pet. 2:4, Yud. 1:6). Kejatuhan mereka ini disebabkan oleh nafsu mereka untuk menikahi anakanak perempuan manusia (Kej. 6:2).204 Perjanjian Baru menggambarkan demons sebagai kelompok makhluk spiritual yang mengorganisir diri beroposisi terhadap Allah dan merusak tujuan penyelamatan Allah atas ciptaanNya.205 Mereka ini tidak hidup sesuai dengan tujuan penciptaan mereka oleh Allah. Mereka malah bekerja untuk memperluas pemberontakan terhadap Allah dengan melibatkan manusia, merusak persekutuan, memporak-porandakan kesejahteraan dan keselamatan ciptaan Allah serta merusak kehidupan manusia. Pemimpin mereka adalah setan atau iblis. Setan adalah nama untuk pemimpin malaikatmalaikat yang jatuh. Kejatuhannya ini disebabkan oleh
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 287. 204 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 141. 205 Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 289. 203
179
ambisi dan kesombongan. Nama itu berasal dari kata Ibrani setan yang berarti pendakwa atau penentang (Zak. 3:1).206 Setan karena itu berfungsi sebagai pendakwa atau penentang sebagaimana yang sering terdapat dalam dunia peradilan. Pendakwa atau penentang berguna untuk menguji nilai keadilan dalam sebuah proses peradilan. Ini sebabnya setan (iblis) merupakan salah satu anggota dewan sorgawi dan diijinkan untuk ambil bagian dalam sidang sorgawi (Ay. 1:6, 2:1, Lk. 22:31, Why. 21:1-6). Tetapi nyatanya dalam menjalankan fungsi itu, setan (iblis) bertindak lebih jauh. Ia tidak sekedar menjadi pendakwa untuk tujuan menegakkan keadilan Allah. Ia justru menghasut terjadinya perlawanan dan pemberontakan terhadap Allah baik di antara bala tentara sorga, maupun di antara manusia. Dengan berbuat begitu, setan menyalah-gunakan fungsi yang diberikan Allah kepadanya dalam tatanan ciptaan.207 Itu sebabnya, menurut Zakaria Allah menghardik setan dengan keras (Zak. 3:1-2). Kedatangan Yesus Kristus menandai berakhirnya fungsi pendakwa yang dijalankan oleh setan selama masa PL. Jika di penghujung masa PL Allah hanya menghardik setan dengan keras, apa yang terjadi pada kedatangan Yesus Kristus justru lebih definitif, yakni setan jatuh dari langit (Lk. 10:18, Yoh. 12:31, Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2. Ekonomi Keselamatan.Yogyakarta. 2004. hlm. 120. 207 Berkhof. Kristus dan Kuasa-Kuasa. Jakarta: BPK 206
Gunung Mulia. hlm. 26.
180
16:11, Why. 12:8-12). Setan kehilangan peran dalam sidang sorgawi.208 Setan diusir dari sorga. Ia tidak lagi mendapat tempat di dalam sidang sorgawi. Perubahan radikal ini berhubungan dengan fakta berikut. Dalam masa PL Allah belum melaksanakan penebusan dosa bagi manusia. Untuk itu setan tampil sebagai pendakwa untuk menjamin tegaknya keadilan dalam keputusan Allah. Tetapi penebusan itu sudah terjadi dengan kedatangan dan karya Yesus Kristus. Ia sekaligus juga telah duduk di kanan Allah untuk menjadi pembela manusia berdosa. Kehadiran Kristus ini membuat setan tidak lagi berperan di sorga, apalagi peran itu ternyata disalahgunakan untuk menghasut. Terusirnya setan dari sorga membuat dia menemukan lahan baru di bumi, yakni menghasut manusia untuk memboikot tujuan karya keselamatan Allah. Ia menjelajah dunia seperti singa yang mengaumaum mencari mangsa ( I Pet. 5:8). Ada dua gerakan yang dilakukan setan untuk mensukseskan programnya. Pertama, dia membutakan mata dan hati manusia terhadap Injil. Kedua, dia menista gereja dengan menyerang persekutuan orang-orang percaya dari luar melalui penganiayaan ( I Pet. 5:9, Why. 12:17) dan dari dalam melalui pengajaran nabi-nabi palsu, kecurangan dan pencobaan (II Kor. 11:14).
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 294. 208
181
Apa yang sekarang Iblis lakukan di bumi memang dahsyat dan patut diwaspadai, tetapi tidak perlu ditakuti karena dia melakukannya sebagai yang telah kalah dan terusir. Manufer-manufernya tidak lebih dari bayang-bayang, seperti mimpi yang menyeramkan tetapi ketika bangun tidur ternyata tidak ada apa-apa, kata Karl Barth. Manusia tidak boleh takut terhadap gertakan Iblis apalagi tunduk dan menyembah dia. Grenz menggambarkan nasib tragis yang dialami Iblis karena ketidaktaatan dia pada peran yang digariskan Allah bagi dirinya dalam kalimat berikut: “Dia yang mulanya adalah pelayan Allah sebagai pendakwa dalam pengadilan sorgawi, pada akhirnya benar-benar terbuang dari hadapan Allah.”209 Pada parousia, yakni kedatangan kembali Yesus Kristus, ia akan dibuang ke dalam api yang kekal (Mt. 25:41) untuk menjalani hukuman selama-lamanya. Kiranya sekarang kami berhasil menyediakan jawaban atas pertanyaan: “Siapakah Iblis itu, dari mana asalusulnya, apakah pekerjaannya serta bagaimana nasibnya pada zaman akhir?”
Arti Sejarah Perenungan manusia tentang tujuan sejarah menghasilkan sekurang-kurangnya dua gambaran dominan. Pertama, sejarah digambarkan sebagai satu siklus tertutup. Siklus itu terdiri dari peristiwa yang Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 295. 209
182
terus berulang. Ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk menangis. Kejadian-kejadian itu akan datang silih berganti. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Pengkhotbah 1:9 merumuskan pengalaman siklis terhadap sejarah dalam kalimat berikut: “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Di dalam siklus ini manusia terperangkap dalam hukum karma yang tidak berkesudahan.
Kedua, sejarah digambarkan sebagai sebuah gerakan dari masa lalu ke masa depan. Seumpama sebuah garis lurus, sejarah berisi rentetan kejadian yang terjadi susul menyusul di mana manusia selalu mengalami hal-hal yang baru dan mengejutkan. Kejadian-kejadian baru bisa tak punya hubungan apapun dengan kejadian-kejadian sebelumnya, bisa juga bersifat meniadakan kejadian terdahulu. Hal yang sudah berlalu tidak akan diingat lagi. Ia akan pergi untuk selama-lamanya. Van Peursen menggambarkan perkembangan itu dalam tiga periodisasi: masa mistis digantikan oleh masa ontologis, lalu digantikan lagi dengan masa fungsional.210 Paham pertama tadi mengasumsikan sejarah sebagai sebuah rutinitas yang statis dan tertutup. Sama sekali tidak terbuka pintu bagi sesuatu yang baru. Manusia terperangkap dalam nasib atau takdir yang kedap terhadap perubahan. Manusia cenderung menjadi makhluk yang pesimis bahkan apatis. Paham ini banyak 210
Van Peursen. Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987. Hlm. 34.
183
ditemukan dalam periode mistis. Dalam paham yang kedua mendorong manusia optimis dan kreatif. Selalu tersedia kemungkinan dan peluang baru untuk manusia keluar dari jeratan nasib dan perangkap takdir. Kekurangannya adalah kehidupan adalah seumpama sebuah keleidoskop, rentetan peristiwa yang terlepas satu sama lain. Manusia cenderung kehilangan identitas dan integritas dirinya dalam rentetan peristiwa itu. Dua paham di atas sangat bercorak anthroposentris. Sejarah, sebagaimana yang dipahami di situ memfokuskan perhatian pada perbuatan-perbuatan manusia. Sejarah merupakan kisah tentang aktivitas manusia untuk mewujudkan idealisme dan rencanarencananya. Manusia yang merancang dan mengarahkan perjalanan sejarah. Alkitab memberi kesaksian yang sama sekali berbeda. Kalau kita bertanya: “Apa arti semua cerita yang bermula dari Abraham berlanjut ke Musa kemudian para nabi dan berpuncak pada Yesus Kristus dan para rasul?” Jawabannya adalah: “Itu cerita tentang sebuah sejarah yang unik dari Allah yang hidup, berbicara dan bertindak.211 Allah ini berintervensi untuk mendatangkan dunia baru di dalam sejarah. Tema utama dari rentetan kisah tadi adalah perbuatan-perbuatan Allah, peletakan dasar dan pembangunan dunia baru di mana Allah dan moralitasNya memerintah.212 Di dalam Karl Barth. The Word of God and the Word of Man. hlm. 37. 212 Karl Barth. The Word of God and the Word of Man. hlm. 39. 211
184
dunia baru itu Allah menawarkan kehidupan yang baru dan berpengharapan. Dunia baru itu bukan hasil usaha manusia, bukan berasal dari manusia. Dunia baru itu datang dari Allah.213 Manusia tidak dapat meniru atau menjiplak dunia itu. Yang manusia bisa buat adalah membiarkan dia hidup, bertumbuh dan berbuah. Manusia hanya bisa percaya. Tidak ada pilihan lain atau jalan ketiga.214 Sejarah karena itu bukanlah pertama-tama cerita tentang aktivitas manusia. Ia berisi tentang tindakantindakan Allah dalam menciptakan,215 menyelamatkan dan mengendalikan aktivitas manusia ke arah tujuan yang ditetapkanNya dalam primal history, waktu di mana Allah merencanakan segala sesuatu. Sejarah merupakan event pertemuan personal antara Allah dan manusia serta manusia dengan sesamanya. Allah yang adalah Tuhan dalam sejarah tetapi yang juga sudah berada di depan sebagai tujuan sejarah, datang dari masa depan itu. Allah datang dari masa depan sebagai pencipta dan Tuhan atas sejarah dan mengatakan: TIDAK terhadap semua aktivitas manusia yang ditandai oleh DOSA, tetapi serentak dengan itu menunjukan cinta kasih yang besar terhadap MANUSIA BERDOSA Karl Barth. The Word of God and the Word of Man. hlm. 34. 214 Karl Barth. The Word of God and the Word of Man. hlm. 41. 215 Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 793. 213
185
dengan jalan mengampuni dan mentransformasi manusia dengan semua perbuatannya untuk menjadi saksi dari dunia baru yang berpengharapan.216 Dosa tidak membuat Allah undur dari sejarah. Ia tetap bekerja untuk mewujudkan rencana yang diputuskan di dalam kekekalan. Untuk itu Allah menghukum dosa tetapi mengasihi orang berdosa. Gambaran sejarah sebagaimana disaksikan Allah bukan seperti sebuah lingkaran, bukan juga seperti sebuah garis lurus. Ia lebih berbentuk sebuah kurva yang bermula dari masa depan di mana Allah ada, lalu menerobos masuk ke masa lalu untuk menarik manusia keluar dari masa lalu yang gelap untuk hidup di masa kini sebagai manusia baru. Pembaharuan hidup itu perlu sebagai persiapan untuk menyongsong masa depan yang kemuliaannya jauh lebih besar dari yang sudah dinyatakan di masa kini.217 Sejarah tidak lain dari kisah tentang tindakantindakan Allah membawa ciptaan kepada tujuan yang sudah ditetapkanNya.218 Calvin tepat dalam menggambarkan sejarah sebagai theatrum gloriae Dei, pentas di mana kemuliaan Allah dipertontonkan. Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya (Mz. 19:2). 216
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
217
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
339. 340. Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 791. 218
186
Gambaran sejarah sebagai sebuah kurva memberi tempat kepada hal-hal baru tanpa mengabaikan atau meremehkan hal-hal masa kini dan masa lalu ikut membentuk jatidiri dan identitas manusia. Kota Allah yang dilihat gambarkan Yohanes dalam Wahyu 22 sungguh mencegangkan. Ia merupakan buah karya Allah, tetapi di kota itu buah karya Adam pertama di Eden tidak diabaikan. Apa yang ditemukan di Eden: sungai, pohon kehidupan dan aneka batu berkelas tidak dibuang, tetapi dijadikan dekorasi yang menyemarakkan kota Allah itu. Sejarah sebagai sebuah kurva menawarkan
optimisme tanpa meniadakan realisme dan tidak kehilangan profetisme. Inilah gambaran Alkitab tentang sejarah. Sejarah memiliki tujuan dan arti yang pasti, karena berhubungan dengan Allah yang adalah pencipta sejarah, Tuhan dalam sejarah dan adalah tujuan sejarah. Tempat bagi partisipasi manusia dalam membaharui sejarah tidak dianulir atau ditolak. Karya manusia dalam keluarga, gereja dan masyarakat; partisipasi aktif manusia dalam politik, pembangunan, ekonomi, pendidikan, hukum, kesehatan, kemiliteran, pertanian, industri, dll. diberi tempat tetapi juga diberi nilai oleh Allah. Aktivitas manusia itu tidak dilihat sebagai yang otonom dan independen. Allah juga ikut bekerja dalam seluruh aktivitas manusia untuk kebaikan manusia (Rm. 8:28-29). Aktivitas manusia itu diarahkan dan juga akan dinilai oleh Allah. Pekerja-pekerja yang memperoleh nilai baik akan dipisahkan dari pekerja-pekerja yang 187
memperoleh nilai buruk. Yang satu diibaratkan dengan domba yang lainnya kambing. Yang domba diundang masuk ke pesta kawin anak domba, sedangkan yang kambing akan dibuang ke dalam api siksaan yang kekal untuk dijadikan sate (Mt. 25:32 dst). Dasar, makna dan tujuan sejarah ada pada Allah. Menjalani hidup secara bermakna dalam sejarah hanya bisa terjadi jika dilakukan dengan hati dan mata tertuju kepada Allah. Paulus tegaskan itu dengan sangat indah dalam Kolose 3:23-24: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.
Wujud Akhir Israel dan Gereja Sejarah berisi kisah tentang tindakan-tindakan Allah membawa ciptaan kepada tujuan yang sudah ditetapkanNya. Telah berkali-kali kami tegaskan bahwa tujuan Allah dengan sejarah adalah mewujudkan persekutuan yang akrab dan ramah antara Allah dan manusia serta manusia dengan sesama ciptaan lainnya (Yes. 11:6 dst). Allah bermaksud menjadikan diriNya sekutu manusia dan membuat manusia untuk menjadi sekutu Allah. Untuk maksud itu Israel dan Gereja dijadikan Allah sebagai provisional representation, perwujudan sementara dari persekutuan yang akan datang itu, yakni 188
Kerajaan Allah di mana manusia hidup sebagai sekutu Allah yang telah berjanji untuk menjadikan diriNya sekutu manusia. Inilah klimaks sejarah, tujuan dari karya Allah yang berlangsung baik dalam kekekalan maupun dalam waktu. Israel dan Gereja merupakan bayang-bayang dari persekutuan yang akan datang itu. Israel dan Gereja bukan Kerajaan Allah tetapi persekutuan, pengampunan, perlindungan yang dialami dalam Israel dan Gereja menghadirkan kepada kita pengalaman awal akan persekutuan, pengampunan dan kehidupan dalam Kerajaan Allah. Grenz menyebut dua elemen penting dari kehidupan di dalam Kerajaan Allah yang sekarang menjadi pengalaman awal dalam setiap persekutuan yang ada saat ini, termasuk di dalamnya Israel dan Gereja.219
Pertama, manusia boleh merayakan kebaikan Allah yang nyata dalam pengampunan dosa. Kedua, manusia dari berbagai latar belakang boleh bekerja sama dalam mewujudkan persekutuan kemanusiaan sejati dalam berbagai level: keluarga, masyarakat, politik dan gereja. Karena itu adalah panggilan kepada para pengikut Kristus untuk ikut ambil bagian aktif dalam mendukung persekutuan apa saja dan siapa saja yang bekerja untuk memajukan kemanusiaan yang sejati dalam dunia ini tanpa peduli latar belakang agama atau keyakinan persekutuan itu.
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 794. 219
189
Semua bentuk sikap mengkafirkan persekutuan atau lembaga lain yang bermuara pada perang terhadap sesama demi membela kebenaran sendiri dan setiap bentuk klaim keunggulan komunitas agama serta ajaran etis dan kesusilaan atas nama Allah bertentangan dengan pengharapan Kristen akan masa depan yang disediakan Allah. Ini sikap beragama orang-orang yang tidak tahu diri, kata Bambang Noorsena.220 Sebagai ganti sikap saling mempersalahkan dan mengkafirkan, hal yang patut dilakukan oleh warga gereja adalah mengalang persekutuan saling menghormati dan menerima serta kerja sama untuk membangun masyarakat dan dunia yang damai untuk semua berdasarkan iman kepada Allah yang menjadi tujuan akhir semua karya dan aktivitas kita. Inilah keberadaan masa kini Israel dan Gereja. Kedua bentuk dari persekutuan yang merupakan bayangan Kerajaan Allah adalah tempat di mana manusia merayakan kebaikan Allah dan melatih diri untuk mewujudkan persekutuan kemanusiaan yang sejati. Adapun wujud masa depan dari Israel dan Gereja, yakni pada waktu sejarah dunia mencapai klimaksnya dalam kedatangan Yesus Kristus adalah Kerajaan Allah. Israel dan Gereja yang merupakan wujud masa kini dari Kerajaan Allah secara tidak punah. Israel dan Gereja tidak akan lenyap (Mal. 3:6). Keduanya akan ditransformasi untuk bergabung dalam Kerajaan Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil. Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Yogyakarta: Andi 220
Offset. 2007. hlm. 38.
190
Allah.221 Kehidupan dalam kerajaan itu akan dirupakkan oleh persekutuan yang diwarnai oleh suasana damai, harmoni, kasih dan kebenaran.
Transformasi Dunia Pandangan umum di kalangan warga gereja mengenai wujud akhir dunia bercorak fatalistis. Langit dan bumi akan lenyap. II Petrus 3:10 sering dipakai menjadi titik tolak dari pandangan ini. Akibat dari pandangan ini manusia acuh tak acuh untuk menjaga kelestarian ekologi. Sikap meremehkan bahkan mengutuk dan mengkafirkan hal-hal dalam dunia, seperti pendidikan, kesehatan, bisnis, hukum, kemiliteran dan politik merupakan pengembangan lebih lanjut dari pandangan yang fatalistis tadi. Bumi akan dibakar hangus dan berlalu tanpa ada bekasnya lagi. Kalau kita mencermati II Petrus 3:10, 12 jelas bahwa pandangan fatalistis tadi sangatlah berlebihan sebab yang dikatakan di situ bukan dunia melainkan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Kalau begitu bagaimana sesungguhnya wujud akhir dari dunia pada saat tibanya hari yang agung itu, yakni kedatangan kembali Yesus Kristus dalam kemuliaan? Alkitab dengan tegas berkata bahwa Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk
221
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
319.
191
membinasakan dunia, melainkan untuk menyelamatkannya (Yoh. 3:17). Dunia sekali-kali tidak akan ditinggalkan oleh Allah betatapun dunia penuh dengan dosa. Allah ikut bekerja dalam segala hal untuk mengarahkan dunia ini menuju kepada tujuanNya, yakni tempat yang layak bagi kehidupan persekutuan yang damai antara Allah dan semua ciptaan. Dalam diagnosanya terhadap Wahyu 21, C.S. Song seorang teolog terkemuka Asia menegaskan bahwa bumi baru dan langit baru yang nampak dalam Wahyu 21 bukanlah penghapusan bumi dan langit yang lama. Keduanya haruslah merupakan penciptaan kembali dari bumi dan langit yang lama. Setiap derita yang kita lihat dan alami, dan setiap harapan yang kita rangkul dan junjung, adalah bagian-bagian yang akhirnya akan memperoleh tempatnya dalam sejarah Allah yang baru.222 Dunia akan ditransformasi oleh Allah untuk menjadi sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan sejak kekal. Perubahan dunia dari keadaan yang lama kepada keadaan yang baru akan terjadi melalui proses penghakiman. Ada banyak kekuatan dalam dunia yang berusaha menjauhkan dunia dari Allah dan membelokkannya untuk tujuan yang lain. Penghakiman itu perlu dalam rangka reorganisasi dunia kepada tujuan Allah.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 66. 222
192
Karya Allah membaharui sejarah dunia dan manusia yang rusak oleh dosa tidak dilakukan di luar sejarah atau di luar dunia. Allah bekerja untuk memulihkan dunia dan sejarah manusia dari dalam. Ibarat merehab sebuah rumah, Allah bertindak seperti seorang tukang bukan dengan meruntuhkan rumah itu untuk membangun yang baru. Tidak! Allah membongkar bagian-bagain yang rusak untuk diganti. Hal ini ditegaskan dalam banyak bagian Alkitab. Keluaran 12:12, 33:4 berbicara tentang hukuman Allah atas tanah Mesir dan semua ilah-ilahi di sana, supaya mereka membiarkan Israel pergi untuk beribadah kepada Allah. Ada dua alasan penghukuman atas kuasa-kuasa dunia. Pertama, untuk membebaskan ciptaan dari perbudakan kuasa-kuasa dunia itu. keadaan dunia dan seluruh makhluk pada masa kini, sebagaimana digambarkan Paulus telah ditaklukkan kepada kesiasiaan, bukan oleh kehendaknya sendiri. Dalam situasi ini semua makhluk mengeluh dan merasa sakit bersalin. Mereka berharap dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. (Rm. 8:20-22). Penghakiman itu diarahkan kepada kuasa-kuasa yang menindas dan membinasakan makhluk ciptaan Allah, sebab hanya dengan membebaskan ciptaan dari kuasakuasa perusak tadi, manusia bisa dengan leluasan 223
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 794. 223
193
menjawab YA kepada Allah, yakni menjadi sekutu Allah.
Kedua, menurut Wahyu 21:3 Allah bermaksud mendirikan tempat kediamanNya dan Ia diam bersamasama ciptaanNya di bumi. Mereka akan menjadi umatNya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dalam rangka itu bumi harus diubah. Bumi harus diformat ulang, dibersihkan dari kuasa perusak, kerusakankerusakannya perlu direnovasi. Kehadiran Allah di bumi untuk berdiam selama-lamanya menuntut agar dunia dimurnikan dari maut. Jadi bumi atau dunia tidak akan dilenyapkan atau dibinasakan oleh Allah. Ia akan direorganisasi oleh Allah. Bumi atau dunia akan diperbaharui. Api yang disediakan untuk membakar bumi seperti ditegaskan II Petrus 3:10 bukan untuk membinaskan dan melenyapkan bumi, melainkan untuk membersihkan dan memurnikannya dari anasir-anasir dan kuasa-kuasa perusak itu. Penghancuran kuasa perusak itu digambarkan secara metaforis dengan ditiadakannya laut. Laut dalam Alkitab digambarkan sebagai yang memisahkan manusia dengan Allah.224 Laut tidak ada lagi dalam ciptaan baru (Why. 21:1). Dunia yang dimuncul sebagai hasil transformasi itu disebut sebagai ciptaan yang baru (2 Kor. 5:17) atau langit yang baru dan bumi yang baru (Yes. 65:17, Why. 21:1). Ciptaan baru ini bukan bumi dan langit kedua, Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 843. 224
194
melainkan hasil dari transformasi atau penghakiman yang dilakukan Allah terhadap bumi dan langit yang lama, yang pertama. Dalam dogma penciptaan kami tegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dengan mata tertuju kepada perjanjian, yakni saat di mana Allah menjadi sekutu umatNya dan manusia menjadi sekutu Allah. Tujuan ini sudah mulai diwujudkan dalam penciptaan tetapi belum selesai. Karya penciptaan bersifat sempurna tetapi belum selesai. Pasca penciptaan Allah terus bekerja untuk membawa ciptaan kepada tujuan tadi. Yohanes menggambarkan penyelesaian akhir karya itu dalam frasa: “Allah akan berdiam bersama-sama manusia. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.” (Why. 21:3). Supaya ciptaan layak menjadi kediaman Allah maka ciptaan harus ditransformasi. Ciptaan yang lama harus diganti dengan ciptaan yang baru melalui proses penghakiman. Bukan hanya bumi yang ditransformasi. Langit pun diperbaharui. Jurgen Moltmann justru lebih progersif. Menurut Dia sorga pun perlu dibaharui.225 Ini disebabkan tujuan akhir dari sejarah bukanlah migrasi manusia dan seluruh ciptaan ke sorga melainkan ciptaan yang baru: langit dan bumi yang baru. Ciptaan baru yang dihasilkan oleh proses tadi akan sama sekali berbeda dari yang lama. Perbedaan paling mendasar adalah Allah akan menghalau semua J. Moltmann. God in Creation. London: SCM Press. 1985. hlm. 183. 225
195
kuasa perusak yang mengancam atau yang menentang kehendak Allah, yakni: dosa, iblis dan aneka bentuk penderitaan. Ciptaan baru itu bebas dari kerusakan, penyakit, dan kematian. Realita itu sudah mulai dinyatakan dalam kehadiran dan pelayanan Yesus di mana orang buta melihat, uang sakit disembuhkan, dst. Yesaya berbicara tentang ciptaan baru itu dari perspektif anthropologi. Itu adalah masa di mana tidak akan ada lagi orang yang berbuat jahat atau yang berlaku busuk terhadap sesamanya, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya (Yes. 11:6-9). Kehidupan di zaman baru itu digambarkan Yesaya sebagai kehidupan yang tanpa kekerasan. Dunia diliputi damai dan keadilan serta kebenaran ditemukan di mana-mana. Yehezkiel melihat sisi ekologis dari ciptaan baru itu. Tuhan akan memulihkan negeri dan tanah Israel dan seluruh bumi sehingga ia akan memberikan kehidupan yang subur bagi penduduknya. Tidak akan ada lagi bencana dan malapetaka dari alam (Yeh:36:8-10). Grenz menggambarkan ciptaan baru itu sebagai sebuah realita yang muncul melalui proses yang serupa dengan kebangkitan. Ciptaan yang lama harus mengalami kematian untuk dibangkitkan.226 Itu berarti ada juga elemen-elemen dari ciptaan yang tetap terjaga dalam ciptaan baru (Why. 22:1-2). Yohanes memberi kesaksian yang menunjukkan bahwa karya-karya
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 842. 226
196
terbaik dari peradaban manusia akan terbawa masuk juga di langit dan bumi yang baru (Why. 21: 24,26). Adanya kontinutas ini menjadi isyarat bahwa betapa Allah tidak mengabaikan karya manusia. Ini haruslah menjadi dorongan bagi kita untuk melakukan hal-hal terbaik dalam zaman akhir ini. Bukankah semua itu akan ikut mendapat tempat dalam dunia baru yang datang darin Allah? Sebaliknya, semua yang jahat dan berdosa haruslah kita hindari agar terhindar dari penghakiman yang dahsyat.
Penghakiman Manusia Penghakiman bukan hanya akan terjadi atas kosmos tetapi juga akan berlaku terhadap manusia, yakni individu demi individu. Satu demi satu manusia akan dipanggil ke takhta Allah untuk mempertanggungjawabkan hidup yang sudah dijalaninya (Kis. 10:42, II Tim. 4:1, I Pet. 4:5). Penghukuman ini juga merupakan satu proses transformasi kehidupan. Manusia itu diuji kelayakannya oleh Allah untuk ambil bagian dalam persekutuan yang abadi dengan Allah. Penghakiman itu memang bukan baru. Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang kudus tidak tahan melihat dosa dan pemberontakan manusia. Kapan saja Ia bertemu dengan manusia, pertemuan itu selalu membawa di dalam dirinya penghukuman. Ada dua pengalaman tak terlupakan dalam kisah hidup Israel tentang penghakiman Allah atas dosa. Pertama, 197
hukuman terhadap Mesir karena penindasan terhadap Israel. Kedua, pembuangan mereka ke Babel akibat ketidaksetiaan mereka kepada Allah. Penghakiman sebagaimana disaksikan Alkitab bukan baru akan terjadi nanti, tetapi sudah mulai terjadi dan akan terus berlaku sampai tiba hari yang agung itu. Penghakiman merupakan sisi yang tak terpisahkan dari kehidupan bersama Allah yang kudus. Meskipun begitu kita toh harus menyadari perbedaan antara penghakiman yang berlangsung sekarang dan penghakiman yang akan terjadi pada saat parousia. Penghakiman yang sedang berlangsung merupakan cara yang dipakai Allah untuk menyadarkan umatNya dari dosa dan kesesatan. Dengan demikian penghakiman memiliki fungsi pedagogik. Paulus menyebut penderitaan akibat hukuman sebagai karunia (Fil. 1:29). Melalui hukuman-hukuman itu Allah menghendaki pertobatan, Allah menunjukkan keilahianNya sebagai Tuhan dan Allah memurnikan kesetiaan umatNya.227 I Korintus 11:32 menekankan fungsi pedagogik itu dalam kalimat berikut: “Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. Selanjutnya, Ibrani 12:9-11 menegaskan bahwa ganjaran yang kita terima dari Tuhan artinya kita dihormati. Sebab Allah menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 816. 227
198
mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Penghakiman pada parousia memiliki karakter yang berbeda. Pada waktu itu penghakiman tidak lagi berfungsi pedagogik melainkan penetapan akhir. Allah akan menyatakan secara final kemenangannya atas kejahatan. Seiring dengan itu memberi upah kepada tiap manusia. Mereka yang tidur akan dibangunkan. Sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal (Dan. 12:2). Itu sebabnya penghakiman terakhir itu oleh Alkitab digambarkan sebagai saat yang gelap. Tidak ada lagi satu pun manusia maupun bangsa yang akan luput (Am. 9:1-4, Mal. 3:2-5). Sampai di sini tentulah ada yang bertanya-tanya tentang dasar penghakiman yang dipakai oleh Allah untuk membenarkan dan membinasakan manusia. Alkitab menegaskan bahwa Allah akan menghakimi berdasarkan perbuatan-perbuatan kita (Kej. 2:15-17, Yer. 17:10, 32:19, Mt. 16:27, Rm. 2:6, II Kor. 5:10, Gal. 6:7-8, Why. 20:11-15, 22:12). Bukan keaktifan kita menyerukan nama Tuhan yang menjadi dasar penghakiman, melainkan kesukaan kita melakukan kehendak Tuhan (Mt. 7:21). Ada juga beberapa perbuatan yang khusus disebut sebagai yang berakibat langsung pada penghukuman kekal, yakni kepemilikan akan kekayaan dunia secara berlebihan (Mk. 10:17-31, Lk. 12:13-21), 199
ketidakpedulian terhadap mereka yang lemah dan miskin (Mt. 25:31-46), dan keengganan untuk mengampuni (Mt. 18:21-25). Penghakiman terakhir akan dilakukan berdasarkan perbuatan-perbuatan manusia. Banyak fragmen dalam Alkitab mengandaikan bahwa Allah menggunakan referensi hukum yang berbeda dalam menghakimi manusia atas dasar perbuatan228 perbuatannya. Referensi itu adalah hukum yang berlaku dalam tiap-tiap individu hidup. Dalam Roma 12:12-16 ditegaskan bahwa orang Yahudi akan dihakimi berdasarkan Hukum Taurat. Orang non Yahudi dihakimi menurut hukum alam yang tertulis dalam hati mereka. Bagi Israel diberlakukan hukum penyataan Allah. Bagi mereka yang hidup dalam masa Perjanjian Baru akan dihakimi berdasarkan Injil Yesus Kristus.229 Hal serupa juga ditegaskan Yesus dalam pengajaranNya agar murid-murid tetap waspada. Yesus katakan bahwa hamba yang tahu kehendak tuannya, tetapi yang tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi hamba yang tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan,
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 733. Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 816. 228 229
200
dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut" (Lk. 12:47-48). Matius 25: 32-40 merupakan fragmen yang secara eksplist menunjukkan betapa perbuatanperbuatan kasih yang manusia lakukan terhadap sesama dijadikan dasar oleh Allah pada saat penghakiman terakhir. Meskipun begitu patut juga kita camkan bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak otomatis memiliki kualitas penyelamatan. Kualitas dari perbuatanperbuatan itu akhirnya juga akan dibedah berdasarkan prinsip christlike, seperti Kristus. Perbuatan-perbuatan itu akan diuji kesesuaiannya dengan kehendak Kristus.230 Standar yang dipakai untuk menilai perbuatan-perbuatan manusia adalah kehendak Kristus (kristologi). Jadi betapapun rujukan hukum yang dipakai berbeda-beda tetapi hasilnya akan tetap sama, karena pada akhirnya yang dipersoalkan ialah apakah perbuatan-perbuatan mereka menurut hukum yang berlaku dalam tiap komunitas berpadanan dengan kehendak Kristus.231 Itu nampak misalnya dalam perbuatan kasih yang ditunjukkan dengan motivasi politik. Ada orang yang menunjukkan kasih kepada sesama bukan karena Ia hendak meneruskan kasih Kristus melainkan karena perhitungan-perhitungan tertentu. Ia berbuat baik untuk memperkuat serta memperbaiki posisi politik Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007. hlm. 95. 231 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 733. 230
201
dalam masyarakat atau dalam gereja. Ada juga orang yang berbuat kasih demi membersihkan diri dari kejahatan, seperti pencucian uang (money laundry). Perbuatan-perbuatan seperti itu tidak masuk kategori perbuatan eskatologi. Ia bahkan bisa diberi nilai negatif oleh Allah seperti yang ditunjukkan Lukas dalam kisah Ananias dan Safira (Kis. 5:1-10).
Proses Penghakiman Terakhir Penghakiman manusia akan berlangsung dengan menjadikan perbuatan-perbuatan sebagai dasar dan kehendak Kristus sebagai standar. Grenz mengatakan: “Kehidupan manusia akan diperiksa dengan teliti (scrutinized) sesuai dengan prinsip yang menyatukan keseluruhan sejarah sebagaimana dinyatakan di dalam Yesus Kristus.”232 Proses itu akan terjadi demikian. Logos atau Firman yang oleh Allah ditetapkan sebagai dasar sekaligus tujuan sejarah akan dinyatakan (Kol. 1:15-20). Waktu itu semua orang akan melihat bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang menjadi simpul penentu semua hal di sorga dan di bumi (Mt. 28:18). Tujuan atau maksud penciptaan dunia dan manusia akan disingkapkan Allah lewat pribadi yang satu ini, Yesus Kristus. Inilah standar yang dipakai untuk memeriksa dengan teliti hidup dan perbuatan manusia.
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 824. 232
202
Selanjutnya kehidupan dan perbuatan tiap-tiap manusia akan dibentangkan di samping standar tadi. Dengan cara itu akan terlihat dengan jelas dalam hal-hal apa saja kehidupan dan perbuatan-perbuatan manusia berpadanan dan bertentangan dengan. Tidak akan ada satu pun moment dalam hidup dan perbuatan manusia yang akan tersembunyi. Semuanya akan terbuka dan terlihat dengan jelas di samping standar itu (Mt. 10:2627, Mk. 4:22). Proses penghakiman itu berlangsung secara terbuka, tidak berubah-ubah dan sewenang-wenang. Gambaran klasik mengenai proses di mana masingmasing orang dihakimi secara tertutup bertentangan dengan gambaran dalam PB (Mt. 25:31-32) Standarnya tetap dan sama, bahkan sudah ditetapkan sebelum gunung-gunung diciptakan serta langit dan bumi dijadikan. Pada saat itu perkumpulan raya manusia yang melihat kisah hidup dan perbuatan-perbuatannya dibentangkan di samping standar itu akan dipisahkan dalam dua kelompok. Mereka yang hidup dan perbuatannya berpadanan dengan standar akan dikumpulkan di sebelah kanan sedangkan lainnya di sebelah kiri. Sang hakim kemudian akan mengumumkan tempat yang menjadi tujuan akhir kehidupan kedua kelompok itu. Selanjutnya sang hakim akan memperlihatkan keberpihak diriNya, yakni pada posisi mana sebenarnya Ia berada. Kenyataan masa kini di mana kejahatan berkuasa, ketidakadilan merajalela, penindasan 203
berlangsung di semua sektor membuat manusia bertanya-tanya tentang benarkah Allah mahakuasa dan adil. Apa sebabnya Ia membiarkan semua kejahatan dan kebengisan? Pada moment penghakiman ini Allah memperlihatkan diriNya yang sebenarnya dan keberpihakanNya. Ia akan berpihak kepada orang benar (Lk. 18:1-8), kepada mereka yang mengerjakan keadilan, yang hidup dalam kejujuran, yang mencintai damai dan mempromosikan kebenaran. Allah akan menyatakan diri sebagai yang berada di sisi mereka yang lemah. Janji Yesus bahwa orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu (Mt. 19:30) akan digenapi. Akan menjadi jelas juga pada waktu itu bahwa Allah tidak mengukur sukses atas dasar kuasa dan harta, tetapi atas dasar kesediaan melayani kerelaan untuk menderita demi kebahagiaan sesama. Yang terbesar dalam pandangan Allah adalah mereka yang menjalani hidupNya dalam route yang ditetapkan Kristus: “self-sacrifice in service to other.”233 Penghakiman itu akan berlaku bagi mereka yang percaya kepada Yesus Kristus maupun mereka yang tidak percaya. Bagi mereka yang percaya, Yesus Kristus akan tampil sebagai pembela mereka. Sementara bagi mereka yang tidak percaya, penghakiman itu akan
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 826. 233
204
menjadi saat yang berat karena mereka tanpa pembela sebab Iblis sudah terusir dari sorga.234
Sorga dan Neraka Tujuan dari karya-karya Allah dalam sejarah, seperti sudah berkali-kali kami tegaskan adalah menjadikan diriNya sekutu manusia dan memanggil manusia untuk hidup dalam persekutuan yang kekal dengan Allah. Proses terakhir untuk sampai pada maksud ini adalah penghakiman. Mereka yang hidupnya berpadanan dengan kehendak Kristus akan diundang masuk dalam persekutuan yang kekal dengan Allah. Mereka yang hidupnya menyimpang bahkan memberontak akan ditolak dari persekutuan itu. Jadi hanya ada dua tujuan akhir perjalanan hidup manusia. Yang pertama adalah hidup dalam persekutuan dengan Allah. Istilah teknisnya masuk sorga. Yang kedua adalah terpisah secara kekal dari Allah, atau masuk neraka. Seperti apakah sorga dan neraka itu? Bayangan kita tentang Sorga dan Neraka berhubungan dengan dua tempat yang berbeda letak dan fungsi. Sorga merupakan terminologi khas yang menunjuk pada persekutuan yang tak terpisahkan lagi antara Allah dan manusia. Masuk sorga artinya manusia
Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work. Twelve Practical Doctrines. Grand Rapids: Baker Book House. 1980. 234
hlm. 95.
205
berpartisipasi penuh dalam kehidupan Allah. Menurut Alkitab, sorga adalah tempat kediaman Allah (Mz. 2:4, Mt. 6:9, Ibr. 8:1, I Tes. 1:10, Why 11:13, 16:11). Sorga selalu dianggap sebagai “dunia” yang ada di atas bumi. Itu adalah tempat tinggal Allah dan tujuan perjalanan semua orang yang percaya. Sedangkan neraka tempatnya ada di bawah. Di sana hanya kematian, ratap-tangis dan kertak gigi (Mt. 8:12). Neraka juga kita anggap sebagai tempat yang diperuntukan bagi orang-orang jahat, para tukang sihir, dan mereka yang selama hidup memberontak melawan Allah dan menolak Kristus sebagai juru selamat. Pendapat umum ini memang memiliki dasar dalam kesaksian Alkitab. Sorga dianggap sebagai yang ada di atas bumi karena cerita kenaikan ke Sorga, Yesus dikatakan terangkat dan diselimuti awan (Mat. 28, Mark. 16:19, Luk. 24:51. Kisah 1:9). Sebaliknya, kalau berbicara tentang neraka, maka yang selalu ditunjukkan adalah satu tempat yang ada di bagian bawah bumi. Itu karena dalam Pengakuan Iman Rasuli ada rumusan: "Turun ke dalam kerajaan maut." Sorga ada di atas. Itu tempat tinggal Allah dan orang-orang tebusan. Sedangkan neraka terletak di bawah. Tempat itu disediakan bagi semua orang yang akan dihukum, termasuk di dalamnya Iblis. Benarkah anggapan umum yang kita miliki tentang sorga dan neraka itu? Baiklah kita pahami persoalan ini lebih saksama sesuai kesaksian Alkitab. Alkitab, khususnya PB, jarang berbicara tentang sorga sebagai kawasan yang berdiri sendiri, melainkan 206
sorga selalu dihubungkan dengan Allah. Dalam kitab Matius kita temui ungkapan: “Bapa di sorga” sebanyak 14 kali, dan “Bapa sorgawi” sebanyak 5 kali. Dalam Lukas hanya satu kali. Data-data ini penting untuk kita mengetahui apa yang Yesus pikirkan tentang sorga, dan yang Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya. Dalam sebuah doa, Yesus menggunakan ungkapan: “Bapa, Tuhan langit (sorga) dan bumi” (Mt. 11:25 = Lk 10:21). Di sini Yesus melukiskan sorga sebagai tempat di mana Allah Bapa menjalankan kuasa dan pemerintahan-Nya, sebagai mana halnya juga di bumi (Mt. 28:18). Jadi menurut Yesus sorga itu sinonim dengan kehadiran Allah. Dalam arti ini, sorga bagi Yesus bukanlah satu tempat yang jauh dan asing. Kita katakan demikian karena sorga, kata Yesus, adalah tempat tinggal “Bapa-Ku”, dan juga “Bapa dari murid-murid.” Ungkapan ini menonjolkan relasi yang intim, akrab dan sangat dekat. Apalagi kalau kita hubungan dengan perintah Yesus untuk berdoa kepada “Bapa di sorga” dalam setiap waktu dan kesempatan. Hubungan yang erat antara sorga dan Allah juga kita lihat dalam doa Bapa Kami (Mt. 6:9 dan Luk. 11:2). Ingat bahwa Yesus minta kita agar tiap hari datang kepada Bapa di sorga dalam doa. Itu berarti bahwa sorga tidak jauh dari kita. Dua ayat ini memberi kesan bahwa Allah berbeda dengan kenyataan dunia ini. Ia tidak terikat pada satu tempat dan ruang. Ini nyata dari cerita tentang suara dari sorga waktu Yesus dibaptis (Mt. 3:17, Mk. 1:11, Lk. 3:21-22), dan sikap Yesus menegadah ke langit waktu berdoa (Mt. 14:19, Mk. 6:41, 7:34, Lk. 207
9:16). Itu juga nampak dalam gambaran tentang Yesus terangkat ke sorga (Mk. 16:19, Lk. 24:51). Menjadi nyata bahwa sorga itu pertama-tama bukan satu lokasi tertentu. Sorga adalah tempat di mana Allah ada (Kisah 7:48-49). Allah ternyata ada di manamana. Jadi di mana Allah ada di situ sorga. Sorga menunjukkan pada kehadiran Allah. Kalau begitu, di mana sebenarnya letak sorga itu? Apakah dia ada di atas kita? Ungkapan “alam atas” yang sering kita bayangkan tentang letaknya sorga, bukan pertama-tama sebuah pengertian ruang atau geografis dan fisik. “Atas” yang menunjuk kepada sorga menegaskan tentang suasana atau atmosfir kehidupan yang berbeda dengan apa yang kita alami di bumi. Apa yang terjadi di “atas” (sorga) lebih baik bahkan sempurn dari yang kita alami di bumi. Sorga menunjuk pada suasana di mana kehendak dan kuasa Allah berlaku secara total dan utuh. Tidak ada satu pun sudut atau ruangan di sorga yang bertentangan dengan kehendak Allah. Semua yang bertentangan dengan dan memberontak melawan kehendak Allah diusir dari sorga. Bandingkan iblis yang dihalau keluar dari sorga (Luk. 10:18). Jadi betatapun Alkitab selalu menunjuk ke “atas” kalau berbicara tentang sorga (tempat kediaman Allah), tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa Allah hanya ada di atas. Alkitab juga mengatakan bahwa Allah juga ada di bumi, bahkan juga di bawah bumi. Bandingkan misalnya cerita nabi Yunus, terutama doa yang dia 208
ucapkan dari dasar samudera. “Di dasar gunung-gunung, Aku tenggelam ke dasar bumi... ketika itulah engkau naikkan nyawaku dari dalam liang kubur” (Yunus 2:6). Itu alasannya kita tidak bisa mengindetikkan kata “atas” sebagai sebuah pengertian ruang atau geografis dan fisika. Ia lebih menunjuk pada pengertian suasana hidup dalam kehadiran dan keselamatan Allah. Nico Syukur Dister mengatakan: “Segala ketentuan konkret mengenai sorga sebagai tempat kediaman Allah harus dipandang sebagai bahasa kiasan. Pokok yang mau diungkapkan dengan kiasan itu ialah Allah dan kesatuan denganNya.”235 Kehidupan sorgawi digambarkan sebagai yang berbeda dengan apa yang ada di bumi. Ada beberapa gambaran yang kita temukan dalam Alkitab. Pertama, di sorga tidak ada lagi perkawinan (Mt. 22:30, Mk. 12:25), sebab di sana orang tidak lagi akan melahirkan dan meninggal. Kedua, di sorga, kita akan mengenakan tubuh yang baru, yang berbeda dari tubuh saat ini. Tubuh saat ini Paulus namakan tubuh alami. Sedangkan tubuh yang baru itu tubuh yang rohani (I Kor. 15:44 dst). Tetapi itu tidak berarti bahwa manusia tidak lagi hidup dalam relasi dan tidak saling mengenal satu sama lain. Tidak! Relasi tetap ada, hanya kita belum tahu relasi itu seperti apa. Kita tetap akan saling mengenal, sama seperti orang kaya mengenal Lazarus yang duduk di pangkuan Abraham.
Ketiga, di sorga tidak ada lagi duka dan air mata, Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika. Ekonomi Keselamatan . Yogyakarta. 2004. hlm. 595. 235
209
ratap-tangis, perkabungan dan penderitaan, sebab segala sesuatu yang lama itu sudah berlalu (Why. 21:4). Singkatnya, di sorga, manusia hidup bersama Allah dalam persekutuan yang penuh. Manusia berpartisipasi dalam kemuliaan Kristus.236 Di bumi orang percaya memang sudah hidup dalam persekutuan dengan Allah, tetapi masih melalui perantaraan. Allah sudah hadir bersama manusia, tetapi kehadiran itu nyata dalam rupa manusia. Allah belum hadir secara langsung kepada kita. Ia hadir bagi kita melalui perantaraan firman. Begitu juga kita bersekutu dengan Allah, tetapi persekutuan itu hanya melalui iman dan doa. Paulus bilang: Sekarang, kita mengenal Allah masih secara samar-sama seperti dalam cermin. Nanti, kita akan mengenal dan bertemu dia muka dengan muka (I Kor. 13:12). Di surga juga ada harta (Mt. 6:20), tetapi tidak sama dengan harta dunia. Alkitab juga menyinggung tentang upah di sorga yang akan diperoleh orang-orang kudus (Mt. 5:12, 6:1, Lu. 6:23). Tetapi tidak ada uraian detail mengenai bentuk, jenis dan rupa harta serta upah itu. Kalaupun itu disebut masih dalam bentuk yang abstrak bagi kita, yakni hidup yang kekal (Mt. 19:16, Mk. 10:17, 10:30, Lk. 10:25,18:18). Menurut gambaran kitab Yohanes sorga adalah rumah yang kekal bagi semua orang yang percaya kepada Yesus (Yoh. 14:2). Sistim administrasi di sorga tertata dengan sangat baik. Lukas 10:20 misalnya bicara tentang nama tiap orang percaya yang tercatat di sorga. Ini
236
210
Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika. hlm. 596.
menunjukan ada buku kehidupan yang mencatat semua perbuatan manusia seperti yang disebut dalam kitab apokaliptik (Why. 20:12). Kalau begitu pastilah di sorga ada petugas-petugas yang membantu Allah mengerjakan semua itu. Dalam hubungan ini Alkitab menunjuk pada makhluk sorgawi, yaitu malaikat. Mereka ini adalah ciptaan Allah, tetapi mereka tidak menikah (Mk. 12:25). Mereka adalah makhluk roh. Tugasnya ialah untuk melayani Allah, menjadi pembawa berita kepada manusia, dan membantu manusia yang berada dalam kesulitan. Adanya malaikat dihubungkan kenyataan bahwa Allah adalah raja yang mulia dan tidak bisa dihampiri atau transenden.237 Yesus juga mengakui adanya malaikat (Mk. 12:25, Mt. 26:53, Lk. 15:7). Tetapi hanya Allah saja yang harus disembah. Malaikat adalah ciptaan sama seperti manusia (Why. 22:8-9). Selain malaikat sebagai pelayan-pelayan Allah di sorga dengan tugas masing-masing, Alkitab masih menyebut lagi satu kategori makhluk yang selalu ada di hadapan takhta Allah. Mereka adalah orang-orang kudus dan para martir, yaitu orang-orang yang mati karena mempertahankan iman mereka pada Kristus. Kitab Wahyu beberapa kali menyebut hal itu (Why. 6:9; 20:4). Juga disebutkan tentang mereka yang meniggal dunia karena kesusahan yang besar dan yang mencuci jubah mereka menjadi putih dengan darah anak Domba (Why 7:14). Sorga disediakan bagi mereka yang telah Donald Guthrie, New Testament Theology. England: Inter-Varsity Press. hlm. 123 237
211
ditebus dari bumi. Dan hanya mereka yang namanya tercatat dalam kitab kehidupan Anak domba yang akan berdiri di hadapan takhta Allah (Why. 20:12) untuk menyanyikan pujian dan penyembahan (Why. 14:3). Jumlah mereka, seperti tertulis dalam Wahyu 7:4 adalah 144. 000 orang. Semuanya dari ke12 suku Israel. Apakah hanya itu saja jumlah orang-orang kudus yang layak berdiri di hadapan takhta Allah. Sudah pasti bahwa jumlah ini punya arti simbolis. Itu tidak bisa dipahami sebagai sebuah pengertian matematis. Alasan pertama, Wahyu adalah kitab apokaliptik. Banyak yang dikatakan di situ merupakan ungkapan-ungkapan simbolis. Artinya, data-data itu menunjuk pada sesuatu arti yang ada di balik apa yang kelihatan. Kedua, jumlah itu hanya dari suku-suku keturunan Israel saja. Gereja belum disebutkan. Yang pasti ialah sorga ada tempat yang disediakan bagi orang-orang tebusan, yakni mereka yang mengikuti Anak Domba dan menjauhkan diri dari berbagai kecemaran dan dosa (Why. 14:4-5). Bukankah anda juga pengikut Anak Domba itu? Bersiaplah untuk sukacita itu. Kata “neraka” muncul tujuh kali dalam Matius (5:22,29,30, 10:28, 18:9, 23:15, 23:33). Kitab Markus mencantumkan kata itu tiga kali (9:43,45,47), dan hanya satu kali dalam kitab Lukas (12:5). Semua ayat ini membawa kita pada kesimpulan bahwa neraka sebagai tempat bagi mereka yang hidup dalam pemberontakan terhadap Allah. 212
Sebagai tempat hidup tanpa Tuhan, neraka menjadi tempat penghukuman yang mengerikan. Yesus bicara tentang api yang tak terpadamkan di dalam neraka (Mk. 9:43). Jadi adalah lebih baik manusia masuk ke tempat itu dengan tubuh yang tidak lengkap, dari pada berada di sana dengan seluruh anggota tubuh lengkap. Api yang kekal itu dihubungkan dengan penghukuman yang kekal (Mt. 25:46). Neraka adalah
the eternal tragedy, the eternal human failure.238 Alkitab tidak memberikan petunjuk mengenai letak neraka: apakah ada di atas atau di bawah bumi. Kesan yang ditunjukkan Alkitab ialah neraka sebagai keterpisahan yang kekal dengan Allah.239 Inilah yang dimaksudkan dengan kematian kedua (Why. 20:14). Menurut Pengakuan Iman Rasuli neraka ada di bawah. Itu terjadi karena pengaruh kosmologi dunia sekitar Alkitab. Orang Yunani menggambarkan dunia sebagai yang terdiri dari tiga lapisan: atas, tengah dan bawah. Dunia atas sebagai tempat hidup para dewa, tengah sebagai tempat tinggal manusia, dan dunia bawah sebagai tempat iblis. Tidak adanya petunjuk dari Alkitab mengenai letak neraka, membawa kita pada kesimpulan bahwa neraka bukan pertama-tama sebuah gagasan mengenai tempat. Ia lebih menunjuk pada suasana kehidupan di mana manusia mengalami sisi gelap dari kasih Allah, Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 836. 239 Ladd, George E. A Theology of the New Testament. Revised Edition. Michigan: Grand Rapids. 1993. hlm. 839. 238
213
yakni keterasingan, kesendirian dan kengerian dalam kualitas yang mengerikan dan tak berujung. Jadi neraka bukan seperti yang biasa kita pahami, yakni tempat di mana iblis memerintah untuk selama-lamanya sebagai lawan dari sorga. Jika demikian berarti bahwa neraka sebenarnya adalah sorga bagi Iblis dan para pengikutnya. Betatapun terbuang dari Allah, para pengikut Iblis toh akhirnya juga memperoleh perlindungan dari sang pemimpin, yakni Iblis. Tidak! Neraka bukanlah tempat Iblis memerintah untuk selama-lamanya. Ia adalah sisi gelap dari kasih Allah.240 Iblis dan para pengikutnya dilempar ke neraka bukan untuk mengorganisir kehidupan dalam wujud sebuah kerajaan baru, melainkan untuk dilupakan selamalamanya.
Keberatan terhadap Neraka Keberadaan neraka sebagai destinasi akhir dari kehidupan ciptaan dalam arti negatif tidak sepenuhnya disambut gembira oleh beberapa pemikir Kristen. Adanya neraka sebagai tempat keterasingan yang kekal dari hadirat Allah mereka tanggapi sebagai yang memperlihatkan kegagalan karya keselamatan Allah. Di depan kami tegaskan bahwa tujuan Allah dalam karya penciptaan adalah menjadi diriNya sekutu bagi ciptaan dan menarik ciptaan ambil bagian dalam
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 839. 240
214
persekutuan dengan diriNya. Kalau akhirnya ada sebagian betapapun dalam jumlah yang sedikit terusir dari hadirat Allah selama-lamanya, hal ini harus dilihat sebagai tanda kegagalan Allah.241 Selain itu adanya neraka juga bertentangan dengan hakikat Allah yang adalah KASIH, kasih yang menutupi segala sesuatu.242 Magis Suseno merumuskan protes ini dengan sangat keras. Ia mengatakan bahwa ada neraka sebagai sebagai eternal torture chamber, kamar penyiksaan yang kekal “merupakan penghinaan terhadap Allah.” Selanjutnya dia berkata: “Menggambarkan Allah secara aktif-positif menyebabkan siksaan mendekati hojatan. Apalagi siksaan untuk selama-lamanya. Manusia yang buruk pun tidak menginginkan bahwa musuhnya, atau seorang penjahat luar biasa, disiksa untuk selamalamanya. Apalagi hal itu dikaitkan dengan Allah.243 Untuk menjawab problema ini muncul ajaran apokatastasis, yang secara harafiah berarti pemulihan total. Pada akhirnya semua manusia, tanpa kecuali akan ambil bagian dalam persekutuan yang kekal dengan Allah. Origenes (185-254) mengatakan bahwa kuasa kebangkitan Yesus Kristus tidak akan dapat dikalahkan oleh perlawanan, juga dari Iblis. Bahkan Iblis pun pada akhirnya akan disambut kembali dalam kemuliaan
Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika. hlm. 597. Ebenhaizer I. Nuban Timo. Alam Belum Berhenti Berbicara. Maumere: Penerbit Ledalero. 2010. hlm. 164. 243 Franz Magnis Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. 2006. hlm. 220. 241 242
215
sorgawi.244 Jurgen Moltmann menegaskan bahwa iblis sekalipun tidak di luar kasih yang menyelamatkan dari Allah.245 Neraka memang merupakan tempat penghukuman, tetapi tidak bersifat pembinasaan melainkan pemulihan. Allah menghukum dalam rangka membawa mereka yang dihukum itu kepada keselamatan. Ajaran apokatastasis memang ditolak oleh gereja dalam konsili Latern IV tahun 1215. Di situ ditegaskan bahwa neraka bersifat kekal. Meskipun begitu apokatastasis memberi tantangan serius bagi pemahaman gereja akan kasih Allah. Alkitab menunjukkan bahwa Allah sendiri mengajarkan manusia untuk mengampuni 70x7x (Mt. 18:22), untuk manusia mengasihi musuh dan mendoakan para penganiaya (Mt. 5:44). Bagaimana mungkin Allah yang mengajarkan hal ini bertindak lain? Dalam dogma tentang Allah kami tegaskan bahwa Allah tidak berubah dalam kasih kepada ciptaan. Kasih bernyala-nyala untuk membawa manusia dalam persekutuan dengan diriNya. Kasih yang bernyala-nyala itu muncul dalam bentuk cemburu yakni semangat yang tak terbendung oleh apapun untuk menyelesaikan semua bentuk upaya menjauhkan ciptaan dari diriNya. Dilihat
dari
sudut
pandang
ini
ajaran
apokatastasi memanggil gereja untuk mewaspadai Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 827. 245 J. Moltmann. God in Creation. hlm. 169. 244
216
ajarannya tentang neraka. Kalau ada neraka, itu harus lebih dipahami sebagai tindakan oleh yang bersangkutan sendiri.246 Manusia itu sendiri yang tidak mau menerima pengampunan dan undangan Allah untuk hidup sebagai sekutu Allah.247 Apalagi kalau diperhatikan, dalam pengakuan imannya gereja sama sekali tidak berkata apa-apa tentang neraka. Yang menjadi pokok pengakuan gereja tentang hal-hal terakhir hanyalah: pengampunan dosa, kebangkitan daging dan hidup yang kekal. Allah mengulurkan tangannya untuk memberikan pengampunan dosa, kebangkitan daging dan hidup yang kekal bagi manusia. Tangan Allah yang terulur itu tidak pernah ditarik kembali. Kegagalan manusia untuk menjawab: YA kepada Allah adalah hal yang real. Manusia dari dirinya sendiri tidak bisa dan tidak mau menjadi sekutu Allah. Tetapi kematian dan kebangkitan Kristus serta pencurahan Roh Kudus merupakan sebuah sinyal bahwa jawaban YA dari manusia kepada Allah adalah sebuah keniscayaan. Untuk hal yang satu ini masih merupakan rahasia, misteri. Hanya Allah sendiri yang tahu tujuan akhir dari mereka yang hidup dalam permusuhan denganNya.
246
Ebenhaizer I. Nuban Timo. Alam Belum Berhenti
Berbicara. hlm. 164. 247
Franz Magnis Suseno. Menalar Tuhan. hlm. 220.
217
Protologi dan Eskatologi Eskatologi sebagaimana sudah kami katakan bukan pertama-tama menyangkut hal-hal terakhir, tetapi menyangkut telos, tujuan dari karya-karya Allah. Kami juga sudah tunjukkan bahwa eskatologi bukan satu bab khusus dari dogmatika, juga tempatnya bukan di akhir dari karya dogmatika. Eskatologi hadir di setiap bab dan mewarnai setiap pokok percakapan tentang karya Allah. Itu berarti eskatologi berhubungan erat dengan penciptaan, pendamaian dan penyelamatan. Semua karya Allah dalam sejarah mengarah pada satu tujuan. Tujuan itu kami namakan perjanjian, yakni moment di mana Allah menampakan diriNya secara penuh sebagai sekutu manusia dan manusia ditarik masuk untuk menikmati secara penuh persekutuan dengan Allah dalam status sebagai sekutu yang kekal. Penciptaan adalah protologi sedangkan perjanjian merupakan eskatologi. Jelasnya, penciptaan, pendamaian dan penyelamatan mengarah kepada peristiwa perjanjian, sedangkan perjanjian berdasar pada penciptaan, pendamaian dan penyelamatan. Jadi adalah keliru untuk mengatakan bahwa eskatologi meniadakan atau sama sekali berbeda dari protologi.248 Tidak! Tujuan sejarah yang Tuhan Allah tunjukan pada saat parousia
248
340.
218
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
berkorespondensi dengan apa yang Allah sudah lakukan dalam sejarah. Tetapi juga adalah keliru untuk mengatakan bahwa eskatologi merupakan sekedar kelanjutan dari protologi. Yang benar ialah eskatologi lebih dari protologi. Ada hal-hal lebih besar lagi, yang sekarang belum terbayangkan yang akan Allah tunjukan di penghujung sejarah. Ia juga sekaligus merupakan penggenapan dari keputusan kekal Allah yang diambil di dalam kekekalan, atau yang kami sebut sebagai primal
history.249 Dua kekeliruan ini sudah kami tunjukan dengan menegaskan tentang adanya kontinutas sekaligus diskontinutas dari sejarah, manakala tiba hari yang besar itu, yakni saat di mana Allah menyingkapkan secara penuh tujuan dari karya-karyanya. Kami katakan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi yang baru, juga tidak membentuk manusia untuk kali yang kedua. Yang Allah buat ialah mentransformasi ciptaan yang lama menjadi ciptaan yang baru.
Eskatologi dan Primal History Eskatologi merupakan penggenapan dari keputusan kekal Allah yang diambil di dalam primal history. Apa itu primal history? Berkali-kali ungkapan J.M. van „t Kruis. De Geest als missionaire beweging. Een onderzoek naar de functie en toerekendheid van gereformeerde theologie in de huidige missiologische discussie. Zoetemeer. 1998. hlm. 141. 249
219
ini kami pakai. Barth menamakan primal history, the beginning of God‟s ways and works, awal mula dari segala jalan Allah.250 Jadi primal history menunjuk kepada waktu sebelum ada langit dan bumi. Lebih tepat primal history menunjuk pada keberadaan Allah di dalam kekekalan. Berkali-kali di dalam buku ini kami katakan bahwa semua yang Allah kerjakan dalam waktu, mulai dari penciptaan sampai dengan penyelamatan adalah aktualisasi atau perwujudan dari keputusan yang Allah ambil dalam primal history. Ada tiga implikasi konkret dari penegasan ini.
Pertama, karya-karya Allah dalam sejarah bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Penciptaan, pendamaian dan penyelamatan bukan pekerjaan Allah karena dipaksa oleh sesuatu kuasa di luar diriNya. Tidak! Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan itu atas dasar keputusanNya yang bebas. Sebelum berkarya, Allah merencanakan karya itu secara matang. Itu sebabnya hasil dari karya itu, seperti kata Alkitab sungguh amat baik adanya (Kej. 1:31). Kedua, Allah adalah pribadi yang bekerja. Ia tidak hanya berkerja dalam sejarah. Sebelum sejarah ada Allah sudah bekerja dan setelah sejarah berakhir Allah juga terus bekerja. Allah karena itu bukan deus otiosus. Mazmur 121:3-4 menegaskan itu dalam kalimat bahwa penjaga Israel tidak terlelap dan tidak tertidur. Ia 250
201.
220
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
menjaga keluar masuk ciptaanNya dari sekarang sampai selama-lamanya.
Ketiga, ada keterkaitan erat antara apa yang Allah lakukan di dalam sejarah dan di luar (sebelum dan setelah) sejarah. Sejarah merupakan aktualisasi dari apa yang terjadi dalam kekekalan sedangkan kekekalan adalah dasar dan tujuan dari semua yang terjadi dalam sejarah. Allah karena itu setia pada diriNya (2 Tim. 2:13). Kesetiaan Allah pada apa yang diputuskanNya di primal history menjadi jaminan bahwa barang siapa yang mempertaruhkan hidupnya kepada Allah ia tidak akan dipermalukan. Di primal history Allah bekerja. Ia menetapkan keputusan yang tidak akan Dia ubah. Isi ringkas dari keputusan itu adalah menjadikan manusia sebagai sekutuNya, dan menjadikan diriNya sebagai sekutu manusia. Seluruh karya Allah di dalam sejarah adalah untuk mewujudkan keputusan itu. Perwujudan yang sempurnanya terjadi pada parousia. Uraian detail mengenai isi keputusan kekal Allah di primal history sudah kami buat dalam buku sebelumnya. Bagi yang berminat mengetahui hal itu dapat membacanya di sana.251
Eben Nuban Timo. Pemberita Firman Pencinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006. Khusus bab 251
mengenai predestinasi.
221
Arti Etis Dogma Eskatologi Eskatologi menarik perhatian kita pada tujuan dari karya-karya Allah. Tujuan itu baru akan dinyatakan secara definitif dan penuh pada peristiwa parousia, yakni pada kedatangan kembali Yesus Kristus. Yesus Kristus yang menjadi figur sentral pada peristiwa parousia ternyata bukan tokoh yang sama sekali baru. Ia yang akan datang kembali sudah datang dalam peristiwa paskah dan sedang datang dalam Roh sejak peristiwa Pentakosta. Karena itu tujuan dari karya-karya Allah bukan merupakan sebuah misteri yang baru akan disingkapkan pada parousia. Tujuan itu sudah mulai dinyatakan juga pada masa kini. Dengan demikian apa yang akan terjadi di masa depan sudah mulai diantisipasi dalam peristiwa paskah dan pentakosta. Dalam arti ini, paskah dan pentakosta merupakan arrabon, jaminan atau uang muka dari apa yang akan terjadi pada parousia.252 Dogma eskatologi menempatkan manusia dalam sebuah ketegangan antara sudah dan belum. Hal-hal terakhir itu sudah mulai dinyatakan tetapi belum selesai dituntaskan. Manusia masih terus berharap penyelesaian akhirnya dengan berpijak pada hal-hal yang sudah diwujudkan Allah. Dengan demikian respons yang patut dari manusia dalam ketegangan antara yang sudah dan belum ini tidak lain adalah hidup dalam pengharapan. 252
342.
222
E.I. Nuban Timo. The Eschatological Dimension. hlm.
Kasih, iman dan pengharapan adalah tiga sikap hidup yang patut manusia jalani sebagai responsnya kepada Allah yang berkarya demi keselamatannya. Kasih, iman dan pengharapan sebenarnya bukan tiga sikap hidup melainkan tiga aspek dari satu sikap hidup. Dalam dogma penciptaan kami katakan bahwa respons manusia adalah hidup dalam kasih terhadap dunia dan kemanusiaan baru yang diantisipasi Allah dalam karya itu. Dalam dogma pendamaian dan penyelamatan kami tegaskan tentang iman sebagai respons manusia terhadap karya pendamaian dan penyelamatan Allah. Iman artinya manusia menjalani hidupnya dalam kesadaran bahwa dalam segala hal ia selalu berada dalam perjumpaan dengan Kristus. Sekarang, dalam dogma ekskatologi respons yang patut dari manusia adalah hidup dalam pengharapan. Pengharapan kata Barth adalah tujuan dari kasih dan iman.253 Manusia dipanggil mengasihi Allah dan sesama, juga untuk hidup dalam perjumpaan yang mendatangkan keselamatan dengan Allah dan sesama karena berharap akan dunia dan kemanusiaan baru yang akan diwujudkan secara sempurna di parousia. Inilah isi dari penugasan (vocation)254 selama masa antara kenaikan ke sorga sampai dengan kedatangan kembali Yesus Kristus. Manusia mempraktekkan kasih dan iman karena berharap akan perealisasian akhir dari
Karl Barth. Church Dogmatics. IV/3. hlm. 913. Perhatikan pembahasan mengenai vocation dalam buku kedua dari trilogi ini. 253 254
223
kemanusiaan baru yang sudah mulai nyata dalam paskah. Dalam arti ini pengharapan dapat kita umpamakan sebagai minyak yang menjaga agar pelita kasih dan iman kita tetap bernyala. Kasih kita kepada sesama dan karya-karya iman kita saat ini memang tidak sempurna. Ada juga banyak hambatan, tantangan dan ancaman yang mencoba untuk memperlemah kasih dan iman akan dunia dan kemanusiaan baru. Tetapi karena kita tahu bahwa kasih dan iman kita tidak sia-sia melainkan akan ditransformasi oleh Allah untuk layak dipersembahkan ke hadapan takhta Allah (Why. 21:24,26) maka kita tidak boleh undur dari kasih dan iman itu. Demikianlah dogma tentang penciptaan, pendamaian dan penyelamatan sebagaimana yang sudah kami uraikan secara panjang lebar dalam buku trilogi ini menegaskan kepada kita untuk tetap hidup dalam kasih, iman dan pengharapan akan Allah. Ia telah memulai karya itu tanpa persetujuan manusia, dengan tidak memperhitungkan kontribusi apapun dari manusia. Tetapi Ia tidak ingin dan tidak pernah mau menyelesaikan karya-karya itu seorang diri, tanpa partisipasi manusia. Ia bertindak untuk membuat manusia ambil bagian aktif dalam penyelesaian akhir dari karya-karya itu. Ia juga akan memperhitungkan karya-karya manusia pada saat penyelesaian akhir itu.
224
Catatan Penutup Pekerjaan yang melelahkan tetapi sekaligus menimbulkan gairah. Inilah pengalaman kami selama menulis buku ini. Saat kami sampai pada bagian-bagian yang krusial dalam pembahasan (atribut-atribut dan jenis kelamin Allah, konsep kenosis dalam penciptaan, korban berdarah, pandangan tentang kematian dan subsub bagiannya) kami merasa kehabisan energi dan enggan melanjutkan pekerjaan. Gagasan penuh di kepala kami, tetapi kami bingung mencari data pendukung dari karya-karya para pakar. Syukur kepada Allah, pada saat kami merasa tidak berdaya meneruskan pembahasan, ada saja kegairahan baru yang kami temukan. Dengan tidak disangka-sangka kami menemukan buku-buku atau artikel-artikel dalam jurnal yang membangkitkan kembali semangat. Semuanya datang secara mengejutkan, misalnya waktu menemani anak membeli buku di Gramedia, atau kiriman paket buku dari sejumlah teman yang ketika diperiksa ternyata membahas gagasan yang sedang menjadi pergumulan kami. Atas dasar itu kami berkeyakinan bahwa buku ini sebenarnya merupakan bagian dari wahyu yang kami terima. Sebagai wahyu, ia merupakan pemenuhan atau perluasan dari sesuatu ide, gagasan, pengetahuan yang 225
kami pikirkan. Kami sungguh menaikan syukur kepada Allah Tritunggal, yang menurut kami ikut bekerja dalam seluruh proses penyelesaian buku ini. Seakanakan Allah ikut bekerja agar buku ini diselesaikan. Allah ikut bersejarah dengan penulis dalam merampungkan buku ini. Betapapun begitu, buku ini tetap berada dalam tanggung jawab kami. Untuk itu perkenankan kami mengatakan beberapa hal lagi sebagai penjelasan mengenai isi keseluruhan buku ini.
Pertama, buku ini lebih merupakan sebuah refleksi teologi yang bercorak elevasi, bukan restorasi. Pola berteologi yang kami kembangkan di sini tidak melihat ke belakang kepada apa yang disebut proton, melainkan menatap ke depan kepada eskaton. Kami membicarakan karya-karya Allah secara teleologi. Itu sebabnya kami melihat penciptaan sebagai yang berkarakter belum selesai. Allah terus memproses ciptaan itu agar berpadanan dengan tujuannya yang akan disingkapkan pada parousia. Karya pendamaian dan penyelamatan Allah bukan sekedar memperbaiki kerusakan pada ciptaannya, melainkan juga untuk mentransformasi ciptaan itu. Inilah yang corak elevasi teologi. Teologi yang bercorak restorasi melihat penciptaan sebagai hal yang sudah selesai. Kalau Allah masih terus bekerja pasca pencipataan itu tidak lain untuk melakukan restorasi, reparasi atau memformat ulang kerusakan atau penyimpangan dalam ciptaannya yang disebabkan oleh dosa. Dalam teologi yang bercorak restorasi, eskhatologi identik dengan protologi. 226
Hal kedua, kami tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada pembaca hal-hal yang patut dipercayai dan yang patut ditolak. Apa yang kami buat adalah menjelaskan ulang kepada pembaca masa kini isi kepercayaan gereja yang dirumuskan pada masa lalu. Dalam upaya ini di beberapa tempat kami melakukan manufer-manufer yang mengganggu, seperti mencari route yang baru atau mengkonstruksi gambaran alternatif untuk membuat warisan iman gereja itu berbicara secara lebih bermakna bagi warga gereja pada masa kini, tanpa merubah substansi pemberitaan. Akibat dari manufer-manufer ini perubahan arti dari rumusan-rumusan iman yang diterima secara turun-temurun tidak terhindarkan. Pastilah pembaca bukan hanya terganggu melainkan menolak perubahan arti itu. Predikat nabi palsu dan pembawa ajaran sesat sudah diberikan kepada kami oleh sekelompok orang di Kupang mencermati fragmen-fragmen perenungan dogmatis yang kami munculkan dalam surat kabar lokal. Tetapi menurut kami perubahan arti itu perlu, mengingat konteks di mana rumusan-rumusan iman dihayati sudah mengalami perubahan. Tentu saja kami tidak bermaksud bahwa arti baru itu harus diterima sebagai pengganti dari arti rumusan iman yang mentradisi. Arti yang kami ajukan ini hendaklah dilihat sebagai alternatif demi menujukkan bahwa karya-karya Allah tidak pernah akan habis dipahami maknanya dan diselami artinya. “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23). 227
Hal ketiga dan terakhir dari buku ini berhubungan dengan fakta yang dicatat Jongeneel berikut ini.255 Dogmatika adalah satu fungsi dari iman Kristen dan dari gereja Kristen. Di bagian mana saja dari belahan bumi di mana Injil Kristus diberitakan dan gereja ditemukan di situ dogmatika harus juga dikerjakan. Dogmatika dikerjakan di mana ada gereja dan ada pemberitaan Injil Kristus. Tetapi tidak ada yang namanya dogmatika Belanda, dogmatika Swiss, dogmatika India dan dogmatika Indonesia. Yang ada ialah dogmatika di Belanda, di Swiss, di India dan di Indonesia. Dogmatika di Belanda relevan untuk Swiss, dogmatik Indonesia cocok juga untuk India, dst., karena dogmatika adalah satu fungsi dari gereja dan iman Kristen yang bersifat lintas budaya dan negara. Batasbatas negara, budaya dan nasionalitas tidak berlaku bagi dogmatika. Pernyataan tadi hendak menekankan kebenaran kembar dari sebuah karya dogmatikam yakni ia bersifat ekumenis (lintas budaya) sekaligus juga kontekstual. Domatika di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dogmatika di bagian lain dari bumi ini, sekaligus juga harus tetap menjaga keterikatannya atau kesatuannya dengan sejarah dan pergumulan masyarakat di Indonesia.
255
J.A.B. Jongeneel. “Christelijke Dogmatiek in Indonesie.” Dalam: Kerk en Theologie. 23e Jaargang. No.3 Juli 1972. „S-Gravenhage: Boekencentrum. hlm. 209.
228
Buku ini merupakan sebuah percobaan untuk mewujudkan ketegangan rangkap yang melekat dalam setiap karya dogmatika. Itu sebabnya dalam setiap halaman yang sudah dilewati tak henti-hentinya kami mengganggu kenikmatan pembaca dengan berbagai rujukan yang diambil dari karya para pemikir baik di dalam maupun di luar Indonesia. Berganda terima kasih kami sampaikan kepada Pdt. Profesor Dr. John A. Titaley (Rektor UKSW), Pdt. Prof. Dr. Solarso Sopater (Ketua Umum PGI tahun 1989-1999) dan Pdt. Dr. Anderias. A. Yewangoe (guru dogmatikaku dan Ketua Umum PGI 2005-2014) dan Pdt. Dr. Thobias Messakh (Ketua Sinode GMIT 19821991 & 1999-2003) yang membaca naskah buku ini dan memberikan catatan-catatan yang membuat buku ini layak dipublikasikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada anak rohani kami: Yafet Ranboki yang membaca kembali seluruh naskah ini sambil membuat koreksi tata bahasa. Dia juga yang terus bertanya kapan buku ini selesai. Bahkan sebelum selesai ditulis, dia sudah mempromosikan kepada banyak rekannya. Kepada Penerbit Satya Wacana yang bersedia mempublikasikan karya ini, penulis juga sampaikan berganda terima kasih.
229