PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diah Uswatun Nurhayati
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu sikap ekstrem, radikal, konflik horisontal atau konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia, memerlukan kemunculan
pluralisme.
Pluralisme adalah sebuah
kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep „kemajemukan atau keberagaman”, di mana pluralisme itu sendiri merupakan suatu “kondisi masyarakat yang majemuk”. Kemajemukan di sini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Namun yang paling sering menjadi isu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme-lah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh. Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang dapat diartikan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga dapat digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara
1
etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain. Istilah multikulturalisme dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, yang pada awalnya hanya dikenal dengan istilah pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya, dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Kesadaran akan adanya keberagaman mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan ditanggapi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai
multikulturalisme.
Multikulturalisme
bertujuan
untuk
kerjasama,
kesederajatan, dan mengapresiasi dalam dunia yang makin kompleks dan tidak monokultur lagi. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan
dalam
kesederajatan.
Ulasan
mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
2
Mencermati masalah multikulturalisme dan pluralisme Indonesia, maka sangat tepat jika berangkat dari fenomena yang muncul pada masa pasca orde baru. Runtuhnya rezim orde baru dengan doktrin penyeragamannya melahirkan suatu euphoria perbedaan yang mengarah pada pembentukan paradigma dan aksiaksi yang irasional. Pasca orde baru, Indonesia dipimpin oleh presiden yang cukup memiliki pemahaman akan keragaman. 32 tahun selama masa orde baru masyarakat Indonesia
dibuai dengan kebijakkan ineksistensi pluralisme.
Sehingga pada masa reformasi euphoria masyarakat terhadap keterlepasan rezim orde baru membawa masalah baru yang lebih serius yang disinyalir mampu menimbulkan konflik-konflik antar etnik, agama, maupun golongan. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian bagi para pemimpin bangsa, bahwa ineksistensi pluralisme dan multikulturalisme terlanjur mengakar secara radikal. Sehingga apapun segala bentuk perubahan yang diusahakan akan selalu berhadapan dengan tembok yang tinggi dan kokoh yang tidak mudah untuk dirobohkan. Pluralisme-Multikulturalisme Indonesia tercermin dalam penjelasan 1. Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. 2. Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. 3. Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam
memelihara
dan
mengembangkan
nilai-nilai
budayanya”.Dalam keanekaragaman dan kejamakan bangsa Indonesia, negara melalui Undang-Undang telah menjamin hak-hak yang sama kepada seluruh rakyat Indonesia.
3
Relevansi Pluralisme-multikulturalisme bagi Indonesia tercermin dari perbedaan-perbedaan yang selalu terjadi akibat adanya pluralitas budaya, etnis, sistem nilai dan agama, harus disikapi dengan suatu dialog, bukan dengan kekerasan. Oleh sebab itu, dalam konteks ini multikulturalisme cukup relevan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat majemuk (plural) seperti Indonesia. Multikulturalisme yang menonjolkan kesetaraan, solidarisme, keterbukaan serta dialog mampu menjadi titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada dalam rangka hidup bersama dengan semangat kebersamaan. Dalam hal ini lembagalembaga pendidikan dan budaya, baik pemerintah maupun LSM dapat menjadi model untuk menumbuhkan kesadaran multikultural di kalangan masyarakat. Dengan langkah tersebut maka dapat ditumbuhkan dialog budaya multikultural untuk saling memahami antar budaya serta ditumbuhkan kepercayaan terhadap budaya sendiri (identitas diri).
4
Daftar Pustaka Asy‟arie, Musa. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, dalam Kompas Jum‟at 3 September 2004. http//www. Kompas. Com Baker G.C. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). California: Addison-Elsey Publishing Company. Banks, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon. ___________ (Ed.) (1989). Multicultural Education: Issues and Perspectives, Allyn and Bacon Press, Boston-London. Charris, Achmad. (2003), ”Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia” dalam Jurnal Filsafat Edisi Agustus, Jilid 34, nomor 2, UGM Yogyakarta. Ekstrand, L.H. “Multicultural Education,” dalam Saha, Lawrence J. (eds.). 1997. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York: Pergamon. Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikural pada Mahasiswa Aktivis UNY. Laporan Penelitian. Lemlit UNY. Gollnick, M.Donna, and C. Philip Chinn. 1998. Multicultural Education in a Pluralistic Society. New Jersey: Prentice Hall. Kymlicka, Will, (1995), Multicultural Citizenship atau Multikultural terj. Edlina Hafmini (2003), LP3ES, Jakarta.
Kewargaan
Sindhunata. 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad. XXI. Yogyakarta: Kanisius. Suparlan, Parsudi (2002). ”Kesetaraan Warga dan hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, Jurnal Antropologi Indonesia no. 6. Tilaar, H.A.R. 2004. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta
5
Biodata: Dr. Diah Uswatun Nurhayati Widyaiswara PPPPTK Seni Budaya Yogyakarta Aktif di organisasi PP Aisyiyah dan PP Muhammadiyah Tinggal di Kompleks STIA AAN 10, Blunyahrejo, Yogyakarta
6