2.1 Pengertian Banjir dan Mitigasi Bencana Banjir

Dilihat dari bentuk kejadian banjir dapat dikategorikan banjir bandang dan banjir menggenang. ... Upaya non strukural dalam mitigasi bencana banjir me...

50 downloads 831 Views 853KB Size
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Banjir dan Mitigasi Bencana Banjir Difinisi Banjir (flood) Menurut Multilingual Technical Dictionary on

Irrigation and Drainage (ICID) dalam Siswoko(2002) adalah “ A relatively high flow or stage in a river, markedly higher than the usual; also the inundation of flow land that may result thereform. A body of water, rising, swelling and overflowing the land not usually thus covered. Also deluge; a freshet. Definisi lain banjir adalah salah satu bentuk ekstrim aliran permukaan (run-off extremes) di mana tinggi muka air sungai atau debit melebihi suatu batas batas yang ditetapkan untuk kepentingan tertentu (Harto, 1993). Secara umum terdapat tiga istilah pengertian banjir yang dikaitkan dengan sungai di masyarakat (Isnugoroho, 2002) yaitu : 

Suatu sungai dikatakan banjir apabila terjadi peningkatan debit aliran yang relatif besar, pengertian ini biasa digunakan oleh para petugas hidrologi dan masyarakat umum/awam setempat.



Suatu sungai dikatakan banjir apabila aliran air melimpas keluar alur sungai,

pengertian

ini

biasa

dipakai

oleh

instansi

pengelola

sungai/pengendali banjir. 

Suatu sungai dikatakan banjir apabila aliran air melimpas ke luar alur sungai dan menimbulkan gangguan terhadap manusia. Pengertian ini biasa digunakan oleh media dalam kaitannya dengan informasi bencana banjir. Dilihat dari bentuk kejadian banjir dapat dikategorikan banjir bandang dan

banjir menggenang. Banjir bandang adalah luapan air yang datangnya secara tiba tiba dan menimbulkan kerusakan akibat kecepatan arus air. Sedangkan banjir genangan yang biasanya terjadi di hilir dan dataran rendah, adalah banjir yang

menimbulkan kerusakan/gangguan

akibat

genangan

air.

Peristiwa

terjadinya bencana banjir melibatkan dua fenomena yaitu: kejadian banjir dan keberadaan manusia dan harta benda di daerah kejadian. Dengan demikian, jika terjadi luapan/genangan air yang mengganggu kehidupan manusia (melanda manusia dan harta benda) maka terjadilah bencana.

13

Penyebab banjir dapat dikategorikan dalam tiga faktor, yaitu kondisi alam yang bersifat statis ataupun dinamis. Kegiatan manusia yang bersifat dinamis serta sarana dan prasarana yang ada. Faktor alam seperti global

dan

regional

akibat

mempengaruhi iklim lokal.

efek

rumah

perubahan iklim

kaca/pemanasan

global

yang

Faktor manusia antara lain perubahan tata ruang

DAS (Daerah Aliran Sungai), pemanfaatan sungai/saluran sebagai tempat buangan sampah, faktor sarana–prasarana antara lain: minimmya sarana pengendali banjir seperti saluran, kanal, polder, waduk, pompa air, pintu air, dan lain lain (Siswoko, 2002) Mitigasi bencana adalah upaya manusia untuk menurunkan dampak yang lebih buruk dari suatu kejadian bencana. Kerugian dapat diminimalkan dengan usaha mitigasi dan dapat menekan kerugian jiwa maupun harta benda. Karena bencana yang disebabkan oleh alam, oleh karena manusia maupun oleh keduanya tidak tidak dapat dicegah. Maka upaya mitigasi menjadi kegiatan yang paling efektif dalam hal penanggulangan bencana dan kerugian harus ditekan sekecil mungkin. Upaya mitigasi dapat dilakukan berbagai cara baik struktural maupun non struktural yang masing-masing harus dilakukan secara simultan. Struktural menyangkut pembangunan fisik dalam upaya menaggulangi dampak bencana. Sedangkan

non

struktural

menyangkut

perundang-undangan,

peraturan,

pemasyarakatan, maupun sosialisasi dengan berbagai media. Upaya struktur dalam menangani masalah bahaya banjir adalah upaya teknis yang bertujuan melancarkan dan mencegah adanya luapan air sungai atau terjadinya genangan air di daerah-daerah titik rawan banjir, antara lain : a. Pembangunan tanggul-tanggul di pinggir sungai pada titik-titik daerah rawan banjir. Tujuannya adalah mencegah meluapnya air pada tingkat ketinggian tertentu ke daerah rawan banjir. b. Pembangunan kanal-kanal yang bertujuan menurunkan tingkat ketinggian air di daerah aliran sungai dengan menambah dan mengalihkan arah aliran sungai. c. Pembangunan bendungan, bertujuan menampung air di daerah aliran sungai pada tempat yang aman sehingga dapat mengendalikan debit air pada daerah aliran sungai berikutnya. d. Pembangunan polder, bertujuan untuk mengumpulkan dan memindahkan air dari tempat yang mempunyai elevasi rendah ke tempat yang lebih tinggi dengan pompanisasi

14

e. Pelurusan sungai, bertujuan untk melancarkan dan mempercepat aliran sungai mencapai muara. Upaya struktur yang dijelaskan di atas adalah upaya teknis yang sifatnya permanen, sehingga untuk mendapatkan hasil maksimal harus didukung dengan peran

serta

masyarakat

maupun

peraturan-peraturan

yang

mengarah

tercapainya sasaran program tersebut. Upaya yang bersifat non struktur menyangkut

penyesuaian dan pengaturan kegiatan manusia sehingga

didapatkan berfungsinya program program yang dilakukan dengan cara struktural. Upaya non strukural dalam mitigasi bencana banjir meliputi : a. Konservasi dan penghutanan kembali di daerah hulu. b. Pengaturan penggunaan lahan di dataran banjir. c. Penerapan batas sempadan sungai. d. Sistem Peringatan Dini Banjir (Flood Forecasting and Early Warning System). e. Peran serta masyarakat dalam mengelola sungai. Menurut UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Penelitian tentang sistem peringatan dini di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat setelah terjadinya bencana tsunami tahun 2004. Pemerintah Indonesia melakukan penelitian tentang sistem peringatan dini bencana tsunami mulai tahun 2006 dalam hal ini dilakukan oleh beberapa instansi seperti ITB, LIPI, BPPT, BMG, Bakosurtanal serta beberapa partner dari luar negeri membuat sistem peringatan dini tsunami untuk daerah Aceh dan Jawa Barat yang dikenal dengan nama Indonesian Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) (Wahab, 2008). Sedangkan penelitian sistem peringatan dini banjir mulai banyak dilakukan setelah kejadian banjir di Jakarta tahun 2006. 2.2.

Sistem Peringatan Dini Banjir Definisi sistem peringatan dini secara khusus misalnya untuk sistem

peringatan dini banjir adalah suatu pemberitahuan hasil pemantauan dan akuisisi data curah hujan dan aliran sungai kepada masyarakat luas, utamanya pada daerah rawan banjir (Legono et al., 2002).

15

Sistem peringatan dini banjir (flood early warning system) sebagai salah satu upaya non struktur pengendalian bencana banjir merupakan satu elemen utama dalam mengurangi resiko bencana. Sistem ini dapat mengurangi kerugian jiwa maupun harta benda terjadinya bencana. Khusus untuk bencana banjir, sistem peringatan dini datangnya banjir pada prinsipnya dimaksudkan supaya masyarakat yang bermukim di daerah rawan banjir baik di hulu maupun di hilir suatu DAS, dapat memperoleh informasi lebih awal tentang besaran banjir yang mungkin terjadi dan agar waktu evakuasi korban memadai sehingga resiko yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Sistem peringatan dini datangnya banjir di Indonesia sangat penting, karena intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir dapat terjadi secara tiba-tiba atau yang dikenal dengan banjir bandang. Selain itu hujan besar biasanya terjadi pada sore sampai malam hari sehingga debit puncak umumnya pada malam hari. Dari beberapa kejadian banjir, hampir sebagian besar banjir di Indonesia tidak dapat diantisipasi karena belum tersedianya sistem peringatan dini datangnya banjir. Akibatnya, penanganan banjir lebih ditekankan pada rehabilitasi pasca banjir yang tentunya memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar karena korban cenderung meningkat dengan adanya efek pascabanjir. Penelitian sistem peringatan dini banjir lebih banyak dilakukan oleh

organisasi peneliti seperti LIPI , BPPT serta beberapa perguruan tinggi secara sendiri sendiri. Penelitian sistem peringatan dini banjir masih terfokus pada sistem telemetri atau prediksi banjir secara terpisah. Sehingga penelitian tentang prediksi banjir lebih sering belum teintegrasi dengan sistem telemetri dan peringatan dini dan prediksi banjir. Prediksi banjir dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa model antara lain model ARIMA dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Penelitian tentang prediksi banjir dengan ARIMA dilakukan oleh Anwar (2006) untuk DAS Cimanuk. Penerapan aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk prediksi lebih banyak digunakan untuk menghitung prediksi debit harian (bukan debit sesaat). Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data curah hujan dalam bentuk jam-jaman. Margiantoro (2003) melakukan perhitungan debit rata rata harian dengan JST untuk Kali Cikapundung dengan menggunakan data curah hujan harian. Setiawan dan Rudiyanto (2004) melakukan penelitian tentang perhitungan

16

prediksi rata rata aliran sungai di DAS Cidanau dengan menggunakan curah hujan harian. Penelitian Sistem peringatan dini banjir yang terintegrasi antara telemetri dan sistem prediksi mulai dilakukan pada tahun 2006 seiring dengan perkembangan sistem telemetri dengan SMS seperti yang dilakukan oleh Kanbua dan Cham (2008) di Negara Thailand. Sedangkan penelitian prediksi banjir dengan menggunakan satelit atau radar lebih banyak dilakukan oleh negara negara maju di Eropa dan Amerika. Penelitian dengan satelit atapun radar lebih banyak diterapkan untuk perdiksi banjir dengan DAS yang luas. Adrana et al., (2008) melakukan penelitain sistem peringatan dini banjir dengan menggunakan satelit dengan luas DAS hingga 1000 km2. Penelitian tentang sistem peringatan dini banjir Sungai Mekong juga telah dilakukan dengan menggunakan satelit (Begkhuntod, 2007) Penelitian sistem peringatan dini banjir secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu dengan menggunakan data curah hujan atau lebih dikenal dengan sistem peringatan dini banjir dengan sistem bawah. Sedangkan sistem peringatan dini banjir dengan melihat adanya awan dengan

menggunakan

radar

cuaca

lebih

dikenal

dengan

sistem

peringatan dini banjir sistem atas. Hasil sistem peringatan dini banjir akan sangat baik jika dapat dilakukan

penggabungan

antara

sistem

peringatan

dini

dengan

menggunakan radar cuaca dan sistem peringatan dini banjir dengan menggunakan sistem telemetri curah hujan (sistem bawah). Untuk sistem perdiksi banjir dengan luas DAS yang kecil, lebih cocok dengan menggunakan data curah hujan atau lebih dikenal sistem perdiksi bawah. Untuk sistem peringatan dini banjir

dengan satelit di Indonesia mulai

dilakukan pada tahun 2007 oleh BPPT, BMG dan LAPAN dengan program yang disebut program “Harimau” atau Hydrometeorological Array for Intraseasonal variation Monsoon Automonitoring (Fadli, 2007). Program ini direncanakan hingga tahun 2010 bekerja sama dengan pihak peneliti dari Universitas Kyoto dan Universitas Hokaido. Sistem peringatan dini banjir untuk negara berkembang mulai dilakukan oleh Basha dan Daniele pada Januari

2004 di Honduras.

Dimana pernah terjadi banjir besar pada tahun 1998 di Sungai Aguan timur laut Honduras yang menyebabkan 5000 orang meninggal dunia dan 8000 orang hilang (Basha dan Daniele, 2007).

17

2.3.

Sejarah Sistem Peringatan Dini Banjir di Indonesia Sistem peringatan dini banjir secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu

sistem peringatan dini banjir secara konvensional (non teknologi) dan dengan menggunakan teknologi.

Sistem peringatan dini banjir secara konvensinal

adalah seperti penggunaan kentongan untuk menyebarkan informasi banjir ke masyarakat. Sedangkan sistem peringatan dini banjir secara non konvensional adalah dengan menggunakan teknologi untuk penyampaian informasinya seperti dengan radio, HP, ataupun lainnya yang berbasis teknologi. Sistem peringatan dini banjir secara non konvensional di Indonesia dimuali pada tahun 70an yaitu pada saat pembangunan Bendungan Karangkates di Kabupaten Malang dan Bendungan Gajah Mungkur di Wonogiri tahun. Sistem peringatan dini yang terpasang di bendungan tersebut berawal dari pemasangan sistem

telemetri

dengan

menggunakan

media

gelombang

radio

untuk

mengirimkan data curah hujan ataupun tinggi muka air. Komponen sistem telemetri yang dibangun dibuat dari produk luar negeri seperti produk JRC (Japan Radio Communication) dari Jepang. Secara umum sistem konfigurasi telemetri yang dibangun terdiri dari master station, monitoring station, repeater station, water level station dan rain gauge station seperti terlihat pada Gambar 3.

Sumber : Ministry of Construction Japan (1980)

Gambar 3 Konfigurasi sistem telemetri curah hujan dan tinggi muka air menggunakan radio.

18

Pada tahun 1986 dibangunlah Waduk Kedungombo yang juga dilengkapi dengan menggunakan sistem telemetri curah hujan dan tinggi muka air dengan menggunakan sistem radio. Dalam perjalanannya sistem telemetri dengan menggunakan radio mengalami banyak permasalahan sehingga banyak peralatan yang tidak dapat bekerja. Hingga saat ini peralatan sistem telemetri yang menggunakan radio yang masih berjalan adalah di lokasi Proyek Wilayah Sungai Brantas yang saat ini dikelola PT Jasa Tirta I. Permasalahan yang menjadi penyebab gagalnya sistem peralatan telemetri dengan menggunakan radio antara lain: a)

Hampir semua komponen berasal dari luar negeri sehingga jika terjadi kerusakan di setiap komponen harus mendatangkan dari luar negeri.

b)

Sumber daya manusia untuk menangani peralatan dengan teknologi tersebut

belum

siap

sehingga

jika

terjadi

kerusakan

harus

mendatangkan orang dari luar negeri. c)

Permasalahan Operasi dan Pemeliharaan (OP) peralatan dimana harga komponen yang mahal

sehingga membebani biaya operasional dan

perawatan. Pada lokasi Bendungan Serbaguna Gajah Mungkur dan Bendungan Kedungombo semua peralatan telemetri yang menggunakan sistem radio sudah tidak ada yang berfungsi lagi dimana hanya bertahan dalam waktu 3 tahun sejak dioperasikan. Gambar 4 menunjukkan salah satu stasiun telemetri curah hujan di Jatisrono yang sudah tidak berfungsi lagi.

Gambar 4 Stasiun telemetri curah hujan dengan sistem radio di Jatisrono (Hulu Bengawan Solo) yang sudah tidak berfungsi lagi.

19

Dengan adanya permasalah permasalah sistem peringatan dini bencana banjir tersebut, maka pada tanggal 31 Mei 2006 Departemen Pekerjaan Umum mengeluarkan SK Menteri PU No 238A/KPTS/M/2006, tentang Pembentukan Team Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Banjir dimana dalam SK tersebut terlibat unsur Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Puslitbang SDA) Departemen PU, Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Perguruan Tinggi (Undip dan ITS), dan PT Inti Bandung selaku Industri. Disebutkan bahwa untuk mengembangkan sistem telemetri dan peringatan dini banjir dengan didukung oleh produk dalam negeri. Dalam perjalannya, team Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Alam Banjir ini lebih menekankan sistem telemetri dan peringatan dini berbasis GSM dengan beberapa keuntungan teknologi GMS antara lain : 

Peralatan yang digunakan lebih simpel dan murah dimana untuk pengiriman data jarak yang jauh (lebih dari 30 km) tidak memerlukan repeater.

 2.4.

Komponen yang digunakan mudah didapat di dalam negeri.

Teknologi Informasi Istilah Teknologi Informasi atau IT (Information Technology) adalah

bagian dari mata rantai panjang panjang dari perkembangan istilah dalam dunia Sistem Informasi (SI). Istilah TI memang lebih banyak merujuk pada teknologi yang digunakan dalam mengolah informasi, namun pada dasarnya merupakan bagian dari sistem informasi itu sendiri. TI lebih mudah dipahami secara umum sebagai pengolahan informasi yang berbasis teknologi komputer yang tengah berkembang pesat. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi, maka implementasi teknologi informasi dalam sistem peringatan dini banjir seperti SMS dan Web turut serta digunakan terutama dalam penyampaian informasi dan pengiriman data curah hujan atau tinggi muka air. 2.4.1. Short Message Services (SMS) Short Message Services (SMS) merupakan layanan yang banyak diaplikasikan pada layanan komunikasi nirkabel. Data yang dikirimkan berbentuk alfanumerik. Yakni kode karakter teks ASCII (American Standard Code for Information Interchange) yang dapat dibaca.

20

SMS pertama kali diperkenalkan di benua Eropa pada era tahun 1991 bersamaan dengan teknologi komunikasi tanpa kabel yaitu, Global System for Mobile Communication (GSM). Pengiriman SMS pertama kali dilakukan pada bulan Desember 1992 yang dilakukan dari sebuah PC (Personal Computer) ke telepon bergerak (mobile) dalam jaringan GSM milik Vodafone, Inggris. Dengan segera, perkembangannya merambah benua Amerika yang dipelopori oleh beberapa operator komunikasi antara lain Bell South Mobility, PrimeCo. dan lainlain. Kini cara mengirimkan SMS bervariasi, ada yang menggunakan AMPS, GSM, dan CDMA (Code Division Multiple Acces). Dalam sistem SMS, mekanisme utama yang dilakukan dalam sistem adalah mengirimkan pesan singkat dari satu terminal pelanggan ke terminal pelanggan yang dituju. Pengiriman pesan singkat antar terminal ini dapat terjadi karena adanya Message Center (MC) atau yang disebut juga Short Message Service Center (SMSC). Tugas perangkat SMSC ini adalah menyimpan dan mengirimkan (store-and-forward) pesan singkat. Untuk melakukan tugas tersebut, SMSC melakukan pencarian rute tujuan akhir dari pesan singkat. SMSC biasanya didesain untuk menangani pesan singkat dari berbagai sumber seperti Voice Mail System (VMS), Web-based Messaging, Email Integration, External Short Messaging Entities (ESME) dan lain-lain. Untuk jaringan komunikasi seperti Home Location Register (HLR) dan Mobile Switching Center (MSC), SMSC biasanya menggunakan Signal Transfer Point (STP). Karakteristik

SMS bersifat

out-of-band data dengan lebar-bidang

(bandwith) yang kecil. Dengan karakteristik ini, pengiriman data yang pendek dapat dilakukan dengan efisiensi tinggi. Pada mulanya SMS didesain untuk menggantikan layanan paging. Dengan menyediakan layanan yang serupa yang bersifat dua arah dengan disertai pemberitahuan. Layanan SMS dibangun dari berbagai elemen yang saling terkait yang memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Entitas dalam jaringan SMS disebut juga elemen jaringan SMS. Secara umum arsitektur sistem SMS dapat dilihat pada Gambar di bawah ini. Elemen utama dalam jaringan SMS adalah SMSC, yang di dalamnya terdapat berbagai proses pengolahan pesan singkat. Prinsip kerja sebuah SMSC adalah simpan dan teruskan. Dengan prinsip ini, seluruh pesan singkat yang masuk akan langsung ditampung tanpa melihat status tujuan apakah ada atau

21

tidak. Penyampaian ke tujuan akan dilakukan kemudian dengan terlebih dahulu mengidentifikasi tujuan.

ESME

Jaringan IP ESME

ESME

SMPP Jaringan Nirkabel

SS7

SMSC

MSC

Sumber : Khang B (2002)

Gambar 5 Arsitektur dasar jaringan SMS. Dari Gambar 5 dapat dilihat SMSC mempunyai dua buah antarmuka ke Mobile Switching Center (MSC) yang menghubungkan SMSC ke jaringan tanpa kabel dan yang kedua antarmuka ke jaringan IP yang menghubungkan SMSC dengan entitas-entitas penyedia layanan SMS khusus yang disebut juga ESME. Pada arsitektur dasar, koneksi dan komunikasi antara SMSC dan MSC menggunakan sebuah protokol dalam jaringan telepon bergerak yaitu Signaling System 7 (SS7), sedangkan protokol komunikasi yang digunakan pada level aplikasi untuk menghubungkan SMSC dengan ESME adalah Short Message Peer-to-Peer Protocol (SMPP). 2.4.2. Internet Internet adalah sekumpulan jaringan komputer yang menggunakan protokol TCP (Transmission Control Protocol ) atau IP (Internet Protocol ) yang saling terhubung, sehingga pengguna pada suatu jaringan dapat menggunakan layanan yang disediakan oleh TCP/IP untuk mencapai jaringan lain. Pada awalnya internet merupakan suatu jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika, melalui proyek ARPA (Advance Research Project Agency) yang disebut ARPANET.

22

ARPANET dibentuk secara khusus di empat universitas besar di Amerika, yaitu Stanford Research Institute, University of California di Santa Barbara, University of California di Los Angeles dan University of Utah. ARPANET akhirnya diperkenalkan secara umum pada tahun 1972. Dengan berakhirnya perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet, seluruh jaringan yang tercakup pada ARPANET diubah menjadi TCP/IP dan selanjutnya menjadi cikal bakal dari internet Protokol jaringan pada ARPANET menggunakan teknologi baru yang disebut Packet Switching. Dengan teknik tersebut, data komputer dikirim dan diterima melalui satu saluran, sehingga dengan menggunakan media komunikasi kabel data dapat disalurkan melalui beberapa tempat yang berbeda yang selanjutnya disalurkan ke beberapa pemakai (McLeod 2001). 2.4.3. World Wide Web (WWW) Web adalah jaringan informasi yang menggunakan protokol HTTP (Hyper Text Transfer Protocol) dan dapat diakses melalui suatu interface sederhana dan mudah digunakan. Selain HTTP, protokol yang sangat penting dalam penggunaan internet adalah FTP ( File Transfer Protocol ). Informasi dalam jaringan biasanya disajikan dalam format Hypertext yang tersimpan pada berbagai server diseluruh dunia. HTML (Hyper Text Markup Language) sebagai bahasa halaman halaman Web dapat menampilkan citra, text, multimedia, dan menyediakan instruksi bagi pengguna untuk mengatur penampilan suatu dokumen dan hubungan satu dokumen dengan dokumen lain. Masing-masing text, citra dan komponen lain pada halaman HTML, memiliki spesifik yang disebut sebagai URL (Uniform Resource Locator) yang memudahkan pengaksesan dan pencarian informasi di Web (McLeod 2001) 2.5. Sistem Peringatan Dini Banjir Berbasis SMS dan Internet Sistem Peringatan Dini Banjir Berbasis SMS dan Web pada prinsipnya adalah data curah hujan yang tercatat di hulu secara otomatis dapat dikirim ke sisi hilir. Dari data curah hujan yang didapat di hulu, dengan menggunakan model prediksi tinggi muka air di hilir, akan didapat prakiraan tinggi muka air yang akan terjadi di hilir. Dari hasil prediksi debit tersebut, akan dikategorikan apakah akan masuk dalam kategori normal, waspada, siaga atau awas. Selain itu informasi kondisi tinggi muka air dan curah hujan dapat pula diakses melalui Website. Kondisi tinggi muka air yang terkirim juga dapat dijadikan informasi

23

kondisi

saat

itu

untuk

memberikan

informasi

ke

petugas/instansi

terkait/masyarakat tentang kondisi tinggi muka air sudah dalam status waspada, siaga atau awas. Dalam sistem peringatan dini banjir berbasis SMS dan Web dapat dibuat agar dapat diakses oleh beberapa tingkatan pengguna. Masing masing pengguna akan memperoleh menu yang terbatas sesuai dengan hak aksesnya. Namun demikian, ada satu tingkatan yang dapat mengatur seluruh menu yang terdapat pada sistem Informasi peringatan dini banjir yaitu : 

Tingkat Supervisor mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan menjalankan semua fasilitas yang terdapat pada sistem informasi peringatan dini banjir .



Tingkat pengguna khusus (community development) mempunyai hak akses yang dapat untuk menjalankan aplikasi tanpa dapat mengubah data, tetapi dapat mendapatkan informasi kondisi ketinggian air/debit sungai dengan mengirim SMS tentang permintaan data.



Tingkat pengguna umum: mempunyai hak akses yang untuk menjalankan aplikasi tanpa dapat mengubah data. Dalam pentahapan bahaya banjir, bahaya banjir dibagi dalam tiga tahap

tingkatan siaga yang masing masing didasarkan atas kondisi elevasi muka air dan atau debit yakni waspada (siaga I), siaga (siaga II) dan yang terakhir awas (siaga III) yang secara berurutan menggambarkan tingkat bahaya yang lebih tinggi. Secara umum contoh sistem pengamatan dan pelaporan dari setiap siaga dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan diagram sistem peringatan dini banjir berbasis SMS dan Web termasuk komponen komponen yang ada di dalam sistem peringatan dini banjir tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Tabel 2 Contoh klasifikasi bahaya banjir dan durasi pelaporan TINGKAT BAHAYA Waspada (Siaga I )

SELANG PENGAMATAN 2 jam

Siaga (Siaga II )

1 jam

Awas (Siaga III )

Terus menerus

TUJUAN PELAPORAN Balai PSDA , Subdinan Pengairan Balai PSDA , SATLAK PB kab/kota, Subdin Pengairan

Balai PSDA, SATLAK PB. SATKLORLAK PB, Subdin Pengairan Sumber : Sukistijono dan Hermanto (2006)

DURASI PELAPORAN 2 jam sekali

1 jam sekali

Terus menerus

24

Gambar 6 Sistem peringatan dini banjir berbasis SMS dan Web. 2.5.1. Sistem Telemetri Curah Hujan dan Tinggi Muka Air Berbasis SMS Sistem telemetri curah hujan dan tinggi muka air secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem perangkat keras (hardware) dan sistem perangkat lunak (software). Sistem telemetri curah hujan dan tinggi muka air pada prinsipnya adalah mirip. Perbedaan hanyalah pada sisi sensornya dan program yang ada di dalam mikrokontroler. Perangkat keras terdiri atas stasiun penakar hujan atau sensor curah hujan, mikrokontroler dan komputer penerima. Mikrokontroler

berupa penyusunan komponen-komponen elektronika menjadi

satu kesatuan sistem rangkaian yang bisa bekerja sesuai yang diharapkan. Sedangkan sistem perangkat lunak meliputi program yang dibutuhkan dalam sistem, yang meliputi program pengambilan dan pengiriman data, program monitoring melalui komputer. Diagram proses secara umum dari rancangan perangkat keras sistem telemetri data curah hujan dan curah hujan otomatis dengan memanfaatkan fasilitas SMS diperlihatkan oleh Gambar 7. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sistem terdiri atas yang melakukan pengukuran dan pengiriman data curah hujan atau tinggi muka air serta komputer penerima yang menampilkan dan menyimpan data parameter cuaca. Sistem telemetri curah hujan dan tinggi muka air terdiri dari beberapa blok fungsional yaitu:

25

1.

Sistem mikrokontroler, digunakan untuk pengolahan data masukan, keluaran dan pengendali proses.

2.

RTC (Real Time Clock), digunakan sebagai kalender dan pewaktu yang memberitahu sistem mikrokontroller data tahun, bulan, tanggal, jam, menit dan detik yang sedang berjalan.

3.

EEPROM, berfungsi untuk menyimpan data parameter cuaca hasil pengukuran dan waktu pengukuran.

4.

LCD (Liquid Crystal Display), digunakan untuk menampilkan

data

parameter cuaca hasil pengukuran. 5.

Keypad, digunakan untuk memasukkan settng data tahun, bulan, tanggal, jam, menit dan detik seta setting lainnya jika alat pertama kali dihidupkan.

6.

Serial interface, digunakan sebagai antar muka komunikasi serial antara mikrokontroler dan Modem GSM.

7.

Modem GSM, digunakan untuk mengirimkan data curah hujan dan tinggi muka air melalui SMS.

8.

Komputer penerima, yang berfungsi untuk menyimpan dan menampilkan data parameter curah hujan dan tinggi muka air yang dikirimkan melalui fasilitas SMS. SISTEM TELEMETRI TINGGI MUKA AIR /CURAH HUJAN PARAMETER CURAH HUJAN /TINGGI AIR MUKA AIR SENSOR DAN TRANSDUSER

LCD

RTC

SISTEM MIKRO KONTROLLER

Modem

KEYPAD

SMS

Modem

Komputer

Gambar 7 Sistem telemetri curah hujan atau tinggi muka air dengan SMS.

26

2.5.2. Pengukuran Curah Hujan Di Indonesia data hujan ditakar dan dikumpulkan oleh beberapa instansi, antara lain Dinas Pengairan, Dinas Pertanian, dan Badan Meteorologi dan Geofisika. Jenis dan tipe alat penakar hujan yang digunakan juga berbeda-beda. Secara umum penakar hujan dibedakan menjadi dua, yaitu penakar hujan manual dan penakar hujan otomatis. Penakar Hujan Manual Penakar hujan ini menampung hujan selama 24 jam. Biasanya alat ini dibuka dan diukur jumlah curah hujannya secara teratur pada jam 07.00 pagi dan dicatat sebagai hujan yang terjadi pada hujan sebelumnya pada formulir yang telah ditetapkan. Dengan cara ini, informasi hujan yang diperoleh adalah informasi hujan total yang terjadi selama 24 jam. Berapa lama dan jam berapa hujan terjadinya hujan tidak diketahui. Penakar hujan manual merupakan alat ukur yang paling banyak digunakan. Alat ini terdiri dari corong dan bejana (Gambar 8). Ukuran diameter dan tinggi bervariasi dari satu negara ke negara lain. Di Indonesia alat yang paling banyak digunakan adalah penakar hujan dengan tinggi pemasangan 120 cm dari tanah dan luas corong 200 cm2 atau 100 cm2 (Suripin, 2004). Jumlah air hujan yang tertampung diukur dengan gelas ukur.

Gambar 8 Alat penakar hujan manual. Pada suatu alat penakar manual, untuk mendapatkan data curah hujan dalam satuan milimeter pada suatu waktu maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan curah hujan kotor sebagai berikut:

27

CH  V

(1)

L

dengan : CH = Curah hujan (mm) V = Volume rerata air hujan (mm3) L

= Luas permukaan penakar (mm2)

Penakar Hujan Otomatis (Automatic Rainfall Recorder/ARR ) Dengan alat ini, hujan tidak perlu lagi dicatat setiap hari karena alat ini dilengkapi dengan pencatat jumlah akumulasi hujan terhadap waktu dalam bentuk grafik. Ada tiga jenis alat penakar hujan otomatis: weighing bucket, tipping bucket, dan float. Gambar alat penakar hujan tipe tipping bucket (bejana jungkit) dapat dilihat pada Gambar 9.

(a)

(b)

Gambar 9 (a) Alat penakar hujan otomatis jenis tipping bucket dan (b) pencatat curah hujan otomatis. 2.5.3. Pengukuran Tinggi Muka Air Pengukuran tinggi muka air dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara manual dan secara otomatis. Pengukuran secara manual adalah dengan melihat papan duga. Dari papan duga dapat diketahui tinggi muka air saat itu. Sedangkan pengukuran secara otomatis dapat dibagi menjadi dua buah yaitu dengan menggunakan otomatis mekanik dan otomatis elektronik. Sistem pengukuran tinggi muka air otomatis mekanik adalah data tinggi muka air

28

terekam dalam kertas secara periodik sehingga akan terekam perubahan tinggi muka air dalam grafik. Pencatatan secara otomatis elektronik dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem data loger dan sistem sistem telemetri. Sistem data logger adalah data tinggi muka air tersimpan dalam memori sistem data loger (EEPROM/MMC). Untuk mengambil data tinggi muka air yang tercatat dalam data logger, maka diperlukan komputer untuk down load data. Sehingga diperlukan waktu untuk ke lapangan untuk mengambil data yang tersimpan dalam logger. Sedangkan pencatatan data dengan telemetri adalah data tinggi muka air dikirim melalui media komunikasi (radio/telephone) ke server komputer sehingga data tinggi muka air dapat diketahui secara cepat. Untuk itu sistem telemetri dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini banjir. Gambar dibawah menunjukkan sistem pencatatan tinggi muka air secara manual, otomatis mekanik dan otomatis elektronik (data logger).

(a)

(b)

(c)

Gambar 10 (a) Pengukuran tinggi muka air sungai dengan papan duga (b) Mekanik otomatis dan (c) elektronik data logger 2.5.4. Model Prakiraan Banjir Sistem peringatan dini banjir .sangat berkaitan erat dengan prakiraan banjir. Model yang digunakan dalam prakiraan debit/tinggi muka air sungai dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu model matematis dan model black-box

29

(Anwar, 2006). Metode prakiraan banjir secara umum dapat dibagi menjadi dua model yang dikembangkan yaitu : 1. Prakiraan

debit banjir secara konseptual dengan memperhitungkan

semua aspek siklus hidrologi yang ada dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Metode ini mempunyai banyak kendala di antaranya sulitnya mendapatkan data di lapangan, seperti tata guna lahan.

Selain itu

diperlukan data hidrologi seperti evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, interflow, serta air tanah dan aliran bawah tanah. 2. Prakiraan debit banjir dengan model Black Box (kotak hitam) dimana model tersebut tanpa melihat karakteristik fisiknya.

Model Black Box

pergunakan untuk mentransfer data hujan menjadi data debit/ tinggi muka air tanpa memperhitungkan sifat fisik DAS. Model Black Box diterapkan pada DAS yang sifat fisiknya belum dapat diketahui dengan sempurna seperti kebanyakan pada DAS di Indonesia. Metode yang sering dipergunakan dalam pengembangan

sistem

peringatan dini banjir untuk DAS yang hanya mempunyai data curah hujan dan debit sungai adalah dengan menggunakan model kotak hitam. Model kotak hitam dipergunakan untuk merubah hujan menjadi hidrograf tanpa memperhitungkan sifat-sifat bio-fisik DAS dan tanpa memperhitungkan proses yang terjadi dalam perubahan tersebut. Selain itu dapat pula digunakan model regresi ataupun model

prakiraan

dengan

menggunakan

Jaringan

Syaraf

Tiruan

untuk

memperkirakan debit banjir atau tinggi muka air sungai. a.

Motode Regresi Berganda Metode regresi berganda sering dipergunakan pada perhitungan hidrologi

ketika karakteristik

bio-fisik

DAS tidak dapat diketahui dengan benar.

Ketersediaan program computer seperti MINITAB dan SPSS sangat membantu dalam program perhitungan. Salah satu contoh penggunaan regresi berganda dalam prakiraan debit banjir yang dinilai cukup berhasil adalah dilakukan oleh Liang (Anwar , 2006). Liang mengembangkan model prakiraan banjir pada DAS Hankou di Cina menggunakan banyak masukan dan satu keluaran model regresi. b.

Metode Penelusuran Banjir Muskingum Prakiraan debit sungai sering dilakukan dengan menggunakan metode

penelusuran banjir. Salah satu metode penelusuran banjir adalah dikembangkan oleh Muskingum mulai tahun 1969. Metode Muskingum sangat umum digunakan

30

dalam teknik penelusuran banjir. Metode ini telah diterapkan secara instensif pada beberapa sungai di Inggris dan hasil penelitianya menunjukkan bahwa tingkat akurasinya cukup tinggi. Metode Muskingum juga diterapkan untuk memprediksi debit banjir pada Sungai Keegans Bayaou, USA yang mengalir melalui daerah pemukiman padat penduduk. Hasil penelitian penggunaan metode Muskingum di Keegans Bayaou menunjukkan bahwa metode ini cukup akurat dalam melakukan prakiraan debit banjir. Metode Muskingum termasuk salah satu metode yang digunakan dalam model HEC-1 yang dikembangkan oleh US Army Corps of Engineering pada Hydrologic Engineering Centre. Saat ini Model HEC-1 telah dikembangkan menjadi model HEC 2.2 under Windows. c.

Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah teori yang didesain untuk

memodelkan cara otak mengerjakan suatu persoalan dan seringkali disebut sebagai fungsi adaptif (Haykin, 1994). Salah satu aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan adalah untuk peramalan. Algoritma perambatan-balik dengan arsitektur multilayer perceptron dengan satu lapisan tersembunyi merupakan metoda yang sering dipakai pada proses peramalan; seperti peramalan debit aliran Nil di Mesir (Atiya dan Shahen, 1999), Mae Kong (Phien, 1997) dan prediksi debit Cikapundung dengan Jaringan Syaraf Tiruan (Margiantoro, 2003). Dalam Penelitian ini akan digunakan Jaringan Syaraf Tiruan untuk memprediksi tinggi muka air Kali Garang dengan masukan adalah curah hujan. Model JST yang digunakan adalah dengan algoritma back propagation dimana merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyi. 2.6.

Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan adalah sistem pemrosesan informasi yang

memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi manusia. JST dibentuk sebagai generalisasi model matematik dari jaringan syaraf biologi, dengan asumsi bahwa: a)

Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neuron).

b)

Sinyal dikirimkan di antara neuron-neuron melalui penghubungpenghubung.

31

c)

Untuk menentukan keluaran, setiap neuron menggunakan fungsi aktivasi (biasanya bukan fungsi linier) yang dikenakan pada jumlah input yang diterima. Besarnya output selanjutnya dibandingkan dengan suatu ambang batas.

Jaringan Syaraf Tiruan

ditentukan oleh tiga hal yang sangat penting seperti

terlihat pada Gambar 11 yaitu: 

Pola hubungan antar neuron.



Metode untuk menentukan bobot penghubung (disebut metode training/ learning).



Fungsi Aktivasi. Fungsi penjumlah

Masukan dari beberapa Neuron

Bobot



Fungsi aktivasi Bobot Fungsi keluar

Keluaran ke beberapa Neuron

Sumber:

Gambar 11 Struktur neuron jaringan syaraf. Suatu jaringan syaraf dinyatakan sebagai pola hubungan antar simpul yang disebut arsitektur jaringan syaraf, metode penentuan bobot penghubung yang dinamakan pelatihan atau algoritma pelatihan, dan fungsi aktivasinya yang terdapat di dalam simpul. Sebuah jaringan syaraf terdiri atas sejumlah besar elemen pemroses sederhana yang disebut neuron, unit sel, atau simpul (node). Tiap simpul dihubungkan ke simpul lainnya oleh suatu rantai penghubung yang memiliki bobot. Bobot ini menunjukkan informasi yang digunakan oleh jaringan untuk memecahkan suatu masalah. Jaringan syaraf dapat diterapkan pada masalah yang bervariasi, seperti penyimpanan (storing), pemanggilan kembali (recalling) data atau pola, klafisikasi pola dan pemetaan pola masukan ke pola keluaran, pengelompokan pola serupa atau penemuan solusi untuk optimasi masalah. Sebuah simpul mengirimkan suatu aktivasi sebagai sinyal ke simpulsimpul lainnya. Simpul hanya dapat mengirim satu sinyal pada satu waktu, walaupun sinyal tersebut disebarkan ke beberapa simpul lain. Gambar 12 menunjukkan penggambaran bentuk sederhana JST.

32

Gambar 12 Jaringan Syaraf Tiruan sederhana. Jaringan Syaraf Tiruan pada Gambar 12 diatas terdiri atas tiga simpul awal X1, X2, dan X3 dengan nilai x1, x2, dan x3 yang disebut unit masukan, satu simpul tengah Y dengan nilai y yang disebut unit tersembunyi (hidden), dan dua simpul akhir Z1 dan Z2 dengan nilai z1 dan z2 yang disebut unit keluaran. Masingmasing unit masukan X1, X2, dan X3 yang terhubung ke unit tersembunyi Y memiliki bobot w1, w2, dan w3. Masukan jaringan (y_net) pada unit tersembunyi Y adalah jumlah terbobot dari nilai unit-unit masukan x1, x2, dan x3. Input jaringan (y_net) ditunjukkan pada persamaan ( 4 ).

y _ net  w1 x1  w2 x 2  w3 x3

(4)

Aktivasi y pada unit tersembunyi Y dihasilkan dari input jaringan y_net dengan y  f ( y _ net ) . Fungsi aktivasi y dapat berupa fungsi sigmoid f  x  seperti ditunjukkan pada persamaan ( 5 ).

y  f ( y _ net ) 

1 1  e  y _ net

(5)

Sinyal aktivasi y pada unit tersembunyi Y dikirimkan ke unit keluaran Z1 dan Z2. Unit tersembunyi Y yang terhubung ke unit keluaran Z1 dan Z2 memiliki bobot-bobot v1 dan v2. Masukan jaringan z_net1 dan z_net2 pada masing-masing unit keluaran Z1 dan Z2 adalah jumlah terbobot dari sinyal aktivasi y terhadap bobot-bobot v1 dan v2 yang ditunjukkan pada persamaan ( 6 ) dan ( 7 ).

z _ net1  y.v1

(6)

z _ net 2  y.v 2

(7)

33

Aktivasi z1 dan z2 dihasilkan dari masukan jaringan

z  f ( z _ net ) dan

ditunjukkan pada persamaan ( 8 ) dan ( 9 ) di bawah ini.

z1  f ( z _ net1 )  z 2  f ( z _ net 2 ) 

1

(8)

1  e  z _ net1 1 1 e

(9)

 z _ net 2

Hasil akhir dari jaringan adalah sinyal aktivasi z1 dan z2 yang merupakan keluaran dari Z1 dan Z2. Jaringan Syaraf Tiruan memiliki arsitektur paralel dengan sejumlah besar simpul dan penghubung. Tiap penghubung menghubungkan satu simpul ke simpul lain dan memiliki bobot. Konstruksi Jaringan Syaraf Tiruan meliputi hal– hal sebagai berikut: 

Menentukan

kebutuhan

jaringan

meliputi

topologi

jaringan,

tipe

sambungan, proses pada sambungan, dan rentang bobot. 

Menentukan kebutuhan simpul meliputi rentang aktivasi dan fungsi aktivasi.



Menentukan kebutuhan sistem meliputi pola inisialisasi bobot, rumus perhitungan aktivasi, dan aturan pembelajaran.

2.6.1. Pelatihan Metode penyesuaian bobot merupakan hal yang sangat penting. Untuk memudahkan dalam penyesuaian bobot, maka perlu dibedakan dua jenis pelatihan untuk Jaringa syaraf tiruan, yakni supervised training (pelatihan dengan pengawasan) dan unsupervised training (pelatihan tanpa pengawasan).

1. Supervised Training (Pelatihan dengan Pengawasan) Metode pelatihan pada jaringan syaraf disebut terawasi jika keluaran yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Pada proses pelatihan, satu pola input akan diberikan ke satu neuron pada lapis masukan. Pola ini akan dirambatkan di sepanjang jaringan syaraf hingga sampai ke neuron pada lapis keluaran. Lapis keluaran ini akan membangkitkan pola keluaran yang nantinya akan dicocokkan dengan pola keluaran targetnya. Apabila terjadi perbedaan antara pola keluaran hasil pelatihan dengan pola target, maka akan dihasilkan galat. Apabila nilai galat ini

34

masih cukup besar, mengindikasikan bahwa masih perlu dilakukan lebih banyak pelatihan lagi.

2. Unsupervised Training (Pelatihan tanpa Pengawasan) Pada metode pelatihan yang tidak terawasi ini tidak memerlukan target keluaran. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil yang seperti apakah yang diharapkan selama proses pelatihan. Selama proses pelatihan, nilai bobot disusun dalam suatu rentang tertentu bergantung pada nilai masukan yang diberikan. Tujuan pelatihan ini adalah mengelompakkan unit-unit yang hampir sama dalam suatu area tertentu. Pelatihan ini biasanya sangat cocok untuk pengelompokan (klasifikasi) pola. 2.6.2. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Perambatan-balik (Backpropagation ) Jaringan syaraf yang luas digunakan dan mudah dipelajari adalah jaringan perambatan-balik. Dari beberapa perkiraan, hampir 90% aplikasi berbasis Jaringan Syaraf Tiruan menerapkan metode perambatan-balik. Jaringan ini juga dikenal dengan sebutan Jaringan Syaraf Umpan-maju

(Feedforward

Neural Network). Pada perambatan-balik selama pelatihan, dilakukan proses perhitungan nilai galat keluaran. Galat pada keluaran menentukan perhitungan nilai galat pada lapis tersembunyi, yang digunakan sebagai dasar penyesuaian bobot. Proses iterasi untuk menyesuaikan bobot akan berhenti setelah galat mencapai nilai minimum (nilai toleransi).

1. Arsitektur Perambatan-balik Arsitektur perambatan-balik diperlihatkan pada Gambar 13 dimana jaringan memiliki satu lapis tersembunyi (hidden), meskipun pada dasarnya perambatan-balik dapat memiliki lebih dari satu lapis tersembunyi sesuai kebutuhan sistem. Jumlah simpul terhubung pada lapis masukan dan lapis keluaran ditentukan dari jumlah pola-pola masukan dan pola-pola keluaran. Unit-unit keluaran dan unit-unit masukan masing-masing memiliki bias. Bias pada unit keluaran Yk dinotasikan sebagai Wk0, dan bias pada unit tersembunyi Zj dilambangkan dengan Vj0.

35

1

V10 Vj0 Vp0

1

X1

V11 Vj1 Vp1

Z1

Xi

V1i Vji Vpi

V10 Vj0 Xn Vp0

Zj

W10 Wj0 Wp0 W11 Wj1 Wp1 W1i Wji Wpi

W10 Wj0 Zp Wp0

Y1

Yk

Ym

Sumber: Kusumadewi S(2004)

Gambar 13 Arsitektur Jaringan Syarat Tiruan dengan perambatan balik. 2. Pelatihan Pelatihan dalam jaringan syaraf adalah menemukan nilai bobot yang sesuai. Pelatihan pada Jaringan Syaraf Tiruan Perambatan-balik meliputi tiga tahap, yaitu: a. Pelatihan umpan-maju (Feedforward) pola-pola masukan. Selama proses umpan maju setiap unit masukan (Xn) menerima sebuah sinyal masukan dan memancarkan sinyal ini ke unit-unit tersembunyi Z1,…, Zj. Setiap unit tersembunyi melakukan perhitungan terhadap fungsi aktivasinya dan mengirimkan sinyal-sinyalnya ke setiap unit keluaran. Setiap unit keluaran (Yk) melakukan perhitungan terhadap fungsi aktivasinya dan memberikan sinyal keluaran yang merupakan tanggapan jaringan tersebut dari setiap pola masukan yang telah diberikan. b. Perhitungan galat. Selama pelatihan, pada setiap unit keluaran, dibandingkan aktivasi keluaran yang dihasilkan Yk dengan nilai target Tk untuk menentukan galat yang berhubungan dengan pola-pola pada unit tersebut. Berdasar pada galat ini, besaran koreksi galat k (k = 1, 2, …, m) dapat dihitung dan digunakan untuk mendistribusi-balikkan galat yang terdapat pada unit keluaran Yk ke semua unit pada lapis sebelumnya (unit-unit tersembunyi yang berhubungan dengan unit keluaran Yk). Koreksi galat k digunakan untuk memperbaiki bobot-bobot antara lapisan keluaran dan lapisan tersembunyi. Dengan cara

36

yang sama, besaran h (h = 1, 2, …, h) dihitung pada setiap unit tersembunyi Zj. Koreksi galat h tidak digunakan untuk merambat-balikkan galat ke lapis masukan, tetapi digunakan untuk memperbaiki bobot-bobot antara lapis tersembunyi dan lapis masukan. c. Penyesuaian bobot. Setelah semua besaran koreksi galat  ditentukan, secara serentak bobot-bobot untuk semua lapis disesuaikan. Penyesuaian terhadap bobot Wkh (dari unit tersembunyi Zj terhadap unit keluaran Yk) berdasar pada besaran k dan aktivasi Yk dari unit tersembunyi Zj Penyesuaian terhadap bobot Whn (dari unit masukan Xn terhadap unit tersembunyi Zj) berdasar pada besaran h dan aktivasi Zj dari unit masukan Xn. Setelah pelatihan selesai, aplikasi dari jaringan hanya membutuhkan proses umpan maju untuk menghasilkan keluaran. Secara lengkap proses perhitungan dengan perambatan balik dapat dilihat pada Lampiran 1. 2.7. Konsep Penanggulangan Bencana Saat ini konsep penanganan bencana mengalami pergeseran paradigma dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan. Sehingga fokus pada penanganan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency). Oleh karena itu pandangan semacam ini disebut dengan paradigma relief atau bantuan darurat yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan darurat berupa pangan, penampungan darurat dan kesehatan kesehatan. Tujuan penanganan bencana pandangan ini adalah menekan kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan (SET BAKORNAS PBP, 2005) dan (Yulaelawati dan Syihab, 2008). Paradigma yang berkembang berikutnya adalah paradigma mitigasi, yang tujuannya lebih diarahkan identifikasi daerah-daerah rawan bencana, mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan mitigasi yang bersifat struktur seperti membangun konstruksi maupun non struktural seperti penataan ruang, building code dan sebagainya. Selanjutnya paradigma penanganan bencana berkembang lagi mengarah kepada faktor-faktor kerentanan di dalam masyarakat yang ini disebut paradigma pembangunan. Upaya-upaya yang dilakukan lebih bersifat mengintegrasikan upaya penanganan bencana dengan program pembangunan. Misalnya melalui

37

peningkatan ekonomi, penerapan teknologi, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Paradigma yang terakhir adalah paradigma pengurangan resiko. Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana. Dalam hal ini penanganan bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekankan resiko tejadinya bencana. Hal penting dalam pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebagai subyek dan bukan sebagai obyek penanganan bencana dalam proses pembangunan. Gambar 14 memperlihatkan siklus pengelolaan bencana dari proses bencana ke tanggap darurat hingga proses persiapan jika terjadi bencana.

Sumber : Kementerian Ristek (2006)

Gambar 14 Siklus pengelolaan bencana. Dalam penanggulangan bencana, saat ini pola pemikiran telah bergeser dari yang dahulu pada penekanan pasca bencana ke penekanan sebelum bencana. Gambar 15 memperlihatkan alur pemikiran yang dalam penanganan bencana ditekankan pada saat sebelum kejadian bencana bukan penanganan setelah kejadian bencana.

38

Sumber : Kementerian Ristek (2006)

Gambar 15 Siklus penanganan bencana. 2.8.

Penanggulangan Bencana Menurut UU N0 24 Tahun 2007 Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

dan PP No 08 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penaggulangan Bencana, saat ini badan yang menangani penaggulangan bencana untuk tingkat nasional adalah Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) dan Penaggulangan

Bencana

Daerah

(BPBD)

Tingkat

I/II

untuk

Badan Propinsi/

Kabupaten/Kota. Perbedaan yang mendasar dalam penanggulangan bencana saat ini dengan yang sebelumnya (BAKORNAS PBN) adalah bahwa BNPB bukan lagi sebagai badan koordinasi, melainkan suatu badan non departemen yang setingkat menteri. Selain itu, menurut UU No 24 Tahun 2007 dinyatakan bahwa BNPB mempunyai kemudahan akses antara lain: a. Pengerahan sumber daya manusia. b. Pengerahan peralatan. c. Pengerahan logistic. d. Imigrasi, cukai dan karantina, e. Perizinan. f.

Pengadaan barang/Jasa.

g. Pengelolaan pertanggung jawaban uang dan atau barang. h. Penyelamatan. i.

Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.

39

Dalam uraian diatas terlihat bahwa BNPB mempunyai akses yang lebih besar dalam penanganan bencana dibandingkan BAKORNAS. Saat ini untuk tingkat propinsi atau kabupaten/kota BPBD untuk Propinsi Jawa Tengah ataupun Kota Semarang belum terbentuk. Hal ini disebabkan peraturan daerah tentang pembentukan BPBD belum terbentuk. Untuk itu dalam penanganan bencana untuk tingkat Propinsi Jawa Tengah masih dilakukan oleh Satkorlak (Satuan Koordinasi Pelaksanaan) Penaggulangan Bencana dan untuk Kota Semarang dilakukan oleh Satlak (Satuan Pelaksanaan) Penaggulanagn Bencana. Menurut UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa penanggulangan bencana dapat dilakukan dalam situasi tidak terjadi

bencana

dan

situasi

terdapat

potensi

terjadinya

bencana.

Penyelenggaraan penaggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana antara lain: a. Kesiapsiagaan. b. Peringatan dini. c. Mitigasi bencana. Kesiapsiagaan adalah upaya untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapai kejadian bencana. Dalam kesiapsiagaan yang dimaksud di atas dilakukan antara lain melalui: a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. b. Pengorganiasian, pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini. c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar. d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat. e. Penyiapan lokasi evakuasi. f.

Penyusunan data akurat, iformasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat.

g. Penyediaan

dan

penyiapan

bahan,

baran

pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

dan

peralatan

untuk

40

Dalam pelaksanaan sistem peringatan dini disebutkan dalam pasal 16 UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa sistem peringatan dini bencana dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, baik secara teknis maupun administratip dan dikoordinasikan

oleh BNPB/BPBD dalam

bentuk pengorganisasisan, pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini. Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa untuk penanganan/pemasangan peralatan

peringatan dini jelas harus dikoordinasikan dengan BNPB/BPBD

sehingga jika BPBD untuk tingkat Kota Semarang terbentuk, maka pemasangan sistem peringatan dini banjir kota semarang harus dikoordinasikan dengan BPBD Kota Semarang termasuk dalam hal pengujian sistem peringatan dini banjir. Selain itu BPBD inilah yang mempunyai kewenanangan dalam penyampaian informasi bencana termasuk informasi bencana harus dikirim ke masyarakat.