PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA DI KOMPLEKS MAKAM IMOGIRI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cagar budaya adalah suatu produk masa lalu yang bersifat unik dan langka. Karena keunikan dan kelangkaan itulah yang antara lain suatu cagar budaya perlu dilestarikan. Makam Imogiri merupakan kompleks makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Kompleks makam tersebut dibangun oleh Sultan Agung, sewaktu pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam berkedudukan di Kotagede. Pada tahun 1553 J (1629 – 1640 Masehi). Sebelumnya Sultan Agung membangun Kompleks Makam Girilaya, yaitu kompleks makam yang rencananya dikhususkan bagi raja-raja Mataram. Dalam hal ini Sultan menunjuk pamannya sendiri, yaitu Panembahan Juminah, putera ke-18 dari Panembahan Senopati untuk melakukan pengawasan dalam pembuatan makam tersebut (Adrisijanti, 2000: 60) Akan tetapi karena beliau sudah lanjut usia dan kemudian meningggal, maka atas perintah Sultan jenazah Panembahan Juminah supaya dimakamkan di kompleks makam tersebut. Karena kompleks makam Girilaya telah dipakai lebih dahulu untuk pemakaman pamannya, maka Sultan Agung kemudian membangun Kompleks Makam Imogiri yang terletak di puncak bukit Merak pada ketinggian 85 – 100 meter di atas permukaan laut yang kemudian dikenal dengan sebutan kompleks makam Pajimatan (Graaf, 1986:300) 1
Kompleks makam Imogiri merupakan bagian dari cagar budaya yang sejak dulu banyak dikunjungi orang dengan tujuan wisata ziarah. Sejak diundangkannya UndangUndang Otonomi Daerah, nomor 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah (Kabupaten /Kota) diberi kewenangan yang sangat luas dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu juga untuk pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sehingga dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka suatu daerah memiliki peluang yang sangat besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sejak awal berdirinya kompleks makam Imogiri telah mengalami beberapa kali pengembangan kompleks makam. Pada awalnya kompleks makam tersebut dibangun hanya di bagian Kasultanagungan, kemudian turun sampai Gapura Supit Urang, tangga naik menuju makam, bangsal dan masjid. Kemudian pembangunan tahap dua dilakukan pada masa Pakubuwana I, yang terletak di sebelah timur makam Kasultanagungan. Setelah adanya Perjanjian Giyanti (palihan nagari) pada tahun 1755 M yang memutuskan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Namun makam tersebut tetap menjadi tempat pemakaman utama bagi raja-raja dan kerabat kedua kerajaan tersebut. Makam Kasunanan Surakarta berada di sisi sebelah barat makam Kasultanagungan dan Pakubuwanan, sedangkan makam Kasultanan Yogyakarta berada di sebelah timur makam Kasultanagungan dan Pakubuwanan.
2
Keberadaan Kasultanan Yogyakarta diwakili oleh kelompok abdi dalem juru kunci Kabupaten Puralaya Imogiri yang mempunyai hak dan kewajiban mengurusi kompleks makam Imogiri yang meliputi kelompok Kasultanagungan, kelompok Pakubuwanan dan kelompok Kasultanan Yogyakarta. Kemudian kelompok Kasunanan Surakarta di Imogiri
kraton
diwakili dengan adanya kelompok abdi dalem juru
kunci yang mempunyai hak dan kewajiban mengurusi dan memelihara kompleks makam tersebut, khususnya Kasultanagungan, kelompok Pakubuwanan dan kelompok Kasunanan Surakarta. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti, kasunanan Surakarta mempunyai wilayah di kawasan Imogiri (enclave),. Wilayah-wilayah tersebut meliputi desa-desa, antara lain: desa Girirejo, Imogiri, Karangtalun, Karangtengah, dan Kebon Agung. Wilayah-wilayah tersebut secara administratif setelah kemerdekaan terintegrasi dalam wilayah kasultanan masuk wilayah Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta . Sebelum memasuki makam Sultan Agung terdapat gapura atau gerbang, Gerbang ini bercorak bangunan Hindu yang terbuat dari susunan bata merah dengan bentuk Candi Bentar dan diberi nama Gapura Supit Urang. Di balik Gapura Supit Urang terdapat dua buah paseban yang berada di sisi barat dan timur. Bangunan bangunan yang terkait dengan kompleks makam lmogiri di antaranya adalah masjid, gapura, kelir (sebuah bangunan dinding struktur bata yang berfungsi sebagai alingaling pintu gerbang), Padasan (tempat berwudlu/bersuci yang disebut Enceh atau Kong. Enceh-Enceh) yang diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus,
3
Pada dasarnya pelestarian merupakan suatu upaya di dalam mengelola suatu objek yang harus dilakukan secara bijaksana sehingga objek tersebut dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lebih lama. Cagar budaya di kompleks makam Imogiri perlu dilestariakan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Upaya upaya pelestarian di kompleks makam Imogiri telah dilakukan, akan tetapi belum secara maksimal. Sejak berdirinya kompleks makam Imogiri sampai sekarang belum pernah dilakukan zonasi. Zoning atau zonasi adalah salah satu bentuk pelindungan cagar budaya. untuk mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan penentuan batas-batas keruangan. Dengan demikian, zonasi merupakan suatu tahapan penting yang perlu dilakukan sebagai bentuk pelestarian terhadap cagar budaya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ditegaskan, bahwa Cagar Budaya adalah Benda, Bangunan, Struktur, Situs, dan Kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu harus didata, dilestarikan, dikelola secara tepat supaya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada bangsa Indonesia. Dalam UURI/No 11/2010 dijelaskan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 1-6:
1. Cagar Budaya adalah cagar budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
4
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagianbagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. 3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. 4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs
Cagar
Budaya
atau
lebih
yang
letaknya
berdekatan
dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
5
Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya untuk mempertahankan cagar budaya bangsa. Pelestarian yang semula dipahami secara sempit hanya sebagai upaya pelindungan, kini diperluas dengan upaya pengembangan dan pemanfaatan. Cultural Resource Management (CRM) merupakan upaya pengelolaan sumber daya budaya dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang menekankan pada upaya pencarian solusi terbaik dan terbijak agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi secara adil (Tanudirjo, 1998: 15). Pengertian di atas, menyiratkan kinerja bidang ilmu arkeologi ini tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian maupun penelitian, tetapi juga memikirkan pemanfaatan dan pengembangan dalam arti mampu menentukan arah kemana sumber daya arkeologi akan diarahkan, sehingga tidak lagi terlihat seperti benda mati dalam kehidupan masyarakat,(Byrne, et al, t.t.: 25). Dalam bidang budaya, CRM atau Manajemen Sumberdaya Budaya dipandang sebagai suatu paradigma pengelolaan, sehingga dalam hal pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi, penekanannya lebih pada sumberdaya fisik (tangible) yang dilakukan melalui tiga tahapan pendekatan, yaitu pelindungan, pelestarian dan pemanfaatan (Atmosudiro, 2004). Akan tetapi karena dalam hal pelestarian sumberdaya budaya ada dua hal pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu pelestarian secara fisik dan pelestarian secara nonfisik, maka tidak menutup kemungkinan dilakukan upaya pelestarian secara nonfisik. Pelestarian secara fisik adalah pelestarian terhadap benda budaya itu sendiri, sedangkan pelestarian nonfisik merupakan upaya untuk mempertahankan nilai-nilai
6
yang melekat pada benda tersebut, seperti nilai arkeologis dan nilai historis, (Samidi, 1998 : 9). Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, conservation yang artinya pelestarian atau pelindungan. Istilah pelestarian dalam arkeologi dapat disamakan dengan istilah konservasi arkeologi yang berarti kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan perlindugan
terhadap peninggalan-peninggalan arkeologi. Pada
mulanya istilah konservasi berhubungan dengan cara pemafaatan tanah dan sumberdaya alam yang lain, seperti air, tanaman, binatang, dan mineral. Akan tetapi dalam hal ini, konservasi dimaksudkan sebagai
upaya memanfaatkan tanah dan
sumberdaya alam dengan baik dan terlindungi, sehingga tanah dan sumberdaya alam tersebut dapat dimafaatkan lebih lama. Gagasan semacam ini muncul karena adanya kesadaran bahwa tanah dan sumberdaya alam yang lain merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia dan memiliki ketahanan yang terbatas. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan cagar budaya bangsa, Haryati Soebadio dalam tulisannya tentang Peranan Ahli Arkeologi dalam Pembangunan Nasional telah membagi dalam dua hal, yaitu pemanfaatan fisik dan pemanfaatan non-fisik. Dalam hal pemanfaatan fisik, dari berbagai peninggalan arkeologi, telah banyak dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata, karena disadari bahwa pariwisata sanggup membantu peningkatan kehidupan sosial-budaya, jika penanganannya dilakukkan secara wajar. Sementara itu, dalam hal pemanfaatan cagar budaya nonfisik, keberhasilannya tidak nampak secara langsung. Meskipun demikian,
pemanfaatan cagar budaya secara
nonfisik dirasakan sangat penting (Soebadio, 2002)
7
Hasil pelestarian suatu cagar budaya dapat disebut sebagai produk yang berkualitas apabila pelaksanaannya dilakukan berdasarkan pada kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
keaslian bahan, keaslian susunan elemen-elemen bangunan,
keaslian struktur-konstruksi bangunan, keaslian posisi dan tata letak, keaslian tampilan bangunan (bentuk, tekstur, ornamen dan warna), keaslian lokasi, dan keaslian teknologi pengerjaannya. Upaya menciptakan produk yang berkualitas dan bernilai
yang
berimplikasi meningkatkan perolehan pendapatan dan penghasilan, baik bagi daerah maupun bagi masyarakat luas dapat dicapai. Namun demikian, untuk suatu kepentingan peningkatan ekonomi, maka peran masyarakat tidak dapat di abaikan demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat (Soekmono, 1993). Di sisi lain masyarakat semakin menyadari akan hak mereka untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya arkeologi serta keterlibatannya dalam pengelolaan
sumberdaya arkeologi tersebut
(Tanudirjo, 2013 :7) B. Permasalahan Cagar budaya sering kali dikatakan sebagai media yang memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kebudayaan. Akan tetapi, pada kenyataannya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda, bahkan terkadang cagar budaya dapat dipersepsikan oleh masyarakat sesuai dengan kecenderungan orientasinya. Persepsi masyarakat terhadap cagar budaya dewasa ini menampilkan berbagai kemungkinan, antara lain dapat bersifat kognitif ataupun afektif. Jika cagar budaya dipersepsikan sebagai informasi yang mampu menambah dan memperkaya pengetahuan masyarakat, maka dapat dikatakan sebagai persepsi yang bersifat kognitif. Tetapi sebaliknya, jika suatu cagar budaya cenderung dibesar-besarkan arti dan 8
maknanya, maka hal tersebut dapat disebut sebagai persepsi yang bersifat afektif (Nimpoeno, 1980:29).
Kompleks makam Imogiri merupakan salah satu cagar budaya yang sangat penting artinya bagi sejarah bangsa Indonesia, sehingga bagaimanapun keberdaannya haruslah dipertahankan dan dilestarikan. Kemudian dalam upaya mempertahankan keberadaan kompleks makam Imogiri tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingankepentingan yang lain yang mendukung upaya pelestarian terhadap kompleks makam tersebut. Berbagai kegiatan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan terhadap kompleks makam Imogiri telah dilakukan, namun kegiatan yang dilakukan belum sepenuhnya atau belum maksimal, artinya masih ada langkah lain yang harus dilakukan dalam rangka pelindungan terhadap kompleks makam Imogiri. Bertolak dari pemahaman di atas, maka permasalahan yang ada dapat dirumuskan ; 1. Siapa yang bertanggungjawab melakukan upaya pelestarian terhadap cagar budaya di kompleks makam Imogiri ? 2. Bagaimana model pelestarian yang perlu diterapkan pada kompleks makam Imogiri? 3. Bagaimana kompleks makam tersebut dimanfatkan ? C. Tujuan dan Manfaat yang diharapkan 1. Tujuan
9
Penulisan ini secara umum bertujuan untuk
mengetahui pihak yang
bertanggungjawab dalam pelestarian sumberdaya arkeologi di kompleks makam Imogiri, mengajukan suatu model pelestarian kompleks makam Imogiri dan bagaimana kompleks makam Imogiri tersebut dimanfaatkan. Adapun sasaran nya adalah; Pemahaman terhadap kegiatan pihak-pihak pelaku pelestarian sumberdaya arkeologi di kompleks makam Imogiri, Pemahaman tentang model pelestarian terhadap sumberdaya arkeologi di kompleks makam Imogiri, dan pengetahuan tentang pemanfaatan kompleks makam Imogiri. .
2. Faedah yang dapat diharapkan (bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan) Pelestarian terhadap peninggalan sejarah dan purbakala adalah suatu upaya untuk menjaga kelestarian suatu objek dengan segala potensi yang ada sehingga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Oleh karena itu dalam upaya pelestarian harus diawali dengan menumbuhkan apresiasi masyarakat tentang pentingnya suatu cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan jatidiri dan peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Dengan demikian upaya pelestarian
terhadap
sumberdaya
budaya
harus
dilaksanakan
dengan
mempertimbangkan asas manfaat, sedangkan dalam hal pemanfaatan sumberdaya budaya harus pula berwawasan pelestarian (Haryono, 1999). Dalam pelestarian terhadap situs atau benda cagar budaya tertentu, hendaknya
diarahkan
untuk
dapat
dimanfaatkan.
Dengan
tiga
tumpuan
pemanfaatan, yaitu:
10
a. Ideologi, yaitu yang terkait erat dengan muatan untuk mewujudkan “cultural identity”; Dengan menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi akan dapat menumbuhkan jati diri bangsa, sehingga masyarakat dapat bersikap lebih kritis terhadap sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan. b. Ekonomik, secara ekonomik, pelestarian dan pemanfaatan kompleks makam Imogiri, dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat bersamasama dalam menciptakan produk pelestarian cagar budaya yang berkualitas yang berimplikasi pada peningkatkan perolehan pendapatan dan penghasilan, baik bagi masyarakat luas maupun bagi pemerintah. c.
Akademik (penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya serta pengembangan ilmu) (Cleere,1989) . Secara akademik, pelestarian dan pemafaatan sumberdaya arkeologi di sekitar kompleks makam Imogiri dapat dijadikan suatu model pelestarian dan pemanfaatan dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan untuk rakyat (Pranaka, 1996:2).
D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu studi kasus pelestarian dan pemanfaatan kompleks makam Imogiri. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan keutuhan objek penelitian. Maka diharapkan data yang dikumpulkan merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi (Vredenbergh, 1978:34). Dengan demikian, dalam
11
penulisan ini diterapkan suatu metode deskriptif dan alur penalaran induktif. Melalui
metode
tersebut
diharapkan
dapat
memecahkan
permasalahan-
permasalahan yang ada, terutama dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi, khususnya di kompleks makam Imogiri . Dipilihnya kompleks makam raja-raja Mataram Islam menjadi objek penelitian, karena kompleks makam tersebut merupakan salah satu Cagar Budaya yang bersifat monumental, memiliki nilai sejarah yang tinggi tentang raja-raja Mataram Islam, serta merupakan salah satu potensi, namun tidak menutup kemungkinan menjadikan munculnya konflik sebagai akibat dari kepentingan dari berbagai pihak. CRM dapat juga berfungsi sebagai salah satu pendekatan untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang berkait dengan benda-benda hasil budaya masa lalu. Untuk itu,
upaya yang dilakukan bukan hanya melestarikan,
melindungi, dan mempertahankan benda-benda budaya yang terkait dengan kepentingan arkeologi, tetapi harus juga memperhatikan kepentingan lain , terutama yang berkaitan dengan kepentingan sosial dan ekonomi, tanpa mengesampingkan tujuan utamanya, yaitu budaya.
CRM
muncul
karena
pelestarian terhadap sumberdaya
banyaknya
benda-benda
budaya
yang
dialihfungsikan demi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Di Indonesia, Cultural Resourse Management (CRM) sebenarnya sudah mulai diberlakukan pada tahun 1931, yaitu melalui Monumenten Ordonantie, yang berfungsi sebagai perangkat hukum yang mengatur cagar budaya dari aktivitas lembaga-lembaga peminat cagar budaya yang sudah ada sejak tahun 1778 M. 12
Karena perangkat hukum tersebut nampak masih bersifat sepihak, di mana pemerintah atau lembaga-lembaga peminat cagar budaya termasuk para peneliti merasa
dan mengaku sebagai pihak yang paling berhak melestarikan dan
memanfaatkannya. Sehingga perangkat hukum tersebut perlu diperbaharui dan kemudian baru pada tahun 1992 baru diberlakukan suatu perangkat hukum yang baru dalam bentuk undang-undang, yaitu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya dan pada kenyataannya sekarang (Tanudirjo, 1998 : 14). Proses pengumpulan data dalaam penelitian tesis ini dilakukan dengan memprioritaskan beberapa wilayah yang terdapat di Kecamatan Imogiri yang memiliki potensi sumberdaya arkeologi, kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan survei dengan menitikberatkan kepada objek-objek arkeologis. Selain data arkeologi, mengingat objek kajian ini merupakan kajian terhadap fakta sejarah dan fakta sosial, maka dalam pengumpulan data dilakukan dengan observasi untuk mengamati potensi-potensi yang terdapat di kompleks makam Imogiri serta mengamati tentang peran dan partisipasi masyarakat, terutama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan terhadap kompleks makam tersebut. Dalam hal analisis akan dilakukan melalui identifikasi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pelestarian dan penfaatan cagar budaya di kompleks makam Imogiri, baik individu, kelompok sosial maupun lembaga-lembaga yang berkepentingn untuk menangani warisan budaya di kompleks makam tersebut. Kemudian untuk merumuskan suatu model pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di sekitar kompleks makam Imogiri perlu adanya suatu pemaknaan 13
terhadap objek yang dalam hal ini peneliti memiliki peran yang sangat penting dalam perumusan model tersebut berdasarkan isu-isu pelestarian dan pemanfaatan yang dapat di akomodasi
E. Tinjauan Pustaka; Cagar budaya merupakan kekayaan budaya yang memiliki nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kerangka memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Akan tetapi,
dengan
perkembangan yang sangat pesat disertai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup cepat dan kegiatan-kegiatan pembangunan, maka akan dapat menimbulkan perubahanperubahan yang kurang terkendali, sehingga dapat membahayakan dan mengancam kelestarian berbagai kekayaan budaya serta lingkungannya. Cagar budaya dan sumberdaya alam semakin terancam dari kerusakan, oleh karena itu untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan atau pengrusakan cagar budaya dan lingkungan perlu dilakukan suatu upaya pengelolaan sumberdaya budaya secara aktif agar tidak terjadi pemiskinan budaya. Adapun pengelolaannya dapat dilakukan melalui berbagai pedekatan terpadu untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan
sosial,
ekonomi,
budaya
dan
lingkungannya
dalam
nuansa
pembangunan yang berkelanjutan. Berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi dapat dipandang sebagai tantangan yang cenderung mengancam keberadaan suatu cagar budaya. Berbagai tantangan yang dapat mengancam keberadaan sumberdaya
14
budaya dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain dari alam binatang, tumbuhtumbuhan dan dari manusia. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 32 disebutkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memajukan kebudayaan nasional Idonesia tersebut perlu adanya keterpaduan sehingga keselarasan dan keseimbangan antar bidang dapat terwujud. Sebagai cagar budaya, cagar budaya memiliki nilai penting bagi ilmu pegetahuan maupun sejarah kebudayaan bangsa, maka dalam upaya menjamin terpeliharanya suatu cagar budaya dari kerusakan dan kemusnahan sagatlah diperluka peran aktif dari masyarakat. Kekuatan hukum nasional yang membentengi cagar budaya (CB) selain Monumenten Ordonantie telah banyak diupayakan antara lain Instruksi menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. Pem.65/i/7/60 tanggal 5 Februari 1960 tentang pelanggaran-pelanggaran Monumenten Ordonantie (MO) Stbl, No.238 tahun 1931; Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8/M/72, tanggal 15 Agustus 1972 tentang Pengamanan Benda-benda Purbakala; Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No, 03/A.I/1973 tanggal 8 Januari 1973 tentang Kerja Sama Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pengamanan/ npenyelamatan cagar budaya; Surat Kepala Kepolisian RI No. Pol. POLSUS/17/1/1976 tentang Pengamanan, Penyelamatan dan Pelindungan BCB Nasional; Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 87/MPK/1980, tentang Pembentukan Tim Gabungan Pelindungan Cagar Budaya di Daerah Tingkat I ; Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 432-178 tanggal 20 Februari
15
1982 tentang Pelindungan Benda-benda Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Tjandrasasmita, 1983 : 180-181). Kemudian dalam rangka mengantisipasi perkembangan masyarakat dan pembangunan serta untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang terdapat MO No. 19 tahun 1931, Pemerintah RI telah mengeluarkan UU No, 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992. Akan tetapi aturan-aturan hukum tersebut di atas, pada kenyataanya dalam banyak kasus belum mampu membentengi benda cagar budaya dan situs dari bahaya kemusnahan yang sering dilakukan oleh tindakan manusia dalam perubahan masyarakat. Akhirnya pemerintah mengeluarkan UURI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pada era globalisasi saat ini, sering terjadi perbedaan kepentingan bahkan pertentangan antara pelestarian dan pemanfaatan yang pada akhirnya berdampak pada teracamnya kelestarian cagar budaya. Pemanfaatan terkadang diidentifikasikan dengan pembangunan, sedangkan pelestarian dalam pengertian yang sempit dikonotasikan sebagai paenghambat pembangunan. Oleh karena itu, untuk meredam pertentangan tersebut perlu adanya kesepakatan yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memutuskan suatu kebijakan yang seimbang di antara berbagai pihak yang terlibat. Sukmono dalam tulisannya tentang Ratu Boko Quo Vadis berpendapat bahwa, dalam rangka pemanfaatan suatu situs yang akan dimanfaatkan sebagai pendukung pariwisata yang berskala nasional bahkan internasional misalnya, agar memperhatikan lingkungan. Dalam hal ini perlu mengikutsertakan masyarakat sekitar, terutama dalam hal pendidikan tentang pelestarian peninggalan purbakala, sehingga suatu situs yang 16
dijadikan sebagai objek wisata tidak hanya sekedar tempat rekreasi melainkan juga sebagai tempat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan (Soekmono, 2003 ). Makam Imogiri merupakan makam yang diperuntukkan bagi raja-raja Mataram Islam yang dibuat setelah makam Kotagede dan makam Giriloyo. Adrisijanti dalam disertasinya memandang bahwa makam kuno sebagai salah satu jenis peninggalan arkeologi Islam dan merupakan suatu monumen yang mandiri. Khusus untuk kerajaan Mataram Islam, makam-makamnya telah mencerminkan faktor sosial dan politik pada masa itu (Adrisijanti, 1997: 25). Sultan Agung adalah salah seorang raja Mataram yang telah berhasil menguasai seluruh wilayah Pulau Jawa (Graaf, 1985 : 53), Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan Agung dari Mataram Di kompleks makam inilah raja Mataram Islam sejak periode Sultan Agung beserta raja-raja Mataram-Islam lain dimakamkan, mulai dari periode Sultan Agung hingga periode akhir (Surakarta dan Yogyakarta) beserta kerabat dekat mereka. Para raja yang dimakamkan di sini adalah: Sultan Agung, Sunan Amangkurat II dan IV, Sunan Paku Buwana I dan III sampai XI, Sultan Hamengku Buwana I dan III sampai dengan Sultan Hamengku Buwana IX. Sedangkan Sultan Hamengku Buwana II, makamnya terletak di Senopaten Kotagede (dekat makamnya Panembahan Senopati). Cultural Resourses Management (CRM) memiliki cakupan yang sangat luas, akan tetapi pada hakekatnya CRM tersebut merupakan aktivitas manajerial yang dibangun atas dasar ilmu manajemen. Menurut Manullang, 2002, manajemen adalah 17
seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan dan implikasinya manajemen merupakan suatu proses karena terjadi secara berulang-ulang. Selain itu Cultural Resourse Management dapat diartikan sebagai cara pengelolaan sumberdaya budaya dalam rangka pemanfaatannya, termasuk di dalamnya pelestarian. Dalam hal pelestarian sumberdaya budaya ada dua hal pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu pelestarian secara fisik, yaitu pelestarian terhadap benda budaya itu sendiri dan pelestarian nonfisik merupakan upaya untuk mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada benda tersebut, seperti nilai arkeologis dan nilai historis, (Samidi, 1998 : 9). Berkaitan dengan pengelolaan Sumberdaya Budaya, siapapun orangnya harus paham benar dengan bidang yang ditekuninya, sehingga dibutuhkan suatu proporsi yang tepat antara penguasaan objek dan kemampuan manajerial yang dimilikinya. Kemampuan manajerial yang tinggi belum menjamin hasil yang optimal, jika tidak disertai pemahaman yang memadai mengenai objek yang ditanganinya, demikian juga sebaliknya. F. Landasan Teori Faktor-faktor penyebab rusak, hancur dan musnahnya cagar budaya yang paling membahayakan adalah tindakan manusia. Menurut Soediman dalam tulisannya tentang faktor-faktor penyebab kerusakan monumen purbakala dan masalah pelindungannya, menyebutkan bahwa salah satu faktor yang paling membahayakan dalam kerusakan, kehancuran dan kemusnahan suatu cagar budaya adalah manusia. Dalam pandangan ini ada dua kategori, yaitu tindakan penghancuran yang tidak disengaja karena didasari oleh rasa ketidak-tahuan mengenai arti penting suatu cagar 18
budaya dan tindakan yang disengaja yang dilandasi oleh suatu kepentingan atau ambisi untuk menguasai suatu cagar budaya (Soediman, 1976:41). Berkembangnya arkeologi secara terus menerus yang mengarah kepada kemajuan, baik yang menyangkut teori maupun strategi penelitian akan menghasilkan gambaran yang beraneka ragam budaya. Berbagai kajian kebudayaan di masa lalu diyakini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui berbagai wujud gagasan yang pernah berkembang di suatu wilayah. Tinggalan arkeologi yang memiliki nilainilai budaya dapat bermanfaat bagi ideologik dan akademik, bahkan dengan berkembangnya arkeologi yang diwarnai dengan berbagai kegiatan pemanfaatan yang memiliki nilai ekonomik yang tinggi. Henry Cleere, dalam bukunya yang berjudul Archaeological Haritage Management in the Modern World, menyatakan bahwa penelitian arkeologi bertujuan untuk memproduksi pengetahuan masa lampau, karena masa lampau adalah suatu komponen penting bagi masa kini, (Cleere, 1989) dan upaya untuk menelusuri masa lalu adalah hak asasi manusia (Mac Gimsey, 1972). Dengan landasan tersebut, maka pengelolaan suatu cagar budaya harus berorientasi kepada kepentinggan masyarakat. Mengelola sumberdaya arkeologi adalah suatu tugas yang berat bagi arkeolog di Indonesia, kerena pada saat yang bersaamaan arkeolog harus mampu memberikan pelayanan yang profesional, yaitu harus mampu menangani penelitian dan pelestarian terhadap tinggalan-tinggalan arkeologi, sehingga untuk mencapai pada suatu tataran penanganan yang memadai, arkeolog harus selalu berusaha meninggkatkan kualitas sumberdaya manusianya, yaitu dengan meningkatkan metode, teori dan strategi kinerjanmya. Di pihak lain arkeolog harus mampu memberikan berbagai kemasan 19
informasi yang efektif dan tepat guna bagi masyarakat, sehingga dengan informasi tersebut masyarakat dapat meningkatkan apresiasi dan menumbuhkan kesadaran akan makna, fungsi dan peranan sumberdaya arkeologi bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Arkeologi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Cultural Resource Management (CRM), karena arkeologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari kehidupan masa lalu melalui tinggalan-tinggalannya yang pada saat seseorang menemukannya pada umumnya dalam kondisi yang tidak terpelihara dan terawat, Akibatnya tinggalan-tinggalan tersebut sebagai data arkeologi, baik kualitas maupun kuantitasnya akan semakin menurun. Oleh karena sumberdaya Arkeologi sebagai bagian dari sumberdaya budaya memiliki sifat yang spesifik, maka sumberdaya arkeologipun memerlukan suatu penanganan yang spesifik dan profesional. Artinya pelaku pengelolaan harus melakukan pekerjaannya secara bertanggungjawab. Untuk itu diperlukan adanya suatu perencanaan yang matang, mulai dari metode atau teknis pelaksanaan sampai dengan penyebarluasan informasi, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kerja, sehingga seluruh kegiatan akan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dari gagasan ini, maka CRM harus dipandang sebagai upaya pengelolaan sumberdaya budaya secara bijak dengan mempertimbangkan kepentingan banyak pihak yang sering saling berbenturan dan bertentangan, sehingga CRM lebih cenderung pada upaya mencari jalan keluar yang terbaik agar kepentingan berbagai pihak sebanyak mungkin dapat terakomodasi.
20
Clark, dalam bukunya
yang berjudul “Archaeology and Society” telah
mengungkapkan kehidupan kemasyarakatan masa lampau. Sejak dasawarsa 1960-an memang banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang rekonstruksi masyarakat masa lampau
yang lebih menekankan pada proses-proses budaya yang terjadi pada
komunitas-komunitas masa lampau. Kegiatan tersebut tentu saja sejalan dengan kepopuleran aliran pemikiran arkeologi yang berkembang pada masa itu, yaitu new archaeology atau disebut juga arkeologi prosesual. Namun demikian, penelitian terhadap keterkaitan arkeologi dengan masyarakat kontemporer tidak banyak dilakukan, (Clark, 1969) Di sisi lain, para arkeolog kurang menaruh perhatian terhadap masyarakat sekitarnya, tidak ada kepedulian terhadap seberapa jauh sebenarnya manfaat ilmu yang digelutinya bagi masyarakat di sekitarnya., sehingga seolah-olah arkeologi merupakan sebuah ilmu eksklusif yang susah dijangkau masyarakat masa kini. (Prasodjo, 2004: 1). Dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, satu hal yang dapat ikut berperan adalah kode etik arkeologi, yaitu tanggungjawab arkeolog kepada masyarakat, tanggungjawab arkeolog terhadap sesama koleganya, standarisasi dalam penelitin arkeologi, dan tanggungjawab arkeolog terhadap data arkeologi (Gunadi, 2002).
21
Alur Pikir Penelitian Pelestarian dan Pemnfaatan Sumberdaya Arkeologi di Kompleks Makam Imogiri . STUDI PUSTAKA
PENGUMPULAN DATA
Observasi Wawancara Dokumentasi INPUT DARI EVALUASI
PENGOLAHAN DATA
PUBLIKASI
Analisis
Lisan
Penafsiran Data EVALUASI
Tulisan Visual
G. Sistematika Penulisan Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan, permasalahan, tujuan dan sasaran, metode penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan sistematika penulisan, Pada bagian latar belakang, bahwa cagar budaya di Imogiri belum dikelola secara maksimal disebabkan oleh semakin banyaknya kepentingan yang terlibat sehingga rentan terhadap munculnya konflik. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah menegetahui pihak-pihah yang bertanggungjawab
dalam
pelestarian
kompleks
makam
Imogiri,
kemudian
merumuskan suatu model pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di kompleks Imogiri, Pada bab pertama ini juga memuat tentang metode penelitian, yaitu langkah untuk memperoleh data yang bekaitan erat dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan terhadap kompleks makam Imogiri. 22
Pada bab dua disajikan tentang profil wilayah Imogiri yang terdiri dari dua sub bab, yaitu sub bab pertama tentang tata ruang kawasan Imogiri, meliputi tata ruang alam, tata ruang sosial dan tata ruang budaya. Kemudian pada sub bab dua deskripsi tentang potensi sumberdaya arkeologi di sekitar kompleks makam Imogiri dan sub bab tiga tentang sejarah pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di Imogiri. Pada bab tiga disajikan analisis tentang potensi sumberdaya arkeologi di wilayah Imogiri untuk dijadikan sebagai pijakan dalam menentukan model pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di kompleks makam Imogiri. Pada bab empat menyajikan keluaran dari bab 3 atau hasil analisis, yaitu tentang pengelolaan kawasan Imogiri di masa depan yang merupakan suatu model pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di sekitar kompleks makam Imogiri. Dan pada bab lima menyajikan penutup yang berisi tentang kesimpulan..
23