BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konsep promosi kesehatan merupakan pengembangan dari konsep pendidikan kesehatan, yang berlangsung sejalan dengan perubahan paradigma kesehatan
masyarakat
(public
health).
Perubahan
paradigma
kesehatan
masyarakat terjadi antara lain akibat berubahnya pola penyakit, gaya hidup, kondisi
kehidupan,
lingkungan
kehidupan,
dan
demografi.
Pada
awal
perkembangannya, kesehatan masyarakat difokuskan pada faktor-faktor yang menimbulkan risiko kesehatan seperti udara, air, penyakit-penyakit bersumber makanan seperti penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan kemiskinan dan kondisi kehidupan yang buruk. Dalam perkembangan selanjutnya, disadari bahwa kondisi kesehatan juga dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat (Depkes RI., 2004). Deklarasi Alma Ata pada tahun 1978 menghasilkan strategi utama dalam pencapaian kesehatan bagi semua (health for all) melalui pelayanan kesehatan dasar (primary health care). Salah satu komponen di dalam pelayanan kesehatan dasar itu adalah pendidikan kesehatan, di Indonesia pernah juga disebut dengan penyuluhan kesehatan, yang ternyata berfokus pada perubahan perilaku, dan kurang memperhatikan upaya perubahan lingkungan (fisik, biologik dan sosial) (Depkes RI., 2004). Sekitar tahun 80-an mulai disadari bahwa pendidikan kesehatan saja tidak cukup berdaya untuk mengubah perilaku masyarakat. Pendidikan kesehatan harus disertai pula dengan upaya peningkatan kesehatan. Kesadaran akan hal ini menimbulkan munculnya paradigma baru kesehatan masyarakat, yang mengubah pendidikan kesehatan menjadi promosi kesehatan. Pada tahun 1986 di Ottawa, Kanada,
berlangsung
konfrensi
internasional
promosi
kesehatan
yang
menghasilkan piagam Ottawa (Ottawa Charter). Piagam ini menjadi acuan bagi
1
2
penyelenggaraan promosi kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Aktivitas promosi kesehatan menurut Piagam Ottawa adalah advokasi (advocating), pemberdayaan (enabling) dan mediasi (mediating). Selain itu, juga dirumuskan 5 komponen utama promosi kesehatan yaitu: 1) membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public policy), 2) menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environments), 3) memperkuat gerakan masyarakat (strengthen community action), 4) membangun keterampilan individu (develop personal skill), dan 5) reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services). Berdasarkan Piagam Ottawa tersebut, dirumuskan strategi
dasar
promosi kesehatan, yaitu empowerment (pemberdayaan masyarakat), social support (bina suasana), dan advocacy (advokasi) (WHO, 2009). Sesuai dengan perkembangan promosi kesehatan tersebut di atas, pada tahun 2009 WHO memberikan pengertian promosi kesehatan sebagai proses mengupayakan
individu-individu
dan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kemampuan mereka mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang dirumuskan WHO tersebut, di Indonesia pengertian promosi kesehatan dirumuskan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI., 2004) Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu upaya untuk menciptakan sekolah menjadi suatu komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekolah melalui 3 kegiatan utama yaitu: (a) penciptaan lingkungan sekolah yang sehat, (b) pemeliharaan dan pelayanan di sekolah, dan (c) upaya pendidikan yang berkesinambungan. Sebagai suatu institusi pendidikan, sekolah mempunyai peranan dan kedudukan strategis dalam upaya promosi kesehatan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak usia 5-19 tahun terpajan dengan lembaga pendidikan dalam jangka waktu cukup lama. Dari segi populasi, promosi kesehatan di sekolah dapat menjangkau 2 jenis populasi, yaitu populasi anak
3
sekolah dan masyarakat umum/keluarga. Sekolah mendukung pertumbuhan dan perkembangan alamiah seorang anak, sebab di sekolah seorang anak dapat mempelajari berbagai pengetahuan termasuk kesehatan (Depkes RI., 2008). Lebih lanjut, menurut Departemen Kesehatan RI. (2008), masalah kesehatan anak usia sekolah yang masih banyak terjadi di Indonesia antara lain adalah sanitasi dasar yang memenuhi syarat kesehatan seperti jamban sehat dan air bersih, meningkatnya pecandu narkoba dan remaja yang merokok, dan kesehatan reproduksi remaja. Ruang lingkup kesehatan reproduksi salah satunya mencakup pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR), termasuk infeksi menular seksual (IMS) seperti HIV dan AIDS. Berdasarkan laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia 10 tahun terakhir sampai dengan 30 Juni 2011, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 26.483 kasus AIDS yang berasal dari 33 provinsi. Tidak satupun provinsi yang luput. Kasus yang terbanyak terdapat di DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, DIY, Sulawesi Utara, Sumatera Utara. Kasus tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (46,4%), kelompok umur 30-39 tahun (31,5%), kelompok umur 40-49 tahun tahun (9,8%), sedangkan cara penularan kasus AIDS dilaporkan melalui hubungan seks heteroseksual (54,8%), injecting drug user atau IDU (36,2%), hubungan seks sesama lelaki (2,9%), dan perinatal (2,8%) (Kemenkes RI., 2010a). Berdasarkan pada profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung (2011) terdapat 14 kabupaten/kota di Lampung dengan total jumlah penduduk 7.608.405 jiwa dan dengan jumlah layanan kesehatan untuk puskesmas sejumlah 270 puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan swasta sejumlah 34 rumah sakit. Kasus AIDS dilaporkan pertama kali pada tahun 2002 dari Kabupaten Lampung Utara dengan faktor risiko penasun (pengguna napza suntik). Sampai dengan Juli 2012 seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung telah melaporkan kasus HIV dan AIDS dengan jumlah kasus HIV dan AIDS kumulatif 979 kasus, dengan kasus AIDS kumulatif sejumlah 252 kasus dan HIV sejumlah 727 kasus. Dilihat per 5 tahun, yaitu: antara tahun 2002-2006 dan 2007-2011, terjadi perubahan
4
proporsi terbesar faktor risiko dari penasun pada tahun 2002-2006 menjadi heteroseksual pada tahun 2007-2011. Proporsi kasus HIV dan AIDS berdasarkan kelompok umur tahun 2002 sampai dengan 2006 tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun (59,8%)
dan
20-24 tahun (33,5%), sedangkan pada tahun 2007 sampai dengan Juli 2011 pada kelompok umur 25-49 tahun (71,79%) dan 20-24 tahun (18,81%). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui usia terendah kasus HIV pada kelompok umur di atas adalah 20 dan 25 tahun. Hal ini berarti jika sejak terinfeksi sampai masuk ke kondisi AIDS lamanya 5 tahun, maka usia terendah saat terinfeksi sekitar 15-19 tahun (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2011). Sejalan dengan derasnya arus globalisasi yang melanda berbagai sektor dan sendi kehidupan, berkembang pula masalah kesehatan reproduksi remaja yang terjadi di masyarakat. Masalah tersebut baik fisik, psikis dan psikososial mencakup perilaku sosial seperti kehamilan usia muda, penyakit akibat hubungan seksual dan aborsi, maupun masalah akibat pemakaian narkotika, zat adiktif, alkohol dan merokok. Bila hal ini tidak ditanggulangi sebaik-baiknya, bukan hanya menyebabkan masa depan remaja suram, akan tetapi dapat menghancurkan masa depan bangsa. Remaja sebagai generasi muda bangsa memerlukan perhatian yang intensif dari orangtua, masyarakat dan pemerintah. Permasalahan remaja sangat kompleks. Fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa perilaku seks pranikah di kalangan remaja semakin meningkat. Perilaku seksual remaja yang cenderung permisif dan berani disertai dengan keterbatasan pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual telah meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan (UNFPA, 2002). Usia remaja adalah usia belajar, yaitu usia ketika remaja berhadapan dengan hal-hal baru sekaligus menghadapi dan harus mengambil berbagai risiko. Remaja di semua tempat memiliki otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak. Demikian juga dalam menentukan perilakunya, mereka seringkali mengambil keputusan sendiri. Yang menjadi masalah adalah, seringkali keputusan-keputusan tersebut berdampak pada kehidupan selanjutnya, bahkan
5
mungkin seumur hidup. Dalam kesehatan, yang dilakukan di masa remaja akan berdampak pada kesehatannya di masa depan. Perilaku remaja dipengaruhi oleh faktor internal remaja (pengetahuan, sikap dan kepribadian) maupun faktor eksternal remaja (lingkungan ia berada). Biasanya, faktor eksternal lebih berpengaruh. Perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat mereka hidup. Khusus di era globalisasi, lingkungan sosial sangat dinamis dan terbuka. Konteks sosial remaja sangat bervariasi di berbagai tempat di dunia, bahkan di dalam satu negara. Salah satu yang dibawa dalam dinamika ini adalah perubahan gaya hidup remaja. Kombinasi antara usia perkembangan remaja yang khas (usia belajar) dengan dinamisnya lingkungan sosial dan budaya dewasa ini, membuat remaja masuk di berbagai lingkungan atau dunia yang seringkali tidak bisa diikuti dan dipahami lagi oleh generasi sebelumnya, termasuk orangtuanya sendiri (Moeliono, 2004). Pada umumnya, anak-anak dan remaja dalam masa transisi merasa enggan untuk mencari penjelasan kepada orangtua mereka mengenai permasalahan yang terjadi dalam diri mereka dan secara nyata mereka hadapi. Sementara itu, dari pihak orangtua, selain kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek perkembangan tersebut, juga merasa risih atau segan atau bahkan tidak mengerti cara yang tepat untuk membicarakan perkembangan biologis dan psikologis serta permasalahan kesehatan reproduksi tersebut dengan anak-anak mereka (BKKBN 2007). Salah satu penyebab masalah, kemungkinan karena faktor ketidaktahuan, karena remaja tidak mendapat informasi yang jelas, benar dan tepat mengenai kesehatan reproduksi remaja serta permasalahannya. Menyadari masalah yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia, khususnya kepada kaum muda usia 15-19 tahun, serta laporan yang menunjukkan bahwa tidak satupun kabupaten/kota yang luput dari kasus HIV dan AIDS, maka sangat tepat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Lampung melaksanakan berbagai kegiatan pencegahan penularan HIV yang
6
ditujukan kepada kaum muda/remaja. Salah satu bentuk kegiatan tersebut adalah dance4life, atau yang lebih populer dituliskan menjadi dance4life. Dance4life adalah gerakan global remaja (usia 13-19 tahun) yang dilakukan di 30 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dance4life Indonesia mulai implementasi pada tahun 2004, namun program ini terhenti hingga mulai dihidupkan kembali pada tahun 2010. Dance4life internasional di Amsterdam Belanda memberikan kepercayaan kepada RugersWPF indonesia menjadi national concept owner (NCO) yang bertanggung jawab penuh terhadap implementasi dance4life di Indonesia. Dalam implementasinya, dibentuk steering committe yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat yang telah bekerja untuk isu remaja dan HIV dan AIDS yaitu PKBI Pusat, Yayasan Pelita Ilmu (YPI) dan Yayasan Aids Indonesia (YAI). Hingga tahun 2011 dance4life Indonesia telah berkembang dan bekerjasama dengan mitra lokal dilima provinsi, yaitu SIKOK Jambi, PKBI Lampung, YPI, PKBI DKI Jakarta, PKBI DI Yogyakarta dan YAPEDA Timika Papua (Rugers WPF Indonesia, 2012). Kegiatan dance4life ini melibatkan para remaja berperan aktif mencegah penularan HIV serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV. Kegiatan dance4life cukup unik dan menarik, karena mengkombinasi aspek edukasi HIV dan AIDS dengan seni musik terutama tarian kolosal. Kegiatan dance4life ditujukan kepada remaja yang berusia
13-19 tahun
melalui empat tahap: inspire, educate, activate, celebrate. Dance4life dilaksanakan di Provinsi Lampung, tepatnya di Kota Bandar Lampung dimulai tahun 2011 dengan jumlah sekolah menengah pertama (SMP), sekolah
menengah
atas/sekolah
menengah
kejuruan/madrasah
aliyah
(SMA/SMK/MA) yang terlibat sebanyak 24 sekolah yang memasukkan kegiatan dance4life dalam kegiatan tambahan, sedangkan pada tahun 2012 jumlah SMP, SMA/SMK/MA yang terlibat juga sebanyak 24 sekolah. Adapun siswa dan siswi yang telag tergabung dalam program ini sejak tahun 2011-2012 berjumlah + 2.400 orang. Semakin banyak siswa dan siswi yang tergabung dalam program ini semakin banyak pula agen perubahan yang dihasilkan.
7
Seiring dengan banyaknya sekolah yang mengaplikasikan program dance4life, perlu diketahui keterlibatan remaja untuk berperan aktif mencegah HIV serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV melalui program dance4life pada siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA. Jika program ini dapat berhasil sesuai harapan, maka pendidikan dengan menggunakan metode ini bisa diaplikasikan ke banyak sekolah di wilayah lainnya. Berdasarkan wawancara pada tanggal 13 Februari 2013 pada pengelola, didapatkan informasi bahwa program dance4life PKBI Provinsi Lampung merupakan program uji coba yang telah dilaksanakan sejak tahun 2011-2012. Selama ini evaluasi yang dilakukan baru pada tahap menilai keberhasilan proses pelatihan menggunakan lembar pre test dan post test dengan 10 pertanyaan yang meliputi pertanyaan tentang pengertian HIV, cara penularan, cara pencegahan, faktor risiko, dan strategi komunikasi pada remaja. Menurut rencana pada tahun 2014, RutgersWPF Indonesia selaku national concept owner (NCO) akan melaksanakan evaluasi program dance4life Provinsi Lampung dengan sasaran evaluasi siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA. Evaluasi program dance4life yang telah dilakukan di Amsterdam oleh Hermanns et al. (2009) bertujuan untuk mengetahui kualitas pelaksanaan komponen dalam program dance4life, mengetahui peluang dan tantangan dalam pelaksanaan program dance4life. Hasil penelitian menunjukkan
program
dance4life dianggap sebagai program pencegahan kesehatan yang kuat oleh mitra pelaksana dan peserta. Selanjutnya, kedua kelompok melaporkan terbentuknya sikap positif terhadap konsep dance4life dan berbagai komponen program. Berdasarkan kondisi di atas, peneliti ingin melakukan evaluasi terhadap program dance4life dalam pencegahan HIV dan AIDS berdasarkan Precaution Adopting Process Model (PAPM). Sasarannya adalah siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA di Kota Bandar Lampung. Teori PAPM digunakan untuk menjelaskan proses seseorang mengambil keputusan bertindak dan bagaimana menerjemahkan keputusan tersebut ke dalam tindakan. Adopsi tindakan pencegahan baru atau penghentian suatu perilaku berisiko memerlukan langkahlangkah yang disengaja mungkin terjadi di luar kesadaran. PAPM berlaku untuk
8
jenis tindakan, bukan untuk pengembangan secara bertahap dari pola kebiasaan perilaku (Gibbons et al., 1998 cit. Glanz et al., 2008).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana keterlibatan remaja untuk berperan aktif mencegah HIV, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV melalui program dance4life pada siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA di Bandar Lampung?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengekplorasi keterlibatan remaja untuk berperan aktif dalam pencegahan HIV, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV melalui program dance4life. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengevaluai program dance4life dalam mewujudkan pencegahan HIV dan AIDS antara lain: a. Mengetahui peran aktif remaja dalam penyebaran informasi HIV dan AIDS melalui program dance4life dalam pencegahan HIV dan AIDS b. Mengetahui pemahaman remaja tentang diskriminasi terhadap penderita HIV dan AIDS melaui program dance4life dalam pencegahan HIV dan AIDS c. Mengetahui pemahaman remaja dalam mengurangi stigma terhadap penderita HIV dan AIDS melalui program dance4life dalam pencegahan HIV dan AIDS
9
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi institusi (Dinas Kesehatan,
Dinas
Pendidikan,
lembaga
swadaya
masyarakat,
Komisi
Penanggulangan AIDS, pihak sekolah, dan institusi lain yang terkait) dari hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam rangka pencegahan HIV dan AIDS pada remaja SMP, SMA/SMK/MA di Kota Bandar Lampung, memberikan manfaat terhadap pengembangan program dance4life di sekolah, memberikan masukan pemecahan masalah kepada pelaksana program dance4life dan pengelola program HIV dan AIDS, menjadi bahan pertimbangan tentang pentingnya pendidikan kesehatan sejak dini di sekolah dalam mencegah penyebaran HIV dan AIDS. Manfaat bagi peneliti adalah sebagai proses pembelajaran dan menjadi bahan pembanding dalam rangka penelitian dan pengembangan lebih lanjut program promosi kesehatan di sekolah. E. Keaslian Penelitian Penelitian persepsi remaja tentang program dance4life dalam pencegahan penyakit HIV dan AIDS pada siswa dan siswi SMP, SMU/SMK/MA, sepengetahuan penulis, belum pernah dilakukan. Penelitian yang mirip dan pernah dilakukan antara lain: 1. Pohan et al. (2006), melakukan penelitian berjudul HIV-AIDS prevention through a life-skills school based program in Bandung, West Java, Indonesia: evidence of empowerment and partnership in education. Pada penelitian tersebut targetnya adalah siswa SMP dengan mengembangkan kurikulum dan pengembangan keterampilan hidup untuk pencegahan HIV berbasis sekolah melalui pengetahuan tentang penggunaan narkoba dan perilaku seksual berisiko. Hasil penelitian tersebut adalah identifikasi spesifik sehari-hari obat dan masalah perilaku seksual adalah dasar untuk program dan menggunakan isu-isu ini untuk mengadvokasi pemangku kepentingan tertentu yang mungkin
10
berkolaborasi dalam pengembangan dan pelaksanaan program. Advokasi ke tingkat kebijakan tertinggi serta tingkat lapangan (guru, kepala sekolah, siswa dan orangtua) diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan untuk mengembangkan dan memperkuat pengetahuan dan keterampilan kehidupan siswa mengenai HIV. 2. Cheng et al. (2008), melakukan penelitian berjudul Effectiveness of a schoolbased AIDS education program among rural students in HIV high epidemic area of China. Penelitian tersebut bertujuan mengevaluasi efektivitas program sekolah berbasis Pendidikan AIDS di kalangan siswa di daerah pedesaan epidemi HIV tinggi di China. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan uji multilevel regression, membandingakan pengetahuan, sikap, selfefficacy, dan seks yang aman pada siswa kelas 10 tanpa intervensi dengan siswa kelas 10 yang mendapat intervensi. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah siswa sekolah dengan intervensi dengan efek interaksi kelompok secara statistik signifikan. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya pengetahuan subjek, perubahan sikap mereka menjadi positif, dan meningkatnya perlindungan mereka (self efficacy), memiliki kesadaran yang lebih besar dari keberhasilan diri mereka dalam hal HIV dan kesehatan seksual. Siswa dari sekolah dengan program pendidikan sebaya lebih mungkin untuk melakukan praktik seks aman, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Namun, praktik seks yang aman ditemukan secara statistik signifikan lebih aman dalam subset dari sekolah yang memiliki tim kecil dari pendidik sebaya. 3. Tara Lohmann et al. (2008), melakukan penelitian berjudul Knowledge of and attitudes towards HIV/AIDS among school teachers in Belize. Tujuan penelitian tersebut adalah menilai pengetahuan terkait dengan HIV dan AIDS, dan sikap guru di Belize Amerika Tengah. Hal ini didasarkan atas tingginya infeksi HIV di daerah tersebut, tetapi pendidikan tentang HIV dan AIDS tidak secara resmi dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan survei pada 91 guru menggunakan 55 pertanyaan yang dikembangkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan
11
Penyakit (CDC, Atlanta, Georgia, USA), antara lain tentang pengetahuan tentang HIV dan AIDS, sikap terhadap orang dengan HIV dan AIDS (kepercayaan instruksional), dan kenyamanan dengan topik sensitif. Regresi linier multivariabel digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang terkait dengan hasil. Hasilnya menunjukkan bahwa secara statistik tingkat kepercayaan kenyamanan lebih tinggi ditemukan pada guru berpengalaman yang sebelumnya bertanggungjawab mengajar seksualitas, sedangkan orangorang dengan pelatihan formal HIV dan AIDS, dan untuk guru sekolah menengah, skor pengetahuan tidak berbeda secara signifikan antara setiap kelompok. 4. Givaudan et al. (2008), melakukan penelitianLongitudinal study of a school based HIV/AIDS early prevention program for Mexican adolescents. Penelitian ini merupakan sebuah studi kuasi-eksperimental dengan melakukan penilaian efek jangka panjang dari keterampilan kehidupan dan tentang program pencegahan HIV/AIDS berbasis sekolah. Guru terlatih diberi program mempromosikan precursores dari perilaku seks aman untuk 2.064 siswa SMA Meksiko sebelum usia mereka aktif secara seksual (umur rata-rata siswa 15 tahun). Variabel yang termasuk dalam studi adalah pengetahuan tentang HIV dan AIDS, sikap terhadap penggunaan kondom, norma subjektif, niat untuk
menggunakan kondom dan
keterampilan hidup sebagai
keterampilan membuat keputusan, mitra komunikasi dan tanggung jawab individu. Hasilnya menunjukkan stabilitas efek pelatihan dan dampak positif terhadap precursores selama 1 tahun masa tindak lanjut. Penelitian tersebut dirancang untuk menilai perubahan precursores perilaku seksualitas. Proporsi anak-anak dengan pengalaman seksual diketahui rendah pada kelompok usia yang menjadi target program tersebut, sejalan dengan strategi untuk memiliki keterampilan hidup di tempat sebelumnya. Namun, kuesioner tidak mencakup pertanyaan tentang praktik seks yang aman dibandingkan dengan berisiko selama hubungan seksual (oral, vagina, atau anus), dan analisis dengan skala perilaku sebagai variabel dependen menunjukkan efek langsung yang positif dari program dalam arah yang diharapkan, meskipun efek gagal mencapai
12
signifikansi statistik. Hasil tidak bermakna mungkin karena sejumlah kecil siswa yang dianalisis didasarkan pada 17 (4%) anak perempuan dan 80 (17%) anak laki-laki di sekolah eksperimental dan 27 (8%) anak perempuan dan 79 (24%) anak laki-laki dalam sekolah kontrol dilaporkan telah memiliki setidaknya 1 kali hubungan seksual pada awal program. Secara umum, penelitian di atas adalah penelitian kuantitatif tentang evaluasi pencegahan HIV dan AIDS yang dilaksanakan di sekolah dengan menerapkan kurikulum baku yang telah ditetapkan. Penelitian yang peneliti laksanakan adalah evaluasi suatu program yang jangka panjangnya diharapkan dapat menurunkan angka kasus HIV dan AIDS dengan program dance4life pada siswa dan siswi SMP/SMA/SMK/MA di Kota Bandar Lampung, yang dari 4 tahapan program dance4life masing-masing hanya disediakan waktu minimal 2 jam. Jenis penelitian, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui lebih mendalam tentang keterlibatan remaja untuk berperan aktif mencegah HIV serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV.