http://karyailmiah.polnes.ac.id
PERMASALAHAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH Muhammad Kadafi (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak
MUHAMMAD KADAFI : Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan keuangan negara dan daerah berkaitan dengan pengendalian manajemen dan akuntabilitas. Seperangkat peraturan perundang-undangan sebagai produk dari eksekutif bersama legislatif telah dihasilkan untuk mengatur (manajemen) keuangan daerah, dari perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Akar permasalahan pengelolaan keuangan negara dan daerah terletak pada komitmen pemimpin dan pengambil kebijakan untuk melaksanakan aturan perundang-undangan secara konsisten. Motif-motif ekonomi dan politis dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara dan daerah masih menjadi main set aparatur eksekutif dan legislatif. Kata Kunci : Keuangan Negara, Keuangan Daerah, Pengendalian Manajemen, Akuntabilitas
PENDAHULUAN American Accounting Association (AAA, 1970) dalam Glynn (1993) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada sektor publik adalah pertama, memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola secara tepat, efisien, dan ekonomis atas suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi. Tujuan ini terkait dengan pengendalian manajemen (management control). Kedua, memberikan informasi yang memungkinkan bagi manejer untuk melaporkan pelaksanaan pengelolaan secara tepat dan efektif program dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya dan memungkinkan bagi pegawai pemerintah untuk melaporkan kepada publik atas hasil operasi pemerintah dan penggunaan dana publik. Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas (accountability). Tujuan management controlsangat penting terkait dengan besarnya sumber daya terutama dana yang dikelola oleh sektor publik, sehingga penting bagi setor publik untuk merencanakan, mengorganisasikan, menjalankan, dan mengawasi sumber-sumber daya yang kepemilikannya adalah publik (rakyat). Tujuan accountability berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban atas
Riset / 2205
pengelolaan sumber daya dengan cara melaporkan sumber-sumber pendapatan dan penggunaannya kepada publik (rakyat). Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kedua tujuan tersebut adalah akuntansi sektor publik. Isu-isu penting muncul berkaitan dengan istilah untuk menciptakan good public and corporate governanceseperti akuntabilitas publik, value for money, reformasi sektor publik, privatisasi,dan lain-lainnya. Isu-isu tersebut menjadi akar tuntutan diciptakannya sektor publik yang ekonomis, efisien, efektif, transparan, responsif dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. Perkembangan akuntansi sektor publik erat kaitannya dengan perkembangan sektor publik. Mulai tahun 1950an dan 1960an sektor publik memainkan peran penting sebagai pembuat dan pelaksana strategi pembangunan. Istilah sektor publik (sektor pemerintahan) mulai dipakai pertama kali tahun 1952 (Mardiasmo, 2002). Saat itu sektor publik dikaitkan sebagai bagian dari ekonomi makro yang terkait dengan pembangunan dan pelaksana pembangunan. Pada tahun 1970an terdapat kritikan yang mempertanyakan kembali peran sektor publik dalam pembangunan. Sektor publik dianggap tidak
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
efisien dan tertinggal dengan perkembangan dan kemajuan sektor swasta. Hal ini berakibat pada kebijakan publik semakin lemah karena orientasi pembangunan diarahkan pada sektor swasta dan cenderung mengabaikan sektor publik.Pada tahun 1980an reformasi sektor publik dilakukan di negara-negara industri maju. Berbagai perubahan dilakukan, misalnya dengan mengadopsi New Public Management (NPM) dan Reinventing Goverment dibanyak negara terutama negara Anglo Saxon (Renowijoyo, 2008) Adanya perubahan-perubahan pada sektor publik mengakibatkan perubahan terhadap akuntansi sektor publik. Perubahan dari Sistem Cash Basis yang selama ini dilakukan menjadi Accrual Basis. Salah satu pemerintah yang mengimplementasikan adalah pemerintah New Zealand pada tahun 1991, kemudian diikuti oleh pemerintah Jepang, Italia, dan negara-negara eropa lainnya (Mardiasmo, 2002). Di negara-negara berkembang kinerja sektor publik dinilai kurang baik, walaupun tidak semuanya. Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Thailand memiliki pelayanan publik dan perusahaan publik yang baik kinerjanya, yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan nasional dan stabilitas politik. Desentralisasi dan Konsekuensi Pengelolaan Keuangan di Indonesia Peraturan perundang-undangan Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Tahun 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap pengaturan hubungan antara pusat dan daerah. Pengaturan tersebut terutama dalam bidang administrasi pemerintahan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dalam banyak literatur keuangan sektor publik disebut dengan intergovernmental fiscal relation atau perimbangan keuangan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Bird dan Vaillancourt (2000) mengungkapkan tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan daerah: pertama, dekonsentrasi, suatu situasi dimana desentralisasi berlangsung dalam tingkat nasional dan hanya terbatas pada penyebaran tanggung jawab fiskal di antara instansiinstansi vertikal pusat yang ada di daerah-daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan),
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
merupakan desentralisasi fiskal yang tidak hanya mengalihkan kewenangan dalam melaksanakan penugasan pengeluaran tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di daerah. Sebuah negara yang melaksanakan desentralisasi akan dapat dinilai dengan jelas derajat desentralisasinya, apakah lebih bersifat dekonsentrasi, delegasi atau devolusi. Hal ini juga tergantung dari cara memandangnnya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up). Pendekatan desentralisasi fiskal dari bawah ke atas umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran daerah dan partisipasi politik di daerah serta efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Proses desentralisasi dari atas ke bawah (top down) di dasari oleh pemikiran untuk meringankan beban pusat dengan mengalihkannya ke bawah. Langkah ini merupakan sebagian dari keinginan pusat untuk mencapai tujuan alokasi dengan lebih efisien melalui pendelegasian atau desentralisasi kewenangan ke daerah. Pendekatan top down menekankan bahwa kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal adalah seberapa baik hal ini dapat membantu tercapainya tujuan nasional (Bird dan Vaillancourt, 2000). Pemerintah pusat menggulirkan reformasi tata kelola keuangan negara/daerah yang merupakan langkah maju dalam menata sistem keuangan. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah. Diterbitkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.
Riset / 2206
http://karyailmiah.polnes.ac.id Desentralisasi merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel. Perundang-undangan bidang keuangan negara secara tegas mengatur bagaimana pemerintah daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan. Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan prestasi kerja, penerapan sistem akuntansi keuangan daerah, penyajian neraca daerah dan laporan arus kas, laporan realisasi anggaran dan catatan atas laporan keuangan (CALK) sebagai bentuk pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan tersebut. Gubernur/Bupati/Walikota harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), hal ini diamanatkan di Undang-Undang No.17 tahun 2003 pasal 31. Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian laporan-laporan di atas dapat dihasilkan
Riset / 2207
dengan diterapkannya suatu Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD). Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran harus menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya, hal ini diamanatkan di Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2). Artinya bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kasadalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah. Perundang-undangan yang Melandasai Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dan daerah di Indonesia sebagai berikut : 1. UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah 3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan 4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TanggungJawab Keuangan Negara 5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 8. PP. No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah 9. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah 10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun 2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007 11. PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah 12. PP 23 Tahun 2005 tentang Estándar Akuntansi Pemerintahan 13. PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan 14. PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
15. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan 16. PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah 17. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah 18. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar Pelayanan Minimal 20. PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah 21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah 22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 24. Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 25. Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangka berakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah 26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah 27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah 28. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 29. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
2.
3.
4.
Permasalahan Keuangan Negara dan Daerah Tuntutan untuk mengurangi kekuasan pemerintah pusat terhadap daerah baik dari aspek tata laksana pemerintahan dan pengelolaan keuangan yang digulirkan sejak era reformasi ternyata tidak di iringi dengan kesiapan sumber daya manusia. Kondisi ini terjadi baik pada tingkat pusat dan daerah untuk mengurus sumber daya ekonomi yang sangat besar, sehingga prinsipprinsip pengelolaan keuangan yang memenuhi prinsip-prinsip secara tepat, efisien, dan ekonomis dan bertanggung jawab belum tercapai. Permasalahan keuangan negara dan daerah menurut Marbyanto dalam Fachturahman Nur sebagai berikut : 1. Intervensihak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
5.
Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy
Riset / 2208
http://karyailmiah.polnes.ac.id paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner. 6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target. 7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sektor-sektor baru. 8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral.. 9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. 10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota). 11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan. 12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya
Riset / 2209
mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll. 13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Permasalahan tambahan lain berkaitan dengan keuangan negara dan daerah menurut penulis sebagai berikut : 1. Penyusunan anggaran partisipatif yang diamanatkan undang-undang hanya dilaksanakan untuk memenuhi syarat formalitas. Musrenbang sebagai media bagi stakeholder terutama masyarakat untuk mengaspirasi kebutuhan-kebutuhan dasar belum tersosialisasi dengan baik. Masyarakat belum mengetahui hak dan kewajibannya berkaitan dengan penyusunan anggaran melalui Musrenbang. 2. Entitas Pelaporan dan Entitas Akuntansi yang menjadi amanat undang-undang tidak terjadi di pemerintahan. Sumber daya manusia aparatur pemerintah yang tidak berlatarbelakang pendidikan akuntansi mengakibatkan pemahaman terhadap proses akuntansi tidak terlaksana. 3. Salah satu instansi pemerintah yang menjadi advisor dalam penyusunan laporan keuangan daerah tidak melakukan “tranfer knowledge” terhadap entitas akuntansi maupun entitas pelaporan. 4. Advisor dari instansi pemerintah berperan ganda sebagai pemeriksa eksternal. Hal ini jelas melanggar prinsip Sistem Pengendalian Intern (SPI). Seharusnya Entitas pemeriksa eksternal tidak melaksanakan pendampingan kepada entitas akuntansi atau entitas pelaporan. 5. Masih banyak entitas pelaporan yang menganggap bahwa laporan keuangan pemerintah daerah adalah dokumen rahasia. Akses masyarakat untuk memperoleh laporan keuangan sulit, bahkan terkesan di tutup tutupi oleh pemerintah daerah. Undang-undang mengamanatkan untuk mempublikasikan sebagai bentuk pertangungjawaban pemerintah atas sumber daya yang dikelolanya. 6. Banyak peraturan perundang-undangan seringkali menyulitkan bagi aparatur di daerah untuk mengimplementasikannya. Belum tuntas pemahaman mengenai aturan yang terdahulu, disusul lagi dengan peraturan baru.
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Kesimpulan Karakteristik pengelolaan keuangan negara dan daerah mengharuskan untuk taat terhadap peraturan perundang-undangan. Seperangkat peraturan perundang-undangan sebagai produk dari eksekutif bersama legislatif telah dihasilkan untuk mengatur (manajemen) keuangan daerah, dari perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Akar permasalahan pengelolaan keuangan negara dan daerah terletak pada komitmen pemimpin dan pengambil kebijakan untuk melaksanakan aturan perundang-undangan secara konsisten. Motif-motif ekonomi dan politis dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara dan daerah masih menjadi main setaparatur eksekutif dan legislatif.
--------------------------. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pusat. --------------------------.. 2004. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. --------------------------.. 2003. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Motif-motif tersebut harus di geser kepada motif-motif yang memperhatikan standar-standar etika hakiki. Budaya sekulerisme menjadi virus penyakit mewabah yang memisahkan berbagai aspek kehidupan dengan standar etika hakiki. Menjadi hal yang aneh dan tabu jika bicara mengenai standar etika hakiki yang identik dengan kebenaran dan keadilan. Ini sebagai bukti lunturnya karakter bangsa yang seharusnya menjadi perhatian serius oleh pengambil kebijakan. Daftar Pustaka Bird, R.M. dan Vailancourt, F. 2000. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge University Press. PT. Gramedia Pustaka Utama (penterjemah). 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. Cetakan Pertama. PT. Sun. Jakarta. Fachturahman Nur, Turiman, 2009.13 Masalah Keuangan Negara dan Daerah, http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co m, Di akses 13 Juli 2012 Mardiasmo, 2002.Akuntansi Sektor Publik, Andi Yogyakarta Renyowijoyo, Muindro, 2008. Akuntansi Sektor Publik Organisasi Non Laba, Mitra Wacana Media Jakarta. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. --------------------------. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. --------------------------. 1999. Undang-Undang Nomor 251999 tentang Pemerintah Daerah.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Riset / 2210