BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap kelompok sosial yang mendiami suatu wilayah memiliki sistem sosial dan sistem budaya yang unik. Sistem sosial dan sistem budaya inilah yang pada akhirnya membentuk perilaku mereka. Perbedaan tersebut dapat antara lain dipengaruhi oleh kondisi demografis dan geografis tempat kelompok tersebut tinggal. Kekayaan sumber alam di Papua sangat kaya. Namun, sangat disayangkan karena kondisi tersebut bertolak belakang dengan kondisi kesehatan masyarakat, khususnya status gizi perempuan lokal Papua. Perempuan lokal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perempuan lokal suku Balim Distrik Assolokobal,
Kabupaten
Jayawijaya,
Papua.
Hasil
survei
pada
1992
menunjukkan bahwa angka kekurangan gizi pada ibu di Kabupaten Jayawijaya masih terbilang buruk. Hal ini tentu saja membawa pengaruh besar bagi tingkat kesehatan dan ketangguhan sumber daya manusia di Jayawijaya (Deritana et al., 2000). Masalah gizi pada perempuan lokal suku Balim yang sudah berkeluarga masih sangat memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan oleh dampak lanjutan dari masalah gizi yang terjadi pada para ibu. Salah satunya adalah angka kematian ibu yang masih cukup tinggi. Seorang perempuan yang sudah berkeluarga, memiliki peran yang sangat penting bagi keluarga, baik dalam menentukan pola makan hingga status gizi keluarganya. Menurut Deritana et al., (2000) masih tingginya kekurangan gizi
1
pada perempuan lokal di Jayawijaya antara lain disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, pengetahuan yang rendah, perilaku masyarakat dalam perbaikan gizi yang belum tepat, dan pemantauan pertumbuhan di posyandu yang kurang optimal. Menurut Rumbiak (1993a) faktor sosio-demografi, sosio-psikologi serta pola makan turut mempengaruhi status gizi seorang perempuan. Faktor sosiodemografi dapat meliputi umur, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya yang dapat berpengaruh terhadap pola makan seseorang. Demikian juga dengan faktor sosio-psikologi termasuk di dalamnya nilai-nilai tradisional yang berlaku di suatu daerah sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam pola makannya. Assolokobal merupakan salah satu Distrik yang terdapat di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Menurut Sandjaja (1995) masyarakat pedalaman di Wamena sangat terikat pada budaya makan yang turun temurun dengan variasi jenis pangan yang terbatas. Rata-rata masyarakat hanya mengkonsumsi satu jenis makanan saja yaitu ubi jalar (ipoema batatas), sedangkan daging dikonsumsi bila ada pesta adat atau hari raya agama. Cara memasak makanan masyarakat setempat masih bersifat tradisional, hanya dibakar dalam api atau direbus dengan uap panas dari batu yang dibakar yang biasa dikenal dengan istilah “bakar batu” (Siregar et al., 1997). Kondisi status gizi seseorang pada umumnya dapat merepresentasikan pola makan dan bahan makanan yang ia konsumsi. Darlington (1969) menyebutkan bahwa pola makan dapat menggambarkan hubungan sosial serta aturan-aturan sosial yang terbangun di dalam suatu struktur sosial masyarakat. Demikian pula halnya masyarakat di Lembah Balim. Kondisi ini pada akhirnya
2
mempengaruhi status gizi mereka karena jenis makanan yang mereka makan pun tidak beragam, dan terkadang terbatasi oleh nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman mereka. Kehidupan sosial budaya merupakan produk dari struktur sosial dan individu-individu dalam masyarakat tersebut. Adanya interaksi sosial dengan budaya lain sangat memungkinkan terjadinya alkulturasi budaya dan pada akhirnya menambah pemahaman masyarakat lokal, karena adanya introduksi hal-hal baru yang mereka terima; tak terkecuali informasi tentang gizi masyarakat. Perkembangan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan ini diharapkan dapat meningkatkan status gizi perempuan Balim pada umumnya. Menurut Xilin Yang, et al (1998), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pola makan dan asupan makan, diantaranya faktor pendidikan dan pendapatan. Adapun, tingkat sosial ekonomi seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuan mereka mencukupi kebutuhan gizi. Xilin Yang berasumsi bahwa seseorang yang memiliki pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi memiliki perilaku konsumsi (makan) yang lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. Persediaan makanan yang terbatas dan seringnya menderita penyakit infeksi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan malnutrisi (Sayogyo, 2006). Pada umumnya masyarakat Balim bekerja sebagai petani-peternak, namun tidak sedikit juga yang bekerja di sektor-sektor formal, antara lain sebagai PNS. Selain itu ada pula yang bekerja sebagai karyawan swasta, walau jumlahnya tidak banyak. Hal ini menandakan adanya perkembangan dalam bidang kerja, dan dengan demikian juga peningkatan dalam kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3
Foster (1986) dalam bukunya Antropologi Kesehatan mengemukakan, betapa seringnya praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan kebutuhan dasar. Kesadaran akan praktek dan pengetahuan mengenai “hambatanhambatan” dalam hal ini adalah hambatan yang akan berpengaruh pada kondisi status gizi perempuan lokal suku Balim, seperti makanan-makanan yang ditabukan maupun peran-peran adat terkait dengan beban kerja yang sudah ada secara turun temurun harus segera diatasi guna membantu masyarakat dalam memaksimalkan sumber-sumber pangan yang tersedia. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Determinan Sosio-demografi, Sosio-psikologi, Pola Makan dengan Status Gizi Perempuan Lokal Suku Balim, Distrik Assolokobal, Kabupaten Jayawijaya, Papua”.
B.
Rumusan Masalah
Masalah kesehatan, serta kondisi status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan situasi sosial dan budaya masyarakat. Faktor-faktor sosio-demografi maupun sosio-psikologi dapat mempengaruhi pola makan seseorang. Selain itu, aspek-aspek tentang layanan kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi serta
fasilitas
kesehatan
termasuk
dimensi-dimensi
yang
menyangkut
kepercayaan, mata pencaharian dan lingkungan fisik tempat masyarakat tersebut berada, menjadi faktor domino yang mempengaruhi masalah kesehatan dan perilaku sehat di masyarakat. Interaksi dan relasi sosial dalam suatu kelompok masyarakat, terbangun di dalam kerangka suatu budaya tertentu. Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat
4
mendasari adanya masalah kesehatan, antara lain masalah status gizi mereka. Selain itu, status gizi seseorang dapat pula dipengaruhi oleh status ekonominya. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain: 1)
Apakah ada hubungan antara faktor sosio-demografi dan Sosio-psikologi dengan pola makan pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal?
2)
Apakah ada hubungan antara pola makan dengan status gizi pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosio-demografi, Sosio-psikologi, dan pola makan dengan status gizi pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal. 2.
Tujuan Khusus
1)
Mengetahui hubungan antara faktor sosio-demografi dan Sosio-psikologi dengan pola makan pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal.
2)
Mengetahui hubungan antara pola makan dengan status gizi pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal.
5
D.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai gambaran tingkat status gizi perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal, pengaruh faktor sosiodemografi dan Sosio-psikologi serta pola makan yang ada yang akan mempengaruhi tingkat status gizi, serta sebagai sarana berfikir ilmiah dalam penyelesaian tugas akhir skripsi sarjana. 2.
Bagi masyarakat
a)
Memberikan informasi bagi masyarakat khususnya perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal mengenai gambaran status gizi.
b)
Memberikan masukan bagi perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal dalam memanfaatkan sumber-sumber pangan yang tersedia guna meningkatkan status gizi.
3.
Bagi Pemerintah
a)
Memberikan informasi bagi tenaga pelayanan gizi tentang tingkat status gizi berdasarkan perbedaan faktor sosio-demografi, Sosio-psikologi dan pola makan pada perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal.
b)
Sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi bagi pemerintah dalam upaya menyusun program promosi kesehatan, meningkatkan edukasi dan strategi dalam upaya peningkatan status gizi perempuan lokal suku Balim di Distrik Assolokobal.
6
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain adalah : 1.
Silasari (2011) dengan penelitiannya yang berjudul “Faktor Sosial Budaya yang Berhubungan dengan Perilaku Pemberian Asi Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Menggala Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung Tahun 2011”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor sosial budaya yang berhubungan dengan perilaku pemberian ASI Eksklusif. Penelitian ini dirancang dengan penelitian potong lintang, dilakukan pada bulan FebruariMei 2011. Variabel terikatnya adalah perilaku pemberian ASI Eksklusif, sedangkan variabel bebasnya adalah karakteristik ibu (umur, pendidikan, pekerjaan),
pengetahuan
ibu,
nilai/norma
yang
ada,
sikap
ibu,
kebiasaan/tradisi yang ada, dan dukungan keluarga. Hasilnya adalah hanya 7% responden yang berperilaku menyusui secara eksklusif. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap nilai/norma yang ada, dan tradisi/kebiasaan yang ada dengan perilaku pemberian ASI Eksklusif. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan) dan dukungan keluarga. Persamaan dalam penelitian ini adalah peneliti sama-sama ingin meneliti faktor sosial budaya yang dapat mempengaruhi perilaku, sedangkan perbedaannya terdapat pada variabel dan sampel penelitian. 2.
Sarawa (1998) dengan judul penelitiannya adalah “Sosial Budaya, Tingkat Ekonomi dan Status Gizi Anak Usia Sekolah di Beberapa Desa di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya”. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji faktor-faktor sosial budaya, tingkat ekonomi yang berhubungan dengan status gizi anak usia sekolah. Variabel
7
penelitian terdiri atas faktor lingkungan fisik (ketersediaan pangan keluarga), lingkungan
sosial
ekonomi
(sistem
kekerabatan,
pendidikan
ibu,
pendapatan) dan faktor lingkungan budaya (pengetahuan tentang gizi, jenis makanan, pengolahan makanan, distribusi makanan dan kepercayaan) sebagai variabel pengaruh, sedangkan variabel terpengaruh adalah status gizi anak usia sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ketersediaan bahan pangan, tingkat pendidikan ibu, pendapatan, keluarga, pengetahuan ibu, jenis makanan, dan pengolahan makanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi anak usia sekolah. Adapun, variabel sistem kekerabatan dan distribusi makanan tidak terdapat hubungan dengan status gizi anak usia sekolah. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terdapat pada variabel tergantungnya. Penelitian Sarawa, status gizi anak usia sekolah merupakan variabel tergantung sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan variabel tergantungnya adalah status gizi perempuan lokal suku Balim. 3.
Mapandin (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan FaktorFaktor Sosial Budaya dengan Konsumsi Makanan Pokok Rumah Tangga pada Masyarakat di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Tahun 2005”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hubungan faktor sosial budaya dengan konsumsi makanan pokok rumah tangga pada masyarakat di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan dua metode yaitu metode kualitatif (wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) dan metode kuantitatif (desain cross sectional). Variabel penelitian terdiri atas faktor sosial rumah tangga (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah
8
anggota rumah tangga) dan faktor budaya rumah tangga (meliputi: preferensi makanan pokok, fungsi sosial makanan pokok, tradisi makanan pokok dan pengetahuan gizi ibu) sebagai variabel bebasnya, sedangkan variabel terikatnya adalah konsumsi makanan pokok (meliputi: kontribusi dan pola makan makanan pokok). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi strata sosial maka semakin bervariasi makanan pokok yang dikonsumsi. Sebaliknya semakin kuat faktor budaya yang dianut, maka akan semakin sedikit jenis makanan pokok yang dikonsumsi. Persamaan dalam penelitian ini adalah terdapat pada varibel penelitian yang diteliti yaitu peneliti sama-sama ingin meneliti mengenai faktor sosial maupun budaya serta konsumsi makan pada responden. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada variabel terikat, dimana variabel terikatnya adalah konsumsi makanan pokok, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti varibel terikatnya adalah status gizi.
9