1 TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK

Download Ekstraksi benih. Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi ..... Kajian standardisasi mutu bibit tanaman...

1 downloads 597 Views 459KB Size
TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR BENIH DAN BIBIT BERSERTIFIKAT Oleh : Dede J. Sudrajat, Nurhasybi, dan Yulianti Bramasto Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX. 105 Bogor email: [email protected]

ABSTRAK Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar uji dan standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional, standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial(Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat sangat diperlukan untuk memenuhi kriteriakriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih dan bibit. Untuk sebagian jenis, teknologi penanganan benih tanaman hutan juga telah menjadi SNI yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan bibit. Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar

I. PENDAHULUAN Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman. Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan (2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu. Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut 1

yang akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut mempunyai multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik, fatologi dan entomologi yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata lain, mutu benih diartikan sebagai derajat yang mana benih tersebut bisa hidup, aktif bermetabolisme dan memiliki enzim-enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi metabolime yang diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu benih juga bisa dicerminkan dari penampilan fisik (kadar air, kemurnian dan berat benih) dan juga fisiologis (daya berkecambah) yang dijadikan parameter utama pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia (Sudrajat dan Nurhasybi, 2009).Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu. Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin banyaknya permintaan bibit tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu dukungan standar mutu bibit (nursery stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar (ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005). Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005). Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar mutu benih dan bibit(Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang secara operasional diatur dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dan juga Standar Nasional Indonesia. Untuk memenuhi kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya teknologi penanganan benih dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan (Cicero, 1998; Sudrajat, 2010).Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit, serta teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit tersebut. 2

II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU BENIH DAN BIBIT A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat ISTAhasil penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi anggota ISTA dan telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA terdiri dari 2 kategori (ISTA, 2011), yaitu: 1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab laboratorium terakreditasi yang berbeda. Apabila pengambilan contoh dan pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh laboratorium terakreaditasi yang berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat. 2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh dari kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab pada pengujian contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung jawab dalam kaitan dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana contoh tersebut berasal. Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan hasil pengujian terbatas pada contoh yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan contoh.

B.

Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan dibanyak

negara selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh pengujian mutu benih berbasis ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem sertifikat

benih,

volume

perdagangan

benih

secarainternasional

mengalami

peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat pada benih-benih sereals dan tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan disemua negara anggota 3

OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem

serifikasi

benih OECD menggunakan beberapa klasifikasi sebagai berikut: 1)

Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials): Persyaratan yang diperlukan meliputi a) wilayah dari provenan dimana materi dikumpulkan dan asal usul dari materi (indigenous atau non indigenous) ditentukan dan didaftar oleh institusi yang berwenang, dan b) benih dikumpulkan, diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan dibawah pengawasan institusi yang berwenang. Label benih berwarna kuning.

2)

Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti di atas, dan berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu, disetujui dan diregister oleh institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan khususnya untuk kriteria seleksi, keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul. Label benih berwarna hijau.

3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed orchards): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji keturunannya belum selesai dilakukan. Label benih berwarna pink. 4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih berwarna biru.

C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudangundangan, seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009 tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan.Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa pentingnya perbenihan dalam mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju, efisien, dan tangguh. Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor 44 tahun 1995, yaitu …..untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan….harus melalui… (b) pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, 4

fisiologis dan fisik. Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman hutan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang menyatakan bahwa “Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48, Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan Menteri tersebut.

Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa

Dinas

Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau Kabupaten/Kota tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan bibit. Sertifikat ini diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat Keterangan Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya.

III. STANDAR PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT A. Standar Pengujian dan Mutu Benih Metode pengujian yang digunakan harus merupakan metode standar yang dipublikasikan secara nasional, regional, maupun internasional. Internasional Seed Testing Association (ISTA) Rules merupakan acuan internasional dalam pengujian benih. Secara umum, ketentuan ISTA masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman pertanian dan hotikultura, sedangkan jenis-jenis tanaman hutan khususnya jenis tropis masih sangat terbatas (ISTA, 2013). Padahal peredaran benih tanaman hutan khususnya di Indonesia telah mulai berkembang dan memerlukan pengaturan dan 5

jaminan mutu baik bagi pada pengada, pengedar maupun pengguna. Kondisi tersebut harus dapat diatasi dengan melakukan modifikasi terhadap ketentuan ISTA dengan memasukkan data-data hasil penelitian dan pengujian benih yang memadai untuk dijadikan dasar bagi penyusunan metode pengujian benih di Indonesia. Penyusunan standar metode pengujian dan standar mutu benih telah dilakukan dari mulai tahun 1990-an, namun hingga tahun 2009, jenis yang distandarkan masih sangat terbatas. Pada tahun 2009, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan bekerjasama dengan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor dan melibatkan seluruh Balai Perbenihan Tanaman Hutan membentuk Kelompoik Kerja Pembuatan Standar Mutu Benih dan Bibit. Hingga tahun 2014, sekitar 80 jenis tanaman hutan telah dibuatkan standar pengujian mutu fisik dan fisiologis dan standar mutu benihnya. Kegiatan Kelompok Kerja tersebut meliputi pengumpulan data hasil sertifikasi mutu benih (2003-2014), eksplorasi benih jenis-jenis yang belum pernah atau belum banyak diuji, tukar menukar benih antar BPTH, pengujian mutu benih, pengumpulan data hasil sertifikasi dan hasil uji, pengolahan data, penyusunan dan pembahasan standar pengujian dan mutu benih. Pada tahun 2014, melalui Pusat Standardisasi dan Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional, standar mutu benih tersebut telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan (Lampiran 1).

B. Standar Pengujian dan Mutu Bibit Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga sertifikasi lainnya yang ditunjuk dalam kegiatan sertifikasi mutu bibit tanaman hutan. Persyaratan mutu bibit dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat khusus, yaitu : 1. Syarat umum meliputi: a. bibit berbatang tunggal dan lurus b. bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk) c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi bibit. 2. Syarat khusus meliputi:

6

a.

tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh teratas

b.

diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang

c.

kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari beberapa jumlah contoh bibit.

d.

kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas

e.

jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan adalah Live Crown Ratio (LCR).

f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen. g. umur sesuai dengan jenisnya.

Hingga tahun 2009, standar penujian dan mutu bibit tanaman hutan berdasarkan Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu bibit untuk 13 jenis tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru memuat 7 jenis (BSN, 2005). Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar mutu benih yang dimulai tahun 2009, hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran 2). Standar tersebut didasarkan pada parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari beberapa kegiatan, yaitu: 1). data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu bibit di BPTH, Badan Litbang Kehutanan, dan Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman berdasarkan klasifikasi morfologi bibit (masih terbatas pada beberapa jenis tanaman hutan).Standar ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang beredar di tingkat pengada, pengedar dan pengada sehingga standar ini terjangkau oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin mutu bibit yang diterima pengguna, dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang beredar

IV. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR YANG BERLAKU A. Teknologi Penanganan Benih 1. Pengumpulan buah Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih dengan cara perontokan, pemetikan dan pengumpulan buah di lantai hutan dengan mempertimbangkan kondisi 7

pembuahan dan indikator kemasakan. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia, beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak berkerabat. Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah. Indikator kemasakan buah dapat diketahui dengan melihat perubahan warna kulit buah, bau, kelunakan buah, berat jenis, kadar air benih dan jatuhnya buah secara alami. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan perontokan, pemetikan buah, dan pengumpulan buah di lantai hutan. Perontokan buah dilakukanuntuk kebanyakan buah atau biji yang berukuran besar dan buah yang mudah rontok serta waktu panen yang singkat. Pemetikan buah dapat dilakukan secara langsung dan menggunakan alat bantu pada pohon yang buahnya tidak terjangkau. Cara ini diaplikasikan pada tipe buah kering pecah (indihischent) seperti buah kapsul (misalnya: eucalyptus, benuang, puspa), buah polong (misalnya: sengon, jelutung, pulai) dan kerucut (misalnya: agathis, pinus).Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara pemanjatan. Pengumpulan buah di lantai hutandigunakan untuk buah/benih yang jatuh di bawah pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan buah terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa jaring/terpal sebagai penampung.Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh dan sebelum buah terbuka, rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002). Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu panjang serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan yang dilakukan di lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran selain buah/benih, pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan buah yang telah berjamur, buah yang telah terfermentasi dan yang telah berkecambah.Lingkungan tempat penyimpanan sementara harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu, terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung (di bawah naungan/atap). Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah pengumpulan buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah yang berpori (misalnya: karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah diberi label yang tidak mudah rusak dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan 8

lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal pengunduhan, dan nama pengunduh.

2. Penanganan benih Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni dengan kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna (kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan (pemeraman/curing)(seperti pinus).Benih yang telah masak namun embrionya belum berkembang perlu dilakukan pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio matang sempurna (seperti mahoni, kesambi, jati).Benih yang tidak memerlukan pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat langsung diekstraksi. a. Ekstraksi benih Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong atau kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal), 2). penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat menggunakan alat pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38 ºC selama 12-24 jam, 3). penjemuran/pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih mudah untuk dikeluarkan dari buah. Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak berisi air hingga daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2). kulit buah dikelupas dan kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan permukaan kulit benih dikeringanginkan dalam ruang kamar atau dijemur. b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi, disaring, direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower). Pembersihan benih hasil ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi benih dilakukan untuk memisahkan benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih jenis lain. Sortasi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi). 9

Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan blower.

c. Pengeringan benih Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan(8-12%). Pengeringan benih ortodoks dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi kadar air aman untuk penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan aerasi/pertukaran udara yang cukup. d. Pengemasan Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah berpori hingga semi permeabel terhadap uap air dan gas (seperti kantong plastik tipis dengan ketebalan 0,1 - 0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, keranjang). Untuk benih intermediate dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap uap air dan gas (seperti kaleng aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca, jerigen). Selain itu, bahan pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan pengiriman benih rekalsitran. Bahan pencampur digunakan untuk menjaga kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak terjadi penurunan, mengurangi kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan hama dan penyakit.Bahan pencampur (seperti serbuk kayu, serbuk arang, serbuk sabut kelapa) harus lembab dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan volume bahan pencampur dengan benih adalah 2 : 1. e. Penyimpanan Benih Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan ortodoks, sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4 minggu).Wadah simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk pengemasan pada bagian 4. Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan sementara benih rekalsitran dapat menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang

10

simpan kering sejuk/air conditioning. Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002): - Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30 oC, kelembaban nisbi 70 - 80%). - Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi 70%). - Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%). - Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 4050%). - Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 4050%). Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi mengenai:jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok benih, waktu panen, waktu simpan, waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah, dan berat benih. f. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari lantai hutan harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan benih dari benih rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat penyimpanan dilakukan dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi serta pemeriksaan kesehatan benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali pada wadah dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman berkisar 5 - 10 menit.

B. Teknologi Penanganan Bibit 1. Penaburan benih Benih

yang

memiliki

dormansi

diperlukan

perlakuan

pendahuluan.

Benihditaburkan pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir, gambut halus, zeolit, serbuk sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran halus (seperti jabon, ekaliptus, benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga

11

keluar sepasang daun.Benih-benih yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam di bedeng atau bak penaburan. Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman dari serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media perkecambahan memiliki aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan intensitas yang berlebihan dan secara rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida.

2. Penyapihan Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau tinggi semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal pada saat pagi atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media tabur dibasahi terlebih dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke media di bawah akar bibit kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit terangkat. Hindari memegang bibit pada batangnya tetapi peganglah kotiledon atau daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak rusak. Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu dalam (bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga tanaman akan mudah mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi bengkok.

Bibit yang disapih dengan tidak tepat maka sistem perakaran akan

terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang kurang baik, terutama ketika tumbuh di lapangan.

3. Penyiraman Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul tersiram secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai

ke bagian

dasarnya. Jadi tujuan penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar membasahi daun. Kekuatan semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan erosi atau kehilangan permukaan media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari terutama selama musim panas. Untuk bibit muda dari jenis tertentu yang berukuran kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang menghasilkan semprotan air yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak tanaman seperti halnya kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air memenuhi pori-pori 12

udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh cepat namun lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen.

4. Wiwil dan penyiangan Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dilakukan ketika bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika bibit berketinggian ±20 cm. Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara, mencegah

berkembang

dan

menularnya

hama

penyakit.Penyiangan

atau

pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan.Pembersihan gulma sangat penting ketika bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih kuat dan tumbuh lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh air, hara dan ruang tumbuh.

5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit Pemangkasan

akar

adalah

pemotongan

akar

untuk

mengendalikan

pengembangan sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu dilakukan karena ketika bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh menjadi lebih panjang dari ukuran pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram terlebih dulu, kemudian potong setiap akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari kelayuan bibit, siram kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai juga dapat dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai semen.Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi berdesak-desakan sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di bedeng semai harus dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima sinar matahari yang cukup, tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang hama dan penyakit.

6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit

13

Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit (biotik) dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin.Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat, semut) dan ulat, sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan cacing. Insektisida sistemik atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama. Penyakit yang menyerang bibit antara lain adalah rebah semai (dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak daun (leaf spot), layu (wilt), dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang bersih, penaburan yang tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu sekali, pengaturan intensitas cahaya,dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan, 2004).

7. Pemupukan Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Sebelum dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan dilakukan secara tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan menyebabkan pertumbuhan tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah, mudah layu, dan rasio pucuk akar tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu karena pupuk yang berlebihan akan bersifat toksik dan juga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat seperti mikoriza.Pupuk yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air dengan mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk penyiraman.Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit, seperti telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai untuk pertumbuhan bibit.

8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off) Seleksi bibit bertujuan untuk menyortirbibit yang menunjukkan gejala terserang hama atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang utama bercabang, bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki penampilan yang relatif seragam. Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat et al., 2010). 14

Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi bibit dilakukan secara bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3 minggu sebelum waktu tanam. V. KENDALA APLIKASI STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT Hingga saat ini belum seluruh stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan menggunakan standar mutu benih dan bibit yang telah disusun (Lampiran 1 dan 2). Terdapat beberapa kendala yang cukup sering ditemui dalam penerapan standar mutu ini, di antaranya karena masih terbatasnya lembaga sertifikasi serta SDM dan sarana prasarana yang belum memadai. Keberadaan lembaga penguji sebaiknya ada di setiap kabupaten atau setidaknya pada tingkat provinsi, sehingga mudah dijangkau oleh produsen/pengada benih yang akan mengujikan sampelnya. Hal ini terutama menjadi kendala apabila contoh benih yang akan diuji adalah kelompok benih rekalsitran. Selain itu adanya kebutuhan lapangan yang belum terakomodir di dalam standar mutu yang telah disusun. Sebagai contoh saat ini standar mutu bibit siap tanam yang telah disusun adalah bibit yang akan ditanam pada hutan tanaman yaitu bibit yang berukuran 30-50 cm, akan tetapi banyak produsen/pengada menyadiakan bibit untuk kebutuhan lain, misalnya untuk hutan kota yang ukuran bibit yang dibutuhkan lebih dari 1 m. Oleh karena itu untuk mengakomodir kebutuhan tersebut perlu adanya perbaikan terhadap standar mutu benih ataupun bibit, atau menyusun standard khusus untuk bibit yang diperuntukan hutan kota yang umumnya telah berukuran besar.

PENUTUP

15

Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit dan prosedur administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada kompromi dalam penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai. Selain itu, upaya lain untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh dengan meningkatkan sistem manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada benih dan bibit.

DAFTAR PUSTAKA ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for Nursery Stock. American Nursery & Landscape Association, Washington, USA. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina, Sengon, Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 13p. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric., Piracicaba, 55(Número Especial). p.34-38. Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen Kehutanan. Jakarta ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed Testing. Switzerland. ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed Testing. Switzerland. ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed Testing. Switzerland. Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin, K.E. Wightman, and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for 16

bottomland hardwood qfforestation in the lower Mississippi River Aluvial Valley: Preliminary results. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-35. pp. 9-16. Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited seed laws? Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9. Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New Forests. 13:223-248. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/VSet/2009 tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman Hutan. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/VSet/2009 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info Benih Vol. 14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87. Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010. Kajian standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1. Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications. London. Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Van der Meer, C. 2002. Challenges and limitations of the market. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75. Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed quality control in developing countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75. Weimortz, E.D., 1985. An international view of seed certification. In: M.B. Mcdonald, Jr and W.D Pardee (eds.). The Role of seed Certification in the Seed Industry. CSSA Special Publication No.10:25-28. CSSA Inc., Wisconsin, USA. Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality assessment of hardwood seedings. Hardwood Tree Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana. 17

18

Lampiran 1. Kisaran standar mutu fisik beberapa benih tanaman hutan (SNI 7627:2014,Mutu fisik dan fisiologisbenih tanaman hutan) Jenis Acacia arabica Acacia aulacocarpa Acacia auriculiformis Acacia crassicarpa Acacia mangium Acacia vilosa Adenanthera microsperma Agathis loranthifolia Aleurites moluccana Albizzia procera Alstonia scholaris Altingia excelsa Anacardium occidentale Anthocephalus cadamba Anthocephalus macrophyllus Azadirachta indica Baccaurea macrocarpa Calliandra calothyrsus Calliandra tetragona Calophyllum inophyllum Canarium indicum Castanopsis argentea Cassuarina junghuhniana Cassuarina equisetifolia Ceiba petandra Cryptocarya cunneata Cryptocarya massoy Dalbergia latifolia Delonix regia Diospyros celebica Duabanga moluccana Dyera lowii Enterolobium cyclocarpum

Berat 1000 butir (gram) 300 – 375 16 – 19 13 – 18 17 – 25 8 – 15 14 – 18 267 – 274 170 – 220 9837 – 10275 26 – 31 1,2 – 3,2 5–6 3300 – 7700 – – 257 – 350 500 – 600 44 – 56 44 – 56 2800 – 3500 6800 – 9200 1340 – 1455 1,00 – 1,30 1,29 – 1,52 22 – 100 380 – 540 2600 – 2900 40 – 54 500 – 660 1200 – 1500 – 50 – 75 660 – 1060

Kemurnian (%) ≥ 97 ≥ 96 ≥ 93 ≥ 96 ≥ 97 ≥ 96 ≥ 99 ≥ 95 100 ≥ 97 ≥ 98 ≥ 70 100 – – ≥ 98 ≥ 99 ≥ 95 ≥ 95 100 100 ≥ 99 ≥ 80 ≥ 90 ≥ 94 ≥ 95 ≥ 99 ≥ 95 ≥ 99 ≥ 99 – ≥ 98 ≥ 99

Kadar air (%) ≤9 ≤8 ≤7 ≤9 ≤8 ≤8 ≤ 12 30-34 ≤ 14 ≤ 10 ≤ 12 ≤ 12 ≤ 15 ≤ 15 ≤ 15 12 – 35 30 – 55 ≤ 10 ≤ 10 20 – 40 ≤ 12 29 – 35 ≤ 12 ≤ 13 ≤ 12 30-45 30-50 ≤ 10 ≤ 12 35 – 47 ≤ 12 10 – 35 ≤ 12

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Mutu P Mutu D Mutu T ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 ≥ 90 75 – 89 65 – 74 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g- 1499kc/g 500 kc/g-999 kc/g ≥ 1200 kc/g 800 kc/g-1199 kc/g 400 kc/g-799 kc/g ≥ 80 60 – 79 40 – 59 ≥ 80 60 – 79 40 – 59 ≥ 90 70- 89 60 – 69 ≥ 90 70- 89 60 – 69 ≥ 70 60 – 69 45 – 59 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 ≥ 90 80 – 89 60 – 79 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 2000 kc/g 1500 kc/g-1999 kc/g 1000 kc/g-1499 kc/g ≥ 75 55 – 74 45 – 54 ≥ 80 60 – 79 40 – 59

Masa berlaku uji 12 12 12 12 12 12 12 * 12 12 6 6 3 12 12 * * 12 12 6 12 3 3 3 12 3 * 12 12 * 6 3 12

19

Jenis Eucalyptus camadulensis Eucalyptus deglupta Eucalyptus pellita Eucalyptus urophylla Fagara rhetsa Fagraea fragrans Falcataria moluccana Ficus variegata Gliricidia sepium Gmelina arborea Gmelina moluccana Gyrinops versteegii Hibiscus macrophyllus Instia bijuga Khaya anthoteca Langerstroemia speciosa Leucaena glauca Leucaena leucocephala Maesopsis eminii Manilkara kauki Magnolia ovalis Magnolia blumei Magnolia champaca Melaleuca cajuputi Melaleuca leucadendron Melia azedarach Mimusops elengi Octomeles sumatrana Palaquium rostratum Pericopsis mooniana Pinus merkusii Planchonia valida Podocarpus nerifolius Polyalthia longifolia Pongamia pinnata Pterocarpus indicus

Berat 1000 butir (gram) – – – – 54 – 57 – 18 – 24 – 120 – 200 500 – 720 1600 – 1800 80 – 108 6–8 2600 – 3100 230 – 290 5,00 – 7,32 45 – 50 50 – 60 1150 – 1460 675 – 895 26 – 34 47 – 60 55 – 90 – – 820 – 879 452 – 562 – 1390 – 1550 250 – 300 16 – 20 285 – 500 2,80 – 3,40 1035 – 1250 1060 – 1600 500 – 900

Kemurnian (%) – – – – ≥ 98 – ≥ 96 – ≥ 95 ≥ 97 ≥ 99 ≥ 97 ≥ 90 ≥ 97 ≥ 98 ≥ 85 ≥ 95 ≥ 95 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 97 ≥ 99 ≥ 99 – – ≥ 99 ≥ 99 – ≥ 99 ≥ 99 ≥ 94 ≥ 99 ≥ 95 ≥ 70 ≥ 99 ≥ 90

Kadar air (%) ≤ 9 ≤ 9 ≤ 10 ≤ 12 ≤ 15 ≤ 10 ≤ 10 ≤ 15 8-9 ≤ 13 ≤ 12 40 – 55 ≤9 ≤ 10 ≤ 14 ≤ 12 ≤ 9 ≤ 9 14 – 30 14 – 30 30 – 42 ≤ 18 12 – 40 ≤ 10 ≤ 10 ≤ 10 12 – 30 ≤ 12 35 – 50 ≤9 ≤ 10 30 – 50 ≤ 12 30 – 50 ≤ 15 ≤ 14

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Mutu P Mutu D Mutu T ≥ 1000 kc/g ≥ 700 kc/g– 999 kc/g 500 kc/g – 699 kc/g ≥ 1200 kc/g 1000 kc/g-1199 kc/g 700 kc/g – 999 kc/g ≥ 1000 kc/g ≥ 700 kc/g- 999 kc/g 500 kc/g – 699 kc/g ≥190 kc/g 140 kc/g -189 kc/g 90 kc/g-139 kc/g ≥ 40 30 – 39 20 – 29 ≥ 2000 kc/g 1600 kc/g-1999 kc/g 1400 kc/g - 1599 kc/g ≥ 90 75 – 89 65 – 74 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g- 1499kc/g 500 kc/g-999 kc/g ≥ 90 80 – 89 60 – 79 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 50 40 – 49 30 – 39 ≥ 75 65 – 74 50 – 64 ≥ 70 50 – 69 40 – 50 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 75 65 -74 50 – 64 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 70 60 – 69 50 – 59 ≥ 70 50 – 69 40 – 49 ≥ 3750 kc/g 3050 kc/g–3749 kc/g 1600 kc/g–3049 kc/g ≥ 6000 kc/g 4000 kc/g-5999 kc/g 3000 kc/g - 3999 kc/g ≥ 70 60 – 69 45 – 59 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 ≥ 1500 kc/g 1000 kc/g - 1499kc/g 500 kc/g - 999 kc/g ≥ 70 60 – 69 50 – 59 ≥ 75 65 – 74 45 – 64 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 ≥ 70 50 – 69 40 – 49

Masa berlaku uji 12 12 12 12 3 12 12 6 12 6 6 * 12 12 3 12 12 12 6 3 3 3 3 12 12 6 6 6 3 12 6 * 6 * 3 6

20

Jenis Pterospermum javanicum Santalum album Samanea saman Sandoricum koetjape Schleichera oleosa Schima wallichii Senna siamea Sesbania grandiflora Shorea pinanga Sterculia foetida Styrax benzoin Swietenia macrophylla Tamarindus indica Tectona grandis Terminalia catappa Toona sinensis Vitex coffasus Wrightia pubescens

Berat 1000 butir (gram) 70 –73 100 – 150 160 – 210 3400 – 3650 495 – 630 3,00 – 4,20 22 – 28 33 – 58 25900 – 26400 1600 – 2300 1600 – 2400 400 – 700 717 – 782 550 – 740 5882 – 7188 8 – 11 65 – 105 15 – 27

Kemurnian (%) ≥ 88 ≥ 95 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 96 ≥ 97 ≥ 96 100 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 96 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 99 ≥ 85 ≥ 98 ≥ 99

Kadar air (%) ≤8 ≤9 ≤10 40 – 55 12 – 30 ≤ 12 ≤9 ≤8 35 – 50 ≤ 12 25 – 50 ≤ 10 ≤ 18 ≤ 12 7 – 20 ≤ 12 ≤ 15 25 – 50

Daya berkecambah (% atau kecambah per gram) Mutu P Mutu D Mutu T ≥ 90 80 – 89 65 – 79 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 80 60 – 79 50 – 59 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 80 70 – 79 60 – 69 ≥ 90 80 – 89 65 – 79 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 ≥ 85 75 – 84 60 – 74 ≥ 80 70 – 79 50 – 69 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 90 75 – 89 60 – 74 ≥ 65 50 – 64 40 – 49 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 75 60 – 74 50 – 59 ≥ 60 50 – 59 40 – 49 ≥ 85 70 – 84 60 – 69

Masa berlaku uji 12 6 12 * 3 6 12 12 * 6 3 6 12 12 3 3 3 *

Keterangan: kc/g = jumlah kecambah per gram *= hanya berlaku untuk satu kali pengujian pada benih rekalsitran

Lampiran 2. Standard mutu bibit Nama botani Acacia crassicarpa Acacia mangium Adenanthera microsperma Agathis sp. Alstonia sp. Aleurites moluccana Anthocephalus cadamba Antocephalus macrophylla.

Jenis Nama lokal Karpa Mangium Saga pohon Damar Pulai Kemiri Jabon putih Jabon merah

Tinggi (cm) ≥25 ≥25 ≥30 ≥30 ≥40 ≥45 ≥35 ≥25

Diameter(mm) ≥3,5 ≥3 ≥3 ≥6 ≥5 ≥5 ≥4,5 ≥4

Kriteria Kekompakan media utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh

Jumlah daun/LCR ≥6 ≥6 ≥8 ≥6 ≥9 ≥6 ≥6 ≥5

Umur (bln) ≥3 ≥3 ≥4 ≥15 ≥6 ≥4 ≥3 ≥3

21

Nama botani Artocarpus camansi Artocarpus heterophyllus Aquilaria malaccensis Avicenia sp. Azadirachta indica Bruguera sexangula Calophyllum inophyllum Canarium sp. Casuarina junghuniana Delonix regia Diospyros sp. Dipterocarpus sp. Duabanga moluccana Dyera lowii Dryobalanops sp. Enterolobium ciclocarpum Eucalyptus pellita Eucalyptus urophylla Eusideroxylon zwagery Ficus benyamin Gmelina arborea Gmelina moluccana Gyrinopsis versteegii Hibiscus macrophyllus Instia bijuga Lagerstoemia speciosa Maesopsis emenii Manilkara kauki Mangifera kasturi Magnolia blumei Melia azedarach Melia excelsa Magnolia champaca Mimosops elengi

Jenis Nama lokal Kluwih Nangka Gaharu Api-api Mimba/intaran Bakau Nyamplung Kenari Cemara gunung Flamboyan Eboni Keruing Benuang laki/takir Jelutung rawa Kapur Sengon buto Pelita Ampupu Ulin Beringin Jati putih Kayu titi Ketimunan Tisuk Merbau Bungur Kayu afrika Sawo kecik Kasturi Manglid Mindi Kayu yeer/sentang/kayu bawang Bambang lanang Tanjung

Tinggi (cm) ≥35 ≥40 ≥32 ≥35 ≥25 ≥30 ≥30 ≥30 ≥45 ≥35 ≥30 ≥40 ≥40 ≥35 ≥35 ≥40 >20

Diameter(mm) ≥4,5 ≥4,5 ≥3,5 ≥5 ≥3 ≥4,5 ≥4 ≥4 ≥2,5 ≥3,5 ≥3 ≥4 ≥4,5 ≥6 ≥3,5 ≥4 >2

Kriteria Kekompakan media utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh

Jumlah daun/LCR ≥4 ≥6 ≥8 ≥6 ≥8 ≥4 ≥6 ≥6 LCR≥50% LCR≥40% ≥10 ≥8 ≥10 ≥6 ≥10 LCR≥80% ≥6

Umur (bln) ≥4 ≥3 ≥5 ≥4 ≥6 ≥3 ≥4 ≥6 ≥8 ≥4 ≥6 ≥5 ≥4 ≥6 ≥5 ≥4 ≥3

>30 ≥40 ≥40 ≥30 ≥30 ≥25 ≥30 ≥30 ≥30 ≥35 ≥25 ≥35 ≥35 ≥35 ≥40

> 2,5 ≥6 ≥5 ≥4 ≥4 ≥3,5 ≥5 ≥4,5 ≥4 ≥4 ≥3 ≥4,5 ≥4,5 ≥3,5 ≥6

utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh

≥8 ≥6 ≥18 ≥5 ≥5 ≥12 ≥10 ≥4 ≥6 ≥8 ≥12 ≥6 ≥8 ≥8 ≥6

≥3 ≥10 ≥4 ≥4 ≥4 ≥8 ≥4 ≥3 ≥4 ≥4 ≥12 ≥4 ≥4 ≥3 ≥8

≥35 ≥35

≥4,5 ≥5

utuh utuh

≥8 ≥6

≥6 ≥6

22

Nama botani Octomeles sp. Palaquium alovium Palaquium dasyphyllum Paraserianthes falcataria Pericopsis mooniana Peronema canescens Planchonia valida Polyalthia longifolia Pometia pinnata Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Pinus merkusii Scheleicera oleosa Shorea balangeran Shorea leprosula Shorea levis Shorea parvifolia Shorea stenoptera Shorea sp. Samanea saman Sterculia foetida Swietenia macrophylla Tamarindus indica Tectona grandis Terminalia catapa Toona sp. Vitex coffasus

Jenis Nama lokal Benuang bini Nyatoh Nyatoh Sengon Kayu kuku Sungkai Putat Glodogan tiang Matoa Angsana Bayur Bakau Bakau Bakau Tusam Kesambi Balangeran Meranti Bangkirai Meranti Tengkawang Meranti Kihujan/ trembesi Kaput/nitas Mahoni Asam jawa Jati Ketapang Suren Biti

Tinggi (cm) ≥25 ≥28 ≥35 ≥35 ≥30 ≥30 ≥35 ≥45 ≥40 ≥35 ≥35 ≥35 ≥50 ≥40 ≥25 ≥35 ≥40 ≥40 ≥50 ≥34 ≥38 ≥45 ≥50 ≥40 ≥35 ≥40 ≥30 ≥40 ≥35 ≥25

Diameter(mm) ≥7 ≥3 ≥4 ≥4 ≥4 ≥4 ≥6 ≥6 ≥5 ≥4 ≥4,0 ≥5 ≥16 ≥15 ≥3 ≥4 ≥4 ≥3,5 ≥4 ≥3,6 ≥4 ≥4 ≥5 ≥5 ≥3,5 ≥4 ≥4 ≥5 ≥4 ≥3

Kriteria Kekompakan media utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh utuh

Jumlah daun/LCR ≥6 ≥8 ≥8 LCR≥30% ≥8 9 ≥10 ≥10 ≥6 ≥8 ≥8 ≥4 ≥4 ≥4 ≥8 ≥8 ≥8 ≥7 ≥8 ≥10 LCR≥10 ≥8 LCR≥40% ≥6 ≥8 LCR≥70% ≥6 ≥6 ≥6 ≥6

Umur (bln) ≥3 ≥4 ≥4 ≥4 ≥6 ≥4 ≥8 ≥6 ≥4 ≥4 ≥6 ≥4 ≥5 ≥5 ≥7 ≥6 ≥5 ≥6 ≥10 ≥6 ≥4 ≥6 ≥6 ≥3 ≥4 ≥6 ≥4 ≥5 ≥4 ≥4

23

Lampiran 3. Teknologi penangan benih beberapa jenis tanaman hutan Jenis Acacia spp. Adenanthera microsperma Agathis loranthifolia Aleurites moluccana Albizzia procera Alstonia scholaris Altingia excelsa Anacardium ocidentale Anthocephalus cadamba Anthocephalus macrophyllus Azadirachta excelsa Baccaurea macrocarpa Calliandra calothyrsus Calliandra tetragona Calophyllum inophyllum Canarium indicum Castanopsis argentea Cassuarina equisetifolia Cassuarina junghuhniana Ceiba pentandra Cryptocarya cuneata Cryptocarya massoy Dalbergia latifolia Delonix regia Diospyros celebica Duabanga moluccana Dyera lowii Enterolobium cyclocarpum Eucalyptus camadulensis Eucalyptus deglupta Eucalyptus pellita

Karakter Pengumpulan benih buah O PP O PP, PL R PP O PL O PP O PP O PP I PP, PL O PL O PL R PP R PP, PL O PP O PP I PL O PP, PL R PL O PP O PP O PP R PP R PP O PP O PP R PP I PP I PP O PP O PP O PP O PP

Musim Indikator Ekstraksi Seleksi dan buah kemasakan benih sortasi Jul-Agt WBC EK MT, SGT Jul-Agt WBC, BM EK MT, SGT Okt WBHC EK, PM MT Jul-Agt WBC EB SPA Agt-Sep WBC EK MT, SGT Okt-Nop WBHK EK PFP Agt-Okt WBHC EK MT Agt-Sep WBKM EK MN Apr-Jun WBHK EB PY Apr-Jun WBHK EB PY Okt-Nop WBHK EB MN Feb-Apr WBHK EB MN Jun-Agt WBC EK MT, SGT Mei-Agt WBC EK MT, SGT Mei-Sep WBHC EB MN ST WBHT EB MN Nop-Feb WBKC EB MN Agt-Sep WBC EK MN ST WBKC EK MT, SGT Apr-Mei WBC EK MT Jul-Sep WBHT EB MT Jul-Sep WBC EB MT Jul-Agt WBC EK MT, SGT Jul-Agt WBC EK MT Sep-Nop WBC EK MN Agt-Sep WBC EK MN Mar-Mei WBC EK MN Agt-Sep WBC EK MT, SGT Jun-Sep WBC EK PY Jun-Jul WBC EK PY Agt-Sep WBC EK PY

Pengeringan benih PJM PJM PSK PJM PJM PJM PJM, PSD PSK PSK PSK PSK PSK PJM, PSD PJM, PSD PSK PJM PSK PJM PJM PJM PSK PSK PJM PJM PSK PSK PSK PJM PJM PJM PJM

Penyimpanan WK, RAC, DSC WK, RAC, RR WP WK, RAC, RK WK, RAC, DSC WK, DCS, RR WK, DCS, RR WK, DCS, RR WK, RR WK, RR WP, RAC WP, RAC WK, RAC, DSC WK, RAC, DSC WK, RAC WK, RAC, DSC WP, RAC WK, RAC, DSC WK, DSC, RR WK, RAC, DSC WP, RAC WP, RAC WK, RAC, DSC WK, RAC, DSC WP, RAC WK, RAC, RR WP, RAC WK, RAC, DSC WK, RR WK, RR WK, RR

Perkecambahan/ penaburan MPT, RAP MPT, RAP MPT MPT, PRJ MPT, RAP MPT MPT MPT MTPK MTPK MPT MPT MPT MPT MPT, KB MPT, PKB+RAD MPT MPT MPT MPT MPT MPT MPT, RAD MPT, RAP MPT MTPK MPT MPT, RPD/AS MTPK MTPK MTPK

Pemeliharaan bibit PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

24

Jenis Eucalyptus urophylla Fagara rhetsa Fagraea fragrans Falcataria moluccana Ficus variegata Gliricidia sepium Gmelina arborea Gmelina moluccana Gyrinops versteegii Hibiscus macrophyllus Intsia bijuga Khaya anthotecha Lagerstroemia speciosa Leucaena glauca Leucaena leucocephala Maesopsis eminii Manilkara kauki Magnolia ovalis Magnolia Blumei Magnolia champaca Melaleuca cajuputi Melaleuca leucadendron Melia azedarach Mimusops elengi Octomeles sumatrana Palaquium rostratum Pericopsis mooniana Pinus merkusii Planchonia valida Podocarpus imbricatus Pongamia pinnata Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Santalum album Samanea saman Schleichera oleosa

Karakter Pengumpulan benih buah O PP O PP O PP O PP I PP, PL O PP I PL I PL R PP O PP O PP, PL O PP O PP O PP O PP O PP, PL I PP I PP R PP I PP O PP O PP I PP O PP O PP, PL R PP O PP I PP R PP R PP, PL I PP O PP I PP I PP O PL I PP

Musim Indikator Ekstraksi Seleksi dan Pengeringan Penyimpanan Perkecambahan/ buah kemasakan benih sortasi benih penaburan Apr-Mei WBC EK PY PJM WK, RR MTPK Jan-Feb WBMH EB, EK MN PSK WK, DCS, RR MPT, PRJ Apr-Mei WBM EB PY PSK WK, RR MPT, RAP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Mei-Jul WBMH EB PY PSK WK, RR MTPK Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Agt-Sep WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT Jul-Sep WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT Jan-Mar WBHK EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT Jul-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, AS Jun-Sep WBC EK MN PJM WK, RAC, DSC MPT, PKB/AS Agt-Okt WBC EK MN PSK WK, RAC, DSC MPT Jul-Okt WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Jul-Agt WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Jul-Agt WBMH EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT, KNO Mei-Agt WBKM EB MN PSK WK, RAC MPT Apr, Okt WBHC EK MN PSK WK, RAC MPT Okt-Mar WBHM EK MN PSK WP, RAC MPT Okt-Mar WBC EB MN PSK WK, RAC MPT Sep-Nop WBHC EK PY PJM WK, DSC, RR MTPK Sep-Nop WBHC EK PY PJM WK, DSC, RR MTPK Feb-Apr WBHK EB MN PSK WK, RAC MPT Jul-Sep WBMH EB MN PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Des, Jun WBHT EK PY PSK WK, RR MTPK Okt-Nop WBHT EB MN PSK WP, RAC MPT Agt-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAD Sept, Jan WBHC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPTH Apr-Mei WBHC EB MN PSK WP, RAC MPT Jan-Apr WBM EK MN PSK WP, RAC MPT Agt-Des WBHC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT Jul-Agt WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT Okt-Des WBC EK MN PSK WK, RAC, DSC MPT Agt-Nop WBHT EB MN PSK WK, RAC, DSC MPT, TI Jul-Sep WBC EK MN PJM WK, RAC, DSC MPTH, RAP Feb-Apr BWHK EB MN PSK WP, RAC MPT, RAD

Pemeliharaan bibit PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

25

Jenis Schima wallichii Senna siamea Sesbania grandiflora Shorea pinanga Sterculia foetida Styrax benzoin Swietenia macrophylla Tamarindus indica

Karakter Pengumpulan benih buah O PP O PP O PP R PP I PP, PL I PL I PP O PP, PL

Musim Indikator Ekstraksi Seleksi dan Pengeringan Penyimpanan Perkecambahan/ buah kemasakan benih sortasi benih penaburan Agt-sep WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT Agt-Okt WBC EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP Jul-Sep WBC EK MT, SGT PJM WK, RAC, DSC MPT Feb-Apr WBC EK, SH MN PSK WP, RAC MPT Jul-Sep WBC EK MN PSK WP, RAC, DCS MPT Mar-Apr WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT, PRJ Jul-Agt WBC EK MT PSK WK, RAC, DSC MPT Jun-Sep PMR EB, EK MT PJM WK, RAC, DSC MPT, RAP

Pemeliharaan bibit PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK PS, PM, PG, PA, PHP, AK

1) Karakter benih: O=ortodoks, I=intermediate, R=rekasitrans 2) Pengumpulan buah: PP=pemanjatan/pemetikan buah, PL=pengumpulan di lantai hutan 3) Musim buah: Jan=januari, Feb=Februari, Mrt=Maret, Apr=April, Mei=Mei, Jun=Juni, Jul=Juli. Agt=Agustus, Sep=September, Okt=Oktober, Nop=Nopember, Des=Desember, ST=hampir sepanjang tahun 4) Indikator kemasakan: WBC=warna buah coklat, WBHC=warna buah hijau tua kecoklatan, BWHK=warna buah hijau tua hingga kekuningan, WBKM=warna buah kuning kemerahan, WBHT=warna buah hijau atau kehitaman, WBKC=warna kulit buah kuning kecoklatan, WBHM=warna buah hijau kemerahan, WBM=warna buah merah, WBMH=warna buah merah kehitaman, BM=buah merekah, PMR=polong mudah diretakkan 5) Ekstraksi benih: EB=ekstraksi basah, EK=ekstraksi kering, PM=pemerahaman tanpa penjemuran, SH=sayap dihilangkan 6) Seleksi dan sortasi: MN=manual , MT=manual penampian (ditampi), SGT=seed gravity table, SPA=seleksi dengan perendaman di dalam air, PFP=pemisahan benih dengan sayapnya dengan food processor, PY=penyaringan dengan ukuran mesh 7) Pengeringan benih: PJM=penjemuran di bawah sinar matahari (1-4 hari), PSK=kering angin pada suhu kamar, PSD=pengeringan dengan seed dryier 8) Penyimpanan benih: WK=wadah kedap, WP=wadah poros/berpori, RK=ruang suhu kamar, RAC=ruang AC (air conditioner), RR=refrigerator, CS=cool storage, DCS=dry cool storage 9) Perkecambahan: MP=media pasar, MPT=media pasi dan tanah (1:1), MTPK=media tanah, pasir, kompos, RAP=perendaman air panas (80°C) dan dibiarkan dingin selama 24 jam, RAD=rendam air dingin, AS=perendaman asal sulfat (H 2SO4) 5-10 menit, PRJ=Perlakuan rendam jemur selama 3-6 hari, PKB=Pengikiran tidak boleh merusak embrio benih lalu benih direndam air selama 30 menit, KNO= Rendam dalam larutan KNO 3 30 menit , KB=kulit benih dibuang, TI= memerlukan tanaman inang berdaun tipis dan kecil, bertajuk runcing, sistem perakaran sukulen, mudah bertunas setelah dipangkas. 10)Pembibitan: PY=penyiraman, PM=pemupukan, PG=penyiangan gulma, PA=pemangkasan akar, PHP=pengendalian hama penyakit, AK=Aklimatisasi

26