POTENSI PENGEMBANGAN DAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI BAWANG MERAH PALU DI SULAWESI TENGAH J. Limbongan dan Maskar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352
ABSTRAK Bawang merah Palu (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu jenis bawang merah lokal yang dibudidayakan secara tradisional oleh petani terutama di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Bawang ini memiliki cita rasa yang khas dan beradaptasi baik di lahan kering dataran rendah. Usaha tani bawang merah Palu mulai berkembang setelah beberapa perusahaan mengolahnya menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin pemotong bawang berkapasitas satu ton bawang basah per hari. Penelitian telah menghasilkan paket teknologi antara lain sistem penanaman, pemupukan, pengairan, pengendalian hama penyakit, pengolahan hasil, dan pemasaran. Penerapan teknologi budi daya ternyata dapat meningkatkan hasil bawang kering hingga 4,91 t/ha, bahkan bisa mencapai 10 t/ha dengan menggunakan bibit yang baik dan jarak tanam yang tepat. Produk bawang goreng sebagian besar masih digunakan untuk memenuhi konsumen lokal dan dikirim ke beberapa daerah di Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan ke mancanegara. Kata kunci: Allium ascalonicum L., produksi, teknologi, budi daya, sosial ekonomi
ABSTRACT Development potential and technology availability of Palu shallot in Central Sulawesi Palu shallot is one of local shallots cultivated traditionally by farmers in Palu valley of Central Sulawesi. This shallot has a specific flavor and well adapted to dry low land. Palu shallot farming was growing when several entrepreneurs processed it as fried shallot by using cutting machine with a capacity of one ton wet shallot per day. Research has produced package of technology for planting system, fertilization, irrigation, pest control, processing, and marketing. Application of cultivation technology could increase dried shallot yield to 4.91 t/ha, even reaching to 10 t/ha by using good seeds and appropriate plant spacing. A large part of fried shallot are consumed locally and distributed to the other regions in Indonesia, and only a little part sold to other countries. Keywords: Allium ascalonicum L., production, technology, cultivation, socio-economic
B
awang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu jenis sayuran umbi yang penting dan dikonsumsi sebagai bumbu penyedap masakan. Komoditas ini banyak diusahakan oleh petani di Kabupaten Donggala terutama di Lembah Palu sehingga biasa disebut bawang merah Palu. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah pada acara perayaan Hari Krida Pertanian tahun 2000 di Palu. Sama halnya dengan bawang merah lokal lainnya seperti bawang merah Sumenep dan Bima, bawang merah Palu memiliki Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
cita rasa khas dan cocok digunakan sebagai bawang goreng sehingga biasa juga disebut bawang goreng Palu. Usaha tani bawang merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di sekitar Lembah Palu, Tinombo, Gontarano, dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Donggala. Bawang ini beradaptasi cukup baik pada daerah dataran rendah beriklim kering. Hasil rata-rata bawang merah di tingkat petani dengan budi daya tradisional baru mencapai 3 t/ha (Limbongan dan Monde 1999), sedangkan dengan menggunakan teknologi budi daya yang sesuai, hasilnya
bisa ditingkatkan menjadi 11,10 t/ha (Maskar et al. 2001). Sebagai pembanding, hasil bawang merah Ampenan di daerah pasang surut bisa mencapai 4,70– 7,60 t/ha (Sutater et al. 1990) dan di lahan irigasi sekitar 10–20 t/ha (Satsijati dan Koswara 1993). Hasil yang rendah tersebut disebabkan oleh penerapan paket teknologi budi daya yang belum memadai, antara lain bibit tidak seragam dengan daya tumbuh yang rendah, takaran pupuk rendah, pengendalian hama penyakit kurang sempurna, serta penanganan pascapanen belum optimal (Bakhri et al. 2000; Maskar et al. 2001). 103
CIRI BAWANG MERAH PALU Meskipun bawang merah Palu memiliki cita rasa yang khas, ciri-ciri morfologinya tidak banyak berbeda dengan bawang merah lainnya seperti bawang merah Sumenep. Hasil pengamatan beberapa parameter penciri dari beberapa jenis bawang merah yang diuji pada tujuh lokasi berbeda di Sulawesi Tengah disajikan pada Tabel 1. Bawang merah Palu memiliki ciri yang mirip dengan bawang merah Sumenep berdasarkan jumlah anakan per rumpun, tinggi tanaman, jumlah daun, serta bobot basah dan kering umbi. Namun, bawang ini agak berbeda dengan bawang merah Tinombo yang juga merupakan bawang lokal Sulawesi Tengah. Selanjutnya, hasil pembandingan tiga jenis bawang merah lokal Sulawesi Tengah (Palu, Tinombo, dan Napu) dengan tiga jenis bawang merah introduksi (Sumenep, Bima, dan Filipina) menunjukkan bahwa bawang merah Palu memiliki ciri yang mirip dengan bawang merah Sumenep, Bima, dan Filipina berdasarkan jumlah anakan per rumpun, tinggi tanaman, jumlah daun, serta bobot basah dan kering umbi. Bawang merah Palu cocok dikembangkan di dataran rendah dan daya adaptasinya lebih baik dibanding bawang merah Tinombo, sementara bawang merah Napu memiliki daya adaptasi yang lebih luas, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Maskar et al. 2001). Ciri bawang merah Palu berdasarkan morfologi daun adalah daun tegak hingga waktu panen. Ciri tersebut juga terlihat pada bawang merah Tinombo dan
Sumenep. Perbedaannya adalah daun bawang merah Palu berwarna hijau agak pucat, sedangkan bawang merah Tinombo dan Sumenep berwarna hijau tua. Dilihat dari morfologi umbi, bawang merah Palu memiliki bentuk umbi silindris seperti pipa, bulat agak memanjang dengan ukuran agak kecil. Ciri-ciri tersebut mirip dengan bawang merah Tinombo dan Sumenep. Perbedaannya adalah umbi bawang merah Palu berwarna lebih pucat daripada bawang Sumenep. Bentuk dan warna bawang merah Palu dibandingkan bawang merah Sumenep dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil observasi yang dilaksanakan oleh Anggorahadi dan Suwandi (2000, tidak diterbitkan) di Lembang, Jawa Barat, menyimpulkan bahwa bawang merah Palu memiliki tipe pertumbuhan daun agak menyebar dan daun berwarna hijau lebih muda dibanding bawang merah
Gambar 1.
Sumenep. Rata-rata tinggi tanaman maksimum 37,80 cm dengan jumlah anakan 8–13 anakan/rumpun. Umur tanaman sampai panen sekitar 95–110 hari. Bobot umbi kering 227,30 g/rumpun atau setara dengan 20,20 t/ha, dengan warna umbi merah pucat, kadar air 72,50%, dan kadar TSS 26,80%. Aroma bawang goreng relatif tajam. Dari hasil observasi tersebut dapat disimpulkan bahwa bawang merah Palu memiliki ciri yang berbeda dengan bawang merah Sumenep, yaitu umbi berwarna merah lebih pucat dan aroma bawang goreng lebih tajam.
POTENSI PENGEMBANGAN Berdasarkan hasil analisis zona agroekologi (ZAe) Sulawesi Tengah (Hutapea et al. 2000), bawang merah cocok di-
Bentuk dan warna bawang merah Palu (kanan) dibanding bawang merah biasa (kiri).
Tabel 1. Hasil pengamatan beberapa parameter penciri beberapa bawang merah yang diuji pada tujuh lokasi berbeda di Sulawesi Tengah, 2001. Komponen penciri Jumlah anakan per rumpun Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun per rumpun Bobot basah umbi (t/ha) Bobot kering umbi (t/ha)
Bawang Palu (lokal) 6 − 7,80 20 − 34 19 − 40 4 − 12,80 3,30 − 11,10
Bawang Tinombo (lokal)
Bawang Napu (lokal)
Bawang Sumenep (introduksi)
Bawang Bima (introduksi)
Bawang Filipina (introduksi)
5,30 – 8,70
3,30 − 6,20
4,40 −8,50
4,50 − 7,80
4,90 − 8,40
20 − 30 23 − 38
28 − 44 11 − 34
2 4 −3 4 2 2 −4 6
24 − 35 19 − 40
24 − 34 11 − 43
4,30 − 15,20
4,30 − 13,80
4,40 − 12,10
3,60 − 11,90
3 − 11,60 2,40 − 9,10
5,70 − 25,70 4,90 − 23,80
3,60 −1 2 3 −10,70
Sumber: Maskar et al. (2001).
104
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
usahakan pada zona IV dengan ciri fisiografi datar, mengandung endapan aluvial, dengan kemiringan lahan 8%. Potensi lahan, luas panen, dan produksi bawang merah di zona IV disajikan pada Tabel 2. Dari 641.920 ha lahan yang berpotensi, baru 618 ha atau 0,10% yang dimanfaatkan untuk mengusahakan bawang merah dengan produksi 2.316 ton. Luas panen terbesar terdapat di Kabupaten Donggala, Banggai, dan Poso. Bawang merah Palu sebagian besar diusahakan di Donggala terutama di sekitar Lembah Palu, bawang Tinombo di Donggala dan sebagian di Poso, bawang merah Napu di Poso, sedangkan di Banggai dikembangkan bawang merah Sumenep, Bima, dan Filipina. Potensi lahan di Sulawesi Tengah masih cukup luas untuk pengembangan bawang merah yang didukung oleh curah hujan, suhu udara dan tanah yang sesuai serta sarana dan prasarana yang memadai. Khusus untuk Lembah Palu yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan (SPAKU) bawang merah Palu, potensi lahan tersedia 2.608 ha (Maskar et al. 2001). Tipe iklim di daerah tersebut termasuk E1, E2, dan E3 (menurut klasifikasi Oldeman), bulan kering lebih dari empat bulan, curah hujan rendah (400−1.000 mm/tahun), dan suhu udara tergolong panas (rata-rata 30–35o C). Kondisi ini menurut Rismunandar (1988) sangat cocok untuk pembentukan umbi (suhu 32–34o C). Proses pengolahan bawang goreng terutama di sekitar Lembah Palu sudah mulai berkembang dari industri rumah tangga menjadi industri menengah dengan menggunakan mesin pengupas, pencuci, pengiris, dan pengepak. Berkembangnya industri pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Tabel 2. Potensi lahan, luas panen, dan produksi bawang merah di Sulawesi Tengah, 2000. Potensi lahan (ha)
Luas panen (ha)
Produksi (t)
Donggala Poso Buol/Tolitoli Banggai
217.209 103.497 153.701 167.513
271 103 35 210
847,55 433,35 280,11 755,23
Jumlah
641.920
619
2.316,24
Kabupaten
Sumber: Hutapea et al. (2000).
populasi yang sedikit menyebabkan pemanfaatan lahan tidak efisien. Ukuran bibit berkaitan dengan jumlah cadangan makanan yang disimpan dalam bibit yang pada gilirannya mempengaruhi daya tumbuh. Pengaruh ukuran umbi dan jarak tanam terhadap hasil umbi basah dan umbi kering disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa ukuran umbi bibit tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi basah maupun umbi kering. Hal ini berarti penggunaan bibit berukuran kecil, sedang, atau besar memberikan hasil yang sama. Namun, menurut Maskar et al. (1999), penggunaan umbi berukuran sedang lebih baik dibandingkan umbi berukuran besar, karena jumlah bibitnya lebih sedikit sehingga menghemat biaya pengadaan bibit. Umbi berukuran sedang juga memiliki cadangan makanan yang lebih banyak dibanding umbi berukuran kecil. Rismunandar (1988) menyatakan
Penanaman Hal yang sangat terkait dengan penanaman adalah ukuran bibit dan jarak tanam. Jarak tanam menentukan jumlah populasi tanaman. Populasi tanaman yang rapat menyebabkan terjadinya kompetisi dalam pengambilan air, unsur hara, udara, dan cahaya, sebaliknya Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
Pemupukan Bawang merah Palu sangat responsif terhadap pupuk organik maupun anorganik (Monde 1987), tetapi takaran
Tabel 3. Pengaruh ukuran umbi dan jarak tanam terhadap hasil umbi basah dan hasil umbi kering bawang merah Palu, 1999. Perlakuan
TEKNOLOGI BUDI DAYA
bahwa bibit yang berukuran besar akan lebih cepat pertumbuhannya, tetapi jumlah bibit yang digunakan lebih banyak, sedangkan bibit berukuran kecil pertumbuhannya tidak normal dan mudah busuk. Jarak tanam terbaik untuk bawang merah Palu adalah 10 cm x 20 cm dengan hasil umbi basah 11,92 t/ha setara dengan umbi kering 10,65 t/ha. Namun, jarak tanam ini tidak berbeda dengan jarak tanam 10 cm x 15 cm dan 15 cm x 15 cm. Hasil penelitian Limbongan et al. (2000) menyimpulkan bahwa jarak tanam yang ideal untuk bawang merah Palu adalah 10 cm x 10 cm dan dapat diperlebar hingga 15 cm x 15 cm.
Ukuran umbi Kecil Sedang Besar Jarak tanam 10 cm x 10 10 cm x 15 10 cm x 20 15 cm x 15 15 cm x 20
cm cm cm cm cm
Hasil umbi basah (t/ha)
Hasil umbi kering (t/ha)
11 11,43 11,46
9,62 10,22 10,01
11,27 11,69 11,92 12,06 9,55
10,28 10,21 10,65 10,32 8,31
Sumber: Maskar et al. (1999).
105
pupuk yang tepat belum dapat ditentukan. Limbongan dan Monde (1999) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik 1,20 t/ha menghasilkan umbi kering terbanyak yaitu 5,64 t/ha dan berbeda nyata dibandingkan dengan hasil umbi dari plot yang tidak diberi pupuk organik. Peningkatan hasil terjadi karena pupuk organik dapat memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar berkembang lebih baik dan jangkauannya lebih luas untuk menyerap hara. Respons tanaman terhadap pupuk anorganik mulai terlihat pada takaran pupuk 90 kg N + 80 kg P2O5 + 70 kg K2O dan diberi tambahan pupuk organik 1,20 t/ha (pupuk organik NPK plus). Penambahan takaran pupuk tidak meningkatkan bobot kering umbi. Penelitian pemberian pupuk organik kasting (limbah organik yang diuraikan oleh cacing tanah) pada bawang merah Palu telah dilakukan oleh Saidah (2001). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemberian kasting 12 t/ha + ZA 300 kg/ha dapat menghasilkan umbi kering 4,05 t/ha, sedangkan tanpa pupuk kasting dan ZA hasilnya hanya 1,20 t/ha.
Pengairan Ketersediaan air merupakan syarat penting untuk mendapatkan hasil dan kualitas umbi yang optimal. Pemberian air yang tepat selain dapat mengefisienkan penggunaan air, juga dapat menghindarkan kemungkinan berkembangnya penyakit jamur terutama pada kondisi kelembapan yang tinggi. Hasil penelitian mengenai sistem pengairan pada tanaman bawang merah Palu dapat dilihat pada Tabel 4.
Jumlah air yang diperlukan untuk mengairi tanaman sangat tergantung pada sistem pengairan yang digunakan. Pada Tabel 4 terlihat bahwa sistem pengairan pada kondisi air tanah 100% kapasitas lapang (A1) memerlukan air irigasi terbanyak (83,60 m3) dan menerima curah hujan sebesar 248 mm selama satu musim tanam. Dengan sistem pengairan 80% kapasitas lapang (A2), air irigasi yang diperlukan sebesar 58,60 m3, lebih kecil dibandingkan dengan sistem pengairan A1. Kedua sistem pengairan ini menghasilkan umbi basah yang tidak berbeda, yaitu 8,58 t/ha untuk sistem pengairan A1 dan 8,88 t/ha untuk sistem pengairan A2. Demikian juga hasil umbi kering tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, yaitu masing-masing 6,44 t/ha dan 6,57 t/ ha. Dengan demikian, sistem pengairan A2 lebih efisien daripada A1 karena hasil yang diperoleh sama tetapi kebutuhan airnya lebih sedikit. Bakhri et al. (1999) dan Limbongan et al. (2000) menyatakan bahwa sistem pengairan yang digunakan petani bawang merah Palu ialah sistem pengairan alur (furrow system). Dengan sistem tersebut, selama dua bulan dilakukan pengairan tujuh kali dengan interval 6 hari dan total pemakaian air 140 m3/ha. Dengan demikian, sistem pengairan petani memerlukan air lebih banyak dibandingkan dengan sistem pengairan A1 yang hanya memerlukan air irigasi 83,60 m3/ha atau setara dengan 0,16 m3/alur yang diberikan melalui sistem pengairan alur. Data dari Kantor Statistik Sulawesi Tengah (1994) menunjukkan bahwa produksi bawang merah petani hanya mencapai 3,80 t/ha. Hal ini disebabkan sistem pengairan mereka yang tidak
efisien. Hasil bawang yang dicapai dengan sistem pengairan pada kondisi air tanah 46% pun masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dari sistem pengairan cara petani.
Pengendalian Hama/Penyakit Hama yang banyak menyerang tanaman bawang merah Palu adalah ulat daun (Spodoptera exigua Hbn) dan untuk penyakit adalah bercak daun yang disebabkan oleh Alternaria porii Ell. (Bakhri et al. 1999; Maskar et al. 1999; Nurmarwah dan Limbongan 1999). Serangan ulat daun akan diikuti dengan serangan bercak daun. Ulat daun mulai menyerang tanaman setelah berumur kurang dari 10 hari sampai tanaman berumur 50 hari, sedangkan bercak daun mulai menyerang setelah tanaman berumur 50 hari (Maskar et al. 1999). Tindakan pengendalian ulat bawang merah dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida klorpirifos dan metadimifos 1,50 l/ha/aplikasi masingmasing pada umur 25 dan 32 hari setelah tanam. Untuk pengendalian cendawan, tanaman disemprot dengan fungisida difenokanazol 0,25 l/ha dan penyemprotan selanjutnya pada umur 15 dan 20 hari setelah tanam dengan menggunakan fungisida iprodion sebanyak 1,50 kg/ha/ aplikasi (Bakhri et al. 1999). Hasil survai Pasaru (1999) menunjukkan bahwa 95% responden yang melakukan pengendalian hama pada tanaman sayuran di Kabupaten Donggala ternyata masih mengandalkan pestisida. Petani biasanya menggunakan pestisida dengan cara mencampur 2–4 jenis pes-
Tabel 4. Hasil pengamatan beberapa parameter ketersediaan air pada empat sistem pemberian air yang berbeda untuk tanaman bawang merah Palu, 1999. Sistem pemberian air A1 A2 A3 A4
Kadar air tanah (%)
Lama pencapaian (jam)
Jumlah air irigasi/musim tanam (m3 /ha)
Curah hujan (mm/musim)
Hasil umbi basah (t/ha)
Hasil umbi kering (t/ha)
6,60 5,20 3,90 2,60
24 72 120 168
83,60 58,60 37,20 25
248 248 248 248
8,58 8,88 6,25 5,20
6,44 6,57 5,80 4,26
A1 = pengairan dilakukan pada kondisi air tanah 100% kapasitas lapang; A2 = pengairan dilakukan pada kondisi air tanah 80% kapasitas lapang; A3 = pengairan dilakukan pada kondisi air tanah 60% kapasitas lapang; A4 = pengairan dilakukan pada kondisi air tanah 40% kapasitas lapang. Sumber: Limbongan et al. (2000).
106
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
tisida untuk setiap kali penyemprotan dan dilakukan 2–3 kali dalam satu minggu. Sejalan dengan semakin tingginya pemakaian pestisida pada pertanaman sayuran, dikhawatirkan residu pestisida pada sayuran sudah melampaui batas toleransi. Menurut Untung (1993), residu pestisida tersebut dikhawatirkan akan memacu timbulnya penyakit kanker karsinogenik. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami (predator, parasitoid, dan patogen hama) merupakan alternatif pengendalian yang cukup aman dan berwawasan lingkungan. Hasil penelitian Pasaru (1999) menunjukkan bahwa musuh alami S. exigua pada pertanaman bawang merah Palu adalah laba-laba (Arachinida). Predator ini berwarna kehijauan, berukuran kecil, dan biasanya memangsa instar muda. Predator lainnya adalah tabuhan (Kespoide) yang tubuhnya berwarna cokelat muda dan pada bagian abdomen terdapat garis berwarna kuning muda, serta semut merah (Isoptera). Selain predator juga ditemukan parasitoid telur dari famili Brachonidae dan parasitoid Icheeumonidae, namun tidak ditemukan telur maupun larva yang terparasit. Selain itu juga ditemukan virus NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) yang dapat menginfeksi larva.
PASCAPANEN DAN PEMASARAN Bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan karena aromanya yang khas. Bawang merah Palu sebagian besar dibuat bawang goreng karena bawang goreng yang dihasilkan memiliki cita rasa yang khas dan tetap kering walaupun disimpan lama dalam kemasan yang tertutup rapat. Rasa khas dan kekeringan bawang merah Palu yang tidak sama dengan bawang lainnya menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen. Bawang merah Palu dipanen setelah berumur 65−70 hari. Setelah dipanen sebaiknya bawang langsung diolah menjadi bawang goreng karena bila ditunda, mutu bawang goreng yang dihasilkan akan menurun. Menurut Hartuti dan Sinaga (1995), penyimpanan dalam bentuk umbi menyebabkan terjadinya berbagai perubahan akibat proses Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
fisiologis, biologis, fisik, kimia, dan mikrobiologis. Selama penyimpanan, senyawa yang menentukan bau dan cita rasa terutama senyawa sulfida akan menguap dari umbi. Pada awalnya, pengolahan umbi menjadi bawang goreng masih dilakukan dalam skala rumah tangga. Dengan semakin berkembangnya berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng, maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin meningkat, sehingga para pengusaha mulai mengembangkan usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala besar. Beberapa perusahaan mengolah bawang merah Palu menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin pemotong dan penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah per hari. Bawang goreng Palu, selain memiliki cita rasa yang khas, juga tahan disimpan sehingga dapat dipasarkan ke daerah yang jauh. Kekeringan bawang goreng ini dapat bertahan hingga satu tahun asalkan dikemas dengan kemasan yang tertutup rapat (Maskar et al. 2001). Kemasan yang biasa digunakan adalah stoples, botol plastik atau kantong plastik (Gambar 2). Kemasan dalam botol plastik berukuran 0,25–0,50 kg dan dengan kantong plastik 0,25–1 kg. Jalur pemasaran bawang merah Palu dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Monde (1987), bawang goreng Palu juga diekspor ke Singapura dan Malaysia serta dipasarkan ke daerah-daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Harga
bawang merah Palu sekitar Rp 6.000/kg, sedangkan harga bawang goreng kemasan sekitar Rp 50.000/kg.
KESIMPULAN DAN SARAN Bawang merah Palu memiliki sifat dan cita rasa yang khas, disukai konsumen sehingga berpotensi dikembangkan terutama di lahan kering dataran rendah. Bawang ini masih dibudidayakan secara tradisional sehingga hasilnya rendah. Berbagai kajian teknologi seperti budi daya, panen, dan pascapanen sudah dilakukan sehingga telah tersedia paket teknologi spesifik untuk bawang merah Palu. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan produksi secara nyata. Perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang pemasaran bawang goreng Palu ke mancanegara atau daerah-daerah lain di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Bakhri, S., Chatidjah, dan A. Ardjanhar. 1999. Pengaruh penggunaan varietas dalam paket teknologi terhadap pendapatan usaha tani bawang merah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu, 3–4 November 1999. hlm. 343–349. Bakhri, S., Chatidjah, A. Ardjanhar, dan J.G. Kindangen. 2000. Penerapan paket teknologi budi daya bawang merah dan kentang di Sulawesi Tengah. Prosiding Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah tahun
Gambar 2. Bentuk kemasan bawang goreng Palu. 107
▲
Swalayan/toko
▲
▲
Industri menengah
▲
▲
▲
Pedagang perantara
Konsumen luar daerah
Cendera mata
Petani
Rumah tangga ▲
Pasar tradisional
▲
▲
▲
▲
Pasar tradisional
Swalayan/toko
Industri rumah tangga
Gambar 3. Jalur pemasaran bawang merah Palu.
2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. hlm. 37–46. Hartuti, N. dan R.M. Sinaga. 1995. Pemanfaatan bawang merah dalam bentuk olahan. Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. hlm. 97−111. Hutapea, R.T.P., J. Limbongan, M. Amin, I.K. Suwitra, M. Dirwan, M. Thamrin, dan M. Sarungallo. 2000. Analisis zona agroekologi Sulawesi Tengah (Kabupaten Donggala). Laporan Hasil Penelitian/Pengkajian tahun 1999/2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Palu. 32 hlm. Kantor Statistik Sulawesi Tengah. 1994. Sulawesi Tengah dalam Angka. Kantor Statistik Sulawesi Tengah, Palu. Limbongan, J. dan A. Monde. 1999. Pengaruh penggunaan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah kultivar Palu. Jurnal Hortikultura 9(3): 212−219. Limbongan, J., M. Dirwan, H. Hasni, dan D. Mamesah. 2000. Pengkajian jarak tanam dan sistem penyaluran bawang merah varietas lokal Palu. Laporan Tahun 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Palu. 13 hlm.
108
Maskar, Sumarni, A. Kadir, dan Chatidjah. 1999. Pengaruh ukuran bibit dan jarak tanam terhadap hasil panen bawang merah varietas lokal Palu. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu, 3–4 November 1999. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. hlm. 51−56. Maskar, Basrum, A. Lasenggo, dan M. Slamet. 2001. Uji multilokasi bawang merah Palu. Laporan Tahun 2001. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. 13 hlm. Monde, A. 1987. Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Kandang pada Dua Varietas Bawang Merah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. Nurmarwah dan J. Limbongan. 1999. Potensi pengembangan bawang merah lokal (Allium ascalonicum L.) di Lembah Palu. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu, 3–4 November 1999 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 350– 354. Pasaru, F. 1999. Prospek pengembangan agen hayati untuk pengendalian hama sayuran di
Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu, 3–4 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 138–142. Rismunandar. 1988. Membudidayakan Lima Jenis Bawang. Penerbit Sinar Baru, Bandung. Saidah. 2001. Kajian Pemberian Kascing dan ZA terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Kultivar Lokal Palu. Thesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 33 hlm. Satsijati dan E. Koswara. 1993. Studi penerapan formulasi teknologi budi daya bawang merah dan cabai di lahan pasang surut. Jurnal Hortikultura 3(1): 13−20. Sutater, T., Satsijati, E. Koswara, D. Haryadi, dan Amaluddin. 1990. Daya hasil bawang merah di lahan pasang surut dan rawa. Risalah Hasil Penelitian Proyek Swamps II Bogor, 19–21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 265−269. Untung, K. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003