HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA
Nina Ifada Meihati Sukarti, Dr Thobagus Moh. Nu’man, S.Psi, Psi. INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah prososial, sedangkan variabel tergantungnya adalah kebermaknaan hidup. Skala kebermaknaan hidup yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi Skala Kebermaknaan Hidup dari Rahmat (2003). Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1992). Skala prososial yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari Skala Prososial yang digunakan oleh Basti (2002). Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Mussen,dkk (1979) yaitu: menolong, bekerja sama, membagi, kejujuran, dermawan, dan mempertimbangkan hak dan kewajiban orang lain. Tehnik analisis data menggunakan analisis product moment dari Pearson dengan bantuan SPSS 11.00, For Windows, menunjukan bahwa koefisien korelasi dari analisis product momment antara perilaku prososial dan kebermaknaan hidup adalah rxy = 0,668 p= 0,00 (p<0,01). Hasil tersebut menunjukan adanya hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup diterima. Kata kunci : perilaku prososial, kebermaknaan hidup pada remaja.
1
Pengantar Kemajuan bangsa Indonesia tidak hanya ditentukan oleh luas dan banyaknya sumber daya alam yang dimiliki, akan tetapi kualitas sumber daya manusia juga ikut berperan. Lebih-lebih di era globalisasi seperti sekarang, masyarakat
Indonesia
sudah
mengalami
perubahan
yaitu
modernisasi.
Modernisasi merupakan pilihan yang harus diambil dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, mengejar ketertinggalan peradaban dari negara-negara yang telah maju, persaingan dalam kancah pergaulan dunia Internasional. Hal tersebut dapat terwujud apabila bangsa Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang tangguh dan dapat dihandalkan (Rahmat, 2003). Pada proses modernisasi tentunya diikuti oleh perubahan disegala aspek kehidupan. Perubahan yang disebabkan oleh modernisasi merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change atau social planing), yaitu perubahan yang didasarkan pada perencanaan (Soekanto, 1990). Selain menimbulkan sesuatu yang bermanfaat dan diharapkan, seperti terpenuhinya sarana dan prasarana, meningkatnya tingkat kesejahteraan sosial, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosial dapat juga menimbulkan disorganisasi sosial. Akibat disorganisasi sosial terhadap perilaku manusia akan lebih terlihat pada remaja karena remaja merupakan individu yang sedang mengalami transisi atau peralihan dari kehidupan kanak-kanak menuju kehidupan orang dewasa, ditandai dengan perubahan dan perkembangan yang pesat baik dari segi fisik maupun psikis (Monks dkk, 1999). Remaja masih mencari identitas diri, emosi
2
meningkat, konformitas yang tinggi pada kelompok, belum terbentuknya konsep diri yang utuh. Adanya masa transisi atau peralihan pada remaja, serta perubahan yang terus menerus baik lingkungan sosial maupun fisik, dapat mengakibatkan remaja sulit untuk menyesuaikan diri sehingga remaja mengalami berbagai konflik baik di dalam diri sendiri, lingkungan, keluarga, teman maupun lingkungan sosialnya. Selanjutnya akan muncul perasaan bingung, tidak menentu, putus asa, cemas, teralienasi, depresi, kacau, mudah terombang-ambing dan tidak mempunyai pegangan. Akibatnya remaja tidak tahu pasti masa depannya, mengalami keraguan dan akhirnya frustrasi dan tidak percaya diri. Hal tersebut termanifestasi dalam bentuk-bentuk
kenakalan
remaja
seperti
minum-minuman
beralkohol,
penyalahgunaan narkotika, mencuri, memperkosa bahkan sampai kriminal serius (Schultz, 1991). Data tentang penyalahgunaan napza dikalangan remaja di Indonesia adalah tergolong cukup tinggi. Menurut DEPKES jumlah terbanyak pengguna NAPZA didominasi kelompok umur 20-24 tahun. Data tersebut menunjukan bahwa pengguna napza terbanyak didominasi oleh kaum remaja. Pada tahun 2003, 1,17% pasien rawat inap di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang disebabkan penggunaan NAPZA telah meninggal dunia. Data di Bagian Forensik FK-UI Jakarta pada tahun 1999-2003 juga menunjukkan adanya kenaikan jumlah kematian karena kasus overdosis yang sebagian besar disebabkan oleh overdosis heroin (Dep-Kes RI, 2004).
3
Menurut asumsi penulis, kebebasan yang berhasil dikembangkan pada era modern tersebut menunjukkan bahwa tanpa diimbangi tanggungjawab dan kematangan sikap, maka kebebasan tersebut tidak berhasil mendatangkan ketentraman dan rasa aman, bahkan sebaliknya dapat menyuburkan penghayatan hidup tanpa makna. Remaja sebagai komponen dari masyarakat merupakan bagian yang integral dari generasi muda, diharapkan menjadi dinamisator dalam pembangunan. Remaja yang mempunyai makna hidup akan mudah untuk dibina menjadi manusia yang optimis, kreatif, dapat mengaktualisasikan potensi dirinya dan bertanggungjawab dalam hidupnya. Dewasa ini, sikap saling menolong dan membantu orang lain di kalangan remaja telah mulai memudar. Hal ini terjadi akibat tumbuh suburnya sikap individualistis di kalangan remaja. Remaja juga banyak yang menganut gaya hidup hedonis, yang membuat mereka hanya berfikir tentang kesenangan diri sendiri tanpa mau memikirkan keadaan orang lain. Remaja bukanya gemar untuk melakukan perilaku-perilaku prososial, justru sebaliknya malah semakin banyak diantara remaja yang melakukan perilaku antisosial. Banyak diantara remaja yang melakukan perilaku agresi, seperti berbagai bentuk kenakalan remaja dan tawuran. Demikian pula, angka kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja juga semakin meningkat (www.kompas.com, 2002). Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan perilaku prososial diantara remaja semakin menurun. Diasumsikan pula oleh penulis bahwa menurutnya perilaku prososial akan menurunkan pula kadar kebermaknaan hidup pada remaja.
4
Kebermaknaan Hidup Tokoh pertama yang menggunakan gagasan tentang kebermaknaan hidup (meaning of life) adalah Viktor Emile Frankl. Pandangan tersebut dikemukakan dalam prinsip logotherapi dan hal tersebut menyebabkan pandangan Frankl tentang manusia dimasukkan ke dalam aliran eksistensial. Logotherapi diambil dari bahasa Yunani, Logos berarti makna (Koeswara, 1992). Dari penjelasan tersebut logotherapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi yang dilandasi oleh filsafat hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi kerohanian di samping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan serta dimensi sosial. Kerohanian dalam hal ini menurut Frankl (Khisbiyah, 1992)) tidak berkorelasi dengan keagamaan, tetapi lebih dimaksudkan sebagai manusia untuk hidup secara bermakna. Lebih lanjut Frankl (Koeswara, 1992), menjelaskan ada tiga konsep utama yang menjadi dasar filosofi logotherapi yaitu : kebebasan berkehendak (freedom of will), kehendak akan makna (will to meaning), dan kebermaknaan hidup (meaning of life). Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1992) mengukur kebermaknaan hidup dengan alat tes yang dinamakan The Purpose In Life Test (PIL test). PIL test merupakan petunjuk seberapa tinggi makna hidup seseorang. Adapun komponen yang diukur berkaitan dengan maksud atau makna hidup tersebut antara lain :
5
a. Makna hidup Makna hidup adalah segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga oleh seseorang, memberi nilai khusus serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. b. Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh mana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas yang dijalaninya. c. Kebebasan berkehendak Kebebasan
berkehendak
adalah
perasaan
mampu
mengendalikan
kebebasan hidunya secara bertanggung jawab yang didasarkan pada nilainilai kebenaran. d. Sikap terhadap kematian Sikap terhadap kematian adalah bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapannya
menghadapi
kematian.
Orang
yang
mempunyai
kebermaknaan hidup akan membekali dirinya dengan berbuat kebaikan sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya. Lebih lanjut Atwater (Hartanto, 1996) menambahkan bahwa agama merupakan variabel terpenting dalam hal kematian, karena penghayatan seseorang tentang agamanya ternyata mempengaruhi penyesuaian dirinya terhadap kematian.
6
e. Pikiran tentang bunuh diri Pikiran tentang bunuh diri adalah bagaimana pemikiran seseorang tentang masalah bunuh diri, bagi seseorang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah memikirkannya. f. Kepantasan hidup Kepantasan hidup adalah pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak. Menurut Frankl (Koeswara, 1987), ada tiga komponen kebermaknaan hidup sebagai pilar filosofi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan erat, saling menunjang. Ketiga komponen tersebut adalah : a. Kebebasan berkehendak (freedom of will) Kebebasan
berkehendak
ini
diartikan
sebagai
kebebasan
untuk
menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tertentu. Kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya diimbangi dengan tanggungjawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. b. Kehendak hidup bermakna (will to meaning) Hasrat untuk hidup bermakna benar-benar ada dan dihayati oleh setiap orang, memotivasi seseorang untuk menjadi pribadi yang berharga dan berarti, serta kehidupan yang penuh dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna pula.
7
c. Makna hidup (meaning of life) Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, didambakan dan memberi nilai khusus bagi seseorang. Apabila berhasil ditemukan akan menyebabkan hidup terasa berarti dan berharga. Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Bastaman (1996) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kebermaknaan hidup seseorang yaitu : a. Kualitas insani Merupakan semua kemampuan, sifat, sikap dan kondisi yang semata-mata terpatri dan terpadu dalam eksistensi manusia dan tidak dimiliki oleh mahkluk lainnya, meliputi inteligensi, kesadaran diri, pengembangan diri, humor, hasrat untuk bermakna, moralitas, transendensi diri, kreatifitas, kebebasan dan tanggungjawab (Bastaman ,1996). b. Encounter Dapat sebagai hubungan mendalam antara seorang pribadi dengan pribadi yang lain. Hubungan tersebut ditandai dengan penghayatan, keakraban, serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, menolong, memahami, dan menerima sepenuhnya satu sama lainnya (Bastaman ,1996). c. Nilai-nilai Menurut Bastaman (1996), ada dua nilai hidup yaitu tiga nilai subjektif dan satu nilai objektif. Tiga nilai subjektif yaitu: creative values (nilainilai kreatif) yaitu apa yang kita berikan kepada hidup, experiential values
8
(nilai-nilai mengalami) yaitu apa yang kita ambil dari hidup, attitudinal values (nilai-nilai pengambilan sikap) yaitu sikap yang kita berikan terhadap ketentuan atau nasib yang tidak bisa kita ubah. Satu nilai objektif yaitu keimanan. Karakteristik individu yang memiliki kebermaknaan hidup berdasar konsep Frankl (Bastaman, 1995) yaitu memiliki perasaan bahagia, memiliki tujuan yang jelas, memiliki rasa tanggung jawab, mampu melihat alasan untuk tetap eksis, tidak merasa cemas akan kematian, memiliki kontrol diri. Piaget
(Monks,
dkk,
1999)
menyebutkan
bahwa
remaja
lebih
memungkinkan untuk memahami, mengalami, dan menghayati makna hidup serta sekaligus menginternalisasikannya, karena remaja pada taraf perkembangan intelektual sudah mencapai formal operasional. Perbedaan makna hidup antara remaja dan orang dewasa terletak pada materinya saja, khususnya makna hidup yang sifatnya subjektif. Makna hidup yang subjektif ini adalah makna hidup yang didasarkan kepada tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang materinya berupa
perkembangan
aspek-aspek
biologis,
menerima
peranan
dewasa
berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri, mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan atau orang dewasa yang lain, mendapatkan pendangan hidup sendiri, merealisasi suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri Havighurst (Monks, dkk, 1999). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja yang bermakna dalam hidupnya memiliki gambaran antara lain bertanggung jawab secara pribadi
9
dalam mengarahkan hidupnya, sadar terhadap hidup, bersikap optimis, hidup bersemangat, penuh gairah, mempunyai tujuan hidup serta bertanggung jawab terhadap keadaan sosial disekitarnya. Apabila remaja sudah bermakna dalam hidupnya akan mudah untuk dibina menjadi generasi penerus bangsa yang mampu bertanggung jawab, yang pada akhirnya akan memperlancar pembangunan nasional, begitu pun sebaliknya.
Perilaku Prososial Menurut Baron dan Byrne (1994) perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain yang dilakukan secara sukarela dan tanpa keuntungan yang nyata bagi orang yang memberikan bantuan. Lebih lanjut Wispe (Wrightman dan Deaux, 1981), mengungkapkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang mempunyai akibat yang positif, yang berupa pemberian bantuan pada orang lain baik secara fisik maupun psikologis, seperti senang membantu, keterlibatan dengan orang lain, kerjasama, persahabatan, menolong, memperhatikan orang lain dan kedermawann. Menurut Kohlberg (Basti, 2002) sejalan dengan kematangan anak, berkembang pula kapasitas dalam berpikir abstrak dan pengambilan peran. Misalnya memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain atau memahami perspektif orang lain. Kemajuan kapasitas kognitif ini menyebabkan perubahan kualitas penalaran anak tentang masalah moral, termasuk kemampuan untuk memakai prinsip-prinsip moral yang abstrak dan kemampuan memahami pandangan-pandangan orang lain maupun masyarakat disekitarnya. Jika
10
dihubungkan dengan masalah prososial, maka dengan semakin berkembangnya kemampuan kognitif, anak akan semakin mampu dalam memahami perspektif orang lain dan akibatnya semakin berkurang pula sikap egosentrisnya, sehingga akan berorientasi pada orang lain. Menurut Mussen, dkk (1979) aspek-aspek perilaku prososial yaitu: a. Membagi Membagi memiliki pengertian bahwa individu yang memiliki kecukupan untuk saling membagi kelebihannya tersebut baik materi maupun ilmu pengetahuan kepada orang lain. b. Bekerja sama Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku yang sengaja dilakukan oleh sekelompok orang maupun organisasi demi terwujudnya suatu citacita yang diinginkan bersama. c. Menolong Menolong merupakan suatu tindakan sukarela tanpa memperdulikan untung maupun rugi dari tindakan menolong dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa dari orang yang ditolong. d. Kejujuran Kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada.
11
e. Dermawan Tindakan dermawan adalah suatu perilaku yang menunjukkan rasa kemanusiaan dengan cara memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang membutuhkan. f. Mempertirnbangkan hak dan kewajiban orang lain Hak dan kewajiban merupakan hak asasi setiap manusia. Seorang individu yang memiliki sikap yang demikian ditunjukkan dengan cara menghargai hak-hak orang lain sebelum meminta kewajibannya terlebih dahulu.
Hubungan Antara Perilaku Prososial Dan Kebermaknaan Hidup Pada Remaja Pada perkembangan kepribadian, remaja sebenarnya berada dalam tempat yang tidak jelas. Remaja sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsifungsi fisik maupun psikisnya (Monks, dkk, 1991). Adanya masa transisi atau peralihan pada remaja, serta perubahan yang terus menerus baik lingkungan sosial maupun fisik, dapat mengakibatkan remaja sulit untuk menyesuaikan diri sehingga remaja mengalami berbagai konflik baik di dalam diri sendiri, lingkungan, keluarga, teman maupun lingkungan sosialnya. Selanjutnya akan muncul perasaan bingung, tidak menentu, putus asa, cemas, teralienasi, depresi, kacau, mudah terombang-ambing dan tidak mempunyai pegangan. Akibatnya remaja tidak tahu pasti masa depannya, mengalami keraguan
12
dan akhirnya frustrasi dan tidak percaya diri. Hal tersebut termanifestasi dalam bentuk-bentuk
kenakalan
remaja
seperti
minum-minuman
beralkohol,
penyalahgunaan narkotika, mencuri, memperkosa bahkan sampai kriminal serius (Schultz,1991). Contoh-contoh perilaku remaja di atas dikarenakan dalam perkembangan sosialnya remaja dihubungkan dengan adanya dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Ausubel (Monks, dkk, 1991) menyebutkan adanya gerakan yang saling mempengaruhi karena apabila gerak yang pertama tanpa adanya gerak yang kedua dapat menyebabkan rasa kesepian. Hal ini kadang-kadang dijumpai dalam masa remaja dan dalam keadaan yang ekstrim hal ini dapat menyebabkan usaha-usaha untuk bunuh diri yang akhirnya menjadikan kehidupan remaja menjadi tidak bermakna.
Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan hipotesis yang akan diteliti dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja. Semakin tinggi perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja maka ada kecenderungan kebermaknaan hidupnya juga akan tinggi, sebaliknya semakin rendah perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja maka ada kecenderungan kebermakanaan hidupnya juga akan semakin rendah.
13
Identifikasi Variabel Penelitian Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: 1. Variabel Tergantung
: Kebermaknaan Hidup
2. Variable bebas
: Perilaku Prososial
Subyek Penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, berusia di antara remaja akhir sampai dewasa awal dengan rentang usia antara 18-21 tahun. Alasan bahwa pada usia tersebut remaja berada pada masa peralihan yaitu dari masa remaja akhir ke masa dewasa awal. Pada masa peralihan tersebut subjek sedang mengalami penyesuian diri termasuk kebutuhan untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan disekitarnya.
Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala. Skala adalah tehnik pengumpulan data yang berupa sejumlah pernyataan yang harus dijawab oleh subjek penelitian. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kebermaknaan Hidup dan Skala Perilaku Prososial. Teknik yang digunakan adalah summated rating method dari Likert yang telah dimodifikasi, yaitu setiap pernyataan diberikan 4 altematif jawaban dengan menghilangkan alternatif jawaban tengah. Pilihan respon jawaban terdiri dari sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).
14
Adapun alasannya adalah pertama, jawaban tengah mempunyai arti ganda (multi interpretable). Kedua, jawaban tengah menimbulkan kecenderungan untuk menjawab ke tengah (central tendency effect). Ketiga, tujuan dari 4 alternatif jawaban adalah untuk melihat kecenderungan pendapat subjek ke arah sesuai atau ke arah ketidaksesuaian (Hadi, 1991). Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu Skala Kebermaknaan Hidup dan Skala Perilaku Prososial. a. Skala Kebermaknaan Hidup Skala Kebermaknaan Hidup yang digunakan dalam penelitian ini memodifikasi dari Skala Kebermaknaan Hidup yang digunakan Rahmat (2003) yang mengacu kepada PIL (purposive in life) yang dikemukakan oleh Crumbaugh dan
Maholick
(Koeswara,1992).
Aspek
yang
diungkap
dalam
Skala
Kebermaknaan Hidup adalah makna hidup, kepuasan hidup, kebebasan berkehendak, sikap terhadap kematian, pikiran tentang bunuh diri, kepantasan hidup. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : 1. Makna hidup Makna hidup adalah segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga oleh seseorang, memberi nilai khusus serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. 2. Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh mana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas yang dijalaninya.
15
3. Kebebasan berkehendak Kebebasan
berkehendak
adalah
perasaan
mampu
mengendalikan
kebebasan hidup secara bertanggung jawab yang didasarkan pada nilainilai kebenaran. 4. Sikap terhadap kematian Sikap terhadap kematian adalah bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapannya
menghadapi
kematian.
Orang
yang
mempunyai
kebermaknaan hidup akan membekali dirinya dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya.
Lebih
lanjut
Atwater
(dalam
Hartanto,
1996)
menambahkan bahwa agama variabel terpenting dalam hal kematian, karena penghayatan seseorang tentang agamanya ternyata mempengaruhi penyesuaian dirinya terhadap kematian. 5. Pikiran tentang bunuh diri Pikiran tentang bunuh diri adalah bagaimana pemikiran seseorang tentang masalah bunuh diri, bagi seseorang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah memikirkannya. 6. Kepantasan hidup Kepantasan hidup adalah pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.
16
b. Skala Perilaku Prososial Skala Perilaku Prososial disusun oleh peneliti dengan memodifikasi Skala Perilaku Prososial dari Basti (2002), yang mengacu kepada teori dari Mussen, dkk (1979). Skala Perilaku Prososial tersebut terdiri dari beberapa aspek, yaitu : membagi, bekerja sama, menolong, kejujuran, dermawan, mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Menolong Menolong merupakan suatu tindakan sukarela tanpa memperdulikan untung maupun rugi dari tindakan menolong dan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa dari orang yang ditolong. 2. Bekerja sama Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku yang sengaja dilakukan oleh sekelompok orang maupun organisasi demi terwujudnya suatu citacita yang diinginkan bersama. 2. Membagi Membagi memiliki pengertian bahwa individu yang memiliki kecukupan untuk saling membagi kelebihannya tersebut baik materi maupun ilmu pengetahun kepada orang lain. 3. Kejujuran Kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada.
17
5.
Dermawan Tindakan dermawan adalah suatu penlaku yang menunjukkan rasa kemanusiaan dengan cara memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang membutuhkan.
6.
Mempertimbangkan hak dan kewajiban orang lain Hak dan kewajiban merupakan hak asasi setiap manusia. Seorang individu yang memiliki sikap yang demikian ditunjukkan dengan cara menghargai hak-hak orang lain sebelum meminta kewajibannya terlebih dahulu..
Metode Analisis Data Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan tehnik korelasi product moment dengan program SPSS for Windows versi 11.0.
Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel perilaku prososial dengan variabel kebermaknaan hidup. Angka koefisien korelasi sebesar r xy = 0,668, dengan taraf signifikasi sebesar 0,000 (p<0,01) menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel kebermaknaan hidup dengan perilaku prososial, artinya semakin tinggi perilaku prososial seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup yang dimiliki seseorang. Diketemukan pula bahwa sumbangan variabel perilaku
18
prososial terhadap kebermaknaan hidup pada remaja adalah sebesar 44,6 %. Terdapat penjelasan berkaitan dengan hasil penelitian diatas. Berikut ini adalah penjelasan-penjelasan tersebut. Berdasarkan kategorisasi yang dibuat peneliti, dapat pula diketahui bahwa rata-rata skor subyek pada skala perilaku prososial dan kebermaknaan hidup adalah tergolong tinggi. Dalam perkembangan kepribadaian, masa remaja berada dalam tempat yang tidak jelas. Remaja sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya (Monks, dkk, 1991).
Kesimpulan Hasil penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja diterima. Artinya, semakin tinggi perilaku prososial pada para remaja, semakin tinggi pula kebermaknaan hidupnya. Sebaliknya, semakin rendah perilaku prososial pada remaja, semakin renadah pula perasaan kebermaknaan hidupnya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi Ketiga Cetakan Pertama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baron, R. A. and Byrne, D. E. 2000. Social Psychology (9th). Singapore : Alyyn and Bacon. Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi Dengan Islam. Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar. Bastaman, H. D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina. Basti. 2002. Perilaku Prososial Ditinjau Dari Peran Gender Pada Etnis Jawa dan Cina. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hadi, S. 1990. Metodologi Research Jilid III. Yogyakarta : Andi Offset. Hartanto. 1996. Hubungan Antara Kematian Dengan Belief In After Life Pada Usia Dewasa Menengah. Jurnal Psikologi Indonesia. I – V. 10-15. Khisbiyah, Y. 1992. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Mahasiswa Islam di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensial Suatu Pengantar. Bandung : PT. Eresco Koeswara, E. 1992. Logoterapi. Yogyakarta : Kanisius. Monks, F. J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. 1999. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., and Geiwit, J. 1979. Psychological Development : A Life Span Approach. New York : Happer and Rob Publisher. Rahmat, M. B. 2003. Kebermaknaan Hidup Ditinjau Dari Sikap Terhadap Perilaku Kesehatan Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.
20
Schultz. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta : Kanisius. Wrightmans, L., and Deaux, K. 1981. Social Psychology in The 80’s (3th). California : Brooks / Cole Publishing Company.
21