1 PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DYAH ADRIANTINI

Download ABSTRAK. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, dalam pelaksanaan pemungutannya ... baru di mana wajib pajak melakukan berbagai...

0 downloads 499 Views 278KB Size
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Dyah Adriantini Sintha Dewi  ABSTRAK Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, dalam pelaksanaan pemungutannya seringkali menimbulkan ketidakpuasan bagi wajib pajak berkaitan dengan jumlah yang terutang. Hal ini menjadikan pelaksanaannya menjadi kurang lancar dan dapat menghambat pelaksanaan pembangunan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dengan berdasar pada Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memberikan solusi pemecahan masalah tersebut, dengan harapan ada titik temu antara fiscus dan wajib pajak untuk secara bersama-sama menuju pada satu titik, yaitu Negara bisa memungut pajak dari masyarakat yang nantinya akan dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui berbagai bentuk seperti tersedianya sarana umum demi kesejahteraan bangsa dan Negara. Kata kunci : sengketa, pajak I. PENDAHULUAN Hampir seluruh negara di dunia memungut pajak pada warganya sebagai salah satu sumber penerimaan negara, hal ini salah satunya disebabkan karena tidak bisa suatunegara itu hanya sekedar mengandalkan kekayaan alamnya untuk memajukan negaranya dan memakmurkan warganya. Bagi negara Indonesia, pemungutan pajak bukan merupakan hal baru, apalagi kalau kita melakukan flash back, bahwa sejak bangsa Indonesia di bawah kekuasaan penjajah, pajak sudah dipungut oleh pemerintah yang berkuasa. Hanya saja tujuan pemungutan pajak pada masa penjajajahan adalah berbeda dengan pemungutan pajak pada masa setelah Indonesia merdeka, namun demikian penerimaan masyarakat atas kebijakan pemungutan pajak memerlukan waktu yang cukup panjang, di mana masyarakat menjadi faham bahwa pembayaran pajak merupakan salah satu yang diperlukan bagi usaha untuk mencapai kemakmuran bangsa. Sebab apabila kita hanya sekedar mengandalkan kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan negara dan warganya demi mencapai kemakmuran, lambat laun kekayaan itu akan habis, bahkan dalam jangka waktu yang singkat. Sementara untuk pemulihannya, memerlukan waktu yang panjang. Di sisi lain, pemungutan pajak akan langgeng sepanjang warga negaranya masih ada serta memenuhi persyaratan sebagai wajib pajak.



Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

1

Tumbuhnya kesadaran membayar pajak oleh warga negara, ternyata tidak serta merta menghilangkan permasalahan, karena sekalipun sudah ada standar penghitungannya, tetap saja sering kali memunculkan ketidakpuasan berkaitan dengan besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak. Hal itu terjadi, merata hamper di semua Negara, yaitu manakala wajib pajak tidak setuju dengan jumlah utang pajak yang harus dilunasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan, jumlah yang tidak sesuai dengan keinginan wajib pajak,memunculkan masalah baru di mana wajib pajak melakukan berbagai upaya untuk membayar utang pajak sesuai besaran yang diinginkannya dengan bekerja sama dengan para petugas pajak, seperti yang sekarang marak terjadi dan menjadi bahan pemberitaan media massa dengan tokoh yang sangat menghebohkan, yaitu Gayus yang tercatat sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Keadaan ini kalau dibiarkan akan sangat merugikan Negara dan bangsa Indonesia. Untuk itu, maka perlu cara untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak ini, supaya tujuan dan cita –cita untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bangsa bisa terwujud. Sekalipun pajak bukan satu-satunya sumber penerimaan Negara, namun setidaknya inilah cara yang mempunyai umur lebih panjang, memgingat keberadaab pajak itu sendiri adalah dalam masyarakat, maka selama ada masyarakat, masih dimungkinkan memungut pajak.

II. PEMBAHASAN A. Pajak dan Masyarakat Menurut Rochmat Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi),yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum “, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; tehadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi. Definisinya yang kemudian dipertahankan (sebagai koreksi dari bagian pertama dari definisinya semula), yang kurang lebih sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepad kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan „surplus‟-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public

2

investment.”

1

Mendasarkan definisi tersebut, setiap wajib pajak harus memenuhi

kewajibannya dengan membayar utang pajaknya sesuai dengan jumlah yang sudah dihitung oleh fiscus. Hal tersebut mengingat bahwa pada prinsipnya uang pajak yang telah dipungut dari rakyat, pada akhirnya nanti akan dikembalikan kepara rakyat melalui baerbgai fasilitan umum yang dananya diambil dari pemungutan pajak, seperti gedung sekolah, pasar, rumah sakit dan sebagainya. Itu semua sudah jelas yang menikmati adalah rakyat yang telah membayar pajak. Bahkan kalau kita cermati lebih dalam lagi, bahwa unsur social dari pajak ini sangat nyata, hal ini terbukti bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak membayar pajak karena tidak memenuhi syarat sebagai wajib pajak, namun tetap dapat menikmati hasil pembangunan yang didanai dari uang hasil pemungutan pajak, seperti masyarakat miskin, masyarakat di daerah tertinggal, karena pada dasarnya maksud pemerintah untuk memungut pajak bukan untuk membeni rakyat namun justru untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga menjadi tepat kalau kita berbicara masalah pajak, hal utama yang dipakai sebagai dasar adalah bahwa negara ini dipersamakan seperti sebuah keluarga besar, di mana aanggotanya saling membantu, sehingga yang dapat menikmati hasil pembangunan tidak semata wajib pajak yang memang telah memenuhi syarat untuk membayar pajak, namun juga masyarakat miskin yang bukan wajib pajak. Hubungan antara pajak dengan masyarakat memunculkan istilah bahwa pajak merupakan gejala social, artinya tanpa ada masyarakat tidak mungkin ada pajak. 2 Dengan demikian, sepanjang negara masih berdiri dan mempunyai warga, maka pemungutan pajak dimungkinkan, sehingga perlu adanya penyadaran pada masyarakat betapa pentingnya membayar pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang hasilnya nanti dapat dinikmati oleh masyarakat juga.

B. Penyelesaian Sengketa Pajak

Seperti kita ketahui, bahwa pada dasarnya terdapat 3 (tiga) system pemungutan pajak yang berlaku, yaitu:

1 2

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, edisi keempat, Refika aditama, Bandung, 2003, hal. 6 Rochmat Soemitro, Asas dan dasar Perpajakan 1, PT Eresco, Bandung, 1987, hal. 1.

3

1. Official Assesment System merupakan

suatu system pemungutan pajak yang

memberikan wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam system ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiscus dan kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiscus. 2. Self Assesment System, merupakan suatu system pemungutan pajak yang member wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Dalam

system

ini

wajib pajak

harus

aktif

untuk menghitung,

memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiscus hanya bertugas memberikan arahan, penyulhan, pembinaan, pelayanan, dan pengawasan kepada wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya. 3. With Holding System, merupakan suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak. Dalam system ini puhak yang ditentukan sebagai pemungut atau pemotong pajak oleh undang-undang pajak diberi kewenangan dan kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang terutang dari wajib pajak dan harus segera menyetorkannya ke kas Negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila pihak ketiga tersebut melakukan kesalahan atau penyimpangan maka kepadanya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.3 Berkait dengan ketiga system pemungutan pajak tersebut, system apapun yang dipakai, prinsipnya wajib pajak harus membayar utang pajak sesuai jumlah yang ditentukan, hal ini mengingat bahwa nantinya hasil pungutan pajak itu dinikmati juga oleh masyarakat. Namun demikian, dalam prakteknya tidak setiap wajib pajak menyadari hal tersebut, sehingga seringkali terjadi penerimaan masyarakat akan pajak menimbulkan masalah tersendiri.

3

Marihot Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Material, Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Penghitungan pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 170.

4

Sehubungan dengan sifat dan sikap masyarakat dalam melakukan kewajiban perpajakannya ini, menurut pengamatan Herbert Kelman (1966), seorang pakar psikologi social dalam bukunya “Problems in Social Psychology” menyatakan bahwa terdapat tiga perilaku orang mau membayar pajak, yaitu: 1. Compliance attitude, merupakan suatu kondisi di mana orang membayar pajak karena takut dihukum apabila menyembunyikan pajak atau tidak membayar pajak.Pada tingkatan ini orang membayar pajak bukan didasarkan atas kesadaran pentingnya pajak bagi negara dan dirinya sendiri. Akan tetapi lebih didorong oleh adanya rasa takut, sehingga sikap ini tidak membangun dalam system perpajakan. Hal ini berarti apabila suatu saat peraturan yang mengatur tentang pemungutan pajak agak lemah, atau kurangnya pengawasan atau pemerintah tidak tegas melakukan peraturan yang ada, maka masyarakat akan berusaha untuk menyembunyikan atau menyelundupkan atau tidak membayar pajak. 2. Identification attitude, merupakan suatu kondisi di mana orang membayar pajak karena didorong oleh karena rasa senang dan rasa hormat kepada petugas pemerintah, khusunya petugas pajak. Sikap ini lebih menonjolkan akan adanya pelayanan dan kinerja yang dimiliki oleh aparat pemerintah terlebih lagi petugas pajak, sehingga belum termasuk yang ideal dalam system perpajakan. Karena apabila suatu saat aparat pemerintah tidak menunjukkan kinerja sebagaimana mestinya, maka masyarakat akan dapat urung niatnya untuk membayar pajak. 3. Internalization attitude, merupakan suatu kondisi di mana orang membayar pajak karena kesadaran bahwa pajak itu memang berguna bagi dirinya maupun bagi masyarakat luas. Sikap inilah yang sangat ideal untuk dimiliki oleh masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, terlebih lagi bagi negara yang menganut self assessment system. Karena pembayaran pajak yang terutang (self declaration), pihak Direktorat Jenderal pajak (melalui kantor Pajaka) akan mengeluarkan ketetapan tentang berapa jumlah pajak yang terutang sebenarnya. 4 Menurut pasal 1 angka 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan pajak, yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa

4

Marihot Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum pajak Elementer, Konsep dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 106-107.

5

yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding, atau gugatan kepada Pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang Undang Penagihan pajak dengan Surat Paksa. Sifat dan sikap masyarakat yang masuk kategori compliance attitude sangat dekat dengan sengketa pajak, maksudnya bahwa tingkat kesadaran untuk membayar pajak sangat rendah sehingga ketika jumlah utang pajak yang ditentukan oleh fiscus dipandang tidak sesuai, merupakan pemicu lahirnya sengketa pajak. Disamping itu juga, penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang kurang tepat, yang menimbulkan rasa ketidak adilan . Dalam Hukum Pajak Indonesia penyelesaian sengketa pajak diselesaikan melalui beberapa saluran/lembaga, yaitu keberatan, banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Ketentuan tentang lembaga tertentu guna menyelesaikan sengketa pajak tersebut diatur secara tegas dalam Hukum Pajak formal. Penyelesaian sengketa pajak melalui lembaga keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali dilakukan oleh institusi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang pajak. 1. Keberatan Keberatan atas penetapan pajak merupakan hak wajib pajak yang dijamin oleh undang-undang dalam rangka keadailan dalam pemenuhan kewajiban pajak. Keberatan dapat diajukan oleh wajib pajak apabila wajib pajak merasa tidak puas atas penetapan pajak yang dilakukan oleh fiscus. Adanya hak mengajukan keberatan membuat terjadinya keseimbangan antara wajib pajak dan fiscus serta menjamin wajib pajak terhindar darai kesewenangan fiscus. Dalam hukum pajak Indonesia ketentuan tentang keberatan diatur dalam beberapa undang-undang pajak, yaitu Undang Undang KUP, Undang Undang PBB, Undang Undang BPHTB, dan Undang Undang PDRD. Pengaturan keberatan pajak pusat diatur dalam tiga undang-undang yang disesuaikan dengan jenis pajak pusat yang diajukan keberatan. Sedangkan untuk jenis pajak daerah keberatan diatur dalam Undang Undang PDRD dan peraturan daerah yang memberlakukan pajak daerah pada suatu provinsi, kabupaten, atau kota. 6

2. Banding Surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk jenis pajak pusat maupun yang diterbitkan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk itu disampaikan kepada wajib pajak untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya Apabila wajib pajak tidak setuju dengan isi Surat Keputusan Keberatan yang diterimanya, ia memiliki hak untuk mengajukan banding kepada badan peradilan pajak yang ditunjuk atau ditentukan oleh undang-undang pajak. Ketentuan tentang banding diatur dalam Undang Undang KUP , Undang Undang PBB dan Undang Undang BPHTB untuk jenis pajak pusat, sedangkan untuk pajak daerah diatur dalam Undang Undang PDRD maupun peraturan daerah tentang pemberlakukan suatu jenis pajak daerah di suatu provinsi, kabupaten atau kota. 3. Gugatan dan Sanggahan a. Gugatan Umumnya gugatan diajukan wajib pajak yang merasa dirugikan atas tindakan fiscus dalam melakukan tindakan penagihan pajak terhadap wajib pajak maupun penanggung pajak. Gugatan diatur secara tegas dalam Hukum Pajak Indonesia untuk melindungi kepentingan wajib pajak dari tindakan fiscus yang menurut wajib pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang pajak yang berlaku. Hak wajib pajak untuk mengajukan gugatan diatur dalam Undang Undang KUP untuk semua jenis pajak pusat. Selain itu karena gugatan ini dilakukan oleh wajib pajak terkait dengan pelaksanaan penagihan pajak maka diatur juga dalam Undang Undang PPSP. Mengingat bahwa Undang Undang PPSP berlaku juga sebagai dasar hukum untuk penagihan pajak daerah, maka wajib pajak daerah yang merasa dirugikan oleh fiscus dalam pelaksanaan penagihan pajak daerah juga dapat mengajukan gugatan. b. Sanggahan Pihak ketiga yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat paksapada dasarnya dilindungi dalam Hukum Pajak Indonesia. Dalam keadaan tersebut di atas pihak ketiga tersebut memiliki hak untuk melakukan perlawanan hukum terhadap tindakan fiscus. Hak tersebut diwujudkan dalam bentuk sanggahan atas kepemilikan barang yang disita. Menurut pasal 38 Undang 7

Undang KUP, sangghan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang melaksanakan penagihan pajak. Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima

pemberitahuan

sanggahan.

Sanggahan

pihak

ketiga

terhadap

kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.

4. Lembaga Peradilan pajak Badan peradilan pajak yang dimaksudkan sebagai institusi hukum yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pajak antar wajib pajak dan fiscus dalam Hukum PajakIndonesia mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan dimaksud dilakukan sesuai dengan kebijakan dari pemerintah yang berkuasa dan persetujuan perwakilan rakyat. Badan tersebut adalah : a. Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang berlaku sejak zaman Hindia Belanda hingga tahun 1997. b. Sejak 1 Januari 1998 sampai 11 April 2002 berlaku Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) 5. Pengadilan Pajak Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 tahun 2002, Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pengadilan pajak dalan\m hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dapat pula

memeriksa dan memutus permohonan banding atas

keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang aturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak., 6. Peninjauan Kembali Apabila para pihak yang bersengketa tidak puas dengan keputusan yang diambil oleh majelis hakim Pengadilan Pajak dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan 8

Pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung. Salah satu kemungkinan Putusan Peninjauan Kembali adalah dikabulkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Hal ini tentunya mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih kecil dari surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh fiscus.5

III.

PENUTUP Sengketa pajak muncul sebagai akibat wajib pajak tidak puas dengan besarnya utang

pajak yang ditentukan oleh fiscus, serta kemingkinan lain adalah penerapan peraturan perundangan pajak yang tidak tepat, sehingga wajib pajak merasa dirugikan. Mengingat hukum pajak adalah membahas hak dan kewajiban baik bagi wajib pajak maupun fiscus, maka ketika wajib pajak merasa dirugikan oleh keputusan fiscus, maka adalah hak wajib pajak untuk menuntut penyelesaian. Berkait dengan penyelesaian sengketa pajak, wajib pajak dapat menempuh beberapa jalan, yaitu:keberatan,banding, gugatan dan sanggahan, hingga mengajuka gugatan ke pengadilan pajak, dan seandainya belum puas dan mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Itu semua dalam rangka memberikan ras keadilan pada masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya masyarakat sebagai wajib pajak atas kinerja fiscus, serta prinsip dasar bahwa pajak dipungut demi kesejahteraan rakyat karena dipergunakan untuk membiayai pengeluaran negara.

5

Marihot Pahala Siahaan, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Formal, Pendaftaran, Pembayaran, Pelaporan, Penetapan, Penagihan, Penyelesaian Sengketa, dan Tindak Pidana Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.191-217.

9

Daftar Pustaka Indonesia Legal Center Publishing, Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak R. Santoso Brotodihardjo, 2003 Pengantar Ilmu Hukum Pajak, edisi keempat, Refika aditama, Bandung Rochmat Soemitro, 1987, Asas dan dasar Perpajakan 1, PT Eresco, Bandung Marihot Pahala Siahaan, 2010, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Material, Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Penghitungan Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta. Marihot Pahala Siahaan,2010, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum pajak Elementer, Konsep dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta. Marihot Pahala Siahaan, 2010, Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Formal, Pendaftaran, Pembayaran, Pelaporan, Penetapan, Penagihan, Penyelesaian Sengketa, dan Tindak Pidana Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta.

10