PERAN AGROINDUSTRI HULU DAN HILIR DALAM PEREKONOMIAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA
NANDIKA AISYA PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2017 Nandika Aisya Pratiwi NIM H453130261
RINGKASAN NANDIKA AISYA PRATIWI. Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Dibimbing oleh HARIANTO dan ARIEF DARYANTO Industrialisasi pertanian melalui pengembangan sektor agroindustri dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian Indonesia jika dilihat dari PDB, output, nilai tambah, ekspor dan impor, (2) menganalisis perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam distribusi pendapatan, (3) mengetahui subsektor agroindustri hulu atau hilir yang lebih berperan dalam perekonomian Indonesia dan memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata bagi masyarakat Indonesia, dan (4) menganalisis perbandingan peran agroindustri dan industri lain non agroindustri dalam PDB, output, nilai tambah, ekspor dan impor. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data utama yang digunakan adalah data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dan data Updating Input Output tahun 2008 sebagai data SNSE dan IO terakhir yang diterbitakan oleh Badan Pusar Statistik. Selain itu, data-data pendukung yang digunakan antara lain data Indikator Industri, data Survei Industri, dan data Statistik Indonesia. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan serta instansi terkait. Peran agroindustri hulu dan hilir ini akan dianalisis menggunakan analisis pengganda neraca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroindustri hilir memberikan penciptaan output dan kesempatan kerja yang besar sedangkan agroindustri hulu memberikan kontribusi pada PDB lebih besar. Pada indikator ekspor, agroindustri hulu berperan lebih besar daripada agroindustri hilir sedangkan untuk impor berlaku sebaliknya. Dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan di rumah tangga pertanian maupun rumah tangga non pertanian, agroindustri hilir lebih berperan dalam memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata. Selanjutnya, berdasarkan peringkat dalam kontribusinya pada perekonomian nasional dan distribusi pendapatan, maka agroindustri hilir berperan lebih besar daripada agroindustri hulu. Kemudian, jika dibandingkan dengan industri-industri yang tidak berbahan baku dari sektor pertanian primer (non agroindustri), agroindustri baik hulu maupun hilir memberikan kontribusi pada perekonomian lebih besar terutama pada indikator output, nilai tambah PDB, dan impor. Namun, jika dilihat dari sisi ekspor, industri non agroindustri memiliki kontribusi yang lebih besar dalam perekonomian Kata Kunci : hilir, hulu, PDB, pendapatan, SNSE
SUMMARY NANDIKA AISYA PRATIWI. Role of the Upstream and Downstream Agroindustry in Economy and Income Distribution in Indonesia. Supervised by HARIANTO and ARIEF DARYANTO. Agricultural industrialization through the development of agroindustrial sector, is regarded as the most appropriate transition in helping Indonesian economic transformation process. This research was conducted (1) to analyze the comparison role of upstream and downstream agroindustry in Indonesian economy according to the GDP, output, added value, export and import, (2) to analyze the comparison role of upstream and downstream agroindustry on income distribution, (3) to know the upstream and downstream agroindustrial subsectors with more role in the Indonesian economy and which give more equal income distribution to Indonesian citizen, and (4) to analyze the comparison role of agroindustry and other non agroindustrial industries on GDP, output, added value, export and import. All the data used in this research are secondary data. The main ones are the Social Accounting Matrix and the 2008 Updating Input Output data as the last SAM and IO data which are published by the Central Bureau of Statistics. Other than that, several supporting data were also used, some of them are the Industrial Indicator data, the Industrial Survey data and the Indonesian Statistics data. The sources of the data are Statistics Indonesia, Indonesian Ministry of Agriculture, Indonesian Ministry of Trade and other related institutions. This role of upstream and downstream agroindustry will be analyzed with the multiplier analysis balance. The result shows that the downstream agroindustry gives bigger output and more job opportunities whereas the upstream agroindustry gives more contribution in GDP. Regarding to the export indicator, the upstream agroindustry has a bigger role than the downstream, while the opposite applies for the import indicator. In relation to the distribution of agricultural and non agricultural household income, the downstream agroindustry has more role in giving the more equal income distribution. Furthermore, based on the rank of its contribution to the national economy and the income distribution, the downstream agroindustry has more role than the upstream. Moreover, compared to industries which use no raw material from the primary agricultural sectors (non agroindustry), either the upstream or downstream agroindustry give bigger contribution to the economy, especially on the output indicators, value added GDP and import. However, seeing from the export side, non agroindustrial industries have greater contribution in the economy. Keywords: downstream, upstream, GDP, income, SAM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERAN AGROINDUSTRI HULU DAN HILIR DALAM PEREKONOMIAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA
NANDIKA AISYA PRATIWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir DS Priyarsono, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2015 ini ialah agroindustri, dengan judul Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto, MS dan Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir DS Priyarsono, MS dan Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak BPS yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, suami, putri tercinta serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2017 Nandika Aisya Pratiwi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Agroindustri Agroindustri Hulu dan Hilir Peran dan Peluang Agroindustri dalam Perekonomian Indonesia Studi Terdahulu tentang SNSE dan Agroindustri Studi Terdahulu tentang SNSE, Pertumbuhan Ekonomi, dan Distribusi Pendapatan 3 KERANGKA TEORITIS Model Pembangunan Dua Sektor Strategi Industrialisasi di Indonesia Pertumbuhan vs Ketidakmerataan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Pengganda Neraca SNSE Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian 4 METODE Jenis dan Sumber Data Tahapan Analisis Metode Analisis Analisis Pengganda Neraca 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Output, Nilai Tambah dan Produk Domestik Bruto Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Ekspor dan Impor Peran Agroindustri (Hulu dan Hilir) vs Non Agroindustri dalam Ouput, Nilai Tambah dan Produk Domestik Bruto Peran Agroindustri (Hulu dan Hilir) vs Non Agroindustri dalam Ekspor dan Impor Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
1 1 5 7 7 8 9 9 10 11 14 15 17 17 18 21 22 24 26 28 29 29 29 30 30 32 32 35 37 40 42 46 46 46
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
72
DAFTAR TABEL 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
PDB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010-2013 Subsektor Sektor Industri Pengolahan Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 20102013 Pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas Kerangka Dasar SNSE Indikator-Indikator Ekonomi Versi Aktual dan Versi SNSE-IO 2008 Angka Pengganda Output, Nilai Tambah, dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Agroindustri Hulu dan Hilir Angka Pengganda Ekspor dan Impor Agroindustri Hulu dan Hilir Angka Pengganda Output, Nilai Tambah, dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Agroindustri vs Non Agroindustri Angka Pengganda Ekspor dan Impor Agroindustri vs Non Agroindustri Angka Pengganda Distribusi Pendapatan Agroindustri Hulu dan Hilir
2 3
12 23 29 33 36 38 41 44
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Agroindustri dan Sistem Agribisnis Hubungan Antarneraca dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kerangka Pemikiran
11 25 27
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut SNSE 2008 Klasifikasi Rumah Tangga Menurut SNSE 2008 Kerangka Disagregasi SNSE Agroindustri Hulu dan Hilir Kerangka Disagregasi SNSE Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
53 53 54 55 56 62
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian Indonesia dikenal sebagai negara agraris yaitu negara yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Dalam perjalanan pembangunan pertanian selama ini, sektor pertanian lebih ditempatkan sebagai faktor pendorong pembangunan nasional, bukan sebagai landasan utama pembangunan nasional. Sebagai bangsa yang besar dengan potensi pertanian yang luas, seharusnya pembangunan bidang pertanian menjadi sektor utama pembangunan nasional. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Sekitar 45 persen tenaga kerja tergantung dari sektor pertanian primer. Peranan sektor pertanian selama ini dalam perekonomian nasional secara tradisional kerap hanya dilihat melalui kontribusinya dalam pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan baru sektor pertanian sekarang ini dapat diletakkan dalam kerangka “3F contribution in the economy” yaitu food (pangan), feed (pakan) dan fuel (bahan bakar). Peranan pertanian terkait pangan adalah sektor pertanian sebagai leading sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Kaitannya dengan pakan, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak. Kemudian, terkait dengan bahan bakar, sektor pertanian digunakan sebagai sumber energi terbarukan (renewable) untuk keperluan bahan bakar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian telah berperan sebagai penghasil energi (Daryanto 2009a). Besarnya peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya aspek food (pangan), feed (pakan) dan fuel (bahan bakar) menunjukkan bahwa eksistensi sektor pertanian telah mampu menciptkan rantai nilai tambah bisnis yang berasal dari lahan usaha hingga makanan yang siap saji (from farm to table business). Sektor pertanian tidak hanya berkaitan dengan on-farm saja, tetapi juga berkaitan dengan off-farm baik hulu hingga hilir. Hal ini memperlihatkan bahwa sektor pertanian berperan strategis dalam mewujudkan pembangunan secara komprehensif, sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, sekaligus menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan (Daryanto 2009a) Selaras dengan hal tersebut, dalam Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2010) menyatakan bahwa pada kurun waktu 20102014, Kementerian Pertanian telah menetapkan sistem pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan petani sebagai visi pembangunan pertanian. Sistem pertanian industrial merupakan suatu sistem yang menerapkan integrasi usaha tani disertai dengan koordinasi vertikal dalam satu alur produk, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Hal tersebut dipertegas dengan visi yang dituangkan dalam Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045 yaitu terwujudnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari sumber daya hayati
2
pertanian dan kelautan tropika. Dalam hal ini, agroindustri merupakan fondasi dasar untuk menciptakan sistem bioindustri berkelanjutan. Kegiatan pertanian industrial atau yang biasa disebut dengan agroindustri perlu dikembangkan karena kedua sektor ini yaitu sektor pertanian dan industri memiliki peran yang besar dalam Produk Domestik Bruto. Kontribusi sektor pertanian dan sektor industri pada Produk Domestik Bruto pada empat kurun waktu terakhir dapat ditunjukkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1 PDB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 20102013 Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Produk Domestik Bruto
304.777,1
315.036,8
328.279,7
187.152,5
190.143,2
193.115,7
195.708,5
597.134,9
633.781,9
670.190,6
707.457,8
18.050,2
18.899,7
150.022,4 400.474,9
159.122,9 437.472,9
170.884,8 473.110,6
182.117,9 501.158,4
217.980,4
241.303,0
265.383,7
292.421,5
221.024,2
236.146,6
253.022,7
272.151,9
217.842,2 232.659,1 2.314.458,8 2.464.566,1
20.080,7
339.890,2
21.201,0
244.869,9 258.237,9 2.618.938,4 2.770.345,1
Sumber : BPS 2013
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki pangsa terbesar terhadap PDB sebesar 25,8% pada tahun 2010; 25,71% pada tahun 2011; 25,59% pada tahun 2012; dan 25,53% pada tahun 2013. Kemudian, sektor pertanian sebagai sektor dengan pangsa terbesar ketiga dalam PDB setelah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kontribusi sektor pertanian sebesar 13,16% pada tahun 2010; 12,78% pada tahun 2011; 12,53% pada tahun 2012, dan 12,26% pada tahun 2013. Dari data tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki peran yang besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kebijakan di sektor pertanian seringkali memposisikan sektor pertanian hanya sebagai pendukung bagi sektor-sektor lainnya, terutama industri. Akhirnya sejumlah kebijakan sektor perdagangan dan industri, kebijakan fiskal dan moneter yang dikeluarkan kurang mendukung secara optimal terhadap peningkatan kinerja
3
sektor pertanian. Padahal, sektor pertanian dan sektor industri terkait erat dalam kegiatan agroindustri. Bahan baku agroindustri adalah produk primer pertanian yang nantinya lewat kegiatan industri akan diolah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi yang memiliki nilai tambah. Keterkaitan antara sektor pertanian dan industri ditunjukkan dengan banyaknya industri yang bergerak di subsektor agroindustri. Hubungan tersebut dalam kurun waktu empat tahun terakhir ditunjukkan pada Tabel 2 berikut Tabel 2 Subsektor Sektor Industri Pengolahan Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010-2013 Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 3. Industri Pengolahan a.Industri Migas 1) Pengilangan Minyak Bumi 2) Gas Alam Cair (LNG) b. Industri Bukan Migas 1) Makanan, Minuman dan Tembakau 2) Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 3) Kayu dan Produk Lainnya
597.134,9 47.199,3 21.346,5
633.781,9 46.757,8 21.459,7
670.190,6 45.450,6 21.046,5
707.457,8 44.627,4 21.262,6
25.852,8
25.298,1
24.404,1
23.364,8
549.935,6 159.947,2
587.024,1 174.566,7
624.740,0 187.787,0
662.830,4 194.063,0
52.206,2
56.131,1
58.527,1
62.076,7
19.359,7
19.427,4
18.817,8
19.980,8
4) Produk Kertas dan 27.544,7 Percetakan 5) Produk Pupuk, Kimia 72.782,0 dan Karet 6) Produk Semen dan 16.255,6 Penggalian Bukan Logam 7) Logam Dasar Besi dan 7.885,6 Baja 8) Peralatan, Mesin dan 189.947,9 Perlengkapan Transportasi 9) Industri Pengolahan 4.006,7 Lainnya
27.930,3
26.603,5
27.786,1
75.657,5
83.598,2
85.449,3
17.424,1
18.783,4
19.346,5
8.915,2
9.437,4
10.091,1
202.892,0
217.152,1
240.031,6
4.079,8
4.033,5
4.005,3
Sumber : BPS 2013
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa industri non migas memiliki kontribusi sebesar 92,62%. Dari kontribusi industri non migas tersebut, 60,25% adalah kontribusi dari industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki; industri kayu dan produk lainnya; industri produk kertas dan percetakan; serta industri produk pupuk, kimia dan karet. Kelima
4
industri tersebut merupakan industri yang mengandalkan sektor pertanian sebagai bahan bakunya. Mengingat eratnya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri, maka paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang berorientasi pada Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) merupakan strategi industrialisasi yang tepat bagi Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar sumberdaya berada di sektor pertanian dan sebagian besar penduduk Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian. Menurut Daryanto (1999) perluasan kegiatan pertanian merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis. Ada lima alasan yang menjadikan sektor pertanian ini sebagai fokus utama. Pertama, pertanian sebagai penyedia komoditas kebutuhan dasar yang memadai dan merupakan prioritas strategis pemerintah dalam mewujudkan kondisi pemerintahan yang stabil. Kedua, rendahnya proporsi input impor di sektor pertanian yang berarti pertanian tidak seperti sektor lain yang terpengaruh pada saat krisis. Ketiga, fungsi sektor pertanian adalah sebagai katup pengaman sosial dengan menyerap beberapa tenaga kerja bagi orang-orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja maupun yang tidak mendapat pekerjaan di perkotaan. Keempat, sektor pertanian dapat memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara. Kelima, sektor pertanian merupakan sumber yang potensial dari permintaan sektor lain. Ketika sektor pertanian berkembang maka akan memberikan stimulasi permintaan untuk produk industri. Industrialisasi pertanian melalui pengembangan sektor agroindustri juga dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Transformasi ini diperlukan mengingat dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang terjadi pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder bahkan ke sektor tersier. Sektor primer terdiri atas sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sektor sekunder dipimpin oleh sektor manufaktur, sedangkan sektor tersier terdiri atas sektorsektor perdagangan, transportasi, keuangan, dan jasa-jasa. Apabila dilihat dari sistem agribisnis, agroindustri merupakan bagian (subsistem) agribisnis yang memproses dan mentransformasikan bahan-bahan hasil pertanian menjadi barang-barang setengah jadi yang langsung dapat dikonsumsi dan barang atau bahan hasil produksi industri yang digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk, pestisida, mesin peralatan, dan lain-lain. Dari batasan tersebut, agroindustri merupakan subsektor yang luas yang meliputi industri hulu sektor pertanian sampai dengan industri hilir. Industri hulu adalah industri yang memproduksi alat-alat dan mesin pertanian serta industri sarana produksi yang digunakan dalam proses budidaya pertanian. Industri hilir merupakan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi atau merupakan industri pasca panen dan pengolahan hasil pertanian (Udayana 2011). Subsektor agroindustri baik agroindustri hulu maupun hilir akan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kesenjangan pendapatan, sehingga kemiskinan akan berkurang. Dengan demikian peran sektor pertanian dalam PDB tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan perannya dalam menarik dan mendorong pembangunan khususnya di pedesaan. Agroindustri hulu dan hilir
5
akan menciptakan pertumbuhan pendapatan di kalangan rumah tangga pertanian yang sebagian besar memiliki keterkaitan kegiatan konsumsi sehingga menciptakan pasar bagi produk-produk domestik termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri dan hal ini akan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan perekonomian nasional yang cepat dan merata. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini akan dikaji mengenai peran pengembangan agroindustri dalam perekonomian Indonesia dan distribusi pendapatan rumah tangga. Perumusan Masalah Pembangunan industri pertanian (agroindustri) di Indonesia merupakan jembatan transformasi struktural bagi perekonomian Indonesia. Dalam kaitannya dengan potensi Indonesia sebagai negara agraris, agroindustri merupakan upaya modernisasi pertanian dengan memanfaatkan keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri. Proses industrialisasi tersebut telah mengakibatkan perubahan peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia yang ditunjukkan melalui penurunan proporsi output sektor pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun dalam lima dasawarsa ini, berkebalikan dengan sektor industri pengolahan (manufaktur) yang pangsanya terus meningkat. Di sisi lain, sumbangan sektor pertanian terhadap lapangan kerja memang relatif menurun, tetapi penurunannya tidak secepat kenaikan sumbangan sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja. Data dari BPS (2013) menyebutkan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia terutama dalam kaitannya dengan sumbangan pada PDB dan sumbangan pada lapangan kerja terus menurun. Kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB rata-rata menurun sebesar 6,62% tiap dasawarsa, sedangkan sumbangan pada lapangan kerja rata-rata menurun sebesar 2,32% tiap dasawarsa. Penurunan kontribusi sektor pertanian ini dibersamai dengan kenaikan kontribusi sektor industri pengolahan. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap pembentukan PDB relatif naik dengan rata-rata kenaikan sebesar 4,48% tiap dasawarsa, sedangkan sumbangan pada lapangan kerja relatif naik dengan rata-rata kenaikan sebesar 2,77% tiap dasawarsa. Dari angka-angka tersebut, terlihat bahwa laju penurunan kontribusi sektor pertanian tidak secara cepat diimbangi oleh laju peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan. Bahkan, dalam sepuluh dasawarsa terakhir, sumbangan sektor industri pengolahan pada PDB maupun pada penyediaan kesempatan kerja cenderung menurun. Mengingat adanya gap yang masih cukup besar antara pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang semakin menurun dan masih besarnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, maka harus ada upaya gradual untuk menurunkan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian. Upaya ini dapat dilakukan melalui peningkatan aktivitas off-farm, yaitu melalui pengembangan agroindustri hulu dan hilir yang melibatkan secara langsung petani dan masyarakat perdesaan (Kementerian Pertanian 2013a).
6
Dengan berbagai capaian kinerja perekonomian lima tahun terakhir, persoalan pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah mendasar pembangunan. Adanya perbedaan distribusi pendapatan yang cukup tinggi menyebabkan tingkat kemiskinan juga semakin tinggi. Berdasarkan data dari BPS (2011), meskipun sepanjang periode 2006-2011 tingkat pengangguran dan kemiskinan menunjukkan tren penurunan, namun jumlah pengangguran terbuka sebesar 7,7 juta jiwa (6,56%) dan kemiskinan 30,02 juta jiwa (12,49%) merupakan angka yang relatif besar. Dalam rangka menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan ini diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan terdistribusi secara lebih merata. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong penciptaan nilai tambah atas komoditas yang dihasilkan di Indonesia. Bila dilihat dari nilai tambah menurut subsektor, secara umum industri pengolahan meningkat dari 719 triliun rupiah pada 2008 menjadi 798 triliun rupiah pada 2009. Subsektor dengan nilai tambah tertinggi adalah industri makanan dan minuman sebesar 147 triliun rupiah pada 2009. Berikutnya, diurutan kedua ditempati oleh subsektor kimia dan barang-barang dari bahan kimia sebesar 116 triliun rupiah pada 2009. Di urutan selanjutnya relatif mengalami persaingan antara subsektor tembakau, tekstil, dan kendaraan bermotor masing-masing memiliki nilai tambah sebesar 54,40 triliun rupiah, 54,61 triliun rupiah, dan 48 triliun rupiah (Kementerian Perindustrian 2012a). Dengan melihat besar dan berkembangnya nilai tambah pada industri pengolahan, khususnya industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustri) tentunya dapat menjadi argumentasi yang kuat untuk melakukan upaya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Hal tersebut selaras dengan penelitian Fauzi (2008) yang menyimpulkan bahwa strategi pembangunan ekonomi mendatang sepatutnya diarahkan pada startegi agriculture and agroindustri based development (AABD). Beberapa temuan penting antara lain sektor pertanian dan agroindustri menduduki peringkat teratas berdasarkan angka multiplier, sektor pertanian mempunyai efek pengganda lebih banyak tersebar kepada rumah tangga pengusaha pertanian dan menemukan bahwa kebijakan produksi dan harga di sektor pertanian lebih baik dalam mendorong perekonomian. Bersama-sama dengan sektor pertanian primer, sektor agroindustri dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan. Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain. Keterkaitan tersebut terdiri dari keterkaitan produk, keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja. Hal tersebut diharapkan berimplikasi melalui pengembangan sektor agroindustri dan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Agroindustri yang dibagi menjadi agroindustri hulu dan hilir memiliki peran masing-masing dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pembangunan agroindustri baik agroindustri hulu maupun hilir diperlukan dalam
7
upa ya pengurangan kesenjangan pendapatan yang sebagian besar berada di sektor pertanian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian Indonesia? 2. Bagaimana perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam distribusi pendapatan masyarakat Indonesia? 3. Subsektor agroindustri hulu atau hilirkah yang lebih berperan dalam perekonomian Indonesia dan memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata bagi masyarakat Indonesia? 4. Bagaimana perbandingan peran agroindustri dalam perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan industri lain non agroindustri?
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian Indonesia jika dilihat dari PDB, output, nilai tambah, ekspor dan impor 2. Menganalisis perbandingan peran agroindustri hulu dan hilir dalam distribusi pendapatan 3. Mengetahui subsektor agroindustri hulu atau hilir yang lebih berperan dalam perekonomian Indonesia dan memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata bagi masyarakat Indonesia 4. Menganalisis perbandingan peran agroindustri dalam PDB, output, nilai tambah, ekspor dan impor jika dibandingkan dengan industri lain non agroindustri
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Peneliti atau pemerhati sektor pertanian dan ekonomi sebagai salah satu bahan kajian dalam menganalisis kebijakan-kebijakan pertanian 2. Pemerintah atau pengambil kebijakan sebagai bahan dan masukan dalam membuat rancangan kebijakan pertanian, terutama yang berkaitan dengan agroindustri
8
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengkaji peran pembangunan agroindustri yang didisagregasi menjadi agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian Indonesia dan distribusi pendapatan masyarakat. Data utama yang digunakan adalah data Sistem Neraca Sosial Ekonomi tahun 2008. Disagregasi agroindustri hulu dan hilir berdasarkan data Input Output Indonesia 2008 dan Survei Industri. Sedangkan perekonomian Indonesia yang dimaksud adalah peranan agoindustri terhadap struktur PDB, output, nilai tambah, ekspor, dan impor. Penggolongan data dalam penelitian ini berdasarkan SNSE ukuran 105x105. Ada tiga asumsi terkait dengan model SNSE ini. Asumsi pertama adalah homogenity yaitu pengeluaran dan penerimaan tiap sektor adalah output tunggal. Asumsi kedua adalah proportionality yaitu penerimaan dan pengeluaran bersifat linier (constant return to scale). Asumsi ketiga adalah additivity yaitu mengabaikan pengaruh luar. Dari asumsi-asumsi tersebut, dapat diketahui tiga macam keterbatasan model SNSE. Pertama, SNSE bersifat statis yaitu hanya dapat melihat perekonomian dalam tahun tertentu. Kedua, sifat linier SNSE menyebabkan model ini mengabaikan perubahan dan teknologi. Ketiga, SNSE hanya tersedia pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, keterbatasan penggunaan SNSE juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Agroindustri Agroindustri didefinisikan sebagai bagian dari manufaktur, yaitu sektor yang memproses bahan baku dan produk antara yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Agroindustri merupakan bagian dari konsep yang lebih luas dari agribisnis karena mencakup pemasok input ke pertanian, perikanan dan sektor kehutanan dan distributor makanan dan non-makanan output dari agroindustri (Silva et al. 2009) Berdasarkan pemikiran tersebut dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih dan Krishnamurti (1992) menyebutkan beberapa poin berikut: 1. Agroindustri memiliki keterkaitan (linkages) yang besar baik hulu maupun hilir. Agroindustri pengolahan yang menggunakan bahan baku hasil pertanian berarti memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau dengan kegiatan industri lain. Sedangkan bagi agroindustri penyedia sarana produksi (pupuk, pestisida, alatalat pertanian) akan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan budidaya dan dengan industri atau kegiatan lain yang menyediakan input. Keterkaitan yang erat ini merupakan hal yang logis dan sebagai konsekuensinya juga akan menciptakan pengaruh multiplier yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. 2. Produk-produk agroindustri, terutama agroindustri pengolahan umumnya memiliki nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi (elastis) jika dibandingkan dengan produk pertanian dalam bentuk segar atau bahan mentah. Sehingga dengan makin besarnya pendapatan masyarakat, akan makin terbuka pula pasar baik bagi produk agroindustri. Hal ini akan memberikan prospek yang baik bagi kegiatan itu sendiri, dengan demikian akan memberikan pengaruh pula kepada seluruh kegiatan yang dipengaruhinya. 3. Kegiatan agroindustri umumnya bersifat resource based indusrty, sehingga dengan dukungan potensi sumberdaya alam Indonesia, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia, di samping dapat memiliki pasar domestik yang cukup terjamin. 4. Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang renewable, sehingga keberlangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin, di samping kemungkinan untuk timbulnya masalah pengurasan sumberdaya alam yang lebih kecil. Menurut Austin (1992) agroindustri hasil pertanian mampu memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan di kebanyakan negara berkembang karena : 1. Agroindustri pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian. Agroindustri melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian termasuk transformasi produk subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen. Ini berarti bahwa suatu negara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber daya agronomis tanpa pengembangan agroindustri. Di satu sisi, permintaan terhadap jasa
10
2.
3.
4.
pengolahan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi pertanian. Di sisi lain agroindustri tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga menimbulkan permintaan ke belakang yaitu peningkatan permintaan jumlah dan ragam produksi pertanian. Akibat dari hal ini adalah petani terdorong untuk mengadopsi teknologi baru agar produktivitas meningkat, sehingga pendapatan petani dapat meningkat. Agroindustri hasil pertanian sebagai dasar sektor manufaktur. Transformasi penting lainnya dalam agroindustri kemudian terjadi karena permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang meningkat. Agroindustri pengolahan hasil pertanian menghasilkan komoditas ekspor penting. Produk agroindustri termasuk produk dari proses sederhana mendominasi ekspor negara berkembang, sehingga akan menambah devisa negara. Agroindustri pangan merupakan sumber penting nutrisi. Agroindustri dapat menghemat biaya dengan mengurangi kehilangan produksi pasca panen dan menjadikan mata rantai pemasaran bahan makanan dapat memberikan keuntungan nutrisi dan kesehatan dari makanan yang dipasok jika pengolahannya dilakukan dengan baik. Agroindustri Hulu dan Hilir
Menurut Sutardi (2007), agroindustri adalah salah satu sub sistem yang bersama-sama dengan sub sistem lain membentuk sistem agribisnis. Sistem agribisnis yang dimaksud terdiri atas empat cakupan sub sistem : 1. Sub sistem agribisnis hulu di luar areal produksi (agroindustri hulu off-farm) yang meliputi industri sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida); industri mesin dan peralatan pertanian; pengadaan dan distribusi sarana produksi pertanian dan mesin. 2. Sub sistem agribisnis di dalam areal produksi pertanian (on farm) yang meliputi budidaya tanaman, ternak, dan ikan; pemanenan; pengumpulan dan penanganan pasca panen; penjualan dan pemasaran produk pertanian primer. 3. Sub sistem agribisnis hilir di luar areal produksi (agroindustri hilir off-farm) yang meliputi : pengadaan bahan baku dan produk pertanian primer, pengolahan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi serta penjualannya. 4. Sub-sistem pendukung dan kebijakan yang meliputi : fasilitas kredit; penyuluhan pertanian dan informasi; transportasi dan komunikasi; infrastruktur lokal dan nasional; penelitian dan pengembangan; serta lingkungan usaha. Lakitan (2012) menggambarkan keterkaitan kegiatan off-farm hulu dan hilir sebagai berikut :
11
Gambar 1 Agroindustri dan Sistem Agribisnis Dari Gambar 1 terlihat bahwa agroindustri merupakan bagian dari subsistem agribisnis, yaitu subsistem off-farm baik off-farm hulu maupun offfarm hilir. Off-farm hulu terdiri atas industri-industri input (sarana produksi pertanian serta alat dan mesin pertanian), sedangkan off-farm hilir terdiri atas industri penanganan dan pengolahan hasil. Menurut Udayana (2011) secara garis besar agroindustri dapat digolongkan menjadi empat yaitu agroindustri pengolahan hasil pertanian, agroindustri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, agroindustri input pertanian (pupuk, pestisida, herbisida) serta agroindustri jasa sektor pertanian (supporting services).
Peran dan Peluang Agroindustri dalam Perekonomian Indonesia Subsektor agroindustri telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian nasional. Kontribusi tersebut dapat dilihat dari pangsa subsektor ini dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Jika didisagregasi menjadi cabang-cabang industri, maka pertumbuhan agroindustri dapat diperlihatkan pada Tabel 3 berikut
12
Tabel 3 Pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas No Cabang Industri Pertumbuhan (%) 2008 2009 2010 2011 1. Makanan, Minuman, 2,34 11,22 2,78 9,14 dan Tembakau 2. Tekstil, Barang Kulit, -3,64 0,60 1,77 7,52 dan Alas Kaki 3. Barang Kayu dan 3,45 -1,38 -3,47 0,35 Hasil Hutan Lainnya 4. Kertas dan Barang -1,48 6,34 1,67 1,40 Cetakan 5. Pupuk, Kimia dan 4,46 1,64 4,70 3,95 Barang dari Karet 6. Semen dan Barang -1,49 -0,51 2,18 7,19 Galian Bukan Logam 7. Logam dasar Besi -2,05 -4,26 2,38 13,06 dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin, 9,79 -2,87 10,38 6,81 dan Peralatannya 9. Barang Lainnya -0,96 3,19 3,00 1,82 Total 4,05 2,56 5,12 6,74
2012 7,74 4,19 -2,78 -5,26 10,25 7,85 6,45 6,94 -1,00 6,40
Sumber : Kementerian Perindustrian 2013
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pertumbuhan agroindustri khususnya yang berasal dari cabang industri makanan, minuman, dan tembakau selalu mengalami tren positif dari tahun ke tahun. Begitupun dengan cabang industri pupuk, kimia, dan barang dari karet juga mengalami tren positif meskipun pertambahan nilanya tidak sebanyak industri makanan, minuman, dan tembakau. Pertumbuhan dengan trend negatif terdapat pada cabang industri barang kayu dan hasil hutan lainnya. Kemudian untuk cabang industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki serta kertas dan barang cetakan sempat mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2008 tapi kemudian tumbuh dengan tren yang positif hingga tahun 2012. Dari hasil tersebut jika diagregasi terlihat bahwa agroindustri memiliki tren positif yang cukup baik dari tahun ke tahun sehingga layak jika agroindustri merupakan strategi industri yang tepat bagi Indonesia. Dalam kaitannya dengan peluang agroindustri, Deperindag (2005) menyatakan bahwa agroindustri masih sangat besar peluangnya untuk dikembangkan di Indonesia karena beberapa hal. Pertama, potesi permintaan produk-produk komoditas agro semakin besar sejalan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan arus globalisasi. Kedua, perubahan lingkungan strategis dari sisi permintaan seperti pertambahan penduduk, pertumbuhan perkotaan, dan industrialisasi merupakan peluang usaha untuk peningkatan nilai tambah. Ketiga, semakin terbukanya peluang usaha sebagai akibat reformasi ekonomi. Keempat, beroperasinya perusahaan PMA dengan jaringan perusahaan multinasionalnya yang membuka jalan bagi alih teknologi dan pemasaran produk ekspor untuk memasuki pasar internasional. Kelima, adanya kesepakatan AFTA, APEC, dan WTO yang menyebabkan terbukanya pasar domestik di masing-masing negara anggota. Keenam, adanya upaya untuk
13
merelokasikan unit-unit produksi dari beberapa negara maju ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia. Untuk peluang agroindustri di masa yang akan datang, Kementerian Pertanian (2013a) dalam Strategi Induk Pembangunan Pertanian menyatakan bahwa berdasarkan perkembangan kontribusi agroindustri terhadap PDB yang berjalan secara paralel dengan PDB industri, maka setelah mengalami peningkatan pada periode 2010-2023 diperkirakan akan mulai mengalami penurunan setelah tahun 2025 seiring dengan semakin berkembangnya agroservices. Setelah tahun 2025, kontribusi PDB diproyeksikan akan lebih banyak disumbangkan oleh sektor jasa termasuk agroservices. Kontribusi sektor agroservices dalam PDB akan mulai melampaui agroindustri setelah tahun 2035. Selanjutnya, pada periode 2040-2044 peran multifungsi pertanian telah mendominasi dalam desa pertanian-bioindustri berkelanjutan. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian telah berkurang dari 3 persen, demikian pula halnya dengan pangsa sektor pertanian terhadap pembentukan PDB. Di samping itu, pangsa tenaga kerja di sektor agroindustri sudah mencapai 12 persen dan pangsa sektor agroindustri tehadap PDB mencapai 14 persen. Pada periode 2013-2014 tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian masih cukup tinggi berkisar antara 33-39 persen, sementara itu kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan struktur PDB berkisar 12-15 persen, dan pangsa tenaga kerja di sektor agroindustri mencapai 11 persen dan pangsa sektor agro industrterhadap pembentukan PDB mencapai 17 persen. Pada satu dekade kemudian, 2015-2019, tenaga kerja di sektor pertanian sudah turun sampai 33 – 20 persen, sementara pangsa sektor pertanian terhadap pembentukan struktur PDB juga turun berkisar 9-12 persen. Selanjutnya, pangsa tenaga kerja di sektor agroindustri meningkat hingga 16 persen dan pangsa sektor agroindustri terhadap PDB menjadi 22 persen. Pada akhir periode 2020-2024, tenaga kerja yang masih bekerja di sektor pertanian sudah turun berkisar antara 10-20 persen, sementara pangsa sektor pertanian terhadap pembentukan struktur PDB juga turun berkisar 6-9 persen. Selanjutnya, pangsa tenaga kerja di sektor agroindustri meningkat hingga 18 persen dan pangsa sektor agro-industri tehadap PDB juga meningkat mencapai 24 persen, serta di akhir periode 2025-2029 tenaga kerja di sektor pertanian hanya berkisar antara 5-10 persen, sementara pangsa sektor pertanian terhadap pembentukan PDB berkisar 5-6 persen, sedangkan pangsa tenaga kerja di sektor agroindustri mencapai 18 persen (Kementerian Pertanian 2013b) Inisiasi penguatan basis agroindustri di pedesaan dimulai pada periode 2013-2014 di wilayah Sumatera sedangkan pengembangan pertanian perkotaan berlangsung di Jawa yang disertai dengan pemantapan persiapan model agro services. Subsektor pertanian unggulan seperti kelapa sawit, karet, kopi dan coklat yang secara domestik tidak memiliki industri-industri hilir berarti telah mengalirkan nilai tambah yang masif ke berbagai negara di dunia. Sebenarnya sisi hilir dari produk-produk unggulan pertanian ini sangat berpotensi untuk tumbuh dan dikembangkan di kawasan perdesaan. Industrialisasi pertanian di pedesaan akan membuka lapangan kerja yang sangat luas, sehingga pengembangan agroindustri adalah pilihan yang realistis mengingat berlimpahnya sumberdaya pertanian Dengan demikian, kontribusi pertanian on-farm akan mengalami penurunan baik dari kontribusinya terhadap PDB maupun tenaga kerja.
14
Kemajuan ilmu pengetahuan hayati (bioscience) dan enjinering hayati (bioengineering) telah memungkinkan biomassa untuk diolah menjadi bionergi dan berbagai bioproduk (bioproducts) seperti biomedikal, biokemikal, dan biomaterial lainnya. Bioekonomi yang ditopang oleh sistem pertanian ekologis yang juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan (ecological services) maupun biomassa sebagai feedstock untuk biorefinery (bioenergi, biofarmakabiomedika, bioindustri) telah berkembang cepat di banyak negara dan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru perekonomian. Ke depan, fungsi bisnis dan ekonomi pertanian akan mengalami proses transformasi dari perspektif agribisnis menjadi biobisnis dan dari agroindustri menjadi bioindustri (Kementerian Pertanian 2013a). Studi Terdahulu tentang SNSE dan Agroindustri Peran sektor agroindustri dalam perekonomian telah dikaji dan diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Bautista et al. (1999) melakukan pengukuran pengaruh dari alternatif pembangunan industri yaitu industri berbasis pertanian, industri pengolah makanan, dan industri ringan terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis pengganda SNSE dan computable general equilibrium (CGE) model. Analisis SNSE yang digunakan lebih difokuskan dari sisi permintaan, yang kemudian dihitung pengaruh penggandanya akibat adanya injeksi dari penerimaan eksogen terhadap sektor-sektor yang mendorong strategi pembangunan ketiga alternatif industri tersebut. Dalam hal ini, pengganda pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi pada sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam penawaran. Pengganda pendapatan yang dihitung juga selalu dihubungkan dengan kelompokkelompok rumah tangga yang berbeda dengan maksud untuk menggambarkan adanya hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pembangunan industri yang berorientasi terhadap komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil PDB Indonesa dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Selain itu distribusi pendapatan juga memiliki pengaruh terhadap kenaikan PDB dan output industri. Selanjutnya Susilowati (2007b) meneliti tentang peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan pendapatan rumah tangga pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroindustri memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja dibanding sektor pertanian primer. Selain itu agroindustri dinyatakan belum mampu meningkatkan pendapatan golongan rumah tangga buruh tani dan petani sebaik pendapatan yang diterima rumah tangga non pertanian. Dalam disagregasinya menjadi agroindustri makanan dan non makanan, dijelaskan bahwa pengaruh langsung agroindustri makanan terdapat pada tenaga kerja pertanian begitu juga pengaruh langsung agroindustri non makanan berada pada tenaga kerja non pertanian. Secara tidak langsung, agroindustri lebih berpengaruh terhadap tenaga kerja dan rumah tangga non pertanian daripada tenaga kerja dan rumah tangga pertanian.
15
Pada tahun yang sama, Susilowati et al. (2007) meneliti dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumah tangga di Indonesia menggunakan sistem neraca sosial ekonomi tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri menurunkan kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Selain itu, kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak positif. Dalam penelitian tersebut, sektor agroindustri didisagregasi menjadi agroindustri makanan dan non makanan. Agroindustri makanan lebih banyak berperan dalam memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga sedangkan agroindustri non makanan lebih banyak berperan dalam menurunkan kemiskinan. Kemudian kebijakan ekonomi di sektor agroindustri prioritas (karet, kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan makanan sektor perikanan) merupakan kebijakan menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Priyarsono dan Backe (2007) juga meneliti tentang arah pengembangan industri di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi terutama agroindustri skala kecil dan menengah. Selain itu dikatakan pula bahwa agroindustri merupakan leading sector bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk negara-negara Eropa, Cardenete et al. (2014) meneliti tentang sektor kunci yang harus dijadikan andalan dalam pembangunan ekonomi di negara Spanyol. Analisis yang digunakan menggunakan SAM tahun 2000. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian pangan primer yang selama ini menjadi andalan negara Spanyol tidak tepat lagi ditetapkan sebagai sektor kunci dalam pertumbuhan ekonomi Spanyol. Sektor yang tepat ditetapkan sebagai sektor kunci adalah sektor peternakan yang berbasis bioindustri karena memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang serta dapat memberikan nilai tambah yang tinggi. Studi Terdahulu tentang SNSE, Pertumbuhan Ekonomi, dan Distribusi Pendapatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan kerangka data berbentuk matriks yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi perekonomian serta kaitan antara keduanya secara komprehensif. Beberapa peneliti telah menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi atau yang biasa disebut dengan SAM (Social Accounting Matrix) untuk melihat pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Bautista (2000) dengan menggunakan multiplier SAM mengamati dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan di Vietnam. Hasilnya menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih besar terhadap rumah tangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap rumah tangga yang berendapatan tinggi baik itu di pedesaan maupun perkotaan. Pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan secara menyeluruh akan meningkatkan permintaan terhadap produk barang lokal yang diproduksi secara padat karya, juga permintaan terhadap produk agroindustri dan sektor jasa.
16
Pieters (2010) menggunakan SAM tahun 2002 dan disempurnakan pada tahun 2003 meneliti tentang pertumbuhan dan pemerataan pendapatan di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan sektoral di India tidak merata. Hanya pertumbuhan pertanian yang dapat mengurangi ketimpangan sementara pertumbuhan sektor manufaktur berat dan jasa menimbulkan ketimpangan. Ketimpangan ini disebabkan adanya ketidakmerataan upah yang tidak dapat ditanggung sepenuhnya oleh sektor pertanian sehingga harus ada upaya ekspansi tenaga kerja berketerampilan rendah ke bidang manufaktur mengingat tenaga kerja pertanian adalah tenaga kerja berketerampilan rendah. Ekspansi tenaga kerja ini diperlukan baik di kota maupun di desa untuk mengurangi ketidaksetaraan. Selanjutnya, Gakuru dan Mathenge (2012) juga melakukan penelitian menggunakan SAM untuk mengetahui kemiskinan, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan di Kenya. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa sektor-sektor utama yang berkontribusi bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Kenya adalah perdagangan, perhotelan, manufaktur, dan sektor pertanian. Dari sisi distribusi pendapatan, dengan memberikan injeksi pada faktor-faktor eksogen di sektor pertanian dan manufaktur menunjukkan bahwa terdapat ketidakmerataan di Kenya. Pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur menguntungkan masyarakat perkotaan yang sebagian besar memiliki faktorfaktor produksi. Ketidakmerataan ini juga dilihat dari efek langsung yang ditimbulkan. Efek langsung dari sektor pertanian banyak diserap oleh rumah tangga di pedesaan yang kaya, sedangkan efek langsung dari sektor manufaktur banyak diserap oleh orang kota yang kaya. Untuk negara Malaysia, Saari (2010) melakukan penelitian menggunakan SAM untuk meneliti pertumbuhan dan distribusi pendapatan pada etnis utama di Malaysia. Etnis utama Malaysia terdiri atas etnis Melayu, India, dan Cina. Adanya ekspansi ekspor dan perubahan teknologi dalam menggunakan tenaga kerja dan modal adalah penentu utama untuk perubahan pendapatan semu etnis. Etnis Melayu memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dan tidak merata daripada etnis Cina dan India. Hal ini dikarenakan sebagian besar pekerja etnis Melayu bekerja pada sektor pelayanan publik dimana sektor terebut memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah. Berbeda dengan etnis India dan Cina yang lebih banyak bergerak di sektor perdagangan dan memiliki efek multiplier yang lebih besar. Rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah adanya hak tenaga kerja di pasar bursa kerja yang lebih luas bagi etnis Melayu dan juga adanya dukungan pendidikan serta perbaikan sumber daya manusia karena industrialisasi mengurangi permintaan tenaga kerja tidak terampil yang sebagian besar diantaranya adalah etnis Melayu. Masih tentang Social Accounting Matrix, Acharya et al. (2013) mengevaluasi tentang kebijakan restrukturisasi ekonomi dan dampaknya penduduk miskin di Nepal. Dengan menggunakan metode SAM, hasil peneltian menunjukkan bahwa kebijakan restrukturisasi ekonomi di Nepal memberikan efek pengganda distribusi pendapatan yang lebih tinggi kepada golongan ekonomi menengah ke atas. Efek yang diterima golongan menengah ke bawah sangat sedikit bahkan rumah tangga miskin justru mengalirkan nilai tambah kepada rumah tangga menegah ke atas. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan restrukturisasi ekonomi di Nepal belum mencapai sasaran dengan baik.
17
3 KERANGKA TEORI Model Pembangunan Dua Sektor Model pembangunan dua sektor pertama kali dikembangkan oleh W.A. Lewis. Menurut Lewis (1954), terdapat dikotomi dalam masyarakat di negaranegara terbelakang yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan : sektor capital intensive (industri) dan sektor labor intensive (pertanian). Pada prinsipnya model pembangunan dua sektor ini menitikberatkan pada mekanisme transformasi struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Berkenaan dengan hal ini, maka industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian modern. Pada sektor pertanian tradisional di pedesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka terjadi kelebihan suplai tenaga kerja yang dapat ditransfer ke sektor industri. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Proses pertumbuhan seperti itu disebut sebagai pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif. Transformasi struktural perekonomian akan terjadi dari perekonomian pertanian tradisional ke perekonomian industri yang modern. Model Lewis mengandung beberapa kelemahan karena asumsi-asumsi yang digunakan, khususnya untuk sebagian besar negara berkembang. Kelemahan pertama menyangkut reinvestasi modal dimana model tersebut mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor industri sebanding dengan tingkat akumulasi modal. Kedua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di pedesaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di pedesaan sudah mulai dirasakan, sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan. Kelemahan ketiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor industri, sehingga menjamin upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya upah di pasar tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara riil (Todaro 2000). Fei dan Ranis memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas dari model Lewis. Penyempurnaan tersebut terutama pada penahapan perubahan tenaga kerja. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor
18
pertanian ke sektor industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus. Tahap pertama, tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga produktivitas marjinal tenaga kerja mendekati nol. Dalam hal ini surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki kurva penawaran elastis sempurna. Tahap kedua adalah kondisi dimana produk marginal tenaga kerja sudah positif namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Artinya setiap pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan total produksi. Pada tahap ini transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki biaya imbangan positif, sehingga kurva penawaran tenaga kerja memiliki elastisitas positif. Transfer tenaga kerja terus terjadi yang mengakibatkan penurunan produksi, tetapi penurunan tersebut masih lebih rendah dari besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaan meningkat yang diakibatkan oleh adanya penambahan tenaga kerja, maka harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi. Pada tahap ini produk marginal tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Pengusaha yang bergerak di sektor pertanian mulai mempertahankan tenaga kerjanya. Transfer tenaga kerja masih akan terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat meningkatkan produk marginal tenaga kerja. Sementara itu, karena adanya asumsi pembentukan modal di sektor industri direinvestasi, maka permintaan tenaga kerja di sektor ini juga akan terus meningkat.
Strategi Industrialisasi di Indonesia Indonesia sebagai salah satu bagian dari negara-negara berkembang telah menerapkan kegiatan-kegiatan industrialisasi sebagai upaya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sesuai dengan yang dituliskan oleh Ghatak (2005) bahwa ada enam alasan diperlukannya industrialisasi di negara-negara berkembang : 1. Perekonomian di negara maju lebih menekankan pada kegiatan industri, berbeda dengan negara-negara berkembang atau negara miskin. 2. Industrialisasi merupakan cara untuk menyelesaikan permasalahan pengangguran di negara-negara berkembang 3. Perdagangan di negara berkembang mendorong mereka untuk memilih industrialisasi sebagai sebuah jalan dalam menyelesaikan masalah ketidakstabilan ekspor terutama untuk produk-produk primer karena harga produk primer yang inelastis di pasar dunia 4. Industrialisasi dengan eksternalitas yang dinamis merupakan kondisi yang diperlukan untuk mencapai level pertumbuhan ekonomi yang tinggi 5. Produktivitas sektor lain yang rendah, terutama sektor pertanian 6. Keinginan untuk berswasembada mendorong negara-negara berkembang untuk memilih bagian dari industrialisasi
19
Selama lima dasawarsa pembangunan ekonomi di Indonesia, setidaknya ada tiga strategi industrialisasi yang pernah diterapkan yaitu : 1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor Penerapan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (term of trade=TOT) antara komoditas pertanian dari negaranegara berkembang dan komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan membangun industri substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas tarif impor terhadap bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negaranegara maju. Pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada perlindungan terhadap industri muda (infant–industri) dimana industri semacam ini dilakukan hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional (Chacholiades 1990) Salah satu ciri strategi industrialisasi substitusi impor yang dilakukan di negara-negara berkembang adalah bersifat padat modal, sehingga perannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat rendah. Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya distorsi dalam harga relatif faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga kerja yang timbul akibat kebijakan pemberian fasilitas bea masuk dan perlindungan tarif terhadap faktor modal, sehingga membuat harga relatif faktor modal menjadi lebih murah dari harga relatif tenaga kerja. Menurut Krugman dan Obstfeld (1991) negara-negara yang menerapkan strategi industri substitusi impor tidak menyebabkan negaranegara menjadi lebih maju karena pada dasarnya tidak memiliki keunggulan komparatif di sektor industri. Pengembangan basis industri domestik untuk beberapa negara justru mengakibatkan stagnasi pendapatan per kapita, bukan perekonomian yang tinggal landas (takeoff). Sebagai contoh adalah negaranegara India, Argentina, Meksiko, Brazil dan Pakistan. 2. Strategi Promosi Ekspor Dasar teori yang digunakan untuk melakukan strategi promosi ekspor bagi negara-negara pengekspor adalah mengambil manfaat dari keuntungan komparatif tenaga kerja melalui perdagangan internasional. Teori keunggulan komparatif memiliki implikasi bahwa negara akan mengekspor secara intensif produk yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor produk yang memerlukan faktor produksi yang relatif langka. Pertimbangan untuk menerapkan strategi promosi ekspor diantaranya adalah strategi tersebut memungkinkan terciptanya arus modal internasional serta jaringan pertukaran ketrampilan, teknologi dan manajemen. Pada strategi ini akan terjadi aliran arus modal internasional ke negaranegara berkembang karena modal internasional mencari daerah investasi di negara-negara dimana upah buruh masih murah dan adanya teknologi pada proses produksi untuk barang-barang tertentu yang memungkinkan pembagian kerja internasional. Ciri strategi promosi ekspor adalah berada pada lingkaran bisnis multinasional yang bersifat footloose industri dengan model principle-
20
agent, dimana principle tetap berada di negara penyedia teknologi sedangkan agent berada di negara berkembang. Oleh karena itu inti dari kebijakan promosi ekspor adalah untuk menaikkan ekspor dengan memberikan stimulus pada sektor ekspor dan bersamaan dengan itu dilakukan liberalisasi impor untuk menghilangkan distorsi dalam alokasi sumberdaya ekonomi. Dalam pelaksanaan strategi promosi ekspor, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja sementara negara-negara maju penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis teknologi. 3. Strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization (ADLI) Strategi industrialisasi substitusi impor maupun strategi industrialisasi promosi ekspor dipandang tidak berhasil digunakan sebagai pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan kedua proses industrialisasi tersebut tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat di negara berkembang dan kedua strategi tersebut menghasilkan redistribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Mengingat sebagian besar masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang berada di sektor pertanian, maka strategi industrialisasi yang sesuai adalah strategi yang menitikberatkan program pembanguan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektorsektor lain. Strategi tersebut dinamakan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI Strategy). Paradigma baru pembangunan pertanian menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Ide dasar strategi ADLI adalah keterkaitan antar sektor yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Hirschman (1958). Keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada industri yang mensuplai input, dan keterkaitan ke depan mendorong investasi untuk tahapan produksi lebih lanjut. Peningkatan produktivitas pertanian melalui keterkaitan ke belakang akan menstimulus permintaan input pertanian (pupuk, pestisida dan benih unggul) dan barang-barang kapital (jaringan irigasi, mesin pertanian, transportasi dan infrastruktur lain) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Hal tersebut merupakan peran yang dilakukan oleh agroindustri hulu Sedangkan keterkaitan ke depan akan mendorong pengembangan industri yang menggunakan bahan baku sektor pertanian yaitu sektor agroindustri. Hal ini adalah peran yang dilakukan oleh agroindustri hilir. Tujuan industrialisasi menurut konsep ADLI dicapai bukan hanya melalui peningkatan output tetapi juga dengan memperluas permintaan domestik terhadap barang-barang antara dan konsumsi akhir yang diproduksi oleh industri domestik. Keterkaitan antara input antara dengan konsumsi akhir akan memperluas permintaan domestik terhadap barang-barang antara yang diproduksi oleh sektor pertanian dan lebih lanjut akan mendorong investasi pada industri pengolahan. Dengan memfokuskan pada keterkaitan
21
produksi, pendapatan dan konsumsi secara bersama-sama, strategi ADLI bertujuan untuk meningkatkan ekonomi berpendapatan rendah menuju jalur pertumbuhan yang lebih merata dan berkelanjutan. Berdasarkan penjabaran konsep ADLI tersebut, sektor pertanian primer dapat disebut sebagai dasar atau fondasi sedangkan sektor agroindustri sebagai pilar bagi pengembangan strategi ADLI.
Pertumbuhan vs Ketidakmerataan (Growth vs Equity) Ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan masih tetap menjadi pembahasan terutama di negara-negara berkembang. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap golongan miskin masih menjadi perdebatan. Sebagian berasumsi bahwa meningkatnya pendapatan per kapita akibat pembangunan akan menjadikan setiap orang lebih sejahtera. Apabila sekelompok masyarakat belum memperoleh manfaat, hal itu hanya masalah waktu sampai manfaat pembangunan tersebut betul-betul menetes kepada mereka. Namun sebaliknya ada pihak lain tetap meragukan apakah dampak pembangunan betul- betul dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Dalam konsep pembangunan ekonomi, ada teori yang mengatakan bahwa terdapat tradeoff antara pertumbuhan dan ketidakmerataan. Namun, kenyataan membuktikan bahwa ketidakmerataan dalam beberapa dekade terakhir ini berkaitan dengan pertumbuhan yang rendah. Perdebatan mengenai ada tidaknya tradeoff antara pertumbuhan dengan pemerataan menurut Fields (1980) tergantung jenis data yang digunakan. Studi yang banyak dilakukan adalah dengan data silang tempat. Studi empiris menggunakan data tersebut mendukung tesis Kuznets tentang kurva U terbalik. Kesimpulan menggunakan data silang tempat adalah bahwa ketimpangan pendapatan ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh ukuran negara, dasar sumberdaya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi struktural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi. Selain data silang tempat, data yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan ketidakmerataan adalah data runtut waktu. Studi komprehensif yang dilakukan Fields (1980) menyatakan bahwa negara yang mengalami kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan ternyata kurang lebih sama dengan banyaknya negara yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan. Selain itu, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan banyak yang berjalan beriringan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kendati pertumbuhan ekonomi yang cepat pada umumnya menurunkan kemiskinan. Di samping kedua data tersebut, dapat juga digunakan data mikro yang mulai digunakan sekitar tahun 1960-an. Data mikro mengenai pendapatan absolut mampu menyajikan profil penduduk miskin dengan berbagai karakteristik. Ternyata tingkat kemiskinan yang tinggi ditemukan di kalangan penduduk yang rendah tingkat pendidikannya, tinggal di pedesaan, para pekerja di sektor pertanian, dan sebagainya. Manfaat data mikro selain menjabarkan ketimpangan distribusi pendapatan juga menampilkan potret ketimpangan menurut daerah, industri, ras maupun jenis kelamin.
22
Todaro (2000) mengungkapkan bahwa di negara berkembang, kesejahteraan ekonomi tidak dapat lagi dicapai melalui pertumbuhan (growth). Diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada pemerataan (growth vs equity). Pengalaman di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang hanya memprioritaskan pada pertumbuhan akan meninggalkan ruang bagi distribusi kesejahteraan. Masalah ketidakmerataan di dalam pertumbuhan ekonomi disebabkan karena adanya distribusi pendapatan perseorangan yang tidak sama. Unit kehidupan dari sebagian besar individu adalah keluarga atau rumah tangga, sehingga perbandingan pendapatan diantara rumah tangga lebih tepat digunakan untuk mengukur ketidakmerataan. Kemerataan rumah tanggan biasanya diukur dengan ukuran distribusi pendapatan (size distribution of income) yang dimaknai distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau level pendapatan per rumah tangga. Dalam perekonomian, distribusi pendapatan lebih sering dianalisis menggunakan pendekatan kontribusi faktor produksi (factor shares). Hal ini yang disebut dengan distribusi pendapatan fungsional (functional distribution of income). Pada umumnya, ukuran dari distribusi pendapatan dijelaskan oleh distribusi pendapatan pada pekerja dan aset berupa modal serta distribusi aset pada beberapa kelas pendapatan. Oleh karena itu, ukuran dari distribusi pendapatan harus dilihat dari keduanya yaitu ukuran distribusi pendapatan dan distribusi pendapatan fungsional. (Hayami dan Godo, 2004). Untuk mengurai perdebatan mengenai pertumbuhan dan ketidakmerataan ini, Daryanto (2009b) mengatakan bahwa pertanian dipandang sebagai suatu sektor yang memiliki kemampuan memadukan pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan berkualitas. Semakin besarnya perhatian terhadap melebarnya perbedaan pendapatan memberikan stimulant yang lebih besar untuk lebih baik memanfaatkan kekuatan pertanian bagi pembangunan. Beradasarkan hal tersebut, tentunya nilai tambah dari pertanian yang dihasilkan dari kegiatan agroindustri diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurai permasalahan pertumbuhan dan ketidakmerataan di suatu negara. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) SNSE adalah sebuah neraca ekonomi masukan ganda tradisional berbentuk matriks partisi yang mencatat segala transaksi ekonomi antara agen terutama sekali antara sektor-sektor di dalam blok produksi, sektor-sektor di dalam blok institusi (termasuk di dalamnya rumah tangga), dan sektor-sektor dalam blok fakor produksi di suatu perekonomian. Selain itu, SNSE merupakan suatu sistem pendataan yang baik karena : 1. SNSE merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu perekonomian untuk sebuah kurun waktu tertentu, dengan demikian SNSE dapat dengan mudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah 2. SNSE memotret struktur sosial ekonomi di suatu perekonomian. Dengan demikian SNSE diantaranya dapat memberikan gambaran tentang kemiskinan dan distribusi pendapatan di perekonomian tersebut.
23
Sebagai suatu sistem kerangka data yang komprehensif dan terintegrasi, SNSE mencakup berbagai data ekonomi dan sosial secara konsisten karena menjamin keseimbangan transaksi dalam setiap neraca yang terdapat di dalamnya,. SNSE juga bersifat modular karena dapat menghubungkan berbagai variabel ekonomi dan sosial di dalamnya, sehingga keterkaitan antar variabel tersebut dapat diperlihatkan dan dijelaskan (BPS 2010). Kerangka dasar SNSE dan arti hubungan antar neraca dalam kerangka SNSE digambarkan pada Tabel 4 berikut : Tabel 4 Kerangka Dasar SNSE Penerimaan Faktor Institusi Produksi Faktor Produksi Institusi T 2.1 T 2.2 Sektor T 3.2 Produksi Kapital T 4.2 Luar T 5.1 T 5.2 Negeri Total T1 T2
Pengeluaran Sektor Kapital Produksi T 1.3 T 3.3
T 3.4
T 5.3
T 5.4
T3
T4
Sumber : BPS 2010 Keterangan : T 1.3 T1.5 T1 (kolom) T2.1 T2.2 T2.5 T2 (kolom) T3.2 T3.3 T3.4 T3.5 T3 (kolom) T4.2 T4.5 T4 (kolom) T5.1 T5.2 T5.3 T5.4 T5 (kolom) T1 (baris) T2 (baris) T3 (baris) T4 (baris) T5 (baris)
= alokasi nilai tambah ke faktor produksi = pendapatan faktor produksi dari luar negeri = pendapatan faktor produksi = alokasi pendapatan faktor produksi ke institusi = transfer antar institusi = transfer dari luar negeri = pendapatan institusi = permintaan akhir = permintaan antara = investasi fisik = ekspor = output (masukan) = tabungan = pinjaman dari luar negeri = penerimaan akumulasi = alokasi pendapatan faktor produksi ke luar negeri = transfer ke luar negeri = impor, pajak tidak langsung (neto) = pinjaman ke luar negeri = penerimaan luar negeri = pengeluaran faktor produksi = pengeluaran institusi = input (keluaran) = pengeluaran akumulasi = pengeluaran luar negeri
Luar Negeri T 1.5
Total
T 2.5 T 3.5
T2 T3
T 4.5
T4 T5
T5
T1
24
Kerangka dasar SNSE berbentuk matriks dengan ukuran 5x5 yang dibedakan menurut lajur baris dan lajur kolom. Lajur baris (ke samping) menunjukkan penerimaan, sedangkan lajur kolom (ke bawah) menunjukkan pengeluaran. Dalam kerangka SNSE terdapat lima neraca utama yaitu neraca faktor produksi, neraca institusi, neraca sektor produksi, neraca capital, dan neraca luar negeri (rest of the world). Masing-masing neraca tersebut yang berisikan berbagai transaksi menempati lajur baris dan lajur kolom. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca lainnya memberikan indikasi adanya interaksi antar pelaku berserta perilaku ekonominya, meskipun ada sel-sel yang terisi dan ada yang tidak. Untuk memudahkan analisis dan penggunaan kerangka dasar SNSE, matriks SNSE ukuran 5x5 bisa dirinci menjadi matriks berukuran 13x13, 37x37 dan 105x105 sesuai kebutuhan. Matriks 13x13 merupakan agregasi dari matriks berukuran 37x37 dan matriks 37x37 merupakan agregasi dari matriks 105x105 (BPS 2010). Pengganda Neraca SNSE Dalam melakukan analisis dengan menggunakan SNSE, perhitungan matriks pengganda (analisis multiplier) dan dekomposisi matriks pengganda merupakan suatu teknik. Dengan mendapatkan matriks pengganda dari suatu SNSE dapat dilihat dampak dari suatu kebijakan terhadap berbagai sektor di dalam suatu perekonomian, termasuk di dalamnya dampak sebuah kebijakan terhadap distribusi pendapatan. Dari tabel SAM, distribusi pendapatan dan pengeluaran neraca endogen dapat dirinci menjadi : (1) Pendapatan faktor produksi : Y1 = T13 + X1 (2) Pendapatan institusi : Y2 = T21 + T22 + X2 Pendapatan kegiatan produksi : Y3 = T32 + T33 + X3 (3) Pendapatan faktor produksi : Y1’ = T21 + L1 (4) Pengeluaran institusi : Y2’ = T22 + T32 + L2 (5) Pengeluaran kegiatan produksi : Y3’ = T13 + T33 + L3 (6) Persamaan (1) sampai (6) dapat dituliskan secara umum menjadi Y=T+X Dimana Y adalah pendapatan/pengeluaran, T adalah transaksi, dan X adalah neraca eksogen. Matriks T sebagai matriks transaksi antarblok di dalam neraca endogen dapat ditulis sebagai berikut : T=[
]
Matriks transaksi T menunjukkan adanya transaksi antarneraca seperti T 13, T21, T32, dan transaksi dalam neraca sendiri yaitu T 22 dan T33. Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010), transaksi antar neraca ini dapat juga dituangkan dalam bentuk gambar sebagai berikut :
25
Aktivitas Produksi T32
T13
Distribusi Pendapatan Institusi
Distribusi Pendapatan Faktorial
T21
Gambar 2 Hubungan Antarneraca dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi Selanjutnya jika besarnya kecenderungan rata-rata pengeluaran (Aij) dianggap sebagai perbandingan antara pengeluaran sektor j untuk sektor ke i dengan total pengeluaran ke j (Yj), maka : Aij = Tij / Yj Matriks Aij dapat disusun sebagai berikut : Am = [
]
Jika persamaan Y = T + X dibagi dengan Y maka : Y/Y = T/Y + X/Y oleh karena A = T/Y maka : I = A + X/Y (I-A) Y = X Y = (I-A)-1 X Y = Ma X Dimana Ma = (I-A)-1 disebut sebagai matriks pengganda neraca (accounting multiplier) dan (I-A)-1 disebut sebagai matriks kebalikan Leontief. Model tersebut menjelaskan bahwa pendapatan neraca endogen (neraca faktor produksi, neraca institusi, dan neraca sektor produksi) yang dinyatakan dalam notasi Y akan berubah sebesar Ma unit akibat adanya perubahan neraca eksogen, dinyatakan dalam notasi X sebesar satu unit. Besarnya Ma ditentukan oleh besaran koefisien multiplier pada matriks (I-A)-1. Analisis pengganda neraca dapat memperlihatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi dan informasi mengenai pemerataan
26
pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat. Multiplier yang dihasilkan SAM pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian : 1. Multiplier standar yang dihasilkan dari model Input Ouput (neraca aktivitas produksi) yang dihitung dengan matriks Leontief sebagai berikut : ML = (I-A)-1 Dimana A merupakan matriks koefisien teknologi untuk model input output. Pada multiplier input-output ini faktor endogen hanya berupa aktivitas produksi (sektor produksi) 2. Multiplier SAM yang mencakup seluruh neraca endogen yakni neraca faktor produksi (tenaga kerja dan modal), institusi (rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah) dan aktivitas produksi. Dimana multiplier SAM dihitung dengan rumus : MS = (I-Am)-1 Dimana Am merupakan matriks direct propensities yang dihitung dari model SAM Kerangka Pemikiran Operasional Dari perkembangan kontribusi sektoral pada pangsa PDB terlihat bahwa sektor industri pengolahan memiliki tren positif yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan industrialisasi akan mendorong terjadinya transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Transformasi tersebut menjadikan subsektor agroindustri sebagai kunci bagi kebijakan industrialisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, terkait dengan multifungsi peran sektor pertanian sebagai food, feed, dan fuel. Dengan perannya tersebut, sektor pertanian akan didorong untuk menjadi industri pertanian (agroindustri) untuk meningkatkan nilai tambah baik di hulu maupun di hilir. Kedua, subsektor agroindustri menjadi visi pembangunan pertanian pada Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014. Berdasarkan rencana strategis tersebut terlihat bahwa kebijakan-kebijakan pertanian selama empat tahun ini diarahkan untuk perkembangan agroindustri. Ketiga, sesuai Strategi Induk Pembangunan Pertanian Indonesia 2013-2045, pertanian akan diarahkan menjadi pertanian bioindustri yang unggul dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan pertanian bioindustri diperlukan basis kegiatan agroindustri yang kuat. Subsektor agroindustri yang akan dikaji pada penelitian ini didisagregasi menjadi agroindustri hulu dan agroindustri hilir. Dengan menggunakan analisis sistem neraca sosial ekonomi, agroindustri hulu dan hilir ini akan dilihat perannya pada pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi (growth) dan pemerataan ekonomi (equity). Setelah itu dilakukan analisis perbandingan untuk melihat kontribusi agroindustri hulu atau hilir yang lebih besar dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, agroindustri akan diuji kembali melalui perbandingan dengan subsektor-subsektor industri lain. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pendapat bahwa agroindustri ini penting dan layak untuk dipertahankan sebagai strategi industrialisasi di Indonesia. Kemudian, setelah itu dilakukan analisis simulasi kebijakan bagi setiap bagian agroindustri hulu dan hilir agar dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat bagi pembangunan subsektor agroindustri di Indonesia.
27
Secara skematis, kerangka pemikiran digambarkan pada gambar berikut
Kebijakan Industrialisasi di Indonesia Transformasi Ekonomi dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri
Sektor Agroindustri SNSE & IO 2008 Konsep Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi (Growth) agroindustri hulu dan hilir
Perbandingan dengan kontribusi subsektor industri lainnya
Tujuan 1
1. Multifungsi peran sektor pertanian (3F) 2. Visi pada Renstra Kementan 2010-2014 3. Basis pengembangan bioindustri sesuai SIPP Kementan 2013-2045
Distribusi Pendapatan agroindustri hulu dan hilir
Tujuan 3
(Equity)
Perbandingan kontribusi agroindustri hulu dan hilir
Tujuan 4
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Tujuan 2
28
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian pendahuluan, tinjauan pustaka, dan kerangka teori hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Agroindustri hilir akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2. Agroindustri hilir akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada distribusi pendapatan di Indonesia 3. Subsektor agroindustri hilir akan memiliki peran yang lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan pendapatan di Indonesia 4. Subsektor agroindustri (hulu dan hilir) akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada pertumbuhan ekonomi pemerataan pendapatan di Indonesia jika dibandingkan dengan subsektor non agroindustri
29
4 METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data utama yang digunakan adalah data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dan data Updating Input Output tahun 2008 sebagai data SNSE dan IO terakhir yang diterbitakan oleh Badan Pusar Statistik. Selain itu, data-data pendukung yang digunakan antara lain data Indikator Industri, data Survei Industri, dan data Statistik Indonesia. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan serta instansi terkait. Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan tahun antara SNSE dan I-O yang digunakan dan tahun dilaksanakannya penelitian. Data SNSE yang digunakan adalah SNSE dan I-O tahun 2008, sedangkan penelitian dilaksanakan pada tahun 2014-2015. Meskipun begitu, perbedaan antara indikator-indikator ekonomi antara tahun 2008 dan tahun-tahun menjelang penelitian tidak terlalu besar sehingga data SNSE dan I-O 2008 masih relevan digunakan sebagai dasar perhitungan. Hal tersebut sebagaimana terdapat pada Tabel 5 berikut Tabel 5 Indikator-Indikator Ekonomi Versi Aktual dan Versi SNSE-IO 2008 Versi Tahun Indikator Ekonomi PDB Indeks Gini Lapangan (miliar Rp) Kerja (orang) Aktual 2008 4.948.688 0,35 102.300.000 2009 5.606.203 0,37 104.680.000 2010 6.446.851 0,38 107.810.000 2011 7.419.187 0,41 110.475.000 2012 8.229.439 0,41 111.805.000 2013 9.083.972 0,41 112.410.000 SNSE dan I-O 2008 5.254.832 0,28 95.463.852 Sumber : BPS 2014a
Tahapan Analisis Penelitian ini menggunakan data SNSE dari BPS tahun 2008 ukuran 105x105 sektor. SNSE terbitan BPS ini belum siap untuk dijadikan alat perhitungan, sehingga masih dibutuhkan modifikasi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menyiapkan SNSE siap olah adalah sebagai berikut : 1. Menggabungkan lima baris/kolom pada neraca komoditas impor (baris/kolom 29-33) menjadi satu baris/kolom saja dengan melakukan penambahan matriks. 2. Menambahkan baris/kolom 24-28 pada neraca komoditas domestik kepada baris/kolom 18-22 pada neraca sektor produksi 3. Menambahkan baris/kolom margin perdagangan dan pengangkutan (baris/kolom 23) kepada baris/kolom sektor perdagangan, restoran dan perhotelan, pengangkutan dan komunikasi, jasa perseorangan dan rumah tangga
30
Tahapan-tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan disagregasi data SNSE tahun 2008. Disagregasi diperlukan mengingat sektor produksi yang dianalisis difokuskan pada subsektor agroindustri hulu dan hilir, sedangkan sektor agroindustri pada neraca SNSE berupa data agregat. Disagregasi sektor agroindustri mengacu pada tabel Input Output tahun 2008 yang merupakan updating dari tabel Input-Output 2005 dan terdiri dari 66 sektor. Selain itu, juga dilengkapi oleh data Indikator Industri dan Susenas. 2. Melengkapi data disagregasi matriks agroindustri hulu dan hilir dengan melihat data SNSE 105x105. 3. Menganalisis peran sektor agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian nasional dan distribusi pendapatan menggunakan analisis pengganda. 4. Membuat peringkat kontribusi tiap subsektor industri berdasarkan hasil analisis pengganda. 5. Melakukan disagregasi kembali data SNSE tahun 2008 bagi subsektor industri pengolahan selain agroindustri. Disagregasi sektor agroindustri mengacu pada tabel Input Output tahun 2008 yang merupakan updating dari tabel InputOutput 2005 dan terdiri dari 66 sektor. Selain itu, juga dilengkapi oleh data Indikator Industri dan Susenas. 6. Menganalisis peran sektor agroindustri hulu dan hilir serta industri pengolahan lain dalam perekonomian nasional menggunakan analisis pengganda. 7. Membuat perbandingan hasil langkah tiga dan langkah enam Metode Analisis Analisis Pengganda Neraca (Accounting Multiplier Analysis) Analisis utama dalam neraca SNSE adalah Analisis Pengganda Neraca (Accounting Multiplier Analysis), yang menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan oleh stimulus ekonomi dari suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen yang disajikan dalam format neraca. Dari analisis tersebut dapat diketahui peran suatu sektor dalam peningkatan output nasional, balas jasa faktor produksi (tenaga kerja dan bukan tenaga kerja), pendapatan rumah tangga dan perusahaan, juga peningkatan konsumsi komoditas ekspor dan impor. Terdapat beberapa jenis pengganda, dalam kajian ini bahasan diutamakan pada pengganda nilai tambah (value added multiplier), pengganda produksi (production multiplier), pengganda ekspor dan impor (export and import multiplier), pengganda pendapatan rumah tangga (household income multiplier) dan pengganda faktor produksi (factorial multiplier, yaitu tenaga kerja) yang masing-masing mempunyai makna sebagai berikut. 1. Pengganda nilai tambah (value added multiplier) Pengganda nilai tambah menunjukkan efek total terhadap produk domestik bruto (PDB) karena adanya peningkatan pendapatan pada suatu neraca i dalam blok produksi. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada unsur-unsur blok faktor produksi sepanjang kolom neraca i. Pengganda nilai tambah disebut juga sebagai income multiplier untuk neraca institusi dan gross domestic product (GDP) untuk sektor produksi.
31
2. Pengganda produksi (production multiplier) Pengganda produksi menunjukkan total dampak terhadap output dalam perekonomian secara keseluruhan akibat adanya peningkatan permintaan output pada suatu neraca i. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca di blok sektor produksi sepanjang kolom neraca i. Production multiplier disebut juga sebagai gross output multiplier . 3. Pengganda pendapatan rumah tangga (household income multiplier) Pengganda pendapatan rumah tangga menunjukkan total dampak terhadap pendapatan rumah tangga, dimana pendapatan dalam model SNSE yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh dari alokasi pendapatan yang diterima oleh rumah tangga (upah dan gaji, bunga, sewa dan lain-lain) serta pembayaran transfer kepada rumah tangga. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca yang usurunsurnya termasuk dalam kelompok rumah tangga 4. Pengganda faktor produksi (factorial multiplier) Pengganda faktor produksi menunjukkan total dampak terhadap penerimaan blok faktor produksi dimana blok faktor produksi terdiri dari tenaga kerja dan modal. Pendapatan yang dimaksud dalam model SNSE adalah alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi kepada faktor-faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktorfaktor produksi tersebut, misalnya upah dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja, keuntungan, deviden, bunga, sewa dan lain-lain. Nilai pengganda ini diperoleh dengan menjumlahkan koefisien matriks pengganda neraca pada unsur-unsur dalam blok faktor produksi (tenaga kerja dan modal) sepanjang kolom sektor i.
32
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Output, Nilai Tambah, dan Produk Domestik Bruto Untuk mengetahui peran agroindustri hulu dan hilir dalam perekonomian Indonesia, digunakan analisis angka pengganda SNSE. Angka pengganda yang dibahas adalah pengganda output, nilai tambah, dan PDB atas dasar harga berlaku. Arti dari nilai pengganda tersebut adalah apabila diberikan stimulus ekonomi sebesar 1 milyar rupiah ke sektor agroindustri, maka akan meningkatkan total output, nilai tambah, dan PDB sebesar tiap-tiap nilai penggandanya dengan satuan yang sama. Angka pengganda output bersumber dari matriks output. Matriks output diperoleh dari penjumlahan matriks permintaan akhir, permintaan antara, investasi fisik, dan ekspor. Permintaan akhir merupakan interaksi dari kolom institusi dan baris sektor produksi. Permintaan antara merupakan interaksi dari kolom sektor produksi dan baris sektor produksi. Investasi fisik merupakan interaksi kolom kapital dan baris sektor produksi, sedangkan ekspor merupakan interaksi dari kolom luar negeri dan baris sektor produksi. Matriks output ini menggambarkan masukan bagi sektor produksi dari faktor produksi, institusi, sektor produksi lain, kapital, dan luar negeri. Matriks nilai tambah merupakan interaksi dari kolom sektor produksi dan baris faktor produksi. Pengganda nilai tambah akan menunjukkan alokasi nilai tambah ke faktor produksi dari masing-masing sektor produksi. Adanya nilai tambah ini menunjukkan adanya tambahan nilai ekonomi dari sektor produksi yang dikembangkan. Nilai tambah yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi tersebut salah satunya merupakan sumbangan dari faktor produksi tenaga kerja berupa upah dan gaji. Apabila upah dan gaji dari tiap-tiap tenaga kerja pada masing-masing sektor ekonomi dijumlahkan maka disebut sebagai alokasi nilai tambah faktor produksi tenaga kerja menurut sektor. Dengan demikian dapat diperoleh informasi mengenai ketenagakerjaan melalui matriks nilai tambah ini. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator ekonomi yang sering dijadikan acuan dalam melihat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dalam kerangka SNSE, PDB yang dapat ditunjukkan adalah PDB atas dasar harga berlaku. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun. Dalam kerangka SNSE PDB atas dasar harga berlaku diperoleh dari penjumlahan alokasi nilai tambah ke faktor produksi dan pajak tidak langsung (neto). Angka pengganda bagi tiap-tiap kriteria ekonomi ditunjukkan pada Tabel 6 berikut
33
Tabel 6 Angka Pengganda Output, Nilai Tambah, dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Agroindustri Hulu dan Hilir Sektor Pengganda Output Rank Nilai Rank PDB Rank Tambah Agroindustri Hulu 1. Alat dan mesin 3,86 10 0,00 5 0,00 5 2. Pupuk dan pestisida 7,44 2 4,64 1 4,87 1 Rerata 5,65 2,32 2,43 Agroindustri Hilir 1. Pengolahan dan 5,98 7 3,82 4 3,67 4 pengawetan makanan 2. Makanan lainnya 5,93 8 4,86 3 4,04 3 3. Minuman 6,97 3 4,15 5 0,00 5 4. Rokok 6,26 6 3,37 5 0,00 5 5. Tekstil, pakaian, dan 6,65 4 0,00 5 0,00 5 kulit 6. Bambu, kayu, dan rotan 8,22 1 0,00 5 0,00 5 7. Kertas, barang dari kertas 5,01 9 0,00 5 0,00 5 dan karton 8. Penggilingan padi 6,60 5 5,08 2 4,27 2 9. Pemintalan 6,65 4 0,00 5 0,00 5 Rerata 6,47 2,36 1,33 Sektor Produksi Lain 1. Pertanian tanaman 6,55 4,82 5,43 pangan, peternakan, perikanan 2. Pertanian tanaman 6,09 0,00 0,00 lainnya, kehutanan, dan perburuan Rerata 6,32 2,41 2,71 Tabel 6 menyajikan hasil analisis angka pengganda bagi output, nilai tambah dan PDB. Angka pengganda pada output memiliki nilai yang lebih besar daripada angka pengganda pada nilai tambah dan PDB. Angka pengganda output yang tinggi tersebut disebabkan karena agroindustri memanfaatkan bahan baku dari sektor pertanian cukup besar, sehingga menghasilkan angka pengganda yang besar pula. Untuk output, terlihat bahwa agroindustri yang berada di sektor hilir dapat memberikan rerata nilai output yang tinggi daripada pengganda output pada agroindustri hulu.Supriyati dan Suryani (2006) menyatakan bahwa keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan lebih besar dibandingkan keterkaitan langsung ke belakang. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor agroindustri lebih peka menciptakan kenaikan output apabila terjadi peningkatan satu satuan permintaan akhir dibandingkan kemampuannya dalam mendorong sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku. Satuan permintaan akhir yang dimaksud adalah permintaann konsumen yang dalam hal ini mengindikasikan besarnya peranan agroindustri hilir sebagai industri yang mampu menciptakan barangbarang siap pakai dan siap jual bagi masyarakat. Oleh karena itu nilai pengganda
34
output yang besar di sektor hilir disebabkan karena tingginya permintaan dari konsumen. Berdasarkan peringkat pada Tabel 6 dapat diketahui bahwa industri bambu, kayu, dan rotan menduduki peringkat pertama bagi angka pengganda output. Hal ini berarti industri bambu, kayu, dan rotan memiliki kontribusi yang besar pada output perekonomian nasional, khususnya di sektor hilirnya. Hasil tersebut selaras dengan penelitian Negara (2010) dengan menggunakan data I-O tahun 1995, 2000 dan 2008 menyebutkan bahwa sektor kehutanan dalam penciptaan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja nasional relatif kecil dengan subsektor industri kayu memberikan sumbangan lebih besar daripada subsektor kehutanan primer. Selain itu, subsektor kehutanan memiliki kemampuan dalam mendorong sektor-sektor hilirnya yang menggunakan output produksi subsektor kehutanan primer. Selain itu, dari hasil analisis pengganda dan analisis dampak, sektor kehutanan termasuk dalam sektor yang memiliki dampak pengganda besar bagi perekonomian nasional. Hasil yang sama ditunjukkan pada indikator nilai tambah. Nilai rerata pengganda pada nilai tambah di sektor hilir lebih besar daripada di sektor hulu. Untuk indikator nilai tambah yang menggambarkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia juga terlihat bahwa agroindustri di sektor hilir lebih menyerap banyak tenaga kerja daripada di sektor hulu. Hal ini berarti industri-industri di sektor hilir dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas, sehingga dapat dikatakan bahwa agroindustri hilir bersifat padat tenaga kerja. Nilai rerata untuk PDB pada industri sektor hulu adalah 2,43 yang artinya setiap diberikan stimulus ekonomi ke industri sektor hulu sebesar satu milyar rupiah akan meningkatkan pendapatan nasional sebesar 2,43 miliar. Nilai ini lebih besar daripada nilai pada agroindustri hilir yang memiliki nilai rerata pengganda PDB sebesar 1,33. Artinya stimulus satu milyar rupiah ke agroindustri sektor hilir hanya akan meningkatkan PDB sebesar 1,33 miliar. Industri yang memberikan kontribusi besar pada nilai tambah adalah industri makanan dan minuman. Jika nilai tambah ini merupakan proxy dari ketenagakerjaan di Indonesia, maka dengan adanya industri makanan dan minuman ini mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015), jenis industri yang menyerap banyak tenaga kerja adalah industri makanan (823,4 ribu), pakaian jadi (473,6 ribu), tekstil (427,1 ribu), karet dan plastic (357,5 ribu), dan pengolahan tembakau (220,7 ribu). Industri makanan dan minuman yang berkembang pesat di Indonesia ini bersifat padat karya karena mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Di sektor hulu, industri pupuk dan pestisida memiliki kontribusi yang paling tinggi dalam nilai tambah.. Sektor pertanian merupakan sektor utama yang menggunakan output dari industri pupuk dan pestisida. Karena sektor pertanian masih memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian, maka keberadaan dan pembangunan industri pupuk dan pestisida ini akan menyerap banyak pekerja. Menurut data dari Central Data Mediatama Indonesia (2014), kebutuhan pupuk baik organik maupun anorganik di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya permintaan dari sektor perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, kapas, tembakau, jagung, dan padi. Tahun 2011 kebutuhan pupuk organik mencapai 12,3 juta ton, tahun 2012 meningkat
35
mencapai 12,6 juta ton dan di tahun 2013 mencapai 12,9 juta ton. Hal yang sama juga terjadi pada pupuk anorganik. Kebutuhan pupuk anorganik terbesar adalah pupuk Urea dengan tingkat konsumsi rata-rata di atas 70% sehingga pupuk Urea sangat sensitif terhadap harga dan sering mengalami kelangkaan. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk tersebut PT Pupuk Indonesia yang merupakan induk dari BUMN telah menyiapkan investasi sebesar 24 triliun rupiah hingga tiga tahun ke depan untuk membangun empat pabrik pupuk baru dan merevitalisasi pabrik yang sudah tidak efisien. Kinerja perusahaan pupuk BUMN juga terus meningkat, yang terlihat dari suksesnya perusahaan tersebut meningkatkan penjualan. Selain itu, berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian (2012b) pertumbuhan industri non migas sebesar 6,5% hingga triwulan III tahun 2012 didukung oleh kinerja pertumbuhan sebagian besar kelompok industri non migas yang cukup tinggi. Pertumbuhan tertinggi dicapai kelompok industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 8,91%. Kemudian diikuti kelompok industri semen dan barang galian bukan logam sebesar 8,75%. Kelompok industri makanan, minuman, dan tembakau di urutan berikutnya dengan pertumbuhan 8,22%. Hasil ini sesuai dengan Tabel 8 dimana industri pupuk dan pestisida serta pengolahan makanan dan minuman menduduki peringkat-peringkat atas. Jika dibandingkan dengan sektor primernya, sektor agroindustri hilir memiliki nilai pengganda yang lebih besar dari sisi output. Dari sisi nilai tambah maupun PDB, sektor primer memiliki nilai pengganda yang lebih besar daripada agroindustri hulu dan hilir. Hal ini membuktikan bahwa agroindustri belum mampu menggeser secara utuh peranan sektor primer pertanian dalam kontribusi ekonomi di Indonesia. Baik dari sisi ketenagakerjaan yang dilihat dari pengganda nilai tambah maupun kontribusi PDB terlihat sektor primer masih besar peranannya. Menurut Austin (1992), agroindustri melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian termasuk transformasi produk subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen yang berarti suatu negara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber daya agronomis tanpa pengembangan agroindustri. Di satu sisi, permintaan terhadap jasa pengolahan akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi pertanian. Di sisi lain, agroindustri tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga menimbulkan permintaan ke belakang yaitu peningkatan permintaan jumlah dan ragam produksi pertanian. Namun, dari indikator-indikator ekonomi yang dianalisis lewat kerangka SNSE terlihat bahwa nilai pengganda agroindustri di sektor hilir lebih besar daripada pengganda agroindustri di sektor hulu. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri yang berada di sektor hulu masih belum berkembang dengan optimal karena memberikan nilai kontribusi yang lebih kecil. Ketimpangan struktur industri di hulu dan hilir ini menyebabkan industri pengolahan tidak setangguh sektor industri yang berupa bahan mentah (raw material). B. Peran Agroindustri Hulu dan Hilir dalam Ekspor dan Impor Ekspor dan impor merupakan indikator untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi suatu negara selain PDB, output, dan nilai tambah. Ekspor dan impor ini berhubungan dengan faktor eksternal atau matriks luar negeri dalam kerangka SNSE. Matriks ekspor diketahui dari interaksi kolom luar negeri dan baris sektor
36
produksi. Untuk matriks impor merupakan interaksi kolom sektor produksi dan baris luar negeri. Tabel 7 menunjukkan angka pengganda ekspor dan impor di Indonesia berdasarkan neraca SNSE. Tabel 7 Angka Pengganda Ekspor dan Impor Agroindustri Hulu dan Hilir Sektor Angka Pengganda Ekspor Rank Impor Rank Agroindustri Hulu 1. Alat dan mesin 0,65 2 0,00 5 2. Pupuk dan pestisida 0,44 4 0,23 2 Rerata 0,54 0,11 Agroindustri Hilir 1. Pengolahan dan pengawetan 0,68 1 0,85 1 makanan 2. Makanan lainnya 0,68 1 0,18 4 3. Minuman 0,68 1 0,00 5 4. Rokok 0,68 1 0,00 5 5. Tekstil, pakaian, dan kulit 0,13 7 0,00 5 6. Bambu,kayu dan rotan 0,38 5 0,00 5 7. Kertas, barang dari kertas 0,14 6 0,00 5 dan karton 8. Penggilingan padi 0,60 3 0,19 3 9. Pemintalan 0,13 7 0,00 5 Rerata 0,45 0,13 Sektor Produksi Lain 1. Pertanian tanaman pangan, 0,70 0,61 peternakan, perikanan 2. Pertanian tanaman lainnya, 0,11 0,00 kehutanan, dan perburuan Rerata 0,40 0,30 Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa rerata pengganda ekspor di sektor agroindustri hulu lebih besar daripada agroindustri hilir. Hal tersebut berlaku sebaliknya bagi indikator impor. Nilai pengganda ekspor lebih besar daripada pengganda impor bahkan ada beberapa industri baik di sektor hulu maupun hilir yang tidak memiliki kontribusi sama sekali pada impor karena penggandanya bernilai 0. Jika dibandingkan dengan sektor pertanian primer, nilai pengganda ekspor pada agroindustri hulu dan hilir masih lebih besar. Namun, bagi indikator impor nilai pengganda sektor pertanian primer lebih besar daripada agroindustri hulu dan hilir. Menurut Rachmat (2010), saat ini produk Indonesia sebagian besar dipasarkan masih dalam bentuk bahan mentah sementara Indonesia mengimpor produk olahan dari bahan baku yang sejenis. Kondisi ini tidak menguntungkan karena Indonesia akan kehilangan nilai tambah produk dan pengembangan investasi usaha pengolahan dengan berbagai penggandanya. Namun, hasil analisis dari kerangka SNSE menunjukkan bahwa beberapa agroindustri di sektor hilir seperti industri pengolahan dan pengawetan makanan, minuman serta industri rokok memiliki nilai pengganda ekspor yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri di
37
Indonesia khususnya agroindustri makanan dan minuman mampu bersaing di pasar global sehingga perlu dikembangkan untuk mendukung perekonomian nasional. Dengan demikian pengembangan produk olahan makanan dan minuman di Indonesia mempunyai keuntungan ganda yaitu sebagai promosi ekspor sekaligus substitusi impor. Hasil tersebut sesuai dengan data dari Kementerian Perdagangan (2013) yang menunjukkan bahwa kelompok industri pengolahan pertanian yang mempunyai kontribusi penting dalam ekspor adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit, pengolahan karet, makanan dan minuman, rokok, makanan ternak, produk farmasi, pengolahan tetes, dan minyak atsiri. Ekspor produk olahan tersebut dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang cukup besar dan memiliki tren positif. Hal tersebut didukung oleh data dari BPS (2014b) yang menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan makanan mendominasi sekitar 96,68% pada tahun 2012 disusul oleh industri pengolahan tembakau. Dalam rentang waktu tersebut juga terjadi peningkatan dengan laju yang tinggi untuk industri pengolahan tembakau sebesar 7,72% per tahun dan 1,82% per tahun untuk industri pengolahan makanan. Berdasarkan peringkat angka pengganda, industri pengolahan dan pengawetan makanan di sektor agroindustri hilir menduduki peringkat kedua. Menurut data Badan Pusat Statisik (2013) di bidang ekspor, produk makanan olahan termasuk di dalamnya minuman dan tembakau merupakan salah satu dari sepuluh produk ekspor yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Selama lima tahun terakhir ekspor makanan olahan Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6% per tahun. Selain itu, ekspor makanan olahan Indonesia tumbuh rata-rata sekitar 15,08% per tahun melampaui pertumbuhan permintaan pasar impor dunia. Industri pengolahan dan pengawetan makanan memiliki keistimewaan karena selain menduduki peringkat pertama dalam pengganda ekspor juga sekaligus menduduki peringkat pertama dalam pengganda impor. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa bahan baku industri pengolahan dan pengawetan makanan masih bersumber dari bahan-bahan impor. Ketersediaan bahan baku yang bersumber dari sektor primer pertanian ternyata belum dapat terserap sempurna dan belum mampu mencukupi pasar industri dalam negeri. Oleh karena itu, ekspor bahan mentah (raw material) sebaiknya dikurangi agak sektor primer dapat terserap optimal di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. C. Peran Agroindustri (Hulu dan Hilir) vs Non Agroindustri dalam Output, Nilai Tambah, dan Produk Domestik Bruto Sejak Repelita I, pembangunan industri mempunyai peranan penting dalam transformasi struktur perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti dari kepesatan pertumbuhan sektor tersebut serta peningkatan kontribusinya terhadap PDB. Felipe (2013) mengklasifikasikan negara-negara di dunia yang telah berhasil melakukan industrialisasi dan yang belum dalam dua kategori yaitu dilihat dari sisi output dan ketenagakerjaan. Dalam hal ini, Indonesia masuk kepada kategori low middleincome countries yang telah berhasil melakukan industrialisasi dari sisi output tetapi belum berhasil dari sisi ketenagakerjaan. Hal ini utamanya bagi sektor pertanian dan industri pengolahannya. Peran output sektor pertanian sudah menurun tetapi tenaga kerja yang ada masih cukup banyak. Perkembangan peran industri
38
yang tergolong dalam agroindustri maupun non agroindustri dalam perekonomian nasional ditunjukkan dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8 Angka Pengganda Output, Nilai Tambah, dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Agroindustri vs Non Agroindustri Angka Pengganda Sektor Output Rank Nilai Rank PDB Rank Tambah Agroindustri Hulu 1. Alat dan mesin 5,60 6 0,00 5 0,00 5 2. Pupuk dan pestisida 12,51 4 2,41 4 3,15 3 Rerata 9,05 1,20 1,57 Agroindustri Hilir 1. Pengolahan dan 15,56 1 3,72 1 4,12 1 pengawetan makanan 2. Makanan lainnya 14,42 2 2,60 3 2,81 4 3. Minuman 0,83 11 0,00 5 0,00 5 4. Rokok 0,83 11 0,00 5 0,00 5 5. Tekstil, pakaian, dan kulit 0,90 8 0,00 5 0,00 5 6. Bambu, kayu, dan rotan 0,73 11 0,00 5 0,00 5 7. Kertas, barang dari kertas 1,38 7 0,00 5 0,00 5 dan karton 8. Penggilingan padi 11,75 5 3,49 2 3,62 2 9. Pemintalan 0,90 8 0,00 5 0,00 5 Rerata 5,25 1,09 1,17 Industri Non Agroindustri 1. Kimia 12,52 3 2,41 4 3,15 3 2. Pengilangan minyak bumi 0,89 9 0,00 5 0,00 5 3. Barang-barang dari mineral 0,84 10 0,00 5 0,00 5 bukan logam 4. Semen 12,51 4 0,00 5 3,15 3 5. Dasar besi dan baja 0,89 9 0,00 5 0,00 5 6. Barang dari logam 1,38 7 0,00 5 0,00 5 7. Alat pengangkutan dan 1,38 7 0,00 5 0,00 5 perbaikannya 8. Barang lain yang belum 1,38 7 0,00 5 0,00 5 digolongkan dimanapun Rerata 3,97 0,30 0,78 Sektor Produksi Lain 1. Pertanian tanaman pangan, 11,20 3,28 3,64 peternakan, perikanan 2. Pertanian tanaman lainnya, 0,41 0,00 0,00 kehutanan, dan perburuan Rerata 5,80 1,64 1,82
39
Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa rerata angka pengganda bagi industriindustri yang tergabung dalam sektor agroindustri lebih besar daripada industriindustri sektor non agroindustri. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi agroindustri lebih besar dalam perekonomian nasional daripada non agroindustri. Secara empiris telah terbukti bahwa pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1998 seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif dan hanya sektor pertanian yang tetap tumbuh dengan tren positif. Sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang berbasis sumber daya domestik dapat memberikan konntribusi yang besar terhadap perekonomian nasional saat itu. Seiring dengan transformasi pembangunan menuju industrialisasi tentu saja industri yang berbasis pertanian (agroindustri) akan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian secara perlahan. Hasil kajian Supriyati dan Suryani. (2006) menjelaskan bahwa peranan sektor agroindustri dalam penciptaan nilai tambah dan devisa masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor non agroindustri. Ada indikasi bahwa pertumbuhan output dan nilai tambah pada sektor agroindustri tidak diikuti oleh pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa misi agroindustri sebagai salah satu peluang kesempatan kerja yang diharapkan mampu mengurangi beban penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang terlalu besar belum tercapai. Hal ini disebabkan karena agroindustri belum dianggap menjadi satu sistem kesatuan sehingga belum ada kebijakan yang komprehensif, masih terkotak-kotak menurut subsistem yang ada. Semenjak diberlakukannya RPJMN 2004-2009 dimana salah satunya adalah kebijakan pengolahan hasil pertanian dalam arti luas yang dalam hal ini adalah bidang agroindustri ditetapkan sebagai fokus utama dalam pembangunan industri di Indonesia, maka hasil tersebut berkembang dan bergeser. Program hilirisasi industri berbasis agro juga merupakan program prioritas yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional. Dari hasil pada Tabel 9 terbukti Kementerian Perindustrian mampu menerapkan kebijakan tersebut dengan baik sehingga agroindustri mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional. Dengan mengklasifikasikan agroindustri menjadi agroindustri makanan dan non makanan, hasil penelitian Susilowati (2007a) mengatakan bahwa strategi ADLI melalui pengembangan sektor industri mampu menghasilkan output, penyerapan tenaga kerja serta nilai tambah modal yang lebih besar dibandingkan dengan strategi pengembangan non agroindustri dan sektor pertanian primer. Pada kondisi krisis ekonomi tahun 1998, pengembangan sektor pertanian primer memiliki peran yang paling besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Begitu pula dengan hasil pada Tabel 9, agroindustri di sektor hulu dan hilir memiliki nilai pengganda yang lebih besar daripada sektor non agroindustri dan sektor pertanian primer. Berdasarkan peringkat pengganda output pada Tabel 8, agroindustri yang berperan besar dalam perekonomian adalah agroindustri pengolahan dan pengawetan makanan serta makanan lainnya. Disusul kemudian industri kimia dan semen dari sektor non agroindustri. Selaras dengan Tabel 8, industri pengolahan dan pengawetan makanan serta industri makanan lainnya sedang berkembang pesat di Indonesia sehingga memberikan kontribusi yang besar bagi Indonesia. Di sektor hulu, agroindustri pupuk dan pestisida juga memberikan kontribusi yang besar. Hasil ini juga selaras dengan Tabel 6. Dari sisi sektor non agroindustri, perkembangan bisnis properti di Indonesia membuat industri-industri semen
40
berkembang dengan pesat. Hal tersebut yang membuat kontribusi industri semen juga besar dalam perekonomian. Industri kimia juga berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta fasilitas dari pemerintah dalam hal penelitian. D. Peran Agroindustri (Hulu dan Hilir) vs Non Agroindustri dalam Ekspor dan Impor Dalam tahapan industrialisasi di Indonesia, terdapat berbagai macam strategi yang diterapkan untuk memaksimalkan potensi industri pengolahan yang banyak memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Pada masa pemerintahan orde baru, diterapkan strategi ISI (Industri Substitusi Impor). Strategi ini diharapkan bisa menghasilkan barang-barang baru di dalam negeri yang semula dimpor. Setelah kurang lebih dua puluh tahun strategi ISI ini kurang memberikan hasil yang memuaskan, maka strategi industrialisasi diubah menjadi IPE (Industri Promosi Ekspor) terutama untuk barang-barang non migas. Meskipun strategi IPE tidak bebas dari masalah tekanan pada neraca pembayaran dan kekurangan devisa, namun strategi yang bertujuan untuk memperoleh devisa sebanyak mungkin melalui ekspor barang-barang jadi dari industri pengolahan non migas ini lebih memberikan hasil yang memuaskan. Dalam perkembangannya, strategi yang coba diterapkan adalah strategi ADLI dengan agroindustri sebagai fokus utamanya. Terkait dengan strategi-strategi industrialisasi yang diterapkan di Indonesia, kegiatan ekspor dan impor menjadi penting sebagai indikator perekonomian nasional. Berdasarkan analisis pada penelitian ini diketahui bahwa rerata angka pengganda ekspor industri sektor non agroindustri lebih besar daripada sektor agroindustri. Industri pengolahan memang memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional, tetapi berdasarkan hasil tersebut nampak bahwa industri pengolahan yang berbasis pertanian belum mampu menembus pasar dunia. Untuk impor, nilai pengganda industri yang tergabung dalam agroindustri lebih besar daripada non agroindustri. Hal ini berarti impor produk agroindustri lebih besar daripada non agroindustri. Menurut Wachjudi (2010), penyebab dari penurunan pangsa ekspor agroindustri adalah kurangnya ketersediaan bahan baku, dimana sebagian besar bahan baku masih diekspor dalam bentuk primer. Fakta ini tentu sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, sektor pertanian seharusnya mampu menyediakan bahan baku yang memadai bagi industri agro. Selain itu, sebagian bahan baku yang digunakan dalam industri pengolahan di agroindustri juga masih bergantung pada bahan baku impor. Hal ini yang menyebabkan nilai pengganda impor agroindustri lebih tinggi daripada non agroindustri. Kemudian, menurut Agusalim (2014), selain permasalahan ketersediaan bahan baku, terdapat permasalahan lain dalam meningkatkan pertumbuhan agroindustri yaitu terjadinya stagnasi produktivitas sektor pertanian khususnya perkebunan. Padahal, dalam lima tahun terakhir sektor perkebunan memberikan kontribusi paling besar dalam neraca perdagangan pertanian. Secara rinci, perkembangan industri dalam ekspor dan impor di Indonesia yang dianalisis menggunakan kerangka SNSE dapat dilihat pada Tabel 9 berikut
41
Tabel 9 Angka Pengganda Ekspor dan Impor Agroindustri vs Non Agroindustri Sektor Angka Pengganda Ekspor Rank Impor Rank Agroindustri Hulu 1. Alat dan mesin 0,33 5 0,00 2. Pupuk dan pestisida 0,17 9 0,74 1 Rerata 0,25 0,37 Agroindustri Hilir 1. Pengolahan dan pengawetan 0,24 7 0,40 2 makanan 2. Makanan lainnya 0,24 7 0,21 3 3. Minuman 0,24 7 0,00 5 4. Rokok 0,24 7 0,00 5 5. Tekstil, pakaian, dan kulit 0,26 7 0,00 5 6. Bambu, kayu, dan rotan 0,21 8 0,00 5 7. Kertas, barang dari kertas dan 0,40 4 0,00 5 karton 8. Penggilingan padi 0,65 3 0,13 4 9. Pemintalan 0,26 5 0,00 5 Rerata 0,30 0,08 Industri Non Agroindustri 1. Kimia 0,18 9 0,74 1 2. Pengilangan minyak bumi 0,72 1 0,00 5 3. Barang-barang dari mineral bukan 0,68 2 0,00 5 logam 4. Semen 0,17 10 0,74 1 5. Dasar besi dan baja 0,72 1 0,00 5 6. Barang dari logam 0,40 4 0,00 5 7. Alat pengangkutan dan 0,40 4 0,00 5 perbaikannya 8. Barang lain yang belum 0,40 4 0,00 5 digolongkan dimanapun Rerata 0,45 0,18 Sektor Produksi Lain 1. Pertanian tanaman pangan, 0,76 0,21 peternakan, perikanan 2. Pertanian tanaman lainnya, 0,12 0,00 kehutanan, dan perburuan Rerata 0,44 0,10 Berdasarkan peringkat angka pengganda ekspor, terlihat bahwa industri pengilangan minyak serta industri dasar besi dan baja memiliki nilai yang paling besar. Indonesia memiliki potensi tambang minyak yang cukup besar, namun sayangnya minyak-minyak tersebut dieskpor dalam bentuk minyak mentah dan Indonesia kembali mengimpor hasil olahan minyak mentah tersebut dari negara lain. Hasil olahan minyak yang erat kaitannya dengan kegiatan industri adalah BBM (bahan bakar minyak). Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri adalah pada struktur biaya produksinya. Jika dikaitkan dengan rumah tangga maka
42
kenaikan BBM akan menurunkan daya beli masyarakat. Jika peningkatan biaya produksi semakin meningkat dan daya beli masyarakat semakin menurun maka akan mendorong industri untuk melakukan pengurangan volume produksi dan PHK karyawan. Pengurangan output industri ini akan mengurangi output nasional dalam pembentukan PDB sehingga akan mengurangi kontribusinya. Jika Indonesia masih bertahan dengan kondisi seperti ini maka lambat laun sektor industri pengolahan akan semakin menurun kontribusinya dalam perekonomian nasional. Perkembangan nilai ekspor minyak bumi Indonesia juga mengalami fluktuasi yang cenderung mengarah ke peningkatan nilai ekspor. Walaupun Indonesia terpaksa keluar dari negara OPEC akibat ketidakmampuannya memenuhi kuota ekspor yang diterapkan OPEC namun nilai yang dihasilkan dari ekspor minyak ini selalu meningkat setiap tahunnya. Peningkatan yang terjadi dari sisi harga menyebabkan nilai ekspor minyak Indonesia meningkat. Ekspor minyak bumi yang dihasilkan Indonesia sejak tahun 2006 adalah ekspor yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang kontrak bagi hasil dengan pemerintah, bukan ekspor yang dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah. (Mustika et al. 2015) Setara dengan industri pengilangan minyak, industri dasar besi dan baja juga memiliki nilai tertinggi untuk pengganda ekspor. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional menyebutkan bahwa industri baja merupakan basis bagi pengembangan industri manufaktur. Oleh karena itu industri baja ini dimasukkan ke dalam kelompok industri prioritas bagi basis industri manufaktur. Proses industrialisasi di Indonesia didorong oleh pembangunan industri baja ini. Sebagai basis industri, industri baja mempunyai peran yang tidak sedikit. Penggunaan produk-produk dari industri baja dapat dilihat dalam pembuatan kendaraan, pengeboran minyak bumi, pembangunan infrastruktur, serta fasilitas umum lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan larangan ekspor baja scrap. Oleh karena itu, kontribusi yang tinggi untuk ekspor ini adalah ekspor baja dalam bentuk bijih besi atau baja mentah. Prospek agroindustri di Indonesia diperkirakan akan makin mendominasi sektor industri di Indonesia, khususnya di bidang ekspor. Jalur agroindustri tidak banyak menghadapi saingan untuk tropical culture karena semua level teknologi dapat diterapkan dalam pengolahan hasil pertanian. Begitupun dengan teknologi seperti bioteknologi yang terus berkembang sehingga dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas pengolahan agroindustri. E. Peran Agroindustri Hulu dan Hilir Dalam Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia Kementerian Perindustrian (2012a) menyatakan bahwa tujuan dari pembangunan industri merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengacu pada tiga pilar utama yang menjadi komitmen pemerintah yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Komitmen pemerintah tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Trilogi Pembangunan Industri sebagai berikut :
43
1) Pertumbuhan industri melalui pengembangan dan penguatan industri prioritas 2) Pemerataan industri melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah 3) Persebaran industri melalui pengembangan industri unggulan daerah dan kompetensi inti industri daerah Dari trilogi tersebut terlihat bahwa pemerataan industri juga merupakan fokus dari pemerintah sehingga adanya pembangunan industri ini diharapkan dapat memberikan pemerataan pendapatan bagi masyarakat. Sektor industri mampu berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi (prime mover) karena kemampuannya dalam peningkatan nilai tambah yang tinggi. Industri juga dapat membuka peluang untuk menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan yang berarti meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah tenaga kerja sekitar 14 juta orang pada tahun 2012, tenaga kerja sektor industri turut memberikan kontribusi sebesar 1213% terhadap total tenaga kerja nasional. (Kemenperin, 2012) Perubahan struktur ekonomi di Indonesia telah terjadi dan mungkin akan terus berlangsung. Hal ini didukung dengan beberapa argumentasi diantaranya perkembangan hasil pembangunan ekonomi yang sekarang terjadi telah menunjukkan proses transformasi, yang ditandai oleh adanya penurunan sektor pertanian (primer) dan meningkatnya sektor manufaktur (sekunder) serta sektor tersier. Pemecahan berbagai masalah yang dihadapi sektor pertanian masih sangat tergantung dari keberhasilan perkembangan sektor industri. Hal ini tentu berkaitan langsung dengan mobilitas tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian ke non pertanian sehingga perlu dibangun industri yang kuat untuk mendukung sektor pertanian. Pentingnya pengembangan agroindustri bukan hanya karena peranan langsungnya untuk mencapai sasaran tersebut, tetapi juga karena perannya dalam proses transformasi perekonomian nasional dari dominan sektor pertanian menjadi sektor industri. Dampak dari agroindustri adalah terjadinya proses perubahan perekonomian pedesaan antara lain dicirikan pangsa tenaga kerja pada sektor pertanian menurun dan pada sektor industri meningkat serta sektor pertanian tetap mampu menyediakan bahan makanan dan bahan baku industri dalam jumlah memadai. Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan akibat langsung dari ketimpangan pelaksanaan pembangunan ekonomi. Kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan inti permasalahan pembangunan. Masalah distribusi pendapatan adalah suatu ukuran atas pendapatan yang diterima oleh setiap masyarakat. Salah satu cara dalam meningkatkan distribusi pendapatan masyarakat adalah dengan adanya pelaksanaan pembangunan ekonomi. Dua masalah besar yang umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil analisis pengganda agroindustri untuk distribusi pendapatan diperlihatkan pada Tabel 10 berikut
44
Tabel 10 Angka Pengganda Distribusi Pendapatan Agroindustri Hulu dan Hilir Sektor A B 1 2 3 4 5 6 Agroindustri Hulu Alat dan mesin 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Pupuk dan pestisida 0,11 0,10 0,11 0,12 0,33 0,75 Agroindustri Hilir Pengolahan dan pengawetan makanan 0,96 0,76 0,10 0,22 0,29 0,14 Makanan lainnya 0,11 0,37 0,17 0,38 0,67 0,88 Minuman 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Rokok 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Tekstil, pakaian, dan kulit 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Bambu, kayu, dan rotan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kertas, barang dari kertas dan karton 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Penggilingan padi 0,21 0,47 0,96 0,41 0,72 0,97 Pemintalan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sektor Produksi Lain Pertanian tanaman pangan, 0,13 0,20 0,39 0,13 0,26 0,36 peternakan, perikanan Pertanian tanaman lainnya, kehutanan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 dan perburuan Keterangan : A = rumah tangga pertanian B = rumah tangga bukan pertanian 1 = rumah tangga buruh pertanian 2 = rumah tangga pengusaha pertanian 3 = rumah tangga bukan pertanian di pedesaan golongan rendah 4 = rumah tangga bukan pertanian di pedesaan golongan atas 5 = rumah tangga bukan pertanian di perkotaan golongan rendah 6 = rumah tangga bukan pertanian di perkotaan golongan atas
Berbeda dengan angka pengganda output, nilai tambah, PDB, ekspor dan impor yang dapat menghasilkan nilai lebih besar dari satu, pengganda pendapatan rumah tangga menghasilkan nilai lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan sektor agroindustri akan menghasilkan dampak peningkatan pendapatan sektor produksi maupun tenaga kerja lebih besar dibandingkan pengaruh yang ditransmisikan ke rumah tangga. Sektor agroindustri hilir menghasilkan rerata nilai pengganda yang lebih tinggi daripada sektor agroindustri hulu. Artinya, pengembangan sektor agroindustri hilir akan memberikan pendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan agroindustri hulu. Untuk rumah tangga pertanian, baik rumah tangga buruh tani maupun pengusaha pertanian industri yang memberikan kontribusi pendapatan paling besar adalah industri pengolahan dan pengawetan makanan. Seiring dengan pertumbuhan industri pengolahan dan pengawetan makanan yang dalam produksinya mampu menembus pasar ekspor dunia, kebutuhan akan tenaga kerja pun meningkat sehingga mampu memberikan kontribusi pendapatan yang besar bagi rumah tangga penyedia bahan baku yaitu rumah tangga pertanian.
45
Keberadaaan industri pengolahan dan pengawetan makanan ini harus terus dikembangkan mengingat sebaran distribusi pendapatan yang dihasilkan mampu mencapai sektor rumah tangga terkecil yaitu rumah tangga buruh tani. Jika dibandingkan dengan sektor primernya, industri pengolahan dan pengawetan makanan masih memberikan nilai pengganda yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan yang diterima oleh rumah tangga petani sebagian besar justru bukan dari sektor primernya melainkan dari agroindustri pengolahan dan pengawetan makanan. Rumah tangga pertanian yang sering mendapatkan sorotan terkait distribusi pendapatan ini adalah rumah tangga buruh tani. Dari Tabel 10 diketahui bahwa industri hilir telah mampu memberikan distribusi pendapatan yang merata lewat industri pengolahan dan pengawetan makanan serta industri makanan lainnya. Perkembangan kedua industri ini selain mampu meningkatkan ekspor agroindustri Indonesia ternyata mampu memberikan nilai distribusi pendapatan yang cukup baik. Bahan baku dari kedua industri ini adalah sektor primer pertanian yang banyak mempekerjakan buruh pertanian. Inilah yang menyebabkan perkembangan kedua industri tersebut akan memberikan penghasilan yang lebih besar bagi buruh tani karena kebutuhan akan bahan bakunya semakin banyak. Hasil tersebut senada dengan penelitian Susilowati (2007a) yang menyebutkan bahwa dari sisi pemerataan pendapatan rumah tangga , agroindustri makanan memiliki peran yang baik meskipun dari sisi kontribusi dalam perekonomian nasional nilainya lebih rendah dibandingkan agroindustri non makanan. Bagi rumah tangga bukan pertanian di pedesaan baik golongan atas maupun golongan bawah, industri yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar adalah industri penggilingan padi. Industri penggilingan padi nampaknya menjadi peluang bagi masyarakat untuk melaksanakan industrialisasi di pedesaan. Selain itu pembangunan industri penggilingan padi di pedesaan dapat dijadikan alternatif mata pencaharian selain bekerja di sektor primer sebagai petani. Berdasarkan Tabel 10, untuk sektor pertanian lain yang isinya adalah sektorsektor pertanian primer terlihat bahwa distribusi pendapatan yang diterima nilainya relatif kecil. Hal ini berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa distribusi pendapatan banyak diberikan oleh sektor primer. Hasil ini memperlihatkan bahwa industrialisasi yang berbasis agroindustri mulai menunjukkan keberhasilannya secara perlahan meskipun belum mencakup seluruh bidang.
46
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari kajian penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam perekonomian nasional, agroindustri hilir memberikan penciptaan output dan kesempatan kerja yang besar sedangkan agroindustri hulu memberikan kontribusi pada PDB lebih besar. Industri yang berperan besar dalam pembentuk output perekonomian nasional adalah industri bambu, kayu dan rotan. Industri yang berperan paling besar sebagai pembentuk nilai tambah adalah industri makanan dan minuman sedangkan industri pupuk dan pestisida memberikan kontribusi terbesar pada PDB. Pada indikator ekspor, agroindustri hulu berperan lebih besar daripada agroindustri hilir sedangkan untuk impor berlaku sebaliknya. Untuk ekspor dan impor, industri yang berperan besar adalah industri pengolahan dan pengawetan makanan. 2. Baik rumah tangga pertanian maupun rumah tangga non pertanian, agroindustri hilir lebih berperan dalam memberikan distribusi pendapatan yang lebih merata. Bagi rumah tangga pertanian, industri yang berperan besar adalah industri pengolahan dan pengawetan makanan sedangkan bagi rumah tangga non pertanian adalah industri penggilingan padi. 3. Berdasarkan peringkat dalam kontribusinya pada perekonomian nasional dan distribusi pendapatan, maka agroindustri hilir berperan lebih besar daripada agroindustri hulu. Meskipun demikian, pengembangan agroindustri hulu tetap harus menjadi prioritas dalam strategi industrialisasi di Indonesia. 4. Jika dibandingkan dengan industri-industri yang tidak berbahan baku dari sektor pertanian primer (non agroindustri), agroindustri baik hulu maupun hilir memberikan kontribusi pada perekonomian lebih besar terutama pada indikator output, nilai tambah PDB, dan impor. Industri yang berperan besar adalah industri pengolahan dan pengawetan makanan. Namun, jika dilihat dari sisi ekspor, industri non agroindustri memiliki kontribusi yang lebih besar dalam perekonomian utamanya lewat industri pengilangan minyak serta industri dasar besi dan baja B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan kajian, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Adanya inovasi-inovasi produk pada agroindustri hulu sesuai kebutuhan konsumen sehingga mampu menghasilkan penciptaan output yang besar dalam perekonomian. 2. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mendisagregasi kerangka SNSE dengan lebih rinci menggunakan data terbaru.
47
DAFTAR PUSTAKA Acharya S, Signorelli M, Vojinovic B, Oplotnik ZJ. 2013. Alternative Approach to Economic Restructuring to Benefit the Poor-SAM Multipliers Analysis As Alternative Approach. Journal of Scientific Annals of The Alexandru Ioan Cuza Universty of Iasi Economic Science 60 (1) : 1-20. Agusalim L. 2014. Pajak Ekspor, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pendapatan : Kasus Agroindustri di Indonesia. Kinerja 18 (2) : 180-194. Bautista RM, Robinson S, El Said M. 1999. Alternative Industrial Developments Paths for Indonesia : SAM and CGE Analysis. TMD Discussion Paper No.42, Washington. Bautista RM 2000. Agriculture-Based Development : A SAM Perspective on Central Vietnam. The Developing Economies 34 (1) : 112-32. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 20102014. Jakarta : Kementerian Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 72/11/Th. XIV, 7 November 2011. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. [diakses pada tanggal 21 Juni 2014]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014a. Distribusi Pembagian Pengeluaran Per Kapita dan Indeks Gini 2010-2013. http://www.bps.go.id. [diakses pada tanggal 16 Juni 2015]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014b. Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT 1986–2013. http://www.bps.go.id. [diakses pada tanggal 16 Juni 2015]. Cardenete MA, Boulanger P, Delgado MDC, Ferrari E, M’Barek M. 2014. AgriFood and Bio-Based Analysis in The Spanish Economy Using A Key Factor Approach. Journal of RURDS 2 (26) : 112-134. Central Data Mediatama Indonesia. 2014. Studi Potensi Bisnis Industri Pupuk di Indonesia. http://www.cdmione.com.[diakses pada tanggal 7 Oktober 2016] Chacholiades M. 1990. International Economics. New York : McGraw-Hill Publishing Company. Daryanto A. 1999. Indonesia’s Crisis and The Agricultural Sector : The Relevance of Agricultural Demand-Led Industrialisation. Journal of The UNE Asia Centre 2 : 61-72. Daryanto A. 2009a. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor : IPB Press. Daryanto A. 2009b. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Pusat Analisis Sosial dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor : IPB Press. [Deperindag] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2005. Program dan Strategi Pembangunan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) 2005-2009. Jakarta.
48
Fauzi MM. 2008. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia : Analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Felipe. 2013. Asia’s Economic Transformation : Where to, How and How Fast? Badan Kebijakan Fiskal 2013 Fields GS. 1980. Poverty, Inequality and Development. Cambridge : Cambridge University Press. Gakuru R, Mathenge N. 2012. Poverty, Growth, and Income Distribution in Kenya : A SAM Perspective. Working Paper African Growth and Development Policy (AGRODEP). Gathak S. 2005. Introduction to Development Economics. 3rd edition. London and New York : Routledge. Hayami Y, Godo Y. 2004. Development Economics : From The Poverty To The Wealth of Nations. 3rd edition. New York : Oxford University Press. Negara K. 2010. Analisis Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Indonesia : Pendekatan Input Output. [Tesis]. Depok. Universitas Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2015. Deregulasi Paket Kebijakan Ekonomi Nasional. http://www.ekon.go.id > ekliping > view. [diakses tanggal 23 Januari 2017]. Kementerian Perindustrian. 2012a. Outlok Industri 2012 : Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Jakarta : Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Kementerian Perindustrian. 2012b. Peran Sektor Industri dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Harian Ekonomi Neraca. http://www.kemenperin.go.id/artikel/5422/Peran-Sektor-Industri-dalamMendorong-Pertumbuhan-Ekonomi-Nasional. [diakses pada tanggal 12 Oktober 2016] Kementerian Perindustrian. 2013. Laporan Perkembangan Kemajuan Program Kerja Kementerian Perindustrian Tahun 2004-2012. Jakarta : Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Kementerian Pertanian. 2013a. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 20132045 : Membangun Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. Jakarta : Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kementarian Pertanian. 2013b. Dokumen Pendukung Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045. Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan : Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Jakarta : Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Krugman PR, Obstfeld M. 1992. Ekonomi Internasional. Teori dan Kebijakan. Terjemahan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Lakitan B. 2012. Membangun Kemitraan Agroindustri, Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan. Paper Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia (HPS) XXXII. Palangkaraya, 15-16 Oktober 2012. Lewis WA. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labor. Manchester School of Economic and Social Studies 22 : 139-91. Mustika. Haryadi dan Hodijah S. 2015. Pengaruh Ekspor dan Impor Minyak Bumi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah 2 (3) : 107-118.
49
Pieters J. 2010. Growth and Inequality in India : Analysis of An Extended Social Accounting Matrix. Journal of World Development 3 (38) : 270-281. Priyarsono DS, Backe D. 2007. Industri Berbasis Pertanian : Arah Pengembangan Industri di Indonesia. SOCA 8 (3) : 256-264. Rachmat M. 2010. Perspektif Pengembangan Industri Pengolahan Pangan di Indonesia. Saari MY. 2010. Sources of Growth in Income and Inequality Among Ethnic Groups in Malaysia for 1970-2000. Paper The 31st General Conference of The International Association for Research in Income and Wealth. Saragih B, Krishnamurti B. 1992. Agroindustri Sebagai Suatu Sektor yang Memimpin dalam PJP-II (Agroindustry as a Leading Sector). Bogor. Silva CA, Baker D, Shepherd AW, Jenane C. 2009. Agro Industries for Development. UK and USA : The Food and Agriculture Organization of the United Nations and The United Nations Industrial Development Organization. Supriyati, Suryani E. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 25 (2) : 92106 Susilowati SH. 2007a. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Susilowati SH. 2007b. Peran Sektor Agroindustri dalam Perekonomian Nasional dan Pendapatan Rumah Tangga Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Susilowati SH, Sinaga BM, Limbong WH, Erwidodo. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia : Analisis Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi 25 (1) : 11-36 Sutardi. 2007. Pembangunan Agroindustri Hilir Hasil Pertanian dalam Perspektif Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Edisi Ketujuh. Jakarta : Erlangga. Udayana IGB. 2011. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian. Singhadwala. Edisi 44. Februari 2011. Wachjudi. 2010. Hilirisasi Industri Agro : Dapat Mengatasi Ancaman Deindustrialisasi. Majalah Karya Indonesia. Edisi 3. Kementerian Pertanian.
50
54
LAMPIRAN
53
Lampiran 1 Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut SNSE 2008 Klasifikasi SNSE 2008 Pertanian Produksi, Operator, Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar
Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa
Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional, dan Teknisi
Deskripsi Buruh tani dan petani pemilik lahan Operator alat pertanian dan atau industri, tukang batu, tukang kayu Operator dan buruh kasar pada sektorsektor yang menyediakan input bagi sektor agroindustri Pekerja di perusahaan pertanian dan atau agroindustri Pekerja pada sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor agroindustri Manajer pada perusahaan pertanian dan atau agroindustri Manajer, professional, dan teknisi pada sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor industri
Lampiran 2 Klasifikasi Rumah Tangga Menurut SNSE 2008 Klasifikasi SNSE 2005 Buruh Tani Pengusaha Pertanian
Golongan Rendah
Bukan Angkatan Kerja (BAK)
Golongan Atas
Deskripsi Petani yang tidak memiliki lahan dan menggarap lahan yang bukan miliknya Pemilik lahan pertanian yang bekerja sendiri maupun yang mempekerjakan orang lain Pengusaha pertanian dan atau agroindustri skala kecil, buruh tani Pengusaha agroindustri kecil, pekerja pertanian bergaji rendah dan buruh di sektor yang menyediakan input bagi sektor agroindustry Mereka yang tidak jelas pekerjaannya Pengusaha pertanian dan atau agroindustri skala besar, teknisi Pengusaha agroindustri skala besar, pekerja pertanian bergaji tinggi, professional yang bekerja pada sektor yang menyediakan input bagi sektor agroindustry
54
Lampiran 3 Kerangka Disagregasi SNSE Agroindustri Hulu dan Hilir Uraian
Faktor Produksi
Pertanian Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar Tenaga Kerja Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional dan Teknisi Bukan Tenaga Kerja
Institusi
Pertanian Rumah Tangga
Bukan Pertanian
Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji Penerima Upah dan Gaji Bukan Penerima Upah dan Gaji
Buruh Pengusaha Pertanian Golongan Rendah Pedesaan Golongan Atas Golongan Rendah Perkotaan Golongan Atas
Sektor Produksi
Perusahaan Pemerintah Pertanian Tanaman Pangan, peternakan, perikanan, industri makanan Industri penggilingan padi Industri pengolahan dan pengawetan Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Pertanian Tanaman Lainnya, Kehutanan dan Perburuan Pertambangan, Industri Pengolahan Kecuali Makanan, Listrik, Gas, dan Air Bersih Industri pemintalan Industri pupuk dan pestisida Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Perdagangan, Restoran dan Perhotelan, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga Alat dan mesin pertanian Lembaga Keuangan, Real Estate, Pemerintah, Jasa Sosial dan Kebudayaan Margin Perdagangan dan Pengangkutan Neraca Kapital Pajak tidak langsung Subsidi Luar Negeri
Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
55
Lampiran 4 Kerangka Disagregasi SNSE Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
Sektor Produksi
Institusi
Faktor Produksi
Uraian Penerima Upah dan Gaji Pertanian Bukan Penerima Upah dan Gaji Produksi, Operator Alat Penerima Upah dan Gaji Angkutan, Manual dan Bukan Penerima Upah dan Gaji Buruh Kasar Tenaga Kerja Penerima Upah dan Gaji Tata Usaha, Penjualan, Jasa-Jasa Bukan Penerima Upah dan Gaji Kepemimpinan, Penerima Upah dan Gaji Ketatalaksanaan, Militer, Bukan Penerima Upah dan Gaji Profesional dan Teknisi Bukan Tenaga Kerja Buruh Pertanian Pengusaha Pertanian Golongan Rendah Rumah Pedesaan Tangga Golongan Atas Bukan Pertanian Golongan Rendah Perkotaan Golongan Atas Perusahaan Pemerintah Pertanian Tanaman Pangan, Peternakan, Perikanan, Industri Makanan Industri penggilingan padi Industri pengolahan dan pengawetan makanan Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Pertanian Tanaman Lainnya, Kehutanan dan Perburuan Pertambangan, Industri Pengolahan Kecuali Makanan, Listrik, Gas, dan Air Bersih Industri pemintalan Industri pupuk dan pestisida Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambu, kayu, dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri Kimia Pengilangan Minyak Bumi Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri barang dari logam Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Perdagangan, Restoran dan Perhotelan, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga Alat dan mesin pertanian Lembaga Keuangan, Real Estate, Pemerintah, Jasa Sosial dan Kebudayaan Margin Perdagangan dan Pengangkutan Neraca Kapital Pajak tidak langsung Subsidi Luar Negeri
Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
54
56
Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir 1 2 3 4 5 6 1 0,36 0,11 0,78 0,94 0,29 0,16 2 0,58 0,18 0,12 0,14 0,46 0,26 3 0,84 0,26 0,18 0,21 0,67 0,38 4 0,14 0,46 0,31 0,37 0,11 0,67 5 0,49 0,15 0,10 0,12 0,39 0,22 6 0,11 0,35 0,24 0,28 0,89 0,51 7 0,48 0,15 0,10 0,12 0,38 0,21 8 0,23 0,74 0,50 0,60 0,18 0,10 9 0,15 0,48 0,33 0,39 0,12 0,70 10 0,62 0,19 0,13 0,16 0,50 0,28 11 0,20 0,64 0,44 0,53 0,16 0,94 12 0,98 0,30 0,21 0,25 0,78 0,44 13 0,21 0,00 0,45 0,54 0,17 0,97 14 0,36 0,11 0,79 0,94 0,29 0,16 15 0,48 0,15 0,10 0,12 0,39 0,22 16 0,10 0,32 0,21 0,26 0,81 0,46 17 0,42 0,11 0,74 0,61 0,18 0,12 18 0,95 0,13 0,10 0,49 0,74 0,43 19 0,16 0,64 0,88 0,42 0,64 0,37 20 0,17 0,42 0,31 0,85 0,31 0,32 21 0,17 0,42 0,31 0,85 0,31 0,32 22 0,17 0,42 0,31 0,85 0,31 0,32 23 0,17 0,42 0,31 0,85 0,31 0,32 24 0,21 0,58 0,16 0,78 0,11 0,69
7 0,14 0,22 0,33 0,58 0,19 0,44 0,19 0,93 0,61 0,24 0,81 0,38 0,83 0,14 0,19 0,40 0,11 0,23 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,37
8 0,11 0,17 0,25 0,45 0,15 0,34 0,14 0,72 0,47 0,19 0,63 0,30 0,64 0,11 0,14 0,31 0,18 0,53 0,46 0,47 0,47 0,47 0,47 0,84
9 0,11 0,17 0,26 0,45 0,15 0,34 0,14 0,72 0,47 0,19 0,63 0,30 0,65 0,11 0,15 0,31 0,14 0,68 0,58 0,42 0,42 0,42 0,42 0,10
10 0,23 0,60 0,14 0,52 0,21 0,56 0,12 0,16 0,40 0,78 0,45 0,35 0,48 0,15 0,25 0,42 0,54 0,88 0,76 0,85 0,85 0,85 0,85 0,14
11 0,29 0,56 0,62 0,10 0,29 0,59 0,20 0,14 0,31 0,95 0,83 0,18 0,57 0,15 0,39 0,55 0,33 0,14 0,12 0,14 0,14 0,14 0,14 0,22
12 0,39 0,10 0,25 0,22 0,73 0,98 0,69 0,86 0,82 0,12 0,52 0,82 0,78 0,30 0,25 0,55 0,18 0,15 0,13 0,15 0,15 0,15 0,15 0,24
55
Lanjutan Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
1 0,13 0,12 0,15 0,12 0,45 0,38 0,33 0,19 0,30 0,00 0,36 0,79 0,17 0,10
2 0,55 0,11 0,32 0,11 0,26 0,60 0,60 0,31 0,47 0,00 0,11 0,25 0,37 0,32
3 0,66 0,20 0,32 0,20 0,18 0,51 0,79 0,26 0,34 0,00 0,77 0,17 0,58 0,21
4 0,59 0,34 0,13 0,34 0,56 0,26 0,12 0,13 0,12 0,00 0,92 0,20 0,38 0,26
5 0,33 0,36 0,87 0,36 0,84 0,52 0,16 0,26 0,49 0,00 0,28 0,63 0,19 0,81
6 0,22 0,17 0,57 0,17 0,43 0,35 0,29 0,18 0,21 0,00 0,16 0,36 0,13 0,46
7 0,19 0,74 0,61 0,74 0,34 0,39 0,41 0,20 0,64 0,00 0,14 0,31 0,14 0,40
8 0,54 0,23 0,13 0,23 0,37 0,97 0,13 0,49 0,93 0,00 0,11 0,24 0,46 0,31
9 0,71 0,19 0,62 0,19 0,56 0,39 0,86 0,20 0,24 0,00 0,11 0,24 0,49 0,31
10 0,81 0,17 0,55 0,17 0,49 0,18 0,26 0,94 0,27 0,00 0,29 0,51 0,24 0,11
11 0,13 0,28 0,90 0,28 0,79 0,30 0,43 0,15 0,44 0,00 0,72 0,80 0,14 0,18
12 0,14 0,30 0,98 0,30 0,86 0,32 0,46 0,16 0,48 0,00 0,34 0,47 0,30 0,20
57
56
58
Lanjutan Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir 13 14 15 16 17 18 19 1 0,42 0,11 0,11 0,54 0,62 0,29 0,75 2 0,43 0,63 0,71 0,68 0,97 0,31 0,10 3 0,35 0,17 0,75 0,63 0,78 0,49 0,16 4 0,34 0,20 0,82 0,12 0,78 0,77 0,27 5 0,50 0,31 0,33 0,25 0,50 0,30 0,93 6 0,75 0,43 0,38 0,43 0,43 0,63 0,21 7 0,67 0,29 0,41 0,46 0,12 0,27 0,91 8 0,45 0,47 0,14 0,11 0,12 0,13 0,45 9 0,97 0,11 0,22 0,62 0,42 0,91 0,29 10 0,21 0,64 0,41 0,13 0,17 0,13 0,21 11 0,12 0,36 0,21 0,27 0,22 0,20 0,47 12 0,89 0,48 0,11 0,24 0,84 0,39 0,96 13 0,15 0,45 0,69 0,28 0,18 0,13 0,41 14 0,10 0,18 0,79 0,93 0,10 0,26 0,72 15 0,35 0,16 0,12 0,23 0,39 0,36 0,97 16 0,20 0,34 0,12 0,54 0,74 0,47 0,17 17 0,10 0,13 0,36 0,75 0,40 0,30 0,32 18 0,48 0,65 0,10 0,18 0,16 0,24 0,28 19 0,41 0,56 0,92 0,16 0,14 0,27 0,24 20 0,46 0,63 0,10 0,18 0,16 0,20 0,22 21 0,46 0,63 0,10 0,18 0,16 0,20 0,22 22 0,46 0,63 0,10 0,18 0,16 0,20 0,22 23 0,46 0,63 0,10 0,18 0,16 0,20 0,22 24 0,76 0,10 0,17 0,29 0,26 0,17 0,46
20 0,77 0,64 0,17 0,15 0,11 0,25 0,41 0,11 0,21 0,96 0,76 0,10 0,22 0,29 0,14 0,23 0,25 0,14 0,48 0,55 0,48 0,20 0,90 0,43
21 0,66 0,10 0,15 0,27 0,89 0,20 0,88 0,43 0,28 0,11 0,37 0,17 0,38 0,67 0,88 0,18 0,13 0,30 0,26 0,26 0,26 0,26 0,26 0,48
22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
57
Lanjutan Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
13 0,44 0,94 0,30 0,94 0,26 0,10 0,14 0,51 0,15 0,00 0,35 0,76 0,36 0,62
14 0,59 0,12 0,41 0,12 0,36 0,13 0,19 0,69 0,20 0,00 0,19 0,32 0,81 0,84
15 0,98 0,20 0,67 0,20 0,59 0,22 0,32 0,11 0,33 0,00 0,96 0,26 0,90 0,14
16 0,17 0,36 0,11 0,36 0,10 0,39 0,56 0,20 0,58 0,00 0,15 0,53 0,39 0,24
17 0,15 0,32 0,10 0,32 0,91 0,34 0,49 0,17 0,51 0,00 0,71 0,28 0,19 0,21
18 0,15 0,87 0,60 0,87 0,10 0,11 0,24 0,92 0,44 0,00 0,18 0,50 0,19 0,61
19 0,48 0,12 0,12 0,12 0,21 0,44 0,12 0,78 0,14 0,00 0,67 0,15 0,17 0,19
20 0,87 0,48 0,24 0,48 0,12 0,22 0,36 0,42 0,11 0,00 0,17 0,15 0,18 0,85
21 0,33 0,13 0,80 0,13 0,22 0,47 0,85 0,26 0,35 0,00 0,65 0,14 0,14 0,18
22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
59
58
60
Lanjutan Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
25 0,14 0,50 0,16 0,14 0,90 0,59 0,20 0,11 0,37 0,20 0,17 0,20 0,21 0,58 0,13 0,31 0,66 0,77 0,53 0,13
26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
27 0,80 0,28 0,91 0,85 0,51 0,34 0,11 0,63 0,21 0,11 0,10 0,11 0,12 0,33 0,75 0,18 0,37 0,44 0,31 0,74
28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
31 0,12 0,42 0,13 0,12 0,77 0,51 0,17 0,95 0,32 0,17 0,15 0,17 0,18 0,50 0,11 0,27 0,56 0,66 0,46 0,11
32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
33 0,28 0,10 0,33 0,30 0,18 0,12 0,41 0,22 0,78 0,41 0,36 0,42 0,44 0,12 0,27 0,65 0,13 0,16 0,11 0,26
34 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
35 0,72 0,34 0,16 0,10 0,28 0,60 0,20 0,18 0,10 0,32 0,22 0,65 0,19 0,36 0,34 0,94 0,90 0,12 0,14 0,16
36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
37 0,34 0,39 0,73 0,16 0,25 0,64 0,40 0,13 0,12 0,65 0,91 0,11 0,85 0,40 0,45 0,87 0,41 0,37 0,32 0,35
38 0,14 0,47 0,37 0,46 0,46 0,32 0,10 0,76 0,17 0,25 0,38 0,49 0,49 0,18 0,27 0,98 0,26 0,70 0,60 0,68
59
Lanjutan Lampiran 5 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir
21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
25 0,13 0,98 0,12 0,11
25 0,70 0,11 0,25 0,11 0,15 0,29 0,26 0,52 0,57 0,00 0,13 0,58 0,38 0,41
26 0,00 0,00 0,00 0,00
26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
27 0,75 0,56 0,70 0,66
27 0,40 0,63 0,14 0,63 0,90 0,16 0,15 0,30 0,32 0,00 0,78 0,33 0,21 0,23
28 0,00 0,00 0,00 0,00
28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
31 0,11 0,84 0,10 0,99
31 0,60 0,94 0,21 0,94 0,13 0,25 0,25 0,45 0,49 0,00 0,11 0,49 0,32 0,35
32 0,00 0,00 0,00 0,00
32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
33 0,27 0,20 0,25 0,23
33 0,14 0,22 0,52 0,22 0,32 0,60 0,54 0,10 0,11 0,00 0,28 0,12 0,78 0,85
34 0,00 0,00 0,00 0,00
34 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
35 0,16 0,16 0,16 0,27
35 0,15 0,33 0,10 0,33 0,94 0,35 0,50 0,18 0,52 0,00 0,12 0,18 0,37 0,22
36 0,00 0,00 0,00 0,00
36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
37 0,35 0,35 0,35 0,58
38 0,68 0,68 0,68 0,11
37 0,34 0,72 0,23 0,72 0,20 0,77 0,11 0,39 0,11 0,00 0,14 0,46 0,46 0,48
38 0,64 0,13 0,44 0,13 0,38 0,14 0,21 0,75 0,21 0,00 0,27 0,67 0,25 0,91
61
60 62
Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 0,14 0,22 0,33 0,57 0,19 0,44 0,18 0,92 0,60 0,24 0,81 0,38 0,83 0,14 0,19 0,40 0,25 0,11 0,18 0,19
2 0,71 0,11 0,16 0,28 0,95 0,21 0,93 0,46 0,30 0,12 0,40 0,19 0,41 0,71 0,95 0,19 0,60 0,17 0,68 0,54
3 0,48 0,76 0,11 0,19 0,64 0,14 0,63 0,31 0,20 0,82 0,27 0,13 0,28 0,48 0,64 0,13 0,57 0,35 0,30 0,14
4 0,78 0,12 0,17 0,31 0,10 0,23 0,10 0,50 0,32 0,13 0,43 0,20 0,45 0,78 0,10 0,21 0,20 0,14 0,12 0,57
5 0,20 0,32 0,46 0,81 0,27 0,62 0,26 0,13 0,86 0,34 0,11 0,54 0,11 0,20 0,27 0,56 0,20 0,39 0,33 0,61
6 0,11 0,18 0,26 0,46 0,15 0,35 0,15 0,74 0,48 0,19 0,64 0,30 0,66 0,11 0,15 0,32 0,18 0,41 0,35 0,46
7 0,59 0,92 0,13 0,23 0,78 0,18 0,77 0,37 0,24 0,10 0,33 0,15 0,34 0,59 0,78 0,16 0,12 0,10 0,94 0,12
8 0,1 0,16 0,23 0,41 0,13 0,31 0,13 0,66 0,43 0,17 0,58 0,27 0,60 0,10 0,13 0,28 0,33 0,17 0,14 0,66
9 0,49 0,77 0,11 0,19 0,65 0,15 0,64 0,31 0,20 0,84 0,27 0,13 0,28 0,49 0,65 0,13 0,42 0,41 0,36 0,42
10 0,23 0,60 0,14 0,52 0,21 0,56 0,12 0,16 0,40 0,78 0,45 0,35 0,48 0,15 0,25 0,42 0,29 0,95 0,82 0,30
11 0,29 0,56 0,62 0,10 0,29 0,59 0,20 0,14 0,31 0,95 0,83 0,18 0,57 0,15 0,39 0,55 0,48 0,15 0,13 0,50
12 0,39 0,10 0,25 0,22 0,73 0,98 0,69 0,86 0,28 0,12 0,52 0,82 0,78 0,30 0,25 0,55 0,68 0,16 0,14 0,54
61
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
1 0,19 0,19 0,19 0,18 0,63 0,15 0,15 0,15 0,13 0,39 0,15 0,20 0,15 0,15 0,20 0,39 0,39 0,39 0,43 0,32 0,18
2 0,54 0,54 0,54 0,52 0,25 0,32 0,60 0,32 0,53 0,13 0,60 0,50 0,49 0,60 0,50 0,13 0,13 0,13 0,18 0,11 0,12
3 0,14 0,14 0,14 0,55 0,76 0,84 0,87 0,84 0,80 0,62 0,87 0,30 0,17 0,87 0,30 0,62 0,62 0,62 0,62 0,50 0,23
4 0,57 0,57 0,57 0,23 0,10 0,10 0,11 0,10 0,15 0,11 0,11 0,61 0,29 0,11 0,61 0,11 0,11 0,11 0,18 0,92 0,31
5 0,61 0,61 0,61 0,61 0,25 0,81 0,24 0,81 0,83 0,20 0,24 0,11 0,23 0,24 0,11 0,20 0,20 0,20 0,14 0,16 0,40
6 0,46 0,46 0,46 0,64 0,17 0,34 0,36 0,34 0,28 0,13 0,36 0,72 0,99 0,36 0,72 0,13 0,13 0,13 0,28 0,10 0,54
7 0,12 0,12 0,12 0,17 0,16 0,12 0,63 0,12 0,16 0,14 0,63 0,71 0,37 0,63 0,71 0,14 0,14 0,14 0,46 0,11 0,59
8 0,66 0,66 0,66 0,27 0,18 0,81 0,49 0,81 0,49 0,38 0,49 0,33 0,01 0,49 0,33 0,38 0,38 0,38 0,81 0,31 0,38
9 0,42 0,42 0,42 0,65 0,20 0,99 0,90 0,99 0,80 0,63 0,90 0,86 0,18 0,90 0,86 0,63 0,63 0,63 0,10 0,52 0,19
10 0,30 0,30 0,30 0,15 0,28 0,33 0,22 0,33 0,27 0,51 0,22 0,91 0,86 0,22 0,91 0,51 0,51 0,51 0,18 0,41 0,33
11 0,50 0,50 0,50 0,24 0,46 0,54 0,36 0,54 0,44 0,83 0,36 0,14 0,14 0,36 0,14 0,83 0,83 0,83 0,30 0,67 0,54
12 0,54 0,54 0,54 0,26 0,50 0,59 0,39 0,59 0,48 0,89 0,39 0,16 0,15 0,39 0,16 0,89 0,89 0,89 0,33 0,73 0,59
63
62
64
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri 1 2 3 4 5 6 7 8 9 42 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 43 0,14 0,70 0,47 0,76 0,20 0,11 0,57 0,10 0,48 44 0,31 0,15 0,10 0,16 0,44 0,25 0,12 0,22 0,10 45 0,30 0,32 0,47 0,57 0,78 0,39 0,76 0,56 0,59 46 0,39 0,19 0,13 0,21 0,56 0,31 0,16 0,28 0,13
10 0,00 0,29 0,51 0,83 0,11
11 0,00 0,72 0,80 0,18 0,18
12 0,00 0,34 0,47 0,66 0,20
21 0,77 0,12 0,17 0,30 0,10 0,23 0,10 0,49 0,32 0,13 0,48 0,17 0,46 0,75 0,99 0,26
22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
13 0,42 0,43 0,35 0,34 0,50 0,75 0,67 0,45 0,98 0,21 0,12 0,89 0,16 0,10 0,35 0,20
14 0,11 0,63 0,17 0,20 0,31 0,43 0,30 0,47 0,11 0,64 0,36 0,48 0,45 0,18 0,16 0,34
15 0,11 0,71 0,75 0,82 0,33 0,38 0,41 0,14 0,22 0,41 0,21 0,11 0,69 0,79 0,12 0,12
16 0,54 0,68 0,63 0,12 0,25 0,43 0,46 0,11 0,62 0,13 0,27 0,24 0,28 0,93 0,23 0,54
17 0,62 0,97 0,78 0,77 0,50 0,43 0,12 0,12 0,42 0,17 0,22 0,84 0,18 0,10 0,39 0,74
18 0,63 0,12 0,17 0,33 0,99 0,24 0,10 0,53 0,32 0,18 0,44 0,12 0,50 0,35 0,85 0,12
19 0,49 0,76 0,11 0,19 0,65 0,14 0,64 0,31 0,20 0,77 0,31 0,11 0,28 0,52 0,63 0,18
20 0,13 0,23 0,34 0,60 0,19 0,45 0,19 0,97 0,62 0,25 0,81 0,38 0,83 0,14 0,18 0,39
63
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
13 0,11 0,52 0,45 0,16 0,16 0,16 0,16 0,82 0,15 0,18 0,12 0,18 0,14 0,27 0,12 0,49 0,47 0,12 0,49
14 0,48 0,70 0,60 0,22 0,22 0,22 0,22 0,11 0,21 0,24 0,16 0,24 0,20 0,37 0,16 0,67 0,63 0,16 0,67
15 0,13 0,11 0,10 0,37 0,37 0,37 0,37 0,18 0,34 0,40 0,27 0,40 0,33 0,61 0,27 0,11 0,10 0,27 0,11
16 0,10 0,20 0,17 0,65 0,65 0,65 0,65 0,32 0,60 0,71 0,47 0,71 0,58 0,10 0,47 0,19 0,18 0,47 0,19
17 0,46 0,17 0,15 0,57 0,57 0,57 0,57 0,28 0,53 0,62 0,41 0,62 0,50 0,94 0,41 0,17 0,16 0,41 0,17
18 0,72 0,72 0,31 0,44 0,44 0,44 0,44 0,22 0,30 0,53 0,26 0,53 0,34 0,15 0,26 0,29 0,10 0,26 0,29
19 0,43 0,94 0,92 0,31 0,31 0,31 0,31 0,11 0,61 0,39 0,25 0,39 0,24 0,14 0,25 0,14 0,72 0,25 0,14
20 0,13 0,23 0,20 0,91 0,91 0,91 0,91 0,37 0,28 0,11 0,70 0,11 0,72 0,51 0,70 0,47 0,21 0,70 0,47
21 0,53 0,11 0,90 0,49 0,49 0,49 0,49 0,22 0,48 0,63 0,42 0,63 0,39 0,48 0,42 0,22 0,11 0,42 0,22
22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
65
64
66
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
36 37 38 39 40 41
13 0,27 0,27 0,27 0,10 0,22 0,18
14 0,37 0,37 0,37 0,13 0,30 0,24
15 0,61 0,61 0,61 0,22 0,50 0,40
16 0,10 0,10 0,10 0,40 0,88 0,71
17 0,94 0,94 0,94 0,35 0,77 0,62
18 0,15 0,15 0,15 0,10 0,39 0,11
19 0,14 0,14 0,14 0,35 0,15 0,22
20 0,51 0,51 0,51 0,13 0,20 0,54
21 0,48 0,48 0,48 0,40 0,15 0,37
22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
25 0,69 0,24 0,85 0,63 0,19 0,32 0,47 0,51 0,34 0,17 0,92 0,16 0,12
26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
27 0,39 0,13 0,49 0,36 0,11 0,18 0,27 0,29 0,19 0,97 0,53 0,94 0,71
28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
31 0,39 0,13 0,49 0,36 0,11 0,18 0,27 0,29 0,19 0,97 0,53 0,94 0,71
32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
34 0,39 0,13 0,49 0,36 0,11 0,18 0,27 0,29 0,19 0,97 0,53 0,94 0,71
35 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
65
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
25 0,13 0,30 0,11 0,82 0,19 0,35 0,44 0,23 0,44 0,24 0,11 0,29 0,70 0,44 0,70 0,73 0,24 0,44
26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
27 0,79 0,17 0,68 0,47 0,11 0,20 0,25 0,13 0,25 0,14 0,63 0,16 0,40 0,25 0,40 0,41 0,13 0,25
28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
31 0,79 0,17 0,68 0,47 0,11 0,20 0,25 0,13 0,25 0,14 0,63 0,16 0,40 0,25 0,40 0,41 0,13 0,25
32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
34 0,79 0,17 0,68 0,47 0,11 0,20 0,25 0,13 0,25 0,14 0,63 0,16 0,40 0,25 0,40 0,41 0,13 0,25
35 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
67
66 68
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
25 0,10 0,92 0,44 0,10 0,24 0,24 0,24 0,34 0,52 0,77 0,00 0,21 0,77 0,25 0,12
26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
27 0,57 0,53 0,25 0,57 0,13 0,13 0,13 0,19 0,29 0,44 0,00 0,12 0,44 0,14 0,74
28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
29 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
31 0,57 0,53 0,25 0,57 0,13 0,13 0,13 0,19 0,29 0,44 0,00 0,12 0,44 0,14 0,74
32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
34 0,57 0,53 0,25 0,57 0,13 0,13 0,13 0,19 0,29 0,44 0,00 0,12 0,44 0,14 0,74
35 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
67
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
38 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
39 0,59 0,20 0,73 0,54 0,16 0,28 0,40 0,44 0,29 0,14 0,79 0,14 0,10 0,11 0,26 0,10 0,70 0,16 0,30 0,38
40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
41 0,14 0,49 0,17 0,13 0,39 0,67 0,97 0,10 0,71 0,35 0,19 0,34 0,25 0,28 0,63 0,24 0,17 0,39 0,73 0,91
42 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
43 0,72 0,34 0,16 0,10 0,28 0,60 0,20 0,18 0,10 0,32 0,22 0,65 0,19 0,36 0,34 0,94 0,50 0,18 0,15 0,59
44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
45 0,34 0,39 0,73 0,16 0,25 0,64 0,40 0,13 0,12 0,65 0,91 0,11 0,85 0,40 0,45 0,87 0,41 0,39 0,34 0,12
46 0,14 0,47 0,37 0,46 0,46 0,32 0,10 0,76 0,17 0,25 0,38 0,49 0,49 0,18 0,27 0,98 0,11 0,76 0,65 0,24
69
68 70
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
38 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
39 0,19 0,38 0,21 0,94 0,25 0,60 0,37 0,60 0,62 0,20 0,37 0,86 0,79 0,37 0,86 0,20 0,20 0,20 0,29 0,44 0,66
40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
41 0,48 0,92 0,50 0,22 0,60 0,14 0,91 0,14 0,15 0,50 0,91 0,20 0,19 0,91 0,20 0,50 0,50 0,50 0,71 0,10 0,16
42 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
43 0,59 0,59 0,59 0,29 0,55 0,64 0,43 0,64 0,52 0,98 0,43 0,17 0,16 0,43 0,17 0,98 0,98 0,98 0,36 0,79 0,64
44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
45 0,12 0,12 0,12 0,63 0,11 0,14 0,93 0,14 0,11 0,21 0,93 0,38 0,36 0,93 0,38 0,21 0,21 0,21 0,79 0,17 0,12
46 0,24 0,24 0,24 0,12 0,22 0,26 0,17 0,26 0,21 0,40 0,18 0,72 0,68 0,17 0,72 0,40 0,40 0,40 0,15 0,33 0,26
69
Lanjutan Lampiran 6 Hasil Angka Pengganda Agroindustri Hulu dan Hilir vs Non Agroindustri
42 43 44 45 46
37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
38 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
39 0,00 0,18 0,66 0,21 0,11
40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
41 0,00 0,43 0,15 0,52 0,26
42 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
43 0,00 0,12 0,18 0,25 0,22
44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
45 0,00 0,14 0,46 0,13 0,48
46 0,00 0,27 0,67 0,22 0,92
71
72
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 28 Oktober 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, anak pasangan Ir.H.Muhammad Riyanto dan Dra. Niken Suci Rahyani. Penulis menyelesaikan studi SMA pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Purworejo. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan studi di Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana jenjang Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis aktif di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB. Sekarang penulis telah berkeluarga, memiliki satu anak dan tinggal di Yogyakarta. Suami penulis bernama Moch.Tri Setyo Utomo dan putri penulis bernama Afiqa Hanania Mufida.