PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG PERTIMBANGAN DAYADUKUNG

Download LIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193. PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG . PERTIMBANGAN DAYADUKUNG DAN ANCAMANNYA TERHADAP .... dari dayadukung...

0 downloads 606 Views 298KB Size
PENGEMBANGAN KARAMBA JARING APUNG PERTIMBANGAN DAYADUKUNG DAN ANCAMANNYA TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN DANAU* Oleh: Lukman Pusat Penelitian Limnologi-LIPI ABSTRAK Kegiatan budidaya ikan di dalam karamba jaring apung (KJA) telah berkembang di beberapa danau di Indonesia, diantaranya Danau Toba, Danau Maninjau, dan Danau Limboto. Kegiatan KJA di perairan danau telah memberikan dampak positif secara ekonomi, karena memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan. Namun demikian pada sisi lain, kegiatan KJA di perairan danau sangat rawan terhadap masalah pelestarian lingkungan, selain mendorong timbulnya konflik kepentingan. Dari tinjauan limnologis, perairan danau umumnya memiliki waktu tinggal air (retention times) yang cukup panjang, yang akan berpengaruh pada tingkat akumulasi dan distribusi organik dari limbah budidaya ikan. Sementara dari sisi sumberdaya hayati, beberapa danau di Indonesia memiliki biota-biota yang khas dan endemik yang sangat peka terhadap perubahan kualitas air, terutama dari aktivitas KJA. Ancaman aktivitas KJA pada kondisi kualitas air permukaan, ditandai meningkatnya kesuburan (eutrofikasi), sedangkan pada kolom air bagian bawah adalah pembentukan lapisan anaerobik atau kondisi anoksik (kondisi tanpa oksigen) yang makin besar akibat dari akumulasi bahan organik di dasar perairan. Anoksik biasanya didorong oleh adanya stratifikasi kolom air sejalan dengan meningkatnya produksi bahan organik. Penenggelaman dan perombakan lebih lanjut bahan organik ini merangsang deplesi oksigen di perairan bagian dasar. Kata kunci: danau, KJA, bahan organik, eutrofikasi, anoksik

PENDAHULUAN Perairan danau merupakan salah satu tipe perairan darat yang cukup banyak ditemukan di Indonesia, dan tercatat 500 buah danau berukuran kecil hingga besar, dengan luas total mencapai 491.724 ha (Giesen, 1991). Danau-danau berukuran besar, banyak ditemukan di Pulau Sumatera (8 buah), di Kalimantan (4 buah) dan di Sulawesi (6 buah), dengan kisaran luas antara 3.200 ha sampai 112.970 ha (dikompilasi dari berbagai sumber oleh Nontji, 1989). Perairan danau diketahui memiliki karakteristik fisik dan biologis yang khas, dan satu dengan lainnya sangat berlainan. Salah satu sifat danau yang cukup penting adalah waktu simpan air (retention time), yaitu waktu perkiraan yang dibutuhkan untuk mengganti secara sempurna air dari seluruh danau tersebut. Waktu tinggal air adalah satu variabel penting penentu sensitivitas perairan terhadap dampak beban masukan berupa hara dan mineral, yang terkait dengan kegiatan manusia. Hal ini merupakan titik kritis dalam kebijakan pengelolaan sistem perairan, bahwa semakin lama waktu tinggal air semakin tinggi prioritas perlindungan harus diberikan. Waktu tinggal air akan terkait dengan volume danau dan jumlah air yang masuk ke dalamnya, yang umumnya diukur dalam jumlah air (debit) yang keluar lewat outlet danau. Dari beberapa danau tercatat kisaran tinggal air antara 0,16 – 81,24 tahun. Sebagai pembanding, Waduk Cirata memiliki waktu tinggal air yang sangat singkat (0,87 tahun ≈ 9 bulan) terkait jumlah debit air yang masuk ke dalamnya cukup besar, yaitu melalui Sungai Citarum (Tabel 1). Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Tabel 1. Waktu tinggal air beberapa danau dan satu waduk di Indonesia No Danau Luas Volume Debit Rataan di Masa Tinggal Air (Ha) (x 106 m3) Outlet (m3/dt) (Tahun) 1 Tobai) 112.400 256.200 100 81,24 Posoii) 2 36.890 71.811,6 316 7,21 Maninjauiii) 3 9.737 10.266 13,4 25,05 4 3.447 1.327,8 18,6 2,26 Linduiv) 5 3.000 42,7 8,2 0,16 Limbotov) 6 6.200 2.165 80,3 0,87 Cirata*vi) Sumber: i) Lukman & Ridwansyah (2010); ii) Lukman & Ridwansyah (2009); iii) Fakhrudin et al (2002); iv) Lukman & Ridwansyah (2003); v) Anonim, 2005; vi) Lukman & Hidayat (2002); *) perairan waduk sebagai pembanding

Ciri lainya dari perairan danau di Indonesia adalah dimilikinya potensi plasma nutfah yang khas terutama jenis-jenis ikan, dengan tingkat endemisitas yang tinggi dan keberadaan terbatas pada suatu wilayah tertentu. Jenis-jenis ikan tersebut perlu dijaga kelestariannya karena merupakan kekayaan plasma nutfah yang tidak dimiliki tempat lain di dunia ini. Danau-danau yang memiliki ikan-ikan endemis diantaranya Danau Matano, minimal ditemukan 7 jenis terutama dari jenis-jenis Telmatherina (Kottelat et al, 1993), dan Danau Sentani minimal memiliki 2 jenis ikan endemis yaitu Chilaterina sentaniensis dan Glossolepis inciscus (FAO, 1972). Perairan danau adalah satu sumberdaya alam yang dimiliki bersama oleh masyarakat (common property), sehingga dalam pemanfaatanya dapat dilakukan secara bebas sesuai kebutuhannya. Sejalan dengan waktu, semakin intensif dan semakin beragam kebutuhan masyarakat, sehingga dalam perkembangannya dan dalam kewenangan pengelolaannya muncul kebijakan yang bersifat multisektor. Apalagi dengan berkembangnya otonomi daerah (OTDA) kepentingan wilayah adminstrasi akan lebih mewarnai variasi pemanfaatan perairan danau Penting sekali pengkajian nilai-nilai sosial dan ekonomi dari perairan danau, tidak semata-mata dari pendekatan presepektif biofisik. Klessig (2001) mengemukakan bahwa danau hanya dapat memberikan keuntungan sosial yang optimal jika kebijakan pengelolaannya mengakui setting sepenuhnya dari kontribusi potensial danau yang dapat dibuat untuk masyarakat serta kebijakan pengelolaan tersebut terintegrasi untuk memberikan perhatian yang seimbang pada seluruh nilai-nilai yang dapat danau berikan Aktivitas budidaya ikan sistem karamba jaring apung (KJA) di perairan danau, merupakan salah satu usaha peningkatan produksi perikanan dengan memanfaatkan berbagai potensi perairan yang ada. Krismono (1998) mengemukakan bahwa perairan danau dan waduk di Indonesia yang mencapai 2,1 juta ha berpotensi untuk budidaya ikan dengan sistem KJA yang dapat mencapai produksi 800 ton ikan/hari. Salah satu kebijakan pemanfatan perairan untuk pengembangan KJA, adalah perairan Waduk Cirata, yang mana Pemerintah Daerah Jawa Barat menetapkan bahwa sekitar 1% dari luasan total kawasan perairan dapat digunakan untuk KJA (Husen, 2003). Diperlukan pertimbangan dan kebijakan berbeda dari setiap perairan untuk pengembangan KJA, mengingat perbedaan karakter dari setiap perairan darat. Upaya pengembangan budidaya ikan sistem KJA ini di perairan danau telah dimulai sejak tahun 80-an. Usaha budidaya dengan KJA di perairan danau diperkirakan akan terus berkembang sejalan dengan kebutuhan akan protein hewani dan kebijakan pemerintahan setempat yang membutuhkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)-nya dari sumberdaya alam yang dimilikinya. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

PENGEMBANGAN KJA DI PERAIRAN DANAU Beberapa danau di Indonesia, di luar perairan waduk, yang telah dimanfaatkan untuk budidaya ikan sistem KJA diantaranya adalah Danau Maninjau, Danau Toba dan Danau Limboto, dan dalam jumlah kecil di perairan Danau Batur Provinsi Bali. Di perairan Danau Toba, sebagaimana dikemukakan oleh Arifin (2004), bahwa pada tahun 1999 tercatat sekitar 2.400 unit KJA telah beroperasi, dan direncanakan akan dikembangkan lagi menjadi 55.375 unit. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, tahun 2008 (tidak dipublikasikan), jumlah KJA di perairan Danau Toba yang berada di wilayah kabupaten ini mencapai 3816 unit, yang terpusat di Haranggaol dengan jumlah 2.911 unit, sedangkan lokasi lainnya adalah Pematang Sidamanik (159 unit), Dolok Pardamean (190 unit), dan Girsang Sipangan Bolon (550 unit). Di perairan Danau Maninjau, jumlah KJA yang tercatat pada tahun 1997 mencapai 2000 unit (Agustedi & Adriati, 1997), sementara hasil pendataan pada tahun 1999 oleh Dinas Perikanan Kabupaten Agam, Sumatera Barat jumlah KJA di Danau Maninjau telah mencapai 2.856 unit yang dimiliki oleh 795 kepala keluarga. Sementara itu di perairan Danau Limboto, jumlah KJA yang beroperasi mencapai 2.559 KJA dengan luas total perairan yang dimanfaatkan adalah 5,15 ha (Anonim, 2005). Sebagai data pembanding, di perairan-perairan waduk di Jawa Barat, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur perkembangan KJA demikian pesat. Pada tahun 1991 jumlah KJA dari masing-masing waduk tersebut adalah 1.800, 1.613 dan 502 unit sedangkan jumlah KJA pada tahun 1999 masing-masing telah mencapai 4.425, 27.786 dan 2.194 unit (Garno, 2002). Jumlah KJA yang beroperasi di waduk-waduk tersebut sangat tidak direkomendasikan sebagai pembanding jumlah KJA yang dapat dikembangkan di perairan danau, terutama jika dihubungkan dengan luasan maupun volume perairannya. Hal ini karena yang harus menjadi pertimbangan utama menentukan jumlah KJA yang dapat beroperasi, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, adalah waktu tinggal air dan karakteristik biologis di dalamnya. Produksi ikan KJA dari perairan Danau Toba, di wilayah Haranggaol diperkirakan 57,3 ton/hari, yang terdiri dari ikan nila 49,7 ton dan ikan mas 7,6 ton, dengan prodiksi total mencapai 20.910 ton/tahun (Lukman et al, 2010). Data produksi KJA di Danau Toba tersebut, belum termasuk produksi dari Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), yang diperkirakan jauh lebih tinggi. Sedangkan produksi ikan dari KJA di Danau Maninjau pada tahun 2009 sekitar 31.758 ton (Dinas Perikanan Kab. Agam, 2009; tidak dipublikasikan). Sementara itu produksi ikan dari KJA di Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, sebelum krisis moneter mencapai produksi tertinggi 49.171 ton pada tahun 1997 di Waduk Cirata, produksi tertinggi di Waduk Saguling 8.331 ton pada tahun 1992, dan di Waduk Jatiluhur mencapai 3.498 ton pada tahun 1999 (Gambar 3). Tampak peningkatan produksi ikan yang sangat pesat di Waduk Cirata, dibanding waduk-waduk lainnya. Produksi ikan tersebut didukung oleh jumlah KJA yang beroperasi mencapai 25.558 unit (Garno, 2002). Produksi ikan dari KJA di Waduk Saguling cenderung menurun, yang diduga ini terkait dengan kondisi waduk tersebut yang mengalami pencemaran yang parah tidak hanya sebagai akibat dari aktivitas KJA itu sendiri tetapi karena pencemaran dari kawasan Bandung dan sekitarnya. Sementara itu di Waduk Jatiluhur, produksi ikan dari KJA relatif tetap, terkait pengaturan jumlah KJA yang dapat beroperasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Purwakarta dan pengaturan dari Perusahaan Jasa Tirta (PJT) II karena kepentingan air waduk tersebut sebagai sumber pemasok air bersih Kota Jakarta.

Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Gambar 1. Produksi ikan dari KJA di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. (Diolah dari berbagai data yang dikompilasi Garno, 2002) Pengembangan budidaya ikan sistem KJA akan bernilai positif selama dalam batas kapasitas dayadukung perairan dan penetapan lokasi yang tidak berbenturan dengan kepentingan lain. Peningkatan KJA yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk pada masa yang akan datang. Dengan demikian, kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia tanpa memperhatikan dayadukungnya, akan menuai bencana lingkungan di kemudian hari. Sebagai contoh adalah Waduk Saguling di Jawa Barat telah menunjukkan kondisi sangat parah. Beban masuk baik dari daerah tangkapan air maupun dari kegiatan KJA telah melampaui dayadukungnya dilihat dari kemampuan pulih dirinya (self recovery) (Adiwilaga,1999). Sedangkan Kartamihardja (1998) mengemukakan bahwa perkembangan KJA yang pesat dan kurang terkendali telah menyebabkan berbagai permasalahan yang mengganggu kelestarian sumberdaya perairan dan usaha perikanan itu sendiri. Sementara itu pengembangan KJA di perairan-perairan danau tertentu, terutama di Danau Toba dan Danau Maninjau sangat riskan, mengingat terdapatnya kepentingan lain seperti pariwisata, yang sangat membutuhkan kondisi air yang baik, jernih dan tidak kumuh. Seperti diketahui Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Diatas dan Danau Dibawah, dalam kebijakan nasional kawasan-kawasan ini merupakan salah satu andalan dan potensi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPNAS) (Ardika, 1999). PERTIMBANGAN DAYADUKUNG PERAIRAN DANAU Kesinambungan dan optimalisasi perikanan budidaya ikan sistem KJA tergantung dari dayadukung perairan, yang ditinjau dari: i) Daya dukung terhadap dampak penambahan hara dari proses budidaya yang tidak menimbulkan proses eutrofikasi dan penurunan kualitas air yang dapat mengganggu aktivitas lainnya dengan kebutuhan kualitas air yang tinggi; dan ii) Daya dukung terhadap tetap tersedianya cadangan oksigen (DO reservoir) pada kolom hipolimnion (kolom perairan bagian bawah) dalam menerima dan mendegradasi limbah organik dari sisa pakan dan feses. Sementara itu potensi pengembangan perikanan budidaya KJA dari suatu perairan multifungsi, selain dibatasi oleh faktor dayadukung perairan, juga dibatasi oleh fungsi dan pemanfaatan lain. Selain faktor- faktor tersebut, dayadukung terutama akan sangat ditentukan oleh karakteristik fisik lingkungan perairan (hidromorfologi dan regim air), yang sangat spesifik untuk setiap danau (Gambar 2).

Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Pemanfaatan/ Aktivitas Lain (Eksisting)

Hidromorfologi (Bathimetrik)

Regim Air (Debit Inflow/Outflow)

Aktivitas Anthropogenik/ Limbah KJA

Hidrodinamika Pariwisata Air Minum Pelabuhan Perikanan Tangkap

Pola Arus

Situs Layak

Stratifikasi & Stabilisasi

Waktu Tinggal Air (Retentiom Time)

Keseimbangan Hara

Pasolan Hara Beban Organik

Kapasitas Degradasi Organik

. RasioTN/TP Biomassa Fitoplankton

Distribusi Oksigen DO Cadangan Lapisan Dasar

(Hipolimnion) Dayadukung Perairan

PRODUKSI BUDIDAYA IKAN KJA BERKELANJUTAN Gambar 2. Kerangka analitik potensi pengembangan budidaya ikan sistem KJA Kapasitas perombakan organik dari perairan, akan menentukan jumlah bahan organik, baik bersumber dari sisa pakan dan feses ikan maupun dari aktivias lainnya, yang dapat dirombak pada kolom air dan di wilayah sedimen. Dalam kapasitasnya tersebut, oksigen terlarut cadangan (DO reservoir) masih harus tersedia pada kolom air bagian bawah (hipolimnion) dan cukup menunjang kebutuhan ikan budidaya. Konsepsi daya dukung perairan pada saat ini lebih berpegang pada keseimbangan hara antara N (nitrogen) dan P (Phosphor), yang menentukan tingkat kesuburan (trofik) perairan dan menunjang keberadaan dan melimpahnya fitoplankton. Konsepsi tersebut didasarkan pada kebutuhan akan estetika perairan untuk kegiatan wisata yang tidak menghendaki perairannya kotor atau padat dengan fitoplankton. Pengelolaan perairan akan sangat memperhatikan kadar ketersediaan fosfor di perairan dan pasokan fosfor dari luar. Kadar total (muatan) fosfor di perairan, [P] akan ditentukan oleh pasokan P dari luar, dimensi danau (Ao; luas permukaan, dan ž ; kedalaman rata-rata), laju penggelontoran (; flushing rate; bagian dari volume air yang keluar melalui outlet) dan fraksi P yang hilang Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

secara permanen ke sedimen di dasar perairan (). Persamaan untuk perkiraan kadar [P] di perairan yang dikemukakan oleh Vollenweider & Dillon, (1975) dalam Mason, (1988) adalah:

LT z(  )

P  

yang mana: LT = JT/Ao mg.m-2 th-1 ž = V/ Ao  = (1 - Tw)

(JT : pasokan total P); ( V : volume danau); (Tw : waktu simpan air);

Pasokan total fosfor ke dalam danau (JT ) berasal dari sumber alami (JN) yaitu dari daerah tangkapan (catcment area) (JE) dan jatuhan langsung (precipitation) (JPR), serta pasokan buatan (nir alami) (JA). Pasokan fosfor nir alami dapat bersumber dari aktivitas domestik serta aktivitas KJA. Dengan demikian akan sangat dibutuhkan informasi-informasi karakteristik morfometri untuk mengetahui secara rinci dari luas dan kedalaman danau, serta data beban fosfor. Kadar P pada perairan yang dapat ditolelir untuk kepentingan budidaya ikan cukup tinggi (50 – 100 mg.m-3) jika dibandingkan dengan kepentingan untuk rekreasi/olah raga air (5 mg.m-3) dan kebutuhan air minum (2 mg.m-3) (Gambar 3). 1 5 10 50 100 500 [P] mg.m-3 Air minum Olah raga air Budidaya ikan mas sistem KJA intensif/semi intensif Budidaya ikan mas/nila sistem KJA ekstensif Gambar 3. Kadar P yang ideal (garis penuh) dan yang masih dapat diterima (garis putus) pada berbagai kebutuhan (Sumber: Beveridge, 1987) Namun demikian, untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA berkelanjutan, konsepsi yang sangat diperlukan adalah dayadukung berbasis keseimbangan oksigen. Hal ini karena pentingnya ketersediaan oksigen yang cukup, baik untuk respirasi ikan maupun respirasi bahan organik dari limbah kegiatan budidaya tersebut. Kebutuhan oksigen dari suatu perairan yang digunakan untuk pengembangan KJA dapat ditelusuri mulai dari tingkat kebutuhan dalam proses perombakan organik, dengan menggunakan formula sederhana persamaan stochiometrinya (Sykes, 1975 dalam Boyd,1982). Satu molekul bahan organik (C5H7NO2 ; Catatan: Massa atom C = 12; H = 1; N = 14; O = 16) akan membutuhkan lima molekul oksigen: C5H7NO2 + 5O2 5CO2 + 2H2O + NH3 (113) (5 x 32) Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Jumlah oksigen yang dibutuhkan per satuan bahan organik yang dapat dioksidasi dalam perombahan bahan organik adalah : 5 x 32/113 = 1,42 satuan. Untuk setiap gram organik (limbah budidaya ikan) akan dibutuhkan 1,42 gram oksigen. Ketersediaan oksigen di perairan sangat diperlukan untuk perombakan organik, baik yang tersuspensi maupun yang mengendap di dasar perairan, serta untuk respirasi ikan. ANCAMAN LINGKUNGAN PERAIRAN DANAU Hubungan dengan Kesetimbangan Hara Terkait kesetimbangan hara antara yang masuk dan keluar sebagaimana rumusan yang dikemukakan sebelumnya (Vollenweider & Dillon, 1975 dalam Mason, 1988), aktivitas KJA yang berlebih akan memicu akumulasi hara khusunya fosfor dan nitrogen. Peningkatan hara di perairan pada akhirnya akan merubah status perairan dari perairan miskin hara (oligotrof), kesuburan sedang (mesotrof), hingga perairan subur (eutrof) dan sangat subur (hipereutrof). Kriteria tingkat kesuburan (Status trofik) danau telah diadopsi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 (Tabel 2). Tabel 2.Kriteria status trofik danau berdasarkan beberapa parameter kualitas air Status Kadar Kadar Kadar Kecerahan Trofik Rata-rata Rata-rata Rata-rata rata-rata Total N (µg/l) Total P (µg/l) Chlorofil (µg/l) (m) Oligotrof > 650 < 10 < 2,0 > 10 Mesotrof > 750 < 30 < 5,0 >4 Eutrof < 1.900 < 100 < 15 > 2,5 Hipereutrof > 1900 > 100 > 200 < 2,5 Sumber: Peraturan Menteri LH No. 28/2009 dalam Anonim (2009) Kriteria status trofik tersebut sebenarnya saling berkaitan, karena penambahan komponen fosfor maupun nitrogen akan mendorong peningkatan kelimpahan fitoplankton di perairan yang dicirikan oleh kadar chlorofil yang bertambah. Dengan bertambahnya kadar chlorofil secara langsung mengurangi tingkat kecerahan perairan. Perairan danau yang cenderung oligotrofik contohnya adalah Danau Poso, sementara Danau Toba pada kisaran oligotrof – mesotrof, sedangkan Danau Maninjau menunjukkan perairan eutrof (Tabel 3). Tabel 3. Tingkat kecerahan dan kadar chlorofil a dari tiga danau di Indonesia Perairan Kecerahan Kadar chlorofil a Keterangan Danau Rata-rata (m) rata-rata (mg/m3) Toba1) 9,2 1,008 Data Okt. 2009;strata 0 – 30 m Maninjau2) 2,5 12,903 Data Okt. 2009; strata 0 – 10 m Poso3) 10,2 0,630 Data April 2007;strata 0 – 40 m Sumber: 1) Lukman et al (2009); 2) Lukman et al (2011); 3) Suryono & Lukman (2009) Komponen hara di perairan yang akan lebih berakumulasi adalah fosfor, karena sifatnya tidak bersiklus lewat proses pertukaran gas sebagaimana komponen nitrogen. Pada sisi lain, di perairan wilayah tropik ternyata terbatasnya komponen N lebih umum terjadi dibanding P, kemungkinan karena pasokan P yang lebih besar akibat pelapukan kimia batuan sementara terjadi kehilangan komponen N secara internal karena suhu yang lebih tinggi, sebagaimana dikemukakan Lewis (2000). Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Perbedaan karakter dari komponen hara tersebut memberikan suatu rasio, atau sering disebut sebagai rasio TN/TP yang akan mempengaruhi pertumbuhan kelompok fitoplankton di dalamnya. Rasio TN/TP ini merupakan ”Redfield ratio” (N: P ≈ 16 : 1 atom; atau 7 : 1 berat/massa) yang didapatkan untuk karakteristik plankton dan air laut pada samudera di seluruh dunia (Redfield, 1958 dalam Nŏges et al, 2008). Rasio TN/TP akan mencerminkan tingkat kesuburan perairannya, yang mana danau oligotrof memiliki rasio TN/TP pada kisaran 200 sedangkan danau eutrof pada kisaran 5 (Harris, 1986). Menurut Wetzel (2001), pada sistem perairan beriklim sedang rasio TN/TP (dengan berat) yang diperlukan untuk keseimbangan pertumbuhan fitoplankton umumnya lebih besar dari 7 : 1. Dikemukakan pula oleh Huisman & Hulot (2005) dalam Nŏges et al (2008), banyak alga hijau biru mendominasi pada rasio N : P rendah terkait dengan kenyataan jenis itu dapat berkompetisi lebih baik pada nitrogen dibanding jenis lain, karena kemampuannya untuk menyerap N2. Pada pengamatan KJA di perairan Haranggaol, Danau Toba, berdasarkan jumlah pakan yang digunakan yang mencapai 79 ton/hari, pasokan unsur fosfor (P) ke perairan diperkirakan 0,591 ton/hari, yaitu dilepaskan lewat feses 0,199 ton/hari dan dilepaskan dalam bentuk terlarut sebagai sisa metabolit mencapai 0,392 ton/hari (Tabel 4). Tabel 4. Prediksi pasokan P dari aktivitas KJA di wilayah Haranggaol Jenis Pakan yang Kadar P Kadar P Terbuang Kadar P Kadar P ikan digunakan pada pakan2) terlarut sisa diretensi dibuang (ton/hari)1) metabolit 3) (ton) Ikan3) (ton) lewat feses 3) (ton) (ton) Nila 64,32a 0,772c) 0,291d) 0,162e) 0,319f) Mas 14,68b) 0,176 c) 0,066 d) 0,037 e) 0,073 f) Jumlah 79,00 0,948 0,357 0,199 0,392 Keterangan: 1) Lukman et al, (2010); 2) Garno & Adibroto, 1999; 3) Rismeyer,1998 dalam Azwar et al, (2004) a) FCR nila =1,23; b) FCR mas = 1,82; c) 1,2% dari berat pakan; d) 37,7% dari kadar P pada pakan; e) 21,0 % dari kadar P pada pakan; f) 41,3% dari kadar P pada pakan Dengan demikian, ancaman terhadap lingkungan dari budidaya KJA di perairan danau adalah eutrofikasi dan terjadinya perubahan rasio TN/TP, yang akan memicu melimpahnya (blooming) fitoplankton yang “tidak dikehendaki”, sebagai mana yang terjadi di Waduk Cirata (Garno, 1999). Pada umumnya kelompok yang tidak dikehendaki tersebut adalah dari klas cyanopyceae, yang tidak dapat dimanfaatkan ikan untuk sumber makanannya serta menciptakan kondisi perairan yang kurang sedap dipandang. Di perairan Danau Maninjau, aktivitas budidaya ikan dalam KJA telah pula mendorong proses eutrofikasi perairannya, yang mengakibatkan terjadinya blooming jenis Mycrocystis (Sulastri, 2002). Melimpahnya fitoplankton di perairan danau yang memiliki peran sebagai kawasan pariwisata, seperti Danau Toba dan Maninjau akan sangat rawan, karena akan merusak kualitas airnya. Demikian pula pada perairan danau yang memiliki ikan endemik akan terancam populasinya, karena terganggunya struktur jaring makanan di dalamnya akibat rusaknya mata rantai primer yaitu komponen fitoplankton. Pertimbangan ketersediaan hara khususnya fosfor sebagai penentu dayadukung perairan untuk pengembangan KJA, tampaknya lebih diperhatikan pada dampaknya terhadap aktivitas lain, seperti pariwisata dan mungkin keperluan air baku. Namun ketersediaan fosfor sebagai penentu dayadukung pengembangan KJA perlu digunakan secara lebih seksama. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Pada penerapan model muatan fosfor untuk penentuan dayadukung budidaya ikan sistem KJA di Waduk Saguling, Sukimin (2008) mendapatkan dayadukung waduk tersebut dalam memproduksi ikan adalah 34.279 ton/tahun. Pada kenyataannya dengan kisaran produksi ikan antara 1.000 – .8000 ton/tahun, kematian ikan masih terjadi. Pada tahun-tahun awal, kematian ikan secara massal terjadi di Waduk Saguling mencapai 851 ton dan pada tahun 1994 terjadi kematian lagi yang mencapai 110 ton (Lukman, 1996). Kondisi Anoksik di Hipolimnion Sebagian besar bahan organik pada suatu perairan dihasilkan di wilayah epilimnion dan dirombak di hipolimnion, yang membebani dengan kebutuhan oksigen biologis (BOD; Biological Oxygen Demand) yang tinggi. Pada musim panas di wilayah beriklim sedang (temperate), pada beberapa lokasi kondisi di hipolimnion ini menjadi anoksik, yang mana akan tergantung pada berapa tinggi BOD-nya. Pada beberapa danau peningkatan bahan organik pada sedimen terjadi dalam ribuan tahun lalu sebagai respon terhadap eutrofikasi alami (natural eutrophication), sedangkan pada beberapa danau lain, proses tersebut berlangsung saat ini sebagai respon terhadap eutrofikasi akibat dari kegiatan manusia (cultural eutrophycation) (Dean, 1999). Ketersediaan oksigen di lapisan hipolimnion dipengaruhi laju perpindahan vertikal dari setiap lapisan, serta konsumsi oksigen yang dipengaruhi kebutuhan BOD, pembusukkan fitoplankton, kebutuhan oksigen bentik dan perombakkan bahan organik (Frisk, 1982). Profil penurunan kadar oksigen di lapisan dalam perairan danau, merupakan suatu yang umum terjadi sebagaimana terjadi di Danau Toba (Gambar 4), yang menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen sudah sangat minim (< 2,0 mg/l) pada kedalaman 100 m (kebutuhan minimum ikan >2mg/l).

Gambar 4. Profil vertikal ketersediaan oksigen terlarut di Danau Toba (Sumber: Lukman et al, 2010) Menurut Higashino et al (2008) kadar oksigen di lapisan dalam akan terus berkurang, sejalan dengan pemanfaatan oksigen di dalam sedimen yang dimanfaatkan oleh bakteri perombak organik dan oksidasi metabolit-metabolit reduksi seperti Fe2+, H2S, dan NH4. Sementara itu menurut Cornet & Rigler (1987) 85% konsumsi oksigen di lapisan hipolimnion danau terjadi pada sedimen. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Dari hasil pengamatan profil oksigen pada dua lokasi di Danau Maninjau profil vertikal oksigennya turun secara drastis dan sudah sangat minim (< 2 mg/l) pada kedalaman hanya 5 – 10 m saja (Gambar 5). Lokasi pengukuran, yaitu Bayur dan Sungai Batang, merupakan wilayah dengan aktivitas KJA yang intensif, yang berada relatif pada tepian danau dengan kedalaman perairan antara 20 – 30 m.

Gambar 5. Profil vertikal oksigen pada wilayah KJA di Danau Maninjau Sumber: Lukman et al, (2011) Kadar oksigen terlarut pada lapisan dalam di wilayah KJA Danau Maninjau memungkinan untuk lebih rendah, dan akan terus berkurang, sejalan dengan akumulasi organik di lapisan tersebut dan wilayah sedimennya. Dengan demikian, dengan bertambahnya beban organik dapat diduga penyerapan oksigen sangat intensif di bagian dasar dan menunjang terjadinya kondisi anoksik yang semakin melebar ke kolom-kolom air yang lebih atas, seperti halnya di Danau Maninjau tersebut. Kondisi semakin melebarnya wilayah anoksik (ke kolom air lebih atas) telah diamati di Waduk Saguling. Pada kedalaman 3 meter ketersediaan oksigen hanya pada kisaran 1 mg/l pada kondisi air rendah (Gambar 6B) sampai 2 mg/l pada kondisi air tinggi (Gambar 6A). Fluktuasi kadar oksigen harian yang lebar sering berlangsung di perairan danau yang mengalami eutrofikasi, yang mana kadar minimum, kadang-kadang hingga kadar kritis terjadi menjelang matahari terbit. Di perairan danau eutrofik, respirasi malam hari dapat dengan segera menurunkan oksigen terlarut dari yang diakumulasi selama siang hari dari aktivitas fotosintesis. Proses respirasi didominasi oleh organisme hidup di kolom air (terutama fitoplankton) dan respirasi di sedimen dengan kontribusi relatifnya tergantung pada faktor kedalaman. Kadar oksigen terlarut di lapisan hipolimniom memungkinan untuk lebih rendah, karena respirasi di sekitar sedimen akan lebih intensif sementara itu percampuran air dari permukaan ke bagian dalam dibatasi oleh stratifikasi panas, yang umumnya terjadi pada musim panas (Miranda et al, 2001). Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Gambar 6. Fluktuasi harian oksigen terlarut di Teluk Bongas, Waduk Saguling A) Mewakili muka air tinggi (Juni 1995) B) Mewakili muka air rendah (Desember 1995) Sumber: Lukman (1996) Fenomena fluktuasi kadar oksigen harian yang lebar, juga tampak teramati di di wilayah KJA Waduk Saguling, menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen pada kolom air sama sekali hanya tergantung dari proses-proses fotosintetik fitoplankton siang hari (Gambar 6). Kadar oksigen pada siang hari akan meningkat tajam (4 – 5 mg/l), sedangkan pada malam hari akan menurun sejalan dengan tidak adanya aktivitas fotosintentik, sehingga akan sangat minim saat pagi hari (1 – 3 mg/l), karena proses-proses respirasi akan terus berlangsung. Kondisi tersebut menjadi sangat kritis jika cuaca mendung pada hari berikutnya karena tidak adanya pasokan oksigen dari proses fotosintesis. Akumulasi Organik di Sedimen Aktivitas KJA secara pasti akan memasok limbah organik, baik yang bersumber dari feses maupun sisa pakan yang tidak termakan ikan. Berdasarkan data Garno (2002) perkiraan beban organik dari KJA di perairan Saguling adalah 29.869 ton/tahun, di Waduk Cirata 145.334 ton, dan di Waduk Jatiluhur 14.492 ton. Limbah organik tersebut secara pasti sebagian diantaranya akan terakumulasi di kolom air dan di dalam sedimen. Pada pengamatan tahun 2000 di Waduk Cirata, Lukman & Hidayat (2002) mendapatkan bahwa bahan organik total di kolom air berkisar antara 13,9 – 22,7 mg.l-1 sedangkan pada sedimen antara 152 -189 mg berat kering per gram sedimen. Pada sedimen Danau Limboto, yang juga memiliki aktivitas KJA, kadar bahan organik totalnya berkisar antara 115-209 mg berat kering per gram sedimen. Wilayah perairan danau yang menjadi pusat aktivitas KJA, ternyata memiliki kadar organik total paling tinggi, mencerminkan adanya pasokan organik yang signifikan dari sisa pakan dan feses ikan yang dipelihara (Lukman et al, 2008). Akumulasi bahan organik total di dalam sedimen akan merubah kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Dengan struktur sedimen yang didominasi bahan organik tersebut tidak semua hewan bentik dapat menjadikannya sebagai habitatnya, sementara pada sisi lain proses degradasi organik yang intensif akan mendorong kondisi oksigen yang rendah bahkan anoksik. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Tingginya kadar organik pada sedimen di perairan Danau Limboto sejalan dengan komunitas biota bentik penghuninya yang didominasi kelompok Tubificidae. Dari kelompok Tubificidae, spesies Limnodrilus hoffmeisteri adalah penyusun utamanya dan tampak sangat menonjol kelimpahanya. Jenis lain dari kelompok Tubificidae ini yang ditemukan adalah Branchiura sowerbyi (Lukman et al, 2008). Kedua jenis ini juga merupakan spesies yang dominan ditemukan pada sedimen di inlet Waduk Cirata, yang juga memiliki kadar organik yang tinggi (Lukman, 2002). Kelompok Tubificid merupakan biota benthik penghuni sedimen perairan yang mengalami penyuburan bahan organik. Sediaan bahan organik memberikan suatu medium yang ideal untuk membuat lubang dan mendapatkan pakannya. Suksesi kelompok Tubificidae berlangsung sejalan dengan semakin memburuknya kondisi perairan, dan pada kondisi yang sangat parah hanya Limnodrilus hoffmeisteri dan Tubifex tubifex yang masih bertahan (Brinkhurst, 1972). Menurut Finegenova (1996), di muara Neva-Finlandia, tempat terjadinya penumpukan sejumlah bahan organik labil, jenis-jenis L. hoffmeisteri, T. tubifex dan Lumbriculus variegatus merupakan spesies-spesies dominan. KESIMPULAN Kegiatan budidaya ikan di dalam KJA akan memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan, namun demikian jika tidak dilaksanakan secara hati-hati akan berdampak terhadap masalah pelestarian lingkungan. Dampak aktivitas KJA pada kondisi kualitas air permukaan, ditandai meningkatnya kesuburan (eutrofikasi) sedangkan pada kolom air bagian bawah adalah pembentukan lapisan anaerobik atau kondisi anoksik (kondisi tanpa oksigen) yang makin besar akibat dari akumulasi bahan organik di dasar perairan. Akumulasi bahan organik di dasar perairan selain menciptakan kondisi rendahnya ketersediaan oksigen terlarut, juga akan merubah struktur habitas bentik yang pada akhirnya merubah struktur komunitas biotas penghuninya. PENUTUP Pada masa yang akan datang, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya berbagai kepentingan, pemanfaatan perairan danau dan kawasan di sekitarnya akan semakin intensif dan menambah beban terhadap ekosistem danau. Kegiatan KJA hanyalah salah satu aktivitas yang berkembang di perairan danau dengan dampak limbah yang mungkin sama dengan aktivitas di daratannya, namun pengendalian limbah yang dihasilkan akan jauh lebih sulit karena KJA berada langsung di dalam perairan. Dampak aktivitas KJA yang paling nyata adalah peningkatan hara di perairan, terciptanya kondisi anoksik di wilayah hipolimnion dan perubahan struktur habitat bentik sebagai dampak dari akumulasi organik pada sedimen. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah berubahnya struktur komunitas biota perairan, diantaranya pada kolom air terjadinya perubahan komunitas plankton sedangkan di dasar perairan yang terpengaruh adalah komunitas bentik. Perubahan tersebut akan menghancurkan sistem rantai makanan yang telah terbentuk, dan berpengaruh pada komunitas biota yang telah ada dan mungkin mengancam biota-biota endemik yang dimiliki perairan danau di Indonesia. Pada sisi lain, perairan danau juga memiliki nilai-nilai sumberdaya yang beragam, diantaranya dengan kebutuhan kualitas air yang tinggi, seperti untuk air minum dan pariwisata. Pemanfaatan tersebut secara nyata akan berseberangan dengan kebutuhan untuk aktivitas KJA. Mengingat dampak dari kegiatan KJA tidak dapat diprediksi dan multidimensi, maka perlu pertimbangan-pertimbangan yang seksama sebelum membuat keputusan pengembangannya di perairan danau. Beberapa hal yang sangat perlu dipertimbangkan Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

adalah: i) Sifat karakter perairan danau; ii) Kondisi biologisnya terkait biota-biota spesifik dan endemik; iii) Pemanfaatan perairan yang saat ini berjalan dan rencana pemanfaatan di masa yang akan datang; iv Penilaian tingkat daya dukung dan luasan dampak yang akan terjadi jika KJA dikembangkan; v) Penetapan lokasi-lokasi pengembangan KJA, serta kendali dan pemantauan lingkungan manakala KJA sudah berjalan. DAFTAR PUSTAKA Adiwilaga, E. M., 1999. Pengelolaan Perikanan di Waduk Saguling dan Cirata suatu Tinjauan Ekologi. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. IPB-Ditjen Bangda-Ditjen Pengairan – KLH. XIX (1-8) Agustedi & Adriati, 1997. Analisis Usaha Budidaya Ikan dengan Sistem Keramba Jaring Apung di Waduk Maninjau. Fish J. Garing, 6 (1): 19 - 27 Anonim, 2005. Kajian Ekohidrologi sebagai Dasar Penetapan Pola Pengelolaan Danau Limboto secara Terpadu. Laporan Akhir. Direktorat Sungai, Danau dan Waduk Dep. PUNursula Jaya Utama, PT. Anonim, 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009, tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air danau dan/atau Waduk. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 22 hal. Ardika, G., 1999. Danau dan Waduk dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Lake and Reservoir in the Development of Continuable Tourism System). Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. PPLH-IPB, Ditjen Bangda-Depdagri, Ditjen Pengairan-Dep.PU, dan Kantor Men. LH. Bogor. Hal. IV (1– 13) Arifin, S., 2004. Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding Lokakarya Danau Kedua Pengelolaan Danau Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Forum Danau Indonesia (FDI) dan International Lake Environment Committee Foundation (ILEC). Hal. 89 – 95. Azwar, Z.I., N. Suhenda, & O. Praseno. 2004. Manajemen Pakan pada Usaha Budi Daya Ikan dalam Karamba Jaring Apung. Dalam: Sudradjat, A., S.E. Wardoyo, Z.I. Azwar, H. Supriyadi, & B. Priono (Penyunting). Pengembangan Budi Daya Perikanan di Perairan Waduk. Suatu Upaya Pemecahan Masalah Budi Daya Ikan dalam Karamba Jaring Apung. Pusat Riset Perikanan Budidaya, BRKP, DKP. Hal.37 - 44 Beveridge, MCM. 1987. Cage Aquaculture. Fishing News Books, Ltd. Fornham Survey, 352 p Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Sci. Publ.Co. New York. p 317. Brinkhurst, R.O,1972. Distribution and Abundance of Tubificid (Oligochaeta) Species in Toronto Harbour, Lake Ontario. J. Fish. Res. Bd. Can. 27: 1961 -1969. Cornett, R.J & F.H. Rigler, 1987. Decomposition of Seston in the Hypolimnion. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 44: 146 - 151 Dean WE. 1999. The Carbon Cycle and Biogeochemical Dynamicsin Lake Sediments. Journal of Paleolimnology, 21: 375–393 Fakhrudin, M., H. Wibowo, L. Subehi, dan I. Ridwansyah 2002. Karakterisasi Hidrologi Danau Maninjau Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2002. Pusat Penelitian Limnologi – LIPI, 65 – 75. FAO, 1972. Inland Fisheries Development in West Irian, Indonesia. Report on Project Result Conclusion and Recommedation. FAO, United Nations. Rome, p. 41 Finogenova, N. P. 1996. Oligochaete Communities at the Mouth of the Neva and their Relationship to Anthropogenic Impact. Hydrobiologia 334: 185 – 191. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Frisk, T. 1982. An Oxygen Model for Lake Haukivesi. Hydrobiologia 86: 133 -139 Garno, Y. S dan T. A. Adibroto, 1999. Dampak Penggemukan Ikan di Badan Air Waduk Multiguna pada Kualitas Air dan Potensi Waduk. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. IPB- Ditjen Pengairan - Men KLH. XVII: 1-10 Garno, Y. S. 2002. Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budiaya dan Yutrofikasi di Perairan Waduk pada DAS Citarum. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3(2): 112 – 120. Giesen, W. 1991. Indonesian Major Freshwater Lakes: A Review of Current Knowledge. Development Processes and Threats, Conservation and Management of Tropical Inland Water Problems,Hongkong. Harris, G. P. 1986. Phytoplankton Ecology. Structure, Function and Fluctuation. Chapman & Hall. London. 384 p Higashino M, O’Connor BL, Hondzo M, Stefan HG. 2008. Oxygen Transfer from Flowing Water to Microbes in an Organic Sediment Bed. Hydrobiologia. DOI 10.1007/s10750008-9508-8 Husen, M. 2203. Kelestarian Danau dan Waduk di DAS Citarum, Potensi dan Ancaman. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian Univ. Padjadjaran. Hal. 3: 61 - 74 Kartamihardja, E. S. 1998. Pengembangan dan Pengelolaan Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan di Perairan Waduk dan Danau Serbaguna. Posiding Simposium Perikanan Indonesia II, Ujung Pandang, 2 -3 Desember 1997. Klessig, L.L 2001. Lakes and Society: The Contribution of Lakes to Sustainable Societes. Lakes & Reservoirs: Research and Management 6: 95 - 101 Kottelat, M., A.J.Whitten, S.N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Pariplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta 293 hal. Krismono, 1998. Pengelolaan Lingkungan Kawasan Akuakultur di Waduk. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Kawasan Akuakultur secara Terpadu. Direktorat Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Lewis, W. M. Jr. 2000. Basis for the Protection and Management of Tropical Lakes. Lake & Reservoir: Research and Management 5: 35 - 48 Lukman, 1996. Neraca Oksigen di Lokasi Jaring Apung Wilayah Bongas, Waduk Saguling. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi – LIPI Tahun 1995/1996. Puslit Limnologi-LIPI. Hal. 47 - 60 Lukman, 2002. Peranan Kecepatan Arus dan Bahan Organik Sedimen terhadap Biomassa Oligochaeta di Inlet Waduk Cirata. Limnotek, Perairan Darat Tropis di Indonesia. 9(1): 1 – 13. Lukman & Hidayat, 2002. Beban dan Distribusi Bahan Organik di Waduk Cirata, Jurnal Teknologi Lingkungan 3 (2): 129 – 135. Lukman & I. Ridwansyah. 2003. Kondisi Daerah Tangkapan dan Ciri Morfometri Danau Lindu Sulawesi Tengah. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, No. 35: 11 -20 Lukman, T. Suryono, T. Chrismadha, M. Fakhrudin, & J. Sudarso, 2008. Stuktur Komunitas Biota Bentik dan Kaitannya dengan Karakteristik Sedimen di Danau Limboto, Sulawesi. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, Vol. 34(3): 479 – 494. Lukman & I. Ridwansyah, 2009. Telaah Kondisi Fisik Danau Poso dan Prediksi Ciri Ekosistem Peraiannya. Limnotek, Perairan Darat Tropis di Indonesia.16 (2): 64 - 73. Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193

Lukman & I. Ridwansyah, 2010. Kajian Morfometri dan beberapa Paramaeter Stratifikasi Perairan Danau Toba. Limnotek, Perairan Darat Tropis di Indonesia.17 (2) Lukman, M. Badjoeri, Y. Syawal, & H.A. Rustini, 2009. Antisipasi Bencana Lingkungan Perairan Danau Toba melalui Penetapan Dayadukung dan Pemintakatan Wilayah Budidaya. Laporan Akhir Tahun 2009 Kegiatan Program Kompetitif – LIPI. Puslit Limnologi – LIPI. 79 hal. Lukman, M. Badjoeri, S.H. Nasution, 2010. Antisipasi Bencana Lingkungan Perairan Danau Toba melalui Penetapan Dayadukung dan Pemintakatan Wilayah Budidaya. Laporan Akhir Tahun 2010 Kegiatan Program Kompetitif – LIPI. Puslit Limnologi – LIPI. 70 hal. Lukman, A. Hamdani, & Sutrisno, 2011. Pola Stratifikasi Harian Oksigen Terlarut di Kawasan Karamba Jaring Apung (KJA) di Perairan Danau Maninjau. (Dalam proses penulisan) Mason 1988. Biology of Freshwater Pollution. Longman Sci & Technical. Singapore. 250 p Miranda LE, Hargreaves JA, & Raborn SW.2001. Predicting and Managing Risk of Unsuitable Dissolved Oxygen in a Eutrophic Lake. Hydrobiologia, 457:177–185 Nŏges, T., R. Laugaste, P. Nŏges & I. Tŏnno., 2008. Critical N:P Ratio for Cyanobacteria and N2-fixing Species in the Large Shallow Tempearate Lakes Peipsi and Vŏrtsjärv, NorthEast Europe. Hydrobiologia 599: 77 -86 Nontji, A. 1989. Inland Water Resources and Limnology in Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. p 41. Sukimin, S. 2008. The Aplication of a Phosphorus Loadings Models Estimating the Carryng Capacity for Cage Culture and its Productivity of Saguling Reservoir, West Java,Indonesia. Proceeding International Conference on Indonesian Inland Waters. Palembang, 17 – 18 November 2008. BRPPU-PRPT-BRKP, Dept. MSP-IPB, Puslit Limnologi-LIPI, FMIPA-UNSRI, Pemprov. Sumsel. Research Institut for Inland Fisheries. p. B.99 – 104 Sulastri, 2002. Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Fitoplankton sebagai Dasar Analisis Kondisi Pencemaran Danau Maninjau, Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2002. Puslit Limnologi – LIPI. Hal. 255-271 Suryono, T & Lukman, 2009. Kondisi Kualitas Lingkungan Perairan Danau Poso, Sulawesi Tengah. Jurnal Hidrosfir Indonesia, Vol.4(2): 63 - 69 Wetzel, R. G. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystem. 3rd Edition. Academic Press, San Diego

Makalah pada buku “Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia: Studi Kasus dan Pengurangan Dampak Resikonya” Editor: H. Z. Anwar & H. Harjono. Sub Kegiatan Kompetitif Kebencanaan dan LingkunganLIPI. Tahun 2011. Hal. 173 - 193