13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 GIZI BURUK DAN KURANG GIZI KURANG

Download Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada ... karena kekurangan kedua-duanya atau yang lebih dikenal dengan...

0 downloads 426 Views 314KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk dan Kurang Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang (Depkes, 2000). Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada awalnya atau tanpa kenaikan berat badan setiap bulan atau bahkan mengalami penurunan berat badan selama beberapa bulan. Perubahan status gizi balita diawali oleh perubahan berat badan balita dari waktu ke waktu. Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat badan 2 kali selama 6 bulan, beresiko 12,6 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang berat badannya terus meningkat. Bila frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Depkes, 2005). Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi buruk (Dewi, 2013). Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai

13

14

tanda-tanda bahaya (Moehji, 2002). Dampak gizi buruk pada anak terutama balita antara lain : a) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak mengalami hambatan hingga anak dewasa. b) Mudah terserang penyakit diare, ISPA, dan yang lebih sering terjadi, c) Bisa menyebabkan kematian apabila tidak diberikan perawatan yang intensif. Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga yaitu gizi buruk karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor, akibat kekurangan karbohidrat atau kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan karena kekurangan kedua-duanya atau yang lebih dikenal dengan marasmuskwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) (Nency, 2005). Gizi buruk sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, serta tingkat kecerdasan anak. Gizi buruk yang diserta dengan penanganan yang buruk akan memicu terjadinya penyakit lainnya yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Subagyo, 2007). Penentuan Status Gizi Balita Ada dua jenis antropometri yang digunakan dalam mengidentifikasi status gizi, yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kedua ini disajikan dalam bentuk indeks dan rasio berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan rasio berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Status gizi yang diukur dengan rasio BB/U mencerminkan status masa sekarang. Karena,

15

berat badan mencerminkan kondisi outcome tentang status gizi pada masa sekarang. Rasio TB/U mencerminkan status gizi masa lalu, karena tinggi badan merupakan outcome kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat sekarang (Hidayat, 2005). Di masa lalu, rujukan pertumbuhan dikembangkan menggunakan data dari satu negara dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa memperhatikan cara hidup dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World Health Organization (WHO) telah mengembangkan standar pertumbuhan yang berasal dari sampel anak-anak dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman dan Amerika Serikat. WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak merokok). Penelitian tersebut mengikuti bayi normal dari lahir sampai usia 2 tahun, dengan pengukuran yang sering pada minggu pertama. Kelompok anak-anak lain umur 18 sampai 71 bulan, diukur satu kali. Data dari kedua kelompok umur tersebut disatukan untuk menciptakan standar pertumbuhan anak umur 0 sampai 5 tahun. Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai status pertumbuhan anak dengan mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan hasil pengukuran. Dalam modul ini akan dijelaskan cara melakukan penilaian status pertumbuhan berdasarkan empat indikator berikut: a)

Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur

16

b)

Berat Badan Menurut Umur

c)

Berat Badan Menurut Panjang/Tinggi Badan

d)

Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Umur

Untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan (BB) dapat dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Prinsipnya adalah anak yang sehat, bertambah umur bertambah berat badan. Menurut Standar WHO BB ideal anak laki-laki usia 2 tahun adalah 12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. untuk seterusnya setelah usia 2 tahun sampai 5 tahun, pertambahan BB rata-rata 2-2,5 kg per tahun. Pemantauan panjang / tinggi badan juga perlu agar dapat diketahui keadaan atau status gizi yang lebih akurat. Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score Indikator Pertumbuhan Z-score PB/U atau TB/U Di atas 3

BB/U

Lihat Catatan 1

Di atas 2 Lihat Catatan 2 Di atas 1

BB/PB atau BB/TB Sangat gemuk (Obes)

Sangat gemuk (Obes)

Gemuk (Overweight)

Gemuk (Overweight)

Risiko Gemuk (Lihat Catatan3)

Risiko Gemuk (Lihat Catatan 3)

IMT/U

0 (Angka Median) Di bawah -1

Di bawah -2

Pendek (Stunted) (Lihat Catatan 4)

BB Kurang (Underweight)

Kurus (Wasted)

Kurus (Wasted)

Di bawah -3

Sangat Pendek (Severe Stunted) (Lihat Catatan 4)

BB Sangat Kurang (Severe Underweight)

Sangat Kurus (Severe Wasted)

Sangat Kurus (Severe Wasted)

Sumber: Modul C Pelatihan Penilaian Pertumbuahan Anak WHO 2005

17

Catatan: 1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami gangguan endokrin seperti adanya tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi sekali menurut umurnya, sedangkan tinggi orang tua normal). 2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada katagori ini, kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U. 3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju garis Z-score 2 berarti risiko lebih pasti. 4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila mendapatkan intervensi gizi yang salah.

2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta kasus, tahun 2006 turun lagi menjadi 4,2 juta kasus (944.246 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) dan tahun 2007 turun menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) (Depkes, 2008). Prevalensi nasional gizi kurang pada balita pada tahun 2008 adalah 13,0% dan gizi buruk pada balita 5,4%. Hal ini menunjukkan capaian target MDGs

18

sebesar 18,5% dalam program perbaikan gizi, maupun target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 20%. Meskipun telah ada target tersebut, sebanyak 19 provinsi memiliki prevalenzi gizi buruk dan gizi kurang diatas target prevalensi nasional termasuk provinsi NTT (Badan Litbang Kesehatan, 2008). Secara nasional anak balita dengan status gizi kurang ditargetkan harus kurang dari 15,0% pada tahun 2012 (Bappenas, 2011). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia sebesar 17,9% yang terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%. Sekitar 37,3 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagian dari total rumah tangga mengkonsumsi energi dan protein kurang dari kebutuhan tubuh sehari-hari. Sebanyak 5 juta balita berstatus gizi kurang dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap masalah kurang gizi (Hadi, 2005). Pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat kelima Negara dengan kasus gizi kurang dan buruk terbanyak di dunia. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk Indonesia yang menempati peringkat keempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah anak balita yang mengalami gizi kurang di Indonesia saat ini tercatat sekitar 900 ribu jiwa atau 4,5% dari jumlah keseluruhan anak balita di Indonesia yakni 23 juta jiwa (Tarigan, 2012). Daerah yang penduduknya mengalami gizi kurang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Masalah gizi kurang sering kali tidak terpantau dengan baik yang akhirnya tidak dapat

19

diatasi secara maksimal. Padahal masalah ini dapat memunculkan masalah yang besar (Bappenas, 2011). Krisis ekonomi bangsa menjadi salah satu pencetus terjadinya masalah gizi di masyarakat. Status gizi yang buruk mengakibatkan terjadinya lost generation yaitu suatu generasi dengan jutaan anak mengalami kekurangan gizi sehingga tingkat kecerdasan (IQ) anak pun menjadi lebih rendah. Anak yang mengalami kurang energi protein (KEP) mempunyai IQ yang lebih rendah 10-13 skor jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami KEP. Anak yang terkena anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan dengan anak yang tidak anemia (UNICEF, 1998). Anak yang mengalami gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) terancam mempunyai IQ yang lebih rendah 50 skor dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami GAKI (Karsin, 2004). Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan indeks BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan indeks TB/U dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin (UNICEF, 1998).

2.3 Determinan Status Gizi UNICEF (1990) menjelaskan bahwa upaya perbaikan gizi lebih efektif bila memperhatikan faktor penyebabnya, dimana determinan kekurangan gizi di masyarakat disebabkan oleh pemberian makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Pola asuh, ketersediaan makanan, air bersih, sanitasi serta ketersediaan pelayanan

kesehatan dasar dianggap sebagai

faktor

yang

20

berpengaruh tak langsung terhadap permasalahan gizi. Akar masalah dari faktor tidak langsung tersebut dijelaskan adalah kemiskinan, kurang pangan, kurang pengetahuan dan pendidikan seperti tergambar pada gambar 2.1.

Outcome

Status gizi Anak Konsumsi Makanan

Status Infeksi

Pola Asuh dan perawatan anak Kebersihan dan sanitasi

Penyediaan makanan di rumah

Pelayanan Kesehatan

Penyebab Langsung

Penyebab tidak Langsung

Pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan yang rendah Pokok Masalah Rendahnya pemberdayaan wanita dan keluarga, pemanfaatan sumber daya masyarakat yang kurang

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial Gambar 2.1 Determinan Status Gizi Anak Sumber : UNICEF 1990 disesuaikan dengan keadaan Indonesia

2.3.1 Faktor Langsung Secara umum, status gizi dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu asupan makanan dan infeksi penyakit. Asupan makanan sangat mempengaruhi status gizi. Status gizi akan berkembang secara optimal bila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang dibutuhkan dan digunakan secara efisien, sehingga mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara

21

maksimal. Status gizi kurang diakibatkan karena kurangnya asupan satu atau lebih zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Almatsier, 2006). Infeksi penyakit berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan dan perawatan anak dan ibu hamil (Supariasa, 2002). Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) mengakibatkan terganggunya proses penyerapan zat gizi oleh tubuh sehingga, zat gizi tidak dapat terserap dengan baik (UNICEF, 2009).

2.3.1.1 Konsumsi Makan UNICEF (1990) menjelaskan bahwa penyebab langsung status gizi anak dipengaruhi adalah konsumsi makanan dan status infeksi anak. Bila seorang bayi dan anak balita tidak mendapat Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat maka daya tahan tubuh anak akan menjadi rendah sehingga mudah terserang infeksi penyakit. Konsumsi makanan haruslah memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang dibutuhkan tubuh, meliputi memenuhi syarat makanan beragam, bergizi dan berimbang. Pada tingkat yang lebih luas, ketersediaan pangan sangat erat kaitannya dengan produksi dan distribusi bahan pangan. Ketersediaan pangan beragam yang tersedia sepanjang waktu dan dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat asupan makanan keluarga. Anak balita (dibawah lima tahun) merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan mengalami masalah gizi. Pada fase ini anak mengalami fase tumbuh kembang yang sangat pesat, sehingga sangat membutuhkan asupan makanan yang

22

sesuai dengan kebutuhan tubuh dan bergizi. Makanan yang bergizi adalah makanan yang didalamnya terkandung karbohidrat, vitamin, mineral, dan protein. Makanan yang bergizi justru cenderung kurang diminati anak karena pada anak balita kerapkali terjadi masalah dalam pemberian makanan karena factor kesulitan makan anak, yang mana anak suka memilih-milih makanan ataupun sulit untuk diberikan makanan (Judarwanto, 2004). Anak sulit makan merupakan salah satu masalah makan yang kerapkali dialami oleh orang tua. Beberapa keluhan yang sering terjadi antara lain memilihmilih makanan, menolak makan, tidak mau makan sama sekali, kalau diberi makan muntah, mengeluh sakit perut, dan adanya peningkatan emosi saat diminta untuk makan. Keluhan-keluhan tersebut merupakan indikasi bahwa anak sedang mengalami gangguan makan (Zaviera, 2008). Pada usia balita, gangguan kesulitan ini seringkali terjadi karena aktifitas anak yang meingkat sepertti bermain dan berlari sehingga kadang anak sampai lupa waktu dan melupakan rasa lapar mereka. Pola pemberian makan yang tidak sesuai dengan keinginan anak pun menjadi penyebab anak menjadi sulit makan, sedangkan pada balita terus terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat membutuhkan kecukupan nutrisi. Nutrisi yang dikonsumsi pada usia balita mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan bentuk makanan diawali dengan ASI yang bentuknya cair, lalu perlahan-lahan ditingkatkan dengan asupan makanan bertekstur halus dan sampai akhirnya diberikan makanan bertekstur padat sebagai asupan utama (Irwanto, 2002).

23

Gangguan kesulitan makan pada anak, perlu mendapatkan perhatian serius dan ditangani secepatnya agar tidak menimbulkan efek negative nantinya. Efek negatif yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah kekurangan gizi, menurunnya daya intelegensi dan menurunnya daya tahan tubuh anak yang berakibat anak mudah terserang penyakit dan akhirnya akan menghambat tumbuh kembang optimal pada balita (Santoso, 2009). Konsumsi makan juga mencakup pola pemberian makan, yaitu pola pemberian ASI eksklusif dan pola pemberian MP-ASI. 1) ASI eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan hasil sekresi dari kelenjar payudara ibu yang berbentuk cairan. Air Susu Ibu Eksklusif (ASI eksklusif) adalah air susu ibu yang diberikan selama 6 (enam) bulan kepada bayi tanpa adanya penambahan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lainnya (Kemenkes, 2012). ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa terjadwal dan tanpa diberikan makanan atau minuman lain, bahkan air putih sekalipun, hingga bayi berusia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan atau minuman lain dan tetap diberi ASI hingga bayi berumur dua tahun (Depkes, 2008). Bayi yang baru lahir umumnya diberikan air susu setiap 2 sampai 3 jam sekali. Waktu dan jarak menyusui akan semakin meningkat seiring bertambah usianya, karena daya tampung mereka menjadi lebih besar. Hal sebaliknya terjadi pada bayi baru lahir yang diberikan susu formula. Meraka akan

24

mengkonsumsi susu kira-kira 3 sampai 4 jam sekali, selama minggu-minggu pertama kehidupan mereka (Baskoro, 2008). ASI eksklusif merupakan salah satu langkah yang paling efektif untuk mencegah terjadinya kematian anak, namun Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa dari tiga bayi di bawah usia enam bulan, hanya satu bayi yang diberikan ASI eksklusif. Hasil survey ini menunjukkan bahwa sebagian besar bayi di Indonesia tidak mendapatkan manfaat ASI yang optimal, dalam hal ini berkaitan dengan gizi dan perlindungan tubuh terhadap penyakit. Tahun 2014, hanya sepertiga ibu di Indonesia yang secara eksklusif menyusui anak-anak mereka hingga usia enam bulan. Banyak hal yang menjadi hambatan bagi ibu untuk menyusui, termasuk dukungan keluarga yang rendah, beberapa ibu juga takut akan kesakitan ketika menyusui dan tidak praktis (UNICEF, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hafrida tahun 2004 yang dilakukan di kelurahan Belawan Bahari, anak-anak dengan keadaan gizi yang baik atau normal berkaitan erat dengan perilaku pemberian ASI, dimana mereka yang tidak pernah diberi ASI ternyata keadaan gizinya lebih rendah. Di samping itu, ketahanan hidup bayi yang pernah mendapatkan ASI adalah 984 per 1000, sedangkan ketahanan hidup yang tidak pernah mendapat ASI hanya 455 per 1000 (Nurmiati, 2008; Alharini, 2012). Faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan adalah adanya motivasi ibu untuk menyusui, sedangkan factor

25

penghambat keberlanjutan pemberian ASI adalah keyakinan ibu bahwa bayi tidak akan cukup memperoleh zat gizi jika hanya diberi ASI sampai umur 6 bulan dan kepercayaan akan susu formula (Alharini, 2012). 2) MP-ASI Makanan pendamping ASI merupakan makanan yang diberikan kepada bayi atau anak selain ASI untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi. MPASI mulai diberikan kepada bayi atau balita sejak berumur 6 bulan, sebab jika pasca usia 6 bulan bayi hanya diberikan ASI saja, maka kebutuhan gizi bayi hanya terpenuhi 60%-70%. Kebutuhan lainnya yang tidak dapat dipenuhi oleh ASI yaitu sebesar 30%-40% terpenuhi dari asupan makanan pendamping atau tambahan (Indiarti, 2008). Makanan Pendamping ASI harus mulai diberikan saat bayi berusia 6 bulan, karena sebelum usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi masih belum sempurna, seperti enzim-enzim pemecah protein diantaranya asam lambung, pepsin, lipase, enzim amylase belum dihasilkan secara sempurna. Enzimenzim ini akan mulai diproduksi sempurna sejak bayi berusia 6 bulan. Selain itu pada usia 6 bulan adalah saat di mana bayi mulai belajar menunyah dan menelan makanan padat sehingga risiko tersedak menjadi berkurang. Pada usia bayi 6-12 bulan, ASI hanya mencukupi setengah atau lebih dari kebutuhan gizi bayi, memasuki usia 12-24 bulan, ASI hanya menyediakan sepertiga dari kebutuhan gizinya sehingga diperlukan makanan pendamping untuk mencukupi kebutuhan gizi tubuhnya (Satyawati, 2012).

26

Bentuk MP-ASI terbagi menjadi 3 yakni makanan lumat, makanan lembek dan makanan keluarga. Pada usia 6-9 bulan makanan terbaik adalah yang teksturnya cair dan lembut seperti bubur buah, bubur susu atau bubur sayuran yang dihaluskan. Memasuki usia 10-12 bulan, bayi mulai diperkenalkan dengan makanan kental dan padat, namun harus tetap bertekstur lunak, seperti aneka nasi tim. Pada usia 12-24 bulan bayi sudah dapat dikenalkan pada makanan keluarga atau makanan padat seperti orang dewasa namun tetap harus mempertahankan rasa. Hal yang peril diingat dalam pemberian makanan pada bayi adalah menghindari jenis makanan yang dapat mengganggu organ pencernaan, seperti makanan pedas, terlalu berbumbu tajam, terlalu asam dan berlemak (Wulayani, 2012). Pemberian makanan yang terlalu dini selain ASI dapat menimbulkan gangguan pencernaan seperti diare, muntah dan sulit buang air besar pada bayi.

Sebaliknya,

pemberian

makanan

yang

terlalu

lambat

dapat

menyebabkan bayi mengalami kesulitan untuk belajar mengunyah, tidak menyukai makanan padat, bayi mengalami kesulitan makan, dan akhirnya bayi kekurangan gizi (Cott, 2003; Susanty, 2012). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini juga menyebabkan produksi ASI berkurang karena anak sudah kenyang dan jarang menyusu. Selain itu menimbulkan alergi di kemudian hari karena usus bayi masih mudah dilalui protein asing. Terlalu lambat memberikan makanan pendamping juga tidak baik karena ASI saja hanya bisa memenuhi kebutuhan bayi sampai 6 bulan. Sehingga pemberian MP ASI

27

lebih dari itu kemungkinan bayi akan mengalami malnutrisi (Soetjiningsih, 2004). WHO menyarankan, makanan lumat dan lembek yang diberikan hendaknya sudah lengkap terdiri dari sumber karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin, pengenalan berbagai campuran bahan makanan, rasa dan tekstur ini berguna untuk memperkaya zat gizi MP-ASI, keberagaman juga bermanfaat untuk membantu penyerapan zat-zat gizi yang lain (Satyawati, 2012). Kondisi status gizi baik akan dapat tercapai apabila asupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dapat tercukupi yang kemudian akan dimanfaatkan secara efisien oleh tubuh untuk menopang pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan ketahanan tubuh untuk bekerja demi tercapainya kesehatan yang optimal (Roesli, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian Munawaroh (2006) yang dilakukan di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa balita dengan pola makan yang tidak baik lebih berisiko 8,1 kali untuk mengalami status gizi kurang dari pada balita dengan pola makan yang baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahmani tahun 1997 di Sumatera Utara, usia pemberian MP-ASI pertama kali mempunyai hubungan dengan status gizi anak balita. Sebagian besar ibu (69,05%) memberikan MPASI tepat waktu kepada anaknya. Anak yang diberi MP-ASI pada usia ≥6 bulan mempunyai status gizi yang baik (Rahmani, 1997; Susanty, 2012)

28

2.3.1.2 Penyakit Infeksi Penyakit infeksi berkaitan erat dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya sanitasi lingkungan. Penyakit infeksi dapat memperparah keadaan gizi, terutama penyakit infeksi yang berat karena penyakit infeksi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga meningkatkan kehilangan zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berakhir pada status gizi yang semakin buruk. Terdapat hubungan yang sangat erat antara infeksi penyakit dengan kejadian malnutrisi. Terjadi hubungan yang timbal balik antara malnutrisi dengan penyakit infeksi. Infeksi akan mempengaruhi status gizi dengan mempercepat malnutrisi, dan sebaliknya malnutrisi menyebabkan anak mudah terserang penyakit infeksi (Pudjiadi, 2001). Mekanisme patologisnya berupa penurunan asupan zat gizi akibat berkurang atau hilangnya nafsu makan sehingga menurunkan absorpsi zat-zat gizi bagi tubuh, dan kebiasaan mengurangi asupan makanan saat sakit seperti batuk pilek, serta terjadinya peningkatan kehilangan cairan tubuh dan zat gizi akibat diare, mual muntah dan perdarahan yang terus menerus. Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita anak balita antara lain diare dan ISPA (Pudjiadi, 2003; Kusriadi, 2010). Diare, radang tenggorokan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh anak balita. ISPA dan diare terjadi pada anak balita karena sistem pertahanan tubuh anak rendah (Adisasmito, 2007).

29

2.3.2 Faktor Tidak Langsung 2.3.2.1 Sosial Ekonomi Menurut Supariasa (2002), faktor sosial ekonomi meliputi data sosial keadaan penduduk, keadaan keluarga diantaranya pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran, banyaknya anggota dalam keluarga, dan harga makan. Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga adalah rata-rata besarnya penghasilan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Kusriadi, 2010). Jumlah pengeluaran pada keluarga dengan pendapatan rendah biasanya akan lebih besar daripada pendapatan mereka. Pendapatan merupakan faktor yang paling berkaitan erat dengan jumlah dan mutu makanan yang nantinya akan mempengaruhi status gizi. Meningkatnya pendapatan akan berbanding lurus dengan peningkatan perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan gizi (Berg, 1987; Diah, 2011). Sosial ekonomi adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak baik sakit maupun sehat. Pendapatan keluarga sebagai salah satu determinan sosial ekonomi akan mempengaruhi keputusan keluarga

30

dalam memilih barang-barang konsumsi dengan mempertimbangkan nilai kepentingan barang tersebut dibeli. Pendapatan juga menentukan daya beli terhadap bahan pangan dan fasilitas lainnya seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dan lain-lain.

Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jumlah

pengeluaran total dan pengeluaran bahan makan cenderung akan ikut mengalami peningkatan, maka ketersediaan makanan dalam keluarga akan semakin baik sehingga asupan makanan juga akan meningkat dan meningkatkan status gizi (Susianto, 2008). Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di NTB menjelaskan prevalensi gizi buruk pada keluarga miskin lebih besar 37,5% dari keluarga tidak miskin, disamping itu juga terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi keluarga dengan gizi kurang. Adanya hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan ketahanan pangan dalam rumah tangga akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga dan berpengaruh terhadap status gizi anak. 2.3.2.2 Faktor Ibu 1) Pendidikan Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani oleh seseorang dan ditandai dengan kepemilikan ijasah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam mencapai kesehatan yang optimal terutama berkaitan dengan pola asuh anak, pemenuhan

zat gizi serta informasi

kesehatan lainnya. Pendidikan ibu yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam memenuhi segala kebutuhan anak serta keluarga terhadap asupan gizi. Dengan pendidikan yang baik, ibu dapat menunjang perekonomian keluarga

31

juga berperan dalam penyusunan menu makan sehat bagi keluarga dan perawatan anak. Keluarga dengan tingkat

pendidikan

yang tinggi

memudahkan menerima dan mengaktualisasikan informasi kesehatan khususnya dibidang gizi (Depkes, 2005). Dalam kehidupan bermasyarakat, tingkat pendidikan merupakan salah satu penilaian yang menentukan seseorang citra sosialnya dimata manusia lainnya. Tingkat pendidikan juga dapat menunjukkan keadaan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Pendidikan pada dasarnya betujuan untuk merubah perilaku dan pengaruh sosial budaya yang menghambat perbaikan kesehatan menjadi perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga dapat meningkatkan taraf kesehatan perorangan maupun masyarakat (Soekirman, 2000). Ernawati

(2006)

menjelaskan

bahwa

penerimaan

informasi

seseorang tentang gizi sangat dipengaruhi oleh pendidikan dimana masyarakat yang mempunyai pendidikan yang rendah akan sulit menerima informasi baru berkaitan dengan bidang gizi sehingga tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan walaupun tradisi tersebut tidak tepat. Selain itu tingkat pendidikan juga mempengaruhi penerimaan seseorang dalam menerima suatu pengetahuan. Jika tingkat pendidikan seseorang rendah, maka akan sulit bagi orang tersebut untuk menyerap informasi yang diberikan termasuk pendidikan dan informasi tentang gizi sehingga sulit untuk mencapai pola hidup bersih dan sehat. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin

32

mudah orang tersebut menerima pendidikan ataupun pengetahuan tentang gizi, dimana diharapkan dengan pendidikan gizi tersebut akan dapat tercipta pola hidup yang baik dan sehat. Lestari (2006) menerangkan pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. Lebih lanjut ditekankan oleh Anwar (2005) bahwa tingkat pendidikan ibu beresiko 2,3 kali terhadap kejadian gizi buruk di Lombok Timur. Pendidikan dan kesehatan merupakan hal mendasar yang diperlukan dalam

membentuk kemampuan manusia yang lebih baik. Kesehatan

merupakan salah satu penentu kesejahteraan dan pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan tercapainya kesehatan yang optimal dan perbaikan kehidupan kearah yang lebih baik (Kusriadi, 2010). 2) Pengetahuan Ibu adalah orang yang paling berperan penting dalam menentukan konsumsi makanan keluarga khususnya untuk anak balita. Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga.

Jika pengetahuan ibu tentang gizi rendah, maka berakibat

rendahnya anggaran belanja untuk makanan, keanekaragaman makanan kurang, serta kurangnya asupan gizi bagi tubuh. Pengeluaran keluarga akan lebih besar pada pembelian kebutuhan papa, yang tidak terlalu mendesak untuk dipenuhi karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Gangguan gizi juga disebabkan oleh kekurangmampuan ibu dalam mengolah informasi

33

mengenai gizi untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Ernawati, 2006). Berg dalam Hidayat (2006) menegaskan bahwa pengetahuan sangat mempengaruhi penentuan komposisi dan pola konsumsi pangan. Walaupun keluarga mampu membeli dan menyiapkan pangan, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi yang tepat akan tetap menjadi masalah. Istiono

(2009),

menerangkan

bahwa

tingkat

pengetahuan

mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam memilih makananan untuk dikonsumsi, yang di kemudian hari akan berdampak pada keadaan gizi orang tersebut. Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu factor yang sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita. 3) Jarak Kelahiran Anak Jarak kelahiran adalah perbedaan kelahiran dalam hitungan tahun antara anak yang terakhir dengan yang diatasnya. Jarak kelahiran yang terlalu dekat akan meningkatkan kejadian bayi lahir yang belum cukup umur dengan berat bayi lahir rendah. Status gizi yang rendah terkait pula dengan terlalu dekatnya jarak kelahiran yang akan diikuti dengan pendeknya waktu menyusui ibu kepada bayinya. Akhirnya jarak antar kelahiran yang pendek akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dari anak-anak dalam pembiayaan untuk kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan yang akhirnya berpengaruh kepada status gizi dan kesehatan anak-anak (Wilopo, 2010). Anak yang lahir dengan jarak kelahiran tiga sampai lima tahun dengan kelahiran sebelumnya mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih

34

tinggi 2,5 kali dari pada anak yang lahir dengan jarak kelahiran kurang dari dua tahun. Anak-anak yang lahir dengan jarak kelahiran lebih dari tiga tahun dengan kelahiran sebelumnya tingkat kesehatannya lebih tinggi saat mereka dilahirkan dan kemungkinan hidup yang lebih baik pada setiap tahap tumbuh kembangnya (Depkes, 2005). 4) Jumlah anak Program

KB

merupakan

salah

satu

upaya

membenahi

dan

memperbaiki kesejahteraan keluarga yang patut dilihat dalam hubungannya dengan masalah gizi. keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak kelahiran antar anak yang berdekatan akan menimbulkan lebih banyak masalah (Apriadji, 1986). Sebagaimana pemberantasan gizi kurang pada anak-anak dan ibu hamil dapat mendorong kearah terbentuknya keluarga kecil, maka pembatasan jumlah anggota keluarga bisa membantu memperbaiki gizi dan daya tahan anak-anak. Survei pangan di India memperlihatkan bahwa persediaan protein per anak dalam keluarga yang mempunyai satu atau dua anak akan lebih tinggi 22% (kira-kira 13% perkepala) dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai anak lebih dari 2 (Berg, 1986). 5) Pekerjaan Ibu Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Lerner (2001), ibu bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi

35

tenaga kerja. Kemiskinan yang semakin meningkat dan semakin tingginya angka pengangguran merupakan penyebab banyaknya ibu yang bekerja pada masa sekarang terutama di Negara berkembang termasuk Indonseia (Tjaja, 2000). Ibu yang bekerja tidak saja mempunyai dampak positif terhadap status gizi anak, tetapi juga membawa dampak negative. Ibu yang bekerja akan lebih membantu perekonomian keluarga dalam rangka mencukupi kebutuhan makanan anggota keluarga, namun juga membawa dampak negative dimana ibu menjadi tidak memperhatikan tumbuh kembang anak sehingga anak menjadi tidak berkembang dan betumbuh secara optimal. Begitupula sebaliknya pada ibu yang tidak bekerja yang dapat meluangkan waktu sepenuhnya untuk merawat anaknya, namun mengalami kesulitan memenuhi asupan gizi anak karena tidak mampu membeli makanan yang bergizi akibat ekonomi yang lemah, hal ini terutama cenderung terjadi pada keluarga dengan ekonomi lemah.

2.3.2.3 Sanitasi Sanitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan masyarakat dengan menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1995; Diah 2011). Sanitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya, misalnya menyediakan air yang bersih untuk

36

keperluan konsumsi, menyediakan tempat sampah untuk menampung sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmodjo, 2003). Soekirman (2000) menyatakan bahwa sanitasi lingkungan sangat erat kaitannya status gizi. Persediaan air bersih, ketersediaan jamban, sistem pembuangan air limbah, dan kebersihan alat makan pada setiap keluarga mempengaruhi setiap anggota keluarga terhadap paparan penyakit yang kemudian berpengaruh terhadap status gizi anak. Kurangnya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai serta praktek-praktek kebersihan yang buruk adalah beberapa penyebab yang mendasari penyakit malaria dan kematian pada anak-anak. Jika anak mengalami diare yang disebabkan karena kurangnya air bersih atau karena praktek kebersihan yang buruk, maka akan menguras nutrisi dari tubuhnya. begitu seterusnya, dari buruk menjadi lebih buruk (UNICEF, 2008) Tingkat higienitas dan sanitasi lingkungan merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian gizi buruk dan merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya gizi balita yang baik (Istiono, 2009). Rumah tangga di daerah Indonesia Timur umumnya mempunyai kondisi yang lebih buruk dari daerah Indonesia Barat. Sekitar 40,0% rumah tangga di NTB, NTT, Maluku dan Papua berkondisi tanpa sanitasi yang baik (Atmarita, 2006). Data Riskesdas 2010 menunjukkan akses

37

rumah tangga terhadap sanitasi yang layak secara nasional baru mencapai 55,53% dan Provinsi NTT paling rendah yaitu 25,35%. Sanitasi rumah adalah upaya yang dilakukan masyarakat demi tercapainya kesehatan yang optimal dengan menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik rumah. Hal-hal yang mencakup sanitasi rumah meliputi suhu, ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, saranan pembuangan kotoran manusia, sistem pembuangan air limbah dan penyediaan air bersih. Sanitasi rumah yang tidak memadai seperti rumah yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan sistem pembuangan sampah dan kotoran manusia yang tidak terjamin akan menyebabkan lingkungan yang tidak sehat (Kusriadi, 2010). Lingkungan rumah yang kotor memungkinkan berkembangnya penyakitpenyakit. Anak balita sebagai kelompok umur yang rawan akan mudah terinfeksi penyakit. Hal ini berkaibat pada semakin lemahnya kondisi tubuh dan menurunkan nafsu makan dan selanjutnya berpengaruh terhadap status gizinya (Ginting, 1997; Diah, 2011). Menurut Notoadmojo (2003) suatu rumah dikatakan sehat bila memenuhi syarat-syarat diantaranya, 1) ventilasi yang cukup sehingga aliran udara di dalam tetap segar, 2) pencahayaan ke dalam rumah yang cukup baik, 3) rumah memiliki fasilitas penyediaan air bersih yang memadai, tempat pembuangan tinja yang baik, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, dapur dan ruang kumpul keluarga, 4) bahan bangunan rumah meliputi lantai, dinding dan atap.

38

Hidayat (2006), menjelaskan bahwa kondisi kesehatan rumah tangga yang mencangkup fasilitas pembuangan air besar dan sumber air minum secara deskritif berkaitan dengan prevalensi status gizi balita. Rumah tangga yang memiliki fasilitas jamban sendiri memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang menggunakan fasilitas pembuangan air besar pada jamban di kamar mandi umum. Sementara rumah tangga yang mengkonsumsi air dari sumber air minum yang bersih memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang menggunakan sumber air minum lainnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam penentuan status gizi balita. Lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat menyebabkan penyakit kurang gizi (Sukarni, 1999; Diah, 2011). Bappenas (2009) menegaskan bahwa semakin baik sanitasi maka semakin rendah kematian anak dan semakin baik nutrisi anak. Selain itu akses dan penggunaan air bersih, sanitasi, kebiasaan mencuci tangan pada keluarga dan individu memiliki efek langsung terhadap status kesehatan.

Studi di delapan negara menunjukkan

penggunaan air bersih secara langsung telah berpengaruh terhadap kesehatan anak yaitu penurunan anak yang terkena diare sebesar 6,0% dan berpengaruh tidak langsung terhadap status gizi anak. Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di Propinsi NTB menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan yang tidak memadai meningkatkan risiko gizi buruk 1,33 kali lebih tinggi dari lingkungan sanitasi yang memadai. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ginting dalam Diah (2011) lingkungan yang kurang baik

39

berpengaruh 2,8 kali dibanding lingkungan yang baik terhadap status gizi balita dan KEP balita di Kecamatan Menpawah Pontianak.

2.3.2.4 Pelayanan Kesehatan Dasar Pelayanan kesehatan dasar adalah keterjangkauan keluarga dan masyarakat terhadap upaya pencegahan terhadap penyakit dan pemeliharaan kesehatan yang meliputi

immunisasi,

pertolongan

persalinan,

pemeriksaan

kehamilan,

pemantauan pertumbuhan anak melalui penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek swasta, rumah sakit dan klinik lainnya. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan karena hambatan ekonomi maupun non ekonomi seperti jarak yang jauh, tidak mampu membayar, kurang pengetahuan dan penyebab lainnya merupakan masalah dan kendala masyarakat maupun keluarga dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia, yang pada akhirnya akan berakibat pada kondisi status kesehatan anak (Depkes, 2008) Salah satu akses pelayanan kesehatan dasar primer adalah posyandu. Posyandu merupakan tempat melakukan pemantauan pertumbuhan anak dan tempat untuk mendapatkan informasi dan edukatif di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Walaupun posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita (81 %), tetapi hanya 56 % anak balita yang melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 %) anak balita tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Indikator D/S (jumlah anak yang ditimbang

40

terhadap jumlah seluruh anak di wilayah penimbangan tersebut) harus menjadi indikator kinerja utama untuk memantau keberhasilan pemberdayaan keluarga dan masyarakat (Riskesdas, 2010). Kejadian gizi buruk dan kurang tidak terjadi secara tiba-tiba dan mendadak, tetapi melalui suatu proses yang ditandai dengan adanya kenaikan berat badan anak yang tidak normal selama beberapa bulan belakangan dan dapat diketahui melalui penimbangan setiap bulannya. Penimbangan bulanan balita yang dilakukan di posyandu merupakan sarana efektif untuk memantau pertumbuhan dan melakukan deteksi secara dini jika terjadi gangguan pertumbuhan sehingga tidak berkembang menjadi gizi buruk. Namun, kinerja pemantauan pertumbuhan di posyandu dilaporkan belum optimal, sehingga kasuskasus gizi buruk ditemukan lebih banyak di luar mekanisme posyandu (Depkes, 2005). Pada posyandu terdapat beberapa kegiatan salah satunya adalah penimbangan bulanan balita. Penimbangan bulanan balita pada dasarnya adalah upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembanagan balita disertai dengan kegiatan promosi kesehatan. Seorang anak yang mengikuti secara rutin dan teratur pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat terlindungi dari kemungkinan gangguan pertumbuhan yang serius seperti gizi buruk. Seorang yang mengalami tiga kali tidak naik berat badan atau berat badan dibawah garis merah, jelas mengalami gangguan pertumbuhan dan harus segera mendapatkan penanganan agar tidak berkembang menjadi gizi buruk (Depkes 2005; Kusriadi, 2010).

41

Posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita. Bappenas (2011) melaporkan hanya 56,0% anak balita dari 81,0% yang melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 anak balita (20,8%) tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Kusriadi (2010) dalam penelitian

menjelaskan

pemantauan

pertumbuhan

anak

balita

melalui

penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik lebih sedikit mengalami gizi kurang dibandingkan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan posyandu. Dengan demikian ibu yang teratur melakukan penimbagan terhadap anak balitanya di posyandu dapat mendeteksi secara dini pertumbuhan anaknya sehingga memberikan efek positif terhadap sikap dan prilaku ibu untuk menjaga supaya berat badan anak tetap normal.

2.4 Studi Determinan Status Gizi Supariasa (2002), menjelaskan status gizi anak disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan kesehatan. Konsumsi makanan meliputi zat gizi dalam makanan, ada tidaknya pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga, kebiasaan makan, persediaan makanan di rumah, kemiskinan, kurang pendidikan, kurang ketrampilan dan krisis ekonomi. Menurut Notoatmodjo (2005), keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh pada pola penyakit dan juga dapat berpengaruh pada kematian misalnya obesitas

42

banyak ditemukan pada golongan masyarakat berstatus ekonomi tinggi, malnutrisi lebih banyak ditemukan pada kelompok masyarakat dengan ekonomi rendah. Menurut Diah (2011) faktor yang paling berperan terhadap gizi buruk dan kurang adalah frekuensi sakit anak, pengetahuan ibu, pendapatan perkapita dan frekuensi ke posyandu. Hasil serupa ditunjukkan dalam penelitian Yusrizal (2008), faktor sosial ekonomi masyarakat diantaranya pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga sangat berpengaruh positif terhadap status gizi anak. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya gizi balita yang baik (Pudjiadi, 2003; Istiono, 2009). Menurut Devi (2010) faktor yang paling dominan berhubungan dengan status gizi adalah jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu. Berdasarkan data tingkat pendidikan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua,

keluarga yang

mempunyai balita gizi buruk atau kurang memperlihatkan indikasi dari golongan keluarga yang tingkat pendapatannya rendah. Jenis Kelamin, umur balita, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan jenis pekerjaan orang tua berhubungan dengan status gizi balita di pedesaan. Hidayat (2005), menjelaskan terdapat pengaruh yang signifikan antara kesehatan rumah tangga dan asupan gizi terhadap status gizi balita. Peningkatan kesehatan rumah tangga akan berdampak pada meningkatnya status gizi anak, begitu pula sebaliknya jika kesehatan rumah tangga menurun, maka status gizi anak pun mengalami penurunan. Disamping itu pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap status gizi balita. Sedangkan menurut Yusrizal (2008),

43

menjelaskan bahwa pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan status gizi balita. Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur tahun 2005 menunjukkan bahwa terdapat hubungan status ekonomi, pendidikan ibu, pengetahuan ibu dalam monitoring pertumbuhan, perhatian dari ibu,pemberian ASI, kelengkapan imunisasi, dan asupan makanan balita dengan kejadian gizi buruk (Kusriadi, 2010). Rendahnya pendidikan ibu mempengaruhi ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, yang kemudian berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan merupakan penyebab langsung kejadian kurang gizi pada anak balita (Kosim, 2008). Selain pendidikan, pemberian ASI dan kelengkapan imunisasi juga memiliki hubungan yang bermakna dengan gizi buruk karena ASI dan imunisasi memberikan zat kekebalan kepada balita sehingga balita tersebut menjadi tidak rentan terhadap penyakit. Balita yang sehat tidak akan kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap terjaga baik (Supartini, 2002). UNICEF (1990) menerangkan status gizi balita dipengaruhi oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan zat gizi dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari tiga faktor besar yaitu kesediaan pangan yang tidak cukup, pola asuhan yang tidak tepat dan sanitasi lingkungan, serta kesehatan dasar yang kurang memadai.