1 BAB IPENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG UNDANG-UNDANG NOMOR

Download Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hlm. 27; Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan. Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-u...

0 downloads 360 Views 159KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mempunyai judul terlalu panjang1 dan judul tersebut terkesan lebih menekankan pada aspek pelanggarannya (larangan) yang “bernuansa pidana”2. Undang-undang ini juga tidak memberikan nama atau istilah tertentu untuk memudahkan penyebutannya. Nama yang terlalu panjang dari suatu pranata hukum akan sulit diingat dan tidak mudah dipahami. Oleh karena undang-undang tidak memberikan nama tertentu, maka banyak pihak bermacam-macam pula menyebutnya. Misalnya, “Undang-undang Antimonopoli dan Antipersaingan Usaha Curang”3 atau “Undang-undang Antimonopoli”4 atau “Undang-undang Persaingan Usaha”5 atau “Undang-undang Persaingan”6. Di

1

Istilah yang panjang ini merupakan “hasil kompromi” antara DPR dan Pemerintah. Dalam perumusan awal DPR menghendaki nama yang tegas dan sok populis, yakni “antimonopoli”, sedangkan Pemerintah lebih berorientasi kepada upaya menciptakan “persaingan usaha yang sehat”. Lihat Ade Maman Suherman, op cit. 2 Elyta Ras Ginting, Hukum Antimonopoli Indonesia (Analisis dan Perbandingan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 17. 3 Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 15. 4 Sutan Remy Sjahdeini, op cit ; Munir Fuady, op cit, hlm. 1; M. Udin Silalahi, “Undangundang Antimonopoli Indonesia : Peranan dan Fungsinya di Dalam Perekonomian Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hlm. 27; Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 5. 5 Agus Priyanto (ed), Analisis Hukum 2002 Jangan Tunggu Langit Runtuh, Justika Siar Publika, Jakarta, Feb.2003, hlm. 162; Syamsul Maarif, Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 19, Mei-Juni 2002, hlm. 44. 6 Menurut Robert Brown, penamaan Undang-undang Antitrust atau Anti Monopoli kurang tepat dilihat dari segi tujuan diadakannya undang-undang itu sendiri, sebab undang-undang ini tidak dirancang untuk melindungi usaha kecil atau membubarkan usaha besar. Oleh karena itu undang-undang ini lebih tepat disebut Undang-undang Persaingan. Lihat Normin S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS, Penemuan Hukum Persaingan : Suatu Layanan Analitik Komparatif”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 4, 1998, hlm. 20.

1

2

antara banyak istilah pranata hukum itu, ada “dua istilah yang lazim ditemukan di banyak negara, yaitu Hukum Kompetisi dan Hukum Anti-Monopoli”7. Istilah yang pertama dipakai di negara-negara Eropa, sedangkan yang kedua digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang meniru Antitrust Law. Sebenarnya penyebutan yang lebih sering digunakan untuk undang-undang ini adalah Undang-undang Antimopoli. Namun, untuk alasan teknis istilah yang digunakan dalam tesis ini untuk menyebut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah UU Persaingan Usaha8. UU Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur perilaku pelaku usaha yang bersifat antipersaingan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang ini sebagaimana tujuan UU Persaingan Usaha di banyak negara adalah “menjaga kelangsungan persaingan (competition)”9. Alasan mendasar perlunya persaingan adalah “keterbatasan sumber daya”10. Sumber daya yang terbatas memerlukan mekanisme untuk menentukan siapa yang berhak mengelola dan menikmati sumber daya itu, sehingga tercipta efisiensi, baik bagi konsumen maupun bagi perusahaan. Dengan pengertian, adanya persaingan akan mendorong setiap perusahaan

untuk

selalu

memperbaiki

produktivitasnya

sehingga

dapat

menyediakan barang dan jasa dengan mutu yang lebih baik, harga lebih murah, dan pilihan lebih banyak atau lebih luas bagi konsumen.

7

A.F. Elly Erawaty (Ed), Seminar Membenahi Pelaku Bisnis Melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 21. 8 Menurut Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu untuk menjaga konsistensi istilah, maka lebih tepat undang-undang ini disebut UU Persaingan Usaha. 9 Sutan Remy Sjahdeini, op cit, hlm. 8 10 Artikel, Kompas, 3 Desember 2004.

3

Sementara itu, ada pendapat yang menyatakan, bahwa undang-undang ini adalah “versi perundangan liberal, sementara Indonesia bukan negara dengan perekonomian yang liberal”11. Pendapat ini didasarkan pada pola kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, sedangkan paham liberal itu bersifat individual. Perbedaan pendapat tersebut tentu berpengaruh terhadap implementasi UU Persaingan Usaha. Satu dan lain hal disebabkan undang-undang ini masih relatif baru di Indonesia, sehingga perlu waktu untuk mengubah pola perilaku dari para pelaku usaha dan pemahaman yang komprehensif bagi pihak-pihak yang terkait, adalah tidak mudah membenahi masalah persaingan usaha yang sudah terpola dan menjadi bagian perilaku sebagian besar pelaku usaha di Indonesia. Sebagaimana penanaman norma baru ke dalam kehidupan masyarakat yang sedang berubah, penanaman norma atau kaedah hukum persaingan usaha membutuhkan waktu yang panjang. Pada hakekatnya, “efektivikasi hukum sangat tergantung pada usaha-usaha menanamkan hukum tersebut, reaksi masyarakat, dan jangka waktu menanamkan ketentuan hukum tersebut”12. Semakin kuat usaha untuk menanam, semakin baik hasilnya. Sebaliknya, reaksi masyarakat yang menentang usaha penanaman itu semakin kuat, maka semakin sulit usaha penanaman hukum itu dalam masyarakat. Adapun jangka waktu menanam dapat dikatakan, semakin panjang jangka waktunya semakin baik hasilnya dan semakin pendek jangka waktunya semakin tidak baik hasilnya. Jadi, ketiga faktor itu memegang peran penting bagi berhasil tidaknya menanamkan norma atau kaedah hukum dalam masyarakat. 11

Achmad Zen Umar Purba, , loc cit. Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum (Kegunaan), Alumni, Bandung, 1981, hlm. 43. 12

4

Itulah sebabnya undang-undang mengamanatkan perlunya dibentuk komisi, yang disebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya KPPU) untuk mengawasi pelaksanaan UU Persaingan Usaha ini13. KPPU bukan saja sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha, yaitu sebagai watchdog14 bagi pelaku usaha yang melanggar undang-undang, tetapi juga “menyusun pedoman dan publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini”15. Dalam risalah pembahasan undang-undang di DPR ditegaskan, bahwa “KPPU merupakan penegak hukum diharapkan menjadi lembaga yang mandiri, menjalankan kuasi yudisial dan kuasi legislatif”16. Bahkan, ia mempunyai tugas “memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”17. Tugas semacam ini oleh berbagai kalangan disebut sebagai “kewenangan yang menyerupai lembaga konsultatif”18 atau yang disebut kuasi konsultatif. Pendek kata, KPPU mempunyai tugas dan wewenang yang sangat luas, meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif, serta konsultatif19. Menurut undang-undang, KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain20 dan dalam pelaksanaan

13

Pasal 30 ayat (1) UU Persaingan Usaha. Ade Maman Suherman, op cit. 15 Pasal 35 huruf f UU Persaingan Usaha. Tugas KPPU seperti diurumuskan dalam pasal 35 huruf f ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai fungsi kuasi legislatif. Lihat Emmy Yuhassarie (ed), (Prosiding 2002), op cit. hlm. 16; Lihat juga Partnership for Business Competition, Position Paper Peran Lembaga Peradilan Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, tidak dipublikasikan, tanpa tahun, hlm. 23. 16 Emmy Yuhassarie (ed), (Prosiding 2002), ibid, hlm. 15. 17 Pasal 35 huruf e UU Persaingan Usaha. 18 Partnership for Business Competition, op cit, hlm. 22. 19 Ibid. 20 Pasal 30 ayat (2) UU Persaingan Usaha. 14

5

tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden21. Dalam kedudukannya sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha, KPPU diberi wewenang memeriksa, menuntut, dan memutus sekaligus atas kasus-kasus persaingan usaha22. Walaupun demikian, undang-undang tidak secara eksplisit menegaskan KPPU sebagai lembaga yudisial yang menggantikan peran badan peradilan. Hal inilah yang dalam prakteknya memunculkan opini yang saling bertolak belakang sekaitan dengan kewenangan yang melekat padanya. Secara ringkas opini tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut23 : Pertama, KPPU memiliki kewenangan yang menyerupai lembaga yudisial. Argumentasinya selain didasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh undangundang24, juga didasarkan atas kurangnya penjelasan yang memadai mengenai peran pengadilan dalam penegakan hukum persaingan usaha25. Kurangnya penjelasan dari undang-undang dianggap suatu kondisi yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal-pasalnya (legislative intent). Maksudnya untuk meminimalisir keterlibatan badan pengadilan dalam memeriksa pokok perkara yang telah diputuskan oleh KPPU. Menurut pendapat ini, peran pengadilan hanya bergerak sebatas melakukan penilaian terhadap sanksi administratif yang diberikan oleh KPPU dan tidak pada kewenangan memeriksa pokok perkara. 21

Pasal 30 ayat (3) UU Persaingan Usaha. Pasal 36 UU Persaingan Usaha. 23 Partnership for Business Competition, op cit, hlm. 33-35. 24 Lihat Pasal 35 dan 36 UU Persaingan Usaha. 25 Peran Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung hanya diatur secara sumir dalam satu pasal, yaitu pasal 45 UU Persaingan Usaha. Dalam Pasal 45 tersebut hanya disebutkan, bahwa Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung harus memeriksa dan memberikan putusannya atas keberatan atau kasasi yang diajukan oleh pelaku usaha atau pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri dalam waktu yang telah ditetapkan menurut pasal ini. Sementara itu dalam penjelasan Pasal demi Pasalnya dikatakan “cukup jelas”. 22

6

Kedua, KPPU tidak memiliki kewenangan selayaknya lembaga yudisial. Opini kedua menolak konstruksi pemikiran pertama, terutama dalam proses pemeriksaan keberatan atas putusan KPPU. Argumentasinya didasarkan pada kewenangan yang melekat pada KPPU sebagai kewenangan yang bersifat administratif26 belaka, yang berarti bukan teknis yudisial. Dalam keadaan ini, KPPU merupakan pihak yang harus mempertahankan putusannya dalam persidangan keberatan di pengadilan. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang bagaimana kekuatan hukum putusan KPPU dalam sistem peradilan di Indonesia dan bagaimana kedudukan hukum KPPU dalam sistem hukum persaingan usaha. Segala sesuatu yang masih diperdebatkan, akan berakibat pada efektivitas keberlakuan hukum itu sendiri. Tesis ini merupakan tugas akhir penulis dalam rangka memperoleh gelar akademis Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Kelas Jakarta.

B.

Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan ruang lingkup pembahasan, maka pokok masalah

dirumuskan sebagai berikut: 1. Sejauhmana kekuatan hukum putusan KPPU dalam sistem peradilan di Indonesia? 2. Bagaimana kedudukan hukum KPPU dalam sistem hukum persaingan usaha? 26

Hal ini didasarkan pada UU Persaingan Usaha Pasal 36 huruf i dan penjelasan umum yang menyebutkan, bahwa KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.

7

C.

Tujuan Penelitian Untuk menjawab perumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai seberapa jauh kekuatan hukum putusan KPPU dalam sistem peradilan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum KPPU dalam sistem hukum persaingan usaha.

D.

Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini dapat dibagi dalam dua segi, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. A. Manfaat teoritis a. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu hukum ekonomi dalam mengembangkan pranata hukum persaingan usaha di Indonesia di masa yang akan datang. b. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu hukum ekonomi. B. Manfaat praktis a. Sebagai sumbangan pikiran untuk penyempurnaan UU Persaingan Usaha. b. Untuk mengisi atau menambah kepustakaan di bidang hukum persaingan usaha.

8

c. Dalam rangka penyusunan tesis untuk memenuhi sebagian syarat guna mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Kelas Jakarta.

E.

Keaslian Penelitian Berdasarkan tujuan dan manfaat penelitian serta dengan memperhatikan

latar belakang dan perumusan masalah, maka penulis (dengan tinjauan komponen sistem hukum Friedman) mengemukakan keaslian penelitian dengan menguraikan bahwa tujuan UU Persaingan Usaha adalah untuk menjaga kelangsungan persaingan. Persaingan yang sehat akan mendorong setiap perusahaan bertindak efisien dan selalu memperbaiki produktivitasnya untuk menyediakan barang dan jasa yang bermutu, murah, dan banyak pilihan bagi konsumen. Dalam praktek bisnis (disengaja atau tidak) pelaku usaha dapat saja melakukan persaingan usaha secara tidak sehat. Lembaga yang mengawasi praktek-praktek yang demikian adalah KPPU, yang berdasarkan undang-undang antara lain mempunyai wewenang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan sanksi. Kewenangan yang menyerupai lembaga yudisial ini disebut lembaga ekstra yudisial. KPPU sebagai lembaga ekstra yudisial memunculkan opini masyarakat yang saling bertentangan. Menurut pendapat penulis, pertentangan itu dapat berpengaruh terhadap dua hal, yaitu : 1) kekuatan hukum putusan KPPU menjadi tidak ditaati atau dipatuhi, karena ketidakkonsistenan undang-undang dalam mengatur akibat hukum dari putusan KPPU.

9

2) peranan KPPU menjadi kurang efektif dalam penegakan hukum, karena tidak jelas kedudukan hukumnya dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, pembidangan wilayah hukum UU Persaingan Usaha tidak jelas27. Menurut hemat penulis, ketidakjelasan pembidangan hukum ini dapat menimbulkan kerancuan berpikir, karena dipastikan kaedah hukum yang diaturnya menjadi tidak jelas juga. Kaedah hukum mempunyai peranan penting dalam memberikan kepastian hukum dan kesebandingan hukum28. Kerancuan tersebut dapat dilihat pada rumusan pasal-pasalnya yang menggunakan kata “dilarang” yang bernuansa pidana, sementara perbuatan yang dilarang itu lebih bersifat perdata dan sanksinya bersifat administratif (yang diatur dalam pasal tersendiri). Kaedah hukum yang dirumuskan secara tidak jelas, tidak terjamin adanya persamaan pengertian dengan segala implikasi operasionalnya. Apa yang ditunjukkan oleh UU Persaingan Usaha memaksa kita untuk mengubah cara berpikir (mindsetting) ke arah sistem Common Law. Konsep hukum sistem Common Law tidak membedakan secara prinsip antara hukum publik dan hukum privat (perdata), melainkan ditampilkan sebagai hukum publik. Mengubah cara berpikir demikian tidak mudah, bahkan dengan perubahan itu dikhawatirkan undang-undang menjadi tidak efektif, karena ada keraguan atau penentangan sehingga berpengaruh pada berfungsinya hukum dalam masyarakat. Berfungsinya hukum dalam masyarakat ditentukan oleh perilaku hukum masyarakatnya. Perilaku hukum masyarakat merupakan tolok ukur yang 27

Dalam sistem Civil Law yang dianut Indonesia, pembidangan wilayah hukum itu jelas, yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara, hukum tata usaha Negara, dan sebagainya. 28 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 50-51.

10

menunjukkan hukum itu ditaati, dihindarkan, atau disalahgunakan. Perilaku hukum juga menentukan lembaga apa yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Secara teori terdapat bermacam-macam cara untuk menyelesaikan sengketa atau perkara. Misalnya, diselesaikan antara para pihak sendiri, menggunakan perantara atau pihak ketiga, arbitrase, pengadilan, atau lembaga lain. Jadi, ada pilihan-pilihan dalam menentukan cara penyelesaian yang terbaik. Masalahnya, manakala tidak ada pilihan untuk menyelesaikan perkara itu. Pertanyaannya, apakah hal demikian dapat menunjukkan perilaku hukum masyarakat yang sesungguhnya? Di bidang persaingan usaha, pelaku usaha tidak dapat memilih lembaga penyelesai perkara selain KPPU. Dari sisi “tidak ada pilihan”, KPPU merupakan lembaga penyelesai perkara persaingan usaha yang didayagunakan29, tetapi dari sisi “ada pilihan lain” yang ditandai dengan adanya penolakan30, ada kemungkinan KPPU tidak didayagunakan. Dalam kaitan ini perlu dikemukakan konsep naskah akademis UU Persaingan Usaha yang pernah disusun oleh proyek ELIPS, seperti dikemukakan oleh Normin S. Pakpahan, sebagai berikut : Gagasan dibentuknya Komisi Perdagangan Nasional (KPPU-pen) tidak dimaksudkan untuk meniadakan tindakan judisial yang akan diambil oleh pihak yang dirugikan. Sebaliknya, di dalam konsep akademik ini pihak yang dirugikan dapat memilih mengadukan perkaranya ke Komisi

29

Sampai dengan 30 Desember 2005, KPPU telah menerima total laporan termasuk yang berasal dari inisiatif KPPU sebanyak 376 laporan, yang menjadi perkara 55 kasus dan masih berstatus monitoring KPPU 10 kasus. Lihat “Catatan Akhir Tahun 2005, Menggugat Kerancuan Pelimpahan Kewenangan Negara Kepada Pelaku Usaha di Sektor Publik”, Diambil dari Sumber : www.kppu.go.id. 30 Pengertian penolakan sebenarnya kurang tepat, karena yang dimaksudkan adalah adanya kesangsian banyak pihak terhadap otoritas KPPU dalam menangani perkara-perkara persaingan usaha. Lihat Editorial Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24 No. 2 Tahun 2005.

11

Perdagangan Nasional atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri secara perdata31. Artinya pelaku usaha boleh memilih atau mencari cara lain untuk menyelesaikan sengketa persaingan usaha. Cara lain itulah yang ditawarkan penulis untuk digunakan pelaku usaha dalam menyelesaikan perkara. Dalam hal ini, penulis mengajukan tesis, perlunya memisahkan fungsi yudisial yang dimiliki KPPU menjadi peradilan khusus yang menangani perkara persaingan usaha. Menurut sistem peradilan di Indonesia, pembentukan peradilan khusus itu dimungkinkan dalam salah satu lingkungan badan peradilan. Apabila dibentuk, maka pengadilan itu sebaiknya berada di lingkungan peradilan umum32, misalnya dengan nama “Pengadilan Persaingan Usaha”. Sedangkan KPPU dengan fungsinya yang lain tetap dipertahankan sebagai lembaga independen non yudisial di bidang persaingan usaha dengan tugas, sebagai berikut33 :

31

Normin S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS, Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 4, 1998, hlm. 25. 32 Pertimbangannya didasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 01 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Pasal 2, “Keberatan terhadap putusan KPPU hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri”. Pasal 3, “Putusan atau Penetapan KPPU mengenai pelanggaran Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak termasuk sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara”. Pasal 8, “Kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Negeri”. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka tidak mungkin “Pengadilan Persaingan Usaha” berada di lingkungan peradilan yang lain, misalnya Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, maupun Peradilan Militer. 33 Bandingkan dengan rumusan Normin S. Pakpahan, sebagai berikut : (a) menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu UU Persiangan, (b) memberi pertimbangan kepada badan peradilan dalam hal terjadinya perkara di bidang persaingan bisnis, (c) secara periodik memberi masukan kepada pemerintah tentang keadaan ekonomi pasar yang bersangkut paut dengan ada atau tidaknya persaingan curang dalam dunia bisnis. Di samping itu Komisi (KPPU, pen) tersebut mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan tentang terjadinya persaingan yang tidak wajar dan mengawasi keadaan pasar. Lihat Normin S. Pakpahan, op cit, hlm. 25.

12

1) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelanggaran di bidang persaingan usaha; 2) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan persaingan usaha tidak sehat dan mengawasi keadaan pasar; 3) Memberi pertimbangan kepada badan peradilan (Peradilan Persaingan Usaha) dalam hal terjadinya perkara di bidang persaingan usaha; 4) Secara periodik memberi masukan kepada pemerintah tentang keadaan ekonomi pasar yang bersangkut paut dengan ada atau tidaknya persaingan curang dalam dunia usaha. Jadi, KPPU bukan lagi lembaga kuasi yudisial atau lembaga ekstra yudisial, melainkan lembaga independen di luar struktur pemerintahan seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPPU dapat menjadi penuntut perkara persaingan usaha dan merupakan pihak34 di muka sidang “Pengadilan Persaingan Usaha”. Alasan yang menjadi pertimbangan pembentukan “Pengadilan Persaingan Usaha” adalah sebagai berikut : 1) Dalam rangka penguatan sistem peradilan di Indonesia, fungsi yudisial yang dimiliki KPPU akan lebih baik berada dalam satu sistem peradilan. Tujuannya untuk mengintegrasikan kebijakan di bidang peradilan di Indonesia dan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, mengingat kekuasaan yang luar biasa KPPU di bidang persaingan usaha. 34

Pihak adalah satu dari dua golongan (partai, orang) yang bertentangan atau berlawanan. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perum Balai Pustaka, 1988, hlm. 681.

13

2) Kekuasaan yang mutlak yang dimiliki KPPU tidak sebanding dengan putusan yang dihasilkannya. Putusan KPPU tidak serta merta dapat dilaksanakan tanpa fiat eksekusi Pengadilan Negeri. Artinya, putusan KPPU tidak otomatis mempunyai kekuatan eksekutorial. Bahkan putusan yang seharusnya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam kondisi tertentu malah menjadi tidak ada artinya lagi. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka untuk menjawab pokok masalah, dapat dikemukakan jawaban sementara, yaitu : 1) Kekuatan hukum putusan KPPU tidak memberikan kepastian hukum, karena undang-undang tidak konsisten dalam mengatur akibat hukum dikeluarkannya putusan KPPU. 2) Kedudukan hukum KPPU berada di luar sistem peradilan telah menimbulkan kesangsian terhadap otoritasnya dalam menangani perkara persaingan usaha. Dengan menempatkan fungsi yudisial KPPU menjadi pengadilan khusus akan memberikan stimulans bagi terintegrasinya sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, dalam rangka pembentukan “Pengadilan Persaingan Usaha”, perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik lingkungan intern maupun ekstern KPPU. Dukungan lingkungan intern berupa sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang memadai, motivasi kerja yang tinggi, dan terpenuhi kesejahteraannya. Lingkungan ekstern berupa dukungan politik dan komitmen dari Pemerintah, DPR, dan MA. Dukungan Pemerintah, misalnya dalam

14

pembuatan regulasi atau kebijakan tidak melanggar UU Persaingan Usaha35. Dukungan DPR melalui perubahan atau membuat baru UU Persaingan Usaha yang mengakomodasi pembentukan peradilan itu. Sedangkan dukungan MA mendorong dan mempersiapkan terbentuknya peradilan dimaksud termasuk rekruitmen hakim. Suatu hal yang dipastikan adalah masyarakat menghendaki adanya iklim persaingan usaha yang sehat. Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas perubahan ini akan berdampak pada penguatan sistem peradilan di Indonesia, amandemen UU Persaingan Usaha, dan efektivitas penegakan hukumnya. Secara praktis asumsi tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

35

Menurut catatan KPPU akhir tahun 2004 seperti dilansir oleh Sutrisno Iwantoro, sejumlah regulasi yang dikeluarkan pemerintah diketahui telah menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, karena tidak memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh pelaku usaha. Lihat Sutrisno Iwantoro, “Puluhan Regulasi Langgar UU Persaingan Usaha”, Artikel, Sumber: www.kppu.go.id.

Gambar 1 BAB I

TUJUAN UU 5/1999 Menjaga kelangsungan persaingan

Lingkungan Intern: 1. Kompetensi 2. Motivasi kerja 3. Kesejahteraan

PROSES

KOMPONEN SISTEM HUKUM

SISTEM HUKUM

EKSTRA YUDISIAL

INPUT Permasalahan :

1. Kedudukan hukum KPPU tidak jelas 2. Putusan KPPU tidak konsisten

1. Struktur

MA, PU, PA, PM, PTUN

KPPU

2. Substansi

Hk Perdata, Hk. Pidana, Hk TUN, dsb

Pembidangan hukum tidak jelas

Perilaku hukum masyarakat

?

3. Budaya hukum

Tuntutan masyarakat terhadap iklim persaingan usaha yang sehat

Lingkungan ekstern : Dukungan Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung

OUTPUT 1. Pemisahan fungsi yudisial KPPU menjadi “Pengadilan Persaingan Usaha” 2. Putusan Pengadilan Persaingan Usaha

OUTCOME 1. Penguatan sistem peradilan 2. Amandemen UU 5/1999 3. Efektivitas penegakan hukum