PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI DAUN JATI DENGAN SAGU AREN SEBAGAI PENGIKAT M. Yusuf Thoha, Diana Ekawati Fajrin Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk menganalisa kemungkinan pemanfaatan daun jati bila dikonversi menjadi briket arang. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu karbonisasi 300oC, 350oC, 400oC dan banyaknya substitusi sagu pada karbon 5%, 8%, 10%, 12%, 15%. Daun jati mengalami perlakuan pengeringan, karbonisasi, briketisasi dan analisa proksimat. Hasil analisa penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi substitusi binder maka kadar air semakin tinggi, kadar abu semakin tinggi, kadar volatile matter semakin tinggi, fixed carbon semakin rendah dan nilai kalor semakin rendah. Dan semakin tinggi suhu karbonisasi maka nilai konversi biomassa menjadi arang semakin rendah, kadar abu semakin rendah, kadar volatile matter semakin rendah, dan kadar fixed carbon semakin tinggi. Kata kunci: Biomassa, Briketisasi, Analisa Proksimat This research is a former research to analyze the possibility of converting teak leaves into briquettes. The variables that been used in this research are the carbonization temperatures 300oC, 350oC, 400oC and the quantity of the binder substituent that have been used 5%, 8%, 10%, 12%, 15%. The teak leaves is dried, carbonized, briquetted, and have been analyzed with proximate analysis. The result of the analysis show that the more quantity of binding material been used the higher percentage of ash, water and volatile matter. And the lower percentage of fixed carbon and heating value. The result also show that the higher carbonization temperature the lower percentage of converted carbon, ash, volatile matter and the higher percentage of fixed carbon. Keywords: Biomass, Briquetting, Proximate Analysis I.
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil seperti minyak dan gas bumi terus meningkat. Kemajuan teknologi menyebabkan pemakaian bahan bakar fosil tersebut menjadi suatu hal yang utama sedangkan sumber bahan bakar fosil itu sendiri terus berkurang karena sifatnya yang tidak mudah terbentuk. Di sisi lain, kesadaran manusia akan kondisi lingkungan terus meningkat sehingga muncul kekhawatiran akan peningkatan laju perusakan dan pencemaran lingkungan terutama polusi udara yang diakibatkan oleh eksplorasi dan pembakaran bahan bakar tersebut. Oleh karena
34
itulah muncul sebuah pemikiran mengenai penggunaan energi alternatif yang bersih. Beberapa jenis sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan antara lain : energi matahari, energi angin, energi panas bumi, energi panas laut dan energi biomassa. Diantara sumbersumber energi alternatif tersebut, energi biomassa merupakan sumber energi alternatif yang perlu mendapat prioritas dalam pengembangannya dibandingkan dengan sumber energi yang lain. Biomassa merupakan bahan alami yang biasanya dianggap sebagai sampah dan sering dimusnahkan dengan cara dibakar. Biomassa tersebut dapat diolah menjadi bioarang, yang merupakan bahan
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
bakar dengan tingkat nilai kalor yang cukup tinggi dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu sumber energi biomassa mempunyai keuntungan pemanfaatan (Syafii, 2003) antara lain : 1. Sumber energi ini dapat dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang renewable resources. 2. Sumber energi ini relatif tidak mengandung unsur sulfur sehingga tidak menyebabkan polusi udara sebagaimana yang terjadi pada bahan bakar fosil. 3. Pemanfaatan energi biomassa juga meningkatkan efisiensi pemanfaatan limbah pertanian. Salah satu biomassa yang dapat dikonversi menjadi bioarang adalah daun jati. Nilai ekonomi yang dimiliki pohon jati membuat pohon tersebut banyak ditanam masyarakat. Jati (Tectona grandis L.F) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagai mekanisme pengendalian diri terhadap keadaan defisiensi air selama musim kemarau dan tergolong jenis kayu berdaun lebar dengan bentuk batang umumnya bulat dan lurus dengan percabangan yang tinggi. Dengan sifatnya yang mudah menggugurkann daunnya tersebut, daun jati menjadi sumber biomassa yang cukup melimpah keberadaannya apalagi di daerah yang memiliki hutan-hutan jati yang ditanam khusus untuk budidaya. II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Daun Jati (Tectona Grandis) Sebagai Sumber Biomassa Biomassa adalah sumber energi yang berasal dari tumbuhan atau bagian-bagiannya seperti bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan. Biomassa adalah campuran material organik yang kompleks, biasanya terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan beberapa mineral lain yang jumlahnya sedikit seperti sodium, fosfor, kalsium dan besi. Komponen utama biomassa adalah karbohidrat (berat kering kira-kira sampai 75 %), lignin (sampai dengan 25 %) dimana dalam beberapa tanaman komposisinya bisa berbedabeda. Keuntungan penggunaan biomassa untuk sumber bahan bakar adalah keberlanjutannya, diperkirakan 140 juta ton metrik biomassa digunakan per tahunnya. Keterbatasan dari biomassa adalah banyaknya kendala dalam
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
penggunaan untuk bahan bakar kendaraan bermobil. Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau dengan daun yang umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya. Daun jati merupakan salah satu jenis biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Namun, dedaunan seperti daun jati ini memiliki daya tahan bakar/residence time yang amat singkat sehingga harus dikonversi menjadi bahan yang memiliki waktu bakar yang lebih lama. Proses pembriketan adalah salah satu cara untuk memanfaatkan biomassa jenis dedaunan. Daun jati segar memiliki kadar air sebesar 8%, kadar sari larut etanol sebesar 8,1% dan kadar sari larut air sebesar 6,2%. Kadar abu total sebesar 5,1%, kadar abu larut air sebesar 1,3% dan kadar abu tidak larut asam sebesar 3,2%. Penapisan fitokimia daun jati menunjukkan daun ini mengandung flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat, kuinon dan steroid/triterpenoid. Tabel 2.1 Klasifikasi ilmiah pohon jati Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona Spesies : T. grandis Sumber : www.wikipedia.org 2.2
Teknologi Pembriketan Briket arang merupakan bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang mempunyai bentuk tertentu. Proses pembriketan adalah proses pengolahan karbon hasil karbonisasi yang mengalami perlakuan penggerusan, pencampuran bahan baku,
35
pencetakan dan pengeringan pada kondisi tertentu, sehingga diperoleh briket yang mempunyai bentuk, ukuran fisik, dan sifat kimia tertentu. Tujuan dari pembriketan adalah untuk meningkatkan kualitas biomassa sebagai bahan bakar, mempermudah penanganan dan transportasi serta mengurangi kehilangan bahan dalam bentuk debu pada proses pengangkutan. Karbonisasi/pengarangan merupakan proses pirolisa yang ekstrim dimana terjadi pembakaran tidak sempurna yang dilakukan dengan oksigen yang terbatas dan hanya meninggalkan karbon sebagai residu. Secara umum tahap-tahap proses pembriketan adalah : 1. Penggerusan/crushing adalah menggerus bahan baku briket untuk mendapatkan ukuran butir tertentu. 2. Pencampuran/mixing adalah mencampur bahan baku briket dengan binder pada komposisi tertentu untuk mendapatkan adonan yang homogen. 3. Pencetakan adalah mencetak adonan briket untuk mendapatkan bentuk tertentu sesuaikan yang diinginkan. 4. Pengeringan adalah proses mengeringkan briket dengan menggunakan udara panas pada temperatur tertentu untuk menurunkan kandungan air briket. 5. Pengepakan/packaging adalah pengemasan produk briket sesuai dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang telah ditentukan. Beberapa tipe/bentuk briket yang umum dikenal, antara lain : bantal (oval), sarang tawon (honey comb), silinder (cylinder), telur (egg), dan lain-lain. Adapun keuntungan dari briket arang adalah sebagai berikut : 1. Ukuran dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 2. Porositas dapat diatur untuk memudahkan pembakaran. 3. Mudah dipakai sebagai bahan bakar. 2.3
Zat Pengikat/Binder Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses pembuatan briket maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang kompak. Berdasarkan fungsi dari
pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan pengikat dapat dibagi sebagai berikut : 1) Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket. Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah sebagai berikut: • Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikokas atau batu bara. • Mudah terbakar dan tidak berasap. • Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya. • Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya. 2) Berdasarkan jenis Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan briket, yaitu : • Pengikat anorganik Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Pengikat anorganik ini mempunyai kelemahan yaitu adanya tambahan abu yang berasal dari bahan pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran dan menurunkan nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara lain semen, lempung, natrium silikat. • Pengikat organik Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari pengikat organik diantaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin. Sagu aren adalah salah satu pengikat organik yang memiliki kadar karbohidrat cukup tinggi. Sagu aren merupakan salah satu sumber karbohidrat yang ketersediaannya cukup melimpah khususnya didaerah yang memiliki usaha perkebunan aren. Sebagai sumber karbohidrat, sagu aren juga memiliki pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin yang menjadikannya mampu mengikat karbon-karbon dalam briket arang seperti halnya tapioka. Tabel berikut menunjukkan komposisi proksimat tepung tapioka yang terbuat dari pati singkong dan sagu yang terbuat dari sari pohon aren.
Tabel 2.2. Komposisi proksimat tepung tapioka dan tepung sagu
36
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Bahan
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar abu (%)
Kadar karbohidrat (%)
Tapioka Sagu
13,12 17,82
0,13 0,11
0,04 0,04
0,162 0,258
86,548 81,772
Sumber : Yongki Kastanya Luthana, 2009 2.4
Analisa Proksimat Briket Analisa in selain bertujuan untuk menentukan kandungan moisture (M), ash (A), volatile matter (VM), fixed carbon (FC) juga kadang-kadang ditambahkan untuk menentukan kandungan sulfur dan nilai panas dari briket.
1. Moisture/kandungan air Moisture yang dianalisa merupakan kandungan free moisture dari briket. Free moisture dapat hilang dengan penguapan misalnya dengan air drying. Pengurangan berat briket setelah dipanaskan merupakan free moisture dari briket tersebut. Air yang terkandung dalam bahan bakar padat terdiri dari: • kandungan air internal atau air kristal, yaitu air yang terikat secara kimiawi. • kandungan air eksternal atau air mekanikal, yaitu air yang menempel pada permukaan bahan dan terikat secara fisis atau mekanis. Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena: • menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk penguapan, • menurunkan titik nyala, • memperlambat proses pembakaran, dan menambah volume gas buang. Keadaan tersebut mengakibatkan: • pengurangan efisiensi ketel uap ataupun efisiensi motor bakar, • penambahan biaya perawatan ketel, • menambah biaya transportasi, merusak saluran bahan bakar cair (“fuel line”) • dan ruang bakar. 2. Kandungan abu
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Abu yang terkandung dalam bahan bakar padat adalah mineral yang tak dapat terbakar yang tertinggal setelah proses pembakaran dan perubahan-perubahan atau reaksi-reaksi yang menyertainya selesai. Abu berperan menurunkan mutu bahan bakar karena menurunkan nilai kalor. Semua briket mempunyai kandungan zat anorganik yang dapat ditentukan jumlahnya sebagai berat yang tinggal apabila briket dibakar secara sempurna. Zat yang tinggal ini disebut abu. Abu briket berasal dari clay, pasir dan bermacammacam zat mineral lainnya. Briket dengan kandungan abu yang tinggi sangat tidak menguntungkan karena akan membentuk kerak. Di dalam dapur atau dalam generator gas, abu dapat meleleh pada suhu tinggi, menghasilkan massa yang disebut “slag”. Sifat kandungan abu dapat ditandai oleh perubahan-perubahan yang terjadi bila suhunya naik. Kalau suhu diberi lambang t, maka: t 1 = suhu pada saat abu mulai deformasi, t 2 = suhu pada saat abu mulai lunak, t 3 = suhu pada saat abu mulai mencair. Kalau abu meleleh pada suhu t 3 < 1300oC, maka abu bertitik leleh rendah. Kalau abu meleleh pada suhu 1300oC 1425o C; abu bertitik leleh tinggi. Slag dapat menutup aliran udara yang masuk di antara batang-batang rooster (kisikisi) dalam ruang pembakaran, menutupi timbunan bahan bakar dan merusak dapur, serta abu yang terbawa oleh gas asap mengikis bidang pemanasan ketel. 3. Volatile matter Volatile matter ditentukan dengan kehilangan berat yang terjadi bila briket dipanaskan tanpa kontak dengan udara pada suhu lebih kurang 950oC dengan laju pemanasan tertentu. Kehilangan berat ini merupakan
37
hilangnya kandungan gas H 2 , CO, CO 2 , CH 4 , dan uap serta sebagian kecil tar. Kandungan zat terbang mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas nyala api. Kandungan zat terbang yang tinggi akan lebih mempercepat pembakaran bahan karbon dan sebaliknya. Rasio antara kandungan karbon tertambat dengan kandungan zat terbang dinyatakan sebagai fuel ratio. Semakin tinggi fuel ratio maka jumlah karbon yang tidak terbakar semakin banyak. 4. Fixed karbon Persentase fixed carbon diperoleh dengan mengurangi 100 dari jumlah volatile matter dan abu. 5. Nilai kalor Nilai kalor atau “heating value” atau “calorific value” atau kalor pembakaran adalah kalor yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna 1 kilogram atau satu satuan berat bahan bakar padat atau cair atau 1 meter kubik atau 1 satuan volume bahan bakar gas, pada keadaan baku. Nilai kalor atas atau “gross heating value” atau “higher heating value” adalah kalor yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna satu satuan berat bahan bakar padat atau cair, atau satu satuan volume bahan bakar gas, pada tekanan tetap, suhu 250C, apabila semua air yang mula -mula berwujud cair setelah pembakaran mengembun menjadi cair kembali. Nilai kalor bawah atau “net heating value” atau “lower heating value” adalah kalor yang besarnya sama dengan nilai kalor atas dikurangi kalor yang diperlukan oleh air yang terkandung dalam bahan bakar dan air yang terbentuk dari pembakaran bahan bakar untuk menguap pada 250C dan tekanan tetap. Air dalam sistem, setelah pembakaran berwujud uap air pada 250 C. Nilai kalor merupakan penjumlahan panas pembakaran dari unsur-unsur yang dapat terbakar
dalam briket (seperti karbon, hydrogen dan sulfur) dikurangi dengan panas peruraian zat carbonaceous dan ditambah atau dikurangi dengan reaksi eksotermis atau endotermis dari pembakaran zat pengotor dalam briket. Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value. Gross heating value didapatkan dengan membakar sempurna suatu sampel briket dalam bomb calorimeter menghasilkan gas CO 2 , SO 2 , air dan nitrogen. Net heating value adalah nilai kalor sebenarnya yang dimanfaatkan pada saat pembakaran. NHV dihitung dari GHV dengan cara mendinginkan gas hasil pembakaran dan airnya dipertahankan sebagai uap. Net heating value biasanya antara 93-97% dari gross heating value dan tergantung dari kandungan inherent moisture dan kandungan hydrogen dalam sampel.
Pembakaran dalam furnace divariasikan pada suhu 300, 350 dan 400oC. penambahan substitusi sagu divariasikan pada 5%, 8%, 10%, 12% dan 15%. Analisa proksimat yang dilakukan
adalah analisa kadar abu, kadar air, volatile matter dan nilai kalor.
38
2.5
Standar Kualitas Briket Arang Briket arang daun belum memiliki standar yang bertaraf nasional maupunn internasional. Tetapi briket arang kayu untuk bahan baku kayu, kulit keras dan batok kelapa telah memiliki standar yaitu SNI (Standar Nasional Indonesia) no. SNI 01-6235-2000 dengan syarat mutu meliputi kadar air: maks. 8 % b/b; bagian yang hilang pada pemanasan 950oC: maks. 15 %; kadar abu: maks. 8 %; kalori (atas dasar berat kering): min. 5000 kal/g. III.
METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun jati kering dan sagu aren yang digunakan sebagai pengikat. Peralatan yang digunakan antara lain furnace, oven, hot plate, cawan porselen, beker gelas, gelas ukur dan alat pencetak briket. Tahap-tahap penelitian di gambarkan dalam blok diagram berikut.
IV. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Karbonisasi
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Karbonisasi biomassa atau yang lebih dikenal dengan pengarangan adalah suatu proses untuk menaikkan nilai kalor biomassa dan dihasilkan pembakaran yang bersih dengan sedikit asap. Hasil karbonisasi adalah berupa arang yang tersusun atas karbon dan berwarna hitam. Proses karbonisasi merupakan bagian dari proses pirolisis, yaitu pembakaran biomassa pada kondisi tanpa oksigen. Tujuannya adalah melepaskan zat terbang (volatile matter) yang terkandung pada biomassa. Secara umum kandungan zat terbang dalam biomassa cukup tinggi. Produk proses pirolisis ini berbentuk cair, gas, dan padat. Produk
padat dari proses ini berupa arang (char) yang kemudian disebut karbonisasi. Prinsip proses karbonisasi adalah pembakaran biomassa tanpa adanya kehadiran oksigen. Sehingga yang terlepas hanya bagian volatile matter, sedangkan karbonnya tetap tinggal di dalamnya. Temperatur karbonisasi akan sangat berpengaruh terhadap arang yang dihasilkan sehingga penentuan temperatur yang tepat akan menentukan kualitas arang. Besarnya daun jati kering yang terkonversi menjadi arang disajikan pada grafik dibawah ini.
Grafik 4.1 Nilai konversi karbon Nilai konversi diatas dibuat berdasarkan dan sangan mudah hancur. Setelah dilakukan data jumlah/kuantitatif bukan berdasarkan data pengeringan terhadap briket, hasil briket dengan kualitas arang yang dihasilkan. Konversi karbon substitusi 5% sangat mudah dihancurkan dan sulit menurun seiring dengan kenaikan suhu untuk dilakukan penanganan saat transportasi. Ini karbonisasi, hal ini menunjukkan massa yang berarti substitusi 5% sagu tidak mencukupi untuk tertinggal semakin menurun dan jumlah arang menghasilkan briket yang baik. yang didapatkan semakin sedikit seiring dengan Pada briket dengan substitusi sagu 8%, kenaikan suhu karbonisasi. Hal ini wajar terjadi 10%, 12% campuran karbon-sagu sebelum karena semakin tinggi suhu karbonisasi, semakin pencetakan telah menunjukkan indikasi banyak zat dalam bahan baku terurai karena kemudahan pencetakan. Bentuk briket saat keluar proses karbonisasi. dari alat cetak dan setelah pemanasan baik dan tidak mudah hancur. Pada pencampuran karbon-larutann sagu 4.2 Analisa Kualitatif Briketisasi Proses briketisasi merupakan proses yang untuk briket dengan substitusi sagu 15% amat penting dalam pembuatan briket arang. ditunjukkan indikasi kesulitan pencetakan karena Kekompakkan briket yang dihasilkan setelah campuran yang terbentuk secara fisik mirip pencetakan menjadi hal yang penting untuk dengan lumpur tetapi lengket. Pada proses diamati karena ikut menentukan daya tahan dari pencetakan, campuran banyak menempel di alat briket itu sendiri. Dalam analisa ini, diamati cetak dan sulit dikeluarkan. Bentuk briket yang kekompakkan dan kemudahan proses pencetakan. dihasilkanpun kurang baik. Setelah dilakukan Data disajikan dalam tabel dibawah ini. pemanasan untuk pengeringan briket, briket Untuk substitusi sagu 5%, pencetakan dengan substitusi 15% mengembang. Hal ini mudah dilakukan tetapi campuran yang dihasilkan berarti substitusi sagu 15% terlalu banyak untuk tetap berbentuk seperti karbon tanpa campuran. menghasilkan briket yang baik. Pada saat dikeluarkan dari alat cetak, briket yang dihasilkan tidak memberikan bentuk yang baik 4.3 Analisa Kadar Air
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
39
Analisa kadar air dilakukan dengan memanaskan contoh briket didalam oven pengering pada suhu 110oC selama 1 jam. Kadar
air yang dianalisa adalah kandungan air eksternal atau free moisture. Data hasil analisa disajikan dalam grafik dibawah ini.
Grafik 4.2 Kadar Air Dari grafik ditunjukkan bahwa kadar air pada tiap-tiap suhu karbonisasi yang paling tinggi adalah kadar air pada substitusi sagu 12%. Hal ini diakibatkan oleh jumlah air yang digunakan untuk membuat larutan sagu. Perbandingan sagu dan air yang digunakan untuk pembuatan larutan sagu adalah 1:10 maka semakin besar substitusi sagu, air yang digunakan pada pembuatan campuran lebih banyak walaupun dengan massa total yang sama untuk setiap sampel. Secara teori, nilai kadar air untuk sampel dengan suhu karbonasi yang lebih tinggi seharusnya lebih rendah dari nilai kadar air untuk karbon dengan suhu karbonisasi lebih rendah. Namun, dalam penelitian ini didapatkan hasil sebaliknya. Variasi kadar air ini terjadi akibat perbedaan suhu dan waktu saat sampel dikeringkan. Kadar air sampel menjadi tidak seragam karena proses pengeringan yang berbeda-beda.
Kadar air berpengaruh pada proses pembakaran karbon dan nilai karbon itu sendiri. Kandungan air dalam sampel telah memenuhi standar sni untuk briket arang kayu yaitu maksimal 8%.
4.4
Analisa Kadar Abu Abu adalah mineral yang tak dapat terbakar yang tertinggal setelah proses pembakaran dan perubahan-perubahan atau reaksi-reaksi yang menyertainya selesai. Abu ini dapat menurunkan nilai kalor dan menyebabkan kerak pada peralatan sehingga persentase abu yang diijinkan tidak boleh terlalu besar. Hasil analisa kadar abu tersaji dalam grafik dibawah ini.
Grafik 4.3 Kadar Abu
40
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Dari data ditunjukkan bahwa kadar abu semakin meningkat seiring dengan kenaikan substitusi sagu. Hal ini menunjukkan adanya tambahan kadar abu yang dibawa oleh sagu itu sendiri. Dapat pula dikatakan bahwa penambahan sagu akan mempertinggi kadar abu. Dari grafik juga ditunjukkan bahwa kandungan abu pada briket akan menurun seiring dengan kenaikan suhu karbonisasi. Terjadi demikian kaarena devolatilisasi pada saat karbonisasi menyebabkan pembentukan arang yang mengandung sedikit kadar abu, sehingga semakin tinggi suhu karbonisasi akan mengurangi kadar abu briket yang dibentuk dari karbon tersebut. Kadar abu sampel telah sesuai dengan batas yang ditentukan SNI untuk briket arang kayu yaitu maks 8%.
4.5
Analisa Kadar Volatile Matter Volatile matter ditentukan dengan kehilangan berat yang terjadi bila briket dipanaskan tanpa kontak dengan udara pada suhu lebih kurang 950oC dengan laju pemanasan tertentu. Kehilangan berat ini merupakan hilangnya kandungan gas H 2 , CO, CO 2 , CH 4 , dan uap serta sebagian kecil tar. Volatile matter ini akan mempengaruhi banyaknya asap yang dihasilkan dan kemudahan briket untuk dinyalakan, semakin besar kadar volatile matter maka semakin mudah briket menyala dan sebagai efek sampingnya asap yang dihasilkan juga bertambah banyak. Hasil analisa volatile matter terhadap briket arang daun disajikan dalam tabel dan grafik dibawah ini.
Grafik 4.4 Kadar Volatile Matter Hasil analisa volatile matter tidak berbeda jauh dengan hasil analisa kadar abu. Volatile matter akan berkurang seiring dengan kenaikan suhu karbonisasi karena karbon itu sendiri telah mengalami devolatilisasi pada proses karbonasi. Substitusi sagu tetap berpengaruh karena sagu juga memiliki kadar volatile matter sendiri sehingga penambahan jumlah sagu meningkatkan kadar volatile matter dalam briket. Kadar volatile matter dari briket arang daun sangat tinggi jauh melebihi standar kualitas briket arang kayu yaitu
maksimal kadar volatile matter yang diijinkan 15%. Hal inilah yang membedakan briket arang kayu dengan briket arang daun. 4.6 Analisa Fixed Carbon Fixed carbon atau dapat juga disebut karbon tertambat merupakan kadar karbon yang sebenarnya dikandung briket. Kadar karbon ini akan mempengaruhi nilai kalor dan residence time/waktu pembakaran briket. Data hasil analisa tersaji dalam grafik berikut.
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
41
Grafik 4.5 Kadar Fixed Carbon Sebagai respon dari kenaikan kadar abu dan kadar volatile matter seiring dengan kenaikan substitusi sagu, kadar fixed karbon menurun seiring dengan kenaikan substitusi sagu. Untuk tiap kenaikan suhu karbonisasi, kadar fixed karbon juga bertambah dikarenakan pengurangan kadar abu dan kadar volatile matter yang terjadi pada proses karbonisasi. 4.7
Analisa Nilai Kalor Standar ASTM D.5865-07a Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value. Gross heating value didapatkan dengan membakar sempurna suatu sampel briket dalam bomb calorimeter menghasilkan gas CO 2 , SO 2 , air dan nitrogen. Untuk analisa ini, dilakukan pengujian terhadap nilai gross heating value untuk briket dengan standar ASTM D.5865-07a.
ASTM merupakan singkatan dari American Society for Testing and Material, dibentuk pertama kali pada tahun 1898 oleh sekelompok insinyur dan ilmuwan untuk mengatasi bahan baku besi pada rel kereta api yang selalu bermasalah. Sekarang ini, ASTM mempunyai lebih dari 12.000 buah standar. Standar ASTM banyak digunakan pada negara-negara maju maupun berkembang dalam penelitian akademisi maupun industri. ASTM D.5865-07a merupakan metoda untuk menentukan nilai gross heating value batubara dan kokas menggunakan bomb calorimeter isoperibol (kalorimater dimana jaket dipertahankan pada suhu konstan) atau adiabatic (suhu bervariasi). Nilai kalor ini merupakan sifat yang sangat penting karena menentukan kelayakan briket untuk dijadikan bahan bakar. Data hasil analisa nilai kalor disajikan dalam grafik dibawah ini.
Grafik 4.6 Nilai Kalor
42
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Dari hasil analisa terlihat bahwa briket dengan suhu karbonisasi 350oC merupakan briket dengan nilai kalor teringgi. Menurut teori, seharusnya briket dengan suhu karbonisasi paling tinggi dengan nilai fixed carbon tertinggi memiliki nilai kalor yang paling tinggi juga. Hal ini dapat diakibatkan adanya kesalahan pada persiapan briket bahan analisa. Dari grafik terlihat bahwa nilai kalor briket turun seiring dengan pertambahan substitusi sagu, penurunan ini mengindikasikan bahwa efektifitas sagu aren yang kurang baik karena dapat menurunkan nilai kalor. Binder yang baik akan mampu mempertahankan nilai kalor atau bahkan meningkatkan nilai kalor briket. 4.8
Perbandingan Dengan Penelitian Lain Penelitian pembuatan briket biomassa dengan variasi suhu karbonisasi telah dilaksanakan oleh Herman Hindarso dan Anastasia Lidya Maukar dengan judul penelitian Proses Konversi Biomassa Menjadi Bioarang Sebagai Bahan Bakar Alternatif dimana bahan baku yang digunakan adalah jerami padi, daun sono dan tongkol jagung. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin besar suhu, hasil bioarang semakin berkurang, kadar karbon dan nilai kalor meningkat, hal ini sesuai dengan hasil yang ditunjukkan pada penelitian pembuatan briket arang dari daun jati ini. Penelitian pembuatan briket arang dengan variasi persentasi binder dimana binder yang digunakan adalah tepung kanji telah dilaksanakan oleh Marulam Simarmata dengan judul penelitian Pemanfaatan Buah Tusam (Pinus Merkusii Jungh. Et De Vries) Dan Buah Anturmangan (Casuarina Sumatrana. Jungh) Sebagai Bahan
Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010
Baku Arang Briket. Dari penelitian tersebut dimbil kesimpulan bahwa Konsentasi bahan perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air, berat jenis dan nilai kalor arang briket buah tusam sedangkan untuk nilai kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat dan kadar abu memberikan pengaruh beda yang nyata. Untuk kadar volatile matter, kadar abu dan kadar fixed carbon, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian pembuatan briket dengan bahan baku daun jati, sedangkan untuk nilai kalor kesimpulan penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan antara perekat yang menggunakan sagu aren dengan tepung kanji. Binder dari tepung kanji tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai kalor briket yang dibentuknya sedangkan binder dari tepung sagu aren menurunkan nilai kalor. V.
DAFTAR PUSTAKA
Ismun,U.A. 1998. Pembuatan Briket Batubara. Jakarta: Kanisius. Setyawati Tobing, Febrina dan Adi Chandra Brades. 2007. Pembuatan Briket Bioarang dari Eceng Gondok (Eichornia crasipesssolm) dengan Sagu sebagai Pengikat. Indralaya: Jurusan Teknik Kimia UNSRI. Nursyiwan dan Nuryetti. 2005. Pembuatan Briket Arang dari Serbuk Gergaji. Jakarta: LIPI. http://id.wikipedia.org/wiki/American_Standard_ Testing_and_Material http://bahan-alam.fa.itb.ac.id/Telaah Flavonoid dan Asam Fenolat Daun Jati (Tectona grandis L. f., Verbenaceae)
43