BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Marah merupakan emosi yang normal dan merupakan perasaan yang sehat (Duffy, 2012). Seperti emosi yang lain, marah merupakan respon emosional individu terhadap berbagai stimulus lingkungan sehingga harus dipahami dan diekspresikan dengan tepat. Salah satu penelitian dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi menunjukkan bahwa terdapat situasi kemarahan pemimpin dalam tingkat tertentu mampu meningkatkan kinerja para karyawan seperti pengambilan keputusan yang efektif, sehingga mampu memberikan sumbangsih yang cukup baik untuk organisasi (Lindebaum & Fielden, 2010). Penting bagi seorang individu untuk membedakan antara marah, agresi dan kekerasan yang sering kali disamakan, agar marah yang dirasakan tidak muncul sebagai perilaku agresi. Marah merupakan perasaan atau emosi yang masih berupa potensi perilaku, sedangkan agresi dan kekerasan adalah perilaku yang dalam hal ini sering kali tidak diijinkan oleh norma dan muncul sesuai dengan kemampuan mengontrol marah atau kontrol diri yang dimiliki seseorang (Mischel, 2012). Ekspresi marah merujuk pada kebiasaan untuk mengungkapkan perasaan marah, yang pada umumnya terdiri dari dua cara, yakni diinternalisasi dan dieksternalisasi (Cautin, Overholser & Goetz, 2001). Marah yang diinternalisasi dapat mengakibatkan stres, depresi hingga bunuh diri (Cautin dkk, 2001; Widger, 2012). Penelitian lain membuktikan bahwa memendam marah dapat berdampak pada keluhan fisik seperti sakit kepala
1
2
atau migraine (Milers, Rieffe, Terwogt, Cowan, & Linden, 2007; Tarantino dkk, 2013). Marah yang diungkapkan dengan dieksternalisasi dapat merugikan lingkungan seperti agresi verbal atau fisik yang sering kali menyakiti orang lain (Cautin dkk, 2001; Raval, Raval & Becker, 2012). Marah yang dirasakan individu dapat dikontrol sehingga mencegah reaksi kemarahan keluar sebagai agresi dan tanpa memendamnya, namun dengan mengungkapkan marah secara asertif (Reilly & Shophire, 2002). Banyak
dari
anak,
remaja
bahkan
orang
dewasa
sulit
mengungkapkan secara lisan terkait marah yang dirasakan. Mereka mungkin sadar setiap kali mereka mengekspresikan marah dengan perilaku yang kurang
bisa
diterima
secara
sosial,
namun
mereka
tidak
mampu
mencegahnya terjadi. Hal ini disebut sebagai emotionally illiterate atau kebutaan emosi yang diiringi dengan kurangnya kemampuan untuk memahami
perasaan
dan
kurang
mampu
memahami
bagaimana
mengekspresikan marah yang dapat diterima secara norma sosial (Duffy, 2012).
Ditambahkan
pula
bahwa
seseorang
yang
tidak
mampu
mendefinisikan marah dengan baik bahkan tidak mampu membedakan sejumlah emosi yang mereka rasakan dapat menjadikan masalah-masalah kecil berujung pada kemarahan bahkan kekerasan (Day dkk, 2006). Penelitian Cautin dkk (2001) terhadap 92 remaja menunjukkan bahwa marah mempunyai peran yang sangat penting bagi timbulnya depresi dan menjadi salah satu faktor yang menyumbangkan resiko bunuh diri bagi remaja. Mereka menggolongkan ekspresi marah yaitu diinternalisasi atau dipendam
sendiri
dan
dieksternalisasi
atau
diekspresikan
pada
lingkungannya. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang menginternalisasi
3
marahnya mempunyai kecenderungan terhadap depresi, dan terlebih lagi mengarah pada kemungkinan mengekspresikan
marahnya
bunuh diri. secara
Sedangkan
eksternal
maka
remaja yang mempunyai
kecenderungan terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol. Kecanggihan teknologi juga telah mempengaruhi cara seseorang dalam mengungkapkan emosinya, sehingga tidak hanya dipedam atau melalui agresi fisik namun juga melalui media sosial (Lee, 2011). Berbagai penelitian lintas budaya menyebutkan bahwa emosi marah dan ekspresi emosi marah dipengaruhi oleh budaya atau masyarakat dimana individu tinggal. Terdapat beberapa masyarakat yang menganggap bahwa agresi verbal berupa makian dan bentakan adalah hal yang umum atau biasa dilakukan, sedangkan masyarakat lain menganggap bahwa hal tersebut dapat melukai seseorang (Bear, Zarain, Manning & Shiomi, 2009; Ramirez, Fujihara, & Van Goozen, 2001; Raval dkk, 2012; Widger, 2012). Budaya juga telah mengajarkan kepada seseorang tentang siapa yang pantas marah terkait dengan status sosial dan peran gender yang dimiliki seseroang (Power, Cole & Fredrickson, 2010). Kemampuan seseorang dalam mengelola marah tidak hanya dipengaruhi oleh budaya (termasuk keluarga dan teman sebaya), namun juga beberapa emosi dan aspek psikologis lain seperti spiritualitas. Spiritualitas yang dimiliki seseorang dapat membantu dalam usaha koping stres dan koping marah, karena hal ini terkait dengan praktek agama dan ibadah yang membantu menuntun perilakunya. Carlozzi dkk (2010) menemukan bahwa meskipun kepercayaan dan keterlibatan spiritual berkorelasi positif dengan pengalaman emosi marah dan ekspresi marah, namun kepercayaan dan
4
keterlibatan spiritual berkorelasi negatif dengan usaha kontrol marah, dimana hal ini juga terungkap dalam beberapa penelitian sebelumnya. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa alasan bahwa memiliki kecenderungan untuk meningkatkan religiusitas dan spiritualitas ketika menghadapi masalah berat saja. Penelitian lain memberikan bukti empiris mengenai emosi apa saja yang yang terkait dengan marah khususnya marah yang tidak sehat. Ditemukan bahwa marah yang tidak sehat dipengaruhi oleh rasa malu yang tinggi dan harga diri yang rendah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri berkorelasi negatif dengan marah, yakni ketika marah terdeteksi dengan alat ukur maka tingkat harga diri menunjukkan tingkat rendah. Sedangkan malu berkorelasi positif dengan marah. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dengan rasa malu tinggi dan harga diri rendah memiliki tingkat marah yang tinggi (Shanahan, Jones & Peter, 2011). Penelitian Prawitasari (1993) tentang emosi melalui komunikasi nonverbal pada masyarakat yang berbeda budaya di Indonesia menunjukkan bahwa bagi orang Indonesia emosi berarti negatif, sehingga harus dikendalikan sedemikian rupa supaya tidak mempengaruhi hubungan dengan orang lain agar keharmonisan tetap terjaga. Pada penelitian itu, khususnya orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta, sangat berhati-hati dalam mengungkapkan dan mengartikan komunikasi nonverbal. Hal ini karena prinsip dan ciri khas kebudayaan Jawa yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa. Prinsip tersebut adalah prinsip rukun atau harmonis yang mengutamakan hubungan baik antar manusia, dengan mencegah berkelahi terbuka, penuh penghormatan terhadap
5
sesama, gotong royong, tenggang rasa (tepa selira), dan ramah-tamah penuh kelembutan (Suseno, 2003). Rasa malu atau emosi malu diajarkan dalam beberapa budaya sejak dini, seperti dalam budaya Jawa. Budaya Jawa mengajarkan untuk memegang prinsip hormat yang terdiri dari komponen wedi, isin dan sungkan sejak anak mengerti instruksi, yang semuanya mengacu pada malu untuk berperilaku tidak sopan kepada orang lain terutama orang yang lebih tua (Geertz, 1961). Prinsip-prinsip diatas terungkap pula dalam wawancara awal penelitian yang dilakukan kepada subjek pra-penelitian yakni seorang wanita asli Jawa. Ia mengatakan bahwa ia selalu menghindari kemarahan kepada orang lain secara terbuka khususnya ditempat umum, seperti yang ia katakan: “Kalau di lingkungan kerja, kalau marah ya lihat-lihat. Tapi kan kalau dalam kerja kita kan harus… kalau marah kayaknya jarang deh mas, karena mungkin kita mau marah sama siapa.. terus penyebabnya marah apa, kalau dalam pekerjaan kayaknya tidak perlu pakai marah.”
Anggapan yang tidak baik terhadap ekspresi marah terutama ditempat terbuka juga tampak dari jawaban subjek ketika ditanya apakah pernah terjadi suatu peristiwa yang menyulut kemarahan di tempat kerja yang berujung ekspresi marah secara terbuka: “Ya, kalau itu tidak usah saya ceritakan mas, hahaha/ Iya ada, tapi masa harus saya ceritakan mas../ Jarang, karena tetep yang kita utamakan kan keharmonisan di tempat kerja.”
6
Masyarakat Jawa memiliki aturan yang baku dalam penggunaan bahasa, tutur kata dan etika. Misalnya, ketika orang yang lebih muda berbicara dengan orang yang jauhlebih tua, maka orang yang lebih muda harusmenggunakan bahasa kromo inggil sebagai penghormatan terhadap orang yang lebihtua. Lebih lanjut lagi, dalam budaya Jawaorang harus berbicara perlahan-lahan dan halus, sedapat mungkin “menyembunyikan” perasaan asli sebagai pengejawantahan dari prinsip isin dan sungkan (Suseno, 2003). Kedua prinsip keselarasan itu sebagai pedoman bagi masyarakat Jawa dalam pergaulan sehari-hari. Prinsip tersebut menuntut agar semua lapisan masyarakat Jawa, pada semua golongan usia, remajadan dewasa senantiasa mengontroldorongan-dorongan diri sendiri. Semakin individu mampu mengontrol dorongan dorongan emosinya dan semakin menguasai tata krama pergaulan, maka semakin iadianggap dewasa dan diakui sebagaianggota masyarakat Jawa (Suseno, 2003). Memperlihatkan perasaan-perasaan spontan dianggap kurang pantas, seperti gembira, sedih, kecewa, marah, putus asa, harapan, atau rasa belas kasihan yang akan disembunyikan untuk tidak diperlihatkan pada banyak orang. Orang Jawa yang masih memegang budaya dan falsafah Jawa yang masih kental adalah masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta merupakan pusat kerajaan di Jawa dari masa Kerajaan Mataram dan hingga saat ini kesultanan Yogyakarta masih dilestarikan. Seperti adanya abdi dalem, penggunaan pakaian adat dan lain-lain. Sebagai propinsi yang dapat dikatakan sebagai representasi budaya Jawa, Yogyakarta merupakan salah satu propinsi dengan penderita gangguan jiwa berat terbanyak serta propinsi
7
dengan gangguan mental emosional tertinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2013) . Dari uraian diatas dapat diketahui gambaran bagaimana masyarakat Jawa akan mengekspresikan marahnya, yakni cenderung dipendam atau pasif karena mengekspresikan marah dengan asertif, atau bahkan agresif akan dianggap tidak sopan. Jika demikian, maka hal ini tidak selaras dengan pendapat diawal penjelasan yang mengatakan bahwa marah dalam situasi tetetu harus diekspresikan dan lebih penting lagi kemarahan harus terselesaikan sehingga tidak berdampak dikemudian hari seperti keluhan fisik dan psikologis. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya cara atau strategi pengelolaan marah masyarakat Jawa sehingga mampu memunculkan ekspresi marah yang dapat diterima orang-orang yang ada disekitarnya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana orang Jawa mengelola emosi marah? 2. Bagaimana orang Jawa mengekspresikan emosi marah?
C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran terkait bagaimana orang Jawa mengekspresikan emosi marah dan bagaimana strategi pengeloaan marah yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan.
8
D. Manfaat Penelitian Dengan diselenggarakannya penelitian ini maka diharapkan mampu untuk memberikan banyak kegunaan baik bagi pihak-pihak yang secara dekat memiliki kemiripan situasi dengan penelitian ini. Untuk peneliti selanjutnya yang memiliki hasrat untuk memperdalam maupun memperluas kajian dengan tema ini. Manfaat penelitian terbagi atas dua bagian, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Memperluas perkembangan bidang kajian psikologi terutama psikologi klinis yang difokuskan pada pengekspresian dan pengelolaan emosi marah terkait budaya, yang dalam penelitian ini difokuskan dalam budaya Jawa. 2. Manfaat Praktis Manfaat diantaranya,
praktis
yang
memberikan
ingin
dicapai
pengetahuan
dalam
bagi
penelitian
pembaca
ini
tentang
bagaimana cara mengekspresikan emosi yang tepat khususnya marah dan strategi-strategi pengelolaan marah. Memberikan pengetahuan pula akan dampak tertentu yang ditimbulkan terkait pengekspresian emosi marah dan pengeloaan marah tertentu.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian lain terkait dengan emosi pada suku Jawa sebelumnya
telah
dilakukan,
namun
memiliki
beberapa
perbedaan
9
khususnya pada fokus penelitian. Penelitian tersebut diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Hasanat (2010), Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat pengumpul data Skala Ekspresi Emosi, adaptasi dari Display Role Assessment Inventory (DRAI) untuk mengukur tingkat ekspresi emosi. Subjek penelitian dipilih dengan metode
purposive
sampling
sejumlah
142
orang.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam pengekspresian emosi pada tiga tingkatan usia. Disimpulkan bahwa
tiga tingkat generasi subjek
sama-sama mengekspresikan emosi secara sadar mengikuti etika Jawa. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian lain dengan metode kualitatif yang dianggap mampu mengungkap bentuk-bentuk perilaku
pada wilayah
unconsciousness dalam mengekspresikan emosi. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Minauli, Desriani, dan Tuapattinaya (2006) yang mengeksplorasi perbedaan pengeloaan marah pada 3 suku yang berbeda di Indonesia, yakni suku Jawa, Batak dan Minangkabau. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketiga suku dalam menghadapi konflik dalam keluarga. Penemuan menarik dari penelitian ini adalah bahwa laki-laki lebih memilih jalan damai atau mengalah saat ada konflik dengan saudara dalam keluarga. Penelitian Subandi (2011) mengenai ekspresi emosi anggota keluarga suku Jawa bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekspresi emosi terhadap perkembangan penyakit psikotik salah satu anggota keluarga. Penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi ini memberikan pandangan terkait ekspresi emosi dalam keluarga
10
Jawa diantaranya: 1) peran interprestasi penderita psikotik terhadap emosi yang diekspresikan oleh keluarganya, 2) koeksistensi antara kritisme dan kehangatan dalam keluarga, 3) interprestasi penderita atas pelanggaran batas (boundary transgression), dan 4) konsep kultural Jawa tentang kehangatan dan perhatian positif atau “ngemong”. Isu-isu tersebut unik secara kultural karena memberikan wawasan baru untuk memahami ekspresi emosi keluarga Jawa yang kompleks. Penelitian terkait pengelolaan marah (anger management) di Indonesia telah dilakukan oleh Siddiqah (2010) dan Al Baqi (2013). Keduanya menggunakan metode eksperimen guna mengetahui pengaruh suatu metode terapi terhadap kemampuan kontrol marah remaja. Sehingga tujuan utama penelitian keduanya bukanlah untuk mengetahui metode pengelolaan marah namun untuk membantu para individu yang mengalami kesulitan mengendalikan marah agar tidak muncul sebagai perilaku agresi yang dapat merugikan diri dan orang lain. Emosi merupakan suatu yang menarik untuk diteliti, meskipun tidak semudah meneliti aspek psikologi lain seperti kognisi dikarenakan banyaknya aspek yang mempengaruhi emosi. Penelitian terkait emosi khususnya marah telah menarik perhatian banyak pihak di luar Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan guna mengembangkan alat ukur emosi marah yang dilakukan Stith dan Hamby (2002) guna mengembangkan Anger Management Scale (AMS) serta Martin dan Vieanux (2013) guna mengembangkan Angry Cognitions Scale (ACS).
11
Penelitian lintas budaya telah dilakukan oleh beberapa peneliti di beberapa masyarakat. Namun kebanyakan dari mereka lebih bertujuan mengetahui dinamika emosi marah dan ekspresi emosi marah yang merugikan, seperti emosi marah masyarakat Sri Lanka yang berujung bunuh diri (Widger, 2012) dan agresi yang dilakukan narapidana India karena ketidakpahaman mereka akan emosi marah (Raval dkk, 2012). Terdapat penelitian yang mencoba membandingkan pengalaman emosi dan ekspresinya pada masyarakat barat dan timur (Bear dkk, 2009). Selain pembandingan dalam ranah budaya, terdapat pula penelitian yang membandingkan pengalaman emosi dari segi perbedaan gender, meskipun kebanyakan menemukan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan (Buntaine & Costenbader, 1997; Kinney, Smith & Donzella, 2001; Kocur & Deffenbacher, 2014). Terdapat pula penelitian yang dilakukan guna mengetahui dampak kemarahan terhadap keluhan fisik seperti migraine atau sakit kepala dan sakit perut (Milers dkk, 2007; Tarantino dkk, 2013). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya diantaranya adalah fokus dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni terkait emosi marah dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian-penelitian sebelumnya khususnya yang bertujuan mengungkap aspek emosi di Indonesia lebih banyak menggunakan metode kualitatif sehingga hasilnya belum mendalam. Penelitian ini diharapkan bahwa gambaran terkait pengalaman emosi marah khususnya pada orang Jawa akan lebih jelas dan mendalam.