1 BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MANUSIA

Download PENGANTAR. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (Whiten, 2000; Puspito, Elwina, Utari, & .... dalam jurnal yang berjudul “Fair ...

0 downloads 436 Views 328KB Size
BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial (Whiten, 2000; Puspito, Elwina, Utari, & Kurniadi, 2011) sekaligus makhluk ekonomi (homo economicus) yang bertindak secara rasional berdasarkan kepentingan pribadinya (Berg, Dickhaut, & McCabe, 1995). Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa manusia dalam hidupnya akan selalu dihadapkan pada dinamika internal dan dialektika sosial. Pada konteks korupsi, Chomsky, Mitchell, & Schoeffel (2002) berpendapat bahwa manusia pada dasarnya

korup,

namun

faktor

lingkungan

sosial

yang

menguatkan

atau

melemahkan potensi tersebut (Dong, Dulleck, & Torgler, 2008; Chappell & Piquere, 2004; Darley, 2005). Korupsi ada di setiap zaman. Korupsi lahir sejak awal kehidupan manusia yakni

pada

tahapan

ketika

manusia

saling

berinteraksi

dan

organisasi

kemasyarakatan yang rumit mulai muncul (Alatas, 1987). Sejarah manusia mencatat di mana ada kekuasaan di sana peluang korupsi terhampar karena korupsi tidak pernah bisa dilepaskan dari interaksi kekuasaan (Thoyyibah, 2011). Sebuah diktum populer dari Lord Acton (1834-1902) menegaskan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan yang mutlak cenderung korup dan mudah diselewengkan. Indonesia memiliki rekam jejak sejarah korupsi yang tidak sederhana. Konstelasi politik Nusantara dipenuhi dinamika perilaku elit yang beraneka ragam 1

2

dan telah dimulai sejak masa penjajahan. Kebangkrutan VOC (Verenigde Oost Indische Compagne) pada tahun 1799 disebabkan oleh kasus korupsi yang kronis dan menjalar sampai lini paling bawah. Penyebab utama korupsi VOC adalah karena gaji yang diterima para pegawainya sangat kecil. Saat itu, gaji pegawai rendahan VOC hanya berkisar 16 gulden hingga 24 gulden perbulan, sementara gaji gubernur jenderal bisa mencapai 600 hingga 700 gulden perbulan. Ketimpangan serta kecilnya nominal gaji tersebut tidak sesuai dengan tingginya biaya hidup di Batavia sehingga memaksa pegawai rendahan untuk melakukan penyimpangan keuangan (Rukmana, 2009; Wijayanto, 2009). Tabel 1. Corruption Perception Index Indonesia tahun 2001-2013 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

CPI 1,9 1,9 1,9 2,0 2,2 2,4 2,3 2,6 2,8 2,8 3,0 3,2 3,2

Ranking 88 96 122 133 137 130 143 126 111 110 100 118 114

Sumber: Transparacy International (dalam Diansyah, Yuntho, & Fariz, 2011)

Corruption Perception Indeks (CPI) tahun 2001-2013 yang dirilis oleh Transparacy International dapat dijadikan salah satu indikator dalam membaca kondisi korupsi di Indonesia. Meskipun sejak tahun 2004 angka CPI Indonesia relatif naik secara bertahap, namun masih termasuk kategori negara-negara yang

3

dipersepsikan paling korup dengan ranking 50 besar terbawah (Diansyah dkk, 2011). Media mencatat banyak kasus korupsi terjadi di Indonesia. Pejabat kementerian agama terlibat dalam kasus korupsi pengadaan kitab suci Al-Qur’an serta penyelewengan penyelenggaraan haji (Firdaus, 2013; Trianita, 2014). Partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tersandera kasus korupsi pengadaan daging impor yang melibatkan salah satu nama petinggi partai (Firmansyah & Wijaya, 2013). Lembaga penegak hukum seperti kepolisian pun tidak lepas dari kasus korupsi; yaitu korupsi pengadaan simulator SIM yang menyeret nama seorang jendral besar di lembaga kepolisian (Nawangwulan, 2013; Movanita, 2014). Korupsi kepolisian tidak hanya terjadi di Indonesia, setidaknya negara-negara berkembang menghadapi tantangan yang sama (William, 2002). India misalnya, penyuapan untuk memudahkan proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah bentuk korupsi di lembaga kepolisian yang paling banyak ditemukan (Bertrand, Djankov, Hanna, & Mullainatan, 2007). Fakta tersebut sejalan dengan temuan Transparacy International (Hardoon & Heinrich, 2013) dalam survey Global Corruption Barometer yang menyatakan bahwa dari 8 institusi publik, lembaga kepolisian dan peradilan merupakan lembaga yang dinilai paling korup. Selain itu, 31% masyarakat yang dalam 12 bulan terakhir berurusan dengan aparat kepolisian mengaku telah melakukan penyuapan untuk melancarkan urusan mereka. Sedangkan di lembaga peradilan 24% masyarakat mengaku pernah menyuap petugas. Hal ini sangat ironis mengingat aparat yang semestinya bertugas menegakkan hukum dan melayani masyarakat malah

4

melanggar hukum. Adapun masyarakat Indonesia mempersepsikan lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan kurang memiliki integritas dalam upaya pemberantasan korupsi terkait dengan kasus korupsi di dalam tubuh lembaganya, kurangnya independensi dari politik, pengusaha dan independensi dari korupsi (Lembaga Survei Indonesia, dalam Diansyah dkk, 2011). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rentang waktu satu tahun (20122013) telah mampu mengungkap kasus korupsi sektor hukum di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung; korupsi di kepolisian, korupsi di kejaksaan, korupsi di sektor politik, serta korupsi di sektor bisnis. Korupsi di kepolisian bahkan melibatkan pejabat-pejabat elit lembaga tersebut. Beberapa kasus diantaranya seperti mengganti pasal suatu kasus, membuka pemblokiran rekening tahanan tipikor, menerima suap dari perusahaan besar, menggelapkan dana pengamanan Pilkada, korupsi pengadaan simulator ujian SIM, dll (Azhar, 2012). Terkuaknya kasus-kasus tersebut menguatkan data bahwa lembaga publik sangat rentan dengan tindak korupsi. Wijayanto (2009) menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi jika tiga hal terpenuhi, yaitu: (1) seseorang memiliki kekuasaan diskretif termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) terdapat economic rents atau manfaat ekonomi akibat kebijakan yang dibuat, (3) sistem yang ada memberikan peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan (Wijayanto, 2009; Perdana, 2009). Para pelaku korupsi terbukti memiliki tiga aspek tersebut; hanya saja ada

5

yang bermotif desakan ekonomi (corruption by need) atau karena keserakahan (corruption by greed). Strausz-Hupe (dalam Budiardjo, 1986) merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain. Atau secara khusus diartikan sebagai kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan hingga patuh, mencampuri kebebasannya, dan memaksakan

tindakan-tindakan

dengan

cara-cara

tertentu

(Windhu,

1992;

Newstrom, 2007). Johan Galtung (Windhu, 1992) melihat kekuasaan sebagai suatu energi yang muncul dalam sebuah relasi yang tidak seimbang. Oleh karenanya, Johan Galtung membagi dimensi kekuasaan menjadi dua dimensi; kekuasaan atas diri sendiri dan kekuasaan atas orang lain (power over others). Kekuasaan juga memberikan peluang bagi yang berkuasa untuk memilih berbuat ‘baik’ atau berbuat ‘buruk’. Ilmu-ilmu sosial memandang kejahatan struktural sebagai akibat langsung dari politik kekuasaan (Siswanto, 2008). Kajian psikologi menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berkuasa. Bahkan Nietzche (Sunardi, 1996) berpendapat bahwa hasrat atau kehendak untuk berkuasa ini menandakan titik sempurna seorang individu. Kepribadian dengan ciri menguasai dan mengunggulkan kelompok sendiri oleh Adorno (Fauzie & Machrus, 2003) disebut dengan kepribadian otoritarian (Authoritarian Personality). Authoritarian Personality atau kepribadian otoritarian lebih sering dikaji dalam diskursus politik. Manusia dengan kepribadian otoritarian cenderung ingin menguasai secara mutlak tanpa adanya proses dialogis; ia memandang orang lain dengan kacamata hierarkial (lebih

6

rendah atau lebih tinggi dari dirinya), serta kaku dalam pergaulan. Kekuasaan yang mutlak ini jika tidak digunakan dengan bijaksana dapat berakibat menyimpang. Pribadi otoritarian memiliki ciri konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta pada sistem nilai tradisional, tidak mempertanyakan kepatuhan pada otoritas, serta penuh dengan prasangka sosial (Altemeyer, 1996). Sebagaimana disebutkan di muka, korupsi bisa muncul dari sebuah kekuasaan yang diskertif dan mungkin dilakukan oleh individu yang otoriter. Wewenang yang tidak terbatas membuka peluang untuk disalahgunakan oleh para pemegang kekuasaan yang serakah atau anak buah yang berprinsip ABS (Asal Bapak Senang). Corruption by greed terjadi lantaran adanya kesempatan untuk mengambil keuntungan pribadi bukan karena kebutuhan, tapi karena adanya kekuasaan berbuat apa saja bahkan perbuatan yang melanggar hukum. Pada konteks corruption by need, faktor gaji yang tidak fair dapat menjadi pemicu tindakan korup (Veldhuizen, 2012; Abbink, 2002). Jeans-francois Arvis dan Ronald E. Berengeim (dalam Siswanto, 2008) menempatkan rendahnya gaji (37%) sebagai faktor utama penyebab tingginya tingkat korupsi. Swedia yang saat ini menjadi negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia, dahulu pada abad ke18 merupakan negara terkorup se-Eropa. Perubahan besar terjadi setelah kebijakan menaikkan gaji pegawai dilakukan seiringan dengan deregulasi sektor kepegawaian sehingga muncul pegawai pemerintahan yang jujur dan kompeten (Lindbeck dalam Wijayanto, 2009). Cerita kebangkrutan VOC di Indonesia juga menegaskan bahwa gaji yang rendah bisa memicu terjadinya penyelewengan.

7

Veldhuizen (2012) telah meneliti kaitan antara gaji pegawai negeri dengan kemungkinan mereka berbuat korup. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan nominal gaji pada pegawai negeri berpengaruh pada tingkat koruptabilitas mereka. Pegawai negeri dengan gaji rendah kemungkinan 91% menerima suap, sedangkan pegawai negeri dengan gaji tinggi menerima 38% suap. Frank dan Schulze (2000), dalam studi eksperimennya menyimpulkan bahwa tingkat gaji yang diterima oleh seseorang berpengaruh pada keputusannya untuk berbuat korup atau tidak. Pendapat serupa juga telah disampaikan oleh Tanzi (1998), bahwa secara intuitif gaji yang tinggi bisa menurunkan angka korupsi dikalangan pegawai. Kesimpulan tersebut secara riil telah diterapkan oleh pemerintah Singapura, mereka percaya bahwa sistem birokrasi yang efisien akan terwujud ketika para pegawainya digaji secara fair sehingga peluang munculnya korupsi atau penyuapan semakin berkurang (Rahman dalam Rijckeghem & Weder, 1997). Hasil penelitian di atas sedikit berbeda dengan hasil eksperimen Abbink (2002) dalam jurnal yang berjudul “Fair salaries and the moral costs of corruption”. Kenaikan gaji pegawai negeri tidak secara otomatis mengurangi kemungkinan mereka untuk berbuat korup karena pertimbangan utamanya lebih pada ada tidaknya respon reciprocity antara penyuap dan pegawai negeri yang menerima suap tersebut (Abbink, 2002). Di samping itu, ada proses membandingkan tingkat gaji yang diterima pegawai negeri dengan pihak lain yang memiliki profesi dan beban kerja sama. Hal senada disampaikan oleh Rieffel dan Dharmasaputra (dalam Wijayanto & Zachrie, 2009) bahwa tingkat kesejahteraan pegawai negeri di Indonesia sudah tinggi jika dibandingkan dengan gaji pegawai di sektor-sektor

8

tertentu yang dipegang oleh swasta. Namun hal tersebut tidak menjadikan praktek korupsi hilang di Indonesia. Selain aspek kekuasaan dan tingkat gaji, aspek lingkungan juga menjadi penting dalam studi korupsi. Seseorang belajar korupsi melalui penguatan dari lingkungan terdekatnya (Aultman dalam Chappell & Piquere, 2004). Merujuk pada pemikiran Conser (Chappell & Piquere, 2004), subkultur merupakan kelompok referensi yang paling kuat yang memiliki kemampuan untuk mendorong seseorang berbuat korup. Conser menambahkan bahwa korupsi muncul melalui proses interaksi dalam kelompok atau lingkungan yang sama kemudian mempelajari respon dari orang lain dan menirunya. Adrianus Meliala (1994) dalam tesisnya yang berjudul “Faktor-faktor Penilaian Perilaku Korupsi”, menyimpulkan bahwa penyebab perilaku menyimpang dapat dijelaskan dalam konteks perilaku kelompok (group behavior). Seseorang atau kelompok orang dapat mengabaikan norma sosial maupun aturan yang berlaku, lantaran: adanya kesempatan (opportunity), lemahnya kontrol kelompok (group control), akibat adanya ketidakpaduan antara kata dan perbuatan (inconsistency), serta terdapat persaingan ketat dalam mengejar kepuasan materi (material-led competition). Selain itu, hal terpenting dalam proses kelompok adalah loyalitas dan komitmen anggota terhadap organisasi. Teori identitas sosial menjelaskan bahwa seorang individu akan mengalami perubahan pribadi ketika berada di dalam sebuah organisasi, selanjutnya ia akan mengidentikkan dirinya dengan kelompoknya (Hidayat, 2010). Asosiasi dan pembentukan definisi yang tercipta merupakan efek

9

dari intensitas interaksi yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Namun di sisi lain, kohesivitas kelompok yang terlampau kuat dapat menjadi predisposisi terjadinya praktek korupsi. Hal tersebut terjadi ketika seorang anggota kelompok yang sebenarnya tidak ingin melakukan perbuatan menyimpang, tapi ia berusaha menyesuaikan diri (conformity) agar terhindar dari tekanan kelompok atau group pressure (Aronson dalam Meliala, 1994). Lebih lanjut

Darley (2005)

mengemukakan istilah entrainment untuk

menjelaskan fenomena korupsi dalam tubuh organisasi. Istilah tersebut mengacu pada suatu keyakinan bahwa seseorang pada dasarnya beretika, namun hanya bersifat temporal saja. Apakah selanjutnya ia akan berbuat etis atau tidak tergantung pada peristiwa yang terjadi di masa lalu dan sekarang yang menjadi alasan untuk bertindak (reinforcement). Jika sebuah tindakan menyimpang dibiarkan atau diabaikan, tidak dikritik ataupun diberi hukuman, maka perbuatan tersebut lamalama dianggap sebagai standar perilaku yang benar. Pembenaran tersebut terjadi secara kolektif. Meskipun seluruh anggota organisasi mengetahui sebuah kejahatan, namun karena takut posisinya terancam, maka seluruhnya ‘diam’. Fenomena ‘diam’ ini disebut ‘pluralistic ignorance’ (Miller dalam Darley, 2005). Pluralistic ignorance merujuk pada terjadinya kesalahan persepsi atas apa yang dipikirkan orang lain dalam sebuah situasi sosial (Hidayat, 2010). Mendiamkan dilakukan karena menganggap orang lain juga berfikir tindakan menyimpang adalah perbuatan yang benar. Dalam jangka panjang, pembiaran akan berakibat pada pembenaran atas tindakan-tindakan serupa. Hal ini senada dengan pendapat Siswanto (2008) bahwa korupsi pada hakekatnya adalah kejahatan struktural, maka

10

tidak bisa diminta pertanggungjawabannya hanya dari individu saja melainkan secara sosial. Jadi pembiaran bukan kesalahan individu per-individu, namun mengacu pada tindakan sosial kolektif dalam struktur-struktur sosial. Di sisi lain, sistem yang mendukung terjadinya suatu perilaku negatif dapat bermuara dari bagaimana organisasi tersebut berjalan dan dijalankan. Setiap organisasi memiliki aturan, karakteristik, serta budayanya sendiri. Budaya organisasi (organizational culture) dibangun berdasarkan interaksi antar anggota organisasi. Budaya organisasi secara konsisten menjadi frame berperilaku para anggotanya sehingga dari sana identitas kelompok terbentuk. Jika budaya organisasi buruk, maka anggotanya pun secara perlahan akan menjadi buruk. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada organisasi profit (perusahaan) namun juga organisasi non-profit (LSM, lembaga pemerintahan dan lembaga kepolisian). Sebagai lembaga penegak hukum, instansi kepolisian tidak lepas dari praktekpraktek menyimpang yang dilakukan oleh oknum tertentu. Penyimpangan tersebut dapat berupa praktek korupsi dari mulai pungutan liar di jalan raya (polisi lalu lintas) hingga gratifikasi atas proyek pengadaan simulator SIM yang dilakukan oleh petinggi kepolisian. Sayed dan Bruce (dalam Loree, 2006) mendefinisikan korupsi polisi sebagai segala bentuk penyimpangan baik berupa penyalahgunaan wewenang jabatannya untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun lembaga itu sendiri. Beberapa bentuk korupsi di kalangan polisi bisa berupa menerima pembayaran tilang di jalan raya (suap), menggunakan pangkat atau jabatannya untuk membebaskan suatu perkara kriminal, mempercepat pembuatan SIM dengan menerima pembayaran illegal serta membantu kerabat/keluarga agar dapat bekerja

11

sebagai polisi (nepotisme). Adapun penelitian Williams (2002) mengenai faktor utama penyebab korupsi di beberapa negara, ditemukan fakta bahwa korupsi kepolisian banyak terjadi lantaran adanya ketidakberesan sistem terutama dalam hal: (1) rekrutmen, training dan promosi, (2) sumber daya, seperti gaji dan fasilitas, (3) sistem akuntabilitas antar departemen, dan (4) tradisi budaya yang menghambat pengembangan standar profesionalitas polisi. Kembali pada pernyataan awal tulisan ini, korupsi memang ada di setiap zaman namun bukan berarti harus bersikap fatalis. Menganggap suatu problem sosial sebagai takdir kehidupan dapat dikategorikan kedalam kesalahan berfikir fallacy of determinism yaitu melihat segala persoalan sosial dan moral sebagai sesuatu yang sudah ditetapkan (Rakhmat, 2000). Logika melihat permasalahan masyarakat yang seperti ini dapat menghambat perubahan. Oleh sebab itu, penulis berusaha melakukan investigasi guna menemukan akar masalah kejahatan korupsi. Dan merujuk pada latar belakang persoalan di atas, maka penelitian ini akan mengkaji: “Pengaruh kepribadian otoritarian, kepuasan gaji, dan budaya organisasi polisi terhadap korupsi di lembaga kepolisian”.

B. Rumusan Permasalah Rumusan masalah penelitian ini mengacu pada ilustrasi latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya. Ketidaksesuaian antara fakta dan idealita menjadi poin penting dalam menyusun pijakan awal penelitian. Berdasarkan uraian yang ada, maka permasalahan penelitian ini adalah:

12

1. Apakah kepribadian otoritarian, kepuasan gaji, dan budaya organisasi polisi berpengaruh terhadap tindak korupsi di lembaga kepolisian? 2. Variabel manakah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap tindak korupsi di lembaga kepolisian?

C. Tujuan dan Manfaat Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan tindak korupsi dalam organisasi khususnya di lembaga kepolisian. Adapun hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya: 1. Bagi praktisi: output penelitian ini berupa pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang melakukan tindak korupsi di lingkungan organisasi. Ketika mengetahui hal tersebut, diharapkan para anggota organisasi, pengambil keputusan, aparat dan juga masyarakat mampu

memetakan

tindakan-tindakan

yang

berpotensi

menimbulkan

kejahatan korupsi. 2. Bagi akademisi: penelitian ini memberikan wacana baru mengenai perilaku menyimpang dalam konteks organisasi. Melalui hasil penelitian ini diharapkan kajian-kajian mengenai fraud, ataupun juga korupsi di organisasi semakin berkembang dengan perspektif interdisipliner. 3. Bagi peneliti: penelitian ini tidak hanya menjadi pemicu peneliti untuk membaca, meneliti dan menulis guna mencapai kesempurnaan ilmiah, namun

13

juga menambah pengalaman reflektif agar berhati-hati disetiap aktifitas kehidupan. Agar yang sepele namun salah tidak kemudian dianggap benar atau mencari pembenaran (seperti yang kerap terjadi dalam perilaku-perilaku korupsi selama ini).

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji fenomena korupsi, baik dari sudut pandang filsafat, ekonomi, hukum, sosiologi hingga sosial budaya (Thoyyibah, 2011; Siswanto, 2008; Veldhuizen; 2012; Abbink, 2002; Darley, 2005). Namun penelitian ini mengkhususkan analisis pada tindak korupsi dari sudut pandang psikologi sosial, yaitu perilaku korupsi dalam konteks interaksi sosial organisasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pengumpulan data berupa survei. Dari sudut pandang filsafat, Thoyyibah (2011) serta Siswanto (2008) memberikan perspektif fundamental untuk melihat fenomena korupsi. Melalui tesisnya yang berjudul “Makna kejahatan struktural korupsi dalam perspektif teori strukturasi Anthony Giddens”, Thoyyibah (2011) menyatakan bahwa korupsi merupakan realitas kejahatan yang tidak lepas dari struktur dan agensi manusia. Teori strukturasi menekankan adanya relasi dualitas antara agen dan struktur. Struktur meliputi aturan, sumber daya serta sistem sosial yang dimobilisasi dalam ruang dan waktu oleh agen sosial (Thoyyibah, 2011). Selanjutnya Thoyyibah (2011) juga menyimpulkan dua poin penting mengenai korupsi yang sejalan dengan penelitian Chappell & Piquere (2004), yaitu: (1) korupsi merupakan kejahatan yang

14

terjadi akibat banalitas (pembiaran atau pembiasaan) yang motifnya adalah keserakahan, ketidakjujuran, kesombongan, kepicikan, kedangkalan berfikir dan kepuasan yang sifatnya subjektif, (2) korupsi ditopang oleh kondisi modernitas yang mendunia akibat peristiwa perentangan ruang-waktu. Siswanto (2008) berbicara lebih radikal lagi dalam disertasinya “Ontologi kejahatan menurut filsafat barat kontemporer dan relevansinya bagi pemahaman kejahatan korupsi di Indonesia”. Siswanto (2008) secara lugas mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan moral sekaligus kejahatan struktural. Struktur di sini dimaknai sebagai sesuatu yang sangat mengekang di luar kuasa ‘diri’. Pelaku atau sang ‘diri’ tidak merasa melakukan tindak kejahatan karena struktur membiarkan atau mengamini. Pembiaran atas tindakan korupsi ini juga pernah diteliti oleh Darley (2005) dalam jurnalnya yang berjudul “The cognitive and social psychology of contagious organizational corruption”. Jurnal tersebut menyebutkan bahwa perilaku korupsi bisa saja terjadi akibat adanya pembiaran terhadap tindakan di masa lampau yang menyimpang kemudian diikuti secara kolektif sehingga menjadi budaya organisasi yang diamini bersama. Penelitian kali ini secara spesifik akan menguji pengaruh tiga variabel, yaitu kepribadian otoritarian (authoritarian personality), kepuasan gaji (pay satisfaction), dan budaya organisasi polisi (police organizational culture) terhadap kecenderungan melakukan korupsi. Ketiga variabel tersebut merupakan turunan dari pemahaman bahwa asumsinya korupsi muncul ketika terdapat kekuasaan yang otoriter, keuntungan ekonomis yang diperoleh serta kesempatan untuk melakukannya (faktor lingkungan).

15

Belum banyak penelitian yang secara langsung menguji kaitan antara kepribadian otoritarian dengan potensi tindak korupsi. Namun varibel ini pernah dibahas oleh Fauzie & Machruz (2003) dalam tulisannya yang berjudul “Kepribadian Otoritarian dan Ideologi Politik”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui karakteristik kepribadian otoritarian dari empat ideologi politik di Indonesia: Nasionalis (PNI-FM), Islam Tradisional (PKB), Islam Modern (PBB), dan Sosial Demokrat. Adapun subjek penelitian ini adalah fungsionaris dan simpatisan empat partai politik. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing anggota partai memiliki internalisasi kepribadian otoritarian yang khas sesuai dengan ideologi partainya. Penelitian lain juga dilakukan oleh Ferdiansyah dan Kumolohadi (2008) yang mengkaitkan antara kepribadian otoritarian dan kecenderungan berbuat agresif pada anggota kepolisian. Penelitian ini dilakukan di Kepolisian resort Sleman dengan subyek

para anggota polisi khususnya di kesatuan SAMAPTA. Hasilnya

menunjukkan

ada

hubungan

positif

antara kepribadian

otoritarian

dengan

kecenderungan berlaku agresif dikalangan anggota kepolisian. Kaitan kepuasan gaji dan potensi tindak korupsi telah diteliti sebelumnya oleh beberapa peneliti (Rijckeghem & Weder, 1997; Veldhuizen, 2012; Abbink, 2002). Rijckeghem & Weder (1997) lebih menyoroti pada sistem penggajian yang tepat agar terhindar dari resiko penggelapan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa di bawah model penggajian yang fair, tingkat gaji pegawai negeri menjadi faktor penentu muncul atau tidaknya korupsi. Rijckeghem juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara korupsi dan tingkat gaji di negara-negara berkembang. Adapun penelitian Abbink (2002) dan Veldhuizen (2012) masih tentang

16

gaji dan potensi korupsi. Keduanya sama-sama menggunakan metode eksperimen dalam investigasinya namun hasil penelitian Abbink menunjukkan keduanya tidak berhubungan, sedangkan Veldhuizen menemukan hal yang sebaliknya; tingkat gaji yang tinggi mengurangi kemungkinan seseorang untuk memilih berbuat korup. Lebih lanjut, Domoro dan Agil (2012a) melakukan penelitian dengan melibatkan 384 polisi di Libya untuk menguji pengaruh faktor budaya organisasi terhadap tingkat korupsi di lembaga kepolisian. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan pengumpulan data dilakukan dengan sistem survei kuesioner. Adapun metode analisis data memakai uji regresi dan uji korelasi untuk melihat pengaruh dan hubungan kedua variable tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan fakta bahwa peningkatan loyalitas polisi terhadap lembaganya serta adanya standar kriteria sukses di kalangan polisi mampu mencegah ataupun mengurangi tindakan korupsi. Lebih lanjut lagi, perbaikan manajemen organisasi juga mampu mengurangi tendensi untuk berbuat korup. Budaya organisasi secara signifikan berpengaruh negatif terhadap praktek tindak korupsi di organisasi khususnya pada dimensi manajemen kepegawaian, perekat organisasi dan kriteria keberhasilan. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kucukuysal (Domoro & Agil, 2012a) yang menguji pengaruh budaya organisasi terhadap integritas polisi yang didalamnya juga terdapat aspek tindakan korupsi. Hasilnya menunjukkan budaya organisasi berpengaruh secara negatif terhadap integritas polisi. Dari

pemaparan

penelitian-penelitian

sebelumnya,

peneliti

hendak

menegaskan titik berat karya ini adalah menguji gabungan ketiga variabel

17

independen tersebut (kepribadian otoritarian, kepuasan gaji dan budaya organisasi polisi) secara bersama-sama untuk memprediksi variabel tindak korupsi di kalangan anggota polisi.