1 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ANEMIA

Download adalah 24,8%. Angka prevalensi anemia ibu hamil di Asia adalah 41,6%, .... defisiensi besi dengan pengganggu anemia megaloblastik karena ti...

1 downloads 513 Views 226KB Size
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia

mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,

berkaitan dengan 24,8% populasi dunia. Defisiensi besi adalah penyebab yang paling umum. Defisiensi besi merupakan permasalahan utama di negara sedang berkembang tetapi juga mempengaruhi negara-negara industri yang sudah maju. Kelompok populasi yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita anemia adalah ibu hamil dan anak usia pra sekolah (WHO, 2008; Pavord et al., 2012). Anemia dalam kehamilan adalah permasalahan kesehatan masyarakat yang paling umum dan luas, prevalensi global menurut data WHO tahun 1993-2005 adalah 24,8%. Angka prevalensi anemia ibu hamil di Asia adalah 41,6%, sedangkan prevalensi di Asia Tenggara mencapai 48,2%. Anemia dalam kehamilan secara umum diterima sebagai hasil defisiensi nutrisional. Diperkirakan 75% dari anemia dikarenakan defisiensi besi diikuti defisiensi folat dan vitamin B12 (Noronha et al., 2010).  Wanita hamil adalah populasi yang paling rentan

untuk

berkembangnya anemia defisiensi besi.

Meskipun intervensi kesehatan dalam skala besar , kejadian anemia defisiensi besi terus meningkat di negara berkembang (Bilimale et al., 2010). Wanita usia produktif dan wanita hamil di beberapa negara maju juga memiliki resiko untuk anemia. Data representatif

dari AS mengindikasikan

bahwa 5% dari wanita tidak hamil menderita anemia, prevalensi ini meningkat menjadi 17% pada wanita hamil, dan prevalensi menjadi 33% diantara kelompok wanita hamil dengan sosio ekonomi rendah (Bodnar et al., 2001; Kim et al., 1992).

1  

2

Di Vietnam, diantara 901 wanita (tidak hamil, hamil dan post partum), lebih dari separo menderita anemia (rerata nilai Hb: 111 g/dl) (Trinh et al., 2007). Penelitian observasional cross-sectional yang dilakukan Hanif et al. (2007) di Malaysia melaporkan prevalensi keseluruhan menjadi 35% (Dibley et al., 2011). WHO memperkirakan bahwa 43% dari semua wanita tidak hamil usia 15-59 tahun yang tinggal di negara berkembang menderita anemia, selama kehamilan prevalensi meningkat hingga 56%. Sebanyak 41% dari wanita tersebut tinggal di Asia Tenggara (UNACCSN, 2000). Gejala klinis dan tanda-tanda anemia defisiensi besi dalam kehamilan biasanya tidak spesifik, kecuali untuk anemia yang parah. Kelelahan adalah gejala yang paling umum. Defisiensi besi dapat terjadi bahkan tanpa anemia (Pavord et al., 2012). Indikasi awal untuk diagnosis anemia pada kehamilan ditemukan pada riwayat medis pasien dan check-up prenatal, yang harus mencakup tes laboratorium khusus (Breymann, 2000). Anemia dalam kehamilan, paling umum disebabkan karena defisiensi besi, memiliki konsekuensi terhadap ibu, janin dan bayi (McMullin et al., 2003). Status besi dan anemia merupakan determinan penting dari kesehatan maternal dan bayi. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa defisiensi besi adalah masalah kesehatan mayor untuk wanita, sebelum, selama dan setelah kehamilan dan secara langsung berhubungan dengan outcome kehamilan yang negatif (Berger et al., 2011). Anemia defisiensi besi ringan selama periode awal kehamilan dapat meningkatkan kecenderungan persalinan kurang bulan, berat lahir rendah dan kematian perinatal (Shaw dan Friedman, 2011).

3

Anemia defisiensi besi pada ibu hamil dihubungkan dengan outcome kelahiran yang buruk seperti persalinan kurang bulan, berat lahir rendah, pembatasan pertumbuhan intra uterine dan kematian perinatal. Sebuah studi yg dilaksanakan di Shanghai Cina dan studi observasional yang besar di AS, menunjukkan bahwa wanita dengan anemia memiliki resiko lebih tinggi terhadap persalinan kurang bulan dan berat bayi lahir rendah. Anemia defisiensi besi juga menyebabkan efek jangka panjang pada janin dan anak, termasuk peningkatan resiko anak untuk anemia (Turner et al., 2012). Bayi-bayi dengan ibu anemia selama trimester pertama mereka dalam rahim, berdasar pengalaman memiliki rasio morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dalam kehidupan dewasa dibanding bayi yang ibunya tidak anemia waktu hamil (Noronha et al., 2012). Terdapat cukup bukti kehamilan,

terutama

pada

trimester

ke

bahwa defisiensi besi dalam

tiga,

mungkin

mempengaruhi

perkembangan otak anak untuk jangka waktu pendek dan panjang (Thomas et al., 2009). Pada kehamilan, perubahan fisiologis yang kompleks yang terjadi secara progresif selama kehamilan membuatnya sulit untuk membedakan anemia dari adaptasi fisiologis, terutama ketika tes tunggal dilakukan pada tahap tertentu dari kehamilan (McMahon, 2010). Sebuah rangkaian tes dapat dipergunakan untuk mengevaluasi anemia, namun tidak ada test tunggal ‘terbaik’ untuk mendiagnosa defisiensi besi dengan atau tanpa anemia (Wu et al., 2002). Baku emas untuk mengidentifikasi defisiensi besi adalah tes direk dengan biopsi sumsum tulang dengan pewarnaan prusian blue. Pemeriksaan ini memiliki

4

kemampuan terbatas untuk mendeteksi secara akurat fase yang berbeda dari perkembangan defisiensi besi. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang terlalu invasif untuk penggunaan rutin dan tidak sesuai untuk skrining status besi ibu selama kehamilan. Praktek klinis memerlukan metode yang sederhana, lugas, dan cost effective untuk menentukan diagnosis. Pemeriksaan indirek biasanya dilakukan sebagai solusi (Wu et al., 2002; Ervasti et al., 2007). Pemeriksaan indirek meliputi tes hematologi dan tes biokimiawi. Tes hematologi berbasis pada gambaran sel darah merah (hemoglobin, hematokrit, mean corpuscular volume) dan tes biokimia berdasar pada metabolisme besi (serum besi, konsentrasi serum ferritin, transferin, dan reseptor transferin).Tes hematologi umumnya lebih tersedia dan lebih murah daripada tes biokimia. Tes biokimia dapat mendeteksi kekurangan zat besi sebelum terjadinya anemia (Wu et al., 2002). Kadar hemoglobin dan parameter hematologi banyak dipergunakan dalam rutinitas klinik untuk menunjukkan defisiensi zat besi, tetapi kadar hemoglobin atau indeks eritrosit seperti mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) memiliki spesifisitas yang lebih rendah untuk mendeteksi defisiensi zat besi. Mereka mendeteksi perubahan yang signifikan biasanya hanya pada fase akhir defisiensi besi. Tes yang lebih spesifik dan sensitif bila tersedia harus dipergunakan untuk mendeteksi defisiensi besi pada tahap awal sehingga terapi dapat dimulai untuk mencegah berkembangnya anemia defisiensi besi (Breymann, 2000). Hemoglobin adalah praktis tetapi non-spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai penyebab anemia (Halvorsen, 2000).

5

Kadar serum ferritin adalah parameter yang paling berguna, mudah dan dipertimbangkan sebagai marker indirek terbaik dari cadangan besi yang tersedia untuk menilai defisiensi besi. Kadar di bawah 15 µg/L dapat menegakkan diagnosis defisiensi besi. Ferritin merupakan protein fase akut yang juga mungkin meningkat selama infeksi.  Infeksi dapat menyebabkan nilai normal palsu plasma ferritin, karena apoferritin, seperti C-reaktif protein , merupakan protein fase akut, meningkat karena adanya infeksi dan reaksi inflamasi (Halvorsen, 2000; Breymann, 2000; Pavord et al., 2012). Kehamilan dihubungkan dengan peningkatan fisiologis untuk biomarker inflamasi, terutama selama trimester pertama dan ketiga. Serum ferritin akan meningkat selama inflamasi karena berperan sebagai

reaktan fase akut dan

mungkin over estimasi untuk menilai cadangan besi tubuh (Schoorl et al., 2010). WHO (2001) menentukan kadar ferritin < 15µg/L sebagai defisiensi besi pada ibu hamil. Serum Fe dan TIBC merupakan indikator ketersediaan besi ke jaringan yang tidak dapat diandalkan karena fluktuasi luas dalam tingkatan karena konsumsi terbaru dari Fe, ritme diurnal dan faktor-faktor lain, seperti infeksi dan perubahan spesifik pada protein serum selama kehamilan (misalnya hemodilusi atau akselerasi eritropoesis). Fluktuasi nilai Fe serum juga mempengaruhi perhitungan saturasi transferin. Saturasi transferrin berfluktuasi karena variasi diurnal zat besi serum dan dipengaruhi oleh status gizi. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya sensitivitas dan spesifisitas. Secara umum, penentuan

6

besi serum dan serum transferin tidak banyak membantu dalam menilai defisiensi zat besi (Breymann, 2000; Ervasti et al., 2007; Pavord et al., 2012). Penggunaan counter sel modern memungkinkan untuk mendeteksi dini perubahan

isi Hb dan ukuran retikulosit serta kematangan sel darah merah. 

Content Hemoglobin reticulocyte (CHr) merupakan pemeriksaan laboratorium yang menilai kandungan hemoglobin di dalam retikulosit. Pengukuran langsung kadar hemoglobin rata-rata (pg) dari prekursor sel darah merah (retikulosit), maka tahap awal kekurangan zat besi dapat diidentifikasi. Saat yang bersamaan parameter biokimia tradisional lain yang tidak informatif (Thomas dan Thomas, 2002; Brugnara et al., 2006; Ervasti et al., 2009). CHr ini mencerminkan konten Hb selular, telah digunakan sebagai alat skrining untuk eritropoesis defisiensi besi pada tahap awal keseimbangan besi negatif, sebelum cadangan besi menjadi habis atau berkembang menjadi anemia defisiensi besi.   Penelitian-penelitian

sebelumnya telah menunjukkan bahwa

indeks retikulosit menyajikan penilaian yang baik dari aktifitas sumsum tulang, sehingga mencerminkan keseimbangan antara besi dan eritropoiesis selama 48 jam sebelumnya.  Ini berarti bahwa defisiensi besi dapat dideteksi pada tahap awal, ketika indikator sel darah merah masih normal tapi cadangan besi telah habis pada kondisi yang mempengaruhi hematopoesis dan menginduksi produksi dari retikulosit pada persentase tertentu dengan mengurangi konten Hb (Bakr dan Sarette, 2006; Ervasti et al., 2009). Indeks sel ini diukur dengan menggunakan teknik flowcytometry otomatis dan analisis sel demi sel. Pengukuran karakteristik seluler retikulosit

7

memungkinkan pengumpulan informasi yang sangat awal dan obyektif tentang aktifitas eritropoetik pada anemia. Mereka mencerminkan proses dinamis sumsum tulang eritroid dan

ditetapkan sebagai indikator defisiensi besi eritropoiesis

(Ervasti et al., 2007; Ervasti et al., 2009; Pavord et al., 2012). Content hemoglobin reticulocyte (CHr) telah menunjukkan indeks praktis dari status besi pada bayi, anak-anak dan remaja (Ullrich et al., 2005; Stoffman et al., 2005). Indeks ini telah digunakan dalam pemantauan terapi erythropoietin (EPO) pada pasien yang menjalani perawatan dialisis dan pada pasien dengan myeloma atau limfoma. Indeks retikulosit juga telah terbukti menjadi alat skrining yang memadai untuk defisiensi zat besi pada bayi, anak-anak, remaja, donor darah tetapi penggunaan klinis indeks ini masih jarang (Ervasti et al., 2009). Keuntungan skrining defisiensi besi dengan menggunakan CHr adalah mudah didapatkan, tidak mahal dan bebas dari variabilitas biologi yang mempengaruhi pengukuran besi, TIBC, dan ferritin. Gangguan signifikan tidak ditemukan dengan pengecualian bersamaan alpha atau beta thalassemia atau makrositosis. Hal ini memberikan keuntungan potensial lain dari penanda hematologi dibanding uji biokimia indirek, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk peradangan

(Ullrich et al., 2005; Brugnara et al., 2006). Berbeda

dengan parameter biokimia, CHr tidak memerlukan tabung darah tambahan , CHr dilaporkan sebagai bagian dari hitung retikulosit dengan alat hematology analyzer dan disajikan tanpa biaya tambahan (Karlsson, 2010). Keterbatasan utama dari penggunaan indeks ini terkait dengan terbatasnya instrumen yang dapat menampilkannya. CHr hanya tersedia pada ADVIA 2120

8

analyzer dan indeks equivalen dengan CHr yang disebut Reticulocyte Hemoglobin equivalent (Ret He) juga hanya tersedia pada XE analyzers yang diproduksi oleh Sysmex (Buttarello dan Plebani, 2008). Parameter ini memiliki keterbatasan diagnostik, karena MCV dipergunakan dalam penghitungan CHr. Akibatnya CHr sering rendah pada pasien besi replete dengan thalassemia dan hemoglobinopati yang menyebabkan anemia mikrositik. Hasilnya juga meningkat pada pasien defisiensi besi dengan pengganggu anemia megaloblastik karena tingginya MCV berhubungan dengan megaloblastosis (Mast et al., 2008). Penelitian yang telah dipublikasikan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas dari marker ini sangat bervariasi. Hasil bervariasi didapatkan dari penelitian dengan berbagai macam populasi pasien dan baku emas yang berbeda untuk mendefinisikan defisiensi besi (Mast et al., 2008). Kadar <26-28 pg dapat digunakan untuk mengetahui iron deficient erithropoesis pada wanita dewasa yang tidak hamil dan tidak menyusui (Wheeler, 2008). Content Haemoglobin

reticulocyte juga telah terbukti berguna dalam

menilai cadangan besi marjinal, tetapi studi pada wanita hamil masih sedikit (McMahon, 2010). Studi pada wanita hamil yang dilakukan oleh Ervasti et al., (2007) mendapatkan nilai cut off optimal pada 28,8 pg. Penggunaan CHr pada studi ini memberikan agreement yang baik dibanding dengan pengunaan kombinasi 3 macam tes yang menggunakan Hb, MCV dan ferritin. B. Permasalahan Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

9

1. Angka kejadian ADB pada ibu hamil di negara berkembang termasuk Indonesia masih tinggi. 2. Diagnosis defisiensi besi pada ibu hamil perlu dilakukan untuk mencegah berkembangnya ADB pada ibu hamil yang akan berpengaruh pada kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. 3. Baku emas pemeriksaan status besi berupa pengecatan hemosiderin dari sumsum tulang merupakan metode yang invasif dan tidak sesuai diterapkan untuk pemeriksaan defisiensi besi pada ibu hamil. 4. Beberapa parameter untuk pemeriksaan defisiensi besi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti variasi diurnal, faktor infeksi dan terkendala oleh terbatasnya sarana, sensitivitas dan spesifisitas. 5. CHr sebagai parameter yang menjanjikan untuk pemeriksaan defisiensi besi, perannya dalam skrining defisiensi besi pada ibu hamil belum jelas dan sepengetahuan penulis belum pernah diteliti di Indonesia sehingga penampilan diagnostik untuk skrining defisiensi besi pada ibu hamil belum diketahui. C. Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah penampilan diagnostik CHr untuk skrining defisiensi besi pada ibu hamil ? D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kegunaan klinis CHr. Penelitian Mast et al. (2002) menguji kemampuan CHr untuk memprediksi cadangan besi sumsum tulang dibandingkan dengan parameter lain seperti ferritin,

10

prosentase saturasi transferin, dan MCV. Subyek penelitian adalah 78 pasien dewasa yang menjalani uji sumsum tulang, dengan kontrol

34 mahasiswa

kedokteran yang tidak menderita anemia. Rerata CHr pada kelompok kontrol 30,8 ±0,90 pg dengan rentang 28,8 – 32,9 pg. Rerata CHr pada defisiensi besi adalah 28,3 ± 5,2 pg dengan rentang 21,0 – 38,6 pg. Pada optimal cut off 28,0 pg didapatkan sensitivitas 73,9 % , spesifisitas 73,3 % dan area under curve (AUC) 0,735 ± 0,14, merupakan AUC terbaik dibanding parameter lain pada populasi ini. Baku emas pada penelitian ini menggunakan aspirasi sumsum tulang dengan pengecatan besi sebagai kriteria diagnostik untuk defisiensi besi. Penelitian Ceylan et al. (2006) meneliti kegunaan klinis CHr pada populasi dewasa dengan anemia defisiensi besi. Pada kelompok kontrol didapatkan rerata CHr 28,2 ± 1,7 dengan rentang 24,8 – 31,0 pg, sedangkan anemia defisiensi besi ringan 24,0 pg dengan rentang 20,2 – 29,9 pg. Dengan menggunakan cut off 28 pg didapatkan sensitivitas 97,6%, spesifisitas 50%, PPV 70,2% dan NPV 94,4%. Sedangkan optimal cut off CHr adalah pada 25,7 pg dengan sensitivitas 85,4%, spesifisitas 97,1%, PPV 97,2 %, NPV 84,6% dan AUC 0,941 ± 0,03. Baku emas pada penelitian ini menggunakan kombinasi saturasi transferin < 15% dan ferritin ( < 15 µg/dl pada wanita dan < 30 µg/dl pada pria). Thomas dan Thomas (2002) menggunakan CHr dan proporsi hipokromik red cell (HYPO) sebagai baku emas pada penelitian yang melibatkan 596 pasien. Dari kelompok kontrol yang terdiri responden non anemia didapatkan 2,5 percentil untuk CHr adalah 28 pg. Penelitian ini mengevaluasi efikasi klinis dari dari marker-marker standar biokimia untuk defisiensi besi pada pasien anemia

11

untuk menentukan marker terbaik untuk menentukan defisiensi besi. CHr memungkinkan untuk mengidentifikasi defisiensi besi lebih kuat dibanding marker biokimia lain tanpa dipengaruhi respon fase akut. Penelitian CHr pada wanita hamil dilakukan oleh Ervasti et al. (2007). Penelitian ini menguji apakah indeks sel akan memberikan pengukuran yang lebih reliabel untuk defisiensi besi pada wanita hamil aterm. Populasi penelitian adalah 202 wanita hamil, dengan menggunakan saturasi transferin ≤ 11% sebagai referens test untuk defisiensi besi. Nilai optimal cut off 28,8 pg didapatkan sensitivitas 80,7%, spesifisitas 71,3% dan nilai AUC 0,79. Hasil yang didapatkan pada penggunaan CHr memberi agreement yang baik dengan hasil yang berdasarkan pada penggunaan kombinasi dari 3 macam tes yang umum digunakan yaitu Hb, MCV dan ferritin. Dan et al. (2007), menggunakan populasi penelitian pada 172 wanita Cina, usia 18-45 tahun yang tidak hamil. Penelitian ini membandingkan efisiensi diagnostik dari CHr dengan marker-marker sebelumnya dalam mendiagnosis defisiensi besi pada wanita pre menopause. Defisiensi besi non anemia bila ferritin ≤ 14 µg/L dan Hb ≥ 110 g/L; anemia defisiensi besi bila ferritin ≤ 14 µg/L dan Hb < 110 g/L. Pada anemia defisiensi besi didapatkan nilai ROC untuk CHr, RDW, Saturasi transferin, Hb, MCV, Hct, SI, TIBC berturut turut adalah 0,928; 0,915; 0,915; 0,9; 0,886; 0,87; 0,868; 0,434. Nilai ROC pada anemia tanpa defisiensi besi berturut-turut adalah 0,892; 0,865; 0,856; 0,827; 0,817; 0,776; 0,798; 0,441. Penelitian ini menunjukkan bahwa CHr adalah prediktor terbaik

12

untuk defisiensi besi, terutama defisiensi besi tanpa anemia ketika dibandingkan dengan marker pemeriksaan yang lain pada wanita premenopause. Penelitian tentang CHr pada pasien yang menjalani hemodialisa dilakukan oleh beberapa peneliti. Kim et al. (2006), dengan subyek penelitian pasien defisiensi besi pada pasien yang menjalani hemodialisa. Sebanyak 140 pasien hemodialisa diseleksi, didapatkan 53 pasien dengan defisiensi besi. Sebagai baku emas digunakan ferritin < 100 µg/L dan atau saturasi transferin < 20%. Berturutturut didapatkan sensitivitas dan spesifisitas ferritin sebesar 45% ; 98% dan untuk saturasi transferin 75%; 98%. Nilai cut off CHr untuk mendeteksi defisiensi besi adalah 32,4 pg , pada nilai ini didapatkan sensitivitas 96% dan spesifisitas 84%. Butarello et al. (2010), memferifikasi kegunaan klinis dari parameter biokomia dan seluler sebagai prediktor defisiensi besi pada pasien yang menjalani hemodialisa untuk waktu yang lama. Dilakukan uji terhadap 69 pasien yang menjalani hemodialisa 3x/minggu. CHr memiliki kemampuan yang lebih baik dengan nilai AUC 0,74 pada cut off 31,2 pg (sensitivitas 47%, spesifisitas 83%) dibanding parameter lain seperti Hypo %, ferritin dan saturasi transferin dengan AUC berturut-turut 0,72;

0,53 dan 0,56. Parameter retikulosit merupakan

prediktor terbaik diikuti oleh hipokromik RBCs, sementara indeks biokimia dari metabolisme besi yaitu saturasi transferin dan serum ferritin kurang berguna. Penelitian tentang CHr pada anak dilakukan oleh beberapa peneliti. Ulrich et al. (2005), mengevaluasi CHr untuk mendeteksi defisiensi besi tanpa anemia pada bayi usia 9 – 12 bulan. Baku emas pada penelitian ini menggunakan saturasi

13

transferin < 10%. Didapatkan optimal cut off pada nilai CHr 27,5 pg dengan sensitivitas 83% dan spesifisitas 72%, PPV 28% dan NPV 97%. Kiudeliene et al. (2008), menggunakan populasi penelitian pada anak usia 6-24 bulan untuk mengevaluasi nilai prognostik CHr dalam mendiagnosa defisiensi besi. Diagnosis defisiensi besi ditegakkan ketika minimal 2 dari 4 parameter ( ferritin, transferin, saturasi transferin dan soluble transferin receptor ) merefleksikan defisiensi besi. Berdasar pada kurva ROC, cut off CHr kurang dari 28,55 pg memiliki nilai optimal untuk sensitivitas dan spesifisitas (76,6% dan 78,4% ) dengan AUC sebesar 0,819. Nilai CHr kurang dari 28,55 pg menjanjikan sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi defisiensi besi pada anak usia 6-24 bulan. Tabel 1. Keaslian penelitian : Peneliti (th)

Populasi

Pembanding

Mast et 112 pasien al. (2002) dewasa

Aspirasi ssm tlg

Ceylan et 171 pasien al. (2006) dewasa

Ferritin dan saturasi transferin

Dan et al. ( 2007)

Hb dan ferritin

172 wanita usia 18-45 th

Ervasti et 202 wanita al. (2007) hamil aterm

Saturasi transferin

Kim et 140 pasien al.( 2006) CKD dgn HD Butarelo 69 pasien et al. CKD dgn (2010) HD 3x/mgg Ulrich et 202 anak al. (2005) umur 9-12 bln

Ferritin dan atau saturasi transferin

Hasil - Cut off 28,0 pg; Sn: 73,9%; Sp: 73,3%. - AUC terbaik dibanding parameter lain - Cut off 24,7 pg; Sn: 85,4%; Sp: 97,1 AUC untuk CHr: 0,892, paling baik dibanding marker lain pd wanita pre menopause ( RDW, Sat transferin, Hb, MCV, Hct, SI, TIBC) - Cut off optimal: 28,8 pg; Sn: 80,7%; Sp: 71,3% - Agreement yang baik dibanding kombinasi tes : Hb, MCV, ferritin Cut off: 32,4 pg; Sn: 96%; Sp: 84% - Cut off 31,2 pg; Sn: 47%; Sp: 83% - AUC utk CHr, Hypo%, ferritin, sat transferin : 0,74; 0,72; 0,53; 0,56

Saturasi transferin

Cut off: 27,5 pg; Sn: 83%; Sp: 72%

14

Lanjutan Tabel 1. Keaslian penelitian : Peneliti (th) Kuideline et al. (2008)

Populasi

Pembanding

Hasil

180 anak umur 6-24 bln

2 dari 4 parameter (ferritin, transferin, saturasi transferin, sTfR)

- Cut off: 28,5 pg: Sn: 76,6; Sp: 78,4; - AUC: 0,819

E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penampilan diagnostik CHr untuk skrining defisiensi besi pada ibu hamil. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai peran CHr dalam skrining defisiensi besi pada ibu hamil. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pemeriksaan defisiensi besi pada ibu hamil sehingga perkembangan menjadi ADB pada ibu hamil dapat dicegah. Perbaikan dalam tatalaksana klinis dapat mencegah dampak buruk ADB pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi sumber informasi bagi pengambil kebijakan kesehatan dalam menentukan strategi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan ibu yang melahirkan.