14 BAB II LANDASAN TEORI A. AUTIS 1. PENGERTIAN AUTIS AUTISME

Download dapat muncul variasi kombinasi yang sangat luas, dari ringan sampai dengan berat. Gangguan autis merupakan sebuah “gangguan perkembangan” y...

0 downloads 414 Views 107KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A. Autis 1. Pengertian Autis Autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “Autos” yang berarti sendiri. Istilah autisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, pada tahun 1906. Anak-anak dengan gangguan autisme dahulu dideskripsikan sebagai atypical children, symbiotic psychotic children, dan childhood schizophrenia. Istilah “psikosis” kemudian dihilangkan dan diganti dengan istilah

gangguan

perkembangan

pervasive.

Kelompok

gangguan

perkembangan pervasive ditandai oleh abnormal kualitatif yang merupakan gambaran gangguan meluas dari fungsi individu dalam segala situasi. Berbeda dengan gangguan spesifik, anak-anak yang mengalami gangguan pervasive menunjukkan gangguan kualitatif berat yang tidak normal bagi setiap tahap perkembangan manapun, karena gangguannya berupa penyimpangan dalam perkembangan. Gaya berpikir autistik merupakan kecenderungan memandang diri sendiri sebagai pusat dunia dan percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Psikiater Leo Kanner, pada tahun 1943, dalam tulisannya “Autistic Disturbance of Affective Contact” memunculkan istilah “autisme infantile awal” yang digunakan untuk sekelompok anak dengan ciri utama

14

15

tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Penjelasan bahwa anak-anak tersebut “hidup didunia mereka sendiri” menggambarkan keterpisahan dan sikap mereka yang tidak bisa dimengerti (Nevid, 2003). PPDGJ (1993) mendefinisikan autis sebagai gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan atau hendaya perkembangan, dengan ciri fungsi abnormal dalam bidang interaksi sosial, komunikasi serta perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini muncul sebelum usia 3 tahun dan dijumpai 3 sampai 4 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding dengan anak perempuan. Pendapat senada dikemukakan oleh Santrock (2009), bahwa gangguan autistik adalah gangguan perkembangan parah yang dimulai pada 3 tahun pertama kehidupan dalam bentuk keterbatasan hubungan sosial; komunikasi yang abnormal; serta pola perilaku yang terbatas, repetitif dan tetap. Yatim (2003) berpendapat bahwa autis merupakan suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan sehinga menyebabkan penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, kepedulian terhadap sekitar, hidup dalam dunianya sendiri, kelainan emosi, intelektual dan kemauan. Durand (2007) menuliskan gangguan autis sebagai gangguan masa kanak-kanak yang ditandai hendaya signifikan dalam interkasi sosial, dan komunikasi dan oleh pola-pola perilaku, interes, dan aktivitas yang terbatas. Tidak berbeda jauh, Balai Pengembangan Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah (2013) mendefinisikan autis sebagai

16

gangguan perkembangan pervasif pada anak ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Pengertian autis dengan penjelasan yang lebih mendalam diberikan oleh Handojo (2008). Handojo (2008) memberi pengertian bahwa autis merupakan salah satu jenis kelainan pada anak-anak dengan kebutuhan khusus yang disertai dengan gejala-gejala seperti perilaku selektif berlebihan terhadap rangsang, tidak mempunyai keinginan untuk menjelajahi lingkungan baru, respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial dan respon unik terhadap imbalan (reinforcement). Imbalan yang dimaksud disini adalah imbalan berupa hasil pengindraan terhadap dari perilaku stimulasi diri. Hal inilah yang menyebabkan muncul perilaku berulang yang khas pada anak autis. Turkington (2007) dalam bukunya yang berjudul “The Encyclopedia of Autism Spectrum Disorder” menjelaskan banyak hal tentang gangguan autistik. Turkington (2007) menuliskan bahwa gangguan autis adalah sebuah gangguan perkembangan yang berat sehingga mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, dan berespon dengan tepat pada stimulus dari lingkungan. Gangguan autis merupakan sebuah “spektrum gangguan” yang berarti bahwa gejala dan karakteristiknya dapat muncul variasi kombinasi yang sangat luas, dari ringan sampai dengan berat. Gangguan autis merupakan sebuah “gangguan perkembangan” yang

17

berarti bahwa gejalanya biasa muncul selama tiga tahun pertama masa kanakkanak dan berlangsung sepanjang hidup. Banyak ahli mulai menyadari bahwa autis bukan hanya merupakan gangguan

perkembangan

pervasif, tetapi

juga merupakan

gangguan

neurobiologis. Tahun 2005, Triantoro menuliskan autis sebagai gangguan neurobiologis yang disertai dengan beberapa masalah seperti autoimunitas, gangguan pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensoris, dan ketidakseimbangan susunan asam amino. Pendapat yang tidak berbeda jauh juga dikemukakan oleh Smith (2006). Smith menjelaskan bahwa autis adalah suatu kelainan neurologis yang seringkali mengakibatkan ketidakmampuan interaksi komunikasi dan sosial. Anak autis seringkali menunjukkan sifat-sifat kelainan yang dimulai sejak masa bayi, beberapa sifat tersebut adalah tidak tanggap terhadap orang lain, gerakan yang diulang-ulang (seperti bergoyang, berputar, dan memilin tangan), menghindari kontak mata dengan orang lain, tetap dalam rutinitas, sikap-sikap yang ritualitas. Yayasan Penyandang Anak Cacat (2013) mempunyai pendapat bahwa Anak autis adalah salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mengalami gangguan dalam fungsi komunikasi, motorik sosial dan perhatian disebabkan oleh adanya hambatan secara neurobiologis yaitu fungsi syaraf otak. Sutadi (2002) dalam YPAC (2013) menyebutkan autistik sebagai gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan dengan orang lain). Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan mengerti perasaan orang lain

18

menyebabkan penyandang autis memiliki gangguan pada interaksi sosial, komunikasi (baik verbal maupun non-verbal), imajinasi, pola perilaku repetitif dan resistensi terhadap perubahan pada rutinitas. Penyandang autisme juga memiliki gangguan untuk membangun hubungan dengan orang lain sehingga tidak dapat membentuk hubungan yang berarti. Organisasi peduli autis di Australia bernama Amaze, pada tahun 2015 menjelaskan bahwa gangguan autistik merupakan salah satu jenis gangguan perkembangan pervasif dalam DSM-IV (APA, 1994) namun yang sekarang berada pada diagnosis neuro developmental problems (NDP) dalam DSM V (APA, 2013). autis adalah kondisi yang berlangsung sepanjang hayat, sehingga tidak memungkinkan individu untuk keluar dari gangguan autis dan belum diketahui obat penyembuhnya. Terapi dan dukungan efektif hanya membantu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh gangguan autis, mengendalikan berbagai karakteristik dan membantu memastikan bahwa orang dengan gangguan autis menjalani kehidupan yang bahagia. Berdasar pemaparan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat banyak pengertian autis dengan beragam penekanan menurut sudut pandang setiap ahli. Autis merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang juga merupakan gangguan neurobiologis sehingga menyebabkan hendaya signifikan dalam interaksi sosial, kemampuan berbahasa, motorik sosial, kepedulian terhadap sekitar, hidup dalam dunianya sendiri, kelainan emosi, intelektual serta pola-pola perilaku, interes, dan aktivitas yang terbatas.

19

2. Kriteria Diagnosis Berikut ini merupakan kriteria diagnostik untuk gangguan autistik dalam DSM-V (APA 2013). Kriteria diagnostiknya adalah sebagai berikut: a. Kekurangan yang menetap dalam komunikasi dan interaksi sosial dalam bermacam-macam konteks, seperti ditunjukkan berikut ini, masa kini atau masa lampau (contoh merupakan ilustrasi, tidak mendalam lihat teks): 1) Kurangnya kemampuan timbal balik sosial-emosional, sebagai contoh, dari pendekatan sosial yang tidak normal, kegagalan dalam percakapan; berkurangnya saling berbagi minat, emosi atau perasaan; gagal untuk memulai atau merespon suatu interaksi sosial. 2) Kurang dalam perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial, sebagai contoh, dari komunikasi verbal dan non-verbal yang sangat buruk; sampai ketidaknormalan dalam kontak mata dan bahasa tubuh atau kurangnya pemahaman dan pengguanaan dari gestur ; hingga sangat kurangnya ekspresi wajah dan komunikasi non-verbal. 3) Kurang

dalam

mengembangkan,

mempertahankan,

dan

memahami suatu hubungan, sebagai sontoh, kesulitan dalam menyesuaikan perilaku dalam menghadapi bermacam-macam situasi sosial; kesulitan dalam berbagai permainan imajinatif

20

atau dalam mencari teman; tidak adanya minat terhadap temannya. b. Pola kebiasaan, minat, atau aktivitas yang terbatas, berulang, dinyatakan paling sedikit dua dari berikut ini, masa kini atau masa lampau (contoh merupakan ilustrasi, tidak mendalam lihat teks): 1) Gerakan motorik stereotip atau berulang, penggunaan dari bendabenda, atau kemampuan berbicara (contoh gerakan stereotip sederhana, mengurutkan mainan atau memutar-mutar benda, ekolalia, kaya-kata yang aneh). 2) Bersikeras pada persamaan, kepatuhan yang kaku terhadap kebiasaan sehari-hari, pola yang menetap pada perilaku verbal atau non-verbal (contoh, reaksi yang berlebihan pada perubahan kecil, kesulitan terhadap peralihan, pola pikir yang kaku, kebutuhan untuk melakukan suatu kegiatan atau makan makanan yang sama setiap hari). 3) Minat yang sangat terbatas, terpaku yang tidak normal dalam intensitas dan fokus (contoh, kelekatan yang kuat kepada atau keasyikan terhadap objek yang tidak biasa, minat yang berlebihan). 4) Hiper atau hiporeaktif terhadap rangsangan sensoris atau minat yang tidak biasa pada aspek sensoris terhadap lingkungan (contoh, ketidakacuhan terhadap rasa sakit/suhu, respon yang buruk terhadap suara atau tekstur tertentu, berlebihan dalam mencium

21

atau menyentuh suatu objek, daya Tarik visual terhadap cahaya atau gerakan). c. Simptom harus ada pada periode perkembangan awal (tapi bisa menjadi tidak sepenuhnya membuktikan sampai kebutuhan sosial mencapai batasnya, atau mungkin dapat ditutupi oleh cara belajar pada perkembangan berikutnya). d. Simptom menyebabkan gangguan klinis yang signifikan pada kemampuan sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya yang berfungsi. e. Gangguan ini sebaiknya tidak dijelaskan dengan gangguan intelektual (gangguan perkembangan intelektual) atau hambatan perkembangan secara umum. Gangguan intelektual dan gangguan spectrum autistik sering sekali terjadi; untuk membuat diagnosis komorbiditas dari gangguan spectrum autistik dan gangguan intelektual, komunikasi sosial harus di bawah yang diharapkan untuk tingkatan perkembangan pada umumnya. 3. Karakteristik gangguan autis Frith dan kawan-kawan tahun 1991 pertama kali melakukan studi tentang pendekatan untuk memetakan gangguan autis berdasarkan aspek biologi, kognisi, perilaku dan sosial. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang pendekatan gangguan autis adalah sebagai berikut: a. Biologi

22

Faktor biologis memainkan peran terhadap penyebab adanya gangguan autis. Anak autis diketahui memiliki kondisi medis yang beragam sebagai faktor latar belakang. 37% dari keseluruhan kasus autis muncul dengan kondisi abnormal secara medis seperti gen X rapuh, tuberous sclerosis, neurofibromatosis, sindrom Rett dan hidrosefalus kongenital. Pengaruh genetik selama ini menjadi kandidat kuat tentang penyebab gangguan autis. Penyebab lain yang mungkin adalah permasalahan kelahiran, kelemahan imun, dan penyakit yang disebabkan virus. Individu normal memiliki sistem otak tertentu yang diperlukan untuk mencapai perkembangan normal, sedangkan anak autis memiliki gangguan dalam sistem tersebut sehingga memunculkan abnormalitas neurologis.

Kerusakan

otaklah

yang

memungkinkan

timbulnya

keterbelakangan intelektual umum, sebagai mana kondisi penyerta yang sering muncul dalam autis. b. Kognisi Banyak teori telah berusaha untuk memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang karakteristik fungsi kognitif yang menjadi ciri autis. Beberapa teori yang menonjol akan dibahas disini merupakan gabungan dari beberapa penelitian, tidak hanya penelitian dari Frith (1991) saja, teori tersebut meliputi: Mindblindness, yang mempunyai hipotesis bahwa individu dengan autism tidak memiliki "teori pikiran" (Theory of Mind) yaitu mereka tidak mempunyai anggapan tentang keyakinan mental orang

23

lain; Disfungsi Eksekutif, yang menunjukkan bahwa individu dengan autism memiliki defisit dalam fungsi eksekutif seperti perencanaan, fleksibilitas mental, dan penghambatan impuls; dan lemahnya koherensi sentral, yang menyatakan bias terhadap hal lokal dan bukannya pengolahan informasi global (Kunde & Goel, 2008). Anak autis sekalipun memiliki kelemahan dalam fungsi kognitif, mereka juga memiliki kelebihan yaitu mereka merupakan pemikir visual. Grandin merupakan salah satu contoh anak autis yang berhasil dalam teknik pemeliharaan hewan ternak karena dapat memvisualkan sirkulasi kandang ternak melebihi peneliti yang lainnya. Adapun penjelasan dari beberapa teori diatas adalah sebagai berikut: 1) Theory of Mind (ToM) Anak-anak dengan gangguan autis mengalami kesulitan tentang atribusi sosial dan juga pemahaman tentang keyakinan serta niat yang dimiliki orang lain. ToM adalah istilah digunakan pertama kali oleh Simon Baron-Cohen yang mengacu pada keterampilan yang diperlukan untuk menafsirkan sudut pandang orang lain (Liberi, 2012). Frith (1991) mendeskripsikan ToM atau mentalisasi sebagai kemampuan individu untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku individu lain dalam konteks keadaan mental mereka. Kemampuan manusia untuk bermentalisasi diungkap melalui penggunaan dan pemahanaman manusia terhadap kepercayaan, pengetahuan, keingininan, harapan,

24

niatan dan pura-pura. Anak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan tersebut. Kemampuan untuk bermentalisasi bergantung pada mekanisme spesifik yang tidak muncul begitu saja saat manusia lahir, melainkan sesuatu yang dapat dipelajari. Pada usia 1 tahun, bayi mulai berperilaku dan merepresentasikan keadaan fisik dunia. Inilah representasi pertama manusia. Kemudian, manusia dapat merepresentasikan keadaan mental sebagaimana keadaan fisik. Lebih lanjut, Happe (1994) menjelaskan bahwa anak-anak normal pada usia 18 bulan dapat tertawa ketika orang dewasa berpura-pura memakai pisang sebagai telepon dengan tanpa menampilkan kebingungan antara kenyataan dan pura-pura. Anak yang berkembang normal memiliki kapasitas untuk berpura-pura; ini melibatkan dua jenis representasi: representasi primer dari hal-hal yang sebagaimana adanya dan meta-representasi untuk menangkap purapura. Anak-anak dengan gangguan autis mungkin tidak memiliki keterampilan meta-representasi yang menghalangi kepura-puraan dan keterampilan lainnya seperti merepresentasi kondisi mental orang lain. Mereka mengalami kebutaan pikiran, yaitu ketidakmampuan untuk menyimpulkan pikiran dan perasaan lain. Untuk menguji teori tentang kebutaan pikiran, Frith (1991) melakukan penelitian ToM dengan menggunakan tes "Kepercayaan Palsu". Tes ini berisi cerita singkat tentang Sally, kelerengnya, dan Anne. Sally mempunyai kelereng dan dia meletakannya dalam sebuah

25

keranjang lalu meninggalkan ruangan. Anne, datang lalu mengambil kelereng tersebut dari keranjang dan meletakkannya dalam sebuah kotak. Sally kemudian kembali ke ruangan dan dia ingin memainkan kelereng miliknya. Pertanyaan yang kemudian diajukan kepada testee adalah “Kemana Sally akan mencari kelereng tersebut?”. Individu tanpa gangguan perkembangan mengetahui bahwa Sally akan mencari kelerengnya di tepat dimana dia menyembunyikannya, meskipun individu tersebut tau bahwa kelereng Sally tidak berada disitu. Hal ini berarti bahwa individu normal mampu merepresentasikan kepercayaan Sally yang salah sebagaimana representasi dari keadaan yang sesungguhnya. Anak normal tidak memiliki kesulitan untuk menyelesaikan tugas tersebut saat berusia 4 tahun. Anak Down Syndrome dengan usia mental 6 tahun juga mampu menjawab dengan benar. Akan tetapi, sekelompok anak autis yang berisi 20 anak dengan rata-rata usia mental 9 tahun, 16 diantaranya gagal menjawab pertanyaan dengan benar. Mereka mengabaikan ide bahwa keadaan mental Sally akan berbeda dari keadaan mental mereka sendiri (Frith, 1991). ToM memungkinkan individu untuk menyimpulkan perasaan orang lain dan mengantisipasi perilaku orang lain dengan melakukan penyesuaian perilaku diri sendiri. ToM mendasari kemampuan untuk membaca isyarat nonverbal untuk memfasilitasi pengenalan emosi. Anak autis mengalami kesulitan memahami penyebab emosi komplek

26

dan gagal untuk mengenali wilayah mata serta wajah sebagai indikasi apa seseorang pikirkan dan inginkan. Mereka juga gagal untuk memahami metafora, sarkasme dan ironi yang merupakan contoh dari niat, komunikasi non literal yang mencerminkan defisit ToM pada individu dengan autis (Liberi, 2012).

27

3) Fungsi Eksekutif Griffith, et al. (1999) menjelaskan fungsi eksekutif sebagai kemampuan untuk mempertahankan seperangkat pemecahan masalah untuk

pencapaian

tujuan.

Fungsi

eksekutif

mendeskripsikan

kemampuan dasar otak yang mulai berkembang dalam awal tahun kehidupan. Robinson (2009) mendeskripsikan fungsi eksekutif sebagai sebuah proses kontrol yang lebih tinggi yang diperlukan untuk mengarahkan perilaku pada lingkungan yang terus berubah. Konsep ini meliputi menyusun rencana, menahan respon, mengontrol impuls dan memantau tindakan. Tidak berbeda jauh, Hill (2004) memberi pengertian bahwa fungsi eksekutif merupakan istilah yang memayungi fungsi-fungsi seperti membuat rencana, ingatan yang bekerja, control impuls, sifat menahan diri, dan peralihan sebagaimana inisiasi dan memantau perilaku. Disfungsi eksekutif merupakan karakteristik kunci dari autis baik dalam area sosial maupun non-sosial. Permasalahan perilaku yang muncul menurut teori ini adalah sifat kaku yang dijelaskan oleh kurangnya inisiasi perilaku baru diluar rutinitas dan tendensi untuk terjebak dalam seperangkat tugas yang diberikan. Studi perilaku dan neuropsikologis semula menghubungkan fungsi eksekutif pada lobus frontalis, secara khusus pada daerah pre-frontal cortex. Akan tetapi, studi neuroimaging terkini menunjukkan bahwa fungsi eksekutif diasosiasikan dengan area yang berbeda dari lobus

28

frontalis, dengan hubungan antara area frontal dan posterior. Disfungsi eksekutif telah dihubungkan dengan beberapa gangguan perkembangan termasuk gangguan autis. Kesamaan perilaku antara pasien dengan luka pada lobus frontal dan individu dengan gangguang autis memunculkan pemikiran bahwa beberapa perilaku sosial maupun non-sosial seharihari yang terlihat pada individu dengan autis mungkin merefleksikan disfungsi eksekutif spesifik. Perilaku yang terhitung sebagai disfungsi eksekutif adalah: kebutuhan akan kesamaan, kesukaan yang kuat pada perilaku

berulang,

kelemahan

mengontrol

impuls,

kesulitan

menginisiasi tindakan yang tidak sesuai rutinitas dan kesulitan pada peralihan tugas. a) Membuat rencana Membuat rencana merupakan perilaku yang kompleks, dinamis pada urutan rencana perilaku harus secara konstan dipantau, evaluasi dan diperbaharui. Hal ini membutukan perubahan konseptualisasi dari situasi saat ini, melihat kedepan dengan mengambil pendekatan objektif untuk mengidentifikasi alternatif, membuat keputusam dan kemudian menerapkan rencana serta merevisi rencana yang telah diterapkan. “Tower of Hanoi” atau “Tower of London” merupakan tes yang biasa diberikan untuk mengukur ketrampilan membuat rencana dan pemecahan masalah. Pada tes ini, testee harus memindahkan manik-manik dari urutan yang sebelumnya untuk

29

mencapai tujuan yang ditentukan oleh tester. Anak dengan gangguan autis mendapat nilai batas paling bawah dari range normal. b) Fleksibilitas mental Fleksibilitas mental merupakan salah satu dari fungsi eksekutif

dan

biasanya

diistilahkan

dengan

“seperangkat

perubahan” atau fleksibilitas kognitif. Istilah ini mengacu pada kemampuan untuk berpindah kepada pemikiran atau tindakan yang berbeda menurut perubahan situasi. Fleksibilitas mental yang rendah dijelaskan melalui perilaku stereotip dan kesulitan untuk regulasi dan modulasi dari motorik. “The Wisconsin Card Sorting Task” adalah tes fleksibilitas mental yang membutuhkan testee untuk mengurutkan kartu berdasarkan tiga kemungkinan aturan (warna, bentuk atau angka). Kesulitan untuk berubah pada prosedur pengurutan yang baru merupakan indikasi utama dari disfungsi eksekutif. Individual dengan autis dilaporkan mengalami kesulitan pada tes ini dibandingkan dengan individu dengan gangguan perkembangan tipikal seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder, gangguan bahasa, sindrom Tourrete dan disleksia. c) Menahan respon Menahan diri merupakan kemampuan untuk menekan informasi atau impuls yang tidak relevan atau yang mengganggu.

30

Ketidakmampuan untuk menahan respon ditunjukkan anak autis dalam tes “Window Task”. Tes ini berisi 2 kotak yang tembus pandang, kotak yang satu kosong dan kotak yang satu berisi objek yang diinginkan anak, misalnya coklat. Dalam tes ini, testee diminta untuk menunjuk pada kotak kosong untuk mendapatkan objek yang ada pada kotak satunya. Performansi buruk yang terus menerus pada tes ini mengindikasikan kesulitan untuk menahan respon. d) Memantau diri sendiri Memantau diri adalah kemampuan untuk memantau pikiran dan perilaku diri sendiri. Kelemahan dalam memantau diri dilaporkan terjadi pada anak autis seperti, kesalahan koreksi diri, perilaku menghindar dan ingatan perilaku (Hill, 2004; Robinson, 2009). 3) Kelemahan Koherensi Sentral Koherensi sentral yang pertama kali dikemukan oleh Frith (1989) adalah salah satu teori psikologi kognitif yang terkemuka dalam gangguan autis. Anak autis memiliki ketidakmampuan untuk mengalami keseluruhan tanpa berfokus penuh pada unsur pokok sebagai satu karakteristik kesamaan. Jika komponen yang paling kecil itu dipindahkan atau dihilangkan, situasi keseluruhan tidak lagi menjadi sama dan karenanya tidak dapat diterima sebagai keseluruhan lagi. Kelemahan koherensi sentral merupakan tendensi untuk

31

memproses makna dan bentuk global (gestalt) dari informasi yang masuk (Happe, F. & Frith, U., 2006). Penjelasan juga datang dari Noens & Berckelaer-Onnes (2007), koherensi sentral mengacu pada tendensi normal untuk memproses informasi yang datang secara global dan dalam konteks, sehingga membantu manusia untuk berpikir secara masuk akal dan melihat struktur serta makna. Individu dengan gangguan autis memperlihatkan kelemahan koherensi sentral, sebuah tendensi untuk lebih fokus pada informasi lokal daripada informasi global. Bias pemrosesan ini tidak seharusnya dipertimbangkan sebagai kelemahan tetapi gaya pemikiran yang spesifik. Kelemahan koherensi sentral sedikit banyak didukung oleh faktor neurobiologis. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan autis mengalami perkembangan yang baik pada hemisfer kiri dan kurang berkembang pada hemisfer kanan. Hemisfer kiri berfungsi untuk memproses kristaliasasi pengetahuan sedangkan hemisfer kanan terlibat dalam pemrosesan global. Kelemahan koherensi sentral mungkin mendasari kesulitan yang dimiliki oleh anak autis dalam komunikasi non-literal dan bahasa pragmatis. Daripada memasukkan informasi kontekstual, mereka mungkin fokus pada pernyataan literal dalam percakapan dan gagal untuk memahami makna tersirat dari sebuah pembicaraan. Pengolahan

32

detail dari kegiatan sosial dapat menghambat pemahaman sosial situasi dalam cara yang bermakna global (Liberi, 2012).

33

4) Pembelajar visual Bukti lain yang ditemukan peneliti tentang sistem kognisi individu dengan gangguan autis adalah bahwa mereka merupakan visual thinker atau pembelajar visual. Rao & Gagie (2006), menyatakan bahwa autisme adalah visual daripada mendengar / pelajar auditori dan lebih memilih moda alternatif komunikasi, seperti gambar, bukan kata-kata tertulis. Pendidik dapat memberikan banyak arahan secara lisan tetapi itu tidak berarti bahwa siswa mengerti. Temple Grandin (1995) merupakan individu autis yang memiliki fungsi tinggi (high functioning autism) sekaligus seorang dosen dengan gelar PhD yang terkenal dengan autobiografinya Thinking in Pictures and Other Reports from My Life with Autism. Grandin (1995) menuliskan bahwa dirinya dan individu-individu autis lainnya merupakan individu yang berpikir dalam gambar. Bahasa verbal seperti bahasa kedua dan ketika seseorang berbicara, ucapannya diterjemahkan oleh otak Grandin ke dalam gambar. Delphie (2009), menuliskan tentang beberapa karakteristik orang dengan gaya belajar visual. Karakteristik tersebut adalah: individu membutuhkan informasi visual untuk memahami sesuatu, memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna dan masalah artistik, serta kesulitan berdialog secara langsung. Individu dengan gaya belajar visual juga terlalu reaktif terhadap suara, sulit mengikuti anjuran lisan dan sering salah mengintepretasikan kata atau ucapan verbal.

34

Pendekatan

yang

sering

digunakan

untuk

memaksimalkan

pembelajaran dengan gaya visual adalah menggunakan perangkat grafis sepeti tayangan, gambar ilustrasi, coretan dan hal lain yang bersifat visual. Pembelajar visual membuat individu dengan autis memiliki performa yang sangat baik dalam kemampuan visual spasial dan sangat buruk dalam kemampuan verbal. Mayoritas anak autis yang merupakan pembelajar visual, merespon lebih efektif rangsangan visual daripada stimulus pendengaran. Menyajikan informasi dengan cara visual dapat membantu dan mendorong kemampuan komunikasi, perkembangan bahasa serta kemampuan untuk memproses informasi bagi individu dengan gangguan autis (Elliot, 2013). Organisasi autis Inggris, Autism Westmidlands (2014) menuliskan beberapa alasan kenapa bantuan visual dapat sangat berguna bagi orang-orang dengan gangguan autis. Alasan tersebut antara lain: a) Banyak anak autis merupakan pemikir visual sehingga informasi dapat lebih mudah untuk diproses dan dipahami jika informasi tersebut disajikan secara visual. b) Hal yang bersifat visual lebih permanen daripada kata-kata. Setelah sesuatu dikatakan, kata-kata tersebut dapat dengan cepat dilupakan atau disalahartikan, sedangkan hal yang bersifat visual yang akan selalu tetap sama dan dapat digunakan ulang sebanyak yang diperlukan.

35

c) Anak autis merasakan bahwa komunikasi verbal sulit dipahami karena ada begitu banyak informasi yang berbeda untuk diproses sekaligus. Hal yang bersifat visual memungkinkan seseorang untuk fokus hanya pada apa yang sedang dikomunikasikan, daripada harus menguraikan nada suara, kontak mata, bahasa tubuh dll. d) Hal yang bersifat visual dapat membantu orang dengan gangguan autis untuk mengekspresikan kebutuhan mereka. Seseorang yang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi secara verbal dapat menggunakan hal yang bersifat visual untuk membantu mereka memberitahu orang lain apa yang mereka inginkan dan butuhkan. e) Hal

yang bersifat

visual

dapat membantu

meningkatkan

kemandirian seseorang. Misalnya jika individu dengan gangguan autis mencoba untuk berpakaian di pagi hari, bantuan visual membantu mereka memahami langkah-langkah apa saja yang harus mereka kerjakan. c. Perilaku Autis merupakan gangguan perkembangan yang membuat individu membutuhkan hampir seumur hidup dukungan dan pendidikan khusus. Terdapat ciri utama dalam gangguan autis yaitu kelemahan sosial, yang berarti kelemahan spesifik dalam kualitas hubungan timbal-balik interaksi, kemudian kelemahan bahasa, yang berarti penundaan akuisisi bahasa, sedikit penggunaan bahasa verbal dan non verbal dalam komunikasi.

36

Terakhir, kelemahan imaginasi, yang berarti kelemahan dalam melakukan premainan pura-pura dengan spontan. d. Sosial Anak autis, dalam konteks sosial seringkali dideskripsikan memperlakukan manusia sama seperti memperlakukan objek. Perilaku sosial anak autis dapat bervariasi dari sama sekali menarik diri sampai mengganggu orang lain secara berulang. Sangat jelas, anak autis tidak menyadari dampak dari perilaku mereka pada orang lain dan sekalipun memiliki kesadaran, maka interaksi sosial anak autis tersebut tetaplah aneh. Permasalahan dalam interaksi sosial ini kemudian memunculkan konsekuensi seperti permasalahan interpersonal, permasalahan dalam keluarga, permasalahan dengan teman sebaya. Anak autis juga memiliki permasalahan sosial seperti tidak memiliki teman, tidak menikah, mengalami penolakan secara sosial serta melakukan penghindaran sosial. Kapplan & Sadock (1997) memberikan gambaran klinis tentang individu-individu yang mengalami gangguan autis. Gambaran klinis terbagi menjadi dua kelompok yaitu etiologi gangguan dan karakteristik perilaku. Adapun penjelasan lebih dalam dari pendapat tersebut adalah: a. Etiologi gangguan Gangguan autis memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis yang terbatas. Sekitar dua per tiga dari individu yang mengalami autis tetap berada dalam kondisi kecacatan yang parah dan hidup dengan ketergantungan penuh atau setengah tergantung. Prognosis membaik jika

37

lingkungan keluarga dan pendidik bersifat supportif dan memenuhi semua kebutuhan anak autis. Terapi membantu menurunkan gejala perilaku dan mengembangkan

perkembangan

fungsi

yang

terlambat,

seperti

ketrampilan bahasa dan merawat diri sendiri. b. Karakteristik perilaku 1) Gangguan kualitatif pada interaksi sosial Anak autis gagal membentuk keakraban, perilaku melekat pada orang-orang penting dalam kehidupan seperti orang tua, saudara kandung dan guru. Individu autis saat kanak-kanak gagal bermain bersama teman sebaya dan gagal membentuk empati. Setelah remaja, mereka

tidak

memiliki

kompetensi

yang

memadai

untuk

mengmbangkan hubungan seksual dengan lawan jenis. 2) Gangguan komunikasi dan bahasa Anak autistik sedikit menggunakan arti dalam daya ingat dan proses berpikir. Penyandang autis tipe verbal lebih banyak berkata dibandingkan yang dimengertinya. 3) Perilaku stereotipik Memanipulasi mainan dalam cara yang tidak semestinya, dengan sedikit variasi, kreativitas dan imaginasi. Anak-anak autis tidak dapat meniru atau menggunakan pantomin abstrak. Aktivitas dan permainan bersifat kaku, berulang dan monoton.

38

4) Ketidakstabilan mood dan afek Anak autis tidak mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan afek dan menunjukkan perubahan emosi yang tiba-tiba. Tangisan atau tawa anak autis sering terlihat tanpa alasan. 5) Respon terhadap stimuli sensorik Anak autis memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respon terhadap nyeri. 6) Gejala perilaku lain Agresivitas, tantrum, perilaku melukai diri sendiri sering terlihat dengan alasan yang tidak jelas atau karena perubahan lingkungan. Gejala perilaku lain adalah ketidakmampuan memusatkan perhatian, insomnia dan masalah pemberian makanan. Puspita (2010) berpendapat bahwa individu dapat dikatakan mengalami gangguan autis apabila memiliki gejala-gejala berikut: a. Gangguan komunikasi Anak autis mengalami berbagai bentuk gangguan komunikasi antara lain: hambatan mengekspresikan diri, hambatan komunikasi dua arah, membeo, menirukan ucapan orang lain dan bahkan hambatan bicara total. b. Gangguan perilaku Adanya perilaku stereotipi / khas pada anak autis seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain,

39

obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya. c. Gangguan interaksi Individu autis secara umum memiliki keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain serta lebih senang menyendiri. Dikutip dari Puspita (2010), Siegel (1996) melaporkan bahwa individu autis memiliki berbagai ciri khas, antara lain: a. Pemikiran visual Ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk “video” atau gambar yang membuat individu autis lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Proses berpikir seperti ini jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal sehingga penyadang autis perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. b. Masalah pemrosesan Individu autis mengalami kesulitan saat diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, sulit memahami bahasa verbal/lisan serta sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi).

40

c. Sensitivitas sensori Kurang

optimalnya perkembangan

neurobiologis

perkembangan panca indra individu autis.

mempengaruhi

Permasalahan ini biasanya

menyebabkan kurang peka atau kepekaan berlebihan pada sensor suara, sentuhan dan ritme. Keabnormalan sensori memunculkan masalah perilaku pada individu autis, antara lain: ketakutan pada suara, mendengung atau bergumam, menolak sentuhan, berbicara terus menerus dan bahkan memotong pembicaraan orang lain. d. Frustrasi dalam komunikasi Gangguan perkembangan berbicara membuat individu autis sulit untuk mengekspresikan diri secara efektif, mereka tidak tahu bagaimana mengungkapkan diri dan memahami tuntutan lingkungan. Kesulitan mengungkapkan diri menimbulkan perilaku negatif individu autis sehingga mereka seringkali tidak dimengerti oleh lingkungan dan menimbulkan frustrasi. e. Permasalahan sosial dan emosional Ciri khas penyandang autis adalah kekakuan pada rutinitas dan ketakutan pada perubahan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk beradaptasi dalam berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan bermasyarakat. Individu autis juga mengalami kesulitan untuk memahami sudut pandang orang lain karena tidak mempunyai “Theory of Mind” sehingga menimbulkan empati yang rendah.

41

f.Masalah dalam kontrol Akibat permasalahan neurologis, individu autis mengalami kesulitan mengontrol perilaku sehingga menimbulkan banyak permasalahan perilaku. Permasalahan perilaku antara lain seperti tantrum saat rutinitas berubah, kecemasan yang besar, keterpakuan pada objek tertentu dan masih banyak lainnya. g. Masalah dalam toleransi Kepekaan berlebihan terhadap rangsangan membuat anak autis kurang dapat mentolerir rangsangan sehingga membuatnya menarik diri dari lingkungan. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesanpesan emosi yang terjadi saat bergaul. h. Masalah dalam penalaran Berbagai masalah yang terjadi pada penyandang autis berkaitan dengan penalaran antara lain: masalah pemusatan perhatian, masalah proses persepsi, sistem integrasi otak yang tunggal, dan masalah left-right hemisphere-integration. Berbagai masalah tersebut membuat anak autis menjadi mudah terdistraksi, bingung sehingga menghindari orang lain, sulit memproses beberapa hal sekaligus dan tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi. Sastry (2014) menuliskan tentang lima ciri-ciri anak autis, ciri-ciri tersebut adalah: a. Persoalan indrawi

42

Banyak anak autis yang mempunyai kepekaan ekstrem yang membuatnya sulit untuk memberi perhatian pada lebih dari satu input rangsangan sekaligus. Tactile defensiveness merupakan salah satu contoh akibat kepekaan ekstrim dimana anak autis bertahan dan tidak mau disentuh karena merasakan sentuhan sebagai sesuatu yang menyiksa. b. Stiming Istilah “stim” mengacu pada perilaku atau aktivitas menenangkan (selfcalming) maupun memicu diri (self-stimulation) yang dianggap bisa mempertahankan tingkat pembangkitan diri (self-arousal) yang tepat. Anak autis mungkin menepuk-nepuk tangan, memelintir atau mengeraskan tubuh, melompat atau menjilat-jilat sesuatu sebagai upaya stiming untuk menenangkan diri. c. Perilaku bermasalah Anak autis memperlihatkan perilaku ganjil sebagai upaya untuk mengkomunikasikan atau mengontrol apa yang mereka rasakan. Ketika rangsangan indrawi terlalu besar bagi anak autis, mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan atau memunculkan perilaku mengganggu, perilaku merusak dan perilaku yang tidak bisa diterima secara sosial. Beberapa anak autis ada yang sampai menunjukkan perilaku melukai diri sendiri seperti membentur-benturkan kepala ke tembok, atau melukai matanya sendri.

43

d. Minat yang tidak lazim Anak autis memiliki minat tidak lazim yang terfokus dan terbatas. Minat yang sempit membatasi kemampuan anak autis untuk bermain, belajar dari dan bersenang-senang dengan teman sebaya. e. Tantangan dalam interaksi sosial dan komunikasi anak

autis

kurang

mampu

menyimpulkan,

memahami

dan

menindaklanjuti emosi orang lain saat berada dalam sebuah interaksi sosial. Pemahaman pengguanaan norma-norma budaya, gambar-gambar ujaran, idiom, gesture, kontak mata dan bahasa tubuh adalah hal-hal yang sulit dipahami anak autis, karenanya menyulitkan mereka untuk berkomunikasi dua arah. 4. Klasifikasi autis Dikutip dari YPAC (2013), klasifikasi autis dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi. Klasifikasi tersebut adalah: a. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan 1) Autisme infantile adalah anak autis yang sudah dari sejak lahir nampak kelainannya. 2) Autisme fiksasi adalah anak yang terlahir normal namun kemudian memunculkan tanda-tanda autis setelah berumur dua tiga tahun.

44

b. Klasifikasi berdasarkan intelektual 1) Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat yang memiliki IQ dibawah 50. Sebanyak 60% dari anak autis berada pada klasifikasi ini. 2) Autis dengan keterbelakangan mental ringan yang memiliki IQ 50-70. Sebanyak 20% dari anak autis berada pada klasifikasi ini. 3) Autis tanpa mengalami keterbelakangan mental yang memiliki tingkat Intelegensi diatas 70. Sebanyak 20% dari anak autis berada pada klasifikasi ini. c. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian: 1) Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis) 2) Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan walaupun problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis). 3) Prognosis baik; mempunyai

kehidupan sosial yang

normal atau

hampir normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja. (1/10 dari penyandang autis). DSM-V (APA, 2013) juga memberikan klasifikasi autis yang didasarkan pada tingkat keparahannya. Berdasarkan tingkat keparahannya, individu autis diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. Tingkatan 1, individu yang memerlukan dukungan Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini adalah: kelemahan komunikasi sosial terlihat saat tidak ada dukungan, kesulitan memulai interaksi sosial dan penurunan ketertarikan dalam

45

interaksi sosial. Contohnya adalah individu autis yang mampu berbicara dengan lancar namun gagal mempertahankan komunikasi dan gagal membentuk jalinan pertemanan. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada level ini adalah: mengalami kesulitan dalam peralihan aktivitas, permasalahan dalam mengorganisasi dan membuat perencanaan sehingga menghambat kemandirian. b. Tingkatan 2, individu memerlukan dukungan yang kuat Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini adalah: terlihat kelemahan dalam ketrampilan komunikasi sosial verbal dan non-verbal, kelemahan sosial jelas terlihat bahkan saat disertai dukungan, inisiatif interaksi sosial yang terbatas dan respon abnormal pada stimulus sosial. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan menghadapi perubahan, perilaku berulang atau terbatas dengan frekuensi tinggi sehingga menganggu fungsi individu dalam banyak konteks, distress dan atau kesulitan saat mengganti fokus atau kegiatan. c. Tingkatan 3, individu sangat memerlukan dukungan kuat Gambaran komunikasi sosial untuk penyandang autis pada level ini adalah: kekurangan yang parah dalam ketrampilan komunikasi sosial verbal dan non-verbal mengakibatkan kelemahan yang parah dalam fungsi, inisiatif interaksi sosial sangat terbatas dan respon yang sangat minim pada rangsangan sosial. Contohnya adalah seseorang dengan sedikit berbicara yang jarang berinteraksi, hanya berinteraksi jika

46

membutuhkan sesuatu, pendekatan yang aneh dan tidak biasa saat berinteraksi. Gambaran perilaku berulang untuk penyandang autis pada level ini adalah: perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang ekstrim dalam

menghadapi

perubahan,

perilaku

berulang

dan

terbatas

mengganggu fungsi dalam semua bidang. 5. Penyebab Autis Handojo (2008) menjelaskan bahwa terdapat 3 penyebab munculnya gangguan autis, yaitu : a. Kelainan otak Ada tiga lokasi pada otak anak autis yang dijumpai kelainan neuroanatomis yaitu lobus parietalis, cerebellum dan sistem limbik. Kelainan pada lobus parietalis menyebabkan anak acuh terhadap lingkungan. Kelainan pada cerebellum menyebabkan gangguan lalu-lalang impuls, sensori, daya ingat, berpikir, berbahasa dan atensi. Gangguan sistem limbik mengakibatkan individu autis mengalami berbagai kesulitan yang berhubungan dengan tanggung jawab sistem limbik, seperti kontrol fungsi agresi emosi, fungsi belajar dan rangsangan sensoris kelima panca indera. b. Faktor prenatal dan post natal Terdapat kelainan kromosom pada anak autis, namun kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Faktor pemicu seperti infeksi, logam berat, alergi berat, obat-obatan, jamu peluntur, muntahmuntah hebat, pendarahan berat pada kehamilan trisemester pertama berperan dalam timbulnya gejala autis. Kejadian-kejadian sesudah

47

kelahiran banyak yang menjadi pemicu munculnya autis, antara lain oksigenasi janin, infeksi bayi, logam berat, pemakaian antibiotika berlebih, serta gangguan nutrisi. c. Sensory Interpretation Errors Rangsangan sensori dari reseptor visual, auditori dan taktil mengalami proses yang kacau pada otak anak autis sehingga menimbulkan persepsi kacau yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan. Perasaan bingung dan takut membuat anak menarik diri dari lingkungan sekitar. Senada dengan pendapat Handojo, Triantoro (2005) menjelaskan bahwa beberapa penyebab autis diketahui, antara lain keracunan logam berat dan masalah neurologis. Penjelasan dari pendapat tersebut yaitu: a. Anak yang masih berada dalam kandungan dapat mengalami keracunan yang disebabkan oleh logam berat seperti timbal, merkuri, cadmium, spasma infantile, rubella kongenital, sclerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan animali kromosom X rapuh. b. Anak yang menderita autis ditemukan adanya masalah neurologis dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, spons, hipotalamus, hipofisis, medulla dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan, atau saraf pendengaran. Nevid (2003) menyebutkan bahwa penyebab autisme belum diketahui dan tetap menjadi misteri. Kemungkinan faktor penyebab autis antara lain:

48

a. Penyebab majemuk yang melibatkan lebih dari satu tipe abnormalitas otak. Abnormalitas otak yang terpindai pada anak laki-laki dan pria dewasa penyandang autis adalah membesarnya ventrikel yang mengindikasi hilangnya sel-sel otak. b. Kerusakan gen atau pengaruh racun terhadap bayi dalam kandungan. Turkington (2007) menjelaskan bahwa belum diketahui penyebab pasti yang secara spesifik menimbulkan gangguan autis. Penelitian sekarang mengasosiasikan gangguan autis dengan kelainan biologis atau neurologis pada otak. Lebih lanjut, Turkington menjelaskan penyebab gangguan autis yaitu: a. Hereditas Genetika memainkan peran penting dalam munculnya gangguan autis. Terdapat 0,2 persen kemungkinan kelahiran anak dengan gangguan autis pada populasi dan presentasi meningkat 10 sampai 20 persen untuk resiko memiliki anak kedua dengan gangguan autis. Sampai sekarang belum ada gen yang secara spesifik menandai gangguan autis. b. Gangguan sistem imun Banyak studi menemukan bahwa individu dengan gangguan autis memiliki sistem imun yang lemah. Sistem imun melemah dikarenakan kelainan genetik atau pemicu seperti paparan bahan kimia sewaktu lahir. c. Vaksinasi

49

Vaksinasi yang menyebabkan gangguan autis merupakan hal yang masih kontroversial dikalangan peneliti. Beberapa ahli percaya bahwa imunisasi MMR dan hepatitis B menyebabkan autis. Ahli lain percaya bahwa Thimerosal, sebuah vaksin hepatitis B yang berbasis merkuri dapat meracuni anak dan menyebabkan simptom yang sangat identik dengan simptom gangguan autis. d. Masalah lingkungan Anak yang kekurangan magnesium, yodium, potassium mungkin dapat terkena gangguan autis. Ibu hamil yang memakan olahan hasil laut yang mengandung banyak merkuri dapat meracuni janin dikandungan sehingga memunculkan gangguan autis. Durand (2007) memaparkan bahwa secara garis besar penyebab gangguan autis adalah: penyebab dimensi biologis, pengaruh genetik dan pengaruh neurobiologis. Penyebab dimensi psikososial seperti pola asuh yang buruk agaknya tidak bertanggung jawab atas terjadinya autisme. Adapaun penjelasan lebih lanjut mengenai pendapat tersebut antara lain: a. Dimensi biologis Kondisi medis yang dikaitkan dengan autisme adalah congentital rubella

(campak

Jerman),

hypsarrythmia,

tuberous

sclerosis,

cytomegalovirus, dan berbagai masalah kehamilan serta persalinan. b. Pengaruh genetik Gen-gen yang secara pasti terlibat dalam perkembangan autis masih belum jelas. Keluarga yang memiliki seorang anak autis

50

mempunyai resiko lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan gangguan yang sama.

c. Pengaruh neurobiologis Sekitar 30% sampai 75 % anak autis memperlihatkan abnormalitas neurobiologis tertentu seperti kekakuan, postur atau cara berjalan yang abnormal. Pemindaian menggunakan CI dan MRI memberikan hasil bahwa serebelum anak autis jauh lebih kecil secara abnormal dibandingkan dengan ukuran serebelum anak-anak yang tidak memiliki gangguan autis. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pemaparan diatas adalah bahwa ada tiga faktor utama yang dapat menimbulkan gangguan autis. Pertama, faktor kerusakan otak dimana ditemukan bukti keabnormalan otak penyandang autis. Kedua, faktor genetik yang walaupun belum diketemukan gen spesifik namun kerusakan gen jelas ditemukan pada anak autis. Terakhir, autis disebabkan karena adanya pengaruh lingkungan baik saat anak masih dalam kandungan (keracunan logam, infeksi virus, dan lain-lain) maupun setelah kelahiran (gangguan nutrisi, pengaruh obat-obatan, dan lain-lain). 6. Model Pengajaran Penanganan sejak dini untuk individu autis mutlak diperlukan. Penanganan yang diberikan dapat berupa pengajaran pendidikan serta intervensi. YPAC (2013) menjelaskan terdapat 5 model pengajaran untuk anak autis, antara lain:

51

a. Terstruktur Pengajaran terstruktur berarti memberikan materi pengajaran mulai dari yang mudah dan dapat dipahami, terstruktur secara waktu, dalam ruangan yang nyaman sehingga tidak menimbulkan perilaku negatif serta struktur kegiatan yang disukai oleh individu autis. Pembelajaran untuk anak autis mungkin dapat memakan waktu yang lama oleh karenanya pendidik harus memiliki kesabaran dan ketelatenan dalam mendidik anak autis. b. Terpola Kegiatan anak autis terbentuk dari rutinitas terpola dan terjadwal mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Anak autis adalah tipe anak yang monoton, mereka kurang dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan baik sekecil apapun dalam rutinitas kehidupannya. Perubahan yang baru dapat menimbulkan kecemasan dalam diri anak sehingga memunculkan agresivitas, berontak atau marah. c. Terprogram Materi pendidikan dilakukan secara bertahap dan berdasar pada kemampuan anak autis. Pembelajaran yang dipersiapkan haruslah benarbenar mematangkan konsepnya. d. Konsisten Konsisten berarti pembelajaran harus selaras dengan perilaku anak autis. Anak autis yang berperilaku positif harus mendapatkan respon positif dari pendidik seperti reward atau penguatan-penguatan. Hal tersebut juga

52

dilakukan dalam ruang dan waktu lain yang berbeda (maintenance) secara tepat. e. Kontinyu Kontinyu meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaanya. Pengajaran mutlak memerlukan prinsip kesinambungan sehingga pengajaran tidak terputus dan dapat mencapai tujuan pengajaran. YPAC (2013) menambahkan beberapa jenis terapi yang dapat diberikan untuk individu autis, antara lain: a. Terapi perilaku Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan

untuk

mengurangi

perilaku-perilaku

yang tidak

wajar

dan

menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku yang biasanya diberikan pada individu autis adalah ABA yang diciptakan oleh Lovaas, TEACCH serta Son-rise. b. Terapi okupasi Dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk melatih motorik halus anak. Terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar, contohnya Floortime. c. Terapi fisik

53

Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuh anak autis. Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi fisik yang dapat membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak.

d. Terapi bermain Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Terapi bermain ini bertujuan selain untuk bersosialisasi juga bertujuan untuk terapi perilaku, bermain sesuai aturan. e. Terapi pengobatan Pemberian farmakoterapi hanya boleh dilakukan oleh dokter yang berkompeten sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi individu autis. Kemajuan perbaikan perkembangan individu autis akan lebih baik apabila dilakukan gabungan terapi dari luar dan dari dalam, yaitu farmakoterapi. f. Terapi sosial Individu autis mengalami kekurangan dalam ketrampilan berkomunikasi dan bersosialisasi. Terapi sosial mengajarkan individu autis bagaimana cara bersosialisasi seperti misalnya mengucapkan salam, lalu bermain bersama, membagi makanan yang dia punya dan sebagainya. g. Media visual

54

Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,misalnya dengan metode PECS ( Picture Exchange Communication System), computer picture serta pictorial activity schedule. Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari kondisi kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak.

B. Interaksi Sosial Anak Autis 1.

Definisi Interaksi sosial merupakan salah satu dari tiga serangkai karakteristik kelemahan perilaku yan dimiliki anak autis. Perilaku interaksi sosial melibatkan penggunaan tindakan non verbal (mencapai orang lain) untuk memperoleh atau mempertahankan interaksi tatap muka di mana fokus dari mitra sosial ada pada anak autis. Pengembangan perilaku interaksi sosial ditandai dengan peningkatan kapasitas untuk mengkoordinasikan kontak mata dengan tindakan seperti mencapai atau menyentuh orang lain (Mundy, Sigman, Ungerer & Sherman, 1986). Peeters (2004) memberi pengertian interaksi sosial anak autis sebagai kemampuan anak autis untuk melakukan kontak dengan orang lain secara efektif. Kelemahan anak autis untuk melakukan interaksi sosial telah ada

55

sejak lahir. Anak autis datang ke dunia dengan ketidakmampuan bawaan untuk melakukan kontak dengan orang lain secara efektif yang ditentukan secara biologis. Kelemahan interaksi sosial anak autis meliputi kurangnya interaksi dengan anggota keluarga. Anak autis terlihat tidak “terhubung” dengan orang lain termasuk dengan orang tua. Anak autis tidak tersenyum dan berespon pada inisiasi interaksi sosial orang dewasa. Anak normal kebanyakan suka untuk melihat mata orang dewasa dan berlindung saat ketakutan, namun anak autis tidak terlihat melakukan itu saat bayi. Anak autis juga tidak tertarik untuk bermain dengan anak lainnya (Nolen-Hoeksema, 2004). Anak autis juga memiliki kekurangan orientasi pada stimulus sosial dan kontak mata yang tidak memadai, permasalahan memulai interaksi sosial, kesulitan mengartikan bahasa verbal maupun non verbal, respon emosional yang kurang tepat dan kurang empati pada kesukaran orang lain. (Rao, Beidel & Murray, 2008). Anak autis menampilkan perbedaan secara kualitatif dalam interaksi sosial dan

sering

kali

mempertahankan

mempunyai sebuah

kesulitan

hubungan.

dalam

Mereka

membangun

mungkin

dan

mempunyai

keterbatasan interaksi sosial atau cara yang kaku dalam berinteraksi. Hal ini tidak disebabkan karena kurang ketertarikan atau ketidakinginan untuk berinteraksi tetapi ketidakmampuan untuk menyaring informasi sosial dari interaksi sosial dan mengunakan kemampuan berkomunikasi untuk berespon secara tepat.

56

Memahami

situasi

sosial

membutuhkan

pemrosesan

bahasa

dan

komunikasi non-verbal yang adalah kelemahan bagi individu autis. Mereka mungkin tidak menyadari petunjuk sosial yang penting seperti nada suara, ekspresi wajah. Mereka seperti memiliki kesulitan menggunakan perilaku non-verbal dan gestur dalam berinterksi seperti kontak mata, postur badan dan mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membaca perilaku non-verbal orang lain. Anak autis sering kali tidak mampu untuk memahami sudut pandang orang lain atau bahkan mengerti bahwa orang lain memiliki sudut pandang yang mungkin berbeda dengan yang mereka miliki. Mereka juga mungkin memiliki permasalahan dalam memahami hubungan antara keadaan mental dengan perilaku. Mereka memiliki kesulitan dalam memahami kepercayaan, keinginan, niatan, pengetahuan dan persepsi diri sendiri dan orang lain. Sebagai contoh, anak autis mungkin tidak dapat memahami bahwa anak yang lain sedang merasa sedih atau bahkan saat menangis karena mereka tidak sedang merasa sedih pada saat itu (Alberta Learning, 2003). Berdasarkan beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial anak autis merupakan kemampuan anak autis untuk melakukan kontak dengan orang lain secara efektif yang melibatkan penggunaan tindakan non verbal atau mempertahankan interaksi tatap muka dimana fokus dari mitra sosial ada pada anak autis. 2.

Karakteristik

57

Berbeda dengan individu tanpa gangguan autis, individu autis mempunyai pola perilaku sosial khusus yang sering kali membuat mereka kehilangan kesempatan memiliki interaksi sosial yang positif. Wing dan Gould (1987) dalam Scheeren dan Koot (2012) membagi karakteristik perilaku sosial individu dengan gangguan autis menjadi 3 jenis, yaitu: a. Aloof Aloof memiliki arti bersikap menyendiri, mengacu pada anak-anak autis yang senantiasa berusaha untuk menarik diri dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk sendiri daripada bersama orang lain. Mereka tampak pendiam serta tidak berespon pada ajakan orang disekitarnya. Anak autis aloof enggan untuk berinteraksi dan bahkan terkadang takut, marah serta menjauhi orang yang berusaha mendekat. Mereka cenderung untuk memisahkan diri dari kelompok teman sebaya, terkadang berdiri atau duduk dipojok sudut ruangan. Peeters (2004) menyebut aloof sebagai menjauhkan diri secara sosial. Anak autis dalam golongan ini mempunyai karakteristik perilaku meliputi menyendiri dan tidak peduli pada sebagian besar situasi sosial, interaksi terutama dilakukan secara fisik, minat yang rendah dalam interaksi sosial, sedikit pertanda dalam komunikasi verbal dan non verbal secara timbal balik. Sedikit pertanda dalam kegiatan bersama, kontak mata yang rendah, kemungkinan adanya perilaku repetitif dan stereotip defiensi kognitif (kurang kesadaran) tingkat sedang sampai berat juga merupakan karakteristik perilaku anak autis aloof

58

b. Pasif Anak autis dalam kategori ini tidak tampak peduli dengan orang lain, tetapi lebih mudah ditangani dibanding anak autis dengan kategori aloof. Mereka patuh dan masih mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Peeters (2004) menambahkan, anak autis pasif memiliki keterbatasan pendekatan sosial secara spontan akan tetapi menerima pendekatan sosial orang lain. Anak atis pasif memiliki sedikit kesenangan yang berasal dari kontak sosial tapi tidak menolak kontak sosial secara aktif, mungkin berkomunikasi secara verbal atau non verbal, membeo yang segera serta berbagai tingkatan kekurangan kognitif. c. Aktif tetapi aneh Anak autis dalam kategori ini sudah mulai memiliki usaha untuk mendekati orang lain dan berinteraksi, tetapi cara yang digunakannya “tidak biasa” atau “aneh”. Mereka tidak berpartisipasi aktif dalam bermain, lebih suka bermain sendiri, tiba-tiba menyentuh orang yang tidak dikenalinya, memposisikan diri terlalu dekat sehingga membuat orang tidak nyaman. Anak autis kategori ini, sama seperti anak autis aloof, kurang memiliki kemampuan untuk membaca isyarat sosial yang penting untuk berinteraksi secara efektif. Peeters (2004) menuliskan anak autis dalam golongan ini memunculkan karakteristik perilaku adanya pendekatan sosial secara spontan, interaksi yang melibatkan keasyikan yang bersifat repetitif dan idiosinkratik (aneh),

59

bahasa yang bersifat komunikatif atau non komunikatif. Anak autis golongan ini memiliki kemampuan mengambil peran yang rendah, yang berarti memiliki persepsi yang rendah terhadap kebutuhan pendengar, tidak ada modifikasi kerumitan atau jenis bahasa, masalah dalam penggantian topik pembicaraan. Minat terhadap rutinitas interaksi yang lebih besar daripada terhadap isi interaksi, waspada terhadap reaksi orang lain, kurang bisa diterima secara sosial juga merupakan ciri-ciri anak autis aktif tetapi aneh. Kesempatan untuk interaksi sosial dengan orang lain sangat penting bagi perkembangan semua anak. Melalui interaksi sosial, anak mulai membentuk konsep tentang “diri” dan belajar apa yang orang lain harapkan dari mereka. Meskipun interaksi sosial untuk anak-anak pertama kali terjadi dalam keluarga, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan, mereka menjadi sangat tertarik untuk bermain dan berinteraksi dengan anak-anak lain. Ketika bermain dengan orang lain, anak-anak belajar perilaku sosial yang sesuai, seperti berbagi, bekerja sama, dan menghormati milik orang lain. Anak-anak juga belajar tentang komunikasi, kognitif, dan keterampilan motorik saat berinteraksi dengan orang lain (Changnon, 2007). Anak-anak yang belajar keterampilan sosial yang tepat memiliki harga diri lebih tinggi dan menunjukkan kesediaan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan lingkungan seiring dengan pertumbuhan mereka. Kesempatan untuk interaksi sosial tidak hanya meningkatkan perkembangan di masa awal kehidupan, tetapi juga penting bagi masa depan individu dengan gangguan

60

autis. Kemampuan untuk berinteraksi kompeten adalah keterampilan yang diperlukan sepanjang hidup dan dapat mempengaruhi masa depan pendidikan dan pekerjaan. Membantu individu autis untuk belajar melalui interaksi sosial yang positif dapat membantu mereka memperoleh keterampilan yang berguna sepanjang hidup mereka (Changnon, 2007). Interaksi sosial juga memiliki peran yang penting bagi perkembangan kehidupan manusia karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kognisi dan perilaku. Teori yang terkenal menekankan pentingnya interaksi sosial terhadap perkembangan kognisi adalah teori kognisi sosial Vygotsky. Vygotsky mengemukakan teori bahwa interaksi sosial dan budaya menuntun perkembangan kognisi seseorang (Santrock, 2007). Perkembangan seorang anak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas sosial dan budaya. Vygotsky percaya bahwa perkembangan ingatan, atensi dan penalaran menggunakan penemuan masyarakat seperti budaya menghitung dan harus disertai interaksi aktivitas sosial dengan pengajar. Pengetahuan tidak dihasilkan dari dalam individu melainkan dibangun melalui interaksi dengan orang lain dan benda budaya. Pemahaman juga dapat ditingkatkan melalui interaksi sosial dalam aktivitas yang kooperatif. Interaksi sosial anak dengan orang dewasa serta teman sebaya mempunyai peranan dalam meningkatkan perkembangan kognisi. Melalui interaksi, anak yang tidak mengerti dibantu untuk beradaptasi dan berhasil di masyarakat (Santrock, 2007).

61

Proses belajar yang dimaksudkan disini bukan hanya proses kognisi tentang hal-hal akademis yang ada di sekolah, melainkan kegiatan belajar terampil melakukan sesuatu pada fase perkembangan tertentu atau yang biasa disebut tugas perkembangan. Semua orang melewati periode perkembangan yang pada setiap fasenya memiliki harapan-harapan sosial yang biasa dikenal dengan tugas perkembangan. Harapan sosial menunjukkan hal yang diharapkan masyarakat pada individu untuk dikuasai di periode kehidupan tertentu. Hurlock (2006) menuliskan beberapa tugas perkembangan masa kanak-kanak yang dapat dikelompokkan dalam: a. Perkembangan biologis 1) Belajar kecakapan fisik untuk permainan anak-anak b. Perkembangan psikologis 1) Membangun sikap menyeluruh terhadap diri sendiri 2) Mengembangkan kecakapan membaca, menulis, dan menghitung 3) Mengembangkan nurani, moralitas dan nilai c. Perkembangan sosial 1) Belajar bergaul dengan teman sebaya 2) Belajar memainkan peran sesuai jenis kelamin 3) Mencapai kemandirian pribadi 4) Membentuk sikap terhadap kelompok dan lembaga sosial Harapan sosial ini menjadi pedoman yang membantu mengetahui apa yang harus dipelajari individu pada usia tertentu. Menguasai tugas perkembangan ini menjadi penting karena kegagalan dalam menguasai tugas perkembangan

62

membuat individu menjadi rendah diri, mengakibatkan ketidaksetujuan sosial, penolakan sosial serta menyulitkan tugas perkembangan selanjutnya. Interaksi sosial, oleh karenanya penting untuk dikembangkan karena individu belajar ketrampilan memenuhi tugas perkembangan melalui interaksi sosial dengan orang lain. 3.

Aspek-aspek interaksi sosial anak autis Carpenter (2013) menulis tentang break down kriteria diagnosis dari DSM V tentang gangguan autis. Kriteria gangguan autis dalam DSM V (APA, 2013) meliputi kekurangan yang menetap dalam komunikasi dan interaksi sosial dalam bermacam-macam konteks, serta pola kebiasaan, minat, atau aktivitas yang terbatas dan berulang. Aspek interaksi sosial pada penelitian ini didapat dari break down kekurangan menetap dalam interaksi sosial DSM V (APA, 2013). Aspek interaksi sosial anak autis adalah : a. Inisiasi dan respon sosial Inisiasi sosial dan respon sosial anak autis termasuk dalam kemampuan timbal balik sosial-emosional yang meliputi pendekatan sosial, percakapan, saling berbagi minat, emosi atau perasaan, serta memulai atau merespon suatu interaksi sosial. Adapun penjelasan lebih lanjut, pendekatan sosial yang dilakukan anak autis merupakan pendekatan sosial tidak normal. Anak autis menggunakan orang lain hanya sebagai alat pemenuh kebutuhan serta melakukan inisiasi sosial yang tidak biasa, misalnya mengganggu, menyentuh, menjilati orang lain. Anak autis juga memiliki kegagalan dalam percakapan, yang

63

meliputi penggunaan bahasa secara sosial yang miskin (misalnya, tidak menjelaskan jika tidak paham, tidak memberikan latar belakang informasi), kegagalan berespon ketika nama anak autis dipanggil, tidak memulai pembicaraan serta percakapan satu pihak atau monolog. Anak autis memiliki kekurangan saling berbagi minat, yang meliputi tidak berbagi, tidak menunjuk, menunjukkan dan membawa objek yang menarik bagi orang lain, kegagalan dalam join attention (perhatian bersama). Kekurangan saling berbagi emosi atau perasaan meliputi kurang responsif terhadap senyum orang lain, kegagalan untuk berbagi kenikmatan, kegembiraan, atau prestasi dengan orang lain, kegagalan untuk menanggapi pujian, tidak menunjukkan kesenangan dalam interaksi sosial, kegagalan untuk menghibur orang lain, ketidakpedulian atau keengganan terhadap kontak fisik dan kasih sayang. Anak autis juga mengalami kegagalan memulai atau merespon interaksi, yang meliputi keterbatasan dalam inisiasi sosial, hanya melakukan inisisasi sosial untuk mendapatkan sesuatu. b. Kesadaran sosial, pengetahuan serta konsep hubungan sosial Aspek ini meliputi menyesuaikan perilaku dalam menghadapi bermacam-macam situasi sosial, perilaku dalam permainan imajinatif atau dalam mencari teman, serta minat terhadap teman. Adapun penjelasan lebih lanjut, anak autis mengalami kelemahan dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan sedikit banyak dipengaruhi oleh ToM. Anak autis mengalami kesulitan dalam

64

menyesuaikan perilaku saat menghadapi bermacam-macam situasi sosial yang meliputi tidak melihat ketidaktertarikan orang lain dalam suatu kegiatan, kurang respon terhadap isyarat kontekstual (misalnya isyarat sosial dari orang lain menunjukkan perubahan perilaku pada permintaan yang implisit), ekspresi emosi yang kurang pantas (misalnya tertawa atau tersenyum saat orang lain sedih), mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang tidak pantas secara sosial, tidak menyadari saat tidak diterima dalam sebuah permainan dan percakapan, kurang mampu mengenali emosi sosial (misalnya tidak melihat ketika orang lain sedang menggoda). Anak autis mengalami kesulitan dalam permainan imajinatif dengan teman sebaya serta kesulitan dalam membuat pertemanan. Anak autis tidak mencoba untuk mempertahankan pertemanan, jarang yang memiliki sahabat, kurang dalam permainan yang membutuhkan kerjasama, tidak menyadari dirinya diejek oleh anak-anak lain, tidak bermain dengan kelompok anak yang sedang bermain. Anak autis, jarang terlihat bermain dengan anak-anak yang sesuai dengan usia perkembangan,

kebanyakan

bermain

dengan

anak

yang

usia

perkembangannya lebih tua atau lebih muda. Sebenarnya, anak autis memiliki minat dalam persahabatan tetapi tidak memiliki pemahaman tentang konvensi interaksi sosial (misalnya sangat direktif atau kaku; terlalu pasif) serta tidak menanggapi pendekatan sosial anak-anak lain.

65

Anak autis tidak memiliki minat terhadap orang lain, hal ini meliputi tidak memiliki minat terhadap teman sebaya, menarik diri dan suka menyendiri, tidak mencoba untuk menarik perhatian orang lain, tidak menyadari kehadiran anak-anak lain atau orang dewasa. Anak autis juga memiliki interaksi yang terbatas dengan orang lain serta lebih menyukai kegiatan soliter. 4. Pengukuran interaksi sosial anak autis Witt dan kawan-kawan (1998) berpendapat bahwa terdapat dua macam asesmen, yaitu asesmen langsung dan asesmen tidak langsung. Asesmen tidak langsung (indirect assessment) merupakan pengukuran perilaku berdasarkan pengukuran indikator atau wakil dari karakteristik perilaku (intelegensi, persepsi, memori, dan lain sebaginya). Tes intelegensi, tes perseptual-motor merupakan contoh dari asesmen tidak langsung. Asesmen langsung merupakan pengukuran perilaku pada waktu dan tempat aktual saat perilaku tersebut muncul. Pengukuran interaksi sosial anak autis dalam penelitian menggunakan observation based assesment (OBA) atau asesmen berdasarkan observasi yang merupakan asesmen langsung. Asesmen berdasarkan observasi memiliki pengertian pengukuran sistematis dari perilaku individu yang dapat diamati dalam sebuah situasi. Semua perilaku yang dapat langsung diamati, dapat diukur menggunakan metode observasi. Teradapat

beberapa

faktor

yang

perlu

dipertimbangkan

dalam

menggunakan asesmen berdasarkan observasi. Faktor-faktor tersebut adalah: a. Definisi operasional perilaku

66

Definisi operasional mengacu pada pendefinisian perilaku secara jelas, istilah eksplisit sehingga tidak menimbulkan ambiguitas. Pendefinisian semacam ini dikatakan sebagai definisi operasional karena membuat spesifik operasional yang akan digunakan untuk memberi definisi perilaku. Definisi operasional harus bersifat objektif, jelas dan lengkap. Objektif berarti definisi harus mengacu pada perilaku yang dapat diamati dan atau kejadian yang terjadi. Jelas berarti definisi operasional dapat dibaca, diulang dan diparafrasekan oleh orang yang mengobservasi. Lengkap berati definisi operasional membuat spesifik batas kondisi yang termasuk perilaku dalam definisi dan menggambarkan perilaku yang tidak dianggap sebagai bagian dari definisi. b. Dimensi perilaku yang akan diukur Perilaku dapat dideskripsikan dan diukur melalui empat dimensi, yaitu frekuensi, temporari, intensitas dan produk permanen. Frekuensi perilaku mengacu pada seberapa sering perilaku muncul. Dimensi temporari dari perilaku memiliki dua aspek, yaitu durasi dan latensi. Durasi mengacu pada berapa lama perilaku muncul dan latensi mendeskripsikan jumlah waktu yang berlalu antar perilaku. Intensitas mengacu pada jumlah tenaga saat perilaku dimunculkan. Terakhir, produk permanen merupakan pengukuran terhadap hasil dari perilaku misalnya nilai ujian, jumlah jawaban salah dan lain sebagainya. c. Jumlah perilaku yang diukur

67

Beberapa anak autis memunculkan permasalahan perilaku yang mungkin terbatas hanya pada satu atau dua perilaku saja. Anak autis yang lain mungkin akan memperlihatkan permasalahan perilaku yang lebih banyak misalnya lima atau sepuluh perilaku bermasalah dalam kelas. d. Jumlah sesi observasi Pertimbangan

lain

saat

menggunakan

observasi

adalah

permasalahan berapa kali anak harus diobservasi. Observasi yang dilakukan harus benar-benar merepresentasikan perilaku anak autis, saat merumuskan asesmen observasi. Observasi tidak bisa hadir dalam kelas setiap menit setiap hari. Oleh karenanya, observer harus mengambil sampel perilaku yang representatif dari data observasi. e. Metode pencatatan Metode pencatatan yang digunakan bergantung pada dimensi perilaku yang ingin diukur. Adapun metode-metode pencatatan beserta penjelasannya adalah sebagai berikut: 1) Pencatatan event based Metode pencatatan ini didesain untuk mengukur frekuensi perilaku. Paling baik metode ini digunkan untuk perilaku yang memiliki awal dan akhir yang jelas. Misalnya, jumlah anak memukul teman, jumlah komentar positif yang dilontarkan anak dan lain sebagainya. 2) Pencatatan interval based

68

Mengacu pada pencatatan perilaku sebagaimana yang terjadi maupun tidak terjadi selama interval waktu yang spesifik. Sebuah unit waktu misalnya satu menit dibagi kedalam enam interval waktu yang berisi sepuluh detik. Kemudian perilaku diobservasi sebagaimana muncul atau tidak muncul dalam interval waktu enam kali sepuluh detik tersebut.

69

3) Pencatatan time based Mengacu pada pengukuran aspek temporal dari perilaku yaitu durasi dan latensi. Aspek temporal dari perilakulah yang diukur dan bukan jumlah waktu dari perilaku yang muncul. 4) Pencatatan permanent product Mengacu pada pengukuran produk yang fisik yang aktual dari perilaku. Contohnya, pekerjaan tertulis, coretan dinding sekolah, kamar mandi yang kotor dan lain sebaginya.

C. Pictorial Activity Schedule 1. Definisi Sudah sejak lama, para ahli perilaku mengunakan bantuan visual seperti gambar atau foto untuk mengajar anak dengan keterbatasan intelektual. Dikutip dari MacDuff, McClannahan dan Krantz (1993), terdapat 3 penelitian di tahun 80-an yang menggunakan petunjuk visual. Pertama, Wacker dan Berg (1983) menggunakan foto dan gambar garis untuk mengajarkan remaja retardasi mental untuk melakukan susunan tugas yang komplek terdiri dari 1830 langkah. Kedua, Johnson dan Cuvo (1981) menggunakan resep masakan bergambar untuk membantu orang dewasa dengan gangguan perkembangan untuk memasak, merebus dan memanggang. Ketiga, studi oleh Sowers, Rusch, Connis dan Cummings (1980) mengajarkan dewasa dengan retardasi mental untuk secara mandiri beralih dari perilaku bekerja ke perilaku makan siang. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, mulailah untuk pertama kali MacDuff,

70

McClannahan dan Krantz (1993) merancang sebuah penelitian yang merangkai petunjuk visual menjadi sebuah prosedur dalam serangkaian aktivitas dengan subjek penelitian empat anak laki-laki gangguan autis. McClannahan dan Krantz (1999) mendefinisikan pictorial activity schedule sebagai strategi bantuan visual yang menggunakan petunjukpetunjuk visual seperti foto, gambar, serta tulisan untuk mengajari individu mengikuti rangkaian tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas secara mandiri. Bantuan visual sendiri didefinisikan oleh Loring (2011) sebagai penggunaan gambar atau item bergambar untuk berkomunikasi dengan anak yang mempunyai kesulitan memahami dan menggunakan bahasa. Pendapat senada dikemukanan oleh Gruarin dan kawan-kawan (2013), yang menuliskan bahwa pictorial activity schedule sebagai sistem bantuan visual yang mengkombinasikan foto, gambar atau contoh gambar dalam sebuah format rangkaian untuk merepresentasikan rangkaian kegiatan tertentu. Stromer dan kawan-kawan (2006) berpendapat bahwa pictorial activity schedule dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajar siswa mengatur pekerjaan, permainan dan membangun ketrampilan beraktivitas secara mandiri. Pictorial activity schedule merupakan salah satu jenis dari activity schedule yang didefinisikan Giles (2011) sebagai jadwal bergambar, dapat diambil dari foto, kartun atau gambar yang menunjukkan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa selama satu hari penuh atau selama sesi tertentu. Tujuan pictorial activity schedule adalah untuk memberitahu siswa

71

tentang apa yang kemudian harus dilakukan melalui serangkaian kegiatan. Tidak berbeda jauh, Loring (2011) mendefinisikan pictorial activity schedule sebagai jadwal bergambar atau representasi visual tentang hal yang akan terjadi dalam sebuah tugas atau yang akan terjadi dalam satu hari. Elemen pictorial activity schedule menurut pendapat Berger (2009) adalah: a. Menunjukkan serangkaian langkah yang dibutuhkan untuk melengkapi sebuah aktivitas. b. Daftar kejadian dari peristiwa sehari-hari atau rutinitas sehari-hari. c. Memberi struktur pada kegiatan yang tidak terstruktur. 2. Penelitian yang relevan Hermansen (2014) memberikan tinjauan tentang 4 studi yang menggunakan jadwal aktivitas bergambar. Penjelasan lebih lanjut tentang tinjauan tersebut adalah: a. McClannahan dan kawan-kawan (1993) mengajarkan 4 anak autis untuk terikat pada berbagai aktivitas. Peneliti menemukan bahwa saat individu sibuk melakukan jadwal aktivitas maka permasalahan perilaku seperti agresi, tantrum, berlari-larian serta perilaku merusak menjadi berkurang. 3 hal penting yang perlu diperhatikan dari studi ini adalah: 1) Mengatur ulang susunan gambar agar kemudian jadwal tidak menjadi rutinitas yang diingat. 2) Mengenalkan individu pada aktivitas yang baru sehingga muncul generalisasi cara menggunakan jadwal aktivitas.

72

3) Mengajarkan individu untuk menunjuk pada gambar lalu mendorongnya untuk melakukan aktivitas yang ada pada gambar. b. Anderson, Sherman, Sheldon, dan McAdams (1997) menggunakan jadwal bergambar pada setting rumah untuk dewasa dengan keterbelakangan mental usia 21-37 tahun. Jadwal aktivitas yang digunakan adalah gambar dan contoh gambar orang melakukan aktivitas. Perilaku maladaptif yang dimiliki oleh subjek penelitian menurun dan perilaku melakukan aktivitas pada rangkaian kegiatan meningkat. c. Scheur (2002) menggunakan jadwal aktivitas dalam program sehari untuk dewasa dengan cerebral palsy usia 27-49 tahun. Diberikan instruksi “tolong lakukan pekerjaan anda” lalu individu diberi arahan untuk melakukan hal yang ada pada jadwal aktivitas. Dorongan dan token digunakan tetapi kemudian dihilangkan secara bertahap. Seluruh subjek penelitian melakukan 80% pekerjaan secara mandiri. d. Watanabe dan Sturmey (2003) berhasil meningkatkan perilaku beraktivitas secara mandiri menggunakan jadwal aktivitas. Subjek penelitian adalah individu autis dengan usia 22-40 tahun. Guru atau pengajar memberikan dorongan apabila setelah 40 menit partisipan tidak melakukan aktivitas pada activity schedule. Semua partisipan dilaporkan mengalami peningkatan dalam perilaku beraktivitas.

73

3. Tujuan pictorial activity schedule Giles dan Stephenson (2011) mengemukakan tujuan jadwal visual adalah untuk membantu kesulitan individu autis berhubungan dengan transisi perubahan dengan memperlihatkan jadwal dalam bentuk visual. Individu dengan gangguan autis sering merespon dengan baik informasi atau intruksi yang diberikan secara visual. Informasi visual juga efektif karena bertahan lebih lama daripada informasi yang diberikan secara verbal. Lebih lanjut, Loring (2011) berpendapat bahwa penggunaan gambar membantu mengatasi tiga aspek kelemahan individu autis, yaitu: a. Individu autis kurang dapat mengerti petunjuk sosial dalam berinteraksi, tidak tau bagaimana memulai interaksi sosial dan berespon pada stimulus sosial. Alat bantu visual membantu mengajari mereka ketrampilan sosial seperti mengucapkan salam lalu kemudian bermain bersama. b. Individu autis sulit memahami dan mengikuti arahan verbal dan instruksi yang diucapkan oleh pengajar. Bantuan visual membantu mengkomunikasikan instruksi sehingga menjadi cara yang efektif unutk berkomunikasi. c. Alat bantu visual membantu individu autis untuk mengerti hal yang harus dilakukan dan hal yang akan terjadi karenanya akan menurunkan kecemasan. Individu autis sering kali merasa cemas saat rutinitas sehingga membuat mereka memiliki pola perilaku yang berulang dan terbatas.

74

4. Manfaat

Koyama dan Wang (2011) memberikan tinjauan tentang efektivitas penggunaan jadwal aktivitas yang ada pada 23 penelitian. Penelitian-penelitian dilakukan pada partisipan dengan beragam usia dari usia pra sekolah sampai dewasa. 59,4% dari jumlah keseluruhan 69 partisipan merupakan individu dengan gangguan autis, sisanya adalah individu dengan kelemahan intelektual dan keterbelakangan mental. Perilaku luaran dari hasil perlakuan pemberian jadwal aktivitas dapat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu: a. Meningkatkan angka perilaku melakukan aktivitas atau perilaku on-task Perilaku on task mengacu pada keadaan dimana partisipan sibuk melakukan

aktivitas

yang

telah

direncanakan

atau

yang

dideskripsikan pada jadwal. Hal ini penting karena para ahli berpendapat

bahwa

tingkat

perilaku

melakukan

aktivitas

berkorelasi positif dengan perkembangan ketrampilan komunikasi dan sosial sekaligus mengurangi perilaku stereotip. b. Penurunan perilaku merusak dan perilaku melukai diri sendiri Waktu

yang dihabiskan untuk perilaku on-task membuat

penurunan waktu untuk melakukan perilaku maladaptif. Beberapa perilaku maladaptif yang dimunculkan oleh partisipan adalah perilaku agresif, tantrum, melukai diri sendiri, perilaku stereotipik serta ekolalia.

75

c. Pengetahuan pada jadwal pribadi Penelitian berhasil membuat partisipan membuat jadwal pribadi mereka. Partisipan tidak hanya mengikuti rangkaian jadwal tetapi juga membuat jadwal untuk diri sendiri dengan cara memilih aktivitas yang ingin dilakukan. Manfaat lain mengajarkan penjadwalan pribadi adalah menambah efektivitas activity schedule karena aktivitas yang mereka lakukan berdasarkan pilihan minat partisipan sendiri. d. Memulai melaksanakan tugas dan transisi tugas secara mandiri Individu dengan gangguan autis terkenal bermasalah dengan peralihan dan memiliki resistensi pada perubahan lingkungan. Penelitian menyimpulkan bahwa activity schedule adalah alat yang efektif untuk membantu peralihan aktivitas secara halus, tidak mencolok dan lancar karena aktivitas berada pada sebuah rangkaian yang tidak terputus. Giles dan Stephenson (2011) mengemukakan pendapat yang tidak jauh berbeda. Bantuan visual dalam bentuk jadwal bermanfaat untuk: a. Meningkatkan perilaku on-task dan menurunkan permasalahan perilaku seperti tantrum dan agresifitas. b. Bermanfaat untuk aktivitas sehari-hari, mengajarkan ketrampilan activity daily living (ADL), aktivitas saat rekreasi dan aktivitas saat waktu senggang.

76

c. Menggeneralisasi cara menggunakan jadwal aktivitas pada setting lingkungan berbeda serta gambar yang baru sehingga memungkinkan individu mempelajari berbagai ketrampilan. 5. Prosedur

Tahapan penggunaan jadwal visual menurut Loring (2011) antara lain sebagai berikut: a. Mengajarkan murid untuk melakukan tugas yang terlihat pada jadwal visual. Berikan jadwal visual dengan instruksi verbalnya, misalnya “pertama, pakai sepatu.” Pastikan murid melakukan aktivitas memakai sepatu dengan benar. b. Lanjutkan dengan instruksi verbal lain sesuai dengan jadwal visual. Contohnya “tugas pertama selesai, lalu bermain ayunan.” c. Pastikan murid memahami konsep penggunaan jadwal visual lalu kemudian pilih aktivitas yang akan dilakukan. d. Susunlah jadwal visual dengan aktivitas yang sudah pernah diajarkan oleh pengajar. e. Berilah bantuan instruksi verbal untuk memulai menggunakan jadwal visual, misal “periksa jadwal.” f. Arahkan murid untuk beralih pada jadwal aktivitas berikutnya. Berger (2009) menjelaskan 8 langkah prosedur pemberian pictorial activity schedule, yaitu: a. Pilih prioritas kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, jangan memilih aktivitas yang dilakukan dalam waktu bersamaan.

77

b. Berikan arahan verbal “waktunya melihat jadwal.” c. Berikan prompt atau dorongan kepada anak untuk membuka jadwal dan menunjuk pada gambar aktivitas yang pertama muncul d. Berikan panduan pada anak untuk melakukan aktivitas sesuai gambar. e. Pastikan anak mengambil peralatan dan melakukan aktivitas secara mandiri f. Pantau anak sampai muncul kemandirian melakukan aktivitas g. Ajarkan anak untuk merapikan dan mengembalikan material yang telah digunakan h. Ajarkan anak untuk membuka lembar aktivitas yang lain. Prosedur penggunaan pictorial activity schedule dapat diringkas dari penelitian Spriggs (2007) yang berjudul “Using Picture Activity Schedule Books to Increase On-Schedule and On-Task Behaviors” , yaitu: a. Fase awal, berikan instruksi verbal untuk murid mengambil dan membuka jadwal aktivitas bergambar. Tunggu 10 detik, bila perilaku mengambil dan membuka tidak muncul, berikan prompt. b. Berikan panduan pada murid untuk melakukan aktivitas sesuai yang tergambarkan pada jadwal aktivitas. c. Berikan instruksi untuk membuka lembaran jadwal aktivitas untuk melakukan aktivitas yang baru. Tunggu 10 detik apabila perilaku yang dimaksud tidak muncul, berikan prompt. Ada 6 jenis prompt ang diberikan, yaitu: gestur, model, langsung secara verbal, mengarahkan

78

murid pada material, sentuhan halus dan terakhir asistensi hand-tohand.

D. Pengaruh Pelatihan Pictorial Activity Schedule terhadap Pengembangan Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta Autis merupakan gangguan neurobiologis yang muncul sebelum usia 3 tahun.

Kelainan

neurologis

mengakibatkan

abnormalitas

dan

hendaya

perkembangan dengan ciri abnormal dalam bidang interaksi sosial, kemampuan komunikasi, perilaku berulang serta minat terfiksasi dan terbatas. Kelemahan sosial individu autis beraneka ragam, meliputi kurang respon pada emosi orang lain, interaksi timbal balik sosio-emosional yang rendah, kelemahan dalam membaca petunjuk-petunjuk sosial, kesulitan dalam memulai interaksi, berbagi kesenangan serta menyimpulkan ketertarikan orang lain (Liberi, 2012; Bellini, Peters, Benner & Hopf, 2007). Turkington (2007) menuliskan bahwa kelemahan interaksi sosial membuat individu mengalami kesulitan dalam menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial yang bermakna. Dampaknya adalah individu autis menghindari situasi sosial sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mempelajari fungsi penting perkembangan mental. Anggapan bahwa individu dengan gangguan autis tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan interaksi sosial tidaklah tepat. Bauminger & Kasari (2000) individu autis sangat ingin terlibat secara sosial tetapi mereka tidak memiliki keterampilan untuk berinteraksi secara efektif. Kemudian menjadi

79

penting untuk mencari cara menjembatani antara keinginan berinteraksi dan kelemahan interaksi sosial agar dapat membantu individu mengembangkan hubungan sosial yang bermakna. Upaya penanganan peningkatan interaksi sosial individu dengan gangguan autis memerlukan langkah awal yaitu proses idenifikasi menyeluruh tentang dimensi biopsikososial individu sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan intervensi. Dilihat dari dimensi biologis, individu autis memiliki beberapa karakteristik, yaitu abnormalitas otak (lobus parietalis, cerebellum dan sistem limbik), kemunculan yang dipicu oleh pengaruh genetik, paparan bahan kimia yang kemudian menyebabkan gangguan sistem imun. Karakteristik perilaku gangguan autis adalah kelemahan dalam komunikasi dan interaksi sosial serta pola kebiasaan, minat, aktivitas yang terbatas dan berulang. Dilihat dari dimensi sosial, individu autis memiliki beberapa gambaran permasalahan antara lain, permasalahan hubungan interpersonal, hubungan keluarga, hubungan teman sebaya, jarang yang memiliki teman dan kehidupan perkawinan serta penghindaran kehidupan sosial. Gambaran dimensi psikologis individu autis dapat dilihat dari karakteristik kognitif yang berbeda dengan individu tanpa gangguan autis. Karakteristik kognitif individu autis meliputi: Mindblindness, yang mempunyai hipotesis bahwa individu dengan autism tidak memiliki "teori pikiran" (Theory of Mind) yaitu mereka tidak mempunyai anggapan tentang keyakinan mental orang lain; Disfungsi Eksekutif, yang menunjukkan bahwa individu dengan autis memiliki defisit dalam fungsi eksekutif seperti perencanaan, fleksibilitas mental, dan

80

penghambatan impuls; dan lemahnya koherensi sentral, yang menyatakan bias terhadap hal lokal dan bukannya pengolahan informasi global (Kunde & Goel, 2008). Rao & Gagie (2006), menambahkan bahwa individu autis memiliki satu karakteristik pemikiran yang khas yaitu pembelajar visual. Individu autis adalah pembelajar visual daripada pembelajar auditori dan lebih memilih moda alternatif komunikasi, seperti gambar, bukan kata-kata tertulis. Pendidik dapat memberikan banyak arahan secara lisan tetapi itu tidak berarti bahwa siswa mengerti. Pembelajar visual membuat individu dengan autis memiliki performa yang sangat baik dalam kemampuan visual spasial dan sangat buruk dalam kemampuan verbal. Mayoritas individu autis yang merupakan pembelajar visual, merespon lebih efektif rangsangan visual daripada stimulus pendengaran. Menyajikan informasi dengan cara visual dapat membantu dan mendorong kemampuan komunikasi, perkembangan bahasa serta kemampuan untuk memproses informasi bagi individu dengan gangguan autis (Elliot, 2013). Kesemua dimensi biologis, psikologis dan sosial ini saling pengaruh mempengaruhi dalam rendahnya interaksi sosial individu autis. Padahal, sesuai dengan teori kognisi sosial Vygotsky, interaksi sosial berpengaruh terhadap perkembangan kognisi yang nantinya berpengaruh juga pada pencapaian tugas perkembangan seseorang. Tugas perkembangan masa kanak-kanak menurut Santrok (2007) antara lain ketangkasan fisik, bergaul bersama teman sebaya, belajar memainkan peran, kecakapan berhitung dan lain sebagainya. Oleh karenanya menjadi penting untuk mengajarkan ketrampilan interaksi sosial

81

sehingga meningkatkan interaksi sosial individu autis untuk membantu mereka mencapai tugas perkembangan. Tidak ada satu model pembelajaran terbaik untuk mengajarkan ketrampilan pada individu autis, namun ada satu model pembelajaran yang banyak diterapkan secara luas untuk membantu mereka, yaitu pembelajaran dengan bantuan visual (Rao & Gagie, 2006). Intervensi dengan menggunakan bantuan visual didasarkan pada karakteristik kognisi individu autis yang merupakan pembelajar visual. Salah satu bentuk bantuan visual yang dapat dijadikan media pengajaran ketrampilan bagi individu autis adalah pictorial activity schedule. Pictorial activity schedule atau jadwal aktivitas bergambar mengkombinasikan foto, gambar atau contoh gambar dalam sebuah rangkaian untuk merepresentasikan rangkaian kegiatan tertentu (Gruarin dan kawan-kawan, 2013). Aktivitas yang dirangkai menjadi pictorial activity schedule dapat beraneka macam tema, misalnya tema memasak, mengajarkan individu autis untuk merebus telur kemudian tema motorik, mengajarkan meronce kalung, serta tema sosial, mengajarkan bermain puzzle bersama teman dan tema lainnya. Pictorial activity schedule merupakan sebuah strategi pembelajaran dengan menggunakan metode visual. Strategi pembelajan menurut Sanjaya 2006 (dalam Majid, 2013) berarti rencana tindakan atau rangkaian kegiatan termasuk menggunakan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran. Majid (2013) sendiri, menuliskan strategi pembelajran sebagai strategi yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran sebagai upaya pendidik untuk melakukan kegiatan belajar agar terwujud efisiensi dan efektivitas

82

kegiatan belajar. Strategi pembelajaran, dalam implementasinya menggunakan metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan penyajian efektif dari konten tertentu suatu mata pelajaran sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh peserta didik. Pemberian strategi pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan anak autis dalam melakukan interaksi sosial. Sebagaimana pengertian pelatihan menurut Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 (dalam Kamil 2012) merupakan bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan, dalam waktu yang relatif singkat, dan menggunakan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori. Pemberian intervensi dalam penelitian ini, oleh karenanya dikatakan sebagai pelatihan karena bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan. Pictorial activity schedule dapat menjadi salah intervensi yang diterapkan di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta untuk membantu anak autis mempelajari jenis keterampilan interaksi sosial langkah demi langkah. Ketrampilan berinteraksi yang telah diajarkan kemudian diharapkan dapat meningkatkan interaksi sosial individu autis di SLB Yayasan Bina Asih Surakarta.

E. Kerangka Pemikiran Adapun skema kerangka pemikiran yaitu :